You are on page 1of 19

Trisa Andami

04011381419167

Asma

Definisi

Menurut Pedoman Nasional Asma Anak (PNAA) 2004, asma adalah mengi berulang dan/atau
batuk persisten (menetap) dengan karakteristik sebagai berikut:

timbul secara episodik,


cenderung pada malam/dini hari (nokturnal),
musiman,
setelah aktivitas fisik,
ada riwayat asma atau atopi lain pada pasien dan/atau keluarganya.
Sedangkan menurut GINA ( Global Initiative for Asthma ) Asma didefinisikan sebagai gangguan
inflamasi kronik saluran respiratorik dengan banyak sel yang berperan, khususnya sel mast, eosinofil,
dan limfosit T.

Secara khas, sebagian besar serangan berlangsung singkat selama beberapa menit hingga
beberapa jam setelah itu, pasien tampak mengalami kesembuhan klinik yang total. Namun demikian,
ada suatu fase ketika pasien mengalami obstruksi jalan napas dengan derajat tertentu setiap harinya.
Fase ini dapat ringan dengan atau tanpa disertai episode yang berat atau yang lebih serius lagi, dengan
obstruksi hebat yang berlangsung selama berhari-hari atau berminggu-minggu. Keadaan semacam ini
dikenal sebagai status asmatikus. Pada beberapa keadaan yang jarang ditemui, serangan asma yang
akut dapat berakhir dengan kematian.

Anatomi, Fisiologi, dan Histologi Sistem Respirasi

Secara umum saluran udara pernapasan adalah sebagai berikut : dari nares anterior menuju ke
cavitas nasalis, choanae, nasopharynx, larynx, trachea, bronchus primarius, bronchus secundus,
bronchus tertius, bronchiolus, bronchiolus terminalis, bronchiolus respiratorius, ductus alveolaris,
atrium alveolaris, sacculus alveolaris, kemudian berakhir pada alveolus tempat terjadinya pertukaran
udara (Budiyanto, dkk, 2005).

Respirasi terdiri dari dua mekanisme, yaitu inspirasi dan ekspirasi. Pada saat inspirasi costa
tertarik ke kranial dengan sumbu di articulatio costovertebrale, diafragma kontraksi turun ke caudal,
sehingga rongga thorax membesar, dan udara masuk karena tekanan dalam rongga thorax yang
membesar menjadi lebih rendah dari tekanan udara luar. Sedangkan ekspirasi adalah kebalikan dari
inspirasi

Respirasi melibatkan otot-otot regular dan otot bantu. Otot reguler bekerja dalam pernapasan
normal, sedang otot bantu atau auxiliar bekerja saat pernapasan sesak. Otot reguler inspirasi : m.
Intercostalis externus, m. Levator costae, m. Serratus posterior superior, dan m. Intercartilagineus.
Otot auxiliar inspirasi : m. Scaleni, m. Sternocleidomastoideus, m. Pectoralis mayor et minor, m.
Latissimus dorsi, m. Serrarus anterior. Otot reguler ekspirasi : m. Intercostalis internus, m.
Subcostalis, m. Tranversus thorachis, m. Serratus posterior inferior. Otot auxiliar ekspirasi : m.
Obliquus externus et internus abdominis, m. Tranversus abdominis, m. Rectus abdominis.

Secara histologis, saluran napas tersusun dari epitel, sel goblet, kelanjar, kartilago, otot polos,
dan elastin. Epitel dari fossa nasalis sampai bronchus adalah bertingkat toraks bersilia, sedang
setelahnya adalah selapis kubis bersilia. Sel goblet banyak terdapat di fossa nasalis sampai bronchus
besar, sedang setelahnya sedikit sampai tidak ada. Kartilago pada trakea berbentuk tapal kuda, pada
bronkiolus tidak ditemukan dan banyak terdapat elastin.
Keadaan inilah yang berpengaruh pada saat terjadinya serangan asma pada para penderita
asma. Saluran napas yang terdiri dari otot polos, dan banyak terdapat sel goblet terutama di bronkus
besar yang mendasari terjadinya proses patofisiologi pada penderita asma.

Gambar. Sistem Pernapasan

Macam-Macam Pencetus Asma :

1. Alergen
Faktor alergi dianggap mempunyai peranan penting pada sebagian besar anak dengan asma
(William dkk 1958, Ford 1969). Disamping itu hiperreaktivitas saluran napas juga merupakan
factor yang penting. Sensitisasi tergantung pada lama dan intensitas hubungan dengan bahan
alergenik sehingga dengan berhubungan dengan umur. Pada bayi dan anak kecil sering
berhubungan dengan isi dari debu rumah. Dengan bertambahnya umur makin banyak jenis
alergen pencetusnya. Asma karena makanan biasanya terjadi pada bayi dan anak kecil.

2. Infeksi
Biasanya infeksi virus, terutama pada bayi dan anak kecil. Virus penyebab biasanya respiratory
syncytial virus (RSV) dan virus parainfluenza. Kadang-kadang juga dapat disebabkan oleh
bakteri, jamur dan parasit.

3. Cuaca
Perubahan tekanan udara (Sultz dkk 1972), suhu udara, angin dan kelembaban (Lopez dan
Salvagio 1980) dihubungkan dengan percepatan dan terjadinya serangan asma.

4. Iritan
Hairspray, minyak wangi, asap rokok, cerutu dan pipa, bau tajam dari cat, SO2, dan polutan udara
yang berbahaya lainnya, juga udara dingin dan air dingin.Iritasi hidung dan batuk dapat
menimbulkan refleks bronkokonstriksi (Mc. Fadden 1980). Udara kering mungkin juga
merupakan pencetus hiperventilasi dan kegiatan jasmani (strauss dkk 1978, Zebailos dkk 1978).

5. Kegiatan jasmani
Kegiatan jasmani yang berat dapat menimbulkan serangan pada anak dengan asma (Goldfrey
1978, Eggleston 1980). Tertawa dan menangis dapat merupakan pencetus. Pada anak dengan faal
paru di bawah normal sangat rentan terhadap kegiatan jasmani.
6. Infeksi saluran napas bagian atas
Disamping infeksi virus saluran napas bagian atas, sinusitis akut dan kronik dapat mempermudah
terjadinya asma pada anak (Rachelesfsky dkk 1978). Rinitis alergi dapat memperberat asma
melalui mekanisme iritasi atau refleks.

7. Refluks gastroesofagitis
Iritasi trakeobronkial karena isi lambung dapat memberatkan asma pada anak dan orang dewasa
(Dess 1974).

8. Psikis
Tidak adanya perhatian dan tidak mau mengakui persoalan yang berhubungan dengan asma oleh
anak sendiri atau keluarganya akan memperlambat atau menggagalkan usaha-usaha pencegahan.
Dan sebaliknya jika terlalu takut terhadap serangan asma atau hari depan anak juga tidak baik,
karena dapat memperberat serangan asma. Membatasi aktivitas anak, anak sering tidak masuk
sekolah, sering bangun malam, terganggunya irama kehidupan keluarga karena anak sering
mendapat serangan asma, pengeluaran uang untuk biaya pengobatan dan rasa khawatir, dapat
mempengaruhi anak asma dan keluarganya.

Faktor Resiko

Berbagai faktor dapat mempengaruhi terjadinya serangan asma, kejadian asma, berat ringannya
penyakit, serta kematian akibat penyakit asma.beberapa faktor tersebut sudah disepakati oleh para
ahli, sedangkan sebagian lain masih dalam penelitian. Faktor-faktor tersebut antara lain :

1. Jenis kelamin, menurut laporan dari beberapa penelitian didapatkan bahwa prevalens asma
pada anak laki-laki sampai usia 10 tahun adalah 1,5 sampai 2 kali lipat anak perempuan.
Namun pada orang dewasa, rasio ini berubah menjadi sebanding antara laki-laki dan
perempuan pada usia 30 tahun.
2. Usia, umumnya pada kebanyakan kasus asma persisten gejala asma timbul pada usia muda,
yaitu pada beberapa tahun pertama kehidupan.
3. Riwayat atopi, adanya riwayat atopi berhubungan dengan meningkatnya resiko asma persisten
dan beratnya asma. Beberapa laporan menunjukan bahwa sensitisasi alergi terhadap alergen
inhalan, susu, telur, atau kacang pada tahun pertama kehidupan, merupakan prediktor
timbulnya asma.
4. Lingkungan, adanya alergen di lingkungan hidup anak meningkatkan resiko penyakit asma,
alergen yang sering mencetuskan asma antara lain adalah serpihan kulit binatang piaraan,
tungau debu rumah, jamur, dan kecoa.
5. Ras, menurut laporan dari amerika serikat, didapatkan bahwa prevalens asma dan kejadian
serangan asma pada ras kulit hitam lebih tinggi daripada kulit putih.
6. Asap rokok, prevalens asma pada anak yang terpajan asap rokok lebih tinggi daripada anak
yang tidak terpajan asap rokok. Resiko terhadap asap rokok sudah dimulai sejak janin dalam
kandungan, umumnya berlangsung terus setelah anak dilahirkan, dan menyebakan
meningkatnya resiko.
7. Outdoor air pollution,
8. Infeksi respiratorik.

Epidemiologi

Penyakit asma merupakan kelainan yang sangat sering ditemukan dan diperkirakan 45% populasi
penduduk di Amerika Serikat terjangkit oleh penyakit ini. Asma bronkial terjadi pada segala usia
tetapi terutama dijumpai pada usia dini. Sekitar separuh kasus timbul sebelum usia 10 tahun dan
sepertiga kasus lainnya terjadi sebelum usia 40 tahun. Pada usia kanak-kanak terdapat predisposisi
laki-laki : perempuan = 2 : 1 yang kemudian menjadi sama pada usia 30 tahun.

Asma merupakan 10 besar penyebab kesakitan dan kematian di Indonesia, hal itu tergambar
dari data studi Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) di berbagai propinsi di Indonesia. SKRT
1986 menunjukkan asma menduduki urutan ke 5 dari 10 penyebab kesakitan bersama-sama dengan
bronkitis kronik dan emfisema. Pada SKRT 1992, asma, bronkitis kronik dan emfisema sebagai
penyebab kematian ke 4 di Indonesia atau sebesar 5,6%. Tahun 1995, prevalensi asma di Indonesia
sekitar 13 per 1.000 penduduk, dibandingkan bronkitis kronik 11 per 1.000 penduduk dan obstruksi
paru 2 per 1.000 penduduk.

Kira-kira 220% populasi anak dilaporkan pernah menderita asma. Belum ada penyelidikan
menyeluruh mengenai angka kejadian asma pada anak di Indonesia, namun diperkirakan berkisar
antara 510%. Dilaporkan di beberapa negara angka kejadian asma meningkat, misalnya di Jepang.
Australia dan Taiwan. Di poliklinik Subbagian Paru Anak FKUI-RSCM Jakarta, lebih dari 50%
kunjungan merupakan penderita asma. Jumlah kunjungan di poliklinik Subbagian Paru Anak berkisar
antara 12.00013.000 atau rata-rata 12.324 kunjungan pertahun. Pada tahun 1985 yang perlu
mendapat perawatan karena serangan asma yang berat ada 5 anak, 2 anak di antaranya adalah pasien
poliklinik paru. Sedang yang lainnya dikirim oleh dokter luar. Tahun 1986 hanya terdapat 1 anak dan
pada tahun 1987 terdapat 1 anak yang dirawat karena serangan asma yang berat.

Woolcock dan Konthen pada tahun 1990 di Bali mendapatkan prevalensi asma pada anak
dengan hiperreaktivitas bronkus 2,4% dan hiperreaktivitas bronkus serta gangguan faal paru adalah
0,7%. Studi pada anak usia SLTP di Semarang dengan menggunakan kuisioner International Study of
Asthma and Allergies in Childhood (ISAAC), didapatkan hasil dari 402 kuisioner yang kembali
dengan rata-rata umur 13,8 0,8 tahun didapatkan prevalensi asma (gejala asma 12 bulan
terakhir/recent asthma), 6,2% dari 64% diantaranya mempunyai gejala klasik. Bagian anak FKUI-
RSCM melakukan studi prevalensi asma pada anak usia SLTP di Jakarta pusat pada 19951996
dengan mengunakan kuisioner modifikasi dari ATS, ISAAC dan Robertson, serta melakukan uji
provokasi bronkus secara acak. Seluruhnya 1.296 siswa dengan usia 11 tahun 5 bulan 18 tahun 4
bulan, didapatkan 14,7% dengan riwayat asma dan 5,8% dengan recent asthma. Tahun 2001, Yunus
dkk melakukan studi prevalensi asma pada siswa SLTP se Jakarta Timur, sebanyak 2.234 anak usia
1314 tahun melalui kuisioner ISAAC, pemeriksaan spirometri dan uji provokasi bronkus pada
sebagian subjek yang dipilih secara acak. Dari studi tersebut didapatkan prevalensi asma (recent
asthma) 8,9% dan prevalensi kumulatif (riwayat asma) 11,5%.

Tahun 1993 UPF Paru RSUD dr. Sutomo Surabaya melakukan penelitian di lingkungan 37
puskesmas di Jawa Timur dengan menggunakan kuisioner modifikasi ATS, yaitu proyek pneumobile
Indonesia dan Respiratory Sympton questioner of Institute of Respiratory Medicine, New South Wales
dan pemeriksaan arus puncak ekspirasi (APE) menggunakan alat peak flow meter dan uji
bronkodilator. Seluruhnya 6662 responden usia 13 70 tahun (rata-rata 35,6 tahun) mendapatkan
prevalensi asma sebesar 7,7 % dengan rincian laki-laki 9,2 % dan perempuan 6,6 %.

Patogenesis Asma

Asma merupakan inflamasi kronik saluran napas. Berbagai sel inflamasi berperan, terutama sel mast,
eosinofil, limfosit T, makrofag, neutrofil, sel epitel. Faktor lingkungan dan berbagai faktor lain
berperan sebagai penyebab atau pencetus inflamasi saluran napas pada penderita asma. Selama 30
tahun terakhir, konsep inflamasi kronis sebagai hal yang berperan penting pada patogenesis asma,
telah dibuktikan dengan penelitian-penelitian. GINA (Global Initiative for Asma) dengan jelas
menggambarkan konsep inflamasi pada asma merupakan suatu proses inflamasi kronis yang khas,
melibatkan dinding saluran respiratorik, dan menyebabkan terbatasnya aliran udara serta
meningkatnya reaktivitas saluran respiratori. Dalam proses ini terjadi hal-hal sebagai berikut :

1. Inflamasi akut
Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor antara lain virus, iritan, alergen
yang dapat menginduksi respons inflamasi akut.

Reaksi asma tipe cepat dan spasmogenik


Jika ada pencetus terjadi peningkatan tahanan saluran napas yang cepat dalam 1015 menit.
Alergen akan terikat pada IgE yang menempel pada sel mast dan terjadi degranulasi sel mast
tersebut. Degranulasi tersebut mengeluarkan performed mediator seperti histamin protease
dan newly generated mediator seperti leukotrien, prostaglandin dan platelet activating factor
yang menyebabkan kontraksi otot polos, sekresi mukus dan vasodilatasi. Reaksi tersebut
dapat hilang segera, baik secara spontan maupun dengan bronkodilator seperti
simpatomimetik. Perubahan ini dapat dicegah dengan pemberian kromoglikat atau antagonis
H1 dan H2 sebelumnya. Keadaan ini tidak dipengaruhi oleh pemberian kortikosteroid
beberapa saat sebelumnya. Tetapi pemberian kortikosteroid untuk beberapa hari sebelumnya
dapat mencegah reaksi ini.

Reaksi fase lambat dan lama


Reaksi ini timbul antara 69 jam setelah provokasi alergen dan melibatkan pengerahan serta
aktivasi eosinofil, sel CD4+, netrofil dan makrofag. Patogenesis reaksi yang tergantung pada
IgE, biasanya berhubungan dengan pengumpulan netrofil 48 jam setelah rangsangan. Reaksi
lamabat ini mungkin juga berhubungan dengan reaktivasi sel mast. Leukotrien, prostaglandin
dan tromboksan mungkin juga mempunyai peranan pada reaksi lambat karena mediator ini
menyebabkan kontraksi otot polos bronkus yang lama dan edema submukosa. Reaksi lambat
dapat dihambat oleh pemberian kromiglikat, kortikosteroid, dan ketotifen sebelumnya.

2. Inflamasi kronik
Asma yang berlanjut yang tidak dobati atau kurang terkontrol berhubungan dengan inflamasi di
dalam dan disekitar bronkus. Berbagai sel terlibat dan teraktivasi, seperti limfosit T, eosinofil,
makrofag, sel mast, sel epitel, fibroblas dan otot polos bronkus. Pada otopsi ditemukan infiltrasi
bronkus oleh eosinofil dan sel mononuklear. Sering ditemukan sumbatan bronkus oleh mukus
yang lengket dan kental. Sumbatan bronkus oleh mukus ini bahkan dapat terlihat sampai alveoli.
Infiltrasi eosinofil dan sel-sel mononuklear terjadi akibat factor kemotaktik dari sel mast seperti
ECF-A dan LTB4. Mediator PAF yang dihasilkan oleh sel mast, basofil dan makrofag yang dapat
menyebabkan hipertrofi otot polos dan kerusakan mukosa bronkus serta menyebabkan
bronkokonstriksi yang lebih kuat. Kortikosteroid biasanya memberikan hasil yang baik. Diduga,
ketotifen dapat juga mencegah fase ketiga ini.

Airway remodeling
Pada asma terdapat saling ketergantungan antara proses inflamasi dan remodeling. Infiltrasi sel-
sel inflamasi terlibat dalam proses remodeling, juga komponen lainnya seperti matriks
ekstraselular, membran retikular basal, matriks interstitial, fibrogenic growth factor, protease dan
inhibitornya, pembuluh darah, otot polos, kelenjar mukus. Perubahan struktur yang terjadi :

1. Hipertrofi dan hiperplasia otot polos jalan napas.


2. Hipertrofi dan hiperplasia kelenjar mukus
3. Penebalan membran retikular basal
4. Pembuluh darah meningkat
5. Matriks ekstraselular fungsinya meningkat
6. Perubahan struktur parenkim
7. Peningkatan fibrogenic growth factor menjadikan fibrosis
Airway remodeling merupakan fenomena sekunder dari inflamasi atau merupakan akibat
inflamasi yang terus menerus. Konsekuensi klinis airway remodeling adalah peningkatan gejala
dan tanda asma seperti hiperreaktivitas jalan napas, masalah distenbilitas/regangan jalan napas
dan obstruksi jalan napas. Sehingga pemahaman airway remodeling bermanfaat dalam
manajemen asma terutama pencegahan dan pengobatan dari proses tersebut.
Gambar 1.2 Patogenesis asma

Patologi Anatomi Asma

Gambaran makroskopik yang penting dari asma yang lanjut adalah : (1) Mukus penyumbat
dalam bronki, (2) Inflasi paru yang berlebihan, tetapi bukan emfisema yang nyata, dan (3) Kadang-
kadang terdapat daerah bronkiektasis terutama dalam kasus yang berhubungan dengan aspergilosis.
Jalan udara seringkali tersumbat oleh mukus, yang terdiri dari sel yang mengalami deskuamasi. Musin
sering mengandung komponen seroprotein yang timbul dari reaksi peradangan hebat dalam
submukosa. Dinding bronki tampak lebih tebal dari biasa. Apabila eksudat supuratif terdapat dalam
lumen, maka superinfeksi dan bronkitis harus diwaspadai.

Secara mikroskopik terdapat hiperplasia dari kelenjar mucus, bertambah tebalnya otot polos
bronkus dan hipertofi serta hiperplasia dari sel goblet mukosa. Daerah-daerah yang tidak mengandung
epitel respirasi sering ditemukan, ditambah dengan edema subepitel. Pertambahan jumlah limfosit
peradangan yang agak banyak, terutama eosinofil terdapat pada mukosa yang edema. Sumbatan di
dalam jalan napas mengandung : (1) Gulungan sel epitel yang lepas dan sekret protein yang
membentuk spiral Curschmann, (2) Eosinofil yang padat dengan kristal Charcot-Leyden, (3) kristal
Charcot-Leyden bebas yang dilepaskan oleh eosinofil, dan (4) Debris seluler. Superinfeksi bakteri
dapat membentuk perubahan anatomi kearah bronkitis.4
Gambar. Bronkus yang menyempit akibat proses inflamasi pada asma

Patofisiologi Asma

Obstruksi Saluran Respiratorik


Inflamasi saluran respiratorik yang ditemukan pada pasien asma diyakini merupakan hal yang
mendasari gangguan fungsi : obstruksi saluran respiratorik menyebabkan keterbatasan aliran
udara yang dapat kembali secara spontan atau setelah pengobatan. Perubahan fungsional yang
dihubungkan dengan gejala khas pada asma : batuk, sesak, wheezing dan disertai
hipereaktivitas saluran respiratorik terhadap berbagai rangsangan. Batuk sangat mungkin
disebabkan oleh stimulasi saraf sensoris pada saluran respiratorik oleh mediator inflamasi dan
terutama pada anak, batuk berulang bisa jadi merupakan satu-satunya gejala asma yang
ditemukan. Penyempitan saluran respiratorik pada asma dipengaruhi oleh banyak faktor.
Penyebab utama penyempitan saluran respiratorik adalah kontraksi otot polos bronkus yang
diprovokasi oleh pelepasan agonis dari sel-sel inflamasi. Yang termasuk agonis adalah
histamine, triptase, prostaglandin D2 dan leukotrien C4 dari sel mast; neuropeptida dari saraf
aferen setempat, dan asetilkolin dari saraf eferen postganglionic. Kontraksi otot polos saluran
respiratorik diperkuat oleh penebalan dinding saluran napas akibat edema akut, inflamasi sel-
sel inflamasi dan remodeling, hiperplasia dan hipertrofi kronis otot polos, vaskuler, dan sel-sel
sekretori serta deposisi matriks pada dinding saluran respiratorik. Selain itu, hambatan saluran
respiratorik juga bertambah akibat produksi secret yang banyak, kental, dan lengket oleh sel
goblet dan kelenjar submukosa, protein plasma yang keluar melalui mikrovaskular bronkus
dan debris selular.

Hiperreaktivitas Saluran Respiratorik


Penyempitan saluran respiratorik secara berlebihan merupakan patofisiologis yang secara
klinis paling relevan pada penyakit asma. Mekanisme yang bertanggung jawab terhadap
reaktivitas yang berlebihan atau hiperreaktivitas ini belum diketahui tetapi mungkin
berhubungan dengan perubahan otot polos saluran napas (hiperplasi dan hipertrofi) yang
terjadi secara sekunder yang menyebabkan perubahan kontraktilitas. Selain itu, inflamasi
dinding saluran respiratorik terutama daerah peribronkial dapat memperberat penyempitan
saluran respiratorik selama kontraksi otot polos.
Hiperreaktivitas bronkus secara klinis sering diperiksa dengan memberikan stimulus aerosol
histamin atau metakolin yang dosisnya dinaikan secara progresif kemudian dilakukan
pengukuran perubahan fungsi paru (PFR atau FEV1). Provokasi/stimulasi lain seperti latihan
fisik, hiperventilasi, udara kering dan aerosol garam hipertonik, adenosine tidak mempunyai
efek langsung terhadap otot polos (tidak seperti histamin dan metakolin), akan tetapi dapat
merangsang pelepasan mediatordari sel mast, ujung serabut saraf, atau sel-sel lain pada
saluran respiratorik. Dikatakan hipereaktif bila dengan cara histamin didapatkan penurunan
FEV1 20% pada kosentrasi histamine kurang dari 8mg%.

Gambar. Mekanisme hiperresponsif saluran respiratori

Klasifikasi

Pembagian derajat penyakit asma yang dibuat oleh Phelan dkk, (dikutip dari Konsensus Pediatri
Internasional III tahun 1998). Klasifikasi ini membagi derajat asma menjadi 3 (tiga), yaitu sebagai
berikut :

1. Asma episodik jarang ( Asma ringan)


Golongan ini merupakan 7075% dari populasi asma anak. Biasanya terdapat pada anak umur
36 tahun. Serangan umumnya dicetuskan oleh infeksi virus saluran napas atas. Banyaknya
serangan 34 kali dalam satu tahun. Lamanya serangan paling lama hanya beberapa hari saja dan
jarang merupakan serangan yang berat. Gejala-gejala yang timbul lebih menonjol pada malam
hari. Mengi dapat berlangsung sekitar 34 hari dan batuknya dapat berlangsung 1014 hari.
Waktu remisinya bermingu-minggu sampai berbulan-bulan. Manifestasi alergi lainnya misalnya
eksim jarang didapatkan. Tumbuh kembang anak biasanya baik. Di luar serangan tidak ditemukan
kelainan lain.

2. Asma episodik sering (Asma sedang)


Golongan ini merupakan 28% dari populasi asma anak. Pada dua pertiga golongan ini
serangan pertama terjadi pada umur sebelum 3 tahun. Pada permulaan, serangan berhubungan
dengan infeksi saluran pernapasan atas. Pada umur 56 tahun dapat terjadi serangan tanpa infeksi
yang jelas. Biasanya orang tua menghubungkannya dengan perubahan udara, adanya alergen,
aktivitas fisik dan stress. Banyaknya serangan 34 kali dalam satu tahun dan tiap kali serangan
beberapa hari sampai beberapa minggu. Frekuensi serangan paling banyak pada umur 813 tahun.
Pada golongan lanjut kadang-kadang sukar dibedakan dengan golongan asma kronik atau
persisten. Umumnya gejala paling buruk terjadi pada malam hari dengan batuk dan mengi yang
dapat mengganggu tidur.

Pemeriksaan fisik di luar serangan tergantung pada frekuensi serangan. Jika waktu serangan
lebih dari 12 minggu, biasanya tidak ditemukan kelainan fisik. Hay fever dan eksim dapat
ditemukan pada golongan ini. Pada golongan ini jarang ditemukan gangguan pertumbuhan.

3. Asma kronik atau persisten (Asma Berat)


Pada 25% anak serangan pertama terjadi sebelum umur 6 bulan, 75% sebelum umur 3 tahun.
Pada 50% anak terdapat mengi yang lama pada 2 tahun pertama dan pada 50% sisanya serangan
episodik. Pada umur 56 tahun akan lebih jelas terjadinya obstruksi saluran napas yang persisten
dan hampir selalu terdapat mengi setiap hari. Dari waktu ke waktu terjadi serangan yang berat dan
memerlukan perawatan di rumah sakit. Obstruksi jalan napas mencapai puncaknya pada umur 8
14 tahun.

Pada umur dewasa muda 50% dari golongan ini tetap menderita asma persisten atau sering.
Jarang yang betul-betul bebas mengi pada umur dewasa muda. Pada pemeriksaan fisik dapat
terjadi perubahan bentuk toraks seperti dada burung (pigeon chest), dada tong (barrel chest) dan
terdapat sulkus Harrison. Pada golongan ini dapat terjadi gangguan pertumbuhan, yaitu bertubuh
kecil. Kemampuan aktivitas fisiknya sangat berkurang, sering tidak dapat melakukan kegiatan
olahraga dan kegiatan biasa lainnya. Sebagian kecil ada juga yang mengalami gangguan
psikososial.

Selain itu juga pembagian asma menurut GINA adalah sebagai berikut :

Tabel. Klasifikasi Derajat Berat Asma Berdasarkan Gambaran Klinis

Derajat asma Gejala Gejala Faal paru


malam

Intermitten Bulanan 2x/bulan APE 80%


Gejala < 1x/minggu VEP1 80% nilai
Tanpa gejala diluar serangan prediksi APE 80%
Serangan singkat nilai terbaik
Variabilitas APE < 20%
Persisten Mingguan > 2x/bulan APE > 80%
ringan Gejala > 1x/minggu tetapi < VEP1 80% nilai
1x/hari prediksi APE 80%
Serangan dpt mengganggu nilai terbaik
aktivitas dan tidur Variabilitas APE 20-
30%
Persisten Harian > 1x/minggu APE 60-80%
sedang Gejala setiap hari VEP1 60-80% nilai
Serangan mengganggu prediksi APE 60-80%
aktivitas dan tidur nilai terbaik
membutuhkan bronkodilator Variabilitas APE > 30%
setiap hari
Persisten Kontinua Sering APE 60%
berat Gejala terus menerus VEp1 60% nilai
Sering kambuh prediksi 60% nilai
Aktivitas fisik terbatas terbaik
Variabilitas APE > 30%

Pada umumnya penderita sudah dalam pengobatan, dan pengobatan yang telah berlangsung seringkali
tidak adekuat. Pengobatan akan mengubah gambaran klinis bahkan faal paru, oleh karena itu penilaian
berat asma pada penderita dalam pengobatan juga harus mempertimbangkan pengobatan itu sendiri.

Tabel. Klasifikasi Derajat Berat Asma pada Penderita dalam Pengobatan

Tahapan pengobatan yang digunakan saat penilaian

Gejala dan faal paru dalam pengobatan Tahap I Tahap 2 Tahap 3


intermiten persisten persisten
sedang sedang

Tahap I : intermitten Intermiten Persisten Persisten


Gejala < 1x/minggu ringan sedang
Serangan singkat
Gejala malam < 2x/bulan
Faal paru normal di luar serangan
Tahap II : persisten ringan Persisten Persisten Persisten
Gejala > 1x/minggu, tetapi < 1x/hari, gejala ringan sedang berat
malam > 2x/bulan, tetapi < 1x/minggu
Faal paru normal diluar serangan
Tahap III : persisten sedang Persisten Persisten Persisten
Gejala setiap hari, serangan mempengaruhi sedang berat berat
aktivitas dan tidur
Gejala malam > 1x/minggu
60% < VEP1 < 80% nilai prediksi
60% < APE < 80% nilai terbaik
Tahap IV : persisten berat Persisten Persisten Persisten
Gejala terus menerus, serangan sering, gejala berat berat berat
malam sering
VEP1 60% nilai prediksi atau
APE 60% nilai terbaik

Tanda dan Gejala pada Asma

Gejala asma terdiri dari trias asma : dispnea, batuk dan mengi. Pada bentuk yang paling khas, asma
merupakan penyakit episodik dan keseluruhan tiga gejala tersebut dapat timbul bersama-sama.
Berhentinya episode asma kerapkali ditandai dengan batuk yang menghasilkan lendir atu mukus yang
lengket seperti benang yang liat.
Pada serangan asma ringan:

Anak tampak sesak saat berjalan.


Pada bayi: menangis keras.
Posisi anak: bisa berbaring.
Dapat berbicara dengan kalimat.
Kesadaran: mungkin irritable.
Tidak ada sianosis (kebiruan pada kulit atau membran mukosa).
Mengi sedang, sering hanya pada akhir ekspirasi.
Biasanya tidak menggunakan otot bantu pernafasan.
Retraksi interkostal dan dangkal.
Frekuensi nafas: cepat (takipnea).
Frekuensi nadi: normal.
Tidak ada pulsus paradoksus (< 10 mmHg)
SaO2 % > 95%.
PaO2 normal, biasanya tidak perlu diperiksa.
PaCO2 < 45 mmHg

Pada serangan asma sedang:

Anak tampak sesak saat berbicara.


Pada bayi: menangis pendek dan lemah, sulit menyusu/makan.
Posisi anak: lebih suka duduk.
Dapat berbicara dengan kalimat yang terpenggal/terputus.
Kesadaran: biasanya irritable.
Tidak ada sianosis (kebiruan pada kulit atau membran mukosa).
Mengi nyaring, sepanjang ekspirasi inspirasi.
Biasanya menggunakan otot bantu pernafasan.
Retraksi interkostal dan suprasternal, sifatnya sedang.
Frekuensi nafas: cepat (takipnea).
Frekuensi nadi: cepat (takikardi).
Ada pulsus paradoksus (10-20 mmHg)
SaO2 % sebesar 91-95%.
PaO2 > 60 mmHg.
PaCO2 < 45 mmHg
Pada serangan asma berat tanpa disertai ancaman henti nafas:

Anak tampak sesak saat beristirahat.


Pada bayi: tidak mau minum/makan.
Posisi anak: duduk bertopang lengan.
Dapat berbicara dengan kata-kata.
Kesadaran: biasanya irritable.
Terdapat sianosis (kebiruan pada kulit atau membran mukosa).
Mengi sangat nyaring, terdengar tanpa stetoskop sepanjang ekspirasi dan inspirasi.
Menggunakan otot bantu pernafasan.
Retraksi interkostal dan suprasternal, sifatnya dalam, ditambah nafas cuping hidung.
Frekuensi nafas: cepat (takipnea).
Frekuensi nadi: cepat (takikardi).
Ada pulsus paradoksus (> 20 mmHg)
SaO2 % sebesar < 90 %.
PaO2 < 60 mmHg.
PaCO2 > 45 mmHg

Pada serangan asma berat disertai ancaman henti nafas:

Kesadaran: kebingungan.
Nyata terdapat sianosis (kebiruan pada kulit atau membran mukosa).
Mengi sulit atau tidak terdengar.
Penggunaan otot bantu pernafasan: terdapat gerakan paradoks torakoabdominal.
Retraksi dangkal/hilang.
Frekuensi nafas: lambat (bradipnea).
Frekuensi nadi: lambat (bradikardi).
Tidak ada pulsus paradoksus; tanda kelelahan otot nafas.
Diagnosis

Studi epidemiologi menunjukkan bahwa asma tidak terdiagnosis di seluruh dunia, disebabkan
berbagai hal antara lain gambaran klinis yang tidak khas dan beratnya penyakit yang sangat
bervariasi, serta gejala yang bersifat episodik sehingga penderita tidak merasa perlu berobat ke dokter.
Diagnosis asma didasari oleh gejala yang bersifat episodik, gejala berupa batuk, sesak napas, mengi,
rasa berat di dada dan variabilitas yang berkaitan dengan cuaca. Anamnesis yang baik cukup untuk
menegakkan diagnosis, ditambah dengan pemeriksaan jasmani dan pengukuran faal paru terutama
reversibiltas kelainan faal paru akan lebih meningkatkan nilai diagnostik.

Riwayat penyakit atau gejala :


1. Bersifat episodik, seringkali reversibel dengan atau tanpa pengobatan.
2. Gejala berupa batuk berdahak, sesak napas, rasa berat di dada.
3. Gejala timbul/memburuk terutama malam/dini hari.
4. Diawali oleh faktor pencetus yang bersifat individu.
5. Responsif terhadap pemberian bronkodilator.
Hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam riwayat penyakit
1. Riwayat keluarga (atopi).
2. Riwayat alergi/atopi.
3. Penyakit lain yang memberatkan.
4. Perkembangan penyakit dan pengobatan.

Serangan batuk dan mengi yang berulang lebih nyata pada malam hari atau bila ada beban
fisik sangat karakteristik untuk asma. Walaupun demikian cukup banyak asma anak dengan batuk
kronik berulang, terutama terjadi pada malam hari ketika hendak tidur, disertai sesak, tetapi tidak jelas
mengi dan sering didiagnosis bronkitis kronik. Pada anak yang demikian, yang sudah dapat dilakukan
uji faal paru (provokasi bronkus) sebagian besar akan terbukti adanya sifat-sifat asma.

Batuk malam yang menetap dan yang tidak tidak berhasil diobati dengan obat batuk biasa dan
kemudian cepat menghilang setelah mendapat bronkodilator, sangat mungkin merupakan bentuk
asma.

Pemeriksaan fisik
o Gejala asma bervariasi sepanjang hari sehingga pada asma ringan dan sedang tidak ditemukan
kelainan fisik di luar serangan.
o Pada inspeksi terlihat pernapasan cepat dan sukar, disertai batuk-batuk paroksismal, kadang-
kadang terdengar suara mengi, ekspirasi memanjang, terlihat retraksi daerah supraklavikular,
suprasternal, epigastrium dan sela iga. Pada asma kronik bentuk toraks emfisematous,
bongkok ke depan, sela iga melebar, diameter anteroposterior toraks bertambah.
o Pada perkusi terdengar hipersonor seluruh toraks, terutama bagian bawah posterior. Daerah
pekak jantung dan hati mengecil.
o Pada auskultasi bunyi napas kasar/mengeras, pada stadium lanjut suara napas melemah atau
hampir tidak terdengar karena aliran udara sangat lemah. Terdengar juga ronkhi kering dan
ronkhi basah serta suara lender bila sekresi bronkus banyak.
o Pada serangan ringan, mengi hanya terdengar pada waktu ekspirasi paksa. Mengi dapat tidak
terdengar (silent chest) pada serangan yang sangat berat disertai gejala sianosis, gelisah, sukar
bicara, takikardi, hiperinflasi dan penggunaan obat bantu napas.
o Tinggi dan berat badan perlu diperhatikan dan bila mungkin bila hubungannya dengan tinggi
badan kedua orang tua. Asma sendiri merupakan penyakit yang dapat menghambat
perkembangan anak. Gangguan pertumbuhan biasanya terdapat pada asma yang sangat berat.
Anak perlu diukur tinggi dan berat badannya pada tiap kali kunjungan, karena akibat
pengobatan sering dapat dinilai dari perbaikan pertumbuhannya.
Uji faal paru
Berguna untuk menilai asma meliputi diagnosis dan penatalaksanaannya. Pengukuran faal paru
digunakan untuk menilai :

1. Derajat obstruksi bronkus


2. Menilai hasil provokasi bronkus
3. Menilai hasil pengobatan dan mengikuti perjalanan penyakit.
Pemeriksaan faal paru yang penting pada asma adalah PEFR, FEV1, PVC, FEV1/FVC. Sebaiknya
tiap anak dengan asma di uji faal parunya pada tiap kunjungan. peak flow meter adalah yang
paling sederhana, sedangkan dengan spirometer memberikan data yang lebih lengkap. Volume
kapasitas paksa (FVC), aliran puncak ekspirasi (PEFR) dan rasio FEV1/FVC berkurang > 15%
dari nilai normalnya. Perpanjangan waktu ekspirasi paksa biasanya ditemukan, walaupun PEFR
dan FEV1/FVC hanya berkurang sedikit. Inflasi yang berlebihan biasanya terlihat secara klinis,
akan digambarkan dengan meningginya isi total paru (TLC), isi kapasitas residu fungsional dan
isi residu. Di luar serangan faal paru tersebut umumnya akan normal kecuali pada asma yang
berat. Uji provokasi bronkus dilakukan bila diagnosis masih diragukan. Tujuannya untuk
menunjukkan adanya hiperreaktivitas bronkus. Uji Provokasi bronkus dapat dilakukan dengan :

1. Histamin
2. Metakolin
3. Beban lari
4. Udara dingin
5. Uap air
6. Alergen
Yang sering dilakukan adalah cara nomor 1, 2 dan 3. Hiperreaktivitas positif bila PEFR, FEV1
turun > 15% dari nilai sebelum uji provokasi dan setelah diberi bronkodilator nilai normal akan
tercapai lagi. Bila PEFR dan FEV1 sudah rendah dan setelah diberi bronkodilator naik > 15%
yang berarti hiperreaktivitas bronkus positif dan uji provokasi tidak perlu dilakukan. 1,2,7

Foto rontgen toraks


Tampak corakan paru yang meningkat. Atelektasis juga sering ditemukan. Hiperinflasi terdapat
pada serangan akut dan pada asma kronik. Rontgen foto sinus paranasalis perlu juga bila asmanya
sulit dikontrol.

Pemeriksaan darah eosinofil dan uji tuberkulin


Pemeriksaan eosinofil dalam darah, sekret hidung dan dahak dapat menunjang diagnosis asma.
Dalam sputum dapat ditemukan kristal Charcot-Leyden dan spiral Curshman. Bila ada infeksi
mungkin akan didapatkan leukositosis polimormonuklear.

Uji kulit alergi dan imunologi


1. Komponen alergi pada asma dapat diidentifikasi melalui pemeriksaan uji kulit atau
pengukuran IgE spesifik serum.
2. Uji kulit adalah cara utama untuk mendignosis status alergi/atopi, umumnya dilakukan
dengan prick test. Alergen yang digunakan adalah alergen yang banyak didapat di daerahnya.
Walaupun uji kulit merupakan cara yang tepat untuk diagnosis atopi, dapat juga mendapatkan
hasil positif palsu maupun negative palsu. Sehingga konfirmasi terhadap pajanan alergen
yang relevan dan hubungannya dengan gejala klinik harus selalu dilakukan. Untuk
menentukan hal itu, sebenarnya ada pemeriksaan yang lebih tepat, yaitu uji provokasi bronkus
dengan alergen yang bersangkutan. Reaksi uji kulit alergi dapat ditekan dengan pemberian
antihistamin
3. Pemeriksaan IgE spesifik dapat memperkuat diagnosis dan menentukan penatalaksaannya.
Pengukuran IgE spesifik dilakukan pada keadaan uji kulit tidak dapat dilakukan (antara lain
dermatophagoism, dermatitis/kelainan kulit pada lengan tempat uji kulit dan lain-lain).
Pemeriksaan kadar IgE total tidak mempunyai nilai dalam diagnosis alergi/atopi.

Diagnosis banding asma pada anak :

Pada bayi adanya benda asing di saluran napas dan esophagus atau kelenjar timus yang menekan
trakea.
Penyakit paru kronik yang berhubungan dengan bronkiektasis dan fibrosis kistik.
Kelainan trakea dan bronkus misalnya laringotrakeomalasia dan stenosis bronkus.
Tuberkulosis kelenjar limfe di daerah trakeobronkial
Bronkitis. Tidak ditemukan eosinofilia, suhu biasanya tinggi dan tidak herediter. Bila sering
berulang dan kronik biasanya disebabkan oleh asma.
Bronkiolitis akut, biasanya mengenai anak di bawah umur 2 tahun dan terbanyak di bawah umur 6
bulan dan jarang berulang.
Asma kardial. Sangat jarang pada anak. Dispnea paroksismal terutama malam hari dan biasanya
didapatkan tanda-tanda kelainan jantung.
Asma pada bayi dan anak kecil sering didiagnosis sebagai bronkitis asmatika, wheezy cold, bronkitis
dengan mengi, bronkiolitis berulang dan lain-lainnya. 1

Pengobatan Asma

Pasien asma dapat berada dalam keadaan tenang, tetapi dapat juga dalam keadaan serangan. Serangan
asma dapat ringan, sedang dan berat. Bahkan dapat jatuh dalam keadaan status asmatikus, yakni
serangan asma yang berat dan tidak dapat diatasi dengan obat-obat biasa yang dapat mengatasi
serangan tersebut.

Medikasi asma ditujukan untuk mengatasi dan mencegah gejala obstruksi jalan napas, terdiri dari
pengontrol dan pelega.

1. Pengontrol (controller)
Pengontrol adalah medikasi asma jangka panjang untuk mengontrol asma, diberikan setiap hari
untuk mencapai dan mempertahankan keadaan asma terkontrol pada asma persisten. Pengontrol
sering disebut pencegah. Yang termasuk obat pengontrol :

Kortikosteroid inhalasi
Kortikosteroid sistemik
Sodium kromoglikat
Nedokromil sodium
Metilsantin
Agonis beta-2 kerja lama, inhalasi
Agonis beta-2 kerja lama, oral
Leukotrien modifier

2. Pelega (reliever)
Prinsipnya adalah untuk mendilatasi jalan napas melalui relaksasi otot polos, memperbaiki dan
atau menghambat bronkokonstriksi yang berkaitan dengan gejala akut, seperti mengi, rasa berat di
dada dan batuk, tidak memperbaiki inflamasi jalan napas. Termasuk pelega adalah :

Agonis beta-2 kerja singkat


Kortikosteroid sistemik (steroid sistemik digunakan sebagai obat pelega bila penggunaan
bronkodilator yang lain sudah optimal tetapi hasil belum tercapai, penggunaannya
dikombinasikan dengan bronkodilator lain).
Antikolinergik
Aminofilin
Adrenalin

Medikasi asma dapat diberikan melalui berbagai cara, yaitu inhalasi, oral dan parenteral (subkutan,
intramuskular dan intravena). Kelebihan pemberian medikasi langsung ke jalan napas adalah :

1. Lebih efektif untuk dapat mencapai konsentrasi tinggi di jalan napas


2. Efek sistemik minimal atau dihindarkan
3. Beberapa obat hanya dapat diberikan melalui inhalasi, karena tidak terabsorbsi pada pemberian
oral (antikolinergik dan kromolin). Waktu kerja bronkodilator adalah cepat bila diberikan secara
inhalasi daripada oral.

Serangan asma dan penanggulangannya


o Serangan asma yang ringan biasanya cukup diobati dengan obat bronkodilator oral atau
aerosol, bahkan ada yang demikian ringannya hingga tidak memerlukan pengobatan.
o Serangan asma yang sedang dan akut perlu pengobatan dengan obat yang kerjanya cepat,
misalnya bronkodilator aerosol atau bronkodilator subkutan seperti adrenalin.
o Pada serangan ringan akut tidak diperlukan kortikosteroid tetapi pada serangan ringan kronik
atau serangan sedang mungkin diperlukan tambahan kortikosteroid dan bronkodilator. Pada
serangan sedang oksigen sudah perlu diberikan 12 liter/menit.
o
Pada serangan asma yang berat bila gagal dengan bronkdilator aerosol atau subkutan dan
kortikosteroid perlu teofilin intravena, oksigen dan koreksi keseimbangan cairan, asam-basa
dan elektrolit. Bila upaya-upaya tersebut gagal atau diduga akan gagal, keadaan jiwa anak
mungkin terancam, berarti anak tersebut sudah masuk dalam keadaan status asmatikus.
Penanggulangan status asmatikus
1. Pemberian oksigen dilanjutkan 46 liter/menit.
2. Periksa gas darah dan pasang IVFD cairan 3:1 (glukosa 10% : NaCl 0,9% ditambah KCl 5
Meq/kolf. Koreksi keseimbangan cairan, asam-basa dan elektrolit.
3. Pemberian teofilin dilanjutkan, dengan :
memonitor kadar teofilin darah
Pantau tanda-tanda keracunan teofilin
Bila tidak ada tanda-tanda keracunan teofilin dan keadaan serangan asmanya belum
membaik, mungkin perlu tambahan dosis teofilin.
4. Kortikosteroid yang sudah diberikan diteruskan pemberiannya, bila belum harus diberikan.
Kortikosteroid diberikan intravena, karena sangat diperlukan untuk mempercepat hilangnya
udem dan mengembalikan sensitivitas terhadap bronkodilator.
5. Usaha pengenceran lendir dengan obat mukolitik perlu dipertimbangkan karena biasanya
pada keadaan seperti ini terdapat banyak lender dan lengket di seluruh cabang-cabang
bronkus.
6. Periksa EKG dan roentgen foto toraks.

Pantau tanda-tanda vital, bila terdapat tanda-tanda gagal napas yang mengancam perlu
bantuan pernapasan, bila perlu dirawat di unit perawatan intensif.

Apabila serangan asma baru pada stadium prodromal, maka penggunaan bronkodilator
secepat-cepatnya dan dengan cara yang tepat dengan dosis yang cukup memadai dapat menggagalkan
serangan asma akut (lewis dan farrel, 1985).

Bronkodilator simpatomimetik seperti juga bronkodilator lainnya, disamping dipakai untuk


mengobati serangan asma juga dipakai sebagai obat untuk mengatasi serangan asma. Dianjurkan
memakai beta-2 selektif. Bentuk aerosol (inhalasi) merupakan cara pencegah dan penggagal serangan
asma yang baik dan cepat kerjanya. Simpatomimetik sering dikombinasikan dengan dengan teofilin
peroral. Dengan dosis tengah, efek bronkodilatasinya bersifat aditif sedangkan efek sampingnya lebih
sedikit. Pada penggunaan jangka panjang, misalnya asma kronik atau persisten, teofilin obat tunggal
atau kombinasi dengan simpatomimetik merupakan obat yang harus dipakai lebih dahulu sebelum
ditambah dengan obat lain dalam rangka mencegah kambuhnya serangan asma.

Kortikosteroid merupakan obat penting dalam pencegahan asma dan hendaknya


dipertimbangkan bila hasil pengobatan dengan bronkodilator tidak memadai. Dosis prednison 12
mg/kgBB/hari, biasanya tidaj memberikan efek samping. Pemberian kortikosteroid jangka pendek
pada waktu serangan asma dapat mencegah keadaan yang lebih gawat dan perawatan di rumah sakit
tidak diperlukan. Anak yang telah mendapat terapi kortikosteroid lama dengan dosis rumatan, bila
mendapat serangan asma akut dosis kortikosteroid perlu ditinggikan. Pada asma yang persisten atau
kronik, pemberian kortikosteroid mungkin diperlukan.. Jika terpaksa menggunakan kortikostreroid
jangka panjang harus diberikan secara inhalasi. Pada bayi dan anak kecil serangan asma mungkin
lebih banyak disebabkan oleh udem mukosa dan sekresi bronkus daripada bronkospasme. Pemberian
kortikosteroid mungkin sangat berguna.
Disodium kromogikat (DSCG) inhalasi, salah satu kerjanya adalah mencegah degranulasi sel
mast merupakan onat untuk mencegah serangan asma, terutama bila diberikan secara teratur
(Bernstein, 1981). Bila diberikan sebelum kegiatan jasmani dapat mencegah asma yang diinduksi
aktivitas fisik Pada asma ringan dan sedang efektifitas pencegahannya sama dengan teofilin, efek
samping lebih sedikit (Hambleton dkk 1977, Furukawa dkk 1984).

Obat pencegahan yang ideal untuk anak adalah obat yang diberikan secara oral 12 kali/hari.
Ketotifen yang salah satu kerjanya memperkuat dinding sel mast sehingga mencegah keluarnya
mediator dilaporkan dapat merupakan obat pencegahan peroral yang dapat diberikan 2 kali/hari.

Terapi imnulogik tidak dianjurkan sebagai tindakan rutin (Lichtenstein 1978). Tetapi tindakan
ini yang salah satu tugasnya membentuk antibodi penghalang perlu dipertimbangkan bila tindakan-
tindakan lainnya telah dusahakan semaksimal mungkin dan tidak memberikan hasil.

Penatalaksanaan dan Pencegahan

Tujuan utama penatalaksanaan asma adalah meningkatkan dan mempetahankan kualitas hidup agar
penderita asma dapat hidup normal tanpa hambatan dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Tujuan
penatalaksanaan tersebut merefleksikan pemahaman bahwa asma adalah gangguan kronik progresif
dalam hal inflamasi kronik jalan napas yang menimbulkan hiperresponsif dan obstruksi jalan napas
yang bersifat episodik. Sehingga penatalaksanaan asma dilakukan melalui berbagai pendekatan yang
dapat dilaksanakan, mempunyai manfaat, aman dan terjangkau.

Tujuan penatalaksanaan asma :


1. Menghilangkan dan mengendalikan gejala asma
2. mencegah eksaserbasi akut
3. Meningkatkan dan mempertahankan faal paru seoptimal mungkin
4. Mengupayakan aktivitas normal termasuk latihan fisik
5. Menghindari efek samping obat.
6. Mencegah terjadinya keterbatasan alran udara irreversible
7. Mencegah kematian karena asma
Penatalaksanaan asma berguna untuk mengontrol penyakit. Asma dikatakan terkontrol bila :
1. Gejala minimal (sebaiknya tidak ada), termasuk gejala malam.
2. Tidak ada keterbatasan aktivitas termasuk latihan fisik
3. Kebutuhan bronkodilator (agonis beta2 kerja singkat) minimal (idealnya tidak diperlukan).
4. Variasi harian APE < 20%
5. Nilai APE normal atau mendekati normal
6. Efek samping obat minimal (tidak ada)
7. Tidak ada kunjungan ke unit gawat darurat
.

Integrasi dari pendekatan-pendekatan tersebut dikenal dengan program penatalaksanaan asma,


yang meliputi 7 komponen, yaitu :
1. Edukasi
2. Menilai dan memonitor berat asma secara berkala
3. Identifikasi dan mengendalikan faktor pencetus
4. Merencanakan dan memberikan pengobatan jangka panjang
5. Menetapkan pengobatan pada serangan akut
6. Kontrol secara teratur
7. Pola hidup sehat
Penanggulangan serangan asma pada anak sekarang yang lebih penting ditujukan untuk
mencegah serangan asma bukan untuk mengatasi serangan asma. Pencegahan serangan asma terdiri
atas :

Menghindari faktor-faktor pencetus


Obat-obatan dan terapi imunologi
Penggunaan obat-obatan atau tindakan untuk mencegah dan meredakan atau reaksi-reaksi yang
akan atau sudah timbul oleh pencetus tadi.

Selain itu pula serangan asma sering timbul karena kerja sama berbagai pencetus. Dengan anak
pencetus alergen sering disertai pencetus non alergen yang dapat mempercepat dan memperburuk
serangan asma. Pada 38% kasus William dkk (1958) Faktor pencetusnya adalah alergen dan infeksi.
Diduga infeksi virus memperkuat reaksi terhadap pencetus alergenik maupun nonalergenik.

Berbagai pencetus serangan asma dan cara menghindarinya perlu diketahui dan diajarkan
pada si anak dan keluarganya, debu rumah dan unsur di dalamnya merupakan pencetus yang sering
dijumpai pada anak. Pada 76,5% anak dengan asma yang berobat di poliklinik Subbagian
Pulmonologi Anak Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI RSCM Jakarta, debu rumah diduga sebagai
pencetusnya.

Serangan asma setelah makan atau minum zat yang tidak tahan, dapat terjadi tidak lama
setelah makan, tetapi dapat juga terjadi beberapa waktu setelahnya.

Anggota keluarga yang sedang menderita flu tidak boleh mendekati anak yang asma atau
kalau dekat anak yang asma lebih-lebih bila bicara, batuk atau bersin perlu menutup mulut dan
hidungnya. Hindarkan anak dari perubahan cuaca atau udara yang mendadak, lebih-lebih perubahan
ke arah dingin.

Aktivitas fisik tidak dilarang bahkan dianjurkan tetapi diatur. Jalan yang dapat ditempuh supaya
anak dapat tetap beraktivitas adalah :

1. Menambah toleransi secara bertahap, menghindari percepatan gerak yang mendadak,


Mengalihkan macam kegiatan, misalnya lari, naik ke sepeda, berenang.
2. Bila mulai batuk-batuk istirahat dahulu sebentar, minum air dan kemudian bila batuk-batuk
sudah mereda kegiatan dapat dimulai kembali.
3. Ada beberapa anak yang memerlukan makan obat atau menghirup obat aerosol dahulu
beberapa waktu sebelum kegiatan olahraga.

Komplikasi

Bila serangan asma sering terjadi dan telah berlangsung lama, maka akan terjadi emfisema
dan mengakibatkan perubahan bentuk toraks yaitu toraks membungkuk ke depan dan memanjang.
Pada foto rontgen toraks terlihat diafragma letak rendah, gambaran jantung menyempit, corakan hilus
kiri dan kanan bertambah. Pada asma kronik dan berat dapat terjadi bentuk dada burung dara dan
tampak sulkus Harrison.

Bila sekret banyak dan kental, salah satu bronkus dapat tersumbat sehingga dapat terjadi
atelektasis pada lobus segmen yang sesuai. Bila atelektasis berlangsung lama dapat berubah menjadi
bronkiektasis dan bila ada infeksi terjadi bronkopneumonia. Serangan asma yang terus menerus dan
beberapa hari serta berat dan tidak dapat diatasi dengan obat-obatan disebut status asmatikus. Bila
tidak ditolong dengan semestinya dapat menyebabkan gagal pernapasan, gagal jantung, bahkan
kematian.

Prognosis

Mortalitas akibat asma jumlahnya kecil. Gambaran yang paling akhir menunjukkan kurang
dari 5000 kematian setiap tahun dari populasi beresiko yang jumlahnya kira-kira 10 juta penduduk.
Angka kematian cenderung meningkat di pinggiran kota dengan fasilitas kesehatan terbatas.
Informasi mengenai perjalanan klinis asma menyatakan bahwa prognosis baik ditemukan
pada 5080% pasien, khususnya pasien yang penyakitnya ringan dan timbul pada masa kanak-kanak.
Jumlah anak yang masih menderita asma 710 tahun setelah diagnosis pertama bervariasi dari 26
78% dengan nilai rata-rata 46%, akan tetapi persentase anak yang menderita penyakit yang berat
relatif berat (6 19%). Secara keseluruhan dapat dikatakan 7080% asma anak bila diikuti sampai
dengan umur 21 tahun asmanya sudah menghilang.

Daftar Pustaka

1. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Asma : Pedoman Diagnosis dan Penatalaksaan di Indonesia.
Balai Penerbit FKUI : Jakarta, 2004.
2. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Buku Kuliah 3
Ilmu Kesehatan Anak. Cetakan Ke 7. Percetakan Infomedika : Jakarta, 2002.
3. Isselbacher. Harrison Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit dalam. Edisi 13. Volume 3. Editor Edisi
bahasa Indonesia : Ahmad H. Asdie. Penerbit Buku Kedokteran EGC : Jakarta, 2000.
4. Robbins dkk. Buku Ajar Patologi II. Edisi 4. Alih Bahasa : Staf pengajar Laboratorium Patologi
Anatomik Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. Penerbit Buku Kedokteran EGC : Jakarta,
1995.
5. Adi Utomo Suardi,Dr, SpA (K), dkk, Buku Ajar Respirologi Anak Edisi Pertama. Cetakan
Pertama : Ikatan Dokter Anak Indonesia. Badan Penerbit IDAI : Jakarta, 2008.
6. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Pedoman Nasional Asma Anak . Balai Penerbit FKUI : Jakarta,
2004.

You might also like