Professional Documents
Culture Documents
04011381419167
Asma
Definisi
Menurut Pedoman Nasional Asma Anak (PNAA) 2004, asma adalah mengi berulang dan/atau
batuk persisten (menetap) dengan karakteristik sebagai berikut:
Secara khas, sebagian besar serangan berlangsung singkat selama beberapa menit hingga
beberapa jam setelah itu, pasien tampak mengalami kesembuhan klinik yang total. Namun demikian,
ada suatu fase ketika pasien mengalami obstruksi jalan napas dengan derajat tertentu setiap harinya.
Fase ini dapat ringan dengan atau tanpa disertai episode yang berat atau yang lebih serius lagi, dengan
obstruksi hebat yang berlangsung selama berhari-hari atau berminggu-minggu. Keadaan semacam ini
dikenal sebagai status asmatikus. Pada beberapa keadaan yang jarang ditemui, serangan asma yang
akut dapat berakhir dengan kematian.
Secara umum saluran udara pernapasan adalah sebagai berikut : dari nares anterior menuju ke
cavitas nasalis, choanae, nasopharynx, larynx, trachea, bronchus primarius, bronchus secundus,
bronchus tertius, bronchiolus, bronchiolus terminalis, bronchiolus respiratorius, ductus alveolaris,
atrium alveolaris, sacculus alveolaris, kemudian berakhir pada alveolus tempat terjadinya pertukaran
udara (Budiyanto, dkk, 2005).
Respirasi terdiri dari dua mekanisme, yaitu inspirasi dan ekspirasi. Pada saat inspirasi costa
tertarik ke kranial dengan sumbu di articulatio costovertebrale, diafragma kontraksi turun ke caudal,
sehingga rongga thorax membesar, dan udara masuk karena tekanan dalam rongga thorax yang
membesar menjadi lebih rendah dari tekanan udara luar. Sedangkan ekspirasi adalah kebalikan dari
inspirasi
Respirasi melibatkan otot-otot regular dan otot bantu. Otot reguler bekerja dalam pernapasan
normal, sedang otot bantu atau auxiliar bekerja saat pernapasan sesak. Otot reguler inspirasi : m.
Intercostalis externus, m. Levator costae, m. Serratus posterior superior, dan m. Intercartilagineus.
Otot auxiliar inspirasi : m. Scaleni, m. Sternocleidomastoideus, m. Pectoralis mayor et minor, m.
Latissimus dorsi, m. Serrarus anterior. Otot reguler ekspirasi : m. Intercostalis internus, m.
Subcostalis, m. Tranversus thorachis, m. Serratus posterior inferior. Otot auxiliar ekspirasi : m.
Obliquus externus et internus abdominis, m. Tranversus abdominis, m. Rectus abdominis.
Secara histologis, saluran napas tersusun dari epitel, sel goblet, kelanjar, kartilago, otot polos,
dan elastin. Epitel dari fossa nasalis sampai bronchus adalah bertingkat toraks bersilia, sedang
setelahnya adalah selapis kubis bersilia. Sel goblet banyak terdapat di fossa nasalis sampai bronchus
besar, sedang setelahnya sedikit sampai tidak ada. Kartilago pada trakea berbentuk tapal kuda, pada
bronkiolus tidak ditemukan dan banyak terdapat elastin.
Keadaan inilah yang berpengaruh pada saat terjadinya serangan asma pada para penderita
asma. Saluran napas yang terdiri dari otot polos, dan banyak terdapat sel goblet terutama di bronkus
besar yang mendasari terjadinya proses patofisiologi pada penderita asma.
1. Alergen
Faktor alergi dianggap mempunyai peranan penting pada sebagian besar anak dengan asma
(William dkk 1958, Ford 1969). Disamping itu hiperreaktivitas saluran napas juga merupakan
factor yang penting. Sensitisasi tergantung pada lama dan intensitas hubungan dengan bahan
alergenik sehingga dengan berhubungan dengan umur. Pada bayi dan anak kecil sering
berhubungan dengan isi dari debu rumah. Dengan bertambahnya umur makin banyak jenis
alergen pencetusnya. Asma karena makanan biasanya terjadi pada bayi dan anak kecil.
2. Infeksi
Biasanya infeksi virus, terutama pada bayi dan anak kecil. Virus penyebab biasanya respiratory
syncytial virus (RSV) dan virus parainfluenza. Kadang-kadang juga dapat disebabkan oleh
bakteri, jamur dan parasit.
3. Cuaca
Perubahan tekanan udara (Sultz dkk 1972), suhu udara, angin dan kelembaban (Lopez dan
Salvagio 1980) dihubungkan dengan percepatan dan terjadinya serangan asma.
4. Iritan
Hairspray, minyak wangi, asap rokok, cerutu dan pipa, bau tajam dari cat, SO2, dan polutan udara
yang berbahaya lainnya, juga udara dingin dan air dingin.Iritasi hidung dan batuk dapat
menimbulkan refleks bronkokonstriksi (Mc. Fadden 1980). Udara kering mungkin juga
merupakan pencetus hiperventilasi dan kegiatan jasmani (strauss dkk 1978, Zebailos dkk 1978).
5. Kegiatan jasmani
Kegiatan jasmani yang berat dapat menimbulkan serangan pada anak dengan asma (Goldfrey
1978, Eggleston 1980). Tertawa dan menangis dapat merupakan pencetus. Pada anak dengan faal
paru di bawah normal sangat rentan terhadap kegiatan jasmani.
6. Infeksi saluran napas bagian atas
Disamping infeksi virus saluran napas bagian atas, sinusitis akut dan kronik dapat mempermudah
terjadinya asma pada anak (Rachelesfsky dkk 1978). Rinitis alergi dapat memperberat asma
melalui mekanisme iritasi atau refleks.
7. Refluks gastroesofagitis
Iritasi trakeobronkial karena isi lambung dapat memberatkan asma pada anak dan orang dewasa
(Dess 1974).
8. Psikis
Tidak adanya perhatian dan tidak mau mengakui persoalan yang berhubungan dengan asma oleh
anak sendiri atau keluarganya akan memperlambat atau menggagalkan usaha-usaha pencegahan.
Dan sebaliknya jika terlalu takut terhadap serangan asma atau hari depan anak juga tidak baik,
karena dapat memperberat serangan asma. Membatasi aktivitas anak, anak sering tidak masuk
sekolah, sering bangun malam, terganggunya irama kehidupan keluarga karena anak sering
mendapat serangan asma, pengeluaran uang untuk biaya pengobatan dan rasa khawatir, dapat
mempengaruhi anak asma dan keluarganya.
Faktor Resiko
Berbagai faktor dapat mempengaruhi terjadinya serangan asma, kejadian asma, berat ringannya
penyakit, serta kematian akibat penyakit asma.beberapa faktor tersebut sudah disepakati oleh para
ahli, sedangkan sebagian lain masih dalam penelitian. Faktor-faktor tersebut antara lain :
1. Jenis kelamin, menurut laporan dari beberapa penelitian didapatkan bahwa prevalens asma
pada anak laki-laki sampai usia 10 tahun adalah 1,5 sampai 2 kali lipat anak perempuan.
Namun pada orang dewasa, rasio ini berubah menjadi sebanding antara laki-laki dan
perempuan pada usia 30 tahun.
2. Usia, umumnya pada kebanyakan kasus asma persisten gejala asma timbul pada usia muda,
yaitu pada beberapa tahun pertama kehidupan.
3. Riwayat atopi, adanya riwayat atopi berhubungan dengan meningkatnya resiko asma persisten
dan beratnya asma. Beberapa laporan menunjukan bahwa sensitisasi alergi terhadap alergen
inhalan, susu, telur, atau kacang pada tahun pertama kehidupan, merupakan prediktor
timbulnya asma.
4. Lingkungan, adanya alergen di lingkungan hidup anak meningkatkan resiko penyakit asma,
alergen yang sering mencetuskan asma antara lain adalah serpihan kulit binatang piaraan,
tungau debu rumah, jamur, dan kecoa.
5. Ras, menurut laporan dari amerika serikat, didapatkan bahwa prevalens asma dan kejadian
serangan asma pada ras kulit hitam lebih tinggi daripada kulit putih.
6. Asap rokok, prevalens asma pada anak yang terpajan asap rokok lebih tinggi daripada anak
yang tidak terpajan asap rokok. Resiko terhadap asap rokok sudah dimulai sejak janin dalam
kandungan, umumnya berlangsung terus setelah anak dilahirkan, dan menyebakan
meningkatnya resiko.
7. Outdoor air pollution,
8. Infeksi respiratorik.
Epidemiologi
Penyakit asma merupakan kelainan yang sangat sering ditemukan dan diperkirakan 45% populasi
penduduk di Amerika Serikat terjangkit oleh penyakit ini. Asma bronkial terjadi pada segala usia
tetapi terutama dijumpai pada usia dini. Sekitar separuh kasus timbul sebelum usia 10 tahun dan
sepertiga kasus lainnya terjadi sebelum usia 40 tahun. Pada usia kanak-kanak terdapat predisposisi
laki-laki : perempuan = 2 : 1 yang kemudian menjadi sama pada usia 30 tahun.
Asma merupakan 10 besar penyebab kesakitan dan kematian di Indonesia, hal itu tergambar
dari data studi Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) di berbagai propinsi di Indonesia. SKRT
1986 menunjukkan asma menduduki urutan ke 5 dari 10 penyebab kesakitan bersama-sama dengan
bronkitis kronik dan emfisema. Pada SKRT 1992, asma, bronkitis kronik dan emfisema sebagai
penyebab kematian ke 4 di Indonesia atau sebesar 5,6%. Tahun 1995, prevalensi asma di Indonesia
sekitar 13 per 1.000 penduduk, dibandingkan bronkitis kronik 11 per 1.000 penduduk dan obstruksi
paru 2 per 1.000 penduduk.
Kira-kira 220% populasi anak dilaporkan pernah menderita asma. Belum ada penyelidikan
menyeluruh mengenai angka kejadian asma pada anak di Indonesia, namun diperkirakan berkisar
antara 510%. Dilaporkan di beberapa negara angka kejadian asma meningkat, misalnya di Jepang.
Australia dan Taiwan. Di poliklinik Subbagian Paru Anak FKUI-RSCM Jakarta, lebih dari 50%
kunjungan merupakan penderita asma. Jumlah kunjungan di poliklinik Subbagian Paru Anak berkisar
antara 12.00013.000 atau rata-rata 12.324 kunjungan pertahun. Pada tahun 1985 yang perlu
mendapat perawatan karena serangan asma yang berat ada 5 anak, 2 anak di antaranya adalah pasien
poliklinik paru. Sedang yang lainnya dikirim oleh dokter luar. Tahun 1986 hanya terdapat 1 anak dan
pada tahun 1987 terdapat 1 anak yang dirawat karena serangan asma yang berat.
Woolcock dan Konthen pada tahun 1990 di Bali mendapatkan prevalensi asma pada anak
dengan hiperreaktivitas bronkus 2,4% dan hiperreaktivitas bronkus serta gangguan faal paru adalah
0,7%. Studi pada anak usia SLTP di Semarang dengan menggunakan kuisioner International Study of
Asthma and Allergies in Childhood (ISAAC), didapatkan hasil dari 402 kuisioner yang kembali
dengan rata-rata umur 13,8 0,8 tahun didapatkan prevalensi asma (gejala asma 12 bulan
terakhir/recent asthma), 6,2% dari 64% diantaranya mempunyai gejala klasik. Bagian anak FKUI-
RSCM melakukan studi prevalensi asma pada anak usia SLTP di Jakarta pusat pada 19951996
dengan mengunakan kuisioner modifikasi dari ATS, ISAAC dan Robertson, serta melakukan uji
provokasi bronkus secara acak. Seluruhnya 1.296 siswa dengan usia 11 tahun 5 bulan 18 tahun 4
bulan, didapatkan 14,7% dengan riwayat asma dan 5,8% dengan recent asthma. Tahun 2001, Yunus
dkk melakukan studi prevalensi asma pada siswa SLTP se Jakarta Timur, sebanyak 2.234 anak usia
1314 tahun melalui kuisioner ISAAC, pemeriksaan spirometri dan uji provokasi bronkus pada
sebagian subjek yang dipilih secara acak. Dari studi tersebut didapatkan prevalensi asma (recent
asthma) 8,9% dan prevalensi kumulatif (riwayat asma) 11,5%.
Tahun 1993 UPF Paru RSUD dr. Sutomo Surabaya melakukan penelitian di lingkungan 37
puskesmas di Jawa Timur dengan menggunakan kuisioner modifikasi ATS, yaitu proyek pneumobile
Indonesia dan Respiratory Sympton questioner of Institute of Respiratory Medicine, New South Wales
dan pemeriksaan arus puncak ekspirasi (APE) menggunakan alat peak flow meter dan uji
bronkodilator. Seluruhnya 6662 responden usia 13 70 tahun (rata-rata 35,6 tahun) mendapatkan
prevalensi asma sebesar 7,7 % dengan rincian laki-laki 9,2 % dan perempuan 6,6 %.
Patogenesis Asma
Asma merupakan inflamasi kronik saluran napas. Berbagai sel inflamasi berperan, terutama sel mast,
eosinofil, limfosit T, makrofag, neutrofil, sel epitel. Faktor lingkungan dan berbagai faktor lain
berperan sebagai penyebab atau pencetus inflamasi saluran napas pada penderita asma. Selama 30
tahun terakhir, konsep inflamasi kronis sebagai hal yang berperan penting pada patogenesis asma,
telah dibuktikan dengan penelitian-penelitian. GINA (Global Initiative for Asma) dengan jelas
menggambarkan konsep inflamasi pada asma merupakan suatu proses inflamasi kronis yang khas,
melibatkan dinding saluran respiratorik, dan menyebabkan terbatasnya aliran udara serta
meningkatnya reaktivitas saluran respiratori. Dalam proses ini terjadi hal-hal sebagai berikut :
1. Inflamasi akut
Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor antara lain virus, iritan, alergen
yang dapat menginduksi respons inflamasi akut.
2. Inflamasi kronik
Asma yang berlanjut yang tidak dobati atau kurang terkontrol berhubungan dengan inflamasi di
dalam dan disekitar bronkus. Berbagai sel terlibat dan teraktivasi, seperti limfosit T, eosinofil,
makrofag, sel mast, sel epitel, fibroblas dan otot polos bronkus. Pada otopsi ditemukan infiltrasi
bronkus oleh eosinofil dan sel mononuklear. Sering ditemukan sumbatan bronkus oleh mukus
yang lengket dan kental. Sumbatan bronkus oleh mukus ini bahkan dapat terlihat sampai alveoli.
Infiltrasi eosinofil dan sel-sel mononuklear terjadi akibat factor kemotaktik dari sel mast seperti
ECF-A dan LTB4. Mediator PAF yang dihasilkan oleh sel mast, basofil dan makrofag yang dapat
menyebabkan hipertrofi otot polos dan kerusakan mukosa bronkus serta menyebabkan
bronkokonstriksi yang lebih kuat. Kortikosteroid biasanya memberikan hasil yang baik. Diduga,
ketotifen dapat juga mencegah fase ketiga ini.
Airway remodeling
Pada asma terdapat saling ketergantungan antara proses inflamasi dan remodeling. Infiltrasi sel-
sel inflamasi terlibat dalam proses remodeling, juga komponen lainnya seperti matriks
ekstraselular, membran retikular basal, matriks interstitial, fibrogenic growth factor, protease dan
inhibitornya, pembuluh darah, otot polos, kelenjar mukus. Perubahan struktur yang terjadi :
Gambaran makroskopik yang penting dari asma yang lanjut adalah : (1) Mukus penyumbat
dalam bronki, (2) Inflasi paru yang berlebihan, tetapi bukan emfisema yang nyata, dan (3) Kadang-
kadang terdapat daerah bronkiektasis terutama dalam kasus yang berhubungan dengan aspergilosis.
Jalan udara seringkali tersumbat oleh mukus, yang terdiri dari sel yang mengalami deskuamasi. Musin
sering mengandung komponen seroprotein yang timbul dari reaksi peradangan hebat dalam
submukosa. Dinding bronki tampak lebih tebal dari biasa. Apabila eksudat supuratif terdapat dalam
lumen, maka superinfeksi dan bronkitis harus diwaspadai.
Secara mikroskopik terdapat hiperplasia dari kelenjar mucus, bertambah tebalnya otot polos
bronkus dan hipertofi serta hiperplasia dari sel goblet mukosa. Daerah-daerah yang tidak mengandung
epitel respirasi sering ditemukan, ditambah dengan edema subepitel. Pertambahan jumlah limfosit
peradangan yang agak banyak, terutama eosinofil terdapat pada mukosa yang edema. Sumbatan di
dalam jalan napas mengandung : (1) Gulungan sel epitel yang lepas dan sekret protein yang
membentuk spiral Curschmann, (2) Eosinofil yang padat dengan kristal Charcot-Leyden, (3) kristal
Charcot-Leyden bebas yang dilepaskan oleh eosinofil, dan (4) Debris seluler. Superinfeksi bakteri
dapat membentuk perubahan anatomi kearah bronkitis.4
Gambar. Bronkus yang menyempit akibat proses inflamasi pada asma
Patofisiologi Asma
Klasifikasi
Pembagian derajat penyakit asma yang dibuat oleh Phelan dkk, (dikutip dari Konsensus Pediatri
Internasional III tahun 1998). Klasifikasi ini membagi derajat asma menjadi 3 (tiga), yaitu sebagai
berikut :
Pemeriksaan fisik di luar serangan tergantung pada frekuensi serangan. Jika waktu serangan
lebih dari 12 minggu, biasanya tidak ditemukan kelainan fisik. Hay fever dan eksim dapat
ditemukan pada golongan ini. Pada golongan ini jarang ditemukan gangguan pertumbuhan.
Pada umur dewasa muda 50% dari golongan ini tetap menderita asma persisten atau sering.
Jarang yang betul-betul bebas mengi pada umur dewasa muda. Pada pemeriksaan fisik dapat
terjadi perubahan bentuk toraks seperti dada burung (pigeon chest), dada tong (barrel chest) dan
terdapat sulkus Harrison. Pada golongan ini dapat terjadi gangguan pertumbuhan, yaitu bertubuh
kecil. Kemampuan aktivitas fisiknya sangat berkurang, sering tidak dapat melakukan kegiatan
olahraga dan kegiatan biasa lainnya. Sebagian kecil ada juga yang mengalami gangguan
psikososial.
Selain itu juga pembagian asma menurut GINA adalah sebagai berikut :
Pada umumnya penderita sudah dalam pengobatan, dan pengobatan yang telah berlangsung seringkali
tidak adekuat. Pengobatan akan mengubah gambaran klinis bahkan faal paru, oleh karena itu penilaian
berat asma pada penderita dalam pengobatan juga harus mempertimbangkan pengobatan itu sendiri.
Gejala asma terdiri dari trias asma : dispnea, batuk dan mengi. Pada bentuk yang paling khas, asma
merupakan penyakit episodik dan keseluruhan tiga gejala tersebut dapat timbul bersama-sama.
Berhentinya episode asma kerapkali ditandai dengan batuk yang menghasilkan lendir atu mukus yang
lengket seperti benang yang liat.
Pada serangan asma ringan:
Kesadaran: kebingungan.
Nyata terdapat sianosis (kebiruan pada kulit atau membran mukosa).
Mengi sulit atau tidak terdengar.
Penggunaan otot bantu pernafasan: terdapat gerakan paradoks torakoabdominal.
Retraksi dangkal/hilang.
Frekuensi nafas: lambat (bradipnea).
Frekuensi nadi: lambat (bradikardi).
Tidak ada pulsus paradoksus; tanda kelelahan otot nafas.
Diagnosis
Studi epidemiologi menunjukkan bahwa asma tidak terdiagnosis di seluruh dunia, disebabkan
berbagai hal antara lain gambaran klinis yang tidak khas dan beratnya penyakit yang sangat
bervariasi, serta gejala yang bersifat episodik sehingga penderita tidak merasa perlu berobat ke dokter.
Diagnosis asma didasari oleh gejala yang bersifat episodik, gejala berupa batuk, sesak napas, mengi,
rasa berat di dada dan variabilitas yang berkaitan dengan cuaca. Anamnesis yang baik cukup untuk
menegakkan diagnosis, ditambah dengan pemeriksaan jasmani dan pengukuran faal paru terutama
reversibiltas kelainan faal paru akan lebih meningkatkan nilai diagnostik.
Serangan batuk dan mengi yang berulang lebih nyata pada malam hari atau bila ada beban
fisik sangat karakteristik untuk asma. Walaupun demikian cukup banyak asma anak dengan batuk
kronik berulang, terutama terjadi pada malam hari ketika hendak tidur, disertai sesak, tetapi tidak jelas
mengi dan sering didiagnosis bronkitis kronik. Pada anak yang demikian, yang sudah dapat dilakukan
uji faal paru (provokasi bronkus) sebagian besar akan terbukti adanya sifat-sifat asma.
Batuk malam yang menetap dan yang tidak tidak berhasil diobati dengan obat batuk biasa dan
kemudian cepat menghilang setelah mendapat bronkodilator, sangat mungkin merupakan bentuk
asma.
Pemeriksaan fisik
o Gejala asma bervariasi sepanjang hari sehingga pada asma ringan dan sedang tidak ditemukan
kelainan fisik di luar serangan.
o Pada inspeksi terlihat pernapasan cepat dan sukar, disertai batuk-batuk paroksismal, kadang-
kadang terdengar suara mengi, ekspirasi memanjang, terlihat retraksi daerah supraklavikular,
suprasternal, epigastrium dan sela iga. Pada asma kronik bentuk toraks emfisematous,
bongkok ke depan, sela iga melebar, diameter anteroposterior toraks bertambah.
o Pada perkusi terdengar hipersonor seluruh toraks, terutama bagian bawah posterior. Daerah
pekak jantung dan hati mengecil.
o Pada auskultasi bunyi napas kasar/mengeras, pada stadium lanjut suara napas melemah atau
hampir tidak terdengar karena aliran udara sangat lemah. Terdengar juga ronkhi kering dan
ronkhi basah serta suara lender bila sekresi bronkus banyak.
o Pada serangan ringan, mengi hanya terdengar pada waktu ekspirasi paksa. Mengi dapat tidak
terdengar (silent chest) pada serangan yang sangat berat disertai gejala sianosis, gelisah, sukar
bicara, takikardi, hiperinflasi dan penggunaan obat bantu napas.
o Tinggi dan berat badan perlu diperhatikan dan bila mungkin bila hubungannya dengan tinggi
badan kedua orang tua. Asma sendiri merupakan penyakit yang dapat menghambat
perkembangan anak. Gangguan pertumbuhan biasanya terdapat pada asma yang sangat berat.
Anak perlu diukur tinggi dan berat badannya pada tiap kali kunjungan, karena akibat
pengobatan sering dapat dinilai dari perbaikan pertumbuhannya.
Uji faal paru
Berguna untuk menilai asma meliputi diagnosis dan penatalaksanaannya. Pengukuran faal paru
digunakan untuk menilai :
1. Histamin
2. Metakolin
3. Beban lari
4. Udara dingin
5. Uap air
6. Alergen
Yang sering dilakukan adalah cara nomor 1, 2 dan 3. Hiperreaktivitas positif bila PEFR, FEV1
turun > 15% dari nilai sebelum uji provokasi dan setelah diberi bronkodilator nilai normal akan
tercapai lagi. Bila PEFR dan FEV1 sudah rendah dan setelah diberi bronkodilator naik > 15%
yang berarti hiperreaktivitas bronkus positif dan uji provokasi tidak perlu dilakukan. 1,2,7
Pada bayi adanya benda asing di saluran napas dan esophagus atau kelenjar timus yang menekan
trakea.
Penyakit paru kronik yang berhubungan dengan bronkiektasis dan fibrosis kistik.
Kelainan trakea dan bronkus misalnya laringotrakeomalasia dan stenosis bronkus.
Tuberkulosis kelenjar limfe di daerah trakeobronkial
Bronkitis. Tidak ditemukan eosinofilia, suhu biasanya tinggi dan tidak herediter. Bila sering
berulang dan kronik biasanya disebabkan oleh asma.
Bronkiolitis akut, biasanya mengenai anak di bawah umur 2 tahun dan terbanyak di bawah umur 6
bulan dan jarang berulang.
Asma kardial. Sangat jarang pada anak. Dispnea paroksismal terutama malam hari dan biasanya
didapatkan tanda-tanda kelainan jantung.
Asma pada bayi dan anak kecil sering didiagnosis sebagai bronkitis asmatika, wheezy cold, bronkitis
dengan mengi, bronkiolitis berulang dan lain-lainnya. 1
Pengobatan Asma
Pasien asma dapat berada dalam keadaan tenang, tetapi dapat juga dalam keadaan serangan. Serangan
asma dapat ringan, sedang dan berat. Bahkan dapat jatuh dalam keadaan status asmatikus, yakni
serangan asma yang berat dan tidak dapat diatasi dengan obat-obat biasa yang dapat mengatasi
serangan tersebut.
Medikasi asma ditujukan untuk mengatasi dan mencegah gejala obstruksi jalan napas, terdiri dari
pengontrol dan pelega.
1. Pengontrol (controller)
Pengontrol adalah medikasi asma jangka panjang untuk mengontrol asma, diberikan setiap hari
untuk mencapai dan mempertahankan keadaan asma terkontrol pada asma persisten. Pengontrol
sering disebut pencegah. Yang termasuk obat pengontrol :
Kortikosteroid inhalasi
Kortikosteroid sistemik
Sodium kromoglikat
Nedokromil sodium
Metilsantin
Agonis beta-2 kerja lama, inhalasi
Agonis beta-2 kerja lama, oral
Leukotrien modifier
2. Pelega (reliever)
Prinsipnya adalah untuk mendilatasi jalan napas melalui relaksasi otot polos, memperbaiki dan
atau menghambat bronkokonstriksi yang berkaitan dengan gejala akut, seperti mengi, rasa berat di
dada dan batuk, tidak memperbaiki inflamasi jalan napas. Termasuk pelega adalah :
Medikasi asma dapat diberikan melalui berbagai cara, yaitu inhalasi, oral dan parenteral (subkutan,
intramuskular dan intravena). Kelebihan pemberian medikasi langsung ke jalan napas adalah :
Pantau tanda-tanda vital, bila terdapat tanda-tanda gagal napas yang mengancam perlu
bantuan pernapasan, bila perlu dirawat di unit perawatan intensif.
Apabila serangan asma baru pada stadium prodromal, maka penggunaan bronkodilator
secepat-cepatnya dan dengan cara yang tepat dengan dosis yang cukup memadai dapat menggagalkan
serangan asma akut (lewis dan farrel, 1985).
Obat pencegahan yang ideal untuk anak adalah obat yang diberikan secara oral 12 kali/hari.
Ketotifen yang salah satu kerjanya memperkuat dinding sel mast sehingga mencegah keluarnya
mediator dilaporkan dapat merupakan obat pencegahan peroral yang dapat diberikan 2 kali/hari.
Terapi imnulogik tidak dianjurkan sebagai tindakan rutin (Lichtenstein 1978). Tetapi tindakan
ini yang salah satu tugasnya membentuk antibodi penghalang perlu dipertimbangkan bila tindakan-
tindakan lainnya telah dusahakan semaksimal mungkin dan tidak memberikan hasil.
Tujuan utama penatalaksanaan asma adalah meningkatkan dan mempetahankan kualitas hidup agar
penderita asma dapat hidup normal tanpa hambatan dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Tujuan
penatalaksanaan tersebut merefleksikan pemahaman bahwa asma adalah gangguan kronik progresif
dalam hal inflamasi kronik jalan napas yang menimbulkan hiperresponsif dan obstruksi jalan napas
yang bersifat episodik. Sehingga penatalaksanaan asma dilakukan melalui berbagai pendekatan yang
dapat dilaksanakan, mempunyai manfaat, aman dan terjangkau.
Selain itu pula serangan asma sering timbul karena kerja sama berbagai pencetus. Dengan anak
pencetus alergen sering disertai pencetus non alergen yang dapat mempercepat dan memperburuk
serangan asma. Pada 38% kasus William dkk (1958) Faktor pencetusnya adalah alergen dan infeksi.
Diduga infeksi virus memperkuat reaksi terhadap pencetus alergenik maupun nonalergenik.
Berbagai pencetus serangan asma dan cara menghindarinya perlu diketahui dan diajarkan
pada si anak dan keluarganya, debu rumah dan unsur di dalamnya merupakan pencetus yang sering
dijumpai pada anak. Pada 76,5% anak dengan asma yang berobat di poliklinik Subbagian
Pulmonologi Anak Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI RSCM Jakarta, debu rumah diduga sebagai
pencetusnya.
Serangan asma setelah makan atau minum zat yang tidak tahan, dapat terjadi tidak lama
setelah makan, tetapi dapat juga terjadi beberapa waktu setelahnya.
Anggota keluarga yang sedang menderita flu tidak boleh mendekati anak yang asma atau
kalau dekat anak yang asma lebih-lebih bila bicara, batuk atau bersin perlu menutup mulut dan
hidungnya. Hindarkan anak dari perubahan cuaca atau udara yang mendadak, lebih-lebih perubahan
ke arah dingin.
Aktivitas fisik tidak dilarang bahkan dianjurkan tetapi diatur. Jalan yang dapat ditempuh supaya
anak dapat tetap beraktivitas adalah :
Komplikasi
Bila serangan asma sering terjadi dan telah berlangsung lama, maka akan terjadi emfisema
dan mengakibatkan perubahan bentuk toraks yaitu toraks membungkuk ke depan dan memanjang.
Pada foto rontgen toraks terlihat diafragma letak rendah, gambaran jantung menyempit, corakan hilus
kiri dan kanan bertambah. Pada asma kronik dan berat dapat terjadi bentuk dada burung dara dan
tampak sulkus Harrison.
Bila sekret banyak dan kental, salah satu bronkus dapat tersumbat sehingga dapat terjadi
atelektasis pada lobus segmen yang sesuai. Bila atelektasis berlangsung lama dapat berubah menjadi
bronkiektasis dan bila ada infeksi terjadi bronkopneumonia. Serangan asma yang terus menerus dan
beberapa hari serta berat dan tidak dapat diatasi dengan obat-obatan disebut status asmatikus. Bila
tidak ditolong dengan semestinya dapat menyebabkan gagal pernapasan, gagal jantung, bahkan
kematian.
Prognosis
Mortalitas akibat asma jumlahnya kecil. Gambaran yang paling akhir menunjukkan kurang
dari 5000 kematian setiap tahun dari populasi beresiko yang jumlahnya kira-kira 10 juta penduduk.
Angka kematian cenderung meningkat di pinggiran kota dengan fasilitas kesehatan terbatas.
Informasi mengenai perjalanan klinis asma menyatakan bahwa prognosis baik ditemukan
pada 5080% pasien, khususnya pasien yang penyakitnya ringan dan timbul pada masa kanak-kanak.
Jumlah anak yang masih menderita asma 710 tahun setelah diagnosis pertama bervariasi dari 26
78% dengan nilai rata-rata 46%, akan tetapi persentase anak yang menderita penyakit yang berat
relatif berat (6 19%). Secara keseluruhan dapat dikatakan 7080% asma anak bila diikuti sampai
dengan umur 21 tahun asmanya sudah menghilang.
Daftar Pustaka
1. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Asma : Pedoman Diagnosis dan Penatalaksaan di Indonesia.
Balai Penerbit FKUI : Jakarta, 2004.
2. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Buku Kuliah 3
Ilmu Kesehatan Anak. Cetakan Ke 7. Percetakan Infomedika : Jakarta, 2002.
3. Isselbacher. Harrison Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit dalam. Edisi 13. Volume 3. Editor Edisi
bahasa Indonesia : Ahmad H. Asdie. Penerbit Buku Kedokteran EGC : Jakarta, 2000.
4. Robbins dkk. Buku Ajar Patologi II. Edisi 4. Alih Bahasa : Staf pengajar Laboratorium Patologi
Anatomik Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. Penerbit Buku Kedokteran EGC : Jakarta,
1995.
5. Adi Utomo Suardi,Dr, SpA (K), dkk, Buku Ajar Respirologi Anak Edisi Pertama. Cetakan
Pertama : Ikatan Dokter Anak Indonesia. Badan Penerbit IDAI : Jakarta, 2008.
6. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Pedoman Nasional Asma Anak . Balai Penerbit FKUI : Jakarta,
2004.