You are on page 1of 14

IMAM A.

MUHAMMAD
04011381419143
GAMMA 2014

LEARNING ISSUE ASMA

A. Definisi
Asma adalah gangguan inflamasi kronik pada saluran napas dengan berbagai sel yang
berperan, khususnya sel mast, eosinofil dan limfosit T. Pada individu yang rentan
inflamasi, mengakibatkan gejala episode mengi yang berulang, sesak napas, dada terasa
tertekan, dan batuk khususnya pada malam atau dini hari. Gejala ini berhubungan dengan
obstruksi saluran napas yang luas dan bervariasi dengan sifat sebagian reversibel baik
secara spontan maupun dengan pengobatan. Inflamasi ini juga berhubungan dengan
hipereaktivitas jalan napas terhadap berbagai rangsangan (GINA, 2015).

B. Patofisiologi
Penyakit asma merupakan proses inflamasi dan hipereaktivitas saluran napas yang akan
mempermudah terjadinya obstruksi jalan napas. Kerusakan epitel saluran napas, gangguan
saraf otonom, dan adanya perubahan pada otot polos bronkus juga diduga berperan pada
proses hipereaktivitas saluran napas. Peningkatan reaktivitas saluran nafas terjadi karena
adanya inflamasi kronik yang khas dan melibatkan dinding saluran nafas, sehingga aliran
udara menjadi sangat terbatas tetapi dapat kembali secara spontan atau setelah pengobatan.
Hipereaktivitas tersebut terjadi sebagai respon terhadap berbagai macam rangsang.
Dikenal dua jalur untuk bisa mencapai keadaan tersebut. Jalur imunologis yang terutama
didominasi oleh IgE dan jalur saraf otonom. Pada jalur yang didominasi oleh IgE,
masuknya alergen ke dalam tubuh akan diolah oleh APC, kemudian hasil olahan alergen
akan dikomunikasikan kepada sel Th terutama Th2 . Sel Th inilah yang akan memberikan
intruksi melalui interleukin atau sitokin agar sel-sel plasma membentuk IgE, sel-sel radang
lain seperti mastosit, makrofag, sel epitel, eosinofil, neutrofil, trombosit serta limfosit
untuk mengeluarkan mediator inflamasi seperti histamin, prostaglandin (PG), leukotrien
(LT), platelet activating factor (PAF), bradikinin, tromboksin (TX), dan lain-lain. Sel-sel
ini bekerja dengan mempengaruhi organ sasaran yang dapat menginduksi kontraksi otot
polos saluran pernapasan sehingga menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding
vaskular, edema saluran napas, infiltrasi sel-sel radang, hipersekresi mukus, keluarnya
plasma protein melalui mikrovaskuler bronkus dan fibrosis sub epitel sehingga
menimbulkan hipereaktivitas saluran napas. Faktor lainnya yang dapat menginduksi
pelepasan mediator adalah obat-obatan, latihan, udara dingin, dan stress.
Selain merangsang sel inflamasi, terdapat keterlibatan sistem saraf otonom pada jalur non-
alergik dengan hasil akhir berupa inflamasi dan hipereaktivitas saluran napas. Inhalasi
alergen akan mengaktifkan sel mast intralumen, makrofag alveolar, nervus vagus dan
mungkin juga epitel saluran napas. Reflek bronkus terjadi karena adanya peregangan
nervus vagus, sedangkan pelepasan mediator inflamasi oleh sel mast dan makrofag akan
membuat epitel jalan napas lebih permeabel dan memudahkan alergen masuk ke dalam
submukosa, sehingga meningkatkan reaksi yang terjadi. Keterlibatan sel mast tidak
ditemukan pada beberapa keadaan seperti pada hiperventilasi, inhalasi udara dingin, asap,
kabut dan SO2. Reflek saraf memegang peranan pada reaksi asma yang tidak melibatkan
sel mast. Ujung saraf eferen vagal mukosa yang terangsang menyebabkan dilepasnya
neuropeptid sensorik senyawa P, neurokinin A dan calcitonin Gene-Related Peptide
(CGRP). Neuropeptida itulah yang menyebabkan terjadinya bronkokontriksi, edema
bronkus, eksudasi plasma, hipersekresi lendir, dan aktivasi sel-sel inflamasi.

C. Etiologi dan Faktor Risiko


1. Faktor Predisposisi
Genetik merupakan faktor predisposisi penting pada penderita asma. Penderita asma
biasanya mempunyai keluarga dekat yang juga menderita penyakit alergi lain, seperti
dermatitis atopik pada kasus Ny, Yati. Selain itu, hipersensitifitas saluran napas juga
dipengaruhi oleh faktor genetik.
2. Faktor Presipitasi
1) Alergen
- Inhalan : debu, bulu binatang, bau menyengat, dll
- Ingestan : makanan, obat-obatan, dll
- Kontaktan : perhiasan, jam tangan, dll
2) Perubahan cuaca
Atmosfir yang mendadak dingin, seperti cuaca lembab atau hawa pegunungan,
merupakan faktor pemicu terjadinya asma. Oleh karena itu, serangan asma
umumnya terkait dengan musim (musim hujan, musim kemarau, musim bunga)
karena berhubungan dengan arah angin, serbuk bunga, dan debu.
3) Stress
Stress atau gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma, juga
memperberat serangan asma yang sudah ada.
4) Lingkungan kerja
Lingkungan kerja yang mempengaruhi asma umumnya terlihat apabila pada waktu
libur atau cuti gejala asma membaik. Lingkungan kerja yang biasanya menjadi
faktor pencetus seperti lalu lintas, pabrik asbes, dll.
5) Olahraga/aktivitas jasmani yang berat
Olahraga yang paling cepat memicu asma adalah lari dan umumnya serangan
terjadi segera setelah aktivitas selesai dilakukan.
D. Klasifikasi
Tabel Derajat Berat Serangan Asma (GINA, 2015)

Tabel Tingkat Kontrol Asma (GINA, 2015)

E. Diagnosis Banding
1. PPOK
2. Bronkitis kronik
3. Asma bronkiale
4. Obstruksi mekanis
F. Penegakan Diagnosis

G. Tatalaksana
Algoritma Penatalaksanaan Serangan Asma

Obat pelega napas (relievers) dan pencegah serangan (controllers)


2
Semua tahapan: ditambahkan agonis beta-2 kerja singkat untuk pelega bila
dibutuhkan, tidak melebihi 3-4 kali sehari.
Berat Asma Medikasi pengontrol Alternatif / Pilihan lain Alternatif lain
harian
Asma Tidak perlu -------- -------
Intermiten
Asma Persisten Glukokortikosteroid Teofilin lepas lambat ------
Ringan inhalasi Kromolin
(200-400 ug BD/hari Leukotriene modifiers
atau ekivalennya)
Asma Persisten Kombinasi inhalasi Glukokortikosteroid Ditambah agonis
Sedang glukokortikosteroid inhalasi (400-800 ug BD beta-2 kerja lama
(400-800 ug BD/hari atau ekivalennya) oral, atau
atau ekivalennya) dan ditambah Teofilin lepas
agonis beta-2 kerja lama lambat ,atau Ditambah teofilin
Glukokortikosteroid lepas lambat
inhalasi (400-800 ug BD
atau ekivalennya)
ditambah agonis beta-2
kerja lama oral, atau

Glukokortikosteroid
inhalasi dosis tinggi
(>800 ug BD atau
ekivalennya) atau

Glukokortikosteroid
inhalasi (400-800 ug BD
atau ekivalennya)
ditambah leukotriene
modifiers

Asma Persisten Kombinasi inhalasi Prednisolon/


Berat glukokortikosteroid metilprednisolon oral
(> 800 ug BD atau selang sehari 10 mg
ekivalennya) dan agonis ditambah agonis beta-2
beta-2 kerja lama, kerja lama oral, ditambah
ditambah 1 di bawah teofilin lepas lambat
ini:
- teofilin lepas lambat
- leukotriene modifiers
- glukokortikosteroid
oral
Semua tahapan : Bila tercapai asma terkontrol, pertahankan terapi paling tidak 3 bulan,
kemudian turunkan bertahap sampai mencapai terapi seminimal mungkin dengan
kondisi asma tetap terkontrol
ANALISIS MASALAH

1. Bagaimana initial assessment pada kasus ini?


Primary survey Penilaian Kasus

Airway Lihat Pergerakan dinding Tidak ada masalah


dada
Dengarkan suara nafas Dijumpai mengi (curiga
tidak lazim obstruksi saluran nafas
bawah /asma)

Dengarkan pasien apakah Pasien bisa bicara (jalan


dapat berbicara, menangis, nafas paten atau ada
batuk obstruksi parsial)

Breathing Laju pernafasan Meningkat (30x/menit)

Abnormalitas trakea dan Normal


thoraks
Pemakaian otot tambahan Retraksi subcostae

Auskultasi nafas Vesikuler, wheezing


(Obstruksi saluran nafas
Bawah)

Adakah tanda trauma dada Tidak ada keterangan

Memasang pulse oximeter Hipoksemia (90%)

Circulation Sumber perdarahan Tidak ada

Nadi 102x/menit (meningkat)

Tekanan darah 120/80 (normal)

Warna kulit Tidak ada keterangan

Kesimpulan : pasien mengalami respiratory distress akibat adanya obstruksi pada


saluran nafas bawah.
Gambar 1. Alur Diagnosis Asma.

2. Bagaimana interpretasi dari pemeriksaan laboratorium serta mekanisme


abnormalnya?
Indikator Pada Pasien Nilai Rujukan Interpretasi

Hemoglobin (Hb) 12,5 gr% 12-15 gr% Dalam batas normal

WBC 8000/mm3 5000-10000/mm3 Dalam batas normal

Diff count 0/5/6/70/18/1 Basofil : 0-1% Peningkatan kadar


Eosinofil : 1-3 % eosinofil
Neutrofil
Batang : 2-6%
Segmen : 50-70%
Limfosit: 20-40%
Monosit : 2-8%
LED 20 mm/jam Wintrobe: 0-20 Normal
mm/jam
Westergren: 0-15
mm/jam

Peningkatan kadar eosinofil


Adanya faktor pencetus non IgE (kelelahan, dan lain-lain) yang masuk
menyebabkan aktivasi dari sel mast dan Th2 di saluranan napas sekresi
mediator inflamasi dan sitokin seperti IL-5 merangsang diferensiasi
eosinofil di sumsum tulang peningkatan eusinofil yang bersirkulasi.
IgE (alergi) memecah sel eosinofil sekresi mediator inflamasi.

3. Bagaimana interpretasi dari pemeriksaan spirometri?

Pemeriksaan Spirometri tanggal 10 April 2016


Pemeriksaan Prediksi Hasil % Normal Intepretasi
VEP 1 2,505 1,68 67 >80%
pred (N)
KVP 3,121 2,81 95 >80% Normal
pred (N)
VEP 1 / KVP 78 60 69 N (>75%)
Dari pemeriksaan spirometri, Ny.N mengalami gangguan obstruksi pada paru.
Dimana didapatkan VEP1< 80% nilai prediksi, VEP1/KVP< 75% nilai prediksi.
Pada pemeriksaan tanggal 10 April 2016 (sebelum dilakukan tatalaksana asma),
VEP1 dan VEP1/KVP Ny.N rendah. Hal ini membuktikan bahwa Ny.N sulit
untuk menghembuskan nafas dalam 1 detik pertama, yang berarti adanya
obstruksi saluran nafas bawah, sehingga eksipirasi lebih sulit dan lama. KVP
normal dikarenakan pada kasus obstruksi, total udara yang dapat disimpan
dalam paru-paru tetap normal, sehingga saat melakukan tes KVP hasilnya
normal, hanya kemungkinan waktu ekspirasinya yang lebih lama. KVP
biasanya menurun pada kasus restriksi, di mana kapasitas total paru menurun.
Pemeriksaan Spirometri tanggal 20 Mei 2017
Pemeriksaan Prediksi Hasil % Normal Intepretasi
VEP 1 2,505 2,204 88 >80% Normal
pred (N)
KVP 3,121 2,90 96 >80% Normal
pred (N)
VEP 1 / KVP 78 82 91 N (>75%) Normal
Pada pemeriksaan spirometri didapatkan adanya peningkatan dari sebelumnya
setelah mendapat obat inhaler pelega dan pencegah serangan dari poliklinik.
Karena itulah dapat didiagnosis bahwa Ny.N menderita asma persisten sedang
(FEV1 sebelum diberi obat 60-80%).
4. Diagnosis Banding

1. Asma bronkial
2. Penyakit Paru Obstruksi Kronik ( bronkitis/emfisema kronik)
3. Gagal jantung kongestif

5. Apa jenis-jenis obat asma?


a. Obat pelega napas dipakai saat serangan
Sifat : bronkodilator
a) Inhalasi agonis beta-2 : salbutamol, fenoterol (Berotec), terbutalin
b) Inhalasi antikolinergik : ipratropium bromide ( Atrovent )
c) Agonis beta-2 oral
d) Derivat xantin
b. Obat pengontrol asma dipakai rutin setiap hari
a) Antiinflamasi
b) Bronkodilator kerja lama

6. Bagaimana pemeriksaan penunjang pada kasus?

Umumnya penderita asma sulit menilai beratnya gejala dan persepsi mengenai
asmanya , demikian pula dokter tidak selalu akurat dalam menilai dispnea dan
mengi; sehingga dibutuhkan pemeriksaan objektif yaitu faal paru antara lain
untuk menyamakan persepsi dokter dan penderita, dan parameter objektif
menilai berat asma. Pengukuran faal paru digunakan untuk menilai:
Obstruksi jalan napas
Reversibilitas kelainan faal paru
Variabilitas faal paru, sebagai penilaian tidak langsung hiperesponsif jalan
napas

Banyak parameter dan metode untuk menilai faal paru, tetapi yang telah
diterima secara luas (standar) dan mungkin dilakukan adalah pemeriksaan
spirometri dan arus puncak ekspirasi (APE).
Spirometri
Pengukuran Volume Ekspirasi Paksa detik pertama (VEP1) dan Kapasitas Vital
Paksa (KVP) dilakukan dengan manuver ekspirasi paksa melalui prosedur yang
standar. Pemeriksaan itu sangat bergantung kepada kemampuan penderita
sehingga dibutuhkan instruksi operator yang jelas dan kooperasi penderita.
Untuk mendapatkan nilai yang akurat, diambil nilai tertinggi dari 2-3 nilai yang
reproducible dan acceptable. Obstruksi jalan napas diketahui dari nilai rasio
VEP1/ KVP < 75% atau VEP1 < 80% nilai prediksi.
Manfaat pemeriksaan spirometri dalam diagnosis asma :
Obstruksi jalan napas diketahui dari nilai rasio VEP1/ KVP < 75%

atau VEP1 < 80% nilai prediksi.


Reversibilitas, yaitu perbaikan VEP1 > 20% secara spontan, atau setelah
inhalasi bronkodilator (uji bronkodilator), atau setelah pemberian
bronkodilator oral 10-14 hari, atau setelah pemberian kortikosteroid
(inhalasi/ oral) 2 minggu Reversibiliti ini dapat membantu diagnosis asma
Menilai derajat berat asma

Arus Puncak Ekspirasi (APE)


Nilai APE dapat diperoleh melalui pemeriksaan spirometri atau pemeriksaan
yang lebih sederhana yaitu dengan alat peak expiratory flow meter (PEF meter)
yang relatif sangat murah, mudah dibawa,terbuat dari plastik dan mungkin
tersedia di berbagai tingkat layanan kesehatan termasuk puskesmas ataupun
instalasi gawat darurat. Alat
PEF meter relatif mudah digunakan/ dipahami baik oleh dokter maupun
penderita, sebaiknya digunakan penderita di rumah sehari-hari untuk memantau
kondisi asmanya. Manuver pemeriksaan APE dengan ekspirasi paksa
membutuhkan koperasi penderita dan instruksi yang jelas.
Manfaat APE dalam diagnosis asma
Reversibilitas, yaitu perbaikan nilai APE >20% setelah inhalasi
bronkodilator (uji bronkodilator), atau bronkodilator oral 10-14 hari, atau
respons terapi kortikosteroid (inhalasi/ oral , 2 minggu)
Variabilitas, menilai variasi diurnal APE yang dikenal dengan variabiliti
APE harian selama 1-2 minggu. Variabiliti juga dapat digunakan menilai
derajat berat penyakit (lihat klasifikasi)

Nilai APE tidak selalu berkorelasi dengan parameter pengukuran faal paru lain,
di samping itu APE juga tidak selalu berkorelasi dengan derajat berat obstruksi.
Oleh karenanya pengukuran nilai APE sebaiknya dibandingkan dengan nilai
terbaik sebelumnya, bukan nilai prediksi normal; kecuali tidak diketahui nilai
terbaik penderita yang bersangkutan..
Cara pemeriksaan variabiliti APE harian
Diukur pagi hari untuk mendapatkan nilai terendah, dan malam hari untuk
mendapatkan nilai tertinggi. Rata-rata APE harian dapat diperoleh melalui 2
cara :
Bila sedang menggunakan bronkodilator, diambil variasi/ perbedaan nilai APE
pagi hari sebelum bronkodilator dan nilai APE malam hari sebelumnya sesudah
bronkodilator. Perbedaan nilai pagi sebelum bronkodilator dan malam
sebelumnya sesudah bronkodilator menunjukkan persentase rata-rata nilai APE
harian.Nilai > 20% dipertimbangkan sebagai asma.
APE malam - APE pagi
Variabiliti harian = -------------------------------------------- x 100 %
1/2 (APE malam + APE pagi)

Metode lain untuk menetapkan variabiliti APE adalah nilai terendah APE pagi
sebelum bronkodilator selama pengamatan 2 minggu, dinyatakan dengan
persentase dari nilai terbaik (nilai tertinggi APE malam hari).
Contoh :
Selama 1 minggu setiap hari diukur APE pagi dan malam , misalkan didapatkan
APE pagi terendah 300, dan APE malam tertinggi 400; maka persentase dari
nilai terbaik (% of the recent best) adalah 300/ 400 = 75%. Metode tersebut
paling mudah dan mungkin dilakukan untuk menilai variabiliti.
Peran Pemeriksaan Lain untuk Diagnosis
Uji Provokasi Bronkus
Uji provokasi bronkus membantu menegakkan diagnosis asma. Pada penderita
dengan gejala asma dan faal paru normal sebaiknya dilakukan uji provokasi
bronkus . Pemeriksaan uji provokasi bronkus mempunyai sensitiviti yang tinggi
tetapi spesifisiti rendah, artinya hasil negatif dapat menyingkirkan diagnosis
asma persisten, tetapi hasil positif tidak selalu berarti bahwa penderita tersebut
asma. Hasil positif dapat terjadi pada penyakit lain seperti rinitis alergik,
berbagai gangguan dengan penyempitan jalan napas seperti PPOK,
bronkiektasis dan fibrosis kistik.
Pengukuran Status Alergi
Komponen alergi pada asma dapat diindentifikasi melalui pemeriksaan uji kulit
atau pengukuran IgE spesifik serum. Uji tersebut mempunyai nilai kecil untuk
mendiagnosis asma, tetapi membantu mengidentifikasi faktor risiko/ pencetus
sehingga dapatdilaksanakan kontrol lingkungan dalam penatalaksanaan.
Uji kulit adalah cara utama untuk mendiagnosis status alergi/atopi, umumnya
dilakukan dengan prick test. Walaupun uji kulit merupakan cara yang tepat
untuk diagnosis atopi, tetapi juga dapat menghasilkan positif maupun negatif
palsu. Sehingga konfirmasi terhadap pajanan alergen yang relevan dan
hubungannya dengan gejala harus selalu dilakukan. Pengukuran IgE spesifik
dilakukan pada keadaan uji kulit tidak dapat dilakukan (antara lain
dermatophagoism, dermatitis/ kelainan kulit pada lengan tempat uji kulit, dan
lain-lain). Pemeriksaan kadar IgE total tidak mempunyai nilai dalam diagnosis
alergi/ atopi.

You might also like