You are on page 1of 37

Tugas Ilmu Kesehatan Masyarakat

Analisis Kesehatan Masyarakat Pegunungan Bintang


Papua

DisusunOleh:
Kelompok 1
Dwi Sefrianty 260112150525
Alfi Fitriyani 260112150529
Novia Eka Putri 260112150582
M. IG Adlan F 260112150597
Michael Octavianus 260112150609
Rurynta Ferly Shavira 260112150618

PROGRAM PROFESI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS PADJADJARAN
2016
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan karunia kepad penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan
makalah Ilmu Kesehatan Masyarakat (IKM) yang berjudul Analisis Kesehatan
Masyarakat Pegunungan Bintang, Papua.
Makalah ini merupakan salah satu tugas mata kuliah IKM yang disusun
berdasarkan hasil diskusi. Makalah ini ditulis dengan tujuan untuk mengetahui
masalah kesehatan apa saja yang dialami oleh masyarakat di daerah pegunungan,
khususnya Pegunungan Bintang, dan mengupayakan solusi terbaik bagi
permasalahan yang ada.
Penulis berharap makalah ini dapat memberikan manfaat bagi proses belajar
mengajar di mata kuliah IKM. Penulis menyadari bahwa dalam makalah ini masih
ada kekurangan, oleh karena itu penulis mengharapkan adanya masukan demi
tercapainya perbaikan kualitas makalah ini.

Jatinangor, Maret 2016

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................................ii
DAFTAR ISI.....................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................1
1.1 Latar Belakang.......................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah....................................................................................
1.3 Tujuan.......................................................................................................
1.4 Manfaat.....................................................................................................
BAB II REGULASI DI INDUSTRI FARMASI.............................................2
2.1. Demografi..............................................................................................2
2.2. Masalah Kesehatan Pegunungan Bintang.............................................4
2.3. Etnofarmasi Masyarakat di Pegunungan Bintang...............................18
2.4. Penanganan Penyakit Secara Farmakologi..........................................29
2.5 Peranan Apoteker.....................................................................................
BAB III PENUTUP.........................................................................................37
3.1 Simpulan...................................................................................................
3.2 Saran.........................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................3

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Kesehatan merupakan investasi yang berhubungan erat dengan
pembangunan ekonomi serta memiliki peran penting dalam upaya
penanggulangan kemiskinan. Pembangunan kesehatan harus dipandang sebagai
suatu investasi untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Salah satu
komponen utama yang menjadi parameter pengukuran Indeks Pembanguan
Manusia (IPM) selain pendidikan dan pendapatan adalah kesehatan. Dalam
Undang-undang Nomor 23 tahun 1992 tentang kesehatan, disebutkan bahwa
kesehatan adalah keadaaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang
memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomi.
Kondisi kesehatan umumnya dipengaruhi oleh berbagai faktor diantaranya
adalah faktor lingkungan, perilaku, dan pelayanan kesehatan. Faktor lingkungan
dapat menjadi faktor predisposing atau penunjang terjadinya suatu penyakit,
faktor penyebab secara langsung terjangkitnya penyakit, medium transisi
penyakit, dan mempengaruhi perjalanan suatu penyakit. Letak geografis juga
memiliki peran terhadap timbulnya suatu jenis penyakit. Masyarakat daerah
pegunungan akan memiliki jenis penyakit berbeda dengan masyarakat daerah
pesisir. Hal ini dikarenakan adanya adaptasi fisiologis yang diartikan sebagai
penyesuaian bentuk tubuh terhadap kondisi geografisnya. Salah satu kondisi
geografis yang ingin dianalisis masalah kesehatannya adalah wilayah
pegunungan.
Wilayah pegunungan merupakan bagian dari daratan yang terdiri atas
gunung-gunung dengan ketinggian lebih dari 600 mdpl. Indonesia memiliki
kurang lebih 21 daerah yang merupakan wilayah pegunungan. Salah satu wilayah
tersebut adalah Pegunungan Bintang di Papua. Sebagian besar wilayah
Pegunungan Bintang berupa pegunungan terutama di bagian barat, dataran rendah
hanya terdapat di bagian utara dan selatan dar wilayah ini. Penduduknya
bermukim di lereng gunung dan lembah-lembah kecil dalam kelompok-kelompok
kecil, terpencar, dan terisolir. Tingkat aksesibilitas wilayahnya sangat rendah
sehingga lebih sulit dijangkau bila dibandingkan dengan wilayah lainnya.
Hingga kini kondisi kesehatan di Kabupaten Pegunungan Bintang (Papua)
sangat memprihatinkan sehingga dibutuhkan inovasi-inovasi baru yang tepat dan
berkesinambungan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat Papua terutama di
daerah Pegunungan Bintang. Permasalahan yang timbul umumnya adalah faktor
geografis daerah tersebut, sehingga aksesibilitas pendidikan dan kesehatan tidak
merata sampai dipedalaman Papua. Hal ini diperburuk dengan fasilitas dan
sumber daya manusia yang sangat minim atau tidak memadai.

I.2 Rumusan masalah


a. Apa saja permasalahan kesehatan yang dialami oleh masyarakat Pegunungan
Bintang?
b. Bagaimana menyelesaikan permasalahan kesehatan tersebut?
c. Apa saja peran apoteker yang dapat dilakukan untuk menyelesaikan
permasalahan tersebut?

I.3 Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah:
a. Menganalisis permasalahan kesehatan yang dihadapi oleh masyarakat
Pegunungan Bintang
b. Menentukan solusi yang tepat untuk menangani permasalahan kesehatan yang
dihadapi oleh masyarakat Pegunungan Bintang
c. Memberikan gambaran mengenai peran apoteker dalam menangani
permasalahan kesehatan masyarakat di daerah tersebut

I.4 Manfaat
Manfaat yang dapat diperoleh dari penulisan makalah ini adalah:
a. Memberikan informasi mengenai permasalahan kesehatan yang terjadi di
daerah Pegunungan Bintang kepada pihak pemerintah yang terkait untuk
kemudian dapat dilakukan upaya penangan lebih lanjut demi terwujudnya
masyarakat Indonesia yang sehat.
b. Memberikan solusi yang dapat membantu pemerintah dan dinas kesehatan
untuk mengatasi permasalahan kesehatan yang terjadi di daerah Pegunungan
Bintang.
c. Memberikan gambaran bagi para Apoteker menegenai peran yang dapat
dilakukan ketika terjun di masyarakat khususnya dalam hal ini adalah
masyarakat di daerah pegunungan.

BAB II
ISI

2.1 Demografi
2.1.1 Orientasi Wilayah
Kabupaten Pegunungan Bintang adalah salah satu kabupaten di Propinsi
Papua, Indonesia. Ibukota kabupaten ini terletak di Oksibil. Kabupaten
Pegunungan Bintang menjadi satu-satunya kabupaten di Pegunungan Jayawijaya
yang berbatasan langsung dengan Negara Papua Nugini. 90% wilayahnya terletak
di dataran tinggi pegunungan dengan ketinggian 400 s.d. 4.000 meter dpl.
Kabupaten ini memiliki luas wilayah 15.682 km2 yang terbagi menjadi tujuh
kecamatan dengan Oksibil sebagai ibukota kabupaten.
Batas wilayah Kabupaten Pegunungan Bintang yaitu :
Sebelah Utara : Kabupaten Keerom dan Jayapura
Sebelah Selatan : Kabupaten Boven Digoel
Sebelah Barat : Kabupaten Yahukimo
Sebelah Timur : Negara PNG

Gambar 1. Lokasi Kabupaten Pegunungan Bintang di Papua.


Sumber: Aplikasi Pemetaan Sarana Kefarmasian, 2013.

2.1.2 Penduduk
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk di Kabupaten
Pegunungan Bintang pada tahun 2011 sebesar 105.897 jiwa dengan laju
pertumbuhan sebesar 2,48% dan tingkat kepadatan sebanyak 7 jiwa per km 2.
Berdasarkan jenis kelamin, jumlah penduduk laki-laki adalah 55.356 jiwa
(52,27%) dan penduduk perempuan adalah 50.541 jiwa (47,73%). Jumlah
penduduk laki-laki lebih besar dibanding dengan jumlah penduduk perempuan
dengan sex ratio sebesar 109,52. Dilihat dari struktur umur, penduduk di
Kabupaten Pegunungan Bintang dikategorikan sebagai penduduk muda yaitu
penduduk yang berusia 0-30 tahun yaitu berjumlah 66.666 jiwa dengan persentasi
terbesar terdapat pada kelompok 0-14 tahun yaitu sebesar 36.089 jiwa atau
34,07%, dan umur 15-49 tahun yaitu usia produktif berjumlah 62.164 jiwa
(58,70%).Dilihat dari struktur umur, penduduk di Kabupaten Pegunungan Bintang
dapat dikategorikan sebagai penduduk usia muda dengan umur antara 0-30 tahun
yang berjumlah 27.071 jiwa. Persentase terbesar terdapat pada kelompok umur
15-49 tahun yang merupakan usia produktif dengan jumlah 29.947 jiwa
(56,53%), sedangkan penduduk dengan usia 014 tahun persentasenya sebesar
31,55%. Struktur penduduk tersebut dapat menggambarkan Kabupaten
Pegunungan Bintang mempunyai potensi sumber daya manusia yang besar dan
potensial untuk mendukung perkembangan Kabupaten ke depan.
2.1.3 Iklim
Suhu udara di suatu tempat antara lain ditentukan oleh tinggi
rendahnya tempat tersebut dari permukaan air laut dan jaraknya dari pantai.
Suhu udara rata-rata berkisar antara 14,7 26,8 C. Kabupaten Pegunungan
Bintang mempunyai kelembapan udara relatif tinggi dimana rata-rata berkisar
antara 77 81%.
2.1.4 Sarana dan Prasarana
Komposisi sarana pendidikan yang tersedia dan jumlah murid pada tahun
2009 yaitu Taman Kanak-Kanak (TK) sebanyak 4 sekolah dengan 157 siswa, SD
sebanyak 53 unit dengan 7.569 siswa, SMP sebanyak 5 unit dengan 1.139 siswa,
dan SMA sebanyak 2 unit dengan 415 siswa. Secara keseluruhan, jumlah sekolah
di Kabupaten Pegunungan Bintang sebanyak 6 unit sekolah dengan 9.277 siswa.
Jumlah Puskesmas sebanyak 20 unit, Puskesmas Pembantu 10 unit,
Puskesmas Keliling 1 unit, Polindes 10 unit, Posyandu 92 unit dan Pos Obat Desa
30 unit. Pendirian Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) telah ditetapkan dengan
Peraturan Daerah dan telah dilantik Direkturnya. Jumlah tenaga medis dan
paramedis terdiri :Dokter umum 9 orang (3 orang definitif dan 6 orang PTT),
perawat 95 orang, tenaga gizi 3 orang, sanitarian 2 orang, analis kesehatan 2 orang
dan unit kesehatan masyarakat 2 orang serta bidan 32 orang.
Peralatan kesehatan masih terbatas sementara penyediaan obat-obatan dan
bahan pakai habis secara bertahap relatif semakin dapat dipenuhi. Jenis penyakit
yang menonjol di masyarakat adalah malaria, TBC, ispa, scabies, dan diare.
Angka kematian bayi dan ibu melahirkan masih tinggi disamping itu juga tingkat
gizi bayi/balita masih rendah.
Lebih kurang 90% masyarakat di Kabupaten Pegunungan Bintang masih
menggunakan rumah tradisional yang sangat sederhana dan tidak memenuhi
syarat rumah sehat. Rumah-rumah tradisional tersebut berada dalam lingkungan
yang belum tertata baik serta kekurangan sarana dan prasarana sanitasi dan
kesehatan. Akibatnya banyak masyarakat yang terserang penyakit ISPA, paru-paru
basah, TBC dan disentri cukup tinggi. Bahkan, hampir tiap tahun selalu ada
penderita yang meninggal. Berdasarkan hal tersebut, pembangunan perumahan
dan permukiman harus ditempatakan sebagai salah satu prioritas dalam upaya
meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat Pegunungan Bintang pada berbagai
segi kehidupan, apalagi bila dikaitkan dengan pendidikan dan pembinaan generasi
muda di di tengah masyarakat. Dalam upaya peningkatan kualitas dan kuantitas
permukiman dan perumahan yang layak huni maka perlu didukung dengan
pelaksanaan program pengembangan perumahan, pemberdayaan komunitas
perumahan, penyediaan dan perbaikan perumahan/permukiman, serta penyehatan
lingkungan permukiman.
Sebagian besar wilayah Pegunungan Bintang sangat terisolir, baik secara
internal maupun eksternal. Kondisi medan yang sangat berat menyebabkan
hubungan antar distrik dan antara kabupaten dengan kabupaten-kabupaten
tetangga dan Ibukota Provinsi hanya mengandalkan transportasi udara/pesawat
dengan biaya yang cukup tinggi. Hampir seluruh jaringan jalan masih berupa
jalan tanah yang seringkali tertutup oleh hutan dan semak belukar. Belum
terbangunnya sistem transportasi wilayah yang utuh dan terintegrasi dan
minimnya jaringan jalan, merupakan salah satu akar permasalahan di Kabupaten
Pegunungan Bintang yang menyebabkan tidak optimalnya pemanfaatan
sumberdaya alam. Keterbatasan aksesbilitas wilayah berakibat pada rendahnya
tingkat pelayanan kebutuhan dasar masyarakat. Sebagian besar penduduk belum
dapat menikmati fasilitas dasar seperti listrik, air bersih, sanitasi dan drainase
lingkungan, sarana perumahan dan permukiman. Sarana pendidikan pun belum
tersebar secara merata di setiap distrik. Pemberdayaan kelembagaan guna
mendukung kegiatan sektor perekonomian seperti kegiatan petani ataupun
peternak juga masih kurang optimal. Pada sisi lain, implementasi pembangunan
yang dilaksanakan selama ini terlihat kurang memperhatikan karakteristik lokal,
termasuk pengakuan terhadap hak-hak ulayat/adat masyarakat lokal, sehingga
kurang memberikan manfaat yang optimal bagi peningkatan kesejahteraan
masyarakat.
Pembangunan perumahan dan permukiman juga terkait dengan
pembangunan perkotaan sebagai pusat-pusat kegiatan pelayanan pembangunan,
pemerintahan, kemasyarakatan, dan sosial sesuai potensinya kota-kota di
Kabupaten Pegunungan Bintang terbagi dalam tiga kemampuan yaitu kota pusat
kegiatan nasional, pusat kegiatan wilayah dan pusat kegiatan lokal. Program
kegiatan terutama untuk mendukung fungsi-fungsi kota yang mencerminkan
kapasitas layanan kota dan fungsinya.
2.1.5 Budaya Masyarakat
Keanekaragaman budaya yang dimiliki oleh berbagai etnis dan tersebar di
berbagai wilayah di Kabupaten Pegunungan Bintang dengan program pembinaan
secara intensif akan dapat mendukung percepatan pembangunan. Suku-suku asli
di Pegunungan Bintang terdiri dari Suku Ngalum yang menjadi suku terbesar
diikuti Suku Katengban dan Suku Murop. Suku-suku tersebut termasuk dalam ras
negrito Melanesia yaitu Suku Ngalum atau Sibil dan termasuk dalam wilayah La
Pago dari kelompok etnis Ok dimana sehari-harinya bertutur bahasa Ngalum.

2.1.6 Pertumbuhan Ekonomi


Pada tahun 2008, pertumbuhan ekonomi kabupaten ini telah mencapai
11,43%. Pertumbuhan ini merupakan yang tertinggi selama periode 2005-2009.
Sektor bangunan merupakan penggerak utama pada tingginya laju pertumbuhan di
Kabupaten Pegunungan Bintang khususnya tahun 2008 dimana sektor ini tumbuh
sebesar 60,50% dari tahun sebelumnya. Pertumbuhan ini merupakan yang
tertinggi pada tahun 2008 yang disusul kemudian oleh sektor pertambangan dan
penggalian yang tumbuh sebesar 31,73%. Sektor perdagangan, hotel dan restoran
yang tumbuh 19,81% merupakan sektor dengan pertumbuhan terbesar ketiga.
Selanjutnya sektor pengangkutan dan komunikasi dan sektor jasa-jasa masih
tumbuh di atas 10 persen yakni masing-masing 11,80% dan 11,57%. Sektor bank,
persewaan dan jasa perusahaan tumbuh 9,07%. Sementara sektor pertanian yang
merupakan penyumbang tertinggi pada perekonomian kabupaten Pegunungan
Bintang mengalami pertumbuhan terlambat khususnya di tahun 2008 yakni
sebesar 4,49%.
2.1.7 Pendidikan
Komposisi penduduk menurut tingkat pendidikan di Kabupaten Pegunungan
Bintang berdasarkan data tahun 2009, meliputi 10.414 jiwa sebagai murid
Sekolah Dasar (SD), 1.205 jiwa murid Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan
389 jiwa murid Sekolah Menengah Umum (SMU). Dengan demikian secara
keseluruhan jumlah penduduk di Kabupaten Pegunungan Bintang pada tahun
2009 yang tercatat sebagai murid sekolah berjumlah 12.175 orang.

2.2 Masalah Kesehatan Masyarakat Pegunungan Bintang


Berdasarkan data BPS provinsi Papua tahun 2014, jumlah rumah sakit di
Papua pada tahun 2012 sebanyak 33 unit dengan jumlah kapasitas tempat tidur
sebanyak 2.955. Sementara jumlah puskesmas dan puskesmas pembantu
mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya, yaitu dari 334 puskesmas, 781
puskesmas pembantu pada tahun 2011 menjadi 365 puskesmas dan 847
puskesmas pembantu pada tahun 2012. Namun tidak demikian dengan jumlah
puskesmas keliling yang berkurang dari 873 pada tahun sebelumnya menjadi 826
pada tahun 2012. Jumlah petugas kesehatan pada tahun 2012 juga mengalami
peningkatan dibandingkan tahun sebelumnya. Jumlah dokter meningkat dari 682
pada tahun sebelumnya menjadi 802 pada tahun 2012. Peningkatan ini diharapkan
memberikan dampak positif terhadap peningkatan kesehatan di Papua (BPS
Papua, 2014).
Penyakit yang dominan di daerah Pegunungan Bintang adalah diare, kolera,
malaria tropika, malaria tertiana, malaria klinis, influenza dan HIV/AIDS (BPS
Papua, 2014). Menurut Laporan Kemenkes RI perjuni 2014, jumlah penderita
HIV/AIDS di Papua menempati posisi pertama dengan jumlah HIV 15686 dan
AIDS 10184, dengan prevalensi kasus AIDS per 100.000 di provinsi Papua adalah
35943. Menurut data Kemenkes RI tahun 2007, Indeks Pembangunan
Kesehatan Masyarakat (IPKM) Pegunungan Bintang menempati ranking 440 dari
440 kabupaten/kota yang merupakan sebuah pencapaian mengenaskan. Kondisi
kesehatan Pegunungan Bintang menurut data statistik provinsi Papua tahun 2014,
terdapat 1 rumah sakit, 29 puskesmas, 11 puskesmas pembantu, dan posyandu
106, fasilitas puskesmas keliling 3 unit motor. Sedangkan jumlah tenaga
kesehatan, seperti: dokter umum 19, doktor gigi 1, bidan 37, perawat 122, tenaga
gizi 5, tenaga sanitarian 3, dan tenaga analisis/laboran 7. Pada tahun 2010 terdapat
sarana kesehatan yaitu puskesmas sebanyak 20 puskesmas dan 10 pustu,
sedangkan jumlah penduduk sebanyak 100.686 jiwa. Dengan demikian terdapat 1
puskesmas untuk setiap 5.034 penduduk dan 1 pustu untuk setiap 10.068
penduduk (Anonim, 2014).
Tabel 1. Jumlah Puskesmas dan Dokter di Kabupaten Pegunungan Bintang Tahun 2007-2009
No. Puskesmas dan Dokter 2007 2008 2009
1. Jumlah penduduk 95.601 98.109 100,686
2. Jumlah puskesmas 10 13 20
3. Jumlah pustu 9 15 10
4. Jumlah puskesmas per 10.000 penduduk 1,05 1,33 1,98
5. Jumlah pustu per 10.000 penduduk 0,94 1,53 0,99
6. Jumlah dokter 15 14 17
7. Jumlah dokter per 10.000 penduduk 1,57 1,43 1,73
8. Jumlah penduduk yang dilayani tiap puskesmas 9,560 7,547 6,134
9. Jumlah penduduk yang dilayani tiap dokter 6,373 7,008 6,535
Pada tahun 2007 jumlah dokter yang terdapat di kabupaten Pegunungan
Bintang sebanyak 15 orang. Dengan jumlah penduduk sebanyak 95.601 jiwa,
berarti terdapat sekitar 1,57 dokter untuk setiap 10.000 penduduk di Kabupaten
Pegunungan Bintang. Pada tahun 2008, terdapat 14 dokter dengan jumlah
penduduk 98.109 jiwa, yang berarti terdapat 1,43 dokter untuk setiap 10.000
penduduk yang rata-rata satu dokter melayani 7.008 orang. Sedangkan pada tahun
2009 terdapat 17 dokter dengan jumlah penduduk 98.106 jiwa, yang berarti
terdapat 1,73 dokter untuk setiap 10.000 penduduk yang rata-rata satu orang
dokter melayani 6.535 orang (Anonim, 2014).
Jenis penyakit yang mendominasi masalah kesehatan di Kabupaten
Pegunungan Bintang berhubungan erat dengan masalah Kesehatan Lingkungan.
Penyakit yang mendominasi di Pegunungan Bintang, antara lain: diare, cacingan,
gangguan pernafasan (ISPA) dan HIV/AIDS. Menurut Anonim (2014), jenis
penyakit yang paling menonjol di masyarakat Kabupaten Pegunungan Bintang
adalah malaria, TBC, ISPA, diare dan scabies. Sedangkan angka kematian bayi
dan ibu melahirkan di Kabupaten Pegunungan Bintang masih tinggi, disisi lain
tingkat asupan gizi bayi/balita masih dibawah rata-rata. Hal ini mengindikasikan
bahwa sebagian besar penyakit yang dialami penduduk di Kabupaten Pegunungan
Bintang amat berhubungan dengan kesehatan lingkungan, kebiasaan dalam
menjaga kesegaran udara di dalam rumah dan pola hidup masyarakat (Sitokdana,
2014).
Menurut data AIPD tahun 2013, tahun 2007-2011 jumlah dokter dan bidan
cenderung mengalami peningkatan, namun jika dibandingkan dengan jumlah
penduduk yang harus dilayani meningkat lebih cepat daripada ketersediaan dokter.
Hal ini ditunjukkan dengan data rasio dokter dan bidan per 10.000 penduduk
cenderung menurun, dimana pada tahun 2010 sebesar 20,98 turun dari 26,67 pada
tahun 2007. Kondisi ini menggambarkan bahwa di Kabupaten Pegunungan
Bintang masih membutuhkan tenaga medis seperti dokter dan bidan untuk
melayani penduduk dan meningkatkan prasarana kesehatan di daerah tersebut.
Adanya peningkatan pelayanan kesehatan di Pegunungan Bintang, maka angka
kematian ibu mengalami penurunan. Pada tahun 2008 angka kematian ibu
mencapai 6 orang, sedangkan tahun 2012 turun menjadi 2 orang. Setiap tahun
penduduk yang terdeteksi HIV/AIDS angkanya fluktuatif namun dengan
kecenderungan meningkat, yaitu pada tahun 2007 tercatat sebanyak 5 kasus
HIV/AIDS dan pada tahun 2012 tercatat sebanyak 46 kasus HIV/AIDS. Kondisi
ini menunjukkan bahwa perlunya perhatian khusus dan penyadaran kepada
masyarakat di Pegunungan Bintang tentang bahaya HIV/AIDS bagi diri sendiri
maupun keluarga. Estimasi angka kematian bayi di Pegunungan Bintang lebih
tinggi dibandingkan dengan kondisi rata-rata daerah Papua. Dengan demikian
maka kesehatan bayi masih menjadi perhatian yang paling utama (Sitokdana,
2014).
Menurut data AIPD tahun 2013, penganggaran dibidang kesehatan yang
bersumber dari dana otonomi khusus disektor kesehatan selama ini belum sesuai.
Dana APBN untuk alokasi kesehatan selama ini lebih banyak teralokasi untuk
fungsi ekonomi. Dalam kurun waktu lima tahun (2007-2011), rata-rata belanja
APBN untuk menggerakkan fungsi ekonomi sebesar Rp 20,34 miliar. Fungsi
lainnya yang cukup besar adalah fungsi pelayanan umum dan perumahan dan
fasilitas umum. Fungsi-fungsi lainnya memperoleh alokasi dana yang relatif
sedikit jumlahnya. Alokasi Dana APBN terkecil adalah untuk kebutuhan
kesehatan, keamanan dan pendidikan.
Pada tahun 2011, dana APBN yang teralokasi di Pegunungan Bintang untuk
fungsi kesehatan sebesar 825 juta. Proporsi belanja sektor kesehatan cenderung
meningkat dengan rata-rata pertumbuhan 5,90 persen. Hal ini mengindikasikan
adanya dukungan kebijakan penganggaran dari pemerintah untuk lebih
memperbaiki derajat kesehatan masyarakat di Pegunungan Bintang. Belanja
sektor kesehatan dari tahun 2007 s/d 2009 mengalami kenaikan, namun setelah itu
menurun dan sampai tahun 2011 belum dapat menyamai belanja tahun 2009
sebagai tingkat belanja tertinggi. Kondisi tersebut memberikan gambaran alokasi
dana kesehatan tidak mempertimbangkan perubahan harga yang terjadi. Belanja
sektor kesehatan per kapita sangat berfluktuasi dengan nilai tertinggi terjadi pada
tahun 2008 dan 2009 dan pada tahun 2011 menurun menjadi 462,79 ribu.
Penurunan belanja tersebut mempenguruhi penurunan alokasi belanja per
penduduk di Pegunungan Bintang. Oleh karena itu, pengalokasian belanja sektor
kesehatan dengan memperhatikan kondisi perubahan harga perlu diperhatikan
melalui perbaikan kualitas perencanaan. Hal ini dimaksudkan agar alokasi belanja
per penduduk tidak mengalami penurunan dimasa-masa mendatang (Sitokdana,
2014).
Rekomendasi yang disampaikan kepada pemerintah daerah Pegunungan
Bintang berdasarkan Laporan Analisis Pengeluaran dan Penerimaan Publik (kerja
sama kerjasama BaKTI dan AIPD tahun 2013) yaitu perlunya upaya perbaikan
kinerja untuk meningkatkan capaian dan mengurangi permasalahan kesehatan.
Beberapa hal yang perlu diperbaiki, antara lain: (1) peningkatan porsi alokasi
belanja untuk sektor kesehatan, (2) pemerintah daerah dalam hal ini Dinas
Kesehatan Kabupaten Pegunungan Bintang perlu memprioritas kebijakan upaya
untuk meningkatkan jumlah tenaga medis, (3) adanya upaya peningkatan
pengetahuan mayarakat tentang kesehatan lingkungan dan pola hidup bagi
masyarakat melalui sosialisasi, pemberian pengetahuan pada anak sekolah
maupun melalui kader-kader posyandu, (4) memberikan perhatian lebih terhadap
kasus HIV/AIDS yang terjadi di Pegunungan Bintang dengan cara meningkatkan
upaya pendeteksian dini serta meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang
bahaya dan penularannya, serta (5) memberikan pemahaman kepada masyarakat
untuk secepatnya mendapat penanganan medis jika mengalami kesakitan
Sitokdana, 2014).
Tabel 2. Klasifikasi Pasien Reaktif
No Tahun Jumlah Pasien Klasifikasi Pasien Reaktif
Reaktif Laki-laki Perempuan Meninggal
1 2009 5 2 3 1

2 2010 23 10 13 6

3 2011 9 3 6 2
Total 37 15 22 9

2.3 Etnofarmasi Masyarakat Pegunungan Bintang


Secara turun-temurun, jauh sebelum diperkenalkan pengobatan modern,
orang Ngalum telah mengenal cara-cara untuk mengobati diri sendiri atau
menjaga kesehatannya dari nenek moyang. Dengan memanfaatkan alam, mereka
menemukan kejeniusan dalam bidang pengobatan dan peningkatan taraf hidup.
Berikut ini beberapa bahan dari alam yang dikenal dalam budaya Ngalum.
2.3.1 Sayur yamen
Tanaman ini sangat sulit ditemukan di daerah selain Kabupaten Pegunungan
Bintang. Tanaman ini sangat populer di kalangan orang Ngalum dan masyarakat
Pegunungan Bintang, Jayawijaya, dan Wamena Pegunungan. Sebutan secara
umum untuk tanaman ini pun sangat beragam, tetapi biasanya mencirikan bentuk
tanaman ini atau manfaatnya bagi kesehatan. Masyarakat mengenal tumbuhan ini
dengan sebutan sayur hijau, sayur pintar, sayur sehat, dan lain sebagainya.
Namun, memang jika dilihat dari konsistensinya, sayur ini memang sangat hijau.
Tanaman ini tumbuh di halaman rumah, di dalam hutan, di dekat sungai, atau di
mana pun asalkan langsung menempel di tanah. Biasa diolah dengan cara direbus,
ditumis, atau dicampur dalam bubur atau mi, sesuai selera.
Tanaman ini dipercaya memiliki manfaat yang besar sekali bagi masyarakat
setempat. Secara turun- temurun tanaman ini sudah dikenal oleh masyarakat
setempat. Dan dari cerita orang-orang tua terdahulu, mereka selalu menyarankan
untuk mengonsumsi tanaman ini. Selain dipercaya baik untuk anak-anak, tanaman
ini juga dipercaya baik untuk ibu-ibu hamil. Dalam kepercayaan masyarakat
setempat apabila seorang ibu hamil rutin mengonsumsi sayur yamen, maka
mereka akan kuat ketika melahirkan nanti. Tanaman ini pun mulai dilirik dan
dijadikan salah satu penunjang program-program yang berkaitan dengan
peningkatan gizi oleh pemerintah setempat. Salah satunya adalah pada kegiatan
posyandu yang dilaksanakan oleh Dinas Kesehatan. Sayur yamen dipakai dalam
kegiatan ini sebagai campuran PMTA.

(a) (b)
Gambar 3. (a) tanaman nyamen (b) daun nyamen
2.3.2 Daun gatal (bep)
Dalam bahasa Ngalum, daun gatal disebut bep. Sesuai dengan namanya, daun
ini memang menimbulkan efek gatal apabila bersentuhan dengan kulit. Akan
terasa gatal dan nyeri seperti digigit semut, begitulah yang dikatakan oleh banyak
orang yang telah mencoba daun ini. Tanaman ini telah dikenal tidak hanya di
wilayah Pegunungan Bintang, tetapi seluruh Papua, bahkan Maluku. Daun gatal
atau Laportea indica adalah tanaman famili Urticaceae. jenis ini memang
memiliki kandungan kimiawi seperti monoridin, tryptophan, histidine, alkaloid,
flavonoid, asam formiat, dan authraguinones. Asam semut ini sendiri terkandung
di dalam kelenjar duri pada permukaan daun. Saat duri tersebut mengenai
tubuh, asam semut dalam kelenjar itu terlepaskan dan mempengaruhi terjadinya
pelebaran pori-pori tubuh. Pelebaran pori-pori ini rupanya meransang peredaran
darah. Itulah sebabnya orang yang memanfaatkan daun gatal pada umumnya
merasa pegal-pegal mereka lenyap atau merasa lebih baik.
Dalam pandangan masyarakat setempat, daun ini bisa dikatakan sebagai
pertolongan pertama bagi orang yang sakit. Apabila seseorang merasa tidak enak
badan, lelah, atau demam. Daun gatal dipakai dengan cara menggosokkan pada
bagian tubuh yang terasa sakit. Apabila seseorang baru saja melakukan perjalanan
jauh dan merasa pegal-pegal pada kakinya, maka daun gatal akan digosokkan
pada kakinya. Selain itu, daun gatal juga dipercaya bisa digunakan untuk
menyembuhkan penyakit yang sumbernya berasal dari dalam badan, seperti
demam, masuk angin, batuk, pilek, atau bahkan dalam kepercayaan masyarakat
setempat daun ini bisa menyembuhkan malaria.

Gambar 4. Daun gatal


2.3.3 Buah Merah
Buah merah atau Pandanus conoideus adalah sejenis tanaman pandan-
pandanan yang dapat tumbuh baik di daerah pegunungan. Buah ini sangat terkenal
di Papua dan sering disebut-sebut sebagai buah khas dari Papua. Tinggi pohon
buah merah bisa mencapai 15 meter dengan buah sepanjang 80 cm dan diameter
15 cm. Dalam pandangan orang Ngalum buah ini juga dipercaya memiliki
manfaat yang besar untuk kesehatan. Buah ini dipercaya dapat meningkatakan
ketahanan tubuh dan meningkatkan kesuburan. Tetapi buah ini hanya boleh
dikonsumsi oleh kaum pria. Kaum wanita tidak diperbolehkan mengonsumsi buah
ini.

Gambar 5. Pohon buah merah

2.4 Penangan secara Farmakologi


Beberapa penyakit yang sering menjangkit masyarakat Pegunungan Bintang
adalah sebagai berikut:
2.4.1 Malaria
Pada umumnya penderita diberikan analgetika dan antipiretika diantaranya
asetosal dan parasetamol. Untuk mencegah risiko dehidrasi dan shock dapat
diberikan asupan cairan berbentuk infus atau ORS. Perlu diperhatikan untuk
penanganan pada pasien pendatang memerlukan variasi pengobatan yang berbeda
dibandingkan warga lokal.
a. Malaria tersiana/kwartana
Pada umumnya ditanggulangi dengan kloroquin dengan waktu reaksi cepat
selama 2-4 hari. P. Vivax yang resosten terhadap klorouin perlu ditangani dengan
meflokuin dosis tunggal 500 mg p.c (atau kinin maksimal 3 dd 600 mg selama 4-7
hari). Terapi harus selalu ditambahkan primakuin (15mg/hari selama 14 hari)
dengan tujuan menghambat EE (hipnozoit dalam hati) dan kekambuhan. Bila
terasa mual muntah pada terapi perlu didiberikan kinin secara iv (Agtmael, 1998).
b. Malaria tropika tak-parah
Pada kondisi tak-parah dapat ditangani dengan klorouin , bila terjadi di
negara Amerika Tengah, Afrika Utara dan Asia Kecil. Pada kasus di negara lain
perlu diberikan kombinasi kinin + doksisiklin (hari pertama 200 mg, dan 1 dd 100
selama 6 hari) atau meflokuin (2 dosis dari masing-masing 15 mg dan 10 mg/hari
dengan interval 4-6 jam). Selain itu dapat diberikan halofantrin(bila ECG normal)
1 hari 3dd 500 mg, diulang setelah 1 minggu (12). Primethamin-sulfadoksin
(dosis tunggal 3 tablet), dengan tambahan kinin (3 dd 600 mg selama 3 hari).
c. Malaria tropika parah
Pada awal terapi dapat diberikan kinin parenteral, kemudian disusul dengan
pemberian obat oral. Pada jenis ini tidak membahayakan.
2.4.2 Skabies
Terapi pengobatan skabies haruslah efektif terhadap tungau dewasa, telur dan
produknya, mudah diaplikasikan, nontoksik, tidak mengiritasi, aman untuk semua
umur, dan terjangkau pada segi biayanya.Pengobatan skabies yang bervariasi
dapat berupa topikal maupun oral (Hicks and Elston, 2009).
a. Permethrin
Merupakan sintesa dari pyrethroid, dan bekerja dengan cara mengganggu
polarisasi dinding sel saraf parasit yaitu melalui ikatan dengan natrium. Hal
ini memperlambat repolarisasi dinding sel dan akhirnya terjadi paralise
parasit. Obat ini merupakan pilihan pertama dalam pengobatan scabies karena
efek toksisitasnya terhadap mamalia sangat rendah dan kecenderungan
keracunan akibat kesalahan dalam penggunaannya sangat kecil. Hal ini
disebabkan karena hanya sedikit yang terabsorpsi di kulit dan cepat
dimetabolisme yang kemudian dikeluarkan kembali melalui keringat dan
sebum, dan juga melalui urin. Belum pernah dilaporkan resistensi setelah
penggunaan obat ini (Sadana, 2007).
Permethrin tersedia dalam bentuk krim 5%, yang diaplikasikan selama 8-
12 jam dan setelah itu dicuci bersih. Apabila belum sembuh bisa dilanjutkan
dengan pemberian kedua setelah 1 minggu. Permethrin jarang diberikan pada
bayi-bayi yang berumur kurang dari 2 bulan, wanita hamil dan ibu menyusui.
Wanita hamil dapat diberikan dengan aplikasi yang tidak lama sekitar 2 jam.
Efek samping jarang ditemukan, berupa rasa terbakar, perih dan gatal, namun
mungkin hal tersebut dikarenakan kulit yang sebelumnya memang sensitive
dan terekskoriasi (Hicks and Elston, 2009)
b. Presipitat Sulfur 2-10%
Sulfur adalah antiskabietik tertua yang telah lama digunakan, sejak 25 M.
Preparat sulfur yang tersedia dalam bentuk salep (2% -10%) dan umumnya
salep konsentrasi 6% lebih disukai. Cara aplikasi salep sangat sederhana,
yakni mengoleskan salep setelah mandi ke seluruh kulit tubuh selama 24 jam
selama tiga hari berturut-turut. Keuntungan penggunaan obat ini adalah
harganya yang murah dan mungkin merupakan satu-satunya pilihan di negara
yang membutuhkan terapi massal (Karthikeyan, 2005).
Bila kontak dengan jaringan hidup, preparat ini akan membentuk
hydrogen sulfide dan pentathionic acid (CH2S5O6) yang bersifat germicid dan
fungicid. Secara umum sulfur bersifat aman bila digunakan oleh anak-anak,
wanita hamil dan menyusui serta efektif dalam konsentrasi 2,5% pada bayi.
Kerugian pemakaian obat ini adalah bau tidak enak, mewarnai pakaian dan
kadang-kadang menimbulkan iritasi (Amiruddin, 2003).
c. Benzyl benzoate
Benzil benzoate adalah ester asam benzoat dan alkohol benzil yang
merupakan bahan sintesis balsam peru. Benzil benzoate bersifat neurotoksik
pada tungau skabies. Digunakan sebagai 25% emulsi dengan periode kontak
24 jam dan pada usia dewasa muda atau anak-anak, dosis dapat dikurangi
menjadi 12,5%. Benzil benzoate sangat efektif bila digunakan dengan baik
dan teratur dan secara kosmetik bisa diterima. Efek samping dari benzil
benzoate dapat menyebabkan dermatitis iritan pada wajah dan skrotum,
karena itu penderita harus diingatkan untuk tidak menggunakan secara
berlebihan. Penggunaan berulang dapat menyebabkan dermatitis alergi.
Terapi ini dikontraindikasikan pada wanita hamil dan menyusui, bayi, dan
anak-anak kurang dari 2 tahun. Tapi benzil benzoate lebih efektif dalam
pengelolaan resistant crusted scabies. Di negara-negara berkembang dimana
sumber daya yang terbatas, benzil benzoate digunakan dalam pengelolaan
skabies sebagai alternatif yang lebih murah (www.stanford.edu).
d. Gamma benzene heksaklorida (Lindane)
Lindane juga dikenal sebagai hexaklorida gamma benzena, adalah
sebuah insektisida yang bekerja pada sistem saraf pusat (SSP) tungau.
Lindane diserap masuk ke mukosa paru-paru, mukosa usus, dan selaput lendir
kemudian keseluruh bagian tubuh tungau dengan konsentrasi tinggi pada
jaringan yang kaya lipid dan kulit yang menyebabkan eksitasi, konvulsi, dan
kematian tungau. Lindane dimetabolisme dan diekskresikan melalui urin dan
feses (Karthikeyan, 2005).
Lindane tersedia dalam bentuk krim, lotion, gel, tidak berbau dan tidak
berwarna. Pemakaian secara tunggal dengan mengoleskan ke seluruh tubuh
dari leher ke bawah selama 12-24 jam dalam bentuk 1% krim atau lotion.
Setelah pemakaian dicuci bersih dan dapat diaplikasikan lagi setelah 1
minggu. Hal ini untuk memusnahkan larva-larva yang menetas dan tidak
musnah oleh pengobatan sebelumnya. Beberapa penelitian menunjukkan
penggunaan Lindane selama 6 jam sudah efektif. Dianjurkan untuk tidak
mengulangi pengobatan dalam 7 hari, serta tidak menggunakan konsentrasi
lain selain 1% (Amiruddin, 2003).
Efek samping lindane antara lain menyebabkan toksisitas SSP, kejang,
dan bahkan kematian pada anak atau bayi walaupun jarang terjadi. Tanda-
tanda klinis toksisitas SSP setelah keracunan lindane yaitu sakit kepala, mual,
pusing, muntah, gelisah, tremor, disorientasi, kelemahan, berkedut dari
kelopak mata, kejang, kegagalan pernapasan, koma, dan kematian. Beberapa
bukti menunjukkan lindane dapat mempengaruhi perjalanan fisiologis
kelainan darah seperti anemia aplastik, trombositopenia, dan pancytopenia
(Hicks and Elston, 2009).

e. Crotamiton krim (Crotonyl-N-Ethyl-O-Toluidine)


Crotamion (crotonyl-N-etil-o-toluidin) digunakan sebagai krim 10% atau
lotion. Tingkat keberhasilan bervariasi antara 50% dan 70%. Hasil terbaik
telah diperoleh bila diaplikasikan dua kali sehari selama lima hari berturut-
turut setelah mandi dan mengganti pakaian (11,13) dari leher ke bawah selama 2
malam kemudian dicuci setelah aplikasi kedua. Efek samping yang
ditimbulkan berupa iritasi bila digunakan jangka panjang (Amiruddin, 2003).
Beberapa ahli beranggapan bahwa crotamiton krim ini tidak memiliki
efektivitas yang tinggi terhadap skabies. Crotamiton 10% dalam krim atau
losion, tidak mempunyai efek sistemik dan aman digunakan pada wanita
hamil, bayi dan anak kecil (Hicks and Elston, 2009).
f. Ivermectin
Ivermectin adalah bahan semisintetik yang dihasilkan oleh Streptomyces
avermitilis, anti parasit yang strukturnya mirip antibiotic makrolid, namun
tidak mempunyai aktifitas sebagai antibiotic, diketahui aktif melawan ekto
dan endo parasit. Digunakan secara meluas pada pengobatan hewan, pada
mamalia, pada manusia digunakan untuk pengobatan penyakit filarial
terutama oncocerciasis. Diberikan secara oral, dosis tunggal, 200 ug/kgBB
dan dilaporkan efektif untuk scabies. Digunakan pada umur lebih dari 5
tahun. Juga dilaporkan secara khusus tentang formulasi ivermectin topikal
efektif untuk mengobati scabies. Efek samping yang sering adalah kontak
dermatitis dan toxicepidermal necrolysis (Amiruddin, 2003).
g. Monosulfiran
Tersedia dalam bentuk lotion 25% sebelum digunakan harus ditambahkan
2-3 bagian air dan digunakan setiap hari selama 2-3 hari (hicks and Elston,
2009).
h. Malathion
Malathion 0,5% adalah insektisida organosfosfat dengan dasar air
digunakan selama 24%. Pemberian berikutnya beberapa hari kemudian.
Namun saat ini tidak lagi direkomendasikan karena berpotensi memberikan
efek samping yang buruk (Hicks and Elston, 2009).

2.4.3 Diare
Rehidrasi oral hal ini dilakukan untuk menghindari risiko dehidrasi terutama
pada bayi, anak-anak dan lansia. Maka ini adalah WHO pada saat ini
menyarankan sistem ORS (oral rehydration solution).
a. Garam rehidrasi oral (ORS)
ORS adalah larutan dengancampuran dari NaCl 3.5 g, KCl 1.5g, Na-
trisitrat 2.5g dan glukosa 20 g dalam 1 liter air matang (Oralit).
b. ORS-beras
Hal ini merupakan alternatif dari ORS konvensional dengan
menggunakan tepung beras sebagai sumber glukosa. ORS beras dapat
mengurangi kuantitas tinja dan lamanya fase diare 20% lebih cepat. Cara
penggunaan bahwa larutan ORS ini dicernakan dengan bahan pati dan harus
dimasak selama 7-10 menit dan setelah dingin harus langsung di konsumsi
karena kendala stabilitas dari ORS ini yang mudah terkontaminasi bakteri.
Berikut adalah tabel susunan larutan ORS (Pelleboer, 1993).
Tabel 3. Susunan Larutan ORS
Susunan ORS WHO/liter ORS Beras
NaCl 3,5 g 3,5 g
KCl 1,5 g 1,5 g
Na-trisilat 2,5 g 2,5 g
Glukosa 20 g -
Tepung beras - 50 g
Nilai osmoralitas 331 mmol/l 220 mmol/l
c. Kemoterapeutika
Digunakan untuk memeberantas bakteri penyebab diare diantaranya
antibiotika, senyawa kuinolon dan sulfonamida.
d. Obstipansia
Digunakan untuk terap Zat-zat penekan peristaltik sehingga memberikan
lebih banyak waktu untuk resorpsi air dan elektrolit oleh mukosa usus, yakni
candu dan alkaloidanya, derivat petidin (loperamida) dan antikolinergik
(atropin, ekstrak belladonna).
1) Adstringensia, yang menciutkan selaput lendir usus, misalnya asam samak
(tanin) dan tannalbumin, garam-garam bismut dan aluminium.
2) Adsorbensia, misalnya karbo adsorbens yang pada permukaannya dapat
menyerap (adsorpsi) zat-zat beracun yang dihasilkan oleh bakteri atau
adakalanya berasal dari makanan (udang, ikan). Termasuk juga mucilagines,
zat-zat lendir yang menutupi selaput lendir usus dan luka-lukanya dengan
suatu lapisan pelindung, misalnya kaolin, pektin (suatu karbohidrat yang
terdapat pada apel) dan garam-garam bismut dan aluminium.
e. Spasmolitika
Spasmolitika adalah zat-zat yang dapat melepaskan kejang-kejang otot
yang sering kali menyebabkan nyeri perut pada diare, misalnya papaverin.

2.4.4 Tuberkulosis (TBC)


Terdapat dua golongan dalam pengobatan Tuberculosis :
a. Obat Primer
Contoh obatnya : isoniazid, rifampisin, pirazinamida, etambutol, dan
streptomisin (kanamisin, amikasin). Obat-obat ini paling efektif dan paling
rendah toksisitasnya, tetapi menimbulkan resistensi dengan cepat bila
digunakan sebagai obat tunggal. Maka terapi selalu dilakukan dengan
kombinasi dari 3-4 obat, untuk kuman TBC yang sensitif. Yang paling banyak
digunakan adalah kombinasi INH, rifampisin dan pirazinamida.
INH : Mekanisme kerjanya berdasarkan terganggunya sintesa mycolic
acid yang diperlukan untuk membangun dinding bakteri. Isoniazid masih
tetap merupakan obat kemoterapi terpenting terhadap berbagai tipe
tuberkulosa dan selalu dalam bentuk multiple terapi dengan rifampisin dan
pirazinamid. Untuk profilaksis digunakan sebagai obat tunggal bagi orang-
orang yang berhubungan dengan pasien TBC terbuka.
Rifampisin : rifampisin berkhasiat bakterisid luas terhadap fase
pertumbuhan M.tuberkulosae dan m.leprae, baik yang berada di luar maupun
di dalam sel. Obat ini mematikan kuman yang dormant selama fase
pembelahannya yang singkat. Rifampisin juga aktif terhadap kuman Gram-
positif lain dan kuman Gram-negatif, dengan mekanisme kerja berdasarkan
peringatan spesifik dari suatu enzim bakteri RNA-polymerase, sehingga
sintesa RNA terganggu.
Pirazinamida : Mekanisme kerjanya berdasarkan pengubahannya menjadi
asam pirazinat oleh enzim pyrazinamidase yang berasal dari basil TBC. Begitu
pH dalam makrofag diturunkan, maka kuman yang berada di sarang infeksi
yang menjadi asam akan mati. Khasiatnya diperkuat oleh INH.
Etambutol : Kerja bakteriostatisnya sama kuatnya dengan INH, tetapi pada
dosis terapi kurang efektif dibandingkan obat-obat primer. Mekanisme
kerjanya berdasarkan penghambatan sintesa RNA pada kuman yang sedang
membelah, juga menghindarkan terbentuknya mycolic acid pada dinding sel.
Streptomisin : Sterptomisin khusus aktif terhadap mycobacteria
ekstraseluler yang sedang membelah aktif dan pesat. Mekanisme kerjanya
berdasarkan penghambatan sintesa protein kuman dengan jalan pengikatan
pada RNA ribosomal ( Tjay dan Rahardja, 2003 ).
b. Obat Sekunder
Contoh obatnya : klofazimin, fluorkinolon, sikloserin, rifabutin dan asam
p-aminosalisilat (PAS). Obat-obat ini memiliki kegiatan yang lebih lemah dan
biasanya hanya digunakan bila terdapat resistensi atau intoleransi terhadap
obat-oabt primer, juga terhadap infeksi M.avium intracellulare pada pasien
HIV. Terapi kombinasi obat pada cara pengobatan berefek potensiasi, karena
obat-obat bekerja di titik tangkap berlainan, lagipula menghindarkan terjadinya
resistensi. Contoh obat kombinasi antara lain adalah : INH dengan rifampisin
dan pirazinamida serta ditambahkan lagi etambutol atau streptomisin untuk
prevensi resistensi.
Klofazimin : Berkhasiat bakterisid terhadap basil lepra dan TBC/avium
( Tjay dan Rahardja, 2003 ). Sikloserin : Sikloserin menghambat pertumbuhan
M.tuberculosis pada kadar 5-20g/mL melalui penghambatan sintesis dinding
sel. Asam para aminosalisilat : PAS mempunyai rumus molekul yang mirip
dengan PABA. Mekanisme kerjanya sangat mirip dengan sulfonamid. Karena
sulfonamid tidak efektif terhadap M.tuberculosis dan PAS tidak efektif
terhadap kuman yang sensitif terhadap sulfonamid, maka ada kemungkinan
bahwa enzim yang bertanggungjawab untuk biosintesis folat pada berbagai
macam mikroba bersifat spesifik.
Terdapat delapan panduan dalam pemberian obat dengan kombinasi :
1. Panduan 9HR pengobatan dilakukan selama sembilan bulan dengan
pemberian INH 300 mg dan rifampisin 600 mg setiap hari.
2. Panduan HR/8H2R2 INH 300 mg dan rifampisin 600 mg diberikan
setiap hari selama satu bulan, disusul pemberian INH 900 mg dan rifampisin
600 mg seminggu dua kali selama 8 bulan.
3. Panduan 2HRZ/4HR dua bulan pertama diberikan INH 5 mg/kgBB
( maksimum 300 mg ), rifampisin 20 mg/kgBB 9 maksimum 600 mg ) dan
pirazinamid 5-25 mg/kgBB ( maksimum 2 g ) diberikan setiap hari pada dua
bulan pertama disusul dengan pemberian INH dan rifampisin selama 4
bulan berikutnya dengan dosis yang sama.
4. Panduan 2HRZ/4H2R2 Selama dua bulan pertama diberikan INH,
rifampisin, dan pirazinamid dengan dosis yang sama dengan dosis panduan
(3), disusul pemberian INH 5mg/kgBB ( maksimum 900 mg/kgBB ) dan
rifampisin 10 mg/kgBB ( maksimum 600 mg ) diberikan dua kali seminggu
selama 4 bulan berikutnya.
5. panduan 2HRZ/4H3R3 Dua bulan pertama diberikan INH, rifampisin
dan pirazinamid setiap hari disusul INH dan rifampisin 3 kali seminggu
selama 4 bulan berikutnya,
6. Panduan 2H3R3Z3/4H3R3 Selama 6 bulan diberikan obat hanya 3 kali
seminggu. Untuk dua bulan pertama diberikan INH, rifampisin, dan
pirazinamid tiga kali seminggu disusul pemberian INH dan pirazinamid saja
3 kali seminggu selama 4 bulan berikutnya.
7. Panduan 2HRZE/4H3R3 diberikan INH 300 mg, rifampisin 450 mg,
etambutol 750 mg, dan pirazinamid 1500 mg setiap hari selama dua bulan
pertama, dilanjutkan dengan pemberian INH 600 mg dan rifampisin 450 mg
riga kali seminggu selama 4 bulan.
8. Panduan 2HRZ/2H3R3 selama dua bulan diberikan setiap hari INH 300
m, rifampisin 450 mg, dan pirazinamid 1500 mg, disusul kemudian INH
600 mg dan rifampisin 450 mg diberikan 3 kali seminggu selam dua bulan
(Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran universitas Indonesia, 1995).
2.4.5 Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA)
Penanganan ISPA keseluruhan dapat menggunakan obat-obat berikut:
a. Anti-alergika adalah zat-zat yang berkhasiat menstablilkan mastcell, sehingga
tidak pecah dan mengakibatkan terlepasnya histamin dan mediator peradang
lainnya. Yang terkenal adalah kromoglikat dan nedocromil, tetapi juga
antihistaminika (kototifen, oksatomida)dan 2-adrenergika (lemah) memiliki
daya kerja ini. Obat ini sangat berguna untuk prevensi serangan asma dan
rhinitis alergi (hay fever).
b. Bronkodilator. Pelepasan kejang dan bronkodilatasi dapat dicapai dengan cara
merangsang sistem adrenergis dengan adrenergika (salbutamol, terbutalin,
salmeterol) atau melalui penghambatan sistem kolinergis dengan
antikolinergika (ipatropium, tiotropium, deptropium), juga dengan teofilin.
c. Kortikosteroida berkhasiat meniadakan efek mediator, seperti peradangan dan
gatal-gatal. Daya antiradang ini berdasarkan blokade enzim fosfolipase,
sehingga pembentukan mediator peradangan prostaglandin dan leukotrien
dari asam arakidonat tidak terjadi. Contohnya adalah hidrokortison,
prednison, deksametason.
d. Mukolitika (asetilsistein, karbosistein, bromheksin, ambroksol) dan
ekspektoran (kaliumiodida dan amoniumklorida). Semua obat ini mengurangi
kekentalan dahak, mukolitika dengan merombak mukoproteinnya dan
ekspektoransia dengan mengencerkan dahak, sehingga pengeluarannya
dipermudah.
e. Antihistaminika (kototifen, oksatomida) obat ini memblokir reseptor histamin
H1 dan dengan demikian mencegah efek bronkokontriksinya. Antihistamin
sangat efektif terhdap sejumlah gejala rhinitis alergi, urtikaria, kepekaan
terhadap obat-obat, pruritus dan gigitan/ sengatan serangga. Namun, efeknya
pada asma umumnya terbatas dan tidak memuaskan, karena antihistaminika
tidak melawan efek brokokontriksi dari mediator lain yang dilepaskan
mastcell. Banyak antihistamin memiliki efek antikolinergis dan sedatif,
sehingga masih banyak digunakan sebagai terapi pemeliharaan.
f. Zat-zat antileukotrien. Pada penderita asma, leukotrien turut menimbulkan
bronkokontriksi dan sekresi mukus. Kerja antileukotrien dibagi 2, yaitu:
Lipoksigenase-bloker, misalnya antihistaminika generasi ke-2, yang
disamping memblok reseptor H1 juga menghambat pembentukan
leukotrien dan mediator radang lainnya (prostaglandin, kinin).
Contonnya loratadin, setirizin, azelastin dan ebastin.
LT-reseptor bloker, misalnya montelukast, zafirlukast, dan pranlukast.
Obat-obat asma dari golongan ini berdaya menempati reseptor LTB4
dan/atau LT-cysteinyl (C4, D4 dan E4).
2.4.6 HIV
a. Pengobatan
Obatobatan Antiretroviral (ARV) bukanlah suatu pengobatan untuk
HIV/AIDS tetapi cukup memperpanjang hidup dari mereka yang mengidap
HIV. Pada tempat yang kurang baik pengaturannya permulaan dari
pengobatan ARV biasanya secara medis direkomendasikan ketika jumlah sel
CD4 dari orang yang mengidap HIV/AIDS adalah 200 atau lebih rendah.
Untuk lebih efektif, maka suatu kombinasi dari tiga atau lebih ARV
dikonsumsi, secara umum ini adalah mengenai terapi Antiretroviral yang
sangat aktif (HAART). Kombinasi dari ARV berikut ini dapat mengunakan:
1. Nucleoside Analogue Reverse Transcriptase Inhibitors (NRTI'),
mentargetkan pencegahan protein reverse transcriptase HIV dalam mencegah
perpindahan dari viral RNA menjadi viral DNA (contohnya AZT, ddl, ddC &
3TC).
2. Nonnucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors (NNRTI's)
memperlambat reproduksi dari HIV dengan bercampur dengan reverse
transcriptase, suatu enzim viral yang penting. Enzim tersebut sangat esensial
untuk HIV dalam memasukan materi turunan kedalam selsel. Obatobatan
NNRTI termasuk: Nevirapine, delavirdine (Rescripta), efavirenza (Sustiva).
3. Protease Inhibitors (PI) mengtargetkan protein protease HIV dan
menahannya sehingga suatu virus baru tidak dapat berkumpul pada sel tuan
rumah dan dilepaskan.
b. Pencegahan
Pencegahan perpindahan dari ibu ke anak (PMTCT): seorang wanita
yang mengidap HIV(+) dapat menularkan HIV kepada bayinya selama masa
kehamilan, persalinan dan masa menyusui. Dalam ketidakhadiran dari
intervensi pencegahan, kemungkinan bahwa bayi dari seorang wanita yang
mengidap HIV(+) akan terinfeksi kirakira 25%35%. Dua pilihan
pengobatan tersedia untuk mengurangi penularan HIV/AIDS dari ibu ke
anak. Obatobatan tersebut adalah:
1. Ziduvidine (AZT) dapat diberikan sebagai suatu rangkaian panjang dari
1428 minggu selama masa kehamilan. Studi menunjukkan bahwa hal ini
menurunkan angka penularan mendekati 67%. Suatu rangkaian pendek
dimulai pada kehamilan terlambat sekitar 36 minggu menjadi 50%
penurunan. Suatu rangkaian pendek dimulai pada masa persalinan sekitas
38%. Beberapa studi telah menyelidiki pengunaan dari Ziduvidine (AZT)
dalam kombinasi dengan Lamivudine (3TC)
2. Nevirapine: diberikan dalam dosis tunggal kepada ibu dalam masa
persalinan dan satu dosis tunggal kepada bayi pada sekitar 23 hari.
Diperkirakan bahwa dosis tersebut dapat menurunkan penularan HIV sekitar
47%. Nevirapine hanya digunakan pada ibu dengan membawa satu tablet
kerumah ketika masa persalinan tiba, sementara bayi tersebut harus diberikan
satu dosis dalam 3 hari.
c. Post-Exposure Prophylaxis (PEP)
Postexposure prophylaxis (PEP) adalah sebuah program dari beberapa
obat antiviral, yang dikonsumsi beberapa kali setiap harinya, paling kurang
30 hari, untuk mencegah seseorang menjadi terinfeksi dengan HIV sesudah
terinfeksi, baik melalui serangan seksual maupun terinfeksi occupational.
Dihubungankan dengan permulaan pengunaan dari PEP, maka suatu
pengujian HIV harus dijalani untuk menetapkan status orang yang
bersangkutan. Informasi dan bimbingan perlu diberikan untuk
memungkinkan orang tersebut mengerti obatobatan, keperluan untuk
mentaati, kebutuhan untuk mempraktekan hubungan seks yang aman dan
memperbaharui pengujian HIV.
Antiretrovirals direkomendasikan untuk PEP termasuk AZT dan 3TC
yang digunakan dalam kombinasi. CDC telah memperingatkan mengenai
pengunaan dari Nevirapine sebagai bagian dari PEP yang berhutang pada
bahaya akan kerusakan pada hati. Sesudah terkena infeksi yang potensial ke
HIV, pengobatan PEP perlu dimulai sekurangnya selama 72 jam, sekalipun
terdapat bukti untuk mengusulkan bahwa lebih awal seseorang memulai
pengobatan, maka keuntungannya pun akan menjadi lebih besar. PEP tidak
merekomen dasikan proses terinfeksi secara biasa ke HIV/AIDS sebagaimana
hal ini tidak efektif 100%; hal tersebut dapat memberikan efek samping yang
hebat dan mendorong perilaku seksual yang tidak aman.

2.5 Peran Apoteker


2.5.1 Promosi Kesehatan
Sebagaimana tercantum dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1114
/MENKES/SK/VII/2005 tentang Pedoman Pelaksanaan Promosi Kesehatan di
Daerah, promosi kesehatan adalah upaya untuk meningkatkan kemampuan
masyarakat melalui pembelajaran dari, oleh, untuk dan bersama masyarakat, agar
mereka dapat menolong diri sendiri, serta mengembangkan kegiatan yang
bersumber daya masyarakat, sesuai sosial budaya setempat dan didukung
kebijakan publik yang berwawasan kesehatan. Apoteker sebagai tenaga kesehatan
wajib melakukan promosi kesehatan khusunya mengenai Perlaku Hidup Bersih
dan Sehat (PHBS). Mereka ini diharapkan mengubah perilaku hidup mereka yang
tidak bersih dan tidak sehat menjadi perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS).
Promosi kesehatan dapat dilakukan dengan mengguanakan strategi
promosi kesehatan paripurna yang terdiri dari (1) pemberdayaan, yang didukung
oleh (2) bina suasana dan (3) advokasi, serta dilandasi oleh semangat (4)
kemitraan.

Gambar 6. Strategi global dalam mengatasi masalah kesehatan


Adapun program-program kesehatan yang dapat diberikan oleh apoteker dan
tenaga kesehatan lain adalah sebagai berikut :
1. Biasakan Cuci Tangan Pakai Sabun
Gambar 7. Langkah Cuci Tangan Pakai Sabun

2. Menggunakan Air bersih


Tugas kita sebagai tenaga kesehatan dalam promosi kesehatan menggunakan
air bersih adalah :
Menyiapkan fasilitas air bersih di pengungsian
Memanfaatkan setiap kesempatan untuk mengingatkan masyarakat di
pengungsian pentingnya menutup tempat air minum dan menghemat air
bersih
3. Buang Air Besar/Kecil di Jamban dan
Buang sampah di tempatnya
Materi yang harus disampaikan adalah :
Mengajak masyarakat untuk menjaga agar jamban tetap bersih
Membuat jadwal tugas membersihkan jamban
Mengingatkan masyarakat bahwa kotoran bayi juga dapat menularkan
penyakit, maka kotoran bayi harus dibuang di jamban
Memisahkan jamban untuk laki-laki dan perempuan
Mengajak masyarakat agar membuang sampah pada tempatnya
Memberikan penyuluhan kepada masyarakat manfaat memilah sampah
basah dan sampah kering
4. Makan makanan Bergizi
Kurang gizi lebih sering terjadi dalam kedaruratan karena keterbatasan
pangan, meningkatnya penyakit dan layanan kesehatan yang kurang
memadai. Itulah sebabnya penting bagi kelompok rentan seperti anak-anak,
ibu menyusui, dan ibu hamil, menambah makanan tambahan untuk
menambah nilai gizi. Bantuan makanan yang bisa diberikan ialah diutamakan
memberikan makanan seperti nasi, ubi, singkong, jagung, lauk pauk, sayur,
buah, kacang-kacangan dan minyak sayur.
5. Melakukan upaya pencegahan penyakit.
Upaya ini diwujudkan melalui:
a. Pemberian penyuluhan kepada masyarakat tentang penyakit-penyakit;
gejala awal, sumber penyakit, cara pencegahan dan pertolongan pertama
yang harus dilakukan.
b. Pembuatan buletin, leaflet, poster, dan iklan layanan masyarakat seputar
penyakit dalam rangka edukasi di atas.
c. Berpartisipasi dalam upaya pengendalian infeksi di rumah sakit melalui
Komite Pengendali Infeksi dengan memberikan saran tentang pemilihan
antiseptik dan desinfektan; menyusun prosedur, kebijakan untuk
mencegah terkontaminasinya produk obat yang diracik di instalasi
farmasi atau apotek; menyusun rekomendasi tentang penggantian,
pemilihan alat-alat kesehatan, injeksi, infus, alat kesehatan yang
digunakan untuk tujuan baik invasive maupun non-invasif, serta alat
kesehatan balut yang digunakan di ruang perawatan, ruang tindakan,
maupun di unit perawatan intensif (ICU).
6. Memberikan informasi dan edukasi
kepada pasien untuk mempercepat proses penyembuhan, mencegah
bertambah parah atau mencegah kambuhnya penyakit.
Hal ini dilakukan dengan cara:
a. Memberikan informasi kepada pasien tentang penyakitnya dan perubahan
pola hidup yang harus dijalani
b. Menjelaskan obat-obat yang harus digunakan, indikasi, cara penggunaan,
dosis, dan waktu penggunaannya.
c. Melakukan konseling kepada pasien untuk melihat perkembangan
terapinya dan memonitor kemungkinan terjadinya efek samping obat.

2.5.2 Pharmaceutical Care


Dalam evolusi perkembangan pelayanan farmasi telah terjadi pergeseran
orientasi pelayanan farmasi dari orientasi terhadap produk menjadi orientasi
terhadap kepentingan pasien yang dilatarbelakangi oleh perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi di bidang kesehatan serta menguatnya tuntutan
terhadap jaminan keselamatan pasien. Orientasi terhadap kepentingan pasien
tanpa mengesampingkan produk dikenal dengan konsep Pharmaceutical
Care. Dengan banyak ditemukannya masalah yang berkaitan dengan obat dan
penggunaannya; semakin meningkatnya keadaan sosio-ekonomi dan tingkat
pendidikan masyarakat; serta adanya tuntutan dari masyarakat akan pelayanan
kefarmasian yang bermutu terutama di rumah sakit maupun di
komunitas,Pharmaceutical Care merupakan hal yang mutlak harus diterapkan.
Penekanan Pharmaceutical Care terletak pada dua hal utama, yaitu:
1. Apoteker memberikan pelayanan kefarmasian yang dibutuhkan pasi
en sesuai kondisi penyakit.
2. Apoteker membuat komitmen untuk meneruskan pelayanan setelah
dimulai secara berkesinambungan.
Secara prinsip, Pharmaceutical Care atau pelayanan kefarmasian terdiri
dari beberapa tahap yang harus dilaksanakan secara berurutan:
1. Penyusunan informasi dasar atau database pasien.
2. Evaluasi atau Pengkajian (Assessment).
3. Penyusunan Rencana Pelayanan Kefarmasian (RPK).
4. Implementasi RPK.

5. Monitoring Implementasi.

6. Tindak Lanjut (Follow Up)


BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan yang telah dijelaskan, maka dapat disimpulkan
bahwa:
1. Masalah kesehatan yang dihadapi masyarakat Pegunungan Bintang
adalah :
a. Penyakit karena kondisi
lingkungan yang dingin, yaitu ISPA.
b. Penyakit karena vector, yaitu
malaria, scabies, dan diare.
c. Penyakit karena perilaku yang
tidak sehat seperti TBC dan HIV.
2. Solusi yang dapat dilakukan untuk menangani masalah kesehatan
yang dihadapi oleh masyarakat Pegunungan Bintang adalah:
a. Pencegaha
n dapat dilakukan dengan melakukan edukasi terhadap perilakuk yang
tidak sehat serta melakukan foging.
b. Pengobata
n dapat dilakukan dengan menggunakan obat herbal yang berada di
lingkunagn sekitar maupun dengan obat konvensional
3. Peran apoteker dalam membantu menangani masalah kesehatan
yang terjadi di Pegunungan Bintang adalah dengan melakukan promosi
kesehatan berupa ajakan untuk berprilaku hidup bersih dan sehat, cuci tangan
pakai sabun, makan makanan bergizi, BAB/BAK di jamban, dan membuang
sampah pada tempatnya. dan Pharmaceutical care demi tercipyanya
masyarakat yang sehat.

3.2 Saran
1. Meningkatkan kerjasama antar dinas kesehatan setempat dengan tokoh
masyarakat yang dipercaya di darah tersebut untuk menanamkan perilaku
hidup bersih dan sehat di masyarakat.
2. Melakukan pemantauan kesehatan rutin terhadap masyarakat yang rentan
terkena penyakit.
3. Meningkatkan promosi kesehatan mengenai bahya penyakit-penyakit yang
sering menyerang daerah tersebut dan upaya pencegahannya.
DAFTAR PUSTAKA

Admin. 2015. Sekilas Pegunungan Bintang. Tersedia di


http://www.pegbintangkab.go.id/menu/do/sekilas-pegunungan-bintang
[diakses 10 maret 2016].
Agtmael, et al. Een nieuwe therapie voor malaria: artemesinie derivaten. Pharm
Wkbl 1998; 133: 68-75
Anonim. 2014. Sekilas Pegunungan Bintang.
http://www.pegbintangkab.go.id/menu/do/ sekilas-pegunungan-bintang.
Diakses pada tanggal 8 Maret 2016.
Aplikasi Pemetaan Sarana Kefarmasian. 2013. Kabupaten Pegunungan Bintang
Papua. Tersedia di http://apif.binfar.depkes.go.id/index.php?
req=view_services&p=pemetaanDetail&c=33&id=480 [diakses 10 maret
2016].
Australia Indonesia Partnership for Decentralisation. 2013. Laporan Analisis
Pengeluaran dan Penerimaan Publik. Kerjasama Bakti Pemerintah Australia,
Jakarta, Indonesia.
Badan Pusat Statistika Provinsi Papua. 2014. Papua dalam Angka. Badan Pusat
Statistika Provinsi Papua, Papua, Indonesia.
Sitokdana, M.N.N. 2014. Potret Kesehatan di Pegunungan Bintang Provinsi
Papua. http://www.komapo.org/index.php/opini/kesehatan/38-
kesehatan/850-hut-kesehatan-nasional-potret-kesehatan-di-pegunungan-
bintang-provinsi-papua. Diakses pada tanggal 8 Maret 2016.
Laksno, A.D., Aan K., Ivon A., Petrodes, M.M.S.K., Elyage, L. 2012. Buku Seri
Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012 : Etnik Ngalm, Distrik Oksibil,
Kabpaten Pegunngan Bintang, Provinsi Papua. Percetakn Kanisius.
Hicks MI, Elston DM. Scabies. Dermatologic Therapy. 2009. November :22/279-
292.
Amiruddin MD. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Ed.1. Makassar: Fakultas
Kedokteran Universitas Hasanuddin ; 2003. 5-10.
Karthikeyan K. Treatment of Scabies: Newer Perspectives. Postgraduate Med J.
2005. Januari. 1(951)/7-11.
Sadana, Liana Yuliawati. Krim Permethrin 5% untuk Pengobatan Scabies
(online). 2007. [cited 2016 March 9th] : [1 screens]. Available from:
URL:http://www.yosefw.wordpress.com
URL: http://www.stanford.edu/class/humbio103/ParaSites2004/Scabies. [cited
2016 March 9th]
Pelleboer, RAA et al. Op voending gebaseerde ORS. NTvG 1993; 137 : 342-5.
Tjay, T.H dan K, Rahardja. 2003. Obat-obat Penting. Jakrta. PT Gramedia.

You might also like