You are on page 1of 21

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI

OBAT YANG BEKERJA TERHADAP


SISTEM SARAF PUSAT ANESTETIKA UMUM

Dosen Pengampu:
Dr. Nurmaelis, M.Si, Apt.
Dr. Delina Hasan, M.Kes, Apt.
Dimas Agung Waskito W, S.Far.
Marvel, S.Far, Apt.

Disusun oleh:
NURIL ALIFIANI (11141020000043)
SYIFA RIZKIA (11141020000047)
CUT BALQIS R. (11141020000048)
M. HADI AZMI (11141020000049)
SHOFFIYA AMALIYA (11141020000056)
SHEILA SABRINA (11141020000058)

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
APRIL/2016
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sistem saraf pusat (SSP) merupakan sistem saraf yang dapat
mengendalikan sistem saraf lainnya didalam tubuh dimana bekerja dibawah
kesadaran atau kemauan. SSP biasa juga disebut sistem saraf sentral karena
merupakan sentral atau pusat dari saraf lainnya. Sistem saraf pusat ini dibagi
menjadi dua yaitu otak (ensevalon) dan sumsum tulang belakang (medula
spinalis).

Sistem saraf pusat sangat peka terhadap obat-obatan, sehingga pada


sebagian obat yang diberikan dalam dosis yang cukup besar dapat
menimbulkan efek yang mencolok terhadap fungsi SSP. Obat-obat yang
bekerja terhadap sistem saraf pusat dikelompokan berdasarkan manifestasi
efek yang diamati, yaitu terbagi atas:
1. Obat yang bekerja depresif terhadap fungsi saraf pusat
2. Obat yang bekerja stimulatif terhadap fungsi saraf pusat
3. Obat yang mempengaruhi suasan kejiwaan dan kelakuan

Obat-obat anestesi merupakan jenis obat yang bekerja mendepresi


sistem saraf pusat. Istilah anestesia dikemukakan pertama kali oleh O.W.
Holmes berasal dari bahasa Yunani anaisthsia (dari antanpa + aisthsis
sensasi) yang berarti tidak ada rasa sakit. Anestesi dibagi menjadi 2
kelompok yaitu:
1. Anesthesia lokal, yakni hilangnya rasa sakit tanpa disertai kehilangan
kesadaran
2. Anesthesia umum adalah tindakan menghilangkan rasa nyeri/sakit
secara sentral disertai hilangnya kesadaran dan dapat pulih kembali
(reversible).

Komponen trias anestesi ideal terdiri dari hipnotik, analgesik, dan


relaksasi otot. Sejak jaman dahulu, anestesia dilakukan untuk
mempermudah tindakan operasi atau bedah misalnya pada orang
Mesirmenggunakan narkotika, orang China menggunakan Cannabis indica,
orang primitif menggunakan pemukulan kepala dengan kayu untuk
menghilangkan kesadaran.Pada tahun 1776 ditemukan anestesia gas
pertama, yaitu N2O, namun kurang efektif sehingga ada penelitian lebih
lanjut pada tahun 1795 menghasilkan eter sebagaianestesia inhalasi
prototipe, yang kemudian berkembang hingga berbagai macamyang kita
kenal saat ini.

Obat anestesi umum adalah obat atau agen yang dapat menyebabkan
terjadinya efek anestesia umum yang ditandai dengan penurunan kesadaran
secara bertahap karena adanya depresi susunan saraf pusat. Menurut rute
pemberiannya, anestesi umum dibedakan menjadi anestesi inhalasi dan
intravena. Keduanya berbeda dalam hal farmakodinamik.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan dapat dirumuskan masalah


sebagai berikut:
1. Bagaimana menifestasi tahapan anestesi umum?
2. Apakah pengaruh pemberian masing-masing obat anestesi?
3. Apakah perbedaan efek anestesi oleh oabat-obat anestesi?

1.3 Tujuan Praktikum

Setelah melakukan praktikum ini, mahasiswa diharapkan:


1. Mengenal dan mengetahui tahap-tahap manifestasi anestesi umum dan
tahap-tahap pemulihan dari anestesi umum.
2. Mampu menganalisa perbedaan anestesi oleh berbagai obat pada
perlakuan percobaan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anestesi Umum

Obat anestesi umum adalah obat atau agen yang dapat menyebabkan
terjadinya efek anesthesia umum yang ditandai dengan penurunan kesadaran
secara bertahap karena adanya depresi susunan saraf pusat. Menurut rute
pemberiannya, anestesi umum dibedakan menjadi anestesi inhalasi dan
intravena. Keduanya berbeda dalam hal farmakodinamik maupun
farmakokinetik (Ganiswara, 1995).

Tahap-tahap penurunan kesadaran dapat ditentukan dengan pengamatan


yang cermatterhadap tanda-tanda yang terjadi , terutama yang berhubungan
dengan koordinasi pusat saraf sirkulasi , respirasi, musculoskeletal dan
fungsi fungsi otonom yang lain pada waktu-waktu tertentu. Beberapa
anestetik umum berbeda potensinya berdasarkan sifat farmakokinetik dan
farmakodinamik yang berbeda pula. Selain itu sifat farmasetika obat juga
mempengaruhi potensi anestesinya. Potensi anestetik yang kuat dapat
disertai dengan potensi depresi susunan saraf pusat yang kuat, sehingga
perlu dilakukan pemantauan yang ketat, untuk menghindari turunnya derajat
kesadaran sampai derajat kematian (Ganiswara, 1995).

Stadium anestesi ada 4, yaitu Stadium I, Stadium II, Stadium III, dan
Stadium IV. Berikut adalah penjelasannya :

1. Stadium I (analgesia). Stadium analgesia dimulai sejak saat pemberian


anestetik sampai hilangnya kesadaran. Pada stadium ini pasien tidak
lagi merasakan nyeri (analgesia), tetapi masih tetap sadar dan dapat
mengikuti perintah. Pada stadium ini dapat dilakukan tindakan
pembedahan ringan seperti pencabutan gigi dan biopsi kelenjar.
2. Stadium II (Eksitasi). Stadium ini dimulai sejak hilangnya kesadaran
sampai munculnya pernapasan yang teratur yang merupakan tanda
dimulainya stadium pembedahan. Pada stadium ini pasien tampak
mengalami delirium dan eksitasidengan gerakan-gerakan di luar
kehendak.
3. Stadium III (Pembedahan). Stadium III dimulai dengan timbulnya
kembali pernapasan yang teratur dan berlangsung sampai pernapasan
spontan hilang. Keempat tingkat dalam stadium pembedahan dibedakan
dari perubahan pada gerakan bola mata, refleks bulu mata dan
konjungtiva, tonus otot, dan lebar pupil yang menggambarkan semakin
dalamnya pembiusan.
a) Tingkat 1: pernapasan teratur, spontan, dan seimbang antara
pernapasan dada dan perut; gerakan bola mata terjadi di luar
kehendak, miosis, sedangkan, tonus otot rangka masih ada.
b) Tingkat 2: pernapasan teratur tetapi frekuensinya lebih kecil, bola
mata tidak bergerak, pupil mata melebar, otot rangka mulai
melemas, dan refleks laring hilang sehingga pada tingkat dapat
dilakukan intubasi.
c) Tingkat 3: pernapasan perut lebih nyata daripada pernapasan dada
karena otot interkostal mulai lumpuh, relaksasi otot rangka
sempurna, pupil lebih lebar tetapi belum maksimal.
d) Tingkat 4: pernapasan perut sempurna karena otot interkostal
lumpuh total, tekanan darah mulai menurun, pupil sangat lebar dan
refleks cahaya menghilang. Pembiusan hendaknya jangan sampai
ke tingkat 4 ini sebab pasien akan mudah sekali masuk ke stadium
IV yaitu ketika pernapasan sopntan melemah. Untuk mencegah ini,
harus diperhatikan benar sifat dan dalamnya pernapasan, lebar
pupil dibandingkan dengan keadaan normal, dan turunnya tekanan
darah.
4. Stadium IV (Depresi Medula Oblongata). Stadium IV ini dimulai
dengan melemahnya pernapasan perut dibanding stadium III tingkat 4,
tekanan darah tidak dapat diukur karena pembuluh darah kolaps, dan
jantung berhenti berdenyut. Keadaan ini dapat segera disusul dengan
kematian, kelumpuhan napas di sini tidak dapat diatasi dengan
pernapasan buatan, bila tidak didukung oleh alat bantu napas dan
sirkulasi. (Departemen Farmakologi dan Terapeutik. 2007: 125)

2.2 Eter

Eter (dietil eter, zaman dahulu dikenal sebagai sulfuric eter karena
diproduksi melalui reaksi kimia sederhana antara etil alcohol dengan asam
sulfat) digunakan pertama kali tahun 1540 oleh Valerius Cordus, botani
Prusia berusia 25 tahun. Eter sudah dipakai dalam dunia kedokteran, namun
baru digunakan sebagai agen anestetik pada manusia di tahun 1842, ketika
Crawford W. Long dan William ZE. Clark menggunakannya pada pasien.
Namun penggunaan ini tidak dipublikasikan. Empat tahun kemudian di
Boston, 16 Oktober 1846, William T. G. Morton memperkenalkan
demostrasi public penggunaan eter sebagai anestetik umum (Morgan dan
Mikhail, 2002). Eter dapat dimasukkan kedalam derivate alcohol dimana H
dari R-O-[H] digantikan oleh gugus R lainnya. Eter adalah oksida organic
yang berstruktur :

[R]-C-O-C-[R]

Eter tidak berwarna, berbau menyengat, cairan yang mudah menguap.


Titik didihnya adalah 36,2oC. Cara pembuatan yang paling umum adalah
dengan dehidrasi alcohol bersama asam sulfat (Collins, 1996).

2.3 Kloroform

Kloroform pada suhu dan tekanan normal mudah menguap, jernih, tidak
mudah terbakar. Nama lain untuk kloroform adalah trichloromethane dan
triklorid metil, tidak seperti eter, bau chloroform manis tidak menyengat,
walaupun uap kloroform pekat terinhalasi dapat menyebabkan iritasi
permukaan mukosa yang terkena. Kloroform adalah anestesi yang lebih
efektif daripada nitro. Kloroform dosis tergantung di dalam tubuh akan
dimetabolisme didalam hati. Metabolit kloroform termasuk phosgene,
carbine, dan chlorine, yang semuanya dapat berkontribusi terhadap aktivitas
sitotoksik. Penggunaan jangka panjang kloroform sebagai anestetik dapat
menyebabkan toxaemia. Keracunan akut dapat menyebabkan sakit kepala,
kejang, perubahan kesadaran, kelumpuhan, gangguan pernapasan. Dari
system otonom dapat mengakibatkan pusing, mual dan muntah. Kloroform
juga dapat menyebabkan delayed-onset keruusakan pada hati, jantung dan
ginjal (Katzung,1997).

2.4 Diazepam

Diazepam adalah obat anti cemas dari golongan benzodiazepin, satu


golongan dengan alprazolam (Xanax), klonazepam, lorazepam, flurazepam,
dll.

Diazepam dan benzodiazepin lainnya bekerja dengan meningkatkan


efek GABA (gamma aminobutyric acid) di otak. GABA adalah
neurotransmitter (suatu senyawa yang digunakan oleh sel saraf untuk saling
berkomunikasi) yang menghambat aktifitas di otak. Diyakini bahwa aktifitas
otak yang berlebihan dapat menyebabkan kecemasan dan gangguan jiwa
lainnya.Diazepam tidak boleh dijual bebas, tetapi harus melalui resep
dokter.

Efek samping diazepam yang paling sering adalah mengantuk, lelah,


dan ataksia (kehilangan keseimbangan). Walaupun jarang, diazepam dapat
menyebabkan reaksi paradoksikal, kejang otot, kurang tidur, dan mudah
tersinggung. Bingung, depresi, gangguan berbicara, dan penglihatan ganda
juga merupakan efek yang jarang dari diazepam. Efek samping obat ini
berat dan berbahaya yang menyertai penggunaan diazepam IV ialah
obstruksi saluran nafas oleh lidah, akibat relaksasi otot. Disamping ini dapat
terjadi depresi nafas sampai henti nafas, hipotensi , henti jantung, dan
kantuk.

Diazepam dapat menyebabkan ketergantungan, terutama jika digunakan


dalam dosis tinggi dan dalam jangka waktu lama. Pada orang yang
mempunyai ketergantungan terhadap diazepam, penghentian diazepam
secara tiba-tiba dapat menimbulkan sakau (sulit tidur, sakit kepala, mual,
muntah, rasa melayang, berkeringat, cemas, atau lelah). Bahkan pada kasus
yang lebih berat, dapat timbul kejang.

Oleh karena itu, setelah penggunaan yang lama, diazepam sebaiknya


dihentikan secara bertahap, dan sebaiknya di bawah pengawasan dokter.

2.5 Tikus Putih

Tikus putih jenis (Rattus norvegicus, L.) sejak dulu sudah sering
digunakan sebagai hewan uji laboratorium karena anatomi fisiologi dari
organ-organ hewan tersebut sistematis kerjanya hampir sama dengan fungsi
anatomi organ manusia(John Smith, 1987:43). Klasifikasi tikus putih jenis
(Rattus norvegicus, L.) adalah:

Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Mammalia
Famili : Muridae
Genus : Rattus
Spesies : Rattus norvegicus, L. ( Priyambodo, 1995: 55)

Dua karakteristik yang membedakan tikus putih dengan binatang


percobaan yang lain adalah tikus tidak dapat memuntahkan makanan karena
susunan anatomi esophagus yang menyatu di perut, serta tikus tidak
mempunyai kantung empedu (John Smith,1987: 36-37). Kelebihan dari
tikus putih sebagai binatang percobaan antara lain bersifat omnnivora
(pemakan segala), mempunyai jaringan yang hampir sama dengan manusia
dan kebutuhan gizinya juga hampir sama dengan manusia. Selain itu dari
segi ekonomi harganya murah, ukurannya kecil dan perkembangannya
cepat. Tikus percobaan strain wistar yang dikembangkan secara luas sangat
mudah menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Makanan tikus juga
mempunyai variasi dalam susunannya, sebagai contoh komposisinya
meliputi: protein 20-25 %, karbohidrat 45-50%, serat 5%. Juga harus
mengandung vitamin A, vitamin D, alfa tokoferol, asam linoleat, thiamin,
riboflavin, panthothenat, biotin, serta mineral, phospor, magnesium,
potasium, tembaga, iodin, besi dan timah. Setiap hari seekor tikus dewasa
membutuhkan makanan antara 12-20 gr, serta minum air antara 20-45 ml,
serta mineral, besi sebesar 35 mg/kg ( Smith, 1987:41).

Data tentang fisiologi tikus putih (Rattus norvegicus, L.) menurut


Bivin, Crawford dan Brewer (1979: 60), Ringler dan Dabch (1979: 70), Carr
dan Krantz (1949: 65), Mitruka dan Rawnsley (1981: 45) dalam John Smith
(1987: 37) antara lain:

Jangka hidup : 2-3 tahun, ada yang dapat hidup selama 4 tahun
Produksi ekonomi : 1 tahun
Kehamilan : 20-22 hari
Umur saat disapih : 21 hari
Umur ketika dewasa : 40-60 hari
Berat lahir : 5-6 gram
Volume darah : 57-70 ml/gr
Sel darah merah : 7,2-9,6 x 106 /mm3
Sel darah putih : 5,0-13,0 x 106 /mm3
Trombosit : 150-460 x 103 /mm3
BAB III
METODOLOGI

4.1 Tempat dan Waktu Praktikum


Tempat : Laboratorium Farmakologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Tanggal : Kamis, 21 April 2016
Waktu : 08.00 10.00 WIB

4.2 Alat dan Bahan


Hewan Percobaan : Tikus
Bahan yang diberikan : Kloroform
Jumlah yang diberikan : 60 ml
Alat yang diperlukan : Kapas, toples bertutup, stopwatch

4.3 Prosedur Praktikum


Kloroform dituang Toples ditutup agar
Disiapkan toples dan sebanyak 60 ml ke seluruh permukaan
dimasukkan kapas dalam toples berisi toples dipenuhi uap
kedalam toples kapas (sampai kapas kloroform
terbasahi). (penjenuhan)

Setelah jenuh, Diamati setiap


tikus dimasukkan perubahan yang
ke dalam toples terjadi dan dicatat
dan ditutup waktu kejadiannya
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Pengamatan

Waktu
Waktu
Kel. BB Tikus Jenis Obat Efek yang Timbul Hilang
Pemberian
Respon
Kontrol:
1.pernapasan: 44/30
detik
2.denyut jantung:
50/30detik

25 = pupil mengecil
28= mulai hilang
kesadaran
28= mulai sadar
435= belum peka
Tidak
1 Eter 25 terhadap rangsang 28
ditimbang
6= nafas mulai teratur
1911= mulai peka
terhadap rangsang
2023= kembali seperti
semula.

Memasuki fase 1 pada


42 (denyut jantung
tidak diukur dikarenakan
masih berada dalam
toples)
Waktu
Waktu
Kel. BB Tikus Jenis Obat Efek yang Timbul Hilang
Pemberian
Respon
Memasuki fase 2 pada
53, denyut 81/30detik

Kontrol:
1.pernapasan: normal
2.Denyut jantung:
64/30detik

30=masuk stadium 3
(mata tidak bereaksi saat
diberi rangsang, tangan
dan kaki kaku. Denyut
jantung 50/30detik
249= mulai bergerak
tetapi tidak ada respon
Tidak pada telinga,
2 Kloroform 20 30
ditimbang mengeluarkan air liur.
3= tangan mulai
bergerak
348= mulai bergerak,
masuk stadium 2.
430= mata normal
87= mulai bangun,
meregangkan kaki.
855= mulai jalan
(masih oleng), diberikan
rangsang di telinga
(tidak ada respon), napas
mulai normal.
Waktu
Waktu
Kel. BB Tikus Jenis Obat Efek yang Timbul Hilang
Pemberian
Respon
9= detak jantung
930= masuk stadium 1
1455= suara lemah
2455= mulai kembali
seperti semula
289= normal

418 = kehilangan
keseimbangan
430 = mulai tenang
831= tenang, nafas
Diazepam-
3 - teratur 430
eter
1628= refleks kembali
2043= kejang
2413= mulai bergerak

Kelakuan sebelum
pemberian eter:
Normal
Tidak bersuara-> jika
disentuh mengeluarkan
suara kecil.
Tidak
4 Eter Aktif bergerak 25
ditimbang
Detak jantung
120/menit-> detak
jantung agak cepat
Pernapasan normat
Otot normal
Waktu
Waktu
Kel. BB Tikus Jenis Obat Efek yang Timbul Hilang
Pemberian
Respon
Kelakuan setelah
pemberian:
Detak jantung 60/15detik
(ketika masuk fase 2)

16= refleks mata


menurun
25= fase1
41= fase 2

Tikus 1:
Detak jantung sebelum
pemberian obat:
67/menit
15-> diam
37-> mulai hilang
kesadaran
Tikus
1: 37
Tikus 2:
Tidak
5 Klororform Detak jantung sebelum
ditimbang Tikus
pemberian obat:
2:
32/30detik
330
Detak jantung setelah
pemberian obat
25/30detik
19-> masuk stadium 1
330-> badan bergetar,
mulai hilang kesadaran
834-> masuk stadium
Waktu
Waktu
Kel. BB Tikus Jenis Obat Efek yang Timbul Hilang
Pemberian
Respon
3 (detak jantung
21/30detik)

Kontrol:
Denyut nadi: 56/menit
Detak jantung: 75/menit

Setelah diberi diazepam:


detak jantung lebih cepat
dari semula
Setelah diberi eter 20ml:
detak jantung 90/menit,
denyut nadi 84/menit.
27: mata berkedip
34: mulai hilang
Diazepam-
6 0,279 kg kesadaran 34
Eter
45: detak jantung cepat,
mulai tertidur
(dikeluarkan dari toples)
10= kelopak mata mulai
mengecil, diam
15= kelopak mata masih
mengecil, denyut jantung
127/menit, nadi 63/menit
17= mulai aktif
21=diam, reflek kuping
tidak bereaksi
25=kembali normal
4.2 Pembahasan

Pada praktikum kali ini digunakan tiga jenis obat anastesi yang berbeda,
yaitu eter, klorofom, dan diazepam + eter. Rute pemberian ketiga obat
tersebut sama, yaitu dengan menjenuhkan toples dengan kapas yang sudah
ditetesi eter ataupun kloroform, kemudian tikus dimasukkan kedalam toples
tersebut. Namun pada kelompok tiga dan enam, tikus terlebih dahulu diberi
diazepam yang disuntikkan sesuai perhitungan dosis sebelum dimasukkan
ke dalam toples yang berisi eter. Dengan diberikannya tiga jenis obat yang
berbeda, sehingga dapat dibedakan kemampuan masing-masing dalam
menganastesi sehingga tikus dapat memasuki tiap tingkat anastesi. Tahapan
anastesi sendiri terbagi menjadi:

Stadium I (stadium induksi atau eksitasi volunter), dimulai dari


pemberian agen anestesi sampai menimbulkan hilangnya kesadaran.
Rasa takut dapat meningkatkan frekuensi nafas dan pulsus, dilatasi
pupil, dapat terjadi urinasi dan defekasi.
Stadium II (stadium eksitasi involunter), dimulai dari hilangnya
kesadaran sampai permulaan stadium pembedahan. Pada stadium II
terjadi eksitasi dan gerakan yang tidak menurut kehendak, pernafasan
tidak teratur, inkontinensia urin, muntah, midriasis, hipertensi, dan
takikardia.
Stadium III (pembedahan/operasi), terbagi dalam 3 bagian yaitu;
Plane I yang ditandai dengan pernafasan yang teratur dan terhentinya
anggota gerak. Tipe pernafasan thoraco-abdominal, refleks pedal masih
ada, bola mata bergerak-gerak, palpebra, konjuctiva dan kornea
terdepresi. Plane II, ditandai dengan respirasi thoraco-abdominal dan
bola mata ventro medial semua otot mengalami relaksasi kecuali otot
perut. Plane III, ditandai dengan respirasi regular, abdominal, bola mata
kembali ke tengah dan otot perut relaksasi.
Stadium IV (paralisis medulla oblongata atau overdosis), ditandai
dengan paralisis otot dada, pulsus cepat dan pupil dilatasi. Bola mata
menunjukkan gambaran seperti mata ikan karena terhentinya sekresi
lakrimal.

Pada kelompok satu dan empat, tikus diinhalasi oleh eter. Dan pada
kelompok dua dan lima tikus diinhalasi oleh kloroform. Eter merupakan
cairan tidak berwarna, mudah menguap, berbau khas mengiritasi saluran
napas, mudah terbakar/meledak, dan dapat terurai oleh udara serta cahaya.
Eter merupakan obat anestetik yang sangat kuat sehingga pasien dapat
memasuki setiap tingkat anestesi. Eter pada kadar tinggi dan sedang
menimbulkan relaksasi otot serta hambatan neuromuscular yang tidak dapat
dilawan oleh neostigmin. Eter menyebabkan iritasi saluran napas dan
merangsang sekresi kelenjar bronkus. Pada induksi dan waktu pemulihan
eter menimbulkan salivasi, tetapi pada stadium yang lebih dalam salivasi
akan dihambat dan terjadi depresi napas.

Eter dapat menekan kontraktilitas otot jantung, namun in vivo efek ini
dilawan oleh meningkatnya aktivitas simpatis sehingga curah jantung tidak
berubah atau hanya sedikit meninggi. Eter tidak menyebabkan sensitisasi
jantung terhadap katekolamin. Pada anastesi ringan, eter menyebabkan
dilatasi pembuluh darah kulit sehingga timbul kemerahan terutama didaerah
muka. Terhadap pembuluh darah ginjal, eter menyebabkan vasokontriksi
sehingga terjadi penurunan laju filtrasi glomerolus dan produksi urin
menurun secara reversibel. Sebaliknya pada pembuluh darah otak
menyebabkan vasodilatasi. Eter dieksresikan melalu paru, sebagian kecil
dieksresikan melalui urin, air susu, dan keringat serta melalui difusi utuh.

Sedangkan Klorofom atau trichloromethane dan triklorid metil


memiliki sifat mudah menguap pada suhu dan tekanan normal, jernih, dan
tidak mudah terbakar. Tidak seperti eter, bau klorofom manis tidak
menyengat, uap kloroform pekat yang terinhalasi dapat menyebabkan iritasi
permukaan mukosa. Kloroform bersifat hepatotoksik. Mekanisme kerjanya
ialah dengan merusak sel hati melalui metabolik reaktif yaitu radikal
triklorometil. Radikal ini secara kovalen mengikat protein dan lipid jenuh
sehingga terbentuk peroksidasi lipid pada membran sel yang akan
menyebabkan kerusakan yang dapat mengakibatkan pecahnya membran sel
peroksidasi lupid yang menyebabkan penekanan pompa Ca2+ mikrosom
yang menyebabkan gangguan awal hemostatik Ca2+ sel hati yang dapat
menyebabkan kematian sel. diabsopsi cepat dan sempurna melalui saluran
cerna, konsentarasi tertinggi dalam plasma dicapai dalm waktu jam dan
masa paruh plasma antara 1-3 jam, obat ini tersebar keseluruh cairan tubuh.
Kloroform memiliki koefisien partisi minyak-gas lebih 280 besar dari eter
dan gas-darah sebesar 7.43. MAC kloroform lebih rendah dari eter.

Besarnya koefisien partisi minyak-gas menunjukkan lamanya masa


induksi dari anastesi, dimana nilai koefisien partisi gas-minyak kloroform
lebih tinggi dari eter sehingga masa induksi kloroform lebih awet dari eter
hal ini dibuktikan pada praktikum bahwa kloroform efeknya lebih lama
dibandingkan dengan efek eter. Besarnya koefisien partisi darah-gas
menunjukkan lama mulainya induksi anastesi, dimana koefisien darah-gas
kloroform lebih rendah dari eter sehingga induksi kloroform lebih cepat dari
eter. Hal ini sesuai dengan praktikum karena efek mulainya anastesi
kloroform pada praktikum lebih cepat dari eter.

Nilai MAC menunjukkan kekuatan menghilangkan


gerak/rangsang/nyeri anastesi misalnya sewaktu operasi. Dapat dilihat nilai
MAC eter lebih besar dari kloroform sehingga dapat dikatakan eter lebih
berpotensi sebagai anastesi dibandingkan kloroform. Hal ini dapat dilihat
ketika praktikum dimana tikus yang diberi kloroform tetapi tidak sampai
stadium 3 masih dapat berjalan-jalan sempoyongan sedangkan yang diberi
eter lebih diam. Pada praktikum, saat pemberian eter, efek yang dicapai
hanya sampai pada stadium 2 saja,hal ini ditunjukkan dengan ciri-ciri
pernapasan dan detak jantung yang cepat dan tidak teratur. Hal ini mungkin
disebabkan karena pemberian eter pada tikus kurang lama dan sebelum
mencapai stadium 3 sudah dihentikan pemberian eternya.

Pada kelompok tiga diberikan campuran diazepam dan eter. Diazepam


merupakan turunan benzodiazepine. Diazepam bekerja pada sistem GABA,
yaitu dengan memperkuat fungsi hambatan neuron GABA. Reseptor
benzodiazepin dalam seluruh sistem sarah pusat memiliki kerapatan yang
tinggi terutama dalam korteks otak frontal dan oksipital, hipokampus, dalam
otak kecil. Pada reseptor ini benzodiazepin bekerja sebagai agonis. Dengan
adanya interaksi benzodiazepin, afinitas GABA terhadap reseptornya akan
meningkat. Dengan aktifnya reseptor GABA, saluran ion klorida akan
terbuka sehingga ion klorida menyebabkan hiperpolarisasi sel yang
bersangkutan sehingga kemampuan sel untuk dirangsang berkurang. Saat
tikus disuntikkan diazepam melalui rute intraperitonial, terlihat tikus
memasuki stadium II, dimana tikus mulai hilang kesadaran dan mengalami
kejang sehingga diputuskan cukup diberikan diazepam saja.
BAB IV
KESIMPULAN

Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa:

Anastesi umum dibagi menjadi empat stadium, yaitu Stadium I (stadium


induksi atau eksitasi volunter), Stadium II (stadium eksitasi involunter),
Stadium III (pembedahan/operasi), Dan Stadium IV (paralisis medulla
oblongata atau overdosis).

Kloroform merupakan anastesi yang paling cepat dalam mencapai keeempat


tahap stadium. Hal ini disebabkan karena sifat dari klorofom yang mudah
menguap dan berikatan dengan oksigen.
DAFTAR PUSTAKA

Departemen Farmakologi Dan Teraupetik. 2007. Farmakologi dan Terapi Edisi 5.


Jakarta: FK UI

Dirjen POM,. 1979. Farmakope Indonesia Edisi Ketiga. Jakarta: Depkes RI

https://www.scribd.com/doc/109849276/Laporan-Farmakologi-Anestesi-Umum
Diakses pda 26April 2016

Katzung, Bertram G. 2001. Farmakologi Dasar dan Klinik. Jakarta: Salemba


Medika

Mutschler, Ernest. 1986. Dinamika Obat, Farmakologi, dan Toksikologi


(terjemahan). Bandung: ITB

Mycheck, Mary J. 2002. Farmakologi Ulasan Bergambar. Jakarta: Widya Medika.

Olson, James, M D. 2002. Belajar Mudah Farmakologi. Jakarta: ECG

Tim Penyusun. 2010. Buku Ajar Anatomi Umum Fakultas Kedokteran. Makassar:
Unhas.

Tjay, Tan Hoan dan Kirana Rahardja. 2003. Obat-Obat Penting. Jakarta: Elex
Media Komputindo.

You might also like