You are on page 1of 32

CASE EPORT III

CHRONIC KIDNEY DISEASE (CKD) DAN CONTINUOUS


AMBULATORY PERITONEAL DIALISYS (CAPD)

Pembimbing :
dr. Aulia Andriyati, Sp.PD

Diajukan Oleh :
Alban Ramadhan
J510165023

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2017

1
CASE REPORT III
CHRONIC KIDNEY DISEASE (CKD) DAN CONTINUOUS AMBULATORY
PERITONEAL DIALISYS (CAPD)

Oleh :
Alban Ramadhan
J510165023

Telah disetujui dan disahkan oleh bagian Program Pendidikan Profesi Fakultas
Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta
Pada hari..................tanggal..........................2017

Pembimbing :
dr. Aulia Andriyati, Sp.PD (.............................................)

Dipresentasikan dihadapan :
dr. Aulia Andriyati, Sp.PD (.............................................)

:
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta
2017

2
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Gagal ginjal terminal (GGT) atau Chronic Kidney Disease (CKD)


merupakan suatu keadaan dimana ginjal secara permanen kehilangan
fungsi untuk membuang zat-zat hasil untuk metabolisme dan gangguan
dalam mempertahanankan keseimbangan cairan dan zat-zat dalam tubuh
dan menyebabkan uremia. Pada kondisi ini nilai glomerular filtration rate
(GFR) yang merupakan indikator fungsi ginjal telah menurun hingga
kurang dari 15% sehingga ginjal tidak mampu melakukan fungsinya
sendiri.

CAPD sebagai Terapi pengganti ginjal, berupa dialisis dan


transplantasi ginjal merupakan satu-satunya cara untuk mempertahankan
fungsi tubuh pada kondisi GGT. Dialisis dapat dilakukan dengan
hemodialisis dan peritoneal dialisis. Salah satu peritoneal dialisis adalah
Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD). CAPD merupakan
suatu teknik dialisis dengan menggunakan membran peritoneum sebagai
membran dialisis yang memisahkan dialisat dalam rongga peritoneum dan
plasma darah dalam pembuluh darah peritoneum. Bentuk dialisis ini
continue karena terjadi sepanjang waktu yaitu 24 jam sehari, disebut
ambulatory karena setelah melakukan dialisis pasien tetap dapat
beraktivitas selama proses ini. Pilihan menggunakan CAPD pada pasien
dengan GGT karena tehnik yang relatif sederhana dan dapat dilakukan
sendiri di rumah. CAPD ini juga dapat mengurangi biaya transportasi yang
biasa dikeluarkan untuk melakukan perjalanan menuju tempat
hemodialisis.

3
B. TUJUAN

Berdasarkan uraian di atas, maka perlu kiranya untuk memahami


lebih jauh tentnag CAPD yang merupakan suatu tindakan yang diberikan
pada pasien yang mengalami gagal ginjal untuk mempertahankan fungsi
ekskresinya secara adekuat.

4
BAB II
FOLLOW UP
A. IDENTITAS
1. Nama : Tn.S
2. Umur : 58 tahun
3. Alamat : Bendungan 2/9 Begajah, Sukoharjo
4. Agama : Islam
5. Status : Menikah
6. No. RM : 2363xxx
7. Penerimaan : IGD
8. Tanggal masuk : 12 feb 2017
9. Tanggal pemeriksaan : 19 feb 2017

B. ANAMNESIS
1. Keluhan utama
Mual, Muntah
2. Riwayat penyakit sekarang
Pasien laki-laki 58 tahun datang ke IGD RSUD Sukoharjo, Pasien
mengeluh mual dan muntah sejak kemarin pagi hari sebelum MRS. Pasien
muntah sebanyak gelas belimbing berupa air kurang lebih empat kali,
setelah makan, mual muntah muncul setelah Pasien banyak memakan
buah-buahan, keluhan membaik setelah pasien beristirahat duduk, pasien
juga mengeluhkan sedikit pusing dan pandanganya kabur, pasien memiliki
riwayat penyakit ginjal kronik dan sudah terpasang alat bantu ginjal berupa
CAPD menurut keterangan pasien.

5
Riwayat Penyakit Dahulu
a) Riwayat Sakit Serupa : disangkal
b) Riwayat Hipertensi : diakui
c) Riwayat sakit jantung : disangkal
d) Riwayat penyakit asma : disangkal
e) Riwayat penyakit TB paru : disangkal
f) Riwayat gastritis : disangkat
g) Riwayat Diabetes Melitus : disangkal
h) Riwayat Penyakit Ginjal : diakui
Riwayat Penyakit Keluarga
a) Riwayat Sakit Serupa : disangkal
b) Riwayat Hipertensi : diakui
c) Riwayat Diabetes Melitus : disangkal
d) Riwayat Sakit Jantung : disangkal
3. Anamnesis Sistem
a) Sistem cerebrospinal : lemas (+), pusing (+)
b) Sistem cardiovaskular : sianosis (-) anemis (+)
c) Sistem respiratorius : Sesak (-), SDV (+/+)
d) Sistem genitourinarius : BAB biasa, BAK sedikit
e) Sistem gastrointestinal : Nyeri ulu hati (-), mual (+) muntah
(+)
f) Sistem muskuloskeletal : Badan lemas (+), atrofi otot (-),
kaku (-), nyeri (-)
g) Sistem integumentum : Pucat (-)

4. PEMERIKSAAN FISIK
1. Keadaan umum : Baik
Kesadaran : Compos Mentis
Vital Sign
a. Tekanan darah : 150/90 mmHg
b. Suhu : 36,6C
c. Nadi : 98x/menit
d. RR : 22x/menit

2. Status Generalis
a. Kepala : Konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (-/-),
nafas cuping hidung (-), edema palpebra (-)
b. Leher : Retraksi supra sterna (-/-), deviasi trachea (-), pembesaran
kelenjar limfe (-).
c. Thorax
Paru

6
1) Inspeksi : simetris, tidak terdapat ketinggalan gerak.
2) Palpasi : tidak terdapat ketinggalan gerak, fremitus normal.
3) Perkusi : sonor
4) Auskultasi : suara dasar vesikuler , tidak terdapat ronki maupun
wheezing.
Jantung
1) Inspeksi : iktus cordis tak tampak
2) Palpasi : iktus cordis kuat angkat
3) Perkusi : dalam batas normal
4) Auskultasi : Bunyi jantung I-II reguler, bising jantung (-)
d. Abdomen
1) Inspeksi : Perut membesar (-)
2) Auskultasi : Peristaltik (+), bising usus (-)
3) Perkusi : Timpani (+)
4) Palpasi : Massa abnormal (-), berbenjol-benjol (-), supel
(+),CAPD (+) Ascites(-), Nyeri tekan epigastrium (+)
a) Hati : sulit teraba
b) Limpa : Tak teraba membesar
e. Ekstremitas :Oedem, Akral hangat (-/-)

PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Hasil pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan Nilai Satuan Nilai normal

HEMATOLOGI
Paket Darah Lengkap
Lekosit 6.9 103/uI 3.6 11.0

Eritrosit L 3,11 106/uL 3.80 5.20

Hemoglobin L 8.3 g/dL 11.7 15.5

Hematokrit L 23.8 % 35 47

Index Eritrosit
MCV L 76.5 fL 80 100
MCH 29.7 pg 26 34
MCHC 34.5 g/dL RNF

7
Trombosit 175 103/uI 150 450

RDW-CV 13.6 % 11.5 14.5


PDW 8.6 fL
MPV 9.6 %
P-LCR 20.1 %
PCT 0.17 %

DIFF COUNT
NRBC 0.00 % 01
Neutrofil H 78.5 % 53 75
Limfosit L 6,1 % 25 40
Monosit H 11.20 % 28
Eosinofil 3.60 % 2.00 4.00
Basofil 0.10 % 01
IG 0.70 %

Gol Darah B
Gula darah sewaktu 99
SGOT 15,6 mg/gL 70 120
Kreatinin H 11,53 mg/gL 0 31
Ureum H 119,32 mg/gL 0.50 0.90

HBs Ag Non reaktif Non reaktif

5. DIAGNOSA KERJA
- CKD on CAPD
6. TERAPI
- Inf Kidmin 20 Tpm
- Omeprazole 1A /12J
- Furosemid 1A/24j
- Candesartan 1x 8mg
- CaC03/8j
- As Folat /8j
- Amlodiphine 10mg 0=1=1
- Flunarizin 1/24j
- Betahistin /8j

8
7. FOLLOW UP

19 feb 2017
S : Pusing cenut-cenut, mual(+), Muntah (-),
O :KU : Baik
-Kesadaran : CM
-VS : TD: 140/90 Nadi: 80x
Suhu: 36,3 RR: 20x
-K/L : SI (-/-), CA(+/+), PKGB (-/-)
-Tho : SDV (+/+), BJ I&II regular
Wh(-/-), Rh(-/-)
-Abd : timpani (+), peristaltic (+), NT epigastrium (+)
-Eks : akral hangat (+), oedem inferior(-)
A : CKD on CAPD
P : Inf Kidmin 20 Tpm
- Omeprazole 1A /12J
- Furosemid 1A/24j
- Candesartan 8 mg 1x1
- CaCO3 3x1
- As Folat 3x1
- Amlodiphine 10mg 1x1
- Flunarizin 1x1
- Betahistin 3x1
- Dimenhidramid 3x1
- Konsul saraf, konsul mata

20 Feb 2017
S : Pusing masih dirasa,pandangan kabur, mual(-), Muntah (-)
O :KU : Baik
-Kesadaran : CM
-VS : TD: 130/80 Nadi: 80x
Suhu: 36,3 RR: 20x
-K/L : SI (-/-), CA(-/-), PKGB (-/-)

9
-Tho : SDV (+/+), BJ I&II regular
Wh(-/-), Rh(-/-)
-Abd : timpani (+), peristaltic (+), NT epigastrium (-)
-Eks : akral hangat (+)
A : CKD on CAPD
P: teraphy lanjut
Konsul saraf, konsul mata , Alih rawat

10
Laporan Pendahuluan
Chronic Kidney Disease

A. Definisi
Gagal Ginjal Kronik (CRF) atau penyakit ginjal tahap akhir adalah
gangguan fungsi ginjal yang menahun bersifat progresif dan irreversibel.
Dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan
keseimbangan cairan dan elektrolit, menyebabkan uremia (retensi urea dan
sampah nitrogen lain dalam darah) ( Smeltzer & Bare, 2000).
Gagal ginjal kronis adalah suatu sindrom klinis yang disebabkan
penurunan fungsi ginjal yang bersifat menahun, berlangsung progresif dan
cukup lanjut, hal ini terjadi bila laju filtrasi glomerular kurang dari 50 mL/min.
(Suyono, et al, 2001)
Gagal ginjal kronis merupakan gangguan fungsi renal yang progresif dan
irreversibel dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan
metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit sehingga terjadi uremia.
(Smeltzer & Bare, 2000)

Gambar: Anatomi ginjal

B. Etiologi
Penyebab dari gagal ginjal kronis antara lain :
1. Infeksi saluran kemih (pielonefritis kronis)
2. Penyakit peradangan (glomerulonefritis)
3. Penyakit vaskuler hipertensif (nefrosklerosis, stenosis arteri renalis)
4. Gangguan jaringan penyambung (SLE, poliarteritis nodusa, sklerosis
sitemik)
5. Penyakit kongenital dan herediter (penyakit ginjal polikistik, asidosis
tubulus ginjal)
6. Penyakit metabolik (DM, gout, hiperparatiroidisme)
7. Nefropati toksik
8. Nefropati obstruktif (batu saluran kemih)

11
(Price & Wilson, 2006)

Penyebab gagal ginjal kronik cukup banyak tetapi untuk keperluan


klinis dapat dibagi dalam 2 kelompok :
1. Penyakit parenkim ginjal
Penyakit ginjal primer : Glomerulonefritis, Mielonefritis, Ginjal
polikistik, Tbc ginjal
Penyakit ginjal sekunder : Nefritis lupus, Nefropati, Amilordosis
ginjal, Poliarteritis nodasa, Sclerosis sistemik progresif, Gout, DM
2. Penyakit ginjal obstruktif : pembesaran prostat, batu saluran kemih,
Refluks ureter,

Secara garis besar penyebab gagal ginjal dapat dikategorikan


Infeksi yang berulang dan nefron yang memburuk
Obstruksi saluran kemih
Destruksi pembuluh darah akibat diabetes dan hipertensi yang lama
Scar pada jaringan dan trauma langsung pada ginjal

C. Klasifikasi
Sesuai dengan test kreatinin klirens, maka GGK dapat di klasifikasikan derajat
penurunan faal ginjal sebagai berikut:
Sekunder = Kreatinin
Derajat Primer (LFG)
(mg %)
A Normal Normal
B 50 80 % normal Normal 2,4
C 20 50 % normal 2,5 4,9
D 10 20 % normal 5,0 7,9
E 5 10 % normal 8,0 12,0
F < 5 % normal > 12,0
(Long, 1996)

Pada 2002, National Kidney Foundation AS menerbitkan pedoman pengobatan


yang menetapkan lima stadium CKD berdasarkan ukuran GFR yang menurun.

12
Pedoman tersebut mengusulkan tindakan yang berbeda untuk masing-masing
stadium penyakit ginjal.
1. Stadium 1
Kerusakan ginjal dengan GFR normal (90 atau lebih). Kerusakan pada
ginjal dapat dideteksi sebelum GFR mulai menurun. Pada stadium pertama
penyakit ginjal ini, tujuan pengobatan adalah untuk memperlambat
perkembangan CKD dan mengurangi resiko penyakit jantung dan pembuluh
darah
2. Stadium 2
Kerusakan ginjal dengan penurunan ringan pada GFR (60-89). Saat
fungsi ginjal kita mulai menurun, dokter akan memperkirakan
perkembangan CKD kita dan meneruskan pengobatan untuk mengurangi
resiko masalah kesehatan lain.
3. Stadium 3
Penurunan lanjut pada GFR (30-59). Saat CKD sudah berlanjut pada
stadium ini, anemia dan masalah tulang menjadi semakin umum. Kita
sebaiknya bekerja dengan dokter untuk mencegah atau mengobati masalah.
4. Stadium 4
Penurunan berat pada GFR (15-29). Teruskan pengobatan untuk
komplikasi CKD dan belajar semaksimal mungkin mengenai pengobatan
untuk kegagalan ginjal. Masing-masing pengobatan membutuhkan
persiapan. Bila kita memilih hemodialisis, kita akan membutuhkan tindakan
untuk memperbesar dan memperkuat pembuluh darah dalam lengan agar
siap menerima pemasukan jarum secara sering. Untuk dialisis peritonea,
sebuah kateter harus ditanam dalam perut kita. Atau mungkin kita ingin
minta anggota keluarga atau teman menyumbang satu ginjal untuk
dicangkok.
5. Stadium 5
Kegagalan ginjal (GFR di bawah 15). Saat ginjal kita tidak bekerja
cukup untuk menahan kehidupan kita, kita akan membutuhkan dialisis atau
pencangkokan ginjal.

13
(Reeves, 2001)

D. Prognosis Penyakit
Perjalanan umum gagal ginjal progresif dapat dibagi menjadi 3 stadium
1. Stadium I
Penurunan cadangan ginjal (faal ginjal antara 40 % - 75 %). Tahap
inilah yang paling ringan, dimana faal ginjal masih baik. Pada
tahap ini penderita ini belum merasasakan gejala gejala dan
pemeriksaan laboratorium faal ginjal masih dalam masih dalam
batas normal. Selama tahap ini kreatinin serum dan kadar BUN
(Blood Urea Nitrogen) dalam batas normal dan penderita
asimtomatik. Gangguan fungsi ginjal mungkin hanya dapat
diketahui dengan memberikan beban kerja yang berat, sepersti tes
pemekatan kemih yang lama atau dengan mengadakan test GFR
yang teliti.
2. Stadium II
Insufiensi ginjal (faal ginjal antar 20 % - 50 %). Pada tahap ini
penderita dapat melakukan tugas tugas seperti biasa padahal daya
dan konsentrasi ginjaL menurun. Pada stadium ini pengobatan
harus cepat daloam hal mengatasi kekurangan cairan, kekurangan
garam, gangguan jantung dan pencegahan pemberian obat obatan
yang bersifat menggnggu faal ginjal. Bila langkah langkah ini
dilakukan secepatnya dengan tepat dapat mencegah penderita
masuk ketahap yang lebih berat. Pada tahap ini lebih dari 75 %
jaringan yang berfungsi telah rusak. Kadar BUN baru mulai
meningkat diatas batas normal. Peningkatan konsentrasi BUN ini

14
berbeda beda, tergantung dari kadar protein dalam diit.pada
stadium ini kadar kreatinin serum mulai meningkat melebihi kadar
normal.
Insufiensi ginjal (faal ginjal antar 20 % - 50 %). Pada tahap ini
penderita dapat melakukan tugas tugas seperti biasa padahal daya
dan konsentrasi ginjaL menurun. Pada stadium ini pengobatan
harus cepat dalam hal mengatasi kekurangan cairan, kekurangan
garam, gangguan jantung dan pencegahan pemberian obat obatan
yang bersifat menggnggu faal ginjal. Bila langkah langkah ini
dilakukan secepatnya dengan tepat dapat mencegah penderita
masuk ketahap yang lebih berat. Pada tahap ini lebih dari 75 %
jaringan yang berfungsi telah rusak. Kadar BUN baru mulai
meningkat diatas batas normal. Peningkatan konsentrasi BUN ini
berbeda beda, tergantung dari kadar protein dalam diit.pada
stadium ini kadar kreatinin serum mulai meningkat melebihi kadar
normal.
Poliuria akibat gagal ginjal biasanya lebih besar pada penyakit
yang terutama menyerang tubulus, meskipun poliuria bersifat
sedang dan jarang lebih dari 3 liter / hari. Biasanya ditemukan
anemia pada gagal ginjal dengan faal ginjal diantara 5 % - 25 % .
faal ginjal jelas sangat menurun dan timbul gejala gejala
kekurangan darah, tekanan darah akan naik, , aktifitas penderita
mulai terganggu.
3. Stadium III
Uremi gagal ginjal (faal ginjal kurang dari 10 %)
Semua gejala sudah jelas dan penderita masuk dalam keadaan
diman tak dapat melakukan tugas sehari hair sebaimana mestinya.
Gejal gejal yang timbul antara lain mual, munta, nafsu makan
berkurang., sesak nafas, pusing, sakit kepala, air kemih berkurang,
kurang tidur, kejang kejang dan akhirnya terjadi penurunan
kesadaran sampai koma. Stadum akhir timbul pada sekitar 90 %
dari massa nefron telah hancur. Nilai GFR nya 10 % dari keadaan

15
normal dan kadar kreatinin mungkin sebesar 5-10 ml / menit atau
kurang.
Pada keadaan ini kreatinin serum dan kadar BUN akan meningkat
dengan sangat mencolok sebagai penurunan. Pada stadium akhir
gagal ginjal, penderita mulai merasakan gejala yang cukup parah
karena ginjal tidak sanggup lagi mempertahankan homeostatis
caiaran dan elektrolit dalam tubuh. Penderita biasanya menjadi
oliguri (pengeluaran kemih) kurang dari 500/ hari karena kegagalan
glomerulus meskipun proses penyakit mula mula menyerang
tubulus ginjal,
kompleks menyerang tubulus ginjal, kompleks perubahan biokimia
dan gejala gejala yang dinamakan sindrom uremik mempengaruhi
setiap sistem dalam tubuh. Pada stadium akhir gagal ginjal,
penderita pasti akan menggal kecuali ia mendapat pengobatan
dalam bentuk transplantasi ginjal atau dialisis.

E. Patofisiologi
Gagal ginjal kronis selalu berkaitan dengan penurunan progresif GFR.
Stadium gagal ginjal kronis didasarkan pada tingkat GFR (Glomerular
Filtration Rate) yang tersisa dan mencakup :
1. Penurunan cadangan ginjal;
Yang terjadi bila GFR turun 50% dari normal (penurunan fungsi
ginjal), tetapi tidak ada akumulasi sisa metabolic. Nefron yang
sehat mengkompensasi nefron yang sudah rusak, dan penurunan
kemampuan mengkonsentrasi urin, menyebabkan nocturia dan
poliuri. Pemeriksaan CCT 24 jam diperlukan untuk mendeteksi
penurunan fungsi
2. Insufisiensi ginjal;
Terjadi apabila GFR turun menjadi 20 35% dari normal. Nefron-
nefron yang tersisa sangat rentan mengalami kerusakan sendiri
karena beratnya beban yang diterima. Mulai terjadi akumulai sisa
metabolic dalam darah karena nefron yang sehat tidak mampu lagi
mengkompensasi. Penurunan respon terhadap diuretic,
menyebabkan oliguri, edema. Derajat insufisiensi dibagi menjadi

16
ringan, sedang dan berat, tergantung dari GFR, sehingga perlu
pengobatan medis.

3. Penyakit gagal ginjal stadium akhir


Terjadi bila GFR menjadi kurang dari 5% dari normal. Hanya
sedikit nefron fungsional yang tersisa. Di seluruh ginjal ditemukan
jaringan parut dan atrofi tubuluS. Akumulasi sisa metabolic dalam
jumlah banyak seperti ureum dan kreatinin dalam darah. Ginjal
sudah tidak mampu mempertahankan homeostatis dan
pengobatannya dengan dialisa atau penggantian ginjal. (Corwin,
2011)
F. Tanda Dan Gejala
1. Gangguan pernafasan
2. Udema
3. Hipertensi
4. Anoreksia, nausea, vomitus
5. Ulserasi lambung
6. Stomatitis
7. Proteinuria
8. Hematuria
9. Letargi, apatis, penuruna konsentrasi
10. Anemia
11. Perdarahan
12. Turgor kulit jelek, gatak gatal pada kulit
13. Distrofi renal
14. Hiperkalemia
15. Asidosis metabolic

G. Pemeriksaan Penunjang

17
Menurut Suyono (2001), untuk menentukan diagnosa pada CKD dapat
dilakukan cara sebagai berikut:
a. Pemeriksaan laboratorium
Menentukan derajat kegawatan CKD, menentukan gangguan sistem
dan membantu menetapkan etiologi.
b. Pemeriksaan USG
Untuk mencari apakah ada batuan, atau massa tumor, juga untuk
mengetahui beberapa pembesaran ginjal.
c. Pemeriksaan EKG
Untuk melihat kemungkinan hipertropi ventrikel kiri, tanda-tanda
perikarditis, aritmia dan gangguan elektrolit
d. Pielografi intravena
Menunjukkan abnormalitas pelvis ginjal dan ureter. Pielografi
retrograd
dilakukan bila dicurigai ada obstruksi yang reversible.
e. Sistouretrogram berkemih
Menunjukkan ukuran kandung kemih, refluks kedalam ureter
f. Ultrasono ginjal
Menunjukkan ukuran kandung kemih, dan adanya massa, kista,
obstruksi pada saluran perkemihan bagian atas.
g. Biopsi ginjal
Mungkin dilakukan secara endoskopi untuk menentukan sel jaringan
untuk diagnosis histologist
h. Endoskopi ginjal nefroskopi
Dilakukan untuk menentukan pelvis ginjal ; keluar batu, hematuria
dan pengangkatan tumor selektif

H. Komplikasi
Komplikasi yang mungkin timbul akibat gagal ginjal kronis antara lain :

18
a. Hiperkalemia: akibat penurunan ekskresi, asidosis metabolik,
katabolisme dan masukan diit berlebih.
b. Perkarditis: Efusi pleura dan tamponade jantung akibat produk sampah
uremik dan dialisis yang tidak adekuat.
c. Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi sistem renin-
angiotensin-aldosteron.
d. Anemia akibat penurunan eritropoetin, penurunan rentang usia sel darah
merah.
e. Penyakit tulang serta kalsifikasi akibat retensi fosfat, kadarkalsium serum
rendah, metabolisme vitamin D dan peningkatan kadar aluminium.
(Smeltzer & Bare, 2001)
I. Penatalaksanaan
1. Dialisis
Dialisis dapat dilakukan untuk mencegah komplikasi gagal ginjal
akut yang serius, seperti hiperkalemia, perikarditis dan kejang.
Perikarditis memperbaiki abnormalitas biokimia ; menyebabkan
caiarn, protein dan natrium dapat dikonsumsi secara bebas ;
menghilangkan kecendurungan perdarahan ; dan membantu
penyembuhan luka.
2. Penanganan hiperkalemia
Keseimbangan cairan dan elektrolit merupakan masalah utama
pada gagal ginjal akut ; hiperkalemia merupakan kondisi yang
paling mengancam jiwa pada gangguan ini. Oleh karena itu pasien
dipantau akan adanya hiperkalemia melalui serangkaian
pemeriksaan kadar elektrolit serum ( nilai kalium > 5.5 mEq/L ;
SI : 5.5 mmol/L), perubahan EKG (tinggi puncak gelombang T
rendah atau sangat tinggi), dan perubahan status klinis. Pningkatan
kadar kalium dapat dikurangi dengan pemberian ion pengganti
resin (Natrium polistriren sulfonat [kayexalatel]), secara oral atau
melalui retensi enema.
3. Mempertahankan keseimbangan cairan
Penatalaksanaan keseimbanagan cairan didasarkan pada berat
badan harian, pengukuran tekanan vena sentral, konsentrasi urin

19
dan serum, cairan yang hilang, tekanan darah dan status klinis
pasien. Masukkan dan haluaran oral dan parentral dari urine,
drainase lambung, feses, drainase luka dan perspirasi dihitung dan
digunakan sebagai dasar untuk terapi penggantia cairan.
Glomerular Filtration Rate (GFR)=
[ (140 age in years) weight (kg) ]/plasma creatinine (mol/l) 0.82
(subtract 15 per cent for females).
Penatalaksanaan terhadap gagal ginjal meliputi :
1. Restriksi konsumsi cairan, protein, dan fosfat.
2. Obat-obatan : diuretik untuk meningkatkan urinasi; alumunium
hidroksida untuk terapi hiperfosfatemia; anti hipertensi untuk terapi
hipertensi serta diberi obat yang dapat menstimulasi produksi RBC
seperti epoetin alfa bila terjadi anemia.
3. Dialisis
4. Transplantasi ginjal
(Reeves, Roux, Lockhart, 2001)

Gambar. hemodialisa
A. Pengertian CAPD
CAPD (Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis) adalah metode
pencucian darah dengan menggunakan peritoneum (selaput yang melapisi perut
dan pembungkus organ perut). Selaput ini memiliki area permukaan yang luas dan
kaya akan pembuluh darah. Zat-zat dari darah dapat dengan mudah tersaring
melalui peritoneum ke dalam rongga perut. Cairan dimasukkan melalui sebuah
selang kecil yang menembus dinding perut ke dalam rongga perut. Cairan harus
dibiarkan selama waktu tertentu sehingga limbah metabolic dari aliran darah
secara perlahan masuk ke dalam cairan tersebut, kemudian cairan dikeluarkan,
dibuang, dan diganti dengan cairan yang baru (Surya Husada, 2008).

20
Pada dialysis peritoneal, permukaan peritoneum yang luasnya sekitar
22.000 cm2 berfungsi sebagai permukaan difusi. Cairan dialisat yang tepat dan
steril dimasukkan ke dalam cavum peritoneal menggunakan kateter abdomen
dengan interval. Ureum dan creatinin yang keduanya merupakan produk akhir
metabolism yang diekskresikan oleh ginjal dikeluarkan (dibersihkan) dari darah
melalui difusi dan osmosis ketika produk limbah mengalir dari daerah dengan
konsentrasi tinggi (suplai darah peritoneum) ke daerah dengan konsentrasi rendah
(cavum peritoneal) melalui membrane semipermeable (membrane peritoneum).
Ureum dibersihkan dengan kecepatan 15 hingga 20 ml/menit, sedangkan creatinin
dikeluarkan lebih lambat.

B.Indikasi pamasangan CAPD


Penyakit ginjal stadium terminal yang terjadi akibat penyakit diabetes
Pasien yang berisiko mengalami efek samping pemberian heparin ttsecara
sistemik
Pasien dengan akses vascular yang jelek (lansia)
Adanya penyakit kardiovaskuler yang berat
Hipertensi berat, gagal jantung kongestif dan edema pulmonary yang tidak
responsive terhadap terapi dapat juga diatasi dengan dialysis peritoneal.

C. Kontraindikasi CAPD
Riwayat pembedahan abdominal sebelumnya (kolostomi, ileus, nefrostomi)
Adhesi abdominal
Nyeri punggung kronis yang terjadi rekuren disertai riwayat kelainan pada
discus intervertebalis yang dapat diperburuk dengan adanya tekanan cairan
dialisis dalam abdomen yang kontinyu
Pasien dengan imunosupresi
D. Cara kerja CAPD
a. Pemasangan Kateter untuk Dialisis Peritoneal

21
Sebelum melakukan Dialisis peritoneal, perlu dibuat akses sebagai tempat
keluar masuknya cairan dialisat (cairan khusus untuk dialisis) dari dan ke
dalam rongga perut (peritoneum). Akses ini berupa kateter yang ditanam di
dalam rongga perut dengan pembedahan. Posisi kateter yaitu sedikit di bawah
pusar. Lokasi dimana sebagian kateter muncul dari dalam perut disebut exit
site.
Sebelum pemasangan kateter peritoneal, dokter mencuci dan
mendesinfeksi abdomen. Anastesi lokal diberikan di daerah tengah abdomen
sekitar 5 cm di bawah umbilicus. Dokter membuat insisi kecil dan kateter
multinilon dimasukkan ke dalam rongga peritoneum. Kemudian, daerah
tersebut ditutup dengan balutan.
Proses pemasangan
Mula-mula, alat perangkat harus disiapkan. Ini terdiri dari alat baxter
dinealR61L yang besar dengan tetes rangkap dimana diikatkan dua
kantong cairan dialysis 1 L. Dari pipa umum, alat tetes rangkap ada suatu pipa
tambahan yang menuju ke belakang, ini untuk mengsyphon off cairan dari
peritoneum. Seluruh pipa harus terisi dengan cairan yang dipakai. Sebuah
kantong pengumpulan steril yang besar (paling sedikit volume 2 L) diikatkan
pada pipa keluar.
Kemudian, anastesi local (lignocain 1-2%) disuntikkan ke linea alba antara
pusar atau umbilicus dan symphisis pubis, biasanya kira-kira 2/3 bagian dari
pubis. Bekas luka pada dinding abdominal harus dihindari dan kateter dapat
dimasukkan sebelah lateral dari selaput otot rectus abdominus. Anastesi local
yang diberikan cukup banyak (10-15 ml) dan yang paling penting untuk
meraba peritoneum dan mengetahui bahwa telah diinfiltrasi, bila penderita
gemuk, sebuah jarum panjang (seperti jarum cardiac atau pungsi lumbal)
diperlukan untuk menganastesi peritoneum.
Suatu insisi kecil (sedikit lebih pendek dari garis tengah kanula) dibuat di
kulit dengan pisau nomor 11. Kateter peritoneal kemudian didorong masuk ke
ruang peritoneal dengan gerakan memutar (seperti sekrup). Sewaktu sudah
masuk, pisau ditarik 1 inci dan kateter diarahkan ke pelvis. Kdang-kadang

22
dinding atau selaput peritoneum terasa sebagai dua lapis yang dapat
dibedakan, keduanya harus ditembus sebelum menarik pisau dan mengarahkan
kateter. Pada waktu ini, harus segera dijalankan atau dialirkan 2 L cairan dan
diperhatikan reaksi penderita, minimalkan rasa tidak nyaman. Segera setelah
cairan ini masuk, harus di syphon off untuk melihat bahwa system tersebut
mtttttttttttengalir lancar, sesuaikan posisi kateter untuk menjamin bahwa aliran
cukup baik. Beberapa inci dari kateter akan menonjol dari abdomen dan ini
dapat dirapikan bila perlu. Namun paling sedikit 1 atau 2 inci harus menonjol
dari dinding perut. Hal ini kemudian dikuatkan ditempat dengan elastoplas.
Dengan tiap trokat ada suatu pipa penyambung yang pendek yang
menghubungkan kateter ke alat perangkat.

b. Pemasukan cairan dialisat


Dialisis Peritoneal diawali dengan memasukkan cairan dialisat (cairan
khusus untuk dialisis) ke dalam rongga perut melalui selang kateter, lalu
dibiarkan selama 4-6 jam. Ketika dialisat berada di dalam rongga perut, zat-zat
racun dari dalam darah akan dibersihkan dan kelebihan cairan tubuh akan
ditarik ke dalam cairan dialisat.
Sekitar 2 L dialisat dihangatkan sesuai dengan suhu tubuh kemudian
disambungkan dengan kateter peritoneal melalui selang.dialisat steril
dibiarkan mengalir secepat mungkin kedalam rongga peritoneum. Dialisat
steril 2 L dihabiskan dalam waktu 10 menit. Kemudian klem selang ditutup.
Osmosis cairan yang maksimal dan difusi solut/butiran ke dalam dialisat
mungkin terjadi dalam 20-30 menit. Pada akhir dwell-time (waktu yang
diperlukan dialisat menetap di dalam peritoneum), klem selang dibuka dan
cairan dibiarkan mengalir karena gravitasi dari rongga peritoneum ke luar (ada
kantong khusus). Cairan ini harus mengalir dengan lancar. Waktu drainase
(waktu yang diperlukan untuk mengeluarkan semua dialisat dari rongga
peritoneum) adalah 10-15 menit.
Drainase yang pertama mungkin berwarna merah muda karena trauma
yang terjadi waktu memasang kateter peritoneal. Pada siklus ke-2 atau ke-3,

23
drainase sudah jernih dan tidak boleh ada lagi drainase yang bercampur
dengan darah. Setelah cairan dikeluarkan dari rongga peritoneum, siklus yang
selanjutnya harus segera dimulai. Pada pasien yang sudah dipasang kateter
peritoneal, sebelum memasukkan dialisat kulit diberi obat bakterisida. Setelah
dialisis selesai, kateter dicuci lagi dan ujungnya ditutup dengan penutup yang
steril. Zat-zat racun yang terlarut di dalam darah akan pindah ke dalam cairan
dialisat melalui selaput rongga perut (membran peritoneum) yang berfungsi
sebagai alat penyaring, proses perpindahan ini disebut Difusi.
Cairan dialisat mengandung dekstrosa (gula) yang memiliki kemampuan
untuk menarik kelebihan air, proses penarikan air ke dalam cairan dialisat ini
disebut Ultrafiltrasi.
c. Proses Penggantian Cairan Dialisis
Proses ini tidak menimbulkan rasa sakit dan hanya membutuhkan waktu
singkat ( 30 menit). Terdiri dari 3 langkah:
1. Pengeluaran cairan
Cairan dialisat yang sudah mengandung zat-zat racun dan kelebihan air
akan dikeluarkan dari rongga perut dan diganti dengan cairan dialisis yang
baru. Proses pengeluaran cairan ini berlangsung sekitar 20 menit.

2. Memasukkan cairan

Sejumlah 2 L cairan dialirkan pada kira-kira setiap 45-60 menit,


biasanya hanya memakan waktu 5 menit untuk mengalirkan. Cairan
dialisat dialirkan ke dalam rongga perut melalui kateter.

3. Waktu tinggal
Sesudah dimasukkan, cairan dialisat dibiarkan ke dalam rongga perut
selama 4-6 jam, tergantung dari anjuran dokter. Atau cairan ditinggal
dalam ruang peritoneum untuk kira-kira 20 menit dan kemudian 20
menit dibiarkan untuk pengeluaran. Setelah itu, 2 L cairan lagi dialirkan.

24
Hal ini diulang tiap jam untuk 36 jam atau lebih lama bila perlu. Suatu
catatan, keseimbangan kumulatif dari cairan yang mengalir ke dalam
dan keluar harus dilakukan dengan dasar tiap 24 jam. Suatu kateter
Tenchoff yang fleksibel dapat dipakai juga dapat ditinggal secara
permanen untuk CAPD dari penderita yang mengalami gagal ginjal
tahap akhir.Proses penggantian cairan di atas umumnya diulang setiap 4
atau 6 jam (4 kali sehari), 7 hari dalam seminggu.

E. Prinsip-prinsip CAPD
CAPD bekerja berdasrkan prinsip-prinsip yang sama seperti pada bentuk
dialisis lainnya, yaitu: difusi dan osmosis. Namun, karena CAPD merupakan
terapi dialisis yang kontinyu, kadar produk limbah nitrogen dalam serum
berada dalam keadaan yang stabil. Nilainya tergantung pada fungsi ginjal yang
masih tersisa, volume dialisa setiap hari, dan kecepatan produk limbah tesebut
diproduksi. Fluktuasi hasil-hasil laboritorium ini pada CAPD tidak bergitu
ekstrim jika dibandingkan dengan dialysis peritoneal intermiten karena proses
dialysis berlangsung secara konstan. Kadar eletrilit biasanya tetap berada
dalam kisaran normal.
Semakin lama waktu retensi, kliren molekul yang berukuran sedang
semakin baik. Diperkirakan molekul-molekul ini merupakan toksik uremik
yang signifikan. Dengan CAPD kliren molekul ini meningkat. Substansi
dengan berat molekul rendah, seperti ureum, akan berdifusi lebih cepat dalam
proses dialysis daripada molekul berukuran sedang, meskipun pengeluarannya
selama CAPD lebih lambat daripada selama hemodialisa. Pengeluaran cairan
yang berlebihan pada saat dialysis peritonial dicapai dengan menggunakan
larutan dialisat hipertonik yang memiliki konsentrasi glukosa yang tinggi
sehingga tercipta gradient osmotic. Larutan glukosa 1,5%, 2,5% dan 4,25%
harus tersedia dengan bebepara ukuran volume, yaitu mulai dari 500 ml
hingga 3000 ml sehingga memungkinkan pemulihan dialisat yang sesuai
dengan toleransi, ukuran tubuh dan kebutuhan fisiologik pasien. Semakin
tinggi konsentrasi glukosa, semakin besar gradient osmotic dan semakin

25
banyak cairan yang dikeluarkan. Pasien harus diajarkan cara memilih larutan
glukosa yang tepat berdasarkan asupan makanannya.
Pertukaran biasanya dilakukan empat kali sehari. Teknik ini berlangsung
secara kontinyu selama 24 jam sehari, dan dilakukan 7 hari dalam seminggu.
Pasien melaksanakan pertukaran dengan interval yang didistribusikan
sepanjang hari (misalnya, pada pukul 08.00 pagi, 12.00 siang hari, 05.00 sore
dan 10.00 malam). Dan dapat tidur pada malam harinya. Setipa pertukaran
biasanya memerlukan waktu 30-60 menit atau lebih; lamanya proses ini
tergantung pada lamanya waktu retensi yang ditentukan oleh dokter. Lama
waktu penukaran terdiri atas lima atau 10 menit periode infus (pemasukan
cairan dialisat), 20 menit periode drainase (pengeluaran ciiran dialisat) dan
waktu rentensi selama 10 menit, 30 menit atau lebih.

F. Efektifitas CAPD, Keuntungan serta Kerugian

Efektifitas
Selain bisa dikerjakan sendiri, proses penggantian cairan dengan cara
CAPD lebih hemat waktu dan biaya, tak menimbulkan rasa sakit, dan fungsi
ginjal yang masih tersisa dapat dipertahankan lebih lama (Wurjanto, 2010).
Menurut Wurjanto, CAPD adalah cara penanganan penderita gagal ginjal,
yakni dialisis yang dilakukan melalui rongga peritoneum (rongga perut) di
mana yang berfungsi sebagai filter adalah selaput/membran.

Cara kerjanya, diawali dengan memasukkan cairan dialisis ke dalam


rongga perut melalui selang kateter yang telah ditanam dalam rongga perut.
Teknik ini memanfaatkan selaput rongga perut untuk menyaring dan
membersihkan darah. Ketika cairan dialisis berada dalam rongga perut, zat-zat
di dalam darah akan dibersihkan, juga kelebihan air akan ditarik. Cara CAPD
antara lain hanya butuh 30 menit, dilakukan di rumah oleh pasien
bersangkutan, tidak ada tusukan jarum yang menyakitkan, fungsi ginjal yang
tersisa bisa lebih lama, dialisis dapat dilakukan setiap saa, dan pasiennya lebih
bebas atau dapat bekerja seperti biasa (Wurjanto, 2010).

26
Keuntungan CAPD dibandingkan HD
Terdapat tiga keuntungan utama dari penggunaan dialisis peritoneal:
a) Bisa mengawetkan fungsi ginjal yang masih tersisa. Seperti diketahui
sebenarnya saat mencapai GGT, fungsi ginjal itu masih tersisa sedikit. Di
samping untuk membersihkan kotoran, fungsi ginjal (keseluruhan) yang
penting lainnya adalah mengeluarkan eritropoetin (zat yang bisa
meningkatkan HB) dan pelbagai hormon seks. Berbeda dengan dialisis
yang lain, dialisis peritoneal tidak mematikan fungsi-fungsi tersebut.
b) Angka bertahan hidup sama atau relatif lebih tinggi dibandingkan
hemodialisis pada tahun-tahun pertama pengobatan Meskipun pada
akhirnya, semua mempunyai usia juga, tetapi diketahui bahwa pada tahun-
tahun pertama penggunaan dialisis peritoneal menyatakan angka bertahan
hidup bisa sama atau relatif lebih tinggi.
c) Harganya lebih murah pada kebanyakan negara karena biaya untuk
tenaga/fasilitas kesehatan lebih rendah (Tapan, 2004)
Keuntungan tambahan yang lain yaitu :
a) Dapat dilakukan sendiri di rumah atau tempat kerja
b) Pasien menjadi mandiri (independen), meningkatkan percaya diri
c) Simpel, dapat dilatih dalam periode 1-2 minggu.
d) Jadwal fleksibel, tidak tergantung penjadwalan rumah sakit sebagaimana
HD
e) Pembuangan cairan dan racun lebih stabil
f) Diit dan intake cairan sedikit lebih bebas
g) Cocok bagi pasien yang mengalami gangguan jantung
h) Pemeliharaan residual renal function lebih baik pada 2-3 tahun pertama.

Kelemahan CAPD
a) Resiko infeksi. Peritonitis merupakan komplikasi yang sering. Juga dapat
terjadi infeksi paru karena goncangan diafragma
b) Pengobatan yang tidak nayman dan penderita sebagian tidak boleh
bergerak di tempat tidur. Kateter harus diganti setiap 4-5 hari
c) Pengeluaran protein dari dialisat, sampai pada 40 gram/24 jam. Baik
subnutrisi (pengeluaran asam amino) maupun hipovolemia (pengeluaran
albumin) dapat terjadi.
d) BB naik karena glukosa, pada cairan CAPD diabsorbsi (Iqbal et al, 2005).

Komplikasi CAPD

27
1. Peritonitis
Komplikasi yang bisa terjadi pada pelaksanaan Dialisa Peritonial
Ambulatory Continous adalah radang selaput rongga perut atau peritonitis.
Gejala yang muncul seperti cairan menjadi keruh dan atau nyeri perut dan
atau demam. Peritonitis merupakan komplikasi yang paling sering
dijumpai dan paling serius. Komplikasi ini terjadi pada 60% hingga 80%
pasien yang menjalani dialysis peritoneal. Sebagian besar kejadian
peritonitis disebabkan oleh kontaminasi staphylococcus epidermis yang
bersifat aksidental. Kejadian ini mengakibatkan gejala ringan dan
prognosisnya baik. Meskipun demikian, peritonitis akibat staphylococcus
aureus menghasilkan angka morbiditas yang lebih tinggi, mempunyai
prognosis yang lebih serius dan berjalan lebih lama. Mikroorganisme gram
negative dapat berasal dari dalam usus, khususnya bila terdapat lebih dari
satu macam mikroorganisme dalam cairan peritoneal dan bila
mikroorganisme tersebut bersifat anaerob. Manifestasi peritonitis
mencakup cairan drainase (effluent) dialisat yang keruh dan nyeri
abdomen yang difus. Hipotensi dan tanda-tanda syok lainnya dapat terjadi
jika staphylococcus merupakan mikroorganisme penyebab peritonitis.
Pemeriksaan cairan drainase dilakukan untuk penghitungan jumlah sel,
pewarnaan gram, dan pemeriksaan kultur untuk mengenali
mikroorganisme serta mengarahkan terapi. Untuk mencegah komplikasi
seperti ini, sangatlah penting penderita selalu:
1. Membersihkan tangan sebelum melakukan penukaran atau menyentuh
kateter.
2. Menjaga lubang keluar kateter itu bersih dan sehat
3. Tidak mengkontaminasi peralatan yang steril (gunakan masker selama
proses penukaran cairan)
4. Carilah tempat yang bersih, nyaman dan aman sebelum melakukan
penukaran cairan dialisat tersebut
5. Jika hendak bepergian, jangan lupa mengontak 3 minggu sebelumnya
sentra-sentra dialisa di kota tujuan

28
Jika telah terjadi komplikasi seperti ini, biasanya dokter akan
menginstruksikan untuk menambah obat pada cairan pencuci (dialisat)
tersebut. Hal ini bisa dilakukan sendiri oleh pasien.

2. Kebocoran
Kebocoran cairan dialisat melalui luka insisi atau luka pada pemasangan
kateter dapat segera diketahui sesudah kateter dipasang. Biasanya
kebocoran tersebut berhenti spontan jika terapi dialysis ditunda selama
beberapa ahri untuk menyembuhkan luka insisi dan tempat keluarnya
kateter. Selama periode ini, factor-faktor yang dapat memperlambat proses
kesembuhan seperti aktivitas abdomen yang tidak semestinya atau
mengejan pada saat BAB harus dikurangi. Kebocoran melalui tempat
pemasangan kateter atau ke dalam dinding abdomen dapat terjadi spontan
beberapa bulan atau tahun setelah pemasangan kateter tersebut.
3. Perdarahan
Cairan drainase (effluent) dialisat yang mengandung darah kadang-kadang
dapat terlihat, khususnya pada pasien wanita yang sedang haid. Kejadian
ini sering dijumpai selama beberapa kali pertukaran pertama mengingat
sebagian darah akibat prosedur tersebut tetap berada dalam rongga
abdomen pada banyak kasus penyebab terjadinya perdarahan tidak
ditemukan. Pergeseran kateter dari pelvis kadang-kadang disertai dengan
perdarahan. Sebagian pasien memperlihatkan cairan drainase dialisat yang
berdarah sesudah ia menjalani pemeriksaan enema atau mengalami trauma
ringan. Perdarahan selalu berhenti setelah satu atau dua hari sehingga tidak
memerlukan intervensi yang khusu. Terapi pertukaran yang lebih sering
dilakukan selama waktu ini mungkin diperlukan untuk mencegah obstruksi
kateter oleh bekuan darah.
4. Hernia abdomen
Hernia abdomen mungkin terjadi akibat peningkatan tekanan
intraabdomen yang terus menerus. Tipe hernia yang pernah terjadi adalah
tipe insisional, inguinal, diafragmatik dan umbilical. Tekanan

29
intraabdomen yang secara persisten meningkat juga akan memperburuk
gejala hernia hiatus dan hemoroid.

5. Hipertrigliseridemia
Hipertrigliseridemia sering dijumpai pada pasien-pasien yang menjalani
CAPD sehingga timbul kesan bahwa terapi ini mempermudah aterogenesis
6. Nyeri punggung bawah dan anoreksia
Nyeri punggung bawah dan anoreksia terjadi akibat adanya cairan dalam
rongga abdomen disamping rasa manis yang selalu terasa pada indera
pengecap serta berkaitan dengan absorbsi glukosa dapat pula terjadi pada
terapi CAPD

7. Gangguan citra rubuh dan seksualitas


Meskipun CAPD telah memberikan kebebasan yang lenih besar untuk
mengontrol sendiri terapinya kepada pasien penyakit renal stadium
terminal, namun bentuk terapi ini bukan tanpa masalah. Pasien sering
mengalami gangguan citra tubuh dengan adanya kateter abdomen dan
kantong penampung serta selang dibadannya

30
Kesmpulan
Pasien laki-laki 58 tahun datang ke IGD RSUD Sukoharjo, Pasien mengeluh mual
dan muntah sejak kemarin pagi hari sebelum MRS. Pasien muntah sebanyak
gelas belimbing berupa air kurang lebih empat kali, setelah makan, mual muntah
muncul setelah Pasien banyak memakan buah-buahan, keluhan membaik setelah
pasien beristirahat duduk, pasien juga mengeluhkan sedikit pusing dan
pandanganya kabur, pasien memiliki riwayat penyakit ginjal kronik dan sudah
terpasang alat bantu ginjal berupa CAPD menurut keterangan pasien. CAPD
(Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis) adalah metode pencucian darah
dengan menggunakan peritoneum (selaput yang melapisi perut dan pembungkus
organ perut). Selaput ini memiliki area permukaan yang luas dan kaya akan
pembuluh darah. pamasangan CAPD pada Pasien yang berisiko mengalami efek
samping pemberian heparin ttsecara sistemik.

Pemasangan Kateter untuk Dialisis Peritoneal dibuat akses sebagai tempat keluar
masuknya cairan dialisat (cairan khusus untuk dialisis) dari dan ke dalam rongga
perut (peritoneum). Akses ini berupa kateter yang ditanam di dalam rongga
perut dengan pembedahan. Posisi kateter yaitu sedikit di bawah pusar, Prinsip-
prinsip CAPD bekerja berdasrkan prinsip-prinsip yang sama seperti pada bentuk
dialisis lainnya, yaitu: difusi dan osmosis. Namun, karena CAPD merupakan
terapi dialisis yang kontinyu, kadar produk limbah nitrogen dalam serum berada
dalam keadaan yang stabil. Nilainya tergantung pada fungsi ginjal yang masih
tersisa, volume dialisa setiap hari, dan kecepatan produk limbah tesebut
diproduksi. Fluktuasi hasil-hasil laboritorium ini pada CAPD tidak bergitu ekstrim
jika dibandingkan dengan dialysis peritoneal intermiten karena proses dialysis
berlangsung secara konstan. Kadar eletrilit biasanya tetap berada dalam kisaran
normal.

31
DAFTAR PUSAKA

Corwin, E.J. Handbook of pathophysiology. Alih bahasa : Pendit, B.U.


Jakarta: EGC; 2001 (Buku asli diterbitkan tahun 1996)

Doengoes, M.E., Moorhouse, M.F., Geissler, A.C. Nursing care plans:


Guidelines for planning and documenting patients care. Alih bahasa:
Kariasa,I.M. Jakarta: EGC; 2000 (Buku asli diterbitkan tahun 1993)

Long, B.C. Essential of medical surgical nursing : A nursing process


approach. Alih bahasa : Yayasan IAPK. Bandung: IAPK Padjajaran;
1996 (Buku asli diterbitkan tahun 1989)

Price, S.A. & Wilson, L.M. Pathophysiology: Clinical concept of disease


processes. 4th Edition. Alih bahasa : Anugerah, P. Jakarta: EGC; 2006

Reeves, C.J., Roux, G., Lockhart, R. Medical surgical nursing. Alih


bahasa : Setyono, J. Jakarta: Salemba Medika; 2001 (Buku asli
diterbitkan tahun 1999)

Smeltzer, S.C. & Bare, B.G. Brunner and Suddarths textbook of medical
surgical nursing. 8th Edition. Alih bahasa : Waluyo, A. Jakarta: EGC;
2000 (Buku asli diterbitkan tahun 1996)

Sukandar, Enday. 2006. Gagal Ginjal dan Panduan Terapi Dialisis. Pusat
Informasi Ilmiah Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK.UNPAD. Bandung.

Suyono, S, et al. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi ketiga. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI; 2001

32

You might also like