You are on page 1of 8

Perjalanan penyakit GBS dapat dibagi menjadi 3 fase:

1. Fase progresif. Umumnya berlangsung 2-3 minggu, sejak timbulnya gejala


awal sampai gejala menetap, dikenal sebagai titik nadir. Pada fase ini akan
timbul nyeri, kelemahan progresif dan gangguan sensorik; derajat keparahan
gejala bervariasi tergantung seberapa berat serangan pada penderita. Kasus
GBS yang ringan mencapai nadir klinis pada waktu yang sama dengan GBS
yang lebih berat. Terapi secepatnya akan mempersingkat transisi menuju fase
penyembuhan, dan mengurangi resiko kerusakan fisik yang permanen. Terapi
berfokus pada pengurangan nyeri serta gejala.
2. Fase plateau. Fase infeksi akan diikuti oleh faseplateau yang stabil,
dimana tidak didapati baik perburukan ataupun perbaikan gejala. Serangan
telah berhenti, namun derajat kelemahan tetap ada sampai dimulai fase
penyembuhan. Terapi ditujukan terutama dalam memperbaiki fungsi yang
hilang atau mempertahankan fungsi yang masih ada. Perlu dilakukan
monitoring tekanan darah, irama jantung, pernafasan, nutrisi, keseimbangan
cairan, serta status generalis. Imunoterapi dapat dimulai di fase ini. Penderita
umumnya sangat lemah dan membutuhkan istirahat, perawatan khusus, serta
fisioterapi. Pada pasien biasanya didapati nyeri hebat akibat saraf yang
meradang serta kekakuan otot dan sendi; namun nyeri ini akan hilang begitu
proses penyembuhan dimulai. Lama fase ini tidak dapat diprediksikan;
beberapa pasien langsung mencapai fase penyembuhan setelah fase infeksi,
sementara pasien lain mungkin bertahan di fase plateauselama beberapa bulan,
sebelum dimulainya fase penyembuhan.

3. Fase penyembuhan Akhirnya, fase penyembuhan yang ditunggu terjadi,


dengan perbaikan dan penyembuhan spontan. Sistem imun berhenti
memproduksi antibody yang menghancurkan myelin, dan gejala berangsur-
angsur menghilang, penyembuhan saraf mulai terjadi. Terapi pada fase ini
ditujukan terutama pada terapi fisik, untuk membentuk otot pasien dan
mendapatkan kekuatan dan pergerakan otot yang normal, serta mengajarkan
penderita untuk menggunakan otot-ototnya secara optimal. Kadang masih
didapati nyeri, yang berasal dari sel-sel saraf yang beregenerasi. Lama fase ini
juga bervariasi, dan dapat muncul relaps. Kebanyakan penderita mampu
bekerja kembali dalam 3-6 bulan, namun pasien lainnya tetap menunjukkan
gejala ringan samapi waktu yang lama setelah penyembuhan. Derajat
penyembuhan tergantung dari derajat kerusakan saraf yang terjadi pada fase
infeksi.

Terdapat enam subtipe sindroma Guillain-Barre, yaitu:

1. Radang polineuropati demyelinasi akut (AIDP), yang merupakan jenis


GBS yang paling banyak ditemukan, dan sering disinonimkan dengan GBS.
Disebabkan oleh respon autoimun yang menyerang membrane sel Schwann.
2. Sindroma Miller Fisher (MFS), merupakan varian GBS yang jarang terjadi
dan bermanifestasi sebagai paralisis desendens, berlawanan dengan jenis GBS
yang biasa terjadi. Umumnya mengenai otot-otot okuler pertama kali dan
terdapat trias gejala, yakni oftalmoplegia, ataksia, dan arefleksia. Terdapat
antibodi Anti-GQ1b dalam 90% kasus.

3. Neuropati aksonal motorik akut (AMAN) atau sindroma paralitik Cina;


menyerang nodus motorik Ranvier dan sering terjadi di Cina dan Meksiko. Hal
ini disebabkan oleh respon autoimun yang menyerang aksoplasma saraf
perifer. Penyakit ini musiman dan penyembuhan dapat berlangsung dengan
cepat. Didapati antibodi Anti-GD1a, sementara antibodi Anti-GD3 lebih sering
ditemukan pada AMAN.

4. Neuropati aksonal sensorimotor akut (AMSAN), mirip dengan AMAN,


juga menyerang aksoplasma saraf perifer, namun juga menyerang saraf
sensorik dengan kerusakan akson yang berat. Penyembuhan lambat dan sering
tidak sempurna.

5. Neuropati panautonomik akut, merupakan varian GBS yang paling jarang;


dihubungkan dengan angka kematian yang tinggi, akibat keterlibatan
kardiovaskular dan disritmia.

6. Ensefalitis batang otak Bickerstaffs (BBE), ditandai oleh onset akut


oftalmoplegia, ataksia, gangguan kesadaran, hiperefleksia atau refleks Babinski
(menurut Bickerstaff, 1957; Al-Din et al.,1982). Perjalanan penyakit dapat
monofasik ataupun diikuti fase remisi dan relaps. Lesi luas dan ireguler
terutama pada batang otak, seperti pons, midbrain, dan medulla. Meskipun
gejalanya berat, namun prognosis BBE cukup baik.

Diagnosis

Kerusakan myelin pada GBS menyebabkan adanya gangguan fungsi saraf


perifer, yakni motorik, sensorik, dan otonom. Manifestasi klinis yang utama
adalah kelemahan motorik yang bervariasi, dimulai dari ataksia sampai
paralisis motorik total yang melibatkan otot-otot pernafasan sehingga
menimbulkan kematian. Awalnya pasien menyadari adanya kelemahan pada
tungkainya, seperti halnya kaki karet, yakni kaki yang cenderung tertekuk
(buckle), dengan atau tanpa disestesia (kesemutan atau kebas).
Umumnya keterlibatan otot distal dimulai terlebih dahulu (paralisis
asendens Landry),1 meskipun dapat pula dimulai dari lengan. Seiring
perkembangan penyakit, dalam periode jam sampai hari, terjadi kelemahan
otot-otot leher, batang tubuh (trunk), interkostal, dan saraf kranialis.

Pola simetris sering dijumpai, namun tidak absolut. Kelemahan otot bulbar
menyebabkan disfagia orofaringeal, yakni kesulitan menelan dengan disertai
oleh drooling dan/atau terbukanya jalan nafas, serta kesulitan bernafas.

Kelemahan otot wajah juga sering terjadi pada GBS, baik unilateral
ataupun bilateral; sedangkan abnormalitas gerak mata jarang, kecuali pada
varian Miller Fisher.

Gangguan sensorik merupakan gejala yang cukup penting dan bervariasi


pada GBS. Hilangnya sensibilitas dalam atau proprioseptif (raba-tekan-getar)
lebih berat daripada sensibilitas superfisial (raba nyeri dan suhu).1 Sensasi
nyeri merupakan gejala yang sering muncul pada GBS, yakni rasa nyeri tusuk
dalam (deep aching pain) pada otot-otot yang lemah, namun nyeri ini terbatas
dan harus segera diatasi dengan analgesik standar. dan arefleksia. Hilangnya
sensasi nyeri dan suhu umumnya ringan; bahkan Disfungsi kandung kencing
dapat terjadi pada kasus berat, namun sifatnya transien; bila gejalanya berat,
harus dicurigai adanya penyakit medulla spinalis. Tidak dijumpai demam pada
GBS; jika ada, perlu dicurigai penyebab lainnya. Pada kasus berat, didapati
hilangnya fungsi otonom, dengan manifestasi fluktuasi tekanan darah,
hipotensi ortostatik, dan aritmia jantung.

Pemeriksaan penunjang

1. Cairan serebrospinal (CSS) Yang paling khas adalah adanya disosiasi


sitoalbuminik, yakni meningkatnya jumlah protein (100-1000 mg/dL) tanpa
disertai adanya pleositosis (peningkatan hitung sel). Pada kebanyakan kasus, di
hari pertama jumlah total protein CSS normal; setelah beberapa hari, jumlah
protein mulai naik, bahkan lebih kanjut di saat gejala klinis mulai stabil,
jumlah protein CSS tetap naik dan menjadi sangat tinggi. Puncaknya pada 4-6
minggu setelah onset.Derajat penyakit tidak berhubungan dengan naiknya
protein dalam CSS. Hitung jenis umumnya di bawah 10 leukosit
mononuclear/mm
2. Pemeriksaan kecepatan hantar saraf (KHS) dan elektromiografi
(EMG) Manifestasi elektrofisiologis yang khas dari GBS terjadi akibat
demyelinasi saraf, antara lain prolongasi masa laten motorik distal (menandai
blok konduksi distal) dan prolongasi atau absennya respon gelombang F (tanda
keterlibatan bagian proksimal saraf),blok hantar saraf motorik, serta
berkurangnya KHS.Pada 90% kasus GBS yang telah terdiagnosis, KHS kurang
dari 60% normal.

3. EMG menunjukkan berkurangnya rekruitmen motor unit Dapat pula


dijumpai degenerasi aksonal dengan potensial fibrilasi 2-4 minggu setelah
onset gejala, sehingga ampilitudo CMAP dan SNAP kurang dari normal.
Derajat hilangnya aksonal ini telah terbukti berhubungan dengan tingkat
mortalitas yang tinggi serta disabilitas jangka panjang pada pasien GBS, akibat
fase penyembuhan yang lambat dan tidak sempurna. Sekitar 10% penderita
menunjukkan penyembuhan yang tidak sempurna, dengan periode
penyembuhan yang lebih panjang (lebih dari 3 minggu) serta berkurangnya
KHS dan denervasi EMG.
4. Pemeriksaan darah Pada darah tepi, didapati leukositosis
polimorfonuklear sedang dengan pergeseran ke bentuk yang imatur, limfosit
cenderung rendah selama fase awal dan fase aktif penyakit. Pada fase lanjut,
dapat terjadi limfositosis; eosinofilia jarang ditemui. Laju endap darah dapat
meningkat sedikit atau normal, sementara anemia bukanlah salah satu gejala.

5. Dapat dijumpai respon hipersensitivitas antibodi tipe lambat, dengan


peningkatan immunoglobulin IgG, IgA, dan IgM, akibat demyelinasi saraf
pada kultur jaringan.Abnormalitas fungsi hati terdapat pada kurang dari 10%
kasus, menunjukkan adanya hepatitis viral yang akut atau sedang berlangsung;
umumnya jarang karena virus hepatitis itu sendiri, namun akibat infeksi CMV
ataupun EBV.

6. Elektrokardiografi (EKG) menunjukkan adanya perubahan gelombang


Tserta sinus takikardia.Gelombang T akan mendatar
atauinverted pada lead lateral. Peningkatan voltase QRS kadang dijumpai,
namun tidak sering.

7. Tes fungsi respirasi (pengukuran kapasitas vital paru) akan menunjukkan


adanya insufisiensi respiratorik yang sedang berjalan (impending).

8. Pemeriksaan patologi anatomi, umumnya didapati pola dan bentuk yang


relatif konsisten; yakni adanya infiltrat limfositik mononuklear perivaskuler
serta demyelinasi multifokal. Pada fase lanjut, infiltrasi sel-sel radang dan
demyelinasi ini akan muncul bersama dengan demyelinasi segmental dan
degenerasi wallerian dalam berbagai derajat Saraf perifer dapat terkena pada
semua tingkat, mulai dari akar hingga ujung saraf motorik intramuskuler,
meskipun lesi yang terberat bila terjadi pada ventral root, saraf spinal
proksimal, dan saraf kranial.Infiltrat sel-sel radang (limfosit dan sel
mononuclear lainnya) juga didapati pada pembuluh limfe, hati, limpa, jantung,
dan organ lainnya.

Diagnosis GBS umumnya ditentukan oleh adanya kriteria klinis dan beberapa
temuan klinis yang didukung oleh pemeriksaan elektrofisiologis dan cairan
serebrospinal (CSS).
Diagnosis Banding

GBS harus dibedakan dari kondisi medis lainnya dengan gejala kelemahan
motorik subakut lainnya, antara lain sebagai berikut:

1. Miastenia gravis akut, tidak muncul sebagai paralisis asendens, meskipun


terdapat ptosis dan kelemahan okulomotor. Otot mandibula penderita GBS
tetap kuat, sedangkan pada miastenia otot mandibula akan melemah setelah
beraktivitas; selain itu tidak didapati defisit sensorik ataupun arefleksia.
2. Thrombosis arteri basilaris, dibedakan dari GBS dimana pada GBS, pupil
masih reaktif, adanya arefleksia dan abnormalitas gelombang F; sedangkan
pada infark batang otak terdapat hiperefleks serta refleks patologis Babinski

3. Paralisis periodik, ditandai oleh paralisis umum mendadak tanpa


keterlibatan otot pernafasan dan hipo atau hiperkalemia.

4. Botulisme, didapati pada penderita dengan riwayat paparan makanan


kaleng yang terinfeksi.13 Gejala dimulai dengan diplopia13 disertai dengan pupil
yang non-reaktif pada fase awal, serta adanya bradikardia; yang jarang terjadi
pada pasien GBS.

5. Tick paralysis, paralisis flasid tanpa keterlibatan otot pernafasan;


umumnya terjadi pada anak-anak dengan didapatinya kutu (tick) yang
menempel pada kulit.

6. Porfiria intermiten akut, terdapat paralisis respiratorik akut dan mendadak,


namun pada pemeriksaan urin didapati porfobilinogen dan peningkatan serum
asam aminolevulinik delta.

7. Neuropati akibat logam berat; umumnya terjadi pada pekerja industri


dengan riwayat kontak dengan logam berat. Onset gejala lebih lambat daripada
GBS.

8. Cedera medulla spinalis, ditandai oleh paralisis sensorimotor di bawah


tingkat lesi dan paralisis sfingter. Gejala hamper sama yakni pada fase syok
spinal, dimana refleks tendon akan menghilang.
9. Poliomyelitis, didapati demam pada fase awal, mialgia berat, gejala
meningeal, yang diikuti oleh paralisis flasid asimetrik.

10. Mielopati servikalis. Pada GBS, terdapat keterlibatan otot wajah dan
pernafasan jika muncul paralisis, defisit sensorik pada tangan atau kaki jarang
muncul pada awal penyakit, serta refleks tendon akan hilang dalam 24 jam
pada anggota gerak yang sangat lemah dalam melawan gaya gravitasi.

Daftar Pustaka

1. Victor Maurice, Ropper Allan H. Adams and Victors Principles of


neurology. 7thedition. USA: the McGraw-Hill Companies; 2001. p.1380-87.
2. Arnason Barry GW. Inflammatory polyradiculoneuropathies. In: Dyck PJ,
Thomas PK, Lambert EH. Peripheral neuropathies. Vol. II. USA: W. B.
Saunders Company; 1975. p.1111-48.Guillain-Barre Syndrome.
[Update: 2009].Available
from:http://www.caringmedical.com/conditions/Guillain-
Barre_Syndrome.htm.

3. Guillain-Barr Syndrome. [update 2009]. Available


from:http://bodyandhealth.canada.com/condition_info_popup.asp
channel_id=0&disease_id=325&section_name=condition_info.

4. Bradley WG, Daroff RB, Fenichel GM, Marsden CD. Editors. Neurology
in clinical practice: the neurological disorders. 2nd edition. USA: Butterworth-
Heinemann; 1996. p.1911-16.

5. Gilroy John. Basic neurology. 2nd edition. Singapore: McGraw-Hill Inc.;


1992. p.377-378.

6. Guillain-Barr Syndrome. Available


from:http://www.medicinenet.com/guillain-barre_syndrome/article.htm

7. Gutierrez Amparo, Sumner Austin J. Electromyography in


neurorehabilitation. In: Selzer ME, Clarke Stephanie, Cohen LG, Duncan PW,
Gage FH. Textbook of neural repair and rehabilitation Vol. II: Medical
neurorehabilitation. UK: Cambridge University Press; 2006. p.49-55.
dr Widodo Judarwanto SpA, Children Allergy clinic dan Picky Eaters Clinic
Jakarta. Phone 5703646 0817171764 70081995.

You might also like