You are on page 1of 44

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang
Definisi hipertensi (tekanan darah tinggi) adalah peningkatan darah sistolik
lebih dari atau sama dengan 140 mmHg dan tekanan darah diastolik lebih dari atau
sama dengan 90 mmHg, dimana pengukuran dilakukan sebanyak dua kali dalam
selang waktu lima menit dalam keadaan cukup istirahat/tenang. 1
Hipertensi, terutama jika sudah terjadi dalam jangka waktu yang lama dapat
mengakibatkan berbagai kerusakan pada organ-organ tubuh seperti jantung (gagal
jantung), ginjal (gagal ginjal), otak (stroke). Risiko terjadinya penyakit sekunder
akibat hipertensi jumlahnya akan terus meningkat apabila kondisi hipertensi tidak
terkontrol dengan baik. 1
Pada tahun 2008, secara global, diperkirakan sekitar 40% orang dewasa yang
berusia lebih dari 25 tahun pernah terdiagnosa dengan hipertensi. Angka penderita
hipertensi meningkat secara pesat, mencapai angka 1 milyar orang pada tahun 2008,
dibandingkan dengan tahun 1980 dimana hanya terdapat sekitar 600 juta penderita
hipertensi. 2
Berdasarkan data Riskedas 2013, di Indonesia sendiri, hipertensi masih
menjadi permasalahan kesehatan, terutama dalam praktik pelayanan primer.
Hipertensi masih memiliki prevalensi yang tinggi, yaitu sebesar 25,8%. 3
Gorontalo, masih menurut data dari Riskesdas 2013, menempati posisi ke-5
dari 5 Provinsi dengan prevalensi hipertensi tertinggi, dengan persentase sebesar
29,4%, dimana terdapat 33.542 jiwa yang absolut menderita hipertensi dari 1.134.498
orang penduduk. 3
Menurut The Tobacco Atlas 3rd edition, konsumsi tembakau di seluruh dunia
sebanyak 57% di Asia dan Australia, 14% pada penduduk Eropa Timur, 12%
penduduk Amerika, 9% penduduk Eropa Barat, dan 8% pada penduduk Timur Tengah
serta Afrika. Sementara itu ASEAN merupakan 10% dari seluruh perokok dunia dan
20% penyebab kematian global akibat tembakau. Persentase perokok pada penduduk
di negara ASEAN tersebar di Indonesia (46,16%), Filipina (16,62%), Vietnam
(14,11%). Myanmar (8.73%), Thailand (7,74%), Malaysia (2,90%), Kamboja
(2,07%), Laos (1,23%), Singapura (0,39%), dan Brunei (0,04%).
Penelitian yang diadakan Riskesdas pada tahun 2013, menunjukan bahwa
sebanyak 24,3% masyarakat merokok setiap harinya, dengan jumlah rata-rata rokok
yang dikonsumsi sebanyak 12 batang. Provinsi Gorontalo termasuk menepati urutan
ke- 4 dari 5 besar Provinsi dengan persentase perokok terbanyak di Indonesia, dengan
presentase perokok sebesar 26,8%.4
Kebiasaan merokok merupakan salah satu dari faktor yang berkaitan dengan
hipertensi, oleh karena itu penulis ingin mengetahui, apakah kebiasaan merokok pada
masyarakat di wilayah kerja Puskesmas Limboto Barat berkaitan dengan hipertensi.

1.2.Rumusan Masalah
a. Apakah terdapat hubungan antara kebiasaan merokok dengan hipertensi di
wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Limboto Barat?
b. Bagaimana gambaran perilaku merokok masyarakat di wilayah kerja
Puskesmas Limboto Barat?

1.3.Tujuan Penelitian
a. Mengetahui hubungan kebiasaan merokok dengan hipertensi di wilayah
kerja Puskesmas Kecamatan Limboto Barat.
b. Mengetahui gambaran perilaku merokok masyarakat di wilayah kerja
Puskesmas Limboto Barat.

1.4.Manfaat Penelitian
1.4.1. Untuk Puskesmas Kecamatan Limboto Barat
Sebagai bahan masukan kepada pemerintah khususnya Dinas
Kesehatan Kabupaten Gorontalo dan Puskesmas Kecamatan Limboto
Barat dalam penentuan arah kebijakan program penanggulangan
hipertensi dan merokok.

1.4.2. Untuk Masyarakat


Sebagai bahan masukan untuk masyarakat (baik ilmuwan, praktisi atau
masyarakat umum) dalam upaya meningkatkan kesehatan dan
menambah ilmu pengetahuan di bidang kesehatan khususnya mengenai
merokok dan hipertensi.

1.4.3. Untuk Peneliti


Bagi penulis merupakan suatu pengalaman yang berharga dalam
mengaplikasikan dan membagikan ilmu yang telah didapat dan
menambah wawasan.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Hipertensi

2.1.1. Definisi dan Klasifikasi

Klasifikasi hipertensi yang lazim digunakan adalah menurut Joint


National Committee VII (JNC VII) 5, yaitu sebagai berikut:

Klasifikasi TD Sistolik TD Diastolik

Normal < 120 mmHg < 80 mmHg


Pre-Hipertensi 120-139 mmHg 80-89 mmHg
Hipertensi stage - 1 140-159 mmHg 80-99 mmHg
Hipertensi stage - 2 160 mmHg 100 mmHg

2.1.2. Etiologi
Berdasarkan etiologinya, hipertensi dapat dikategorikan menjadi 2
bagian 6:

a. Hipertensi primer (esensial)


Hipertensi primer ialah saat tidak dapat ditemukan penyebab
dari terjadinya hipertensi. Sekitar 95% persen hipertensi
terdapat pada kategori ini. Patogenesis dari hipertensi primer
belum sepenuhnya dimengerti, tetapi diduga bahwa faktor-
faktor seperti disfungsi ginjal, disfungsi endotel, resistensi
insulin dan faktor-faktor neurohumoral lain memiliki peran
dalam terjadinya hipertensi primer.

b. Hipertensi sekunder
Hipertensi sekunder ialah saat hipertensi terjadi akibat
adanya kondisi lain yang mengakibatkan hipertensi seperti
adanya penyakit ginjal, obat-obatan (pil kontrasepsi yang
mengandung estrogen, kortikosteroid), konsumsi alkohol,
obesitas, merokok, konsumsi garam berlebihan, riwayat
keluarga, dan usia lanjut.

2.1.3. Faktor Risiko


Pada kebanyakan kasus hipertensi, penyebab terjadinya hipertensi
tidak dapat diketahui secara pasti, namun terdapat beberapa faktor
risiko yang telah diketahui berkaitan erat dengan terjadinya
peningkatan tekanan darah. 7
Faktor risiko hipertensi terbagi menjadi dua yaitu faktor risiko
yang dapat dimodifikasi dan yang tidak dapat dimodifikasi.
Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi
1. Riwayat keluarga
Jika terdapat riwayat keluarga dengan hipertensi atau
penyakit kardiovaskular lainnya, maka terdapat
peningkatan risiko bagi seseorang untuk mengalami
hipertensi.
2. Usia
Peningkatan usia berbanding lurus dengan
meningkatnya angka kejadian hipertensi. Hal ini
disebabkan oleh berkurangnya elastisitas dari pembuluh
darah seiring bertambahnya usia.
3. Jenis kelamin
Hingga usia 54 tahun, pria lebih banyak yang
menderita hipertensi dibandingkan wanita, tetapi pada
usia 55 64 tahun, baik pria maupun wanita memiliki
rerata yang sama. Pada usia 65 tahun ke atas, wanita
memiliki risiko yang lebih dari pria untuk mengalami
hipertensi.
a. Faktor risiko yang dapat dimodifikasi
1. Kurangnya aktivitas fisik
Aktivitas fisik yang cukup sebagai pola hidup penting
untuk mengurangi risiko terjadinya hipertensi dan
gangguan sistem kardiovaskular lainnya secara umum.
2. Diet tidak sehat
Diet yang tinggi garam, kalori, lemak dan gula,
sering diasosiasikan dengan peningkatan risiko
terjadinya sindroma metabolik, tak terkecuali hipertensi.
3. Obesitas
Berat badan yang berlebihan dapat mengakibatkan
jantung harus bekerja lebih keras dan akhirnya dapat
meningkatkan risiko terkena hipertensi.
4. Konsumsi alkohol
Penggunaan alkohol yang berlebihan sedara rutin
dapat mengakibatkan meningkatnya risiko hipertensi.
5. Konsumsi rokok atau tembakau
Konsumsi tembakau dapat berkontribusi terhadap
terjadinya hipertensi, saat merokok tekanan darah sering
kali mengalami kenaikan, kemudian zat-zat kimia
dalam rokok juga dapat mengakibatkan kerusakan
pembuluh darah sehingga mengakibatkan hipertensi.
6. Stress
Stress yang berlebih dapat meningkatkan risiko
terkena penyakit hipertensi, selain itu stress juga dapat
memicu perilaku tidak sehat seperti diet yang tidak
baik, aktivitas fisik yang kurang, atau bahkan merokok
dan menggunakan alkohol.

2.1.4. Patofisiologi 19-21

a. Curah jantung dan tahanan perifer

Cardiac output dan resistensi perifer adalah dua faktor penentu


tekanan arteri. Cardiac output ditentukan oleh stroke volume dan
denyut jantung, stroke volume berhubungan dengan kontraktilitas
miokard dan dengan ukuran kompartemen vaskular. Resistensi
perifer ditentukan oleh perubahan fungsional dan anatomi dalam
arteri kecil (diameter lumen 100-400 m) dan
arteriola.Keseimbangan curah jantung dan tahanan perifer sangat
berpengaruh terhadap kenormalan tekanan darah. Pada sebagian
besar kasus hipertensi esensial curah jantung biasanya normal
tetapi tahanan perifernya meningkat. Tekanan darah ditentukan
oleh konsentrasi sel otot halus yang terdapat pada arteriol kecil.
Peningkatan konsentrasi sel otot halus akan berpengaruh pada
peningkatan konsentrasi kalsium intraseluler. Peningkatan
konsentrasi otot halus ini semakin lama akan mengakibatkan
penebalan pembuluh darah arteriol yang mungkin dimediasi oleh
angiotensin yang menjadi awal meningkatnya tahanan perifer yang
irreversible.

b. Sistem Renin-Angiotensin

Ginjal mengontrol tekanan darah melalui pengaturan volume


cairan ekstraseluler dan sekresi renin. Sistem Renin-Angiotensin
merupakan sistem endokrin yang penting dalam pengontrolan
tekanan darah. Renin disekresi oleh juxtaglomerulus aparatus ginjal
sebagai respon glomerulus underperfusion atau penurunan asupan
garam, ataupun respon dari sistem saraf simpatetik.

Mekanisme terjadinya hipertensi adalah melalui terbentuknya


angiotensin II dari angiotensin I oleh angiotensin I-converting
enzyme (ACE). ACE memegang peranan fisiologis penting dalam
mengatur tekanan darah. Darah mengandung angiotensinogen
yang diproduksi hati yang oleh hormon renin (diproduksi oleh
ginjal) akan diubah menjadi angiotensin I (dekapeptida yang tidak
aktif). Oleh ACE yang terdapat di paru-paru, angiotensin I diubah
menjadi angiotensin II (oktapeptida yang sangat aktif).
Angiotensin II berpotensi besar meningkatkan tekanan darah
karena bersifat sebagai vasokonstriktor melalui dua jalur, yaitu:

1. Meningkatkan sekresi hormon antidiuretik (ADH) dan rasa


haus. ADH diproduksi di hipotalamus (kelenjar pituitari)
dan bekerja pada ginjal untuk mengatur osmolalitas dan
volume urin. Dengan meningkatnya ADH, sangat sedikit
urin yang diekskresikan ke luar tubuh (antidiuresis)
sehingga urin menjadi pekat dan tinggi 20 osmolalitasnya.
Untuk mengencerkan, volume cairan ekstraseluler akan
ditingkatkan dengan cara menarik cairan dari bagian
instraseluler. Akibatnya volume darah meningkat sehingga
meningkatkan tekanan darah.

2. Menstimulasi sekresi aldosteron dari korteks adrenal.


Aldosteron merupakan hormon steroid yang berperan
penting pada ginjal. Untuk mengatur volume cairan
ekstraseluler, aldosteron akan mengurangi ekskresi NaCl
(garam) dengan cara mereabsorpsinya dari tubulus ginjal.
Naiknya konsentrasi NaCl akan diencerkan kembali dengan
cara meningkatkan volume cairan ekstraseluler yang pada
gilirannya akan meningkatkan volume dan tekanan darah.

c. Sistem Saraf Otonom

Sirkulasi sistem saraf simpatetik dapat menyebabkan


vasokonstriksi dan dilatasi arteriol. Sistem saraf otonom ini
mempunyai peran yang penting dalam pempertahankan tekanan
darah. Hipertensi dapat terjadi karena interaksi antara sistem saraf
otonom dan sistem renin-angiotensin bersama sama dengan
faktor lain termasuk natrium, volume sirkulasi, dan beberapa

hormon.

d. Disfungsi Endotelium

Pembuluh darah sel endotel mempunyai peran yang penting


dalam pengontrolan pembuluh darah jantung dengan memproduksi
sejumlah vasoaktif lokal yaitu molekul oksida nitrit dan peptida
endotelium. Disfungsi endotelium banyak terjadi pada kasus
hipertensi primer. Secara klinis pengobatan dengan antihipertensi
menunjukkan perbaikan gangguan produksi dari oksida nitrit.

e. Substansi vasoaktif

Banyak sistem vasoaktif yang mempengaruhi transpor natrium


dalam mempertahankan tekanan darah dalam keadaan normal.
Bradikinin merupakan vasodilator yang potensial, begitu juga
endothelin. Endothelin dapat meningkatkan sensitifitas garam pada
tekanan darah serta mengaktifkan sistem renin-angiotensin lokal.
Arterial natriuretic peptide merupakan hormon yang diproduksi di
atrium jantung dalam merespon peningkatan volum darah. Hal ini
dapat meningkatkan ekskresi garam dan air dari ginjal yang
akhirnya dapat meningkatkan retensi cairan dan hipertensi.

f. Hiperkoagulasi

Pasien dengan hipertensi memperlihatkan ketidaknormalan dari


dinding pembuluh darah (disfungsi endotelium atau kerusakan sel
endotelium), ketidaknormalan faktor homeostasis, platelet, dan
fibrinolisis.

g. Disfungsi diastolik

Hipertrofi ventrikel kiri menyebabkan ventrikel tidak dapat


beristirahat ketika terjadi tekanan diastolik. Hal ini untuk
memenuhi peningkatan kebutuhan input ventrikel, terutama pada
saat olahraga terjadi peningkatan tekanan atrium kiri melebihi
normal, dan penurunan tekanan ventrikel.

2.1.5. Diagnosis 11
Diagnosis klinik ditegakkan berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan fisik.
a. Anamnesis
Pada anamnesis dapat ditemukan penderita hipertensi tanpa
keluhan maupun dengan keluhan-keluhan seperti sakit/nyeri
kepala, gelisah, jantung berdebar-debar, rasa sakit di dada dan
mudah lelah.
Pada anamnesis juga perlu ditanyakan faktor risiko dari
hipertensi, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, semakin
banyak faktor risiko yang ditemukan, maka makin besar risiko
terjadinya hipertensi.
b. Pemeriksaan Fisik
Hasil pemeriksaan fisik dapat menunjukan pasien tampak
sehat. Tekanan darah meningkat sesuai JNC VII. Nadi tidak
normal. Perlu juga diperiksa status neurologis, dan
pemeriksaan jantung dimana hasil yang ditemukan bisa normal
ataupun tidak.

2.1.6. Tatalaksana
Penatalaksanaan tekanan darah dapat dikontrol dengan
perubahan gaya hidup.
a. Hipertensi tanpa compelling indication
1. Hipertensi stage 1 dapat diberikan diuretik (HCT 12.5-50 mg/hari, atau
pemberian penghambat ACE (captopril 3x12,5-50 mg/hari), atau nifedipin
long acting 30-60 mg/hari) atau kombinasi.
2. Hipertensi stage 2 Bila target terapi tidak tercapai setelah observasi
selama 2 minggu, dapat diberikan kombinasi 2 obat, biasanya golongan
diuretik, tiazid dan penghambat ACE atau penyekat reseptor beta atau
penghambat kalsium.
3. Pemilihan anti hipertensi didasarkan ada tidaknya kontraindikasi dari
masing-masing antihipertensi di atas. Sebaiknya pilih obat hipertensi yang
diminum sekali sehari atau maksimum 2 kali sehari.
Bila target tidak tercapai maka dilakukan optimalisasi dosis atau
ditambahkan obat lain sampai target tekanan darah tercapai
b. Kondisi khusus lain
1. Lanjut usia
Diuretik (tiazid) mulai dosis rendah 12,5 mg /hari
Obat hipertensi lain mempertimbangkan penyakit
penyerta
2. Kehamilan
Golongan metildopa, BB, CCB, vasodilator.
ACE-I dan ARB tidak dapat digunakan selama
kehamilan.

2.2. Rokok
2.2.1. Definisi
Rokok adalah gulungan tembakau (sebesar kelingking) yang
dibungkus (daun nipah,kertas, dan sebagainya); 14 silinder dari
kertas berukuran panjang antara 70 hingga 120 mm (bervariasi
tergantung negara) dengan diameter sekitar 10 mm yang berisi
daun-daun tembakau yang telah dicacah. Rokok dibakar pada salah
satu ujungnya dan dibiarkan membara agar asapnya dapat dihirup
lewat mulut pada ujung lainnya. 12,13

2.2.2. Kategori perokok 14

1. Perokok aktif adalah orang yang mengkonsumsi rokok secara


rutin, dengan jumlah sekecil apapun (1 batang rokok per hari
sudah cukup untuk disebut perokok aktif).Perokok aktif adalah
orang yang menghisap rokok walau tidak rutin (perokok
pemula yang sekedar coba-coba juga disebut perokok aktif).
Perokok aktif adalah orang yang menghisap rokok, walaupun
hanya menghembuskan-hembuskan asap rokok. Walau tidak
dihisap asap rokok tetap masuk ke dalam paru-paru.

2. Perokok pasif adalah orang yang bukan perokok tapi


menghisap asap rokok orang lain, atau orang yang berada
dalam satu ruangan tertutup dengan orang yang sedang
merokok.

2.2.3. Kandungan rokok 14


Rokok mengandung kurang lebih 4.000 jenis bahan kimia,
dengan 43 jenis di antaranya bersifat karsinogenik (dapat
menyebabkan kanker). Racun utama pada rokok adalah nikotin, tar
dan karbon monoksida (CO).

1. Nikotin
Komponen ini paling banyak dijumpai di dalam rokok. Nikotin
yang terkandung di dalam asap rokok antara 0.5-3 ng, dan
semuanya diserap, sehingga di dalam cairan darah atau plasma
antara 40-50 ng/ml. Nikotin merupakan alkaloid yang bersifat
stimulan dan pada dosis tinggi bersifat racun. Zat ini hanya ada
dalam tembakau, sangat aktif dan mempengaruhi otak atau
susunan saraf pusat. Nikotin juga memiliki karakteristik efek
adiktif dan psikoaktif. Dalam jangka panjang, nikotin akan
menekan kemampuan otak untuk mengalami kenikmatan, sehingga
perokok akan selalu membutuhkan kadar nikotin yang semakin
tinggi untuk mencapai tingkat kepuasan dan ketagihannya. Sifat
nikotin yang adiktif ini dibuktikan dengan adanya jurang antara
jumlah perokok yang ingin berhenti merokok dan jumlah yang
berhasil berhenti. Nikotin yaitu zat atau bahan senyawa porillidin
yang terdapat dalam Nicotoana Tabacum, Nicotiana Rustica dan
spesies lainnya yang sintesisnya bersifat adiktif dapat
mengakibatkan ketergantungan. Nikotin ini dapat meracuni saraf
tubuh, meningkatkan tekanan darah, menyempitkan pembuluh
perifer dan menyebabkan ketagihan serta ketergantungan pada
pemakainya.

2. Tar
Tar merupakan bagian partikel rokok sesudah kandungan
nikotin dan uap air diasingkan. Tar adalah senyawa polinuklin
hidrokarbon aromatika yang bersifat karsinogenik. Dengan adanya
kandungan tar yang beracun ini, sebagian dapat merusak sel paru
karena dapat lengket dan menempel pada jalan 5 nafas dan paru-
paru sehingga mengakibatkan terjadinya kanker. Pada saat rokok
dihisap, tar masuk kedalam rongga mulut sebagai uap padat asap
rokok. Setelah dingin akan menjadi padat dan membentuk endapan
berwarna coklat pada permukaan gigi, saluran pernafasan dan
paru-paru. Pengendapan ini bervariasi antara 3-40 mg per batang
rokok, sementara kadar dalam rokok berkisar 24-45 mg.
Sedangkan bagi rokok yang menggunakan filter dapat mengalami
penurunan 5-15 mg. Walaupun rokok diberi filter, efek
karsinogenik tetap bisa masuk dalam paru-paru, ketika pada saat
merokok hirupannya dalam-dalam, menghisap berkali-kali dan
jumlah rokok yang digunakan bertambah banyak.

3. Karbon Monoksida (CO)


Gas karbon monoksida (CO) adalah sejenis gas yang tidak
memiliki bau. Unsur ini dihasilkan oleh pembakaran yang tidak
sempurna dari unsur zat arang atau karbon. Gas karbon monoksida
bersifat toksis yang bertentangan dengan oksigen dalam transpor
maupun penggunaannya. Gas CO yang dihasilkan sebatang rokok
dapat mencapai 3-6%, sedangkan CO yang dihisap oleh perokok
paling rendah sejumlah 400 ppm (parts per million) sudah dapat
meningkatkan kadar karboksi haemoglobin dalam darah sejumlah
2-16% .

4. Kadmium
Kadmium adalah zat yang dapat meracuni jaringan tubuh
terutama ginjal.

5. Amoniak
Amoniak merupakan gas yang tidak berwarna terdiri dari
nitrogen dan hidrogen. Zat ini tajam baunya dan sangat
merangsang. Begitu kerasnya racun yang ada pada ammonia
sehingga jika masuk sedikit pun ke dalam peredaran darah akan
mengakibatkan seseorang pingsan atau koma.

6. HCN/ Asam Sianida


HCN merupakan sejenis gas yang tidak berwarna, tidak berbau,
dan tidak memiliki rasa. Zat ini merupakan zat yang paling ringan,
mudah terbakar, dan sangat efisien untuk menghalangi pernafasan
dan merusak saluran pernafasan.
7. Nitrous Oxide
Nitrous Oxide merupakan sejenis gas yang tidak berwarna, dan
bila terhisap dapat menyebabkan hilangnya pertimbangan dan rasa
sakit. Nitrous Oxide ini pada mulanya dapat digunakan sebagai
pembius saat melakukan operasi oleh dokter.

8. Formaldehid
Formaldehid adalah sejenis gas dengan bau tajam. Gas ini
tergolong sebagai pengawet dan pembasmi hama ini juga sangat
beracun terhadap semua organisme hidup.

9. Fenol
Fenol adalah campuran dari kristal yang dihasilkan dari distilasi
beberapa zat organik seperti kayu dan arang, serta diperoleh dari
tar arang.Zat ini beracun dan membahayakan karena fenol ini
terikat ke protein sehingga menghalangi aktivitas enzim.

10. Asetol
Asetol adalah hasil pemanasan aldehid dan mudah menguap
dengan alkohol.

11. HS (Asam Sulfida)


Asam sulfide adalah sejenis gas yang beracun yang mudah
terbakar dengan bau yang keras. Zat ini menghalangi oksidasi
enzim.

12. Piridin
Piridin adalah sejenis cairan tidak berwarna dengan bau tajam.
Zat ini dapat digunakan untuk mengubah sifat alkohol sebagai
pelarut dan pembunuh hama.

13. Metil Klorida


Metil Klorida adalah campuran dari zat zat bervalensi satu
dengan hidrokarbon sebagai unsur utama. zat ini adalah senyawa
organik yang beracun.

14. Metanol
Metanol adalah sejenis cairan ringan yang mudah menguap dan
mudah terbakar. Meminum atau menghisap methanol
mengakibatkan kebutaan bahkan kematian.

15. Polycyclic Aromatic Hydrocarbons (PAH)


Senyawa hidrokarbon aromatik yang memiliki cincin
dideskripsikan sebagai Fused Ring System atau PAH. Beberapa
PAH yang terdapat dalam asap tembakau antara lainBenzo (a)
Pyrene, Dibenz (a,h) anthracene, dan Benz(a)anthracene.Senyawa
ini merupakan senyawa reaktif yang cenderung membentuk
epoksida yang metabolitnya bersifat genotoksik. Senyawa tersebut
merupakan penyebab tumor.

16. N- nitrosamina
N - nitrosamina dibentuk oleh nirtrasasi amina. Asap tembakau
mengandung 2 jenis utama N- nitrosamina, yaitu Volatile N-
Nitrosamina (VNA) dan Tobacco NNitrosamina. Hampir semua
Volatile N- Nitrosamina ditahan oleh sistem pernafasan pada
inhalasi asap tembakau. Jenis adap tembakau VNA
diklasifikasikan sebagai karsinogen yang potensial.

2.2.4. Dampak merokok


a. Dampak fisiologis merokok
Dampak fisiologis dari merokok merupakan dampak rokok terhadap
fungsi kerja organ tubuh akibat kandungan 4000 bahan kimia di mana
40 diantaranya merusak dan menghancurkan sistem organ tubuh.
Dampak tersebut meliputi:

1. Dampak rokok terhadap rambut


Merokok menurunkan sistem kekebalan sehingga tubuh lebih
mudah terserang penyakit-penyakit seperti lupus erimatosus
yang dapat menyebabkan kerontokan rambut.16
2. Dampak rokok terhadap mata
Merokok dipercaya dapat menyebabkan gangguan pada mata.
Para perokok mempunyai risiko 40% lebih tinggi terkena
katarak yaitu buramnya lensa mata sehingga menghalangi
masuknya cahaya bahkan dapat menyebabkan kebutaan.16
3. Dampak rokok terhadap pendengaran
Merokok akan menimbulkan flek pada pembuluh darah,
sehingga aliran darah ke telinga dalam menurun. Dengan
demikian, perokok dapat kehilangan pendengaran lebih awal
dibanding bukan perokok, dan lebih mudah kehilangan
pendengaran jika terjadi infeksi di telinga atau terpapar bunyi
yang keras. Perokok juga tiga kali lebih mudah terkena infeksi
telinga tengah dibanding bukan perokok. Infeksi ini dapat
menimbulkan 9 komplikasi seperti misalnya meningitis dan
kelumpuhan pada otot wajah.16
4. Dampak rokok terhadap sistem pernafasan
Fungsi paru kita adalah untuk bernafas, yaitu dengan
memasukkan udara bersih dan mengeluarkan udara kotor dari
dalam tubuh. Bahan kimia yang dihisap dari asap rokok
merangsang permukaan sel saluran pernafasan sehingga
mengakibatkan keluarnya lendir atau dahak. Mirip dengan
rangsangan debu, virus, atau bakteri pada saat kita flu.
Bedanya adalah bahwa dahak yang ditimbulkan karena virus
flu akan disorong keluar oleh bulu getar sepanjang saluran
nafas dengan menstimulasi reflek batuk. Pada perokok, bulu
getar tersebut sebagian besar dilumpuhkan oleh asap rokok
sehingga lendir di saluran nafas tidak dapat keluar sepenuhnya.
Lendir yang lama tertahan di saluran nafas, dapat menjadi
ajang berkembangnya bakteri yang akan menyebabkan
bronhkitis kronis.
Rokok memang telah terbukti mengakibatkan 75% kematian
akibat bronkhitis. Partikel tar dalam asap rokok akan
mengendap dalam lendir yang berada cukup waktu lama di
saluran pernafasan. Rangsangan kronis dari tar terhadap
dinding saluran pernafasan tersebut akan mengubah bentuk sel
paru (dimulai dengan pra-kanker, yang akhirnya menjadi
kanker paru-paru).
Kebiasaan merokok memang mengakibatkan terjadinya 80-
90% kanker paru. Seorang perokok mempunyai kemungkinan
4-14 kali lebih tinggi menderita kanker paru dibanding yang
bukan perokok. Umumnya pasien datang sudah terlambat
sehingga kanker diketahui telah stadium lanjut. Kanker paru
merupakan kasus kanker nomor 2 di dunia. Padahal sebenarnya
kanker paru termasuk golongan kanker yng bisa dicegah, yaitu
dengan menghindarkan diri dari 10 kebiasaan merokok.
Paru-paru kita terdiri dari kantong- kantong udara yang
berfungsi memompa keluar- masuknya udara bersih dan udara
kotor seperti balon karet. Daya pompa ini dimungkinkan
karena adanya serat elastin pada jaringan paru (sama saeperti
serat elastin yang terdapat di kulit). Asap rokok melumpuhkan
serat elastin tubuh termasuk yang ada di paru-paru, sehingga
udara yang masuk sulit untuk dikeluarkan sepenuhnya. Dengan
demikian, ada udara yang masih tertinggal di katong udara.
Semakin lama, desakan udara akan menyebabkan pecahnya
kantong udara. Iniliah yang disebut dengan emfisema.16
5. Dampak rokok terhadap gigi
Merokok mengganggu mulut karena adanya bahan- bahan
kimia. Bahan-bahan kimia itu akan menimbulkan plak dan gigi
kuning, sehingga berpotensi merusak gigi. Perokok berpeluang
satu setengah kali lebih mudah kehilangan gigi dibanding
bukan perokok.16
6. Dampak rokok terhadap jantung dan pembuluh darah
Fungsi jantung dan pembuluh darah adalah membawa oksigen
dan zat makanan ke seluruh tubuh serta mengangkut sisa
metabolisme ke organ-organ yang sesuai untuk pembuangan
misalnya gas CO melalui paru, air seni melalui ginjal, keringat
melalui kulit. Gas CO yang dihisap dari asap rokok
menurunkan kapasitas sel darah merah untuk mengangkut
oksigen yang sangat diperlukan bagi berfungsinya sel jaringan
tubuh.
Tanpa oksigen, sel tubuh akan mati. Dalam tubuh perokok,
tempat untuk oksigen diduduki oleh CO. Kemampuan darah
210 kali lebih besar untuk mengikat CO dibanding oksigen.
Akibatnya otak, jantung, dan organ-organ vital tubuh lainnya
akan kekurangan oksigen. Secara fisik 11 keadaan ini ditandai
dengan nafas yang pendek dan dangkal. Jika jaringan yang
kekurangan oksigen adalah otak, maka akan terjadi stroke
(kelumpuhan).
Bila yang kekurangan oksigen adalah jantung, maka akan
terjadi serangan jantung. Merokok mengakibatkan 25%
kematian akibat penyakit jantung koroner. Merokok
mengakibatkan serangan jantung 3 kali lebih sering pada
perokok dibanding bukan perokok. Jika merokok dimulai dari
usia muda, resiko mendapat serangan jantung menjadi 2 kali
lebih sering dibanding tidak merokok. Serangan sering kali
terjadi sebelum usia 50 tahun.16
7. Dampak rokok terhadap tulang
CO, bahan utama yang keluar dari knalpot kendaraan bermotor
dan asap rokok, mempunyai daya ikat yang lebih terhadap sel
darah merah dibanding oksigen. Oleh karena itu, rokok
mengurangi daya angkut oksigen darah perokok 15%.
Akibatnya para perokok mempunyai tulang dengan densitas
berkurang, lebih mudah patah (fraktur) dan membutuhkan
waktu 80% lebih lama untuk penyembuhan.16
8. Dampak rokok terhadap kulit
Perokok dua sampai tiga kali lebih mudah terkena psoriasis,
suatu proses inlamasi kulit yang terasa gatal, dan
meninggalkan guratan merah pada seluruh tubuh. Walaupun
penyakit ini tidak menular, tetapi mengakibatkan peluang
timbulnya melanoma (kanker kulit).16
9. Dampak rokok terhadap bentuk sperma
Merokok dapat mengubah bentuk sperma dan merusak DNA,
juga mengurangi jumlah sperma dan menurunkan aliran darah
penis sehingga menyebabkan impotensi. 12
10. Dengan demikian, perokok menjadi lebih mudah mengalami
kemandulan.16

b. Dampak rokok terhadap bukan perokokRokok yang dibakar,


menghasilkan asap yang keluar 2 kali lebih banyak dibanding asap
yang dihisap perokok. Bukti ilmiah menunjukkan bahwa kadar bahan
berbahaya dari asap keluar ternyata lebih tinggi dibanding asap yang
dihisap perokok. Kadar CO sekitar 2-4 kali lebih tinggi dan kadar
nitrosamin 50 kali lebih tinggi. Perokok pasif (walaupun tidak
merokok tetapi terpaksa menghisap asap rokok sekitarnya ) akan
menderita sakit karena terpapar bahan berbahaya dalam asap rokok.
Perokok pasif mempunyai kemungkinan terkena knker paru 30%
lebih tinggi dibanding yang tidak terpapar asap rokok. Penelitian di
jepang menunjukkan bahwa istri dari seorang perokok mempunyai
kemungkinan terkena kanker paru sebesar 21-50% lebih tinggi
dibanding istri bukan perokok. Kematian istri perokok akibat
penyakit jatung koroner lebih tinggi dibanding istri bukan perokok.
Batuk pilek pada anak perokok 10-80% lebih sering dibanding anak
bukan perokok. Bronkhitis pada anak perokok 2 kali lebih sering dari
pada anak buka perokok.16
c. Dampak rokok terhadap wanitaKanker rahim dan keguguran: Di
samping meningkatnya risiko kanker leher rahim, merokok
menimbulkan masalah kesuburan pada wanita dan komplikasi selama
kehamilan dan melahirkan. Merokok selama kehamilan
meningkatkan risiko bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR)
yang diikuti dengan munculnya berbagai masalah 13 kesehatan.
Keguguran dapat terjadi dua sampai tiga kali lebih sering pada
perokok Efek kosmetika: Kulit keriput, rambut kaku, mata merah, bau
tidak sedap, gigi berwarna kuning, sura serak, dan lain-lain
Kesuburan berkurang, menopouse dini, kalsium tulang menurun sehingga
menyebabkan tulang keropos dan mudah patah16
d. Dampak psikologis merokokDampak psikologis dari merokok adalah
timbulnya
pengaruh terhadap pikiran, perasaan, dan perilaku perokok. Dampak
psikologis tersebut adalah:
1. Adiksi (ketagihan) Nikotin dalam asap rokok merupakan bahan yang
menimbulkan efek ketagihan (adiktif), sebagaimana kelompok zat adiktif
lainnya seperti heroin, morfin, ganja, amfetamin, alkohol, dan psikotropoka
lainnya.16
2. Toleransi dan DependensiEfek ketagihan akan berkembang secara fisiologis
menjadi efek toleransi (penambahan dosis). Orang yang sudah bertahun-tahun
menjadi perokok, kadar toleransi nikotin dalam tubuhnya telah cukup tinggi
Pada akhirnya secara psikologis merokok akan menimbulkan efek dependensi
(ketergantungan) yang menyebabkan perokok mengalami reaksi putus zat
apabila dihentikan secara mendadak. Beberapa tanda dan gejala dari reaksi
putus zat adalah : badan lemah, sakit kepala, gangguan pencernaan, kurang
konsentrasi, lesu, sulit berpikir, batuk-batuk, dan lain-lain. Keluhan ini bersifat
sementara lama/tidaknya keluhan tersebut tergantung dari lama dan beratnya
seorang merokok. Jika gejala putus zat niokotin (sakau) ini dapat dilewati
dengan
a. 14
b. tekad yang kuat, maka seorang perokok akan dapat berhenti merokok.
Oleh karena itu kesabaran dan kemauan yang keras diperlukan untuk
keberhasilan berhenti merokok. Kondisi kemauan dan niat yang kuat,
dapat dilihat saat perokok melaksanakan ibadah puasa. Demikian
hebatnya efek ketagihan dan ketergantungan pada rokok, sehingga
dapat menjadi penghubung menuju ketergantungan terhadap zat adiktif
lainnya yang lebih berbahaya seperti heroin, morfin, alkohol, dan
psikotropika lainnya. ROKOK adalah PINTU GERBANG ketagihan
terhadap zat adiktif lainnya.16
c. Gaya Hidup PerokokKondisi umum perokok di Indonesia saat ini
adalah mulai merokok pada usia muda (15-20 tahun), sebagai gaya
hidup supaya tampak trendi, cool, macho, gaul, dan lain-lain. Hal ini
sangat mempengaruhi kondisi psikologis dengan mengabaikan dampak
negatifnya terhadap kesehatan. Kondisi ini diperburuk lagi dengan
pembentukan opini yang menyesatkan melalui iklan- iklan rokok dan
sponsorship dlam kegiatan remaja. Sedangkan untuk orang dewasa
atau mereka yang berusia di atas 20 tahun, merokok tampaknya telah
menjadi kebiasaan yang membudaya. Bahkan sudah dianggap sebagai
suatu kebutuhan, baik dalam waktu istirahat maupun dalam hubungan
sosial bermasyarakat.16

2.3. Hubungan Rokok dengan Hipertensi


Kandungan dalam rokok telah diketahui berdampak buruk bagi tubuh.
Nikotin, serta kandungan dalam rokok lainnya memiliki peranan dalam
perubahan mekanisme tubuh terutama yang terkait dengan peningkatan

23,24
tekanan darah.
Efek nikotin menyebabkan perangsangan terhadap pelepasan norepinefrin,
hormon antidiuretik serta kemoreseptor di arteri karotis yang bersifat memacu
jantung dan tekanan darah. Jantung tidak diberikan kesempatan istirahat dan

25
tekanan darah akan semakin meninggi berakibat timbulnya hipertensi. 22

Ketika seseorang merokok maka ia akan menghirup dan menghembuskan asap


rokok. Asap rokok merupakan radikal bebas yang apabila masuk ke dalam
tubuh menyebabkan gangguan fungsi endotel, koagulasi, trombosis serta
aktivasi sistem saraf simpatetik yang menyebabkan vasokontriksi pembuluh

19,26,27
darah sehingga terjadi peningkatan tekanan darah dan denyut jantung.

Pada dinding-dinding pembuluh darah terdapat lapisan otot-otot halus yang


dapat menyebabkan pelebaran ataupun penyempitan. Untuk dapat melebar dan
menyempit dibutuhkan bahan yang dapat menjadi kode, yaitu Nitric oxide .
Nitric oxide adalah suatu molekul yang dihasilkan oleh sel endotel. Ketika ada
hormon pembawa pesan tertentu berikatan dengan reseptor di pembuluh darah
arteri, Nitric oxide dihasilkan dan dilepaskan oleh sel endotel untuk bergerak
menuju sel otot halus. Di dalam sel otot halus, molekul ini mengaktifkan
enzim Guanyl cyclase (GC) yang mengubah GTP menjadi cGMP yang
menyebabkan ion kalsium bergerak dari ekstrasel ke intrasel. Dengan
19
demikian sel otot halus mengendur dan pembuluh darah melebar. Pada
perokok didapatkan penurunan Nitric oxide sehingga pembuluh darah
cenderung mengecil sehingga dengan demikian terjadi peningkatan tekanan

,28,29,30
darah yang melewati pembuluh darah tersebut.

2.4. Pada penelitian yang dilakukan oleh Calamanjer et al.(1996)


dibandingkan fungsi endotel pembuluh darah dari kelompok perokok aktif,
kelompok pasif (sangat sering terpapar asap rokok) dan kelompok yang jarang
terpapar asap rokok. Pada setiap subyek dilakukan pengukuran reaktifitas
pembuluh darah arteri dengan menggunakan brachial ultrasonography, untuk
menilai fungsi endotel. Dari ketiga kelompok, meskipun memiliki nilai
persentasi yang berbeda, namun didapatkan penurunan Nitric Oxide yang
menunjukkan adanya gangguan fungsi endotel. Perubahan fungsi pada endotel
ini berhubungan dengan peningkatan perangsangan respon adrenergik yang

31
dilakukan oleh nikotin. Heitzer et al.(2000) mengungkapkan bahwa radikal
bebas yang terbentuk dari merokok menyebabkan deplesi kofaktor

32
tetrahydrobioptrin sehingga endotel mengalami gangguan.

Nikotin dalam rokok juga dapat berpengaruh pada platelet. Ketersediaan


platelet yang dibentuk oleh nitric oxide berkurang dan 23 sensitivitas platelet
terhadap nitric oxide mengalami penurunan. Hal ini menyebabkan terjadinya
terjadi adhesi dan peningkatan agregasi trombosit pada pembuluh darah yang
dapat menimbulkan plak dan kekakuan arteri sehingga plak aterosklerosis

33
dapat berkembang. Perubahan faktor jaringan berupa lemak akibat merokok

34
dapat menyebabkan peningkatan potensi trombogenik. Selain itu, pada
perokok didapatkan peningkatan risiko terbentuknya aterotrombosis akibat

35
penurunan kapasitas fibrinolitik.

Pada akhirnya, hipertensi pada perokok terjadi akibat peningkatan tekanan


darah dalam jangka waktu tertentu akibat disfungsi endotel, koagulasi dan
26,35,36
thrombosis yang menyebabkan kekakuan arteri.
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Desain Penelitian


Berdasarkan teori kepustakaan dan keterbatasan penelitian maka kerangka
konsep yang dibangun adalah melihat hubungan perilaku merokok dengan
hipertensi pada perokok laki-laki di wilayah kerja Puskesmas Limboto Barat.
Hubungan yang akan diteliti juga meliputi extragenous variables meliputi usia
anak, jenis kelamin, riwayat imunisasi, berat badan lahir, status gizi anak,
pengetahuan ibu tentang ISPA, pendidikan ibu, pekerjaan ibu, adanya perokok,
dan adanya asap pembakaran.
Gambar 3.1
Kerangka Konsep Penelitian

Penelitian ini merupakan studi kuantitatif dengan desain kasus kontrol


dengan tujuan mengetahui hubungan pemberian ASI eksklusif dengan kejadian
ISPA pada anak usia 1-5 tahun di wilayah kerja Puskesmas Limboto Barat.
Penelitian kasus kontrol adalah studi yang dapat dilakukan di fasilitas pelayanan
kesehatan dengan objektif untuk mengetahui apakah satu atau lebih variabel
independen merupakan faktor resiko dari suatu variabel dependen.
Secara sederhana, rancangan kasus kontrol dalam penelitian ini dapat
dilihat pada gambar 3.2 berikut :
Gambar 3.2
Rancangan Studi Kasus Kontrol Hubungan Pemberian ASI Eksklusif dengan
Kejadian ISPA pada Anak Usia 1-5 Tahun

Penelitian kasus kontrol mempelajari hubungan antara suatu kasus dengan


pajanan tertentu. Penelitian dimulai dengan mengidentifikasi outcome yaitu
kelompok kasus (kelompok anak usia 1-5 tahun yang menderita ISPA) dan
kelompok kontrol (kelompok anak usia 1-5 tahun yang tidak menderita ISPA),
kemudian dilihat secara retrospektif pajanan di masa lalu (ASI eksklusif).

3.2.Waktu dan Lokasi Penelitian


Penelitian dilaksanakan selama 2 bulan yaitu pada bulan Januari dan
Februari 2017 yang meliputi survei awal, pengumpulan data awal, penulisan
proposal, pengumpulan data primer dilanjutkan dengan penulisan hasil penelitian.
Metode yang digunakan untuk pengumpulan data primer adalah wawancara
terstruktur terhadap responden dengan menggunakan kuesioner dan observasi.
Lokasi penelitian berada di Poli Puskesmas Limboto Barat

3.3.Populasi dan Sampel

3.3.1.Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien laki laki yang
berkunjung ke Puskesmas Limboto Barat.
3.3.2.Sampel Target

Sampel pada penelitian ini adalah sebagian laki - laki yang berkunjung
ke Puskesmas Limboto Barat yang memenuhi syarat kriteria inklusi dan
eksklusi dengan definisi kasus dan kontrol.

3.3.3.Kriteria Inklusi dan Eksklusi Kasus

Kriteria Inklusi Kasus :

1. Bersedia menjadi subjek penelitian

2. Laki-laki usia 35 - 55 tahun yang berkunjung ke Puskesmas Limboto Barat

3. Memiliki BMI normal

4. Tidak mengkonsumsi alkohol

Kriteria Eksklusi Kasus :

1. Data tidak lengkap pada variabel-variabel penting

2. Tidak bersedia menjadi subjek penelitian

3.4.Besar dan Cara Pengambilan Sampel

Sampel pada penelitian ini adalah sebanyak 30 laki laki usia 35 55 tahun
yang datang ke Puskesmas Limboto Barat pada Januari Februari 2017 dan
memenuhi kriteria inklusi. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah
teknik cluster random sampling, yaitu teknik memilih sebuah sampel dari
kelompok-kelompok unit yang kecil.

Gambar 3.3

Langkah Pengambilan Sampel


3.5.Pengumpulan Data

1. Jenis data yang dikumpulkan pada penelitian ini adalah data primer tentang
karakteristik ibu dan anak usia 1 5 tahun yakni data faktor karakteristik anak
(riwayat imunisasi, status gizi, jenis kelamin, usia, dan berat badan lahir),
faktor sosio-demografi ibu (pendidikan ibu, pengetahuan ibu, dan pekerjaan
ibu), serta faktor lingkungan (adanya perokok dalam rumah, adanya asap
pembakaran).

2. Setiap anak usia 1 5 tahun yang datang berobat ke Puskesmas Limboto Barat
maupun yang datang ke Posyandu Tunggulo yang didiagnosis kasus (ISPA)
maupun kontrol (non ISPA) oleh dokter yang memenuhi kriteria sebagai
sampel ditindaklanjuti dengan wawancara menggunakan kuisioner dan
dilakukan observasi.
3. Cara pengumpulan data dilakukan dengan wawancara terstruktur yakni
wawancara dengan panduan kuisioner kepada ibu dimana anaknya terpilih
sebagai sampel (baik kasus maupun kontrol). Di samping itu juga dilakukan
pengukuran dan pengamatan untuk mendapatkan data tentang berat badan,
riwayat imunisasi, serta dilakukan kroscek terhadap kebenaran informasi
subjek penelitian seperti tanggal lahir anak da status imunisasi yang dilihat
dari KMS yang dimiliki.

4. Pengumpulan data dilakukan oleh peneliti dan dilaksanakan sampai memenuhi


jumlah sampel minimal yakni 30 sampel yang meliputi : 15 kasus dan 15
kontrol.
BAB IV

HASIL PENELITIAN

4.1.Gambaran Umum Kecamatan Limboto Barat

Puskesmas Limboto Barat terletak di Kecamatan Limboto Barat, Kabupaten


Gorontalo. Daerah naungan Puskesmas Limboto Barat memiliki luas 154,95 km 2
yang mencakup sepuluh desa (pemekaran 2 desa terakhir dilakukan pada akhir
tahun 2007) dengan jumlah penduduk sebesar 23.717 jiwa. Sepuluh desa tersebut
dapat ditempuh dengan angkutan darat. Terdapat 2 desa yang terpencil dimana
masih belum tersedia akses sinyal komunikasi.

Wilayah kerja Puskesmas Limboto Barat terdiri dari 10 desa, yaitu:

1. Desa Yosonegoro
2. Desa Pone
3. Desa Ombulo
4. Desa Daenaa
5. Desa Padengo
6. Desa Haya-Haya
7. Desa Hutabohu
8. Desa Huidu
9. Desa Huidu Utara
10. Desa Tunggulo

Wilayah kerja Puskesmas Limboto Barat berbatasan dengan :

Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Tibawa


Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Limboto
Sebelah Selatan berbatasan Kecamatan Tabongo.
Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Gorontalo Utara
Gambar 4.1 Peta wilayah kerja Puskesmas Limboto Barat

4.2.Profil Puskesmas Limboto Barat

4.2.1.Data Geografis

Kabupaten Gorontalo merupakan daerah tropis yang terdapat dua


musim yaitu musim penghujan yang berlangsung dari Desember - Maret
dan musim kemarau yang berlangsung dari Juni September.
Suhu rata rata 28o 32o C dengan curah hujan rata rata 128,75
mm dan rata rata hari hujan 187 hari per tahun. Kelembaban rata rata
berkisar antara 70-90%.

4.2.2.Data demografis

Berdasarkan hasil verifikasi pendataan KK miskin diperoleh jumlah


penduduk di wilayah Puskesmas Limboto Barat pada tahun 2013 sebanyak
23.717 jiwa, dengan jumlah KK sebanyak 7.156 KK. Jumlah penduduk
laki-laki sebanyak 11.797 jiwa dan penduduk perempuan sebanyak 11.920
jiwa.

Mayoritas pemeluk agama di Wilayah kerja PKM Limboto Barat


adalah Islam. Potensi sumber daya terdiri dari lahan pertanian, perkebunan,
peternakan, Pertambangan.

Tabel 4.1

Jumlah penduduk pada wilayah kerja Puskesmas Limboto Barat, 2015

No Sasaran
Desa
. Penduduk KK

1 Yosonegoro 2366 688

2 Pone 2341 790

3 Ombulo 2397 707

4 Haya-haya 2209 569

5 Daenaa 3185 930

6 Tunggulo 2687 812

7 Huidu 2045 567

8 Huidu Utara 1016 296

9 Padengo 1699 456

10 Hutabohu 3772 1110

Jumlah 23717 6925


4.2.3.Sarana dan Prasana Kesehatan

Kecamatan Limboto Barat memiliki 1 buah Puskesmas dan terdapat 3


buah Puskesmas Pembantu, 7 buah Poskesdes. Jenis tenaga yang ada di
sektor kesehatan masih didominasi oleh tenaga perawat dan bidan sebanyak
23 orang dari seluruh jenis tenaga kesehatan yang ada.

Presentase sarana pelayanan kesehatan tersebut dapat dilihat pada


bagan di bawah ini.

Gambar 4.2

Sarana Pelayanan Kesehatan di Kecamatan Limboto Barat Tahun 2014

4.3.Analisis Univariat

Penelitian dilakukan terhadap 30 subjek penelitian yang terdiri dari 15 kasus


dan 15 kontrol. Analisis univariat digunakan untuk mendeskripsikan karakteristik
masing-masing variabel penelitian dengan distribusi frekuensi dan persentase
masing-masing kelompok.

4.3.1.Distribusi Responden Menurut Pemberian ASI Eksklusif

Tabel 4.2
Distribusi Pemberian ASI Eksklusif Berdasarkan Kasus dan Kontrol

Kontrol
Kasus (ISPA) Total
Variabel (Tidak ISPA)

n = 15 % n = 15 % n = 30 %

ASI Eksklusif

Tidak 11 73,33% 5 33,33% 16 53,33%

Ya 4 26,67% 10 66,67% 14 46,67%

Pada variabel independen utama pemberian ASI menunjukkan


bahwa proporsi ibu lebih banyak yang tidak memberikan ASI eksklusif
pada anaknya yaitu 53,33%. Proporsi anak yang diberi ASI tidak eksklusif
lebih banyak yang terkena ISPA (kasus) yaitu 73,33% dibandingkan yang
tidak ISPA (kontrol) sebanyak 33,33%. Sedangkan proporsi anak yang
diberi ASI Eksklusif lebih banyak pada kontrol yaitu 66,67% dibandingkan
yang terkena kasus sebanyak 26,67%.

4.3.2.Distribusi Faktor Karakteristik Anak

Tabel 4.3

Distribusi Faktor Karakteristik Anak Berdasarkan Kasus dan Kontrol

Kontrol
Kasus (ISPA) Total
Variabel (Tidak ISPA)

n = 15 % n = 15 % n = 30 %

Usia

1 5 33,33% 2 13,33% 7 23,33%

2 3 20% 5 33,33% 8 26,67%

3 3 20% 4 26,67% 7 23,33%

4 3 20% 2 13,33% 5 16,67%


5 1 6,67% 2 13,33% 3 10%

Imunisasi

Tidak lengkap 2 13,33% 1 6,67% 3 10%

Lengkap 13 86,67% 14 93,33% 27 90%

Status Gizi

Kurus 4 26,67% 2 13,33% 6 20%

Gemuk 1 6,67% 2 13,33% 3 10%

Normal 10 66,67% 11 73,33% 21 70%

Jenis Kelamin

Laki-laki 6 40% 7 46,67% 13 43,33%

Perempuan 9 60% 8 53,33% 17 56,67%

Kontrol
Kasus (ISPA) Total
Variabel (Tidak ISPA)

n = 15 % n = 15 % n = 30 %

BB Lahir

BBLR 1 6,67% 0 0% 1 3,33%

BBLR 14 93,33% 15 100% 29 96,67%

4.3.3.Distribusi Faktor Sosial Demografi

Tabel 4.4

Distribusi Faktor Sosial Demografi Responden Berdasarkan Kasus dan Kontrol

Kontrol
Kasus (ISPA) Total
Variabel (Tidak ISPA)

n = 15 % n = 15 % n = 30 %

Pendidikan

< SLTP 7 46,67% 4 26,67% 11 36,67%

> SLTP 8 53,33% 11 73,33% 19 63,33%


Pengetahuan Ibu

Kurang 10 66,67% 8 53,33% 18 60%

Cukup 5 33,33% 7 46,67% 12 40%

Pekerjaan Ibu

Bekerja 7 46,67% 3 20% 10 33,33%

Tidak Bekerja 8 53,33% 12 80% 20 66,67%

4.3.4.Distribusi Faktor Lingkungan

Tabel 4.5

Distribusi Faktor Lingkungan Berdasarkan Kasus dan Kontrol

Kontrol
Kasus (ISPA) Total
Variabel (Tidak ISPA)

n = 15 % n = 15 % n = 30 %

Perokok dalam rumah

Ada 12 80% 8 53,33% 20 66,67%

Tidak ada 3 20% 7 46,67% 10 33,33%

Asap pembakaran

Ada 9 60% 5 33,33% 14 46,67%

Tidak 6 40% 10 66,67% 16 53,33%

4.4.Analisis Bivariat
Analisis bivariat merupakan analisis yang digunakan untuk melihat hubungan
antara variabel bebas (independent) terhadap variabel terikat (dependent).
Variabel independent pada penelitian ini adalah pemberian ASI eksklusif dan
variabel dependent adalah kejadian ISPA.

4.4.1.Hubungan Pemberian ASI Eksklusif dengan Kejadian ISPA

Tabel 4.6

Hubungan Pemberian ASI Ekslusif dengan Kejadian ISPA

Kontrol
Kasus (ISPA) Total
Variabel (Tidak ISPA)

n = 15 % n = 15 % n = 30 %

ASI Eksklusif

Tidak 11 73,33% 5 33,33% 16 53,33%

Ya 4 26,67% 10 66,67% 14 46,67%

Odds Ratio = a.d / b.c

= 11 x 10 / 5 x 4 = 110/20 = 5.5

Hasil penelitian menunjukkan bahwa anak yang tidak mendapatkan


ASI eksklusif memiliki Odds Ratio 5,5 kali untuk mengalami kejadian
ISPA dibandingkan anak yang mendapatkan ASI eksklusif.
BAB V
PEMBAHASAN

5.1 Keterbatasan Penelitian


Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan pemberian ASI eksklusif
terhadap kejadian ISPA pada anak usia 1-5 tahun di wilayah kerja Puskesmas Limboto
Barat. Peneliti menyadari bahwa hasil dari penelitian ini masih sangat jauh dari
kesempurnaan, hal ini berkaitan dengan bias di dalam penelitian serta ketepatan
metode atau desain penelitian yang digunakan.

5.1.1. Bias di dalam Penelitian


Data pada penelitian ini diperoleh dari data primer. Namun dalam
aplikasinya juga mempunyai keterbatasan yaitu sering terjadi kesalahan dalam
menetukan jumlah kasus dan kontrol agar sebanding (comparable). Bila hal
ini terjadi, maka dapat menyebabkan kesalahan dalam analisis karena ukuran
sampel (sample size) yang tidak mencukupi.
Berikut ini akan diuraikan mengenai kemungkinan adanya bias yang
terjadi. Ada dua jenis bias yang akan terjadi, yaitu : bias seleksi dan bias
informasi.

1. Bias Seleksi
Bias seleksi adalah distorsi (penyimpangan) hasil dari prosedur yang
digunakan untuk memilih subjek dan dari faktor-faktor yang
mempengaruhi keikutsertaan subjek di dalam studi. Bias seleksi pada
penelitian ini dapat terjadi pada waktu seleksi subjek dalam penentuan
kasus dan kontrol. Subjek penelitian dipilih berdasarkan status penyakit,
maka peneliti memiliki keleluasaan untuk menentukan jumlah kasus dan
kontrol yang optimal. Pemilihan kelompok kasus dan kontrol sebanding
(comparable) dipilih dari populasi yang sama yakni pelayanan Puskesmas
Limboto Barat memungkinkan tidak terjadinya bias potensial karena
kontrol yang terpajan terhadap suatu resiko sama dengan kasus. Upaya
dalam meminimalisir bias seleksi pada penelitian ini dengan melakukan
pemilihan kontrol dari populasi asal kasus (actual base population) dan
unit analisis ditetapkan pada anak usia 1-5 tahun agar tidak terjadi
kesalahan dalam analisis. Penentuan subjek kasus dan kontrol ditegakkan
oleh tenaga kesehatan sehingga bias seleksi dalam penentuan kasus dan
kontrol dapat dihindari.

2. Bias Informasi
Bias informasi adalah bias yang terjadi akibat cara pengamatan, pelaporan,
pengukuran, pencatatan, pengelompokan dan interpretasi status pajanan
atau penyakit kurang tepat sehingga menyebabkan distorsi penaksiran
pengaruh pajanan terhadap penyakit. Bias informasi yang terjadi dapat
berasal dari responden, pewawancara, maupun dari alat ukur atau
kuisioner yang digunakan. Bias informasi yang penting adalah recall bias,
yakni bias yang terjadi akibat perbedaan akurasi antara kasus dan kontrol
dalam mengingat serta melaporkan pajanan. Kemungkinan informasi yang
sulit untuk diingat oleh responden adalah ISPA dalam satu bulan terakhir,
riwayat pemberian ASI, berat badan lahir, dan pemberian imunisasi
lengkap. Untuk meminimalisir recall bias pewawancara merujuk pada
KMS dan data sekunder catatan rekam medis untuk melengkapi data yang
dibutuhkan, serta pertanyaan menggunakan bahasa setempat yang mudah
dimengerti.

5.1.2. Ketepatan Metode atau Desain Penelitian


Desain penelitian yang digunakan adalah studi kasus kontrol, dimana
desain ini mempelajari hubungan antara suatu kasus dengan pajanan tertentu.
Penelitian dimulai dengan mengidentifikasi outcome yaitu kelompok kasus
(kelompok anak yang menderita ISPA) dan kelompok kontrol (anak yang tidak
menderita ISPA), kemudian dilihat secara retrospektif pajanan di masa lalu
(ASI eksklusif). Dalam perkembangannya desain ini menjadi pilihan untuk
penelitian analitik karena relatif murah, singkat dan mudah dilakukan
ketimbang rancangan studi analitik lainnya.
Desain kasus kontrol tidak dapat mengukur laju insiden sehingga
ukuran asosiasi yang dapat digunakan adalah Odds Ratio (OR) sebagai ukuran
yang tidak sebaik ukuran Relative Risk (RR) pada desain kohort. OR
merupakan ukuran untuk mengestimasi nilai RR dan pada beberapa kondisi
tidak mudah untuk memastikan hubungan sebab-akibat sehingga dinilai
kurang sahih. Desain penelitian kohort yang bersifat prospektif lebih tepat
karena dilakukan observasi responden hingga terjadinya outcome. Tingginya
prevalensi kasus ISPA disbanding penyakit lainnya menurut Riskesdas 2013
juga menjadikan metode kasus kontrol yang dipilih sebenarnya tidak tepat.
Namun dari segi reliabilitas di lapangan, penelitian dengan desain kasus
kontrol ini lebih mudah diterapkan.

5.2. Hubungan Pemberian ASI Eksklusif dengan Kejadian ISPA


ASI merupakan nutrisi yang sangat penting dalam mengurangi morbiditas dan
mortalitas bayi serta bermanfaat untuk kesehatan, pertumbuhan dan perkembangan
bayi pada tahun pertama. Dari hasil model akhir analisis bivariat dapat diketahui
bahwa anak yang tidak mendapatkan ASI eksklusif memiliki Odds Ratio 5,5 kali
untuk mengalami kejadian ISPA dibandingkan anak yang mendapat ASI Eksklusif.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa diperlukan suatu program peningkatan angka
ASI eksklusif sebagai program prioritas dan program pengendalian penyakit ISPA
karena dampaknya yang sangat besar bagi kesehatan balita.
Anak yang mendapatkan ASI eksklusif secara otomatis mendapatkan
kekebalan tubuh melalui kandungan yang terdapat dalam ASI sebagai proteksi
melawan kuman patogen yang masuk ke dalam tubuh. Pemberian ASI juga
merupakan makanan alamiah terbaik yang dapat diberikan ibu kepada anaknya,
dimana komposisi ASI sesuai untuk pertumbuhan dan perkembangan anak. Antibodi
IgA memiliki efek protektif terhadap virus Haemophilus influenza serta menurunkan
resiko infeksi saluran pernafasan.
Hasil peneliian ini membuktikan bahwa pemberian ASI eksklusif mempunyai
hubungan yang signifikan dengan kejadian ISPA pada anak usia 1-5 tahun di wilayah
kerja Puskesmas Limboto Barat. Hal ini memberikan implikasi bahwa penanganan
ISPA tidak hanya melalui pengobatan (kuratif) saja tetapi perlu juga meningkatkan
upaya promotif dan preventif. Dalam menurunkan angka morbiditas ISPA pada balita
perlu dilakukan upaya penanggulangan faktor resiko melalui kerjasama lintas
program maupun lintas sektor yang melibatkan tenaga kesehatan, organisasi
pemerintahan, dinas kesehatan, tokoh masyarakat dan semua elemen yang terkait.
Peningkatan mutu pelayanan penanggulangan ISPA dengan peningkatan
kemampuan sumber daya manusia melalui berbagai pelatihan, ketersediaan obat dan
alat kesehatan yang dibutuhkan, serta validasi pencatatan dan pelaporan rutin juga
dibutuhkan. Pelaksanaan supervisi dilakukan oleh penanggung jawab program dengan
melaksanakan sistem pemantauan dini dan evaluasi program. Pembinaan peran serta
masyarakat sangat diperlukan dalam menurunkan kejadian ISPA yaitu bekerjasama
dengan kader kesehatan mengenai bimbingan dan motivasi pada ibu menyusui dalam
pemberian ASI eksklusif 6 bulan serta pengetahuan yang benar seputar ASI dan ISPA.
Hasil penelitian juga menemukan tingginya angka perokok dalam rumah dan
adanya asap pembakaran dalam rumah yang sebagian besar berasal dari dapur dan
penggunaan obat nyamuk bakar. Asap dapat menyebabkan pencemaran udara yang
diketahui dapat merusak ketahanan lokal saluran pernafasan seperti gangguan
pembersihan mukosiliaris. Program Kawasan Tanpa Rokok (KTR) dinilai perlu untuk
diberlakukan dalam keluarga, negara maupun masyarakat. Penyuluhan untuk tidak
merokok di rumah atau di dekat anak perlu digalakkan melalui kegiatan penyuluhan
Perilaku Hidup Bersih Sehat (PHBS).
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN

6.1.Kesimpulan
Kesimpulan yang diperoleh dari hasil penelitian yang dilakukan adalah
terdapat hubungan pemberian ASI eksklusif dengan kejadian ISPA pada anak usia
1-5 tahun di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Limboto Barat, dimana anak
yang tidak mendapatkan ASI eksklusif memiliki resiko 5,5 kali untuk terkena
ISPA dibandingkan anak yang mendapat ASI eksklusif.

6.2.Saran
6.2.1. Bagi Puskesmas Limboto Barat
1. Melakukan upaya peningkatan promotif dan preventif dengan
melakukan upaya penanggulangan faktor resiko melalui kerjasama
lintas program dan lintas sektor. Kerjasama dilakukan antara program
imunisasi, program bina gizi masyarakat, program bina kesehatan
balita, program penyehatan lingkungan pemukiman, program promosi
kesehatan dan program peningkatan pemberian ASI eksklusif.
Penggunaan leaflet sebagai media tambahan saat melakukan
penyuluhan dan menggunakan metode penyuluhan yang menarik
seperti : film atau seni peran.
2. Melakukan pembinaan peran serta masyarakat bekerja sama dengan
para kader untuk memberikan informasi yang benar seputar ASI
eksklusif selama 6 bulan dan memotivasi ibu untuk memberikan ASI
eksklusif.
3. Pengembangan program penanggulangan penyakit ISPA dengan
advokasi, kemitraan, penelitian, peningkatan manajemen serta
pencegahan dan penanggulangan faktor resiko lainnya. Misalnya :
menerapkan Kawasan Tanpa Rokok (KTR).
4. Melakukan peningkatan cakupan imunisasi pada balita melalui
peningkatan angka kunjungan Posyandu dan penyuluhan mengenai
pentingnya imunisasi dalam memberikan sistem kekebalan tubuh pada
balita.

You might also like