Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Definisi hipertensi (tekanan darah tinggi) adalah peningkatan darah sistolik
lebih dari atau sama dengan 140 mmHg dan tekanan darah diastolik lebih dari atau
sama dengan 90 mmHg, dimana pengukuran dilakukan sebanyak dua kali dalam
selang waktu lima menit dalam keadaan cukup istirahat/tenang. 1
Hipertensi, terutama jika sudah terjadi dalam jangka waktu yang lama dapat
mengakibatkan berbagai kerusakan pada organ-organ tubuh seperti jantung (gagal
jantung), ginjal (gagal ginjal), otak (stroke). Risiko terjadinya penyakit sekunder
akibat hipertensi jumlahnya akan terus meningkat apabila kondisi hipertensi tidak
terkontrol dengan baik. 1
Pada tahun 2008, secara global, diperkirakan sekitar 40% orang dewasa yang
berusia lebih dari 25 tahun pernah terdiagnosa dengan hipertensi. Angka penderita
hipertensi meningkat secara pesat, mencapai angka 1 milyar orang pada tahun 2008,
dibandingkan dengan tahun 1980 dimana hanya terdapat sekitar 600 juta penderita
hipertensi. 2
Berdasarkan data Riskedas 2013, di Indonesia sendiri, hipertensi masih
menjadi permasalahan kesehatan, terutama dalam praktik pelayanan primer.
Hipertensi masih memiliki prevalensi yang tinggi, yaitu sebesar 25,8%. 3
Gorontalo, masih menurut data dari Riskesdas 2013, menempati posisi ke-5
dari 5 Provinsi dengan prevalensi hipertensi tertinggi, dengan persentase sebesar
29,4%, dimana terdapat 33.542 jiwa yang absolut menderita hipertensi dari 1.134.498
orang penduduk. 3
Menurut The Tobacco Atlas 3rd edition, konsumsi tembakau di seluruh dunia
sebanyak 57% di Asia dan Australia, 14% pada penduduk Eropa Timur, 12%
penduduk Amerika, 9% penduduk Eropa Barat, dan 8% pada penduduk Timur Tengah
serta Afrika. Sementara itu ASEAN merupakan 10% dari seluruh perokok dunia dan
20% penyebab kematian global akibat tembakau. Persentase perokok pada penduduk
di negara ASEAN tersebar di Indonesia (46,16%), Filipina (16,62%), Vietnam
(14,11%). Myanmar (8.73%), Thailand (7,74%), Malaysia (2,90%), Kamboja
(2,07%), Laos (1,23%), Singapura (0,39%), dan Brunei (0,04%).
Penelitian yang diadakan Riskesdas pada tahun 2013, menunjukan bahwa
sebanyak 24,3% masyarakat merokok setiap harinya, dengan jumlah rata-rata rokok
yang dikonsumsi sebanyak 12 batang. Provinsi Gorontalo termasuk menepati urutan
ke- 4 dari 5 besar Provinsi dengan persentase perokok terbanyak di Indonesia, dengan
presentase perokok sebesar 26,8%.4
Kebiasaan merokok merupakan salah satu dari faktor yang berkaitan dengan
hipertensi, oleh karena itu penulis ingin mengetahui, apakah kebiasaan merokok pada
masyarakat di wilayah kerja Puskesmas Limboto Barat berkaitan dengan hipertensi.
1.2.Rumusan Masalah
a. Apakah terdapat hubungan antara kebiasaan merokok dengan hipertensi di
wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Limboto Barat?
b. Bagaimana gambaran perilaku merokok masyarakat di wilayah kerja
Puskesmas Limboto Barat?
1.3.Tujuan Penelitian
a. Mengetahui hubungan kebiasaan merokok dengan hipertensi di wilayah
kerja Puskesmas Kecamatan Limboto Barat.
b. Mengetahui gambaran perilaku merokok masyarakat di wilayah kerja
Puskesmas Limboto Barat.
1.4.Manfaat Penelitian
1.4.1. Untuk Puskesmas Kecamatan Limboto Barat
Sebagai bahan masukan kepada pemerintah khususnya Dinas
Kesehatan Kabupaten Gorontalo dan Puskesmas Kecamatan Limboto
Barat dalam penentuan arah kebijakan program penanggulangan
hipertensi dan merokok.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Hipertensi
2.1.2. Etiologi
Berdasarkan etiologinya, hipertensi dapat dikategorikan menjadi 2
bagian 6:
b. Hipertensi sekunder
Hipertensi sekunder ialah saat hipertensi terjadi akibat
adanya kondisi lain yang mengakibatkan hipertensi seperti
adanya penyakit ginjal, obat-obatan (pil kontrasepsi yang
mengandung estrogen, kortikosteroid), konsumsi alkohol,
obesitas, merokok, konsumsi garam berlebihan, riwayat
keluarga, dan usia lanjut.
b. Sistem Renin-Angiotensin
hormon.
d. Disfungsi Endotelium
e. Substansi vasoaktif
f. Hiperkoagulasi
g. Disfungsi diastolik
2.1.5. Diagnosis 11
Diagnosis klinik ditegakkan berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan fisik.
a. Anamnesis
Pada anamnesis dapat ditemukan penderita hipertensi tanpa
keluhan maupun dengan keluhan-keluhan seperti sakit/nyeri
kepala, gelisah, jantung berdebar-debar, rasa sakit di dada dan
mudah lelah.
Pada anamnesis juga perlu ditanyakan faktor risiko dari
hipertensi, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, semakin
banyak faktor risiko yang ditemukan, maka makin besar risiko
terjadinya hipertensi.
b. Pemeriksaan Fisik
Hasil pemeriksaan fisik dapat menunjukan pasien tampak
sehat. Tekanan darah meningkat sesuai JNC VII. Nadi tidak
normal. Perlu juga diperiksa status neurologis, dan
pemeriksaan jantung dimana hasil yang ditemukan bisa normal
ataupun tidak.
2.1.6. Tatalaksana
Penatalaksanaan tekanan darah dapat dikontrol dengan
perubahan gaya hidup.
a. Hipertensi tanpa compelling indication
1. Hipertensi stage 1 dapat diberikan diuretik (HCT 12.5-50 mg/hari, atau
pemberian penghambat ACE (captopril 3x12,5-50 mg/hari), atau nifedipin
long acting 30-60 mg/hari) atau kombinasi.
2. Hipertensi stage 2 Bila target terapi tidak tercapai setelah observasi
selama 2 minggu, dapat diberikan kombinasi 2 obat, biasanya golongan
diuretik, tiazid dan penghambat ACE atau penyekat reseptor beta atau
penghambat kalsium.
3. Pemilihan anti hipertensi didasarkan ada tidaknya kontraindikasi dari
masing-masing antihipertensi di atas. Sebaiknya pilih obat hipertensi yang
diminum sekali sehari atau maksimum 2 kali sehari.
Bila target tidak tercapai maka dilakukan optimalisasi dosis atau
ditambahkan obat lain sampai target tekanan darah tercapai
b. Kondisi khusus lain
1. Lanjut usia
Diuretik (tiazid) mulai dosis rendah 12,5 mg /hari
Obat hipertensi lain mempertimbangkan penyakit
penyerta
2. Kehamilan
Golongan metildopa, BB, CCB, vasodilator.
ACE-I dan ARB tidak dapat digunakan selama
kehamilan.
2.2. Rokok
2.2.1. Definisi
Rokok adalah gulungan tembakau (sebesar kelingking) yang
dibungkus (daun nipah,kertas, dan sebagainya); 14 silinder dari
kertas berukuran panjang antara 70 hingga 120 mm (bervariasi
tergantung negara) dengan diameter sekitar 10 mm yang berisi
daun-daun tembakau yang telah dicacah. Rokok dibakar pada salah
satu ujungnya dan dibiarkan membara agar asapnya dapat dihirup
lewat mulut pada ujung lainnya. 12,13
1. Nikotin
Komponen ini paling banyak dijumpai di dalam rokok. Nikotin
yang terkandung di dalam asap rokok antara 0.5-3 ng, dan
semuanya diserap, sehingga di dalam cairan darah atau plasma
antara 40-50 ng/ml. Nikotin merupakan alkaloid yang bersifat
stimulan dan pada dosis tinggi bersifat racun. Zat ini hanya ada
dalam tembakau, sangat aktif dan mempengaruhi otak atau
susunan saraf pusat. Nikotin juga memiliki karakteristik efek
adiktif dan psikoaktif. Dalam jangka panjang, nikotin akan
menekan kemampuan otak untuk mengalami kenikmatan, sehingga
perokok akan selalu membutuhkan kadar nikotin yang semakin
tinggi untuk mencapai tingkat kepuasan dan ketagihannya. Sifat
nikotin yang adiktif ini dibuktikan dengan adanya jurang antara
jumlah perokok yang ingin berhenti merokok dan jumlah yang
berhasil berhenti. Nikotin yaitu zat atau bahan senyawa porillidin
yang terdapat dalam Nicotoana Tabacum, Nicotiana Rustica dan
spesies lainnya yang sintesisnya bersifat adiktif dapat
mengakibatkan ketergantungan. Nikotin ini dapat meracuni saraf
tubuh, meningkatkan tekanan darah, menyempitkan pembuluh
perifer dan menyebabkan ketagihan serta ketergantungan pada
pemakainya.
2. Tar
Tar merupakan bagian partikel rokok sesudah kandungan
nikotin dan uap air diasingkan. Tar adalah senyawa polinuklin
hidrokarbon aromatika yang bersifat karsinogenik. Dengan adanya
kandungan tar yang beracun ini, sebagian dapat merusak sel paru
karena dapat lengket dan menempel pada jalan 5 nafas dan paru-
paru sehingga mengakibatkan terjadinya kanker. Pada saat rokok
dihisap, tar masuk kedalam rongga mulut sebagai uap padat asap
rokok. Setelah dingin akan menjadi padat dan membentuk endapan
berwarna coklat pada permukaan gigi, saluran pernafasan dan
paru-paru. Pengendapan ini bervariasi antara 3-40 mg per batang
rokok, sementara kadar dalam rokok berkisar 24-45 mg.
Sedangkan bagi rokok yang menggunakan filter dapat mengalami
penurunan 5-15 mg. Walaupun rokok diberi filter, efek
karsinogenik tetap bisa masuk dalam paru-paru, ketika pada saat
merokok hirupannya dalam-dalam, menghisap berkali-kali dan
jumlah rokok yang digunakan bertambah banyak.
4. Kadmium
Kadmium adalah zat yang dapat meracuni jaringan tubuh
terutama ginjal.
5. Amoniak
Amoniak merupakan gas yang tidak berwarna terdiri dari
nitrogen dan hidrogen. Zat ini tajam baunya dan sangat
merangsang. Begitu kerasnya racun yang ada pada ammonia
sehingga jika masuk sedikit pun ke dalam peredaran darah akan
mengakibatkan seseorang pingsan atau koma.
8. Formaldehid
Formaldehid adalah sejenis gas dengan bau tajam. Gas ini
tergolong sebagai pengawet dan pembasmi hama ini juga sangat
beracun terhadap semua organisme hidup.
9. Fenol
Fenol adalah campuran dari kristal yang dihasilkan dari distilasi
beberapa zat organik seperti kayu dan arang, serta diperoleh dari
tar arang.Zat ini beracun dan membahayakan karena fenol ini
terikat ke protein sehingga menghalangi aktivitas enzim.
10. Asetol
Asetol adalah hasil pemanasan aldehid dan mudah menguap
dengan alkohol.
12. Piridin
Piridin adalah sejenis cairan tidak berwarna dengan bau tajam.
Zat ini dapat digunakan untuk mengubah sifat alkohol sebagai
pelarut dan pembunuh hama.
14. Metanol
Metanol adalah sejenis cairan ringan yang mudah menguap dan
mudah terbakar. Meminum atau menghisap methanol
mengakibatkan kebutaan bahkan kematian.
16. N- nitrosamina
N - nitrosamina dibentuk oleh nirtrasasi amina. Asap tembakau
mengandung 2 jenis utama N- nitrosamina, yaitu Volatile N-
Nitrosamina (VNA) dan Tobacco NNitrosamina. Hampir semua
Volatile N- Nitrosamina ditahan oleh sistem pernafasan pada
inhalasi asap tembakau. Jenis adap tembakau VNA
diklasifikasikan sebagai karsinogen yang potensial.
23,24
tekanan darah.
Efek nikotin menyebabkan perangsangan terhadap pelepasan norepinefrin,
hormon antidiuretik serta kemoreseptor di arteri karotis yang bersifat memacu
jantung dan tekanan darah. Jantung tidak diberikan kesempatan istirahat dan
25
tekanan darah akan semakin meninggi berakibat timbulnya hipertensi. 22
19,26,27
darah sehingga terjadi peningkatan tekanan darah dan denyut jantung.
,28,29,30
darah yang melewati pembuluh darah tersebut.
31
dilakukan oleh nikotin. Heitzer et al.(2000) mengungkapkan bahwa radikal
bebas yang terbentuk dari merokok menyebabkan deplesi kofaktor
32
tetrahydrobioptrin sehingga endotel mengalami gangguan.
33
dapat berkembang. Perubahan faktor jaringan berupa lemak akibat merokok
34
dapat menyebabkan peningkatan potensi trombogenik. Selain itu, pada
perokok didapatkan peningkatan risiko terbentuknya aterotrombosis akibat
35
penurunan kapasitas fibrinolitik.
METODOLOGI PENELITIAN
3.3.1.Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien laki laki yang
berkunjung ke Puskesmas Limboto Barat.
3.3.2.Sampel Target
Sampel pada penelitian ini adalah sebagian laki - laki yang berkunjung
ke Puskesmas Limboto Barat yang memenuhi syarat kriteria inklusi dan
eksklusi dengan definisi kasus dan kontrol.
Sampel pada penelitian ini adalah sebanyak 30 laki laki usia 35 55 tahun
yang datang ke Puskesmas Limboto Barat pada Januari Februari 2017 dan
memenuhi kriteria inklusi. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah
teknik cluster random sampling, yaitu teknik memilih sebuah sampel dari
kelompok-kelompok unit yang kecil.
Gambar 3.3
1. Jenis data yang dikumpulkan pada penelitian ini adalah data primer tentang
karakteristik ibu dan anak usia 1 5 tahun yakni data faktor karakteristik anak
(riwayat imunisasi, status gizi, jenis kelamin, usia, dan berat badan lahir),
faktor sosio-demografi ibu (pendidikan ibu, pengetahuan ibu, dan pekerjaan
ibu), serta faktor lingkungan (adanya perokok dalam rumah, adanya asap
pembakaran).
2. Setiap anak usia 1 5 tahun yang datang berobat ke Puskesmas Limboto Barat
maupun yang datang ke Posyandu Tunggulo yang didiagnosis kasus (ISPA)
maupun kontrol (non ISPA) oleh dokter yang memenuhi kriteria sebagai
sampel ditindaklanjuti dengan wawancara menggunakan kuisioner dan
dilakukan observasi.
3. Cara pengumpulan data dilakukan dengan wawancara terstruktur yakni
wawancara dengan panduan kuisioner kepada ibu dimana anaknya terpilih
sebagai sampel (baik kasus maupun kontrol). Di samping itu juga dilakukan
pengukuran dan pengamatan untuk mendapatkan data tentang berat badan,
riwayat imunisasi, serta dilakukan kroscek terhadap kebenaran informasi
subjek penelitian seperti tanggal lahir anak da status imunisasi yang dilihat
dari KMS yang dimiliki.
HASIL PENELITIAN
1. Desa Yosonegoro
2. Desa Pone
3. Desa Ombulo
4. Desa Daenaa
5. Desa Padengo
6. Desa Haya-Haya
7. Desa Hutabohu
8. Desa Huidu
9. Desa Huidu Utara
10. Desa Tunggulo
4.2.1.Data Geografis
4.2.2.Data demografis
Tabel 4.1
No Sasaran
Desa
. Penduduk KK
Gambar 4.2
4.3.Analisis Univariat
Tabel 4.2
Distribusi Pemberian ASI Eksklusif Berdasarkan Kasus dan Kontrol
Kontrol
Kasus (ISPA) Total
Variabel (Tidak ISPA)
n = 15 % n = 15 % n = 30 %
ASI Eksklusif
Tabel 4.3
Kontrol
Kasus (ISPA) Total
Variabel (Tidak ISPA)
n = 15 % n = 15 % n = 30 %
Usia
Imunisasi
Status Gizi
Jenis Kelamin
Kontrol
Kasus (ISPA) Total
Variabel (Tidak ISPA)
n = 15 % n = 15 % n = 30 %
BB Lahir
Tabel 4.4
Kontrol
Kasus (ISPA) Total
Variabel (Tidak ISPA)
n = 15 % n = 15 % n = 30 %
Pendidikan
Pekerjaan Ibu
Tabel 4.5
Kontrol
Kasus (ISPA) Total
Variabel (Tidak ISPA)
n = 15 % n = 15 % n = 30 %
Asap pembakaran
4.4.Analisis Bivariat
Analisis bivariat merupakan analisis yang digunakan untuk melihat hubungan
antara variabel bebas (independent) terhadap variabel terikat (dependent).
Variabel independent pada penelitian ini adalah pemberian ASI eksklusif dan
variabel dependent adalah kejadian ISPA.
Tabel 4.6
Kontrol
Kasus (ISPA) Total
Variabel (Tidak ISPA)
n = 15 % n = 15 % n = 30 %
ASI Eksklusif
= 11 x 10 / 5 x 4 = 110/20 = 5.5
1. Bias Seleksi
Bias seleksi adalah distorsi (penyimpangan) hasil dari prosedur yang
digunakan untuk memilih subjek dan dari faktor-faktor yang
mempengaruhi keikutsertaan subjek di dalam studi. Bias seleksi pada
penelitian ini dapat terjadi pada waktu seleksi subjek dalam penentuan
kasus dan kontrol. Subjek penelitian dipilih berdasarkan status penyakit,
maka peneliti memiliki keleluasaan untuk menentukan jumlah kasus dan
kontrol yang optimal. Pemilihan kelompok kasus dan kontrol sebanding
(comparable) dipilih dari populasi yang sama yakni pelayanan Puskesmas
Limboto Barat memungkinkan tidak terjadinya bias potensial karena
kontrol yang terpajan terhadap suatu resiko sama dengan kasus. Upaya
dalam meminimalisir bias seleksi pada penelitian ini dengan melakukan
pemilihan kontrol dari populasi asal kasus (actual base population) dan
unit analisis ditetapkan pada anak usia 1-5 tahun agar tidak terjadi
kesalahan dalam analisis. Penentuan subjek kasus dan kontrol ditegakkan
oleh tenaga kesehatan sehingga bias seleksi dalam penentuan kasus dan
kontrol dapat dihindari.
2. Bias Informasi
Bias informasi adalah bias yang terjadi akibat cara pengamatan, pelaporan,
pengukuran, pencatatan, pengelompokan dan interpretasi status pajanan
atau penyakit kurang tepat sehingga menyebabkan distorsi penaksiran
pengaruh pajanan terhadap penyakit. Bias informasi yang terjadi dapat
berasal dari responden, pewawancara, maupun dari alat ukur atau
kuisioner yang digunakan. Bias informasi yang penting adalah recall bias,
yakni bias yang terjadi akibat perbedaan akurasi antara kasus dan kontrol
dalam mengingat serta melaporkan pajanan. Kemungkinan informasi yang
sulit untuk diingat oleh responden adalah ISPA dalam satu bulan terakhir,
riwayat pemberian ASI, berat badan lahir, dan pemberian imunisasi
lengkap. Untuk meminimalisir recall bias pewawancara merujuk pada
KMS dan data sekunder catatan rekam medis untuk melengkapi data yang
dibutuhkan, serta pertanyaan menggunakan bahasa setempat yang mudah
dimengerti.
6.1.Kesimpulan
Kesimpulan yang diperoleh dari hasil penelitian yang dilakukan adalah
terdapat hubungan pemberian ASI eksklusif dengan kejadian ISPA pada anak usia
1-5 tahun di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Limboto Barat, dimana anak
yang tidak mendapatkan ASI eksklusif memiliki resiko 5,5 kali untuk terkena
ISPA dibandingkan anak yang mendapat ASI eksklusif.
6.2.Saran
6.2.1. Bagi Puskesmas Limboto Barat
1. Melakukan upaya peningkatan promotif dan preventif dengan
melakukan upaya penanggulangan faktor resiko melalui kerjasama
lintas program dan lintas sektor. Kerjasama dilakukan antara program
imunisasi, program bina gizi masyarakat, program bina kesehatan
balita, program penyehatan lingkungan pemukiman, program promosi
kesehatan dan program peningkatan pemberian ASI eksklusif.
Penggunaan leaflet sebagai media tambahan saat melakukan
penyuluhan dan menggunakan metode penyuluhan yang menarik
seperti : film atau seni peran.
2. Melakukan pembinaan peran serta masyarakat bekerja sama dengan
para kader untuk memberikan informasi yang benar seputar ASI
eksklusif selama 6 bulan dan memotivasi ibu untuk memberikan ASI
eksklusif.
3. Pengembangan program penanggulangan penyakit ISPA dengan
advokasi, kemitraan, penelitian, peningkatan manajemen serta
pencegahan dan penanggulangan faktor resiko lainnya. Misalnya :
menerapkan Kawasan Tanpa Rokok (KTR).
4. Melakukan peningkatan cakupan imunisasi pada balita melalui
peningkatan angka kunjungan Posyandu dan penyuluhan mengenai
pentingnya imunisasi dalam memberikan sistem kekebalan tubuh pada
balita.