You are on page 1of 4

ANALISA WACANA KRITIS

SUATU ketika saya membaca tulisan B Rahmanto, berjudul "Ini Cerita Bikinan Melulu" (Retorika, edisi Januari-April 2002).
Tulisan itu mengisahkan kembali serba sedikit tentang sebuah roman karya Kwee Tek Hoay yang berjudul Drama di Boven Digul.
Cukup tebal memang karya lama ini. (Diterbitkan kembali oleh Kepustakaan Populer Gramedia, 2001, dalam buku berseri berjudul
Kesusastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia, jilid 3).Dalam roman tersebut Kwee Tek Hoay menyusuri sepak terjang
tokoh-tokoh PKI yang saat itu sedang megah-megahnya. Edisi asli roman ini terbit secara berseri di mingguan Panorama dari tahun
1928 hingga awal 1932. Ada tokoh-tokoh antagonis, cinta segi tiga, dendam, cakar-cakaran, kondisi orang-orang buangan di Digul,
alam permai di lereng pegunungan Papua, adat kebiasaan, bahasa, perilaku ganjil penduduk setempat, agama dan lain-lain.

Cuma sedikit menyentil, B Rahmanto memakai kata-kata "cerita bikinan"-persis seperti tanggapan seseorang pembaca Panorama-
yang intinya Kwee Tek Hoay sebagai pengarang telah menyuguhi cerita (entah benar atawa salah) dalam scriptum tentang Digul.
Padahal, ia tidak pernah ke sana, tidak pernah menjadi tahanan, dan-yang lebih penting lagi-bukan orang politik, jadi kurang sah
rasanya kalau berbicara tentang komunisme. Sikap yang sama juga ditunjukkan oleh Pramoedya Ananta Toer terhadap penulis
peranakan tersebut. Pertanyaannya, mengapa perlu ditanyakan lagi jika cerita adalah bikinan? Adakah cerita yang bukan bikinan?
Bukankah semua cerita bikinan, bahkan yang scientific sekalipun?

Sejurus kemudian ingatan saya juga mengembara ke sebuah catatan kecil di sampul belakang novel Saman (1998) karya Ayu Utami.
Komentatornya Ignas Kleden. Bunyinya begini, "Pada beberapa tempat yang merupakan puncak pencapaiannya, kata-kata bagaikan
bercahaya seperti kristal ". Metafor Kleden saya pikir bukanlah main-main dan tidak dibikin-bikin (dia orang Flores dengan tradisi
berburu, bukan seperti sebagian besar masyarakat agraris kita yang feodalis, senang memuja-muja). Namun, dapatkah kita
bayangkan serangkaian kata-kata menjelma menjadi kristal, memukau dengan ribuan lentik cahaya dan warna? Bagi orang yang
tidak pernah melihat kristal mungkin tidak akan mengerti tanggapan ini. Atau ya, cuma omongan biasa.

Kedua ilustrasi di atas berangkat dari masalah tulisan. Tulisan beruntaian menjadi narasi, melahirkan banyak interpretasi,
kekaguman, cemooh, hingga efek insomnia. Banyak orang yang terkadang tak mampu melanjutkan membaca sebuah kisah, terpaku
dengan berbagai pertanyaan. Berhenti di sebuah tanda atau insight.

Era narasi, era semiotika

Sulit dielak, era pasca-modernisme telah menyebabkan manusia menghadapi dilema dalam menyikapi teks. Begitu banyak teks
hadir dengan berbagai pembelaan ilmiah, di tengah krisis kemanusiaan yang beragam kerumitannya. Sayang, sebagian besar para
intelektual dan cendekiawan masa kini melarikan diri dan mencari atropin baru, yaitu pemitosan pengetahuan dan stereotipisasi
teks. Yang lebih menggelikan lagi, walaupun tidak menghasilkan makna apa-apa bagi perubahan sejarah, kita terus saja mengikuti
mitos dan stereotipe dengan saksama. Era modern lebih menyerupai masa primitif, cuma bedanya sekarang lebih "dingin" dan
usang. Banyak mitos ilmiah yang berkeliaran dijadikan serat untuk mempertahankan diri.

Masalah ini telah lama dipandang oleh kelompok post-strukturalis sebagai ancaman terhadap dinamisme pengetahuan. Pengetahuan
(knowledge, savoir) selama ini telah mengalami proses fermentasi tingkat tinggi dan terikat kepentingan dengan kuasa. Kelompok
post-strukturalis-hampir semua perintisnya adalah orang Perancis-menyatakan bahwa jawabannya harus ditemukan melalui
pembentukan kreativitas bernarasi. Tidak perlu meributkan tentang paradigma karena yang dibutuhkan sekarang adalah erotika.
Bukanlah menyematkan sasaran ilmiah dalam theory of everything, kalau kemungkinan mendapatkan kebenaran (will to truth)
mudah disaring dalam pecahan-pecahan tanda (articulus). Omong kosong kalau orang sekarang membicarakan tentang kesatuan
yang menyeluruh (the wholeness), toh mata air pengetahuan kita juga tidak satu.

Baru-baru ini telah terbit buku Semiotika Negativa (2002) karya St Sunardi, dosen Universitas Sanata Dharma, lulusan Punctificio
Instituto Studia Arabic et Islamica (PISAI), Roma, yang serius berbicara tentang seorang tokoh post-strukturalisme bidang
semiotika, Roland Barthes. Posisi penting Roland Barthes boleh disejajarkan dengan tokoh-tokoh seperti Michel Foucault, Jacques
Lacan, atau Jacques Derrida. Walaupun Barthes tidak pernah menerbitkan buku sebanyak dan setebal Foucault, pendekatan yang
dirintisnya telah mampu membelah frigiditas semiotika-positivistik atau analisis struktural yang dimiliki Claude Levi-Strauss
misalnya, yang selama ini menjadi rujukan standar penelitian antropologi atau etnografi. Lebih elok kalau dikatakan Barthes
sebagai penafsir ulang seluruh gagasan semiotika Saussurean.

Barthes sebenarnya mengalami sikap gamang yang sama parahnya dengan Saussure, ketika harus bersikap antara kecemasan
kehilangan signified dan/atau berbalik arah menatap hanya kepada signifier murni. Signifier merupakan penanda yang menjadi inti
atom bahasa untuk memulai mendefinisikan sesuatu. Orang mengerti akan arti kata cinta/love/amor karena ada bahasa yang
dipergunakan untuk mendeskripsikan tentang sikap atau tindakan tersebut di alam nyata. Kita mengerti tentang kata itu karena ada
bukti yang menyejarah dalam bahasa kita.
Namun, sikap Barthes dalam hal ini jelas bukan sikap yang "biasa". Setiap perajin gagasan Fredinand de Saussure mempercayai
bahwa rumusan untuk mendapatkan signification (makna/buah dari komunikasi atau dialektika) seseorang harus menyerap signifier
dari signified ('materi' asli yang selalu difotokopi oleh signifier). Tetapi Barthes mengharapkan lain. Ia ingin hadirnya signifier tidak
lagi tergantung pada signified. Kalau bisa fotokopi tidak lagi perlu dijiplak dari apa pun atau siapa pun. Signifier harus menjadi
barang asli yang membentuk signified baru.

Apa jadinya seseorang yang berbicara tentang konsep tertentu, tetapi tidak pernah meraba, menginderai, mencecapnya? Orang mau
membentuk apa dari sesuatu yang tidak ada? Makanya jika seseorang sedang mengemukakan sebuah bahasa baru baik tulisan
ataupun wicara, ia sudah harus siap dengan makna, konsep, warna, tanda, dan apa pun yang dapat memadatkan ide dalam kata/teks.
Ia harus asosiatif dengan ruang kultur dan kognitif masyarakat pengguna bahasa tersebut. Jangan menyebut mantra, karena tidak
ada orang yang sudi mengerti!

Galilah "pleasure!"

Hal paling mendasar dari pengaruh tersebut terlihat dari penggantian epistimologi dengan pleasure (kenikmatan). "The text you
write must prove me that it desires me. This proof is exists; it is writing. Writing is: the science of various blisses of language, its
Kama Sutra (this science has but one treatise: writing it self" (Barthes, The Pleasure of the Text, 1975). Bagi Barthes, jika sebuah
teks tidak menggetarkan buhul-buhul darah para pembacanya, tidaklah memiliki meaning apa pun. Ia harus menggelinjang keluar
dari bahasa yang dipergunakan-tak ubahnya seperti seni bercinta Kama Sutra. Bagi Barthes pernyataan "bikinan melulu" atau
"seperti kristal" tidak berarti apa-apa kalau pembaca tidak merasakan pengalaman yang sama saat mengarungi dahsyatnya teks,
terjerambab dalam belantara imajinasi yang tertetak secara leksikal.

Buku Semiotika Negativa menjelaskan sikap Barthes yang mencoba membantu para penggiat masalah semiotika, bahwa jika ingin
mengaktifkan pleasure kita mesti mengganti meaning (dalam pengertian Saussurean) hanya dengan kode, signification dengan
signifiance, the will to knowledge dengan will to desire. Barthes menjelaskan secara aforistis dan metaforis dalam buku The
Pleasure of the Text, bahwa pemfokusan ulang perlu dilakukan agar pleasure menemukan tandanya sendiri melalui teks; hal ini
boleh jadi tak ditemukan sebelumnya karena seluruh beban pengetahuan terkendali oleh struktur. Strukturlah yang menjadi final
dari semua proses komunikasi, signifikasi, dialektika, dan (secara garis besar) budaya. Strukturalisme menjadi metode membaca
masalah-masalah kemanusiaan, termasuk membaca sebuah teks. Berdasarkan pengertian seperti ini struktur dikhayalkan tidak akan
mengalami kemajalan dan penyimpangan. Padahal strukturalisme dalam sebagian besar penampakannya hanya menjadi
hegemonisasi pengetahuan atas nama kepastian (exactness).

Di dalam buku From Work to Text (1971) sikap Barthes tentang jouissance/plaisir-mengemuka dalam tulisan-tulisan setelahnya-
menunjukkan jejak referensial yang otentik. Dalam buku ini, ia men-de-centering posisi subyek-dengan mengambil beberapa
konsepsi yang dicatat Lacan, Althusser, dan Foucault-bahwa pekerjaan terhadap teks bukanlah pekerjaan mengonsumsi semata
tetapi a work of art yang mencerap aspek-aspek keutamaan, esensial, bobot yang terkandung dalam teks itu sendiri, di mana seluruh
tindakan selanjutnya adalah mencari inti bacaan, menggeledah, mendiskusikannya dan lain-lain-disimpulkan dengan istilah
rekonsepsionalisasi seluruh teks. Pekerjaan seperti ini-seperti juga menulis dan wicara (speech)-mungkin akan menghilangkan
beberapa keutamaan awal (dari work) karena langkah berikutnya berhubungan dengan lapangan interaksi, yang disebut dengan
bermain (play/simulacrum). Kesimpulan akhir dari sikap bermain-main adalah rasa bosan karena kepenuhan diri terhadap seluruh
teks (tulisan). Istilah yang agak garang namun pas untuk maksud di atas terungkap dalam buku Art in Theory, "bahwa tujuan akhir
bermain adalah anti-hierarkial" (Charles Harrison et al, 1993:941); penegasan bahwa kebenaran tentang eksistensi the author
(pemegang wewenang terhadap writing) tidaklah sedemikian penting lagi.

Barthes mengingatkan poin ini karena banyak hal yang kita anggap baru dan mempengaruhi ide-ide kerja tidak datang dari internal
recasting masing-masing disiplin pengetahuan di era modern. Modernisme dikenal melalui taksonomi beragam pengetahuan. Akan
tetapi karena keangkuhan the author, pengetahuan yang kita konsumsi menjadi terasing (terideologisasi). Psikologi, bahasa,
antropologi, sosiologi, atau sejarah melakukan persaingan monolog dengan start dan finish sendiri-sendiri. Tidak ada ukuran untuk
menilai. Baru saja kita mendengar tentang masa depan ilmu pengetahuan dalam istilah interdiciplinary, yakni pengetahuan yang
mengambil kebajikan utama penelitian dari proses persinggungannya dengan berbagai disiplin ilmu.

Interdiciplinary memang menghasilkan banyak teks, muncul bagai cendawan di musim hujan dalam berbagai bukti tulisan. Tetapi,
bisa saja ia berkembang-biak menjadi kekuatan pemaksa, mungkin melalui sentakan fashion atau berbagai kepentingan yang
tersangkut pada objek dan bahasa-bahasa baru. Gejala ini apabila tak diantisipasi sejak dini dapat mengarah kepada proses fasisme
bahasa-dalam style dan writing. Langkah yang paling baik menurutnya adalah memperlakukan teks dengan netral, yaitu
merelativisasi hubungan antara penulis (writer), pembaca (reader), dan pengamat (observer).

Dengan tegas ia mengingatkan bahwa teks bukanlah untaian kata-kata yang siap melepaskan makna "teologis" tunggal semata, yaitu
pesan dari sang penciptanya saja, tetapi berasal dari ruang multidimensi yang terbaring dalam beragam tulisan "Teks tidak lain
sejumput kutipan yang tergambar dari pusat-pusat budaya yang tak tereja jumlahnya", lanjut Barthes. "We know that a text is not
line of words releasing a single 'theological' meaning (the message of Author-God) but a multi-dimensional space in which a variety
of writing, none of original, blend and clash. The text is a tissue of quatations drawn from the innumerable centres of culture"
(Barthes, The Death of Author, dalam Image Music Text, 1977 : 146).

"The Death of Author"

Pernyataan tentang kematian author menjadi sentral yang cukup penting dalam pemikiran Barthes berkaitan dengan martabat
sebuah tulisan. Kata author tidaklah mengacu kepada pengertian writer an sich. Definisi yang lebih memuaskan tentang author
adalah kompetensi atau wewenang yang dimiliki para pihak atau lembaga untuk menentukan makna final atau paling absah dari
sebuah tulisan/teks.

Pemikiran ini sendiri mengundang banyak ulasan dari para semiotisi. Umberto Eco misalnya, dalam tulisan "language, force, and
power" (Eco, Travels in Hiperreality, 1986: 239-255) menyatakan bahwa Barthes sejak awal ingin menjadikan semiotika tidak
sebagai ilmu terusan tentang tanda semata, tetapi juga sebagai kekuatan eksentrik budaya modern. Salah satunya adalah dengan
konsepnya tentang the author yang ia sampaikan saat pengukuhan guru besar di Colleg_ de France.

Menurut Eco, Barthes menyadari bahwa kekuasaan modern telah lahir dengan begitu lembut melalui mekanika sosial dan sangat
mungkin masuk dalam relung-relung kepentingan, tidak hanya negara, kelas, grup, tetapi juga di dalam fashion, opini publik,
hiburan, olahraga, berita, informasi, keluarga dan hubungan pribadi. Barthes menyebutkan dengan istilah wacana kekuasaan
(discource of power) yang membuat kita merasa bersalah sebagai penerima. Barthes dengan retoris mengatakan, "You carry out a
revolution to destroy power, and it will be reborn, within the new state of affairs" (Eco : 240).

Barthes melihat peran kuasa (power) dalam wacana dapat berubah menjadi serigala pemangsa yang menghancurkan kreativitas
pembaca saat menerima sebuah informasi atau teks (Barthes juga berbicara tentang kamar-kamar non-linguistik, seperti foto, menu
masakan, atau mode pakaian). Kuasa tak ubahnya seperti parasit yang terhubung dalam seluruh sejarah manusia, tidak hanya
sejarah politiknya, tetapi juga dimensi historis dari sejarah itu sendiri.

Oleh Karena sejak semula telah berusaha untuk mengurangi peran authority dari teks, maka teks tidak harus berhenti dalam
menemukan aspek signifier barunya. Teks tidak terpengaruh oleh signifier yang memang dengan sengaja telah dimunculkan oleh
author lama. Arena baru harus menyediakan tempat untuk "menggantung" suara "Tuhan" (Barthes memakai metafor ini mungkin
untuk mengejek ketakutan dan sikap grogi kita), dan mengganti dengan suara kita sendiri, suara pembaca. Begitu berada di tangan
pembaca yang liar dan agresif, tulisan bisa terkelupas, meledak, dan tersebar sehingga tidak mampu dikendalikan lagi oleh
penciptanya (St Sunardi, 2002:271). Kini otoritas sebuah tulisan menjadi labil dan lemah di tangan author-God, beralih wewenang
dalam bahasa itu sendiri. Hidup matinya author berada di tangan pembaca yang sedang menikmati teks tersebut.

Barthes menekankan analisa tekstual pada kondisi seperti ini. Ruang demokratis terbuka lebar karena tak ada yang berhak
menganggu. Pembaca sedang belajar mendewasakan diri di hadapan teks untuk menjadi "author" baru. Pembaca bukanlah lagi
pribadi-pribadi nomina, tetapi ia telah menjadi seseorang yang telah menduduki sebuah wilayah okupasi dengan seluruh jejak yang
tertinggal dari tulisan dalam teks tersebut. Ia merupakan korektor dan pemersatu fungsi teks yang heterogen. Di sini kita melihat
bahwa konsep yang dibangun adalah posisi di sela-sela (in-betweeness) antara pembaca dan teks.

Ia tidak main-main untuk hal tersebut. Seakan tidak berhenti dengan sebuah penjelasan leksikal semata terhadap ide kematian
author, dengan bersemangat ia menutup frasa tulisan tersebut dengan sebuah advokasi politis, bahwa cukup lama sudah kita
berslogan tentang lahirnya tulisan baru atas nama humanisme. Tetapi nyatanya dengan sikap hipokrit kita telah berpaling muka dari
hak-hak pembaca. Kritisisme klasik tidak pernah membayar kepentingan para pembaca. Barthes mengajak semua insan budaya
untuk tidak lagi bersikap bodoh, arogan, saling tuduh-menuduh dan mabuk gelar sebagai masyarakat terhormat, tetapi masih saja
menempatkan pembaca di sudut jauh apresiasi, mengabaikannya, mencekik hingga muntah, bahkan yang paling kriminal,
membunuh pembaca. Masa depan tulisan harus dibayar dengan sebuah harga yang cukup berimbang "kelahiran pembaca harus
seiring dengan kematian sang author".

Post-Writing (?)

Penjelasan serba ringkas yang diurut di atas menjadi bukti bahwa Barthes sama sekali tidak berhenti dalam tulisan. Capaian terakhir
dalam sebuah tulisan juga bukan tentang tulisan itu sendiri, tetapi adalah apa yang tertinggal sebagai desire, jouissance, estetika,
wacana, atau tulisan baru. Pernah suatu ketika Barthes mengungkapkan bahwa ia lebih memilih mati sebagai pembaca yang writerly
daripada readerly.

Dengan menempatkan diri di antara sisa-sisa tulisan dan barang daur ulang yang bermanfaat, pembaca dapat menentukan hubungan
sosial, moral, atau ideologis sesuai kemauan sejarah masa depannya yang lebih bernyali sebagai author. "Tidak ada yang lebih
menggairahkan daripada mendengar suara-suara nyaring yang timbul dari bahasa (language) dan wacana yang tercampur-baur."
Karena bahasa bukan terminal, maka ia menjadi tempat singgah bagi imajinasi dan ketaktertebakan.
Semiotika negativa Barthes bukanlah obsesi taksonomik atau klasifikasif bahan bacaan yang hanya berfungsi dalam ranah
strukturalisme. Semiotika negativa tidak menapaki jalan semiotika tingkat pertama yang hubungannya bersifat positivistik, logis,
sekuensial, tetapi hubungan yang muncul merupakan pengalaman kebuntuan, salah kamar, yang menguras habis seluruh energi
faktual dari sebuah tulisan. (St Sunardi: 311).

Akan tetapi ia juga tidak ngoyo untuk berada di pengungsian, dan menyatakan dapat melepaskan diri dari jeratan semiotika pertama
yang bersifat positivistik seratus persen. Celah yang cukup berwibawa bagi Barthes-yang bisa dimanfaatkan oleh semua pihak-ada
di ruang inkubator signified yang "masih abstrak". Dia bisa menjadi pejantan yang menyuburkan, memecah kekakuan fakta, mem-
fabricate sesuatu menjadi "fiksi" yang erotik, menyemai butir-butir suara yang siap menjadi speech, dan terakhir menjadi retorika.

Banyak pengalaman para penulis yang menuruti nasihat ini. Penulis yang baik biasanya tidak akan hanya menjadi author yang
mencoba menghimpun dan merepresentasikan sejumlah teks, tetapi menjadi penunda dan orang sabar terhadap semua fakta. Diam-
diam memperhatikan lava yang menggugurkan butir besi menyala dari gunung meletus, menimbulkan suspence, ketegangan,
geregetan, horor vacuui. Tak lupa harus punya stamina yang cukup baik untuk memecah filosofi absolutisme. Dia juga harus
seorang pengembira dengan munculnya banyak "ide" baru yang tidak ditemukan orang awam. Makanya bagi Barthes tulisan tidak
hanya menghasilkan wacana, tetapi wacana itu sendiri harus berbakti kepada wacana baru, demikian seterusnya

Kita dapat melihat aspek traumatik terkadang mempengaruhi seseorang untuk menulis. Baiklah disebut satu nama di sini, Lynne
Tillman. Ia menulis dalam pembukaan tulisannya Critical Fiction/Critical Self (Critical Fiction, 1991:97) sebuah frasa berbunyi
sebagai berikut, "What I keep telling my self is that I want to make this simple, to make things simple; I want to be direct. I want to
say why I write and what I write for, and out of, in as clear a way as possible-to cut to the chase to the quick, to get to the heart of it.
But nothing seems simple and I'm not certain why I write or in whose name other than my own, which is not really my name, but
my father's, which is made-up Ellis Island name, anyway."

Penulis yang baik akan menghadapi pemberontakan yang sama seperti Tillman. Siapa pun yang ingin menulis biasanya memulainya
dengan nawaitu yang sederhana saja, sesuatu yang bersahaja saja. Tidak perlu berbelit, potong kompas mungkin lebih baik. Jangan
ikut serta perburuan yang mungkin melelahkan, kalau bisa langsung ke jantung persoalan.

Akan tetapi tentu tak lagi menjadi sederhana ketika kita mulai bergerak dan menitahkan pena menjadi sebuah teks. Kadangkala kita
perlu berhenti beberapa saat di depan komputer untuk tidak menulis najis dan mencampurnya dengan kesucian dalam tulisan. Atau
sekali waktu perlu memilih diksi yang tepat, atau menghapus kalimat yang sudah kadung hadir. Barthes bukan hendak bersajak di
hadapan kita manakala mengatakan "setiap teks telah menjadi galaksi yang memadat dalam berbagai karakter kultural yang begitu
banyak jumlahnya". Terlalu banyak persoalan. Terlalu banyak yang menyenangkan dan menggetarkan (blisses). Apabila situasi
sungguh begitu complicated, jangan sekali-kali berfikir untuk kembali, karena hanya akan menjerambabkan kita ke dalam
kedangkalan dan warna hitam. Sayang kalau tulisan harus mati dan tak dihiraukan oleh seorang pembaca pun.

Inilah inti dari seluruh peperangan di wilayah narasi, bahwa yang diperlukan sekarang adalah membangun fiksi (fictio) bukan fakta.
Fakta terlalu sederhana untuk harus dihadirkan kembali. Perlombaan menuju coloseum fiksi adalah sebuah sikap kritis terbaik dan
sebuah keilmiahan yang cukup penting bagi masa depan tulisan tentu saja. Tidak mungkin semua teks dalam sebuah tulisan ditelan
bulat-bulat oleh pembaca. Bisa saja terjadi dialektika, orang lain hanya mengambil punctum-nya saja-bekas cakaran dari proses
bercinta dengan teks. Luka menjadi nikmat karenanya. Parutnya akan kita ingat terus. Setia sampai mati.

You might also like