You are on page 1of 11

A.

DEFINISI
Hematothoraks atau hemothoraks adalah akumulasi darah pada rongga
intrapleura. Perdarahan dapat berasal dari pembuluh darah sistemik maupun
pembuluh darah paru, dan pada trauma yang tersering perdarahan berasal dari
arteri interkostalis dan arteri mammaria interna (Sub Bagian Bedah Thoraks
Bagian Ilmu Bedah FK-USU / RS HAM / RS Pirngadi Medan, 2000).
Hemothoraks adalah adanya darah pada rongga pleura. Perdarahan
mungkin berasal dari dinding dada, parenkim paru, jantung, atau pembuluh
darah besar (Mancini, 2011).
Pneumotoraks merupakan suatu kondisi dimana terdapat udara pada
kavum pleura. Pada kondisi normal, rongga pleura tidak terisi udara sehingga
paru-paru dapat leluasa mengembang terhadap rongga dada. Udara dalam
kavum pleura ini dapat ditimbulkan oleh:
1. Robeknya pleura viseralis sehingga saat inspirasi udara yang berasal dari
alveolus akan memasuki kavum pleura. Pneumotoraks jenis ini disebut
sebagai closed pneumotoraks. Apabila kebocoran pleura viseralis
berfungsi sebagai katup, maka udara yang masuk saat inspirasi tak akan
dapat keluar dari kavum pleura pada saat ekspirasi. Akibatnya, udara
semakin lama semakin banyak sehingga mendorong mediastinum kearah
kontralateral dan menyebabkan terjadinya tension pneumotoraks.
2. Robeknya dinding dada dan pleura parietalis sehingga terdapat hubungan
antara kavum pleura dengan dunia luar. Apabila lubang yang terjadi lebih
besar dari 2/3 diameter trakea, maka udara cenderung lebih melewati
lubang tersebut dibanding traktus respiratorius yang seharusnya. Pada saat
inspirasi, tekanan dalam rongga dada menurun sehingga udara dari luar
masuk ke kavum pleura lewat lubang tadi dan menyebabkan kolaps pada
paru ipsilateral. Saat ekspirasi, tekanan rongga dada meningkat, akibatnya
udara dari kavum pleura keluar melalui lubang tersebut. Kondisi ini
disebut sebagai open pneumotoraks (Berck, 2010).
B. EPIDIMIOLOGI
Pneumotoraks dapat diklasifikasikan menjadi pneumotoraks
spontan dan traumatik. Pneumotoraks spontan merupakan pneumotoraks
yang terjadi tiba-tiba tanpa atau dengan adanya penyakit paru yang
mendasari. Pneumotoraks jenis ini dibagi lagi menjadi pneumotoraks
primer (tanpa adanya riwayat penyakit paru yang mendasari) maupun
sekunder (terdapat riwayat penyakit paru sebelumnya).
Insidensinya sama antara pneumotoraks primer dan sekunder,
namun pria lebih banyak terkena dibanding wanita dengan perbandingan
6:1. Pada pria, resiko pneumotoraks spontan akan meningkat pada perokok
berat dibanding non perokok. Pneumotoraks spontan sering terjadi pada
usia muda, dengan insidensi puncak pada dekade ketiga kehidupan (20-40
tahun).
Sementara itu, pneumotoraks traumatik dapat disebabkan oleh
trauma langsung maupun tidak langsung pada dinding dada, dan
diklasifikasikan menjadi iatrogenik maupun non-iatrogenik.
Pneumotoraks iatrogenik merupakan tipe pneumotoraks yang sangat
sering terjadi (Berck, 2010).
1. Umur : Biasanya terjadi pada orang yang ber usia 20-40 tahun
2. Seks : Lebih sering pada pria
a. Pneumotoraks spontan primer
1) Biasanya terjadi pada anak laki-laki yang tinggi, kurus dan usia 10-
30 tahun
2) Incidens pada usia tertentu: 7,4-18 kasus per 100.000 orang per
tahun pada laki-laki 1,2-6 kasus per 100.000 orang per tahun pada
perempuan
3) Kejadian pneumotoraks spontan primer adalah 18 per 100.000 orang
per tahun dan 6 per 100.000 perempuan per tahunnya.
4) Hal ini terjadi paling sering di usia 20-an, dan pneumotoraks
spontan primer jarang terjadi di atas usia 40.
b. Pneumotoraks spontan sekunder
1) Umur : Puncak kejadian di usia 60-65 tahun insidensi 6,3 kasus per
100.000 orang per tahun pada laki-laki 2,0 kasus per 100.000 orang
per tahun pada perempuan 26 per 100.000 pasien dengan penyakit
paru obstruktif kronik per tahun (McCool FD, 2008)
2) Pneumotoraks spontan sekunder biasanya terjadi antara usia 60 dan
65.
3) Antara Tahun 1991 dan 1995 tingkat MRS di UK Hospitalbaik
untuk pneumotoraks spontan primer dan sekunder adalah 16,7 per
100.000 orang per tahun dan 5,8 per 100.000 perempuan per tahun.
4) Rekurensiakan terjadi pada sekitar 30% dari 45% primer dan
sekunder pneumotoraks. Hal ini sering terjadi dalam 6 bulan, dan
biasanya dalam waktu 3 tahun. (Korom S, 2011)

C. ETIOLOGI
Penyebab utama hematothoraks adalah trauma, seperti luka
penetrasi pada paru, jantung, pembuluh darah besar, atau dinding dada.
Trauma tumpul pada dada juga dapat menyebabkan hematothoraks karena
laserasi pembuluh darah internal (Mancini, 2011). Menurut Magerman
(2010) penyebab hematothoraks antara lain :
1. Penetrasi pada dada
2. Trauma tumpul pada dada
3. Laserasi jaringan paru
4. Laserasi otot dan pembuluh darah intercostal
5. Laserasi arteri mammaria interna

D. KLASIFIKASI PNEUMOTORAKS BERDASARKAN


MEKANISME KEJADIAN
1. Pneumotoraks spontan
a. Pneumotoraks Spontan Primer
Pneumotoraks ini merupakan pneumotoraks yang terjadi pada
paru-paru yang sehat dan tidak ada pengaruh dari penyakit yang
mendasari. Angka kejadian pneumotoraks spontan primer (PSP)
sekitar 18-28 per 100.000 pria pertahun dan 1,2-6 per 100.000
wanita pertahun (Mackenzie and Gray, 2007). Umumnya,
kejadian ini terjadi pada orang bertubuh tinggi, kurus, dan berusia
antara 18-40 tahun. Mekanisme yang diduga mendasari
terjadinya PSP adalah ruptur bleb subpleura pada apeks paru-paru
(Heffner and Huggins, 2004). Udara yang terdapat di ruang
intrapleura tidak didahului oleh trauma, tanpa disertai kelainan
klinis dan radiologis. Namun banyak pasien yang dinyatakan
mengalai PSP mempunyai penyakit paru-paru subklinis. Riwayat
keluarga dengan kejadian serupa dan kebiasaan merokok
meningkatkan resiko terjadinya pneumotoraks ini (Heffner and
Huggins, 2004).
Faktor yang saat ini diduga berperan dalam patomekanisme
PSP adalah terdapat sebagian parenkim paru-paru yang
meningkat porositasnya. Peningkatan porositas menyebabkan
kebocoran udara viseral dengan atau tanpa perubahan
emfisematous paru-paru. Hubungan tinggi badan dengan
peningkatan resiko terjadinya PSP adalah karena gradien tekanan
pleura meningkat dari dasar ke apeks paru. Akibatnya, alveoli
pada apeks paru-paru orang bertubuh tinggi rentan terhadap
meningkatnya tekanan yang dapat mendahului proses
pembentukan kista subpleura (Mackenzie and Gray, 2007).
PSP umumnya dapat ditoleransi dengan baik oleh
penderitanya karena tidak adanya penyakit paru-paru yang
mendasari (Heffner and Huggins, 2004). Pada sebagian besar
kasus PSP, gejala akan berkurang atau hilang secara spontan
dalam 24-48 jam. Kecepatan absorpsi spontan udara dari rongga
pleura sekitar 1,25-1,8% dari volume hemitoraks per hari, dan
suplementasi oksigen sebesar 10 lpm akan meningkatkan
kecepatan absorpsi sampai dengan empat kali lipat (Mackenzie
and Gray, 2007). Beberapa macam terapi yang dapat dilakukan
pada pasien PSP antara lain observasi, drainase interkostal
dengan atau tanpa pleurodesis, dan video-assisted thoracoscopic
surgery (VATS) (Heffner and Huggins, 2004).
Panduan terapi untuk PSP dikeluarkan oleh British Thoracic
Society (BTS) dan American College of Chest Physician (ACCP).
Terdapat perbedaan untuk besar-kecilnya pneumotoraks dan jenis
terapi untuk PSP kecil simtomatik dan PSP simtomatik yang
stabil di antara keduanya(Mackenzie and Gray, 2007). Berikut
adalah ringkasan gabungan panduan terapi menurut BTS dan
ACCP (Mackenzie and Gray, 2007).
1) Clinically stable small pneumotoraks
Kedua panduan menyatakan terapi untuk pasien stabil
dengan pneumotoraks kecil (<2 cm, BTS; <3 cm, ACCP) dan
gejala minimal adalah dengan melakukan observasi dan di-
KRS-kan. Panduan ACCP menyarankan dilakukannya
observasi sekitar 3-6 jam, foto rontgen paru-paru, diKRSkan
dengan instruksi lengkap, dan pasien diminta untuk kontrol
dalam dua hari berikutnya.
2) Large pneumotoraks and symptomatic small pneumotoraks
Pasien yang tergolong dalam PSP ini membutuhkan
intervensi. BTS merekomendasikan aspirasi sederhana
sebagai terapi lini pertama pada PSP luas dengan kondisi
stabil dan pneumotoraks kecil simtomatis. CXR dilakukan
setelah aspirasi untuk menentukan apakah terdapat
perbaikan. Apabila tidak ada perbaikan atau pasien masih
simtomatis dan jumlah aspirasi awal kurang dari 2,5 liter
aspirasi ulangan dapat dilakukan. Apabila aspirasi pertama
sudah lebih dari 2,5 liter atau aspirasi ulangan tidak berhasil
maka pemasangan drain interkostal harus dilakukan.
3) Clinically unstable patients with a large pneumotoraks
Pada pasien yang termasuk dalam kategori ini sebaiknya
dilakukan pemasangan drain interkostal dan di-MRS-kan.
Paru-paru harus dapat mengembang sepenuhnya 24 jam
sebelum drain dilepas. CXR dilakukan setiap 24 jam.
4) Surgical intervention
Terapi pembedahan harus mulai dipikirkan apabila terdapat
kebocoran udara persisten atau paru-paru gagal melakukan
re-ekspansi setelah 3-5 hari.Indikasi dilakukannya operasi
meliputi terjadinya pneumotoraks ipsilateral yang kedua,
pneumotoraks kontralateral yang pertama, dan adanya reiko
pekerjaan seperti penyelam atau pilot. Pasien dengan profesi
tersebut sebaiknya menjalani tindakan operasi bilateral.
Pilihan terapi pembedahan yang dapat dilakukan seperti
VATS, pleural abrasion, surgical talc pleurodesis,
pleurectomy, dan open thoracostomy (Mackenzie and Gray,
2007)
Pada pemasangan drain interkostal, ukuran kateter pleura
tidak mempengaruhi efektivitas drain pada terapi PSP. Selain
itu, tidak ada korelasi antara ukuran drain dan tingkat
komplikasi, rekurensi, dan lamanya pasien dirawat. Namun
kateter dengan diameter kecil tidak dapat digunakan apabila
terdapat cairan pleura (karena dapat menyumbat) dan adanya
kebocoran udara (menyebabkan reekspansi yang tidak
adekuat). Suction hanya dapat dipertimbangkan 48 jam
setelah pemasangan drain untuk mengurangi resiko
terjadinya edema re-ekspansi paru-paru dan harus
dikonsulkan kepada dokter ahli paru-paru. BTS
merekomendasikan sistem suction dengan volume besar dan
tekanan rendah (-10 to -20 cm H2O). Drain sebaiknya tidak
diklem kecuali diminta oleh ahli paru atau spesialis bedah
TKV. Pengekleman drain dapat berbahaya dan tidak ada
bukti yang menunjukkan peningkatan angka keberhasilan
atau penurunan resiko rekurensi. Indikasi klem drain adalah
apabila terdapat kebocoran udara terus menerus karena
berpotensi menyebabkan tension pneumotoraks.
b. Pneumotoraks Spontan Sekunder
PSS merupakan pneumotoraks yang terjadi pada pasien
dengan penyakit paru yang mendasari. Umumnya PSS terjadi
sebagai komplikasi COPD, fibrosis kistik, tuberkulosis,
pneumocystits pneumonia, dan menstruasi. PSS juga dapat terjadi
ada penyakit intersisiel paru seperti sarcoidosis,
lymphangioleiomyomatosis, langerhans cell histiocytosis and
tuberous sclerosis. Secara umum udara pada PSS memasuki
rongga pleura melalui alveoli yang melebar atau rusak.
Perburukan klinis dan sequelae biasanya terjadi akibat adanya
kondisi komorbid.
Causa terbanyak PSS adalah COPD, khususnya COPD
sedang-berat. Apabila pneumotoraks terjadi pasien COPD gejala
sesak napas yang progresif muncul dan biasanya bersamaan
dengan nyeri pleuritik. PSS merupakan penanda signifikan untuk
mortalitas pasien COPD. Setiap kejadian pneumotoraks
meningkatkan resiko kematian sampai dengan empat kali lipat.
Sekitar 40-50% pasien akan mengalami PSS yang kedua apabila
pleurodesis tidak dilakukan (Heffner and Huggins, 2004).
Untuk penangan PSS, ACCP merekomendasikan
pemasangan chest tube untuk setiap pasien PSS, dan pleurodesis
pada episode pertama PSS guna mencegaj rekurensi. Sedangkan
rekomendasi BTS merekomendasikan aspirasi dengan syringe
dan kateter untuk pasien pneumotoraks kecil dengan penyakit
paru yang mendasari ringan. Sebagian besar pasien
membutuhkan drainase melalui chest tube. Pelepasan chest tube
dilakukan setelah terjadi re-ekspansi paru dan resolusi kebocoran
udara. Pleurodesis merupakan terapi pilihan terakhir dan
dilakukan pada pasien dengan kebocoran udara yang tidak
teratasi dan mengalami pneumotoraks rekuren (Mackenzie and
Gray, 2007).
2. Pneumotoraks Traumatik
a. Pneumotoraks Traumatik Iatrogenik
Pneumotoraks iatrogenikmerupakan pneumotoraks yang
terjadi akibat pembukaan rongga paru secara paksa saat
tidakan dianosis atau terapi invasif dilakukan . Tindakan
seperti thoracocentesis, biopsi pleura, pemasangan kateter
vena sentral, biopsi paru perkutan, bronkoskopi dengan
biopsi transbronkial, aspiasi transtoracic, dan ventilasi
tekanan positif dapat menjadi etiologinya. Akibatnya, pasien
perlu lebih lama dirawat di rumah sakit (Yilmaz, et al, 2002).
Penyebab utama terjadinya pneumotoraks iatrogeni adalah
aspirasi jarm halus transthoracic. Dua faktor yang memegang
perang penting adalah ukuran dan kedalaman lesi. Apa bila
lesi kecil dan dalam maka resiko pneumotoraks meningkat.
Penyebab kedua terbanyak adalah pemasangan kateter vena
sentral. Penyebab lainnya antara lain akupunkktur
transthoracic, resusitasi jantung-paru, dan penyalahgunaan
obat melalui vena leher (Sharma, 2009).
b. Pneumotoraks Traumatik Non Iatrogenik
Pneumotoraks jenis ini terjadi akibat trauma tumpul atau
tajam yang merusak pleura viseralis atau parietalis. Pada
trauma tajam, luka menyebabkan udara dapat masuk ke
rongga pleura langsung ke dinding toraks atau memenuju
pleura viseralis melalui cabang-cabang trakeobronkial. Luka
tusuk atau luka tembak secara langsung melukai paru-paru
perifer menyebabkan terjadinya hemothoraks dan
pneumotoraks di lebih dari 80% lesi di dada akibat benda
ajam (Sharma, 2009).
Pada trauma tumpul pneumotoraks terjadi apabila pleura
viseralis terobek oleh fraktur atau dislokasi costa. Kompresi
dada tiba-tiba menyebabkan peningkatan tekanan alveolar
secara tajam dan kemudian terjadi ruptur alveoli. Saat alveoli
ruptur udara masuk ke rongga intersisiel dan terjadi diseksi
menuju pleura viseralis atau mediastinum. Pneumotoraks
terjadi saat terjadi ruptur pada pleura viseralis atau
mediastinum dan udara masuk ke rongga pleura. Manifestasi
klinisnya dapat berupa Fallen lung sign/peptic lung sign di
mana hilus paru terletak lebih rendah dari normal atau
terdapat pneumotoraks persisten dengan chest tube terpasang
dan berfungsi dengan baik (Sharma, 2009).
Pneumotoraks traumatik noniatrogenik juga dapat terjadi
akibat barotrauma. Pada suhu konstan, volume massa udara
berbanding terbalik dengan tekanannya, sehingga apabila
ditempatkan pada ketinggian 3050 m, volume udara yang
tersaturasi pada tubuh meningkat 1,5 kali lipat daripada saat
di ketinggian permukaan laut. Pada peningkatan tekanan
tersebut, udara yang terjebak dalam bleb dapat mengalami
ruptur dan menyebabkan pneumotoraks. Hal ini biasanya
terjadi pada kru pesawat terbang. Sedangkan pada penyelam,
udara yang terkompresi dialirkan ke paru-paru harus melalui
regulator dan sewaktu naik ke permukaan barotrauma dapat
terjadi seiring dengan penurunan tekanan secara cepat
sehingga udara yang terdapat di paru-paru dapat
menyebabkan pneumotoraks (Sharma, 2009)

3. Klasifikasi Pneumotoraks Berdasarkan Jenis Fistulanya


a. Pneumotoraks Tertutup (Simple Pneumothorax)
Pada tipe ini, pleura dalam keadaan tertutup (tidak ada jejas
terbuka pada dinding dada), sehingga tidak ada hubungan dengan
dunia luar. Tekanan di dalam rongga pleura awalnya mungkin
positif, namun lambat laun berubah menjadi negatif karena
diserap oleh jaringan paru disekitarnya. Pada kondisi tersebut
paru belum mengalami reekspansi, sehingga masih ada rongga
pleura, meskipun tekanan di dalamnya sudah kembali
negatif.Pada waktu terjadi gerakan pernapasan, tekanan udara di
rongga pleura tetap negatif. Misal terdapat robekan pada pleura
viseralis dan paru atau jalan nafas atau esofagus, sehingga masuk
vakum pleura karena tekanan vakum pleura negatif (Alsagaff,
2009).
b. Pneumotoraks Terbuka (Open Pneumothorax)
Pneumotoraks terbuka yaitu pneumotoraks dimana terdapat
hubungan antara rongga pleura dengan bronkus yang merupakan
bagian dari dunia luar karena terdapat luka terbuka pada dada.
Dalam keadaan ini tekanan intrapleura sama dengan tekanan
udara luar. Pada pneumotoraks terbuka tekanan intrapleura
sekitar nol. Perubahan tekanan ini sesuai dengan perubahan
tekanan yang disebabkan oleh gerakan pernapasan.Pada saat
inspirasi tekanan menjadi negatif dan pada waktu ekspirasi
tekanan menjadi positif.Selain itu, pada saat inspirasi
mediastinum dalam keadaan normal, tetapi pada saat ekspirasi
mediastinum bergeser ke arah sisi dinding dada yang terluka
(sucking wound) (Alsagaff, 2009).
c. Pneumotoraks Ventil (Tension Pneumothorax)
Pneumotoraks ventil adalah pneumotoraks dengan tekanan
intrapleura yang positif dan makin lama makin bertambah besar
karena ada fistel di pleura viseralis yang bersifat ventil. Pada
waktu inspirasi udara masuk melalui trakea, bronkus serta
percabangannya dan selanjutnya terus menuju pleura melalui
fistel yang terbuka. Waktu ekspirasi udara di dalam rongga pleura
tidak dapat keluar. Akibatnya tekanan di dalam rongga pleura
makin lama makin tinggi dan melebihi tekanan atmosfer.Udara
yang terkumpul dalam rongga pleura ini dapat menekan paru
sehingga sering menimbulkan gagal napas (Alsagaff, 2009).

You might also like