You are on page 1of 12

ASUHAN KEPERAWATAN CEDERA MEDULA SPINALIS

A. Pengertian

Trauma pada tulang belakang adalah cedera yang mengenai servikalis, vertebralis, dan
lumbalis akibat dari suatu trauma yang mengenai tulang belakang (Rasjad, 1998). Trauma
pada tulang belakang dapat mengenai jaringan lunak pada tulang belakang, yaitu ligament
dan diskus, tulang belakang, dan sum-sum tulang belakang.

B. Etiologi

Adapun penyebab cedera medulla spinalis adalah akibat dari trauma langsung yang
mengenai tulang belakang dan melampaui batas kemampuan tulang belakang dalam
melindungi saraf-saraf yang berada didalamnya. Trauma tersebut meliputi kecelakaan lalu
lintas, kecelakaan olahraga, kecelakaan industry, kecelakaan lain seperti jatuh dari pohon
atau bangunan, luka tusuk, luka tembak, dan kejatuhan benda keras.

C. Manifestasi Klinik
Jika dalam keadaan sadar, pasien biasanya mengeluh nyeri akut pada belakang leher,
yang menyebar sepanjang saraf yang terkena. Pasien sering mengatakan takut kalau
leher atau punggungnya patah. Cedera saraf spinal dapat menyebabkan gambaran
paraplegia atau quadriplegia.
Tingkat neurologik bagian bawah mengalami paralisis sensori dan motorik total,
kehilangank kontrol kandung kemih dan usus besar (biasanya terjadi retensi urin dan
distensi kandung kemih, penurunan keringat, dan tonus vasomotor, dan penurunan
tekanan darah diawali dengan resistensi vascular perifer)
Masalah pernapasan dikaitkan dengan penurunan fungsi pernapasan, beratnya
tergantung pada tingakat cedera.

D. Patofisiologi

Trauma pada daerah leher dapat bermanifestasi pada kerusakan struktur columna
vertebra, kompresi diskus, sobeknya ligamentum servikalis, dan kompresi medulla spinalis
pada setiap sisinya yang dapat menekan spinal dan bermanifestasi pada kompresi radiks
dan distribusi saraf sesuai segmen dari tulang belakang servikal.
Trauma pada servikal dapat menyebabkan cedera spinal stabil dan tidak stabil. Cedera
stabil adalah cedera yang komponen vertebralnya tidak akan tergeser oleh gerakan normal
sehingga sum-sum tulang yang tidak rusak biasanya resikonya lebih rendah. Cedera yang
tidak stabil adalah cedera yang dapat mengalami pergeseran yang lebih jauh dimana
terjadi perubahan struktur dari oseoligamentosa posterior, (pedikulus, sendi-sendi
permukaan, arkus tulang posterior, ligament interspinosa dan supraspinosa), komponen
pertengahan (sepertiga bagian posterior badan vertebral, bagian posterior dari diskus
intervertebralis dan ligament longitudinal posterior), dan columna anterior.
Pada cedera hiperekstensi servikal, pukulan pada muka atau dahi akan memaksa
kepala kebelakang dan tidak ada yang menyangga oksiput hingga kepala itu membentur
bagian atas punggung. Ligament anterior dan diskus dapat rusak atau arkus saraf mungkin
mengalami kerusakan. (Muttaqin 2011)
Kerusakan medulla spinalis berkisar dari komusio sementara (dimana pasien sembuh
sempurna) sampai kontusio, laserasi, dan kompresi substansi medulla (baik salah satu atau
dalam kombinasi) sampai transeksi lengkap medulla (yang membuat pasien paralisis
dibawah tingkat cedera) (Smeltzer, Suzanne C, 2001).
Bila hemoragi terjadi pada medulla spinalis, darah darap merembes keekstradural,
subdural atau daeeah subaraknoid pada kanal spinal. Segera setelah terjadi kontusio atau
robekan akibat cidera, serabut-serabut saraf mulai membengkak dan hancur. Sirkulasi
darah ke substansia grisea medulla spinalis menjadi terganggu. Tidak hanya hal ini saja
yang terjadi pada cedera pembuluh darah medulla spinalis, tetapi proses patogenik
dianggap menyebabkan kerusakan yang terjadi pada cedera medulla spinalis akut. Suatau
rantai sekunder kejadian-kejadian yang menimbulkan iskemia, hipoksia, oedem, dan
lesi0lesi hemoragi, yang pada gilirannya mengakibatkan kerusakan myelin dan akson
(Smeltzer, Suzanne C, 2001).
Reaksi sekunder ini, diyakini menjadi penyebab prinsip degernerasi medulla spinalis
pada tingkat cedera, sekarang dianggap reversibel 4 6 jam setelah terjadi cedera. Untuk
itu jika kerusakan medulla tidak dapat diperbaiki, maka beberapa metode mengawali
pengobatan dengan menggunakan kortikosteroid dan obat-obat anti inflamasi lainnya yang
dibutuhkan untuk mencegah kerusakan sebagian dari perkembangannya, masuk kedalam
kerusakan total dan menetap. (Smeltzer, Suzanne C, 2001).
E. Pemeriksaan penunjang
Sinar x spinal : menentukan lokasi dan jenis cedera tulang (fraktur atau dislok)
CT scan : untuk menentukan tempat luka/jejas
MRI : untuk mengidentifikasi kerusakan syaraf spinal
Foto rongent thorak : mengetahui keadaan paru
AGD : menunjukkan keefektifan pertukaran gas dan upaya ventilasi
(Tucker,Susan Martin . 1998)

F. Penatalaksanaan Cidera Medulla Spinalis Fase Akut


Bertujuan untuk mencegah cedera medulla spinalis lebih lanjut dan mengobservasi
gejala penurunan neurologi, (Smeltzer, Suzanne C, 2001) :
1. Farmakoterapi
Pemberian kortikosteroid dosis tinggi khususnya metilprednisolon, untuk
memeperbaiki prognosis dan mengurangi kecacatan bila diberikan dalam 8 jam cidera.
2. Tindakan pernafasan
Oksigenasi diberikan untuk mempertahankan PO2 arteri tinggi, karena anoksemia dapat
menimbulakn atau memperburuk defisit neurologik medulla spinalis.
3. Tranksi dan reduksi skelet
Penatalaksanaan cidera medulla spinalis memerlukan imobilisasi dan reduksi dislokasi
(memperbaiki posisi normal) dan stabiliosasi kolum vertebra.
4. Intervensi pembedahan
Pembedahan diindikasikan bila : deformitas pasien tidak dapat dikurangi dengan traksi,
tidak ada kestabilan tulang servikal, cedera terjadi pada daerah thoraks atau lumbal atau
status neurologik pasien memburuk. Pemebedahan dilakukan untuk mengurangi fraktur
spinal atau dislokasi atau dekompresi medulla.
5. Laminektomi
Diindikasikan pada adanya defisit neurologik progresif, dicurigai adanya hematoma
epidural, atau cidera penetrasi yang memerlukan debridemen pembedahan, atau
memungkinkan visualisasi langsung dan eksplorasi medulla.
G. Komplikasi
Komplikasi cedera spinal, yaitu (Brunner dan Suddart , 2001) :
1. Syok spinal
Merupakan depresi tiba-tiba aktivitas refleks pada medulla spinal dibawah tingkat
cedera, dalam kondisi ini otototot yang dipersarafi oleh segmen medulla yang ada
dibawah tingkat lesi menjadi paralisis komplit dan flaksit, dan reflek-refleknya tidak
ada. Tekanan darah turun, dan bagian dari tubuh dibawah tingkat lesi medulla paralisis
dan tanpa sensasi.
Karena cidera pada servikal dan medulla spinalis thorakal atas, persyarafan pada oto
aksesori mayor pernafasan hilang dan terjadi masalah pernasan : penurunan kapasitas
vital, retensi sekresi, peningkatan parsial karbon dioksida (PCO2), penurunan PO2,
kegagaglan pernafasan dan oedem pulmonal.
2. Trombosis vena profunda
Trombosis vena profunda adalah komplikasi umum dari imobilitas dan umumnya pada
cedera medulla spinal.
Komplikasi lain selain komplikasi pernafasan (gagal nafas) pneumonia dan
hiperefleksia autonomik (dikarakteristikkan oleh sakit kepala berdenyut, keringat banyak,
kongestinasal, piloereksi, bradikardi dan hipertensi), komplikasi lain yang terjadi
meliputi, dekubitu dan infeksi (infeksi urinarius, pernafasan).
H. Pathway
Trauma (jatuh dari ketinggian, kecelakaan lalu lintas,
kecelakaan olah raga) mengenai tulang belakang

Mengakibatkan cedera tulang belakang

Fraktur dapat berupa patah tulang sederhana, kompresi,


kominutif, dan dislokasi, sedangkan pada sumsum tulang
belakang dapat berupa memar, kontusio, kerusakan
melintang, laserasi dgn atau tanpa perdarahan

Blok saraf Pelepasan kelumpuhan Kerusakan


Gangg. saraf
mediator kimia saraf spinal
parasimpatik sensorik motorik
Hambatan
Kelumpuhan otot Mobilitas fisik Imobilisasi
Respon
fisik
nyeri hebat
pernapasan
& akut
Iskemik dan hipoksia Kehilangan Kehilangan Fungsi penekanan
fungsi defekasi berkemih
Nyeri akut

Gangg. Kebutuhan Kelembaban


Kerusakan Kerusakan
oksigen
Fungsi rektum Eliminasi urin
dekubitus

Ketidakefektifan Konstipasi Gangguan


pola napas eliminasi urin
Resiko
kerusakan
integritas kulit
I. Pengkajian
Pengkajian pada klien dengan trauma tulang belakang meliputi:

a. Aktifitas dan istirahat : Kelumpuhan otot (terjadi kelemahan selama syok spinal)
pada/dibawah lesi.
Kelemahan umum/kelemahan otot (trauma dan adanya
kompresi saraf)
b. Sirkulasi : Berdebar-debar, pusing saat melakukan perubahan posisi atau
bergerak
Hipotensi, bradikardi, ekstremitas dingin atau pucat
c. Eliminasi : Inkontenensia defekasi dan berkemih, retensi urine, distensi
perut, peristaltik usus hilang.
d. Integritas ego : Menyangkal, tidak percaya, sedih dan marah, takut cemas,
gelisah dan menarik diri
e. Pola makan : Mengalami distensi perut, peristaltik usus hilang
f. Pola kebersihan diri : Sangat ketergantungan dalam melakukan ADL
g. Neurosensori : Kesemutan, rasa terbakar pada lengan/kaki, paralisis flasid
dapat terjadi saat syok spinal, tergantung pada area spinal yang
sakit.
Hilangnya sensasi (dapat kembali normal setelah syok spinal
sembuh) dan hilangnya tonus otot, hilangnya reflek,
perubahan reaksi pupil, ptosis.
h. Nyeri/kenyamanan : Nyeri tekan otot, hiperestesi tepat diatas daerah trauma, dan
Mengalami deformitas pada daerah trauma
i. Pernapasan : Napas pendek, ada ronkhi, pucat, sianosis
j. Keamanan : Suhu yang naik turun
(Carpenito (2000), Doenges (2000))\

J. Diagnosa Keperawatan
1. Ketidakefetifan pola nafas b/d cedera medulla spinalis
2. Hambatan mobilitas fisik b/d gangguan neuromuskular
3. Nyeri akut b/d agen cedera fisik (trauma)
4. Konstipasib/d gangguan persarafan pada usus dan rektum
5. Gangguan eliminasi urine b/d kelumpuhan saraf perkemihan
6. Resiko kerusakan integritas kulit b/d kehilangan sensori dan imobilitas

K. Rencana Asuhan Keperawatan

NO NANDA NOC NIC


1. Ketidakefektifa Setelah dilakukan Manajemen jalan nafas
n pola nafas perawatan pola nafas Posisikan pasien untuk
b/d cedera efektif dengan memaksimalkan ventilasi
medulla kriteriahasil: Buang secret dengan menyedot
spinalis Frekuensi lendir
pernapasan dalam Auskultasi suara nafas, catat area
batas normal ( 16- yang ventilasinya menurun atau
20x/mnt) tidak ada dan adanya suara nafas
Irama nafas normal tambahan.
Kepatenan jalan Posisikan untuk meringankan
nafas sesak nafas
Tidak ada suara Monitor status pernapasan dan
nafas tambahan oksigenasi sebagaimana mestinya.
dan penggunaan Terapi oksigen
otot bantu Bersihkan mulut, hidung, dan
pernafasan sekresi trakea dengan tepat
Tidak ada sianosis Pertahankan kepatenan jalan nafas
Berikan oksigen tambahan seperti
yang diperintahkan
Monitor aliran oksigen
Monitor efektifitas terapi oksigen.
Monitor pernapasan
Monitor kecepatan, irama,
kedalaman dan kesulitan bernafas
Catat pergerakan dada dan
penggunaan otot -otot bantu
pernapasan
Monitor suara nafas tambahan
Monitor polanafas
Monitor keluhan sesak nafas
pasien termasuk kegiatan yang
meningkatkan atau memperburuk
sesak nafas
Monitor hasil foto thoraks.
2. Hambatan Setelah dilakukan Pengaturan posisi neurologi
mobilitas fisik perawatan mobilitas fisik Immobilisasi atau topang bagian
b/d gangguan yang optimal tercapai tubuh yang terganggu dengan
neuromuskular dengan kriterihasil: tepat
Secara konsisten Berikan posisi yang terapeutik
menunjukkan Jangan berikan tekanan pada
menggunakan bagian tubuh yang terganggu
postur tubuh yang Pertahankan posisi yang tepat saat
benar saat duduk mengatur posisi pasien
atau baring Berikan tempat tidur yang tepat
melakukan latihan Posisikan kepala dan leher dengan
yang dianjurkan posisi netral
untuk mencegah Ganti posisi tiap 2 jam sekal
cedera dengan menggunakan teknik log
menggunakan alat roll
bantu dengan tepat Topang tulang belakang selama
perubahan posisi dengan
mempertahankan posisi anatomis
Instruksikan pasien postur tubuh
dan pergerakan yang tepat saat
melakukan aktivitas

3. Nyeri akut b/d Setelah dilakukan Manajemen nyeri


agen cedera perawatan nyeri berkurang Lakukan pengkajian nyeri
fisik (trauma) atau hilang dengan komprehensif yang meliputi
kriteriahasil: lokasi, karakteristik, durasi,
Mampu frekuensi,kualitas dan intensitas
mengontrol nyeri nyeri serta factor pencetus.
Melaporkan bahwa Observasi reaksi non verbal dari
nyeri berkurang ketidaknyamanan
Mampu mengenali Berikan informasi mengenai nyeri
nyeri(skala,intensit Kurangi faktor yang dapat
as , frekuensi dan mencetuskan atau meningkatkan
tanda nyeri) nyeri
Menyatakan rasa Pilih dan implementasikan
nyaman setelah tindakan farmakologi dan non
nyeri berkurang farmakologi untuk memfasilitasi
penurunan nyeri
Ajarkan metode farmakologi
untuk menurunkan nyeri
Berikan analgetik untuk
mengurangi nyeri
Evaluasi keefektifan control nyeri
Dukung istirahat/tidur yang
adekuat untuk membantu
penurunan nyeri.
Pemberian analgesic
Tentukan lokasi, karakteristik,
kualitas, dan keparahan nyeri
sebelum mengobati pasien
Cek perintah pengobatan
Tentukan pilihan obat analgesic
berdasarkan tipe dan keparahan
penyakit
Kolaborasikan dengan dokter.
4. Konstipasi b/d Setelah dilakukan Manajemen konstipasi
gangguan perawatan konstipasi Monitor tanda dan gejala
persarafan teratasi dengan criteria konstipasi
pada usus dan hasil: Monitor bising usus
rektum Pola eliminasi Monitor pergerakan usus
tidak terganggu Buatlah jadwal BAB dengan cara
Kemudahan BAB yang tepat
Suara bising usus Dukung peningkatan asupan
normal (5-12 cairan jika tidak ada kontra
x/mnt) indikasi
Instruksikan pasien atau keluarga
akan penggunaan laksatif yang
tepat
Instruksikan pada pasien, diet
tinggi serat dengan cara yang tepat

5. Gangguan Setelah dilakukan Perawatan retensi urin


eliminasi urine perawatan pola eliminasi Lakukan pengkajian komprehensif
b/d urine kembali normal system perkemihan focus terhadap
kelumpuhan dengan kriteriahasil: inkontinensia
saraf Pola eliminasi Berikan privasi dalam melakukan
perkemihan tidak terganggu eliminasi
Mengosongkan Berikan waktu yang cukup untuk
kantong kemih pengosongan kandung kemih (10
sepenuhnya menit)
Pasang kateter urin sesuai
kebutuhan.
Monitor derajat distensi kandung
kemih dengan palpasi danperkusi
Monitor intake dan output

6. Resiko Setelah dilakukan Manajemen tekanan


kerusakan perawatan kerusakan Berikan pakaian yang tidak ketat
integritas kulit integritas kulit tidak terjadi pada pasien
b/d kehilangan dengan criteria hasil: Letakkan matras dan kasur
sensori dan Integritas kulit baik terapeutik dengan cara yang tepat
imobilitas Tidak ada lesi Tahan diri dari memberikan
pada kulit tekanan pada bagian tubuh yang
terkena dampak
Balikkan posisi klien minimal 2
jam sesuai jadwal khusus
Monitor area kulit dari adanya
kemerahan dan adanya pecah
pecah
Letakkan bantalan busa dengan
cara yang tepat
Pengecekan kulit
Periksa kulit terkait dengan
adanya kemerahan, kehangatan
ekstrim dan edema
Monitor kulit untuk adanya ruam
dan lecet
Monitor kulit untuk adanya
kekeringan yang berlebihan dan
kelembaban
Ajarkan anggota keluarga
mengenai tanda- tanda kerusakan
kulit dengan tepat

You might also like