You are on page 1of 44

BAB 1

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Lien merupakan organ yang paling sering cedera pada saat terjadi trauma tumpul
abdomen atau trauma toraks kiri bagian bawah. Ruptur lien merupakan kondisi yang
membahayakan jiwa karena adanya perdarahan yang hebat. Lien mendapat
vaskularisasi yang banyak, yaitu dilewati kurang lebih 350 liter darah per harinya
yang hampir sama dengan satu kantung unit darah sekali pemberian. Karena alasan
ini, trauma pada lien mengancam kelangsungan hidup seseorang.
Lien terletak tepat di bawah rangka thoraks kiri, tempat yang rentan untuk
mengalami perlukaan. Lien membantu tubuh kita untuk melawan infeksi yang ada di
dalam tubuh dan menyaring semua material yang tidak dibutuhkan lagi dalam tubuh
seperti sel tubuh yang sudah rusak. Lien juga memproduksi sel darah merah dan
berbagai jenis dari sel darah putih.
Lien kadang terkena ketika trauma pada torakoabdominal dan trauma tembus
abdomen. Penyebab utamanya adalah cedera langsung karena kecelakaan lalu lintas,
terjatuh dari tempat tinggi, pada olahraga luncur atau olahraga kontak, seperti yudo,
karate, dan silat. Trauma lien terjadi pada 25% dari semua trauma tumpul abdomen.
Perbandingan laki-laki dan perempuan yaitu 3 : 2, ini mungkin berhubungan dengan
tingginya kegiatan dalam olahraga, berkendaraan dan bekerja kasar pada laki-laki.
Angka kejadian tertinggi pada umur 15-35 tahun.
Mengingat besarnya masalah serta tingginya angka kematian dan kesakitan akibat
ruptur lien serta perlunya penanganan segera, maka kami menulis referat yang
membahas ruptur lien dan penatalaksanaannya.
Robeknya lien menyebabkan banyaknya darah yang ada di rongga abdomen.
Ruptur pada lien biasanya disebabkan hantaman pada abdomen kiri atas atau
abdomen kiri bawah. Kejadian yang paling sering meyebabkan ruptur lien adalah
kecelakaan olahraga, perkelahian dan kecelakaan mobil. Perlukaan pada lien akan
menjadi robeknya lien segera setelah terjadi trauma pada abdomen.
Pada pemeriksaan fisik, gejala yang khas adanya hipotensi karena perdarahan.
Kecurigaan terjadinya ruptur lien dengan ditemukan adanya fraktur costa IX dan X

1
kiri, atau saat abdomen kuadran kiri atas terasa sakit serta ditemui takikardi. Biasanya
pasien juga mengeluhkan sakit pada bahu kiri, yang tidak termanifestasi pada jam
pertama atau jam kedua setelah terjadi trauma. Tanda peritoneal seperti nyeri tekan
dan defans muskuler akan muncul setelah terjadi perdarahan yang mengiritasi
peritoneum. Semua pasien dengan gejala takikardi atau hipotensi dan nyeri pada
abdomen kuadran kiri atas harus dicurigai terdapat ruptur lien sampai dapat diperiksa
lebih lanjut. Penegakan diagnosis dengan menggunakan CT scan. ruptur pada lien
dapat diatasi dengan splenectomy, yaitu pembedahan dengan pengangkatan lien.
Walaupun manusia tetap bisa hidup tanpa lien, tapi pengangkatan lien dapat berakibat
mudahnya infeksi masuk dalam tubuh sehingga setelah pengangkatan lien dianjurkan
melakukan vaksinasi terutama terhadap pneumonia dan flu diberikan antibiotik
sebagai usaha preventif terhadap terjadinya infeksi.

B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, permasalahan yang dibahas dalam
makalah ini sebagai berikut.
1. Bagaimana definisi dari Ruptur Lien?
2. Bagaimana Anatomi dan Fisiologi dari Ruptur Lien?
3. Bagaimana Etiologi dari Ruptur Lien?
4. Bagaimana Tanda dan Gejala dari Ruptur Lien?
5. Bagaimana Patofisiologi dari Ruptur Lien?
6. Bagaimana Penatalaksanaan dari Ruptur Lien?
7. Bagaimana Pemeriksaan Penunjang dari Ruptur Lien?
8. Apasaja Diagnosa Keperawatan yang mungkin muncul?
9. Bagaimana Intervensi Keperawatan dari Ruptur Lien?

C. TUJUAN PENULISAN
1. Mahasiswa mampu memahami definisi dari Ruptur Lien
2. Mahasiswa mampu memahami Anatomi dan Fisiologi dari Ruptur Lien
3. Mahasiswa mampu memahami Patofisiologi dari Ruptur Lien
4. Mahasiswa mampu memahami Etiologi dari Ruptur Lien
5. Mahasiswa mampu memahami Tanda dan Gejala dari Ruptur Lien
6. Mahasiswa mampu memahami Pemeriksaan Penunjang dari Ruptur Lien

2
7. Mahasiswa mampu memahami Penatalaksanaan dari Ruptur Lien
8. Mahasiswa mampu memahami Diagnosa Keperawatan yang mungkin muncul
9. Mahasiswa mampu memahami Intervensi Keperawatan dari Ruptur Lien

D. MANFAAT PENULISAN
Berdasarkan tujuan diatas, maka penulisan makalah ini diharapkan dapat
bermanfaat, sebagai berikut:
1. Manfaat Umum
Memberikan sumbangan pemikiran untuk memperkaya wawasan dan
pengetahuan tentang materi.
2. Manfaat Khusus
a. Bagi pembaca
Makalah ini diharapkan dapat mempermudah pembaca dalam
memahami materi yang di sajikan. Selain itu pembaca makalah ini
diharapkan mampu menerima semua materi yang disampaikan.
b. Bagi penulis
Dapat memperluas kaidah-kaidah pengetahuan serta sumber ajar yang
berguna dalam proses pembelajaran khususnya pada materi Asuhan
keperawatan Ruptur Lien

BAB II
PEMBAHASAN

3
A. KONSEP DASAR PENYAKIT
1. Pengertian
Ruptur limpa, secara etimologi dapat didefinisikan ruptur adalah robek
atau koyaknya jaringan secara paksa, sedangkan limpa adalah organ mirip
kelenjar, ukuran besar, terletak di bagian atas rongga abdomen sisi kiri. Jadi,
ruptur limpa adalah robeknya limpa secara paksa atau rusaknya lien akibat suatu
dampak penting kepada lien dari beberapa sumber. Dapat berupa trauma
tumpul, trauma tajam, ataupun trauma sewaktu operasi.

2. Anatomi dan Fisiologi


Abdomen dapat didefinisikan sebagai daerah tubuh yang terletak antara
diaphragma di bagian atas dan pintu masuk pelvis dibagian bawah. Untuk
kepentingan klinik, biasanya abdomen dibagi dalam sembilan regio oleh dua
garis vertikal, dan dua garis horizontal. Masing-masing garis vertikal melalui
pertengahan antara spina iliaca anterior superior dan symphisis pubis. Garis
horizontal yang atas merupakan bidang subcostalis, yang mana menghubungkan
titik terbawah pinggir costa satu sama lain. Garis horizontal yang bawah
merupakan bidang intertubercularis, yang menghubungkan tuberculum pada
crista iliaca. Bidang ini terletak setinggi corpus vertebra lumbalis V.
Pembagian regio pada abdomen yaitu : pada abdomen bagian atas : regio
hypochondrium kanan, regio epigastrium dan regio hypocondrium kiri. Pada
abdomen bagian tengah : regio lumbalis kanan, regio umbilicalis dan regio
lumbalis kiri. Pada abdomen bagian bawah : regio iliaca kanan, regio
hypogastrium dan regio iliaca kiri. Sedangkan pembagian abdomen juga
dipermudah menjadi empat kuadran dengan menggunakan satu garis vertikal dan
satu garis horisontal yang saling berpotongan pada umbilicus. Kuadran tersebut
adalah kuadran kanan atas, kuadran kiri atas, kuadran kanan bawah dan kuadran
kiri bawah.

4
Lien merupakan massa jaringan limfoid tunggal yang terbesar dan
umumnya berbentuk oval, dan berwarna kemerahan. Terletak pada regio
hypochondrium kiri, dengan sumbu panjangnya terletak sepanjang iga X dan
kutub bawahnya berjalan ke depan sampai linea axillaris media, dan tidak dapat
diraba pada pemeriksaan fisik. Batas anterior limpa adalah lambung, cauda
pankreas, flexura coli sinistra. Batas posterior pada diaphragma, pleura kiri
(recessus costodiaphragmatica kiri), paru kiri, costa IX, X, dan XI kiri.
Lien berasal dari diferensiasi jaringan mesenkimal mesogastrium dorsal.
Berat rata-rata pada manusia dewasa berkisar 75-100gram, biasanya sedikit
mengecil setelah berumur 60 tahun sepanjang tidak disertai adanya patologi
lainnya, ukuran dan bentuk bervariasi, panjang 10-11cm, lebar 6-7cm, tebal
3-4cm. lien terletak di kuadaran kiri atas dorsal di abdomen pada permukaan
diafragma, terlindung oleh iga ke IX, X, dan XI. Lien terpancang ditempatnya
oleh lipatan peritoneum yang diperkuat oleh beberapa ligamentum suspensorium
yaitu :
a. Ligamentum splenoprenika posterior
b. Ligamentum gastrosplenika, berisi vasa gastrika brevis
c. Ligamentum splenokolika terdiri dari bagian lateral omentum majus
d. Ligamnetum splenorenal.
Lien merupakan organ paling vaskuler, dialiri darah sekitar 350 L per
hari dan berisi kira-kira 1 unit darah pada saat tertentu. Vaskularisasinya meliputi
arteri lienalis, variasi cabang pankreas dan beberapa cabang dari gaster (vasa
Brevis). Arteri lienalis merupakan cabang terbesar dari trunkus celiakus. Darah

5
balik disalur melalui v.lienalis yang bergabung dengan v.mesenterika superior
membentuk v.porta.

Lien diselimuti oleh simpai yang bercabang-cabang ke parenkim lien


dalam bentuk trabekula yang membungkus pulpa lien. Pulpa ini terbagi menjadi
tiga zona : pulpa putih, pulpa marginal, dan pulpa merah.

Fisiologi Limpa
Limpa adalah organ pertahanan utama ketika tubuh terinvasi oleh bakteri
melalui darah dan tubuh yang belum atau sedikit memiliki antibodi. Kemampuan
ini akibat adanya mikrosirkulasi yang unik pada limpa. Sirkulasi ini
memungkinkan aliran yang lambat sehingga limpa punya waktu untuk
memfagosit bakteri, sekalipun opsonisasinya buruk. Antigen partikulat
dibersihkan dengan cara yang mirip oleh efek filter ini. Dan antigen ini
merangsang respon antibodi IgM dicentrum germinale. Sel darah merahjuga
dieliminasi dengan cara yang sama saat melewati limpa.
Pada usia 5-8 bulan, limpa berfungsi sebagai tempat pembentukan sel
darah merah dan sel darah putih. Fungsi ini akan hilang pada masa dewasa.
Namun limpa mempunyai peran penting dalam memproduksi sel darah merah
jika hematipoiesis dalam sumsum tulang mengalami gangguan seperti pada
gangguan hematologi. Secara umum fungsi limpa dibagi menjadi 2 (dua) yaitu :
1. Fungsi Filtrasi
Lien berfungsi untuk membuang sel darah merah yang sudah tua atau sel
darah merah yang rusak misalnya sel darah merah yang mengalami
gangguan morfologi seperti pada spherosit dan sicled sel, serta membuang
bakteri yang terdapat dalam sirkulasi. Setiap hari limpa akan membuang
sekitar 20 ml sel darah merah yang sudah tua. Selain itu sel-sel yang sudah
terikat pada IgG pada permukaan akan dibuang oleh monosit. Limpa juga
akan membuang sel darah putih yang abnormal, platelet dan sel-sel debris.
2. Fungsi Imunologi
Limpa termasuk dalam bagian dari sistem limfoid perifer mengandung
limfosit T matur dan limfosit B. Limfosit T bertanggung jawab terhadap
respon sel mediated immune (imune seluler) dan limfosit B bertanggung
jawab terhadap respon humoral. Fungsi imunologi dari limpa adalah :

6
a. Produksi Opsonin
Limpa menghasilkan tufsin dan properdin. Tufsin mempromosikan
fagositosis. Properdin menginisiasi pengaktifan komplemen untuk
destruksi bakteri dan benda asing yang terperangkap dalam limpa.
Limpa adalah organ lini ke dua dalam sistem pertahanan tubuh jika
sistem kekebalan tubuh yang terdapat dalam hati tidak mampu
membuang bakteri dalam sirkulasi.
b. Sintesis Antibodi
Imunoglobulin M (IgM) diproduksi oleh pulpa putih yang berspon
terhadap antigen yang terlarut dalam sirkulasi.
c. Proteksi terhadap infeksi
Splenoktomi akan menyebabkan banyak pasien terpapar infeksi,
seperti fulminan sepsis. Mengenai bagaimana mekanismenya sampai
saat ini belum diketahui sepenuhnya.
d. Tempat Penyimpanan
Pada dewasa normal sekitar sepertiga (30%) dari platelet akan
tersimpan dalam limpa.

3. Penyebab
Berdasarkan penyebab, ruptur lien dapat dibagi berdasar trauma pada lien
yang meliputi :
a. Trauma Tajam
Trauma ini dapat terjadi akibat luka tembak, tusukan pisau atau benda
tajam lainnya. Pada luka ini biasanya organ lain ikut terluka tergantung
arah trauma. Yang sering dicederai adalah paru, lambung, lebih jarang
pankreas, ginjal kiri dan pembuluh darah mesenterium.
Pemeriksaan splenografi yang dilakukan melalui pungsi dapat
menimbulkan perdarahan. Perdarahan pasca splenografi ini jarang terjadi
selama jumlah trombosit > 70.000 dan waktu protrombin 20 % di atas
normal.
b. Trauma Tumpul
Lien merupakan organ yang paling sering terluka pada trauma tumpul
abdomen atau trauma thoraks kiri bawah. Keadaan ini mungkin disertai
kerusakan usus halus, hati, dan pankreas. Penyebab utamanya adalah
cedera langsung atau tidak langsung karena kecelakaan lalu lintas,

7
terjatuh dari tempat tinggi, pada olahraga luncur dan olahraga kontak
seperti judo, karate dan silat.
Ruptur lien yang lambat dapat terjadi dalam jangka waktu beberapa hari
sampai beberapa minggu setelah trauma. Pada separuh kasus masa laten
ini kurang dari 7 hari. Hal ini karena adanya tamponade sementara pada
laserasi kecil, atau adanya hematom subkapsuler yang membesar secara
lambat dan kemudian pecah.
c. Trauma Iatrogenik
Ruptur lien sewaktu operasi dapat terjadi pada operasi abdomen bagian
atas, umpamanya karena retractor yang dapat menyebabkan lien
terdorong atau ditarik terlalu jauh sehingga hilus atau pembuluh darah
sekitar hilus robek. Cedera iatrogen lain dapat terjadi pada punksi lien
(splenoportografi).
d. Ruptur Spontan
Limpa pecah spontan sering dilaporkan pada penyakit yang disertai
dengan pembesaran limpa, seperti gangguan hematologik jinak maupun
ganas, mononukleosis, malaria kronik, sarkoidosis, dan splenomegali
kongestif pada hipertensi portal.

Kelainan patologi dikelompokkan menjadi :


a. Cedera kapsul
b. Kerusakan parenkim, fragmentasi, kutub bawah hampir lepas
c. Kerusakan hillus dilakukan splenektomi parsial
d. Avulsi lien dilakukan splenektomi total
e. Hematoma subkapsuler

4. Tanda dan Gejala


Tanda fisik yang ditemukan pada ruptur lien bergantung pada adanya
organ lain yang ikut cedera, banyak sedikitnya perdarahan, dan adanya
kontaminasi rongga peritoneum. Perdarahan dapat sedemikian hebatnya
sehingga mengakibatkan renjat (syok) hipovolemik hebat yang fatal. Dapat pula
terjadi perdarahan yang berlangsung sedemikian lambat sehingga sulit diketahui
pada pemeriksaan.
Pada setiap kasus trauma lien harus dilakukan pemeriksaaan abdomen
secara berulang-ulang oleh pemeriksa yang sama karena yang lebih penting

8
adalah mengamati perubahan gejala umum (syok, anemia) dan lokal di perut
(cairan bebas, rangsangan peritoneum).
Pada ruptur yang lambat, biasanya penderita datang dalam keadaan syok,
tanda perdarahan intrabdomen, atau seperti ada tumor intraabdomen pada
bagian kiri atas yang nyeri tekan disertai anemia sekunder. Oleh karena itu,
menanyakan riwayat trauma yang terjadi sebelumnya sangat penting dalam
menghadapi kasus ini.
Penderita umumnya berada dalam berbagai tingkat renjat hipovolemi
dengan atau tanpa (belum) takikardi dan penurunan tekanan darah. Penderita
mengeluh nyeri perut bagian atas, tetapi sepertiga kasus mengeluh nyeri perut
kuadran kiri atas atau punggung kiri. Nyeri di daerah puncak bahu disebut tanda
Kehr, terdapat pada kurang dari separuh kasus. Mungkin nyeri di daerah bahu
kiri baru timbul pada posisi Tredenlenberg. Pada pemeriksaan fisik ditemukan
masa di kiri atas dan pada perkusi terdapat bunyi pekak akibat adanya hematom
subkapsular atau omentum yang membungkus suatu hematoma ekstrakapsular
disebut tanda Ballance. Kadang darah bebas di perut dapat dibuktikan dengan
perkusi pekak geser.

5. Patofisiologi
Bila suatu kekuatan eksternal dibenturkan pada tubuh manusia (akibat
kecelakaan lalu lintas, penganiayaan, kecelakaan olah raga dan terjatuh dari
ketinggian), maka beratnya trauma merupakan hasil dari interaksi antara faktor
faktor fisik dari kekuatan tersebut dengan jaringan tubuh. Berat trauma yang
terjadi berhubungan dengan kemampuan obyek statis (yang ditubruk) untuk
menahan tubuh. Pada tempat benturan karena terjadinya perbedaan pergerakan
dari jaringan tubuh yang akan menimbulkan disrupsi jaringan. Hal ini juga
karakteristik dari permukaan yang menghentikan tubuh juga penting. Trauma
juga tergantung pada elastitisitas dan viskositas dari jaringan tubuh. Elastisitas
adalah kemampuan jaringan untuk kembali pada keadaan yang sebelumnya.
Viskositas adalah kemampuan jaringan untuk menjaga bentuk aslinya walaupun
ada benturan. Toleransi tubuh menahan benturan tergantung pada kedua
keadaan tersebut.. Beratnya trauma yang terjadi tergantung kepada seberapa
jauh gaya yang ada akan dapat melewati ketahanan jaringan. Komponen lain
yang harus dipertimbangkan dalam beratnya trauma adalah posisi tubuh relatif

9
terhadap permukaan benturan. Hal tersebut dapat terjadi cidera organ intra
abdominal yang disebabkan beberapa mekanisme :
1) Meningkatnya tekanan intra abdominal yang mendadak dan hebat oleh
gaya tekan dari luar seperti benturan setir atau sabuk pengaman yang
letaknya tidak benar dapat mengakibatkan terjadinya ruptur dari organ
padat maupun organ berongga.
2) Terjepitnya organ intra abdominal antara dinding abdomen anterior dan
vertebrae atau struktur tulang dinding thoraks.
3) Terjadi gaya akselerasi deselerasi secara mendadak dapat menyebabkan
Gaya predisposisi trauma > elastisitas & viskositas tubuh
gaya robek pada organ dan pedikel vaskuler.

Ketahanan jaringan tidak mampu mengkompensasi

6. Pohon Masalah Trauma Abdomen

Paksaan : Benda tajam :

Jatuh, benda tumpul, kompresi, dll Pisau, peluru, ledakan, dll


Trauma Tajam Trauma Tumpul

Kompresi organ abdomen


Kerusakan
organ abdomen Perdarahan
intra Abdomen

Limpa
Peningkatan
Peningkatan TIA
jumlah sel
Cidera pada limpa
darah putih
Mendesak organ
intra abdomen
Nyeri akut
Resiko Infeksi

Menekan reseptor
nyeri di abdomen Mendesak
lambung

Nyeri akut Lambung


distres

produksi
HCl

Rasa eneg di
perut
10
Peningka
ta n TIA
Mual
Dispnea Menekan organ paru Mendesak diagfragma
ke atas

Ketidakefektifan pola nafas


Risiko
Ketidakseimbangan
elektrolit

7. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan hematokrit perlu dilakukan berulang-ulang. Selain itu
biasanya didapat leukositosis. Pemeriksaan kadar Hb, hematokrit, leukosit dan
urinalisis. Bila terjadi perdarahan akan menurunkan Hb dan hematokrit serta
terjadi leukositosis. Sedangkan bila terdapat eritrosit dalam urine akan
menunjang akan adanya trauma saluran kencing.

8. Pemeriksaan Radiologi
Setelah trauma tumpul, organ intraabdominal yang sering terkena yaitu
lien, dan lien akan cedera dan terbentuk hematom. Meskipun ahli bedah
biasanya mencoba untuk mengatasi trauma ini dengan konservatif, ruptur lien
mungkin baru disadari setelah seminggu atau sepuluh hari setelah trauma
pertama. Ada beberapa pemeriksaan yang dapat dilakukan, diantaranya USG,
CT scan dan angiography. Jika ada kecurigaan trauma lien, CT Scan merupakan
pemeriksaan pilihan utama. Pendarahan dan hematom akan tampak sebagai
daerah yang kurang densitasnya dibanding lien. Daerah hitam melingkar atau
ireguler dalam lien menunjukkan hematom atau laserasi, dan area seperti bulan
sabit abnormal pada tepi lien menunjukkan subkapular hematom. Kadang,
dengan penanganan konservatif, abses mungkin akan terbentuk kemudian dan
dapat diidentifikasi pada CT Scan karena mengandung gas. Sensitivitas pada CT

11
Scan tinggi, namun spesifikasinya rendah, dan kadang riwayat dan gejala
penting untuk menentukkan diagnosis banding.
a. Gambaran yang paling sering ditemui yaitu fraktur tulang iga kiri bawah.
Fraktur iga menunjukkan adanya tekanan yang kuat pada kuadran kiri
atas yang menyebabkan keadaan patologi pada lien. Fraktur iga kiri
bawah terdapat pada 44 % pasien dengan ruptur lien dan perlu dilakukan
pemeriksaan CT Scan lebih lanjut.
b. Tanda klasik yang menentukan adanya ruptur lien akut (tingginya
diafragma sebelah kiri, atelektasis lobus bawah kiri, dan efusi pleura)
tidak selalu ada dan tidak bisa dijadikan tanda yang pasti. Namun, tiap
pasien dengan diafragma sebelah kiri yang meninggi disertai dengan
trauma tumpul abdomen harus dipikirkan sebagai trauma lien sampai
dibuktikan sebaliknya.
c. Tanda yang lebih dapat dipercaya dari trauma pada kuadran kiri atas
yaitu perpindahan ke medial udara gaster dan perpindahan inferior dari
pola udara lien. Gambaran ini menunjukkan adanya massa pada kuadran
kiri atas dan menunjukkan adanya hematom subkapsular atau perisplenik.

Hematom kuadran kiri atas, jika besar, dapat menggeser bayangan
dari tepi caudal bawah lien, menjadi gambaran splenomegali.

Hematom subkapsular dapat memberikan gambaran yang hampir
sama, dan massa yang ada memiliki batas yang tegas.

Pergeseran gambaran ginjal kiri juga mungkin ditemukan.
d. Gambaran yang dapat menunjang yaitu ketika adanya perdarahan
retroperitonial atau darah bebas intraabdominal terlihat kontras dengan
yang disebutkan diatas.
Sedikit, jika ada, munculnya efek masa pada kuadran kiri atas
Batas lien tidak jelas, tapi gambaran ini tidak spesifik.
Darah retroperitoneal dapat menghapus gambaran ginjal kiri dan batas
otot psoas.
Kumpulan darah bebas di sekitar kolon kiri, menggeser pola udara
pada kolon desenden ke medial.
Pendarahan yang banyak pada abdomen dapat menghilangkan garis
flank.
Pola udara usus yang sedikit dapat digeser keluar pelvis oleh

kumpulan darah.

12
Gambaran midpelvik yang opak dengan tepi lateral yang konveks dan
tajam dapat ditemukan.
Tepi kandung kemih bertambah dan dibatasi oleh gambaran lusen
yang tipis membentuk kubah dan seperti ekstraperitonial fat.
e. Hematom lien kronik memberikan gambaran yang berbeda dan lebih
komplek karena diikuti dengan daftar panjang diagnosis banding.
Perubahan dari hematom subkapsuler atau parenkimal yaitu menetap,
menjadi cair, dan biasanya terserap lagi.
f. Kadang, degenerasi kistik dari hematom intrasplenik menyebabkan
formasi yang salah dari kista.

Sekitar 80 % dari kista lien diperkirakan berasal dari posttrauma.
Sekitar 80 % terbentuk dari kista hemoragik, dan 20 % dari kista
serous dan kemungkinan adanya darah telah diserap kembali
semuanya.

Tipis, teratur dan annular kalsifikasi terbentuk sebagai garis fibrosis
pada sekitar 30 % kista.

Bentuk kista simetris dan unilokal, dan terdapat garis kalsifikasi di
dalam dan luar batas..

Satu buah, besar, annular kalsifikasi lien mirip seperti sebuah kista
residual traumatik pada area tindak endemic untuk organisme
Echinococcus.

Karakteristik dari gambaran kista traumatik tidak begitu spesifik.

Penyebab utama dari penyebaran kalsifikasi kista lien yaitu infeksi
dari Echinococcus granulosus, tapi organisme ini jarang ada di
normal geografik. 2
g. Hematom subkapsular merupakan hasil yang umum terjadi dari trauma
lien dan karakteristik gambarannya berbeda dari patologi parenkim.
Dalam penyembuhan hematom, kalsifikasi dari batas kavitas dapat
muncul. Tergantung pada proyeksi, kalsifikasi kavitas dapat muncul
linear atau diskoid. Derajat dari efek masa tergantung dari ukuran regresi
hematom. 2
h. Banyak kelainan patologi lain yang dapat memberikan gambaran yang
hampir sama, seperti pada penyakit sickle sel. Infark lien kronik dapat
berkembang menjadi kalsifikasi yang mirip dengan hematom
subkapsular.

13
Gambar 2. Gambaran trauma lien
Sumber : Steven K.R., 2009. Spleen Trauma. University of Illinois School of
Medicine, Department of Radiology. Diakses dari
http://emedicine.medscape.com/article/373694-overview

Tampak gambaran masa yang pinggirnya mengalami kalsifikasi pada


kuadran kiri atas dibawah diafragma. Masa tersebut menggambarkan kalsifikasi
hematom lien

Gambar 3a dan 3b. Gambaran cedera lien


Sumber : Ledbetter, S. dan Smithuis, R., 2007, diakses dari
http://www.radiologyassistant.nl/en/466181ff61073

a. USG
Pemeriksaan USG sulit dilakukan pada pasien trauma yang distensi
abdomen, luka-luka. USG berguna untuk mendiagnosis darah bebas

14
intraperitoneal. Darah dalam peritoneum tampak sebagai gambaran cairan
anechoic, kadang dengan septiasi, memisahkan bagian usus dengan organ solid
disekitarnya. USG kurang sensitif dibanding CT Scan untuk mendiagnosis
trauma organ solid atau trauma intestinal. Tujuan utama pemeriksaan USG lien
pada trauma tumpul abdomen yaitu untuk menentukan apakah ada darah di
kuadran kiri atas.

Perdarahan akut tampak hipoechoic dan dapat juga hampir anechoic.

Membedakan perdarahan subkapsular dan perisplenic sulit, tapi beberapa
tanda dapat ditemukan yaitu :
o Sebuah gambaran bulan sabit halus sesuai dengan tepi lien dapat
dipikirkan sebagai subkapsular.
o Sebagai perbandingan, perdarahan ekstrakapsular biasanya bentuknya
tidak reguler.
o Walaupun efek massa dihasilkan juga pada kedua kasus, perdarahan
subkapsular lebih mungkin merubah bentuk lien.
o Membran diatas subkapsular tipis dan jarang digambarkan, oleh
karena itu tidak adanya temuan ini tidak menunjukkan diagnosis.

Dalam beberapa jam, pembekuan darah terjadi. Echogenesiti meningkat
seiring pembentukkan trombus. Hematom yang telah lama menunjukkan
echogenesiti yang sama atau lebih terang dibanding parenkim dan tetap
tampak dalam 48 jam sampai lisis dimulai. Fase echogenik biasanya sesuai
dengan waktu ketika pencitraan dilakukan dalam keadaan yang paling
akut. Sebagai hasil lisis, hematom kembali ke echogenesiti cairan, dan
patologi ini kembali lebih jelas. 2

Kelainan parenkim umum yang halus.
o Laserasi tampak sebagai daerah yang hipoechoic, yang dapat
berbentuk tidak teratur ataupun linear.
o Infark lien mempunyai gambaran yang sama, tapi biasanya lebih baik
dapat ditentukan. Infark berbentuk baji, dengan puncak mengarah ke
hilus. Dibandingkan dengan cedera traumatis dimana distribusi lebih
kompleks terlihat.

15
o Kehalusan cedera parenkim mungkin berhubungan dengan perdarahan
lokal yang terkait. Setiap darah terjebak segera menggumpal, menjadi
isoechoic dengan jaringan sekitarnya

Gambar 4. USG abdomen yang menunjukkan cairan bebas peritoneum. Pada trauma
tumpul abdomen biasanya hemoperiteneum.
Sumber : Steven K.R., 2009. Spleen Trauma. University of Illinois School of
Medicine, Department of Radiology. Diakses dari
http://emedicine.medscape.com/article/373694-overview

16
Gambar 5. (a) USG abdomen tampak area anechoic pada daerah trauma. (b)
hematom subkapsular.
Sumber : Steven K.R., 2009. Spleen Trauma. University of Illinois School of
Medicine, Department of Radiology. Diakses dari
http://emedicine.medscape.com/article/373694-overview

b. Computed Tomography
CT digunakan untuk mengevaluasi pasien dengan trauma tumpul tidak
hanya sebagai awal, tetapi juga untuk tindak lanjut, ketika pasien ditangani
secara non-bedah. CT juga semakin banyak digunakan untuk trauma tembus
yang secara tradisional ditangani dengan operasi. CT pada trauma abdomen:
1) Evaluasi awal dari:
a) Trauma tumpul
b) Trauma tembus
2) Follow up dari pengelolaan non-operatif
3) Menyingkirkan adanya cedera

Gambar 6. Laserasi limpa terlihat pada kontras ditingkatkan tomografi sebagai area
hipodens linier tidak teratur
Sumber : Hassan, R., et. Al., 2011, diakses dari www.mjms.usm.my

17
Gambar 7. Hematoma parenkim (panah) terlihat pada CT-Scan kontras sebagai area
hipodens fokus dalam parenkim lienalis ditingkatkan dengan kapsul utuh
Sumber : Hassan, R., et. Al., 2011, diakses dari www.mjms.usm.my

Gambar 8. Hematoma subcapsular (panah) terlihat sebagai area hipodens dengan


perdarahan yang terkumpul pada perisplenic yang melekuk dibawah parenkim yang
mendasarinya
Sumber : Hassan, R., et. Al., 2011, diakses dari www.mjms.usm.my

Gambar 9. Darah yang terkumpul pada perisplenic (panah) terlihat sebagai area
hpodens di sekitar limpa tanpa efek massa untuk parenkim yang berdekatan

18
Sumber : Hassan, R., et. Al., 2011, diakses dari www.mjms.usm.my

Gambar 10. Cedera limpa grade I pada seorang gadis 17 tahun yang terlibat dalam
kecelakaan kendaraan bermotor. Dengan menggunakan CT-Scan menunjukkan
sobekan kapsuler kurang dari 1 cm pada kutub lebih rendah (panah). Pasien dikelola
secara konservatif dengan pemulihan lancar.
Sumber : Hassan, R., et. Al., 2011, diakses dari www.mjms.usm.my

Gambar 11. Cedera limpa grade I pada laki-laki 35 tahun dalam sebuah kecelakaan
industri. CT-Scan dengan kontras menunjukkan perdarahan subcapsular (panah)
kurang dari 10% dari luas permukaan. Dia dikelola secara konservatif dan sembuh
dengan baik. Sumber : Hassan, R., et. Al., 2011, diakses dari www.mjms.usm.my

19
Gambar 12. Cedera limpa grade II pada bocah 13 tahun terluka setelah berkelahi.
CT-scan menunjukkan hematoma subkapsular melibatkan 30% -40% dari luas
permukaan limpa (panah). Pasien dikelola secara konservatif dengan pemulihan
lancar. Sumber : Hassan, R., et. Al., 2011, diakses dari www.mjms.usm.my

Gambar 13. Cedera limpa grade II pada seorang pria 30 tahun setelah diserang. CT-
scan menunjukkan laserasi 2 cm pada hilus (panah) yang dikonfirmasi pada saat
operasi. Sumber : Hassan, R., et. Al., 2011, diakses dari www.mjms.usm.my

Gambar 14. Cedera limpa grade III pada anak laki-laki berusia 15 tahun terluka saat
pertandingan sepak bola. CT-Scan dengan kontras menunjukkan beberapa luka dan

20
hematoma intraparenchymal (panah). Pasien dikelola secara konservatif dan sembuh
total. Sumber : Hassan, R., et. Al., 2011, diakses dari www.mjms.usm.my

Gambar 15. Cedera limpa grade III pada anak laki-laki berusia 18 tahun, cedera
ketika sepeda motornya menabrak kerbau. CT-Scan dengan kontras menunjukkan
laserasi di kutub atas (panah). Temuan saat operasi menegaskan laserasi 6 cm dengan
haemoperitoneum sekitar 1 liter. Dilakukan splenektomi pada pasien ini.
Sumber : Hassan, R., et. Al., 2011, diakses dari www.mjms.usm.my

Gambar 16. Cedera limpa grade IV pada anak laki-laki 17 tahun terluka dalam
kecelakaan kendaraan bermotor. CT-Scan dengan kontras menunjukkan beberapa
luka menyebabkan devascularisation utama dari limpa. Splenektomi dilakukan untuk
pasien ini. Sumber : Hassan, R., et. Al., 2011, diakses dari www.mjms.usm.my

21
Gambar 17. Cedera limpa grade V pada seorang pria 18 tahun setelah sepeda
motornya menghantam truk. CT-Scan dengan kontras menunjukkan limpa hancur
dengan yang dikonfirmasi saat operasi haemoperitoneum volume yang besar.
Perhatikan (panah) menunjukkan perdarahan aktif. Splenektomi dilakukan untuk
pasien ini. Sumber : Hassan, R., et. Al., 2011, diakses dari www.mjms.usm.my

Tabel 1 : Grading untuk trauma lien menurut gambaran CT-Scan

Sumber: American Association for the Surgery of Trauma Splenic Injury Scale

Sebuah cara untuk mengingat sistem ini adalah:


1) Grade 1 kurang dari 1 cm.
2) Grade 2 adalah sekitar 2 cm (1-3 cm).
3) Grade 3 lebih dari 3 cm.
4) Grade 4 adalah lebih dari 10 cm.
5) Grade 5 adalah devascularization total atau maserasi.
Kelemahan grading ini adalah:
1) Sering meremehkan tingkat cedera.
2) kemungkinan variasi antar pembaca
3) Tidak memasukkan:
a) Adanya perdarahan aktif
b) Kontusio

22
4) Post-traumatik infark
5) Yang paling penting: tidak ada nilai prediktif untuk manajemen non-
operasi (NOM)

The Organ Injury Scaling Committee of the American Association for the
Surgery of Trauma juga telah menyusun sistem grading yang telah direvisi pada
tahun 1994, sebagai berikut:
1) Grade I
Hematoma subcapsular kurang dari 10% dari luas permukaan
Capsular tear kedalamannya kurang dari 1 cm.
2) Grade II
Hematoma Subkapsular sebesar 10-50% dari luas permukaan
Hematoma intraparenkim kurang dari diameter 5 cm
Laserasi dengan kedalaman dari 1-3 cm dan tidak melibatkan pembuluh
darah trabecular.
3) Grade III
Hematoma subcapsular lebih besar dari 50% dari luas permukaan atau
meluas dan terdapat ruptur hematoma subcapsular atau parenkim
Hematoma Intraparenkim lebih besar dari 5 cm atau mengalami
perluasan
Laserasi yang lebih besar dari 3 cm kedalamannya atau melibatkan
pembuluh darah trabecular.
4) Grade IV
Laserasi melibatkan pembuluh darah segmental atau hilar dengan
devascularisasi lebih dari 25% dari lien.
5) Grade V
Shattered spleen atau cedera vaskuler hilar.

c. Angiography

23
Gambar 18. Arteriogram yang diperoleh dengan injeksi kateter arteri utama lien
menunjukkan beberapa daerah ekstravasasi agen kontras parenkim.
Sumber : Steven K.R., 2009. Spleen Trauma. University of Illinois School of
Medicine, Department of Radiology. Diakses dari
http://emedicine.medscape.com/article/373694-overview

Gambar 20. Arteriogram lienalis selektif menunjukkan pseudoaneurysms traumatis


dengan ekstravasasi di kutub atas.
Sumber : Steven K.R., 2009. Spleen Trauma. University of Illinois School of
Medicine, Department of Radiology. Diakses dari
http://emedicine.medscape.com/article/373694-overview

Gambar 21. Arteriogram diperoleh dengan suntikan arteri lienalis utama setelah
embolisasi koil superselectif dari pseudoaneurisma. Opasifikasi kontras irregular

24
masih tampak dengan area avaskular, itu mungkin mewakili daerah lain dari cedera
vaskular.
Sumber : Steven K.R., 2009. Spleen Trauma. University of Illinois School of
Medicine, Department of Radiology. Diakses dari
http://emedicine.medscape.com/article/373694-overview

Gambar 22. Arteriogram diperoleh dengan suntikan arteri lien superselektif di


kutub atas, menegaskan zona kedua dari gangguan vaskular dengan ekstravasasi agen
kontras.
Sumber : Steven K.R., 2009. Spleen Trauma. University of Illinois School of
Medicine, Department of Radiology. Diakses dari
http://emedicine.medscape.com/article/373694-overview

Gambar 23. Gambaran arteriographic akhir dari injeksi kateter arteri utama lienalis
setelah selektif / embolisasi koil superselektif. Sekitar 50% dari lien telah
devascularisasi. Tidak ada sisa cedera pembuluh darah arteri atau tampak
ekstravasasi.
Sumber : Steven K.R., 2009. Spleen Trauma. University of Illinois School of
Medicine, Department of Radiology. Diakses dari
http://emedicine.medscape.com/article/373694-overview

25
Penemuan
Trauma lien dapat menghasilkan berbagai temuan angiografik, baik secara
langsung maupun tidak langsung. Tanda-tanda tidak langsung termasuk
perpindahan lien dari dinding perut dan daerah parenkim avaskular dari
hematoma. Ketidakteraturan parenkim atau bintik-bintik pada lien mungkin
akibat dari edema lokal dari memar tanpa kelainan yang jelas.
Fragmentasi lien atau cedera arteri utama menandakan komplikasi yang
mengancam nyawa pada kebanyakan pasien, dan mereka memerlukan intervensi
bedah segera.

9. PENATALAKSANAAN MEDIS
Penatalaksanaan secara tradisional adalah splenektomi. Akan tetapi,
splenektomi sedapat mungkin dihindari, terutama pada anak-anak, untuk
menghindari kerentanan permanen terhadap infeksi. Kebanyakan laserasi kecil
dan sedang pada pasien stabil, terutama anak-anak, ditatalaksana dengan
observasi dan transfusi. Kegagalan dalam penatalaksanaan obsevatif lebih
sering terjadi pada trauma grade III, IV, dan V daripada grade I dan II. Pada
banyak penelitian, embolisasi arteri lienalis telah dijelaskan menggunakan
berbagai pendekatan. Satu poin utama dalam pembahasan tentang perbedaan
antara embolisasi arteri lienalis utama, embolisasi arteri lienalis selektif atau
superselektif, dan embolisasi arteri lienalis di berbagai tempat. Embolisasi ini
menghambat aliran pada pembuluh yang mengalami perdarahan. Jika
pembedahan diperlukan, lien dapat diperbaiki secara bedah. Tindakan bedah
yang dapat dilakukan pada keadaan rupture lien meliputi splenorafi dan
splenektomi.
a. Splenorafi
Splenorafi adalah operasi yang bertujuan mempertahankan lien yang
fungsional dengan teknik bedah. Tindakan ini dapat dilakukan pada trauma
tumpul maupun tajam. Tindak bedah ini terdiri atas membuang jaringan
nonvital, mengikat pembuluh darah yang terbuka, dan menjahit kapsul lien yang

26
terluka. Jika penjahitan laserasi saja kurang memadai, dapat ditambahkan
dengan pemasangan kantong khusus dengan atau tanpa penjahitan omentum.
b. Splenektomi
Mengingat fungsi filtrasi lien, indikasi splenektomi harus dipertimbangkan
benar. Selain itu, splenektomi merupakan suatu operasi yang tidak boleh
dianggap ringan. Eksposisi lien sering tidak mudah karena splenomegali
biasanya disertai dengan perlekatan pada diafragma. Pengikatan a.lienalis
sebagai tindakan pertama sewaktu operasi sangat berguna. Splenektomi
dilakukan jika terdapat kerusakan lien yang tidak dapat diatasi dengan
splenorafi, splenektomi parsial, atau pembungkusan. Splenektomi parsial bisa
terdiri dari eksisi satu segmen yang dilakukan jika ruptur lien tidak mengenai
hilus dan bagian yang tidak cedera masih vital. Tapi splenektomi tetap
merupakan terapi bedah utama dan memiliki tingkat kesuksesan paling tinggi.
c. Splenosis
Splenosis adalah autotransplantasi jaringan lien setelah splenektomi
traumatik atau pembedahan. Splenosis biasanya terjadi setelah rupture akibat
trauma dari lien dan didefinisikan sebagai autotransplantasi jaringan lien
terhadap ectopic sites (bukan tempatnya). Paling sering terjadi sebagai nodul
intraperitoneal yang ditemukan baik kebetulan atau setelah ada gejala
komplikasi, dan mungkin akan menjadi jelas beberapa tahun setelah trauma.
Splenosis kebanyakan tanpa gejala yang menyebabkan dilakukannya investigasi
yang tidak perlu dalam rangka untuk membedakannya dari lesi jinak atau ganas
lainnya. Ketika terdapat pada beberapa tempat (dengan beberapa manifestasi)
yang terlibat, keadaannya menjadi lebih kompleks.
Splenosis terdapat pada satu hingga dua pertiga pasien yang menjalani
splenektomi karena trauma. Implantasi dari serpihan (bagian) lien paling sering
terjadi pada permukaan usus halus dan usus besar, omentum yang lebih besar,
peritoneum parietalis, mesenterium, dibawah permukaan diafragma, dan lebih
jarang dalam kasus-kasus trauma berat, terjadi pada intrahepatik atau bahkan
intrathoracic. Meskipun splenosis jarang dapat menimbulkan gejala sebagai
nyeri perut atau nyeri testis yang samar-samar, obstruksi usus karena adanya
perlengketan, perdarahan saluran cerna dan pecah spontan, biasanya hal tersebut
merupakan ditemukan secara tidak sengaja selama operasi, baik dengan

27
laparoskopi ataupun pencitraan. Jika kita telah mempertimbangkan splenosis,
tanda-tanda dari sisa jaringan limpa sebagai tidak adanya Howell-Jolly bodies,
siderocytes, Heinz bodies dan sel darah merah pada hapusan darah perifer dapat
membantu. Kesimpulannya, semua pasien dengan riwayat operasi atau trauma
limpa harus dipertimbangkan hipotesis splenosis dalam diagnosis diferensial
dari massa yang baru ditemukan.

Gambar 24. Gambar intraoperatif menampakkan massa kebiruan-merah besar dan


implan kecil dengan melibatkan beberapa permukaan peritoneum pelvis
menunjukkan jaringan limpa ektopik.

Sumber : Jorge C. Ribeiro, Carlos M. Silva, Americo R. Santos., 2006. Splenosis. A


Diagnosis to be Considered. International Braz J Urol Vol. 32 (6): 678-680,
November - December, 2006. Diakses dari
http://www.scielo.br/pdf/ibju/v32n6/v32n6a08.pdf

Splenosis adalah kondisi jinak yang umumnya terjadi setelah limpa pecah
melalui trauma atau operasi. Splenosis biasanya ditemukan kebetulan dan
biasanya tidak mempunyai gejala dan tidak ada terapi yang diindikasikan.
Namun, secara radiografi splenosis dapat menyerupai keganasan, dan
kebanyakan pasien harus menjalani berbagai macam pemeriksaan untuk
menentukan diagnosis penyakit yang dimilikinya. Metode diagnostik pilihan
adalah skintigrafi nuklear, khususnya, panas-yang memindai sel darah merah
rusak. Splenosis biasanya terjadi dalam rongga perut dan panggul, tetapi
beberapa pasien telah dilaporkan dengan lesi splenosis pada intrathoracic,
subkutan, intrahepatik dan intrakranial.

Pengangkatan lien dapat dilakukan pada kondisi berikut :

28
a. Pecahnya lien dalam kecelakaan karena lien tidak dapat dijahit karena
sangat vaskular dan rapuh oleh karena itu untuk menyelamatkan lien
pasien harus diangkat.
b. Pada penyakit kronis misalnya malaria, lien sangat membesar sehingga
menghasilkan ketidaknyamanan kepada pasien karena itu lien harus
diangkat.

Efek Pengangkatan Lien :


1. Sel darah merah harus benar-benar dihitung (seharusnya mengalami
peningkatan sel darah merah) karena penghancuran sel darah merah oleh
lien terhenti, tapi mengejutkan karena jumlah sel darah merah yang
dihitung akan sedikit berkurang yaitu anemia ringan.
2. Sel darah putih dan trombosit akan meningkat.
3. Mekanisme pertahanan oleh sistem kekebalan tubuh akan kurang.
4. Tidak akan ada pertahanan terhadap tetanus karena lien satu-satunya
tempat di mana ada kekebalan terhadap tetanus.
Seperti yang terlihat dari poin di atas setelah pengangkatan lien orang
dapat hidup normal, kecuali dia harus sangat berhati-hati terhadap infeksi
tetanus.

Overwhelming Post Splenectomy Infection


Pasien yang liennya telah diangkat merupakan pasien dengan risiko infeksi
yang signifikan, karena lien adalah jaringan limfoid terbesar dalam tubuh.
Infeksi postsplenectomy berat (OPSI) adalah proses fulminan serius yang
membawa tingkat kematian yang tinggi. Patogenesis dan risiko berkembangnya
infeksi postsplenectomy berat (OPSI) yang fatal tetap tidak jelas.

Gejala Infeksi Postsplenectomy Berat (OPSI)


King dan Shumacker pertama kali mendeskripsikan sepsis akibat bakteri
setelah splenektomi pada bayi dan anak-anak pada tahun 1952. Kemudian
muncul bahwa sindrom ini setara terjadi pada orang dewasa asplenic. Gejala
yang tidak spesifik dan gejala fisik ringan postsplenectomy muncul pada tahap
awal OPSI, yang meliputi kelelahan, kulit menjadi berwarna, penurunan berat
badan, sakit perut, diare, sembelit, mual, dan sakit kepala. Pneumonia dan
meningitis concomitants sering lebih parah. Perjalanan klinis menjadi cepat dan

29
dapat berkembang menjadi koma dan kematian dapat terjadi dalam waktu 24
sampai 48 jam, karena tingginya insiden shock, hipoglikemia, serta asidosis
yang ditandai dengan gangguan elektrolit, distress pernapasan, dan koagulasi
intravaskular diseminata. Angka kematian adalah 50% -70% meskipun dengan
terapi agresif yang mencakup cairan infus, antibiotik, vasopressor, steroid,
heparin, Packed Red Cell (PRC), trombosit, cryoprecipitates, dan Fresh Frozen
Plasma (FFP). Perjalanan klinis kemudian sering disebut cermin dari sindrom
Waterhouse-Friderichsen (WFS), dan perdarahan adrenal bilateral dapat
ditemukan pada otopsi. Mekanisme yang menghubungkan splenektomi untuk
WFS tidak diketahui tetapi kemungkinan penyebab OPSI termasuk hilangnya
fungsi fagositik lien, penurunan kadar imunoglobulin serum, penekanan
kepekaan limfosit, atau perubahan dalam sistem opsonin.

Tabel 2. Manifestasi Klinis Infeksi Post splenectomy Berat (OPSI)


Infeksi samar (cryptic) (fokus tidak jelas)
Prodromal singkat, tidak spesifik
Bakteremia massif dengan organisme berkapsul
Shock septic dengan koagulasi intravaskular diseminata (DIC)
Virulensi: kematian 50% sampai 70%
Kematian terjadi kemudian dalam 24 hingga 48 jam
Sumber : Okabayashi, T., Hanazaki, K., 2008, Diakses dari www.wjgnet.com
Infeksi postsplenectomy berat telah didefinisikan sebagai septikemia dan /
atau meningitis, biasanya fulminan tetapi belum tentu fatal, dan terjadi setiap
saat setelah pengangkatan lien. Sepsis pada pasien asplenic dapat disebabkan
oleh organisme apapun, baik itu bakteri, virus, jamur, atau protozoa, namun
organisme yang berkapsul sering berhubungan dengan sepsis pada pasien
dengan pengangkatan lien. Organisme yang berkapsul seperti Streptococcus
pneumoniae sangat resisten terhadap fagositosis, tapi dengan cepat diatasi
dengan adanya atau bahkan dengan sejumlah kecil jenis-antibodi spesifik. Tanpa
lien, produksi antibodi segera terhadap antigen yang baru ditemui terganggu dan
bakteri dapat berkembang biak cepat. Oleh karena itu, risiko penyakit
pneumokokus invasif pada pasien tanpa lien adalah 12-25 kali lebih besar dari

30
populasi pada umumnya. Penyakit invasif pada pasien asplenic karena
organisme yang berkapsul seperti Streptcoccus pneumoniae (50% -90%),
Neisseria meningitides, Hemophilus influenzae, dan Streptococcus pyogens
(25%) menyebabkan pertumbuhan bakteri yang berlebihan tanpa hambatan.

11. DIAGNOSIS BANDING


Pada kebanyakan kasus, diagnosis ruptur lien tidaklah sulit. Bagaimanapun
juga, ahli radiologi harus waspada terhadap proses trauma yang memungkinkan
terjadinya trauma lien.
a. Benda Asing
Terkadang, bahan yang dimasukkan secara iatrogenic dapat menimbulkan
gambaran ruptur lien pada CT scan. Pada kebanyakan pusat trauma,
dilakukan pemasangan NGT, dan bahan kontras dimasukkan secara oral
sebelum pemeriksaan CT scan. Artefak dan bahan yang tak tembus sinar
dari NGT dan bahan kontras dapat menutupi lien dan menimbulkan
kebingungan. Bahan yang tidak tembus sinar dari iga dan artefak dari air
fluid level dari lambung dapat juga menimbulkan hasil positif palsu.
Gabungan dari efek-efek ini, ditambah dengan scan yang berkualitas buruk
dan besarnya ukuran pasien, sering terjadi pada praktek sehari-hari.
b. Hematom
Pada derajat tertentu, hemoperitoneum selalu mengikuti terjadinya trauma
lien, kecuali jika bagian subkapsular intak. Walaupun begitu, tidak semua
cairan intra abdomen merupakan hematom. Ahli radiologi harus berhati-
hati dalam mengasumsikan bahwa trauma lien adalah penyebab adanya
cairan dalam abdomen atau di sekitar lien. Kebanyakan trauma tumpul lien
terlihat pada anak-anak yang ditabrak oleh kendaraan bermotor, kejadian
yang berhubungan dengan jatuh, atau pengendara kendaraan bermotor yang
mengalami kecelakaan. Kemungkinan terbesar terjadinya positif palsu pada
kecelakaan kendaraan bermotor adalah karena pasien cenderung tua dan
telah memiliki penyakit sebelumnya.
c. Akumulasi cairan
Penyakit hati, pankreas, ginjal, dan kolon bagian kiri dapat menuju pada
akumulasi cairan pada bagian bawah lien. Penyebab lain yang dapat
menyebabkan akumulasi cairan tidak boleh dilupakan, termasuk adanya
keganasan abdomen yang tidak terdiagnosis dengan asites dan dialisis

31
peritoneal. Walau banyak keadaan ini tidak mungkin terjadi, kesempatan
untuk memperoleh informasi dari pasien mungkin tidak ada. Pada
kebanyakan kecelakaan kendaraan bermotor, ada beberapa orang yang
terluka. Orang tua tidak dapat mentoleransi bahkan trauma kecil sekalipun,
dan keadaan hemodinamik mereka biasanya tidak sesuai dengan trauma
yang terlihat. Sebagai tambahan, banyak pasien trauma yang mengalami
kecelakaan tiba di rumah sakit setelah penggunaan alcohol dan obat-obatan.
Akibatnya pasien dibawa ke bagian radiologi dalam keadaan disedasi atau
diintubasi.
d. Kista
Banyak hal yang dapat mempengaruhi lien dan menimbulkan gambaran
laserasi atau hematom lien. Ada banyak etiologi kista lien yang telah
dilaporkan dalam literatur. Salah satu etiologi ini dapat menyebabkan
kesalahan diagnosis sebagai trauma lien, tapi biasanya tidak menimbulkan
hemoperitonium. Abses lien yang disebabkan oleh endokarditis bakterial,
infark lien, dan prosedur invasif dapat menyebabkan trauma lien, dan ini
dapat dihubungkan dengan cairan perilien. Lesi kistik yang menyerupai
trauma dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
Kongenital : Epidermoid.
Vaskular : Hematom, kista post trauma (80%), infark kistik, dan
peliosis.
Inflamasi : Abses piogenik, mikroabses jamur akibat Candida,
Aspergilus, atau Cryptococcus. Tuberculosis akibat Mycobacterium
avium intracellular, Pneumocytis carinii, atau Echinococcus. Dan
pseudokista pancreas.
Neoplasma : Hemangioma kavernosus, angiosarkoma, lienngioma,
dan metastasis (melanoma 50%).
e. Infark
Infark pada lien dapat menimbulkan gambaran trauma. Secara klasik,
infark dapat dibedakan dengan bentuk baji atau segitiga. Infark dapat
melebar dari batas luar dengan apeks menuju ke hilus lien. Lingkaran halus
parenkim normal dapat terlihat sepanjang batas luar. Walau infark tidak
meningkat, pada lingkaran luar mungkin dapat terlihat peningkatan karena
terdapatnya pembuluh darah. Pada USG dan CT scan, infark dapat disalah
artikan sebagai laserasi tanpa cairan perilien.
f. Keganasan

32
Tumor pada lien jarang terjadi. Kebanyakan tumor yang berhubungan
dengan lien adalah limfoma, yang mencakupi 70% dari lesi. Sebagai
tambahan, penyakit metastatik pada lien tidak jarang terjadi, dan
melanoma, kanker payudara, paru, ginjal, dan ovarium merupakan kanker
primernya. Proses ini terlihat hipoekoik pada USG dan hipodens pada CT
scan, dan dapat menimbulkan gambaran laserasi atau perdarahan
intraparenkim. Penyakit metastatik dapat berhubungan dengan asites yang
menimbulkan gambaran hemoperitoneum. Lesi serupa pada organ lain dan
limfadenopati muncul dan mengecualikan trauma.
g. Tumor jinak
Tumor jinak yang paling sering pada lien adalah hemangioma kavernosus.
Tumor ini dapat terlihat hiperekoik atau hipoekoik pada USG dan dapat
menimbulkan gambaran hematom dan darah yang tidak menggumpal.
Hemangioma terlihat hipodens pada CT scan. Lesi jinak dapat
menimbulkan gambaran hematom parenkim atau laserasi kecil jika dekat
perifer. Petunjuk untuk diagnosis yang benar adalah perbedaan pada batas
dan bentuk hemangioma dibandingkan dengan trauma. Kalsifikasi seperti
bentuk salju atau phlebolits jarang terjadi, tapi dapat dibedakan dengan
trauma. Hemangiomatosis lien difus adalah keadaan dimana lien membesar
dan digantikan hampir seluruhnya oleh hemangioma. Gambarannya terlihat
seperti trauma saat pertama terlihat.
h. Ruptur lien nontraumatik
Ruptur lien nontraumatik jarang terjadi, tapi telah dihubungkan dengan
beberapa proses penyakit. Ini dapat menimbulkan kebingungan, pertama
karena kelangkaannya dan kedua karena dugaan penyebab traumatik.
Pemeriksaan teliti terhadap gambar akan menuju kepada diagnosis yang
benar.
i. Sarkoidosis
Sarkoidosis adalah penyakit yang tidak diketahui etiologinya yang mana
granuloma muncul di jaringan dan organ terutama pada sistem limfatik.
Lien terlibat dalam 24-59% dari pasien dengan sarkoid, tapi biasanya
asimptomatik. Dapat juga menunjukkan gejala abdominal. Kasus berat
dapat menuju kepada hipersplenisme dan ruptur spontan tanpa etiologi
yang jelas. Pada kebanyakan kasus, lien terkena secara difus, dan
gambarannya dapat menyerupai limfoma. Splenomegali tampak pada

33
sekitar sepertiga kasus dan sering dihubungkan dengan limfadenopati.
Nodul hipodens yang terpisah tampak pada CT scan pada sekitar 15%
pasien.
j. Amiloidosis
Lien terlibat pada amiloidosis, penyakit dimana pada sel plasma terjadi
penumpukan amiloid, protein kompleks yang terbentuk terutama dari rantai
polipeptida, yang terjadi di berbagai jaringan dan organ. Amiloidosis dapat
terjadi secara primer ataupun sekunder, berhubungan dengan inflamasi
kronik (terutama arthritis reumatoid), dan terjadi berhubungan dengan
myeloma multiple. Lien terkena dalam berbagai bentuk amiloidosis dan
muncul secara difus dan homogen pada kebanyakan pasien. Ini dapat
terlihat pada CT scan dengan kontras, tapi abnormalitas focal yang dapat
menyerupai laserasi juga dapat terjadi. Ruptur lien spontan, yang diyakini
sebagai akibat kelemahan kapsul akibat penumpukan amiloid, telah
dilaporkan. Berkurangnya atenuasi pada organ yang terlibat dapat
membantu dalam membedakan amiloid dengan trauma
k. Infeksi
Bartonella adalah organism gram negatif awalnya dianggap terutama
menginfeksi pasien dengan HIV. Tapi, penelitian terkini telah menunjukkan
spesies Bartonella yang dapat menyebabkan penyakit catscratch. Dua
proses primer dari infeksi Bartonella, yang melibatkan hati dan lien disebut
bacillary peliosis hepatis. Secara patologis, basili ini menyebabkan dilatasi
kapiler, yang menyebabkan sejumlah kavitas berdinding tipis yang berisi
darah pada hati dan lien. CT scan abdomen menunjukkan adanya lesi
multiple pada hati dan lien dengan liendenopati dan kemunkinan asites.
Lesi dapat bergabung membentuk lesi multilokus atau berseptum. Ruptur
lien spontan telah dilaporkan pada pasien dengan bacillary peliosis hepatis.
l. Trauma sekunder
Proses-proses yang telah disebutkan di atas dapat menyebabkan ruptur lien,
yang menyebabkan derajat trauma. Lien yang membesar dengan massa
tumor atau anemia dapat terluka dengan trauma ringan seperti jatuh saat
berjalan. Hemangioma atau kista dapat ruptur dengan trauma ringan akibat
kelemahan pada kapsul. Kondisi-kondisi ini dihubungkan dengan
hemoperitonium atau perdarahan parenkim dan sulit dibedakan dengan
trauma lien.

34
12. PROGNOSIS
Hasil dari penatalaksanaan baik operatif ataupun nonoperatif dari ruptur lien
penyembuhan 90% lebih baik pada pasien yang ditatalaksana secara nonoperatif.
Angka kematian yang berhubungan dengan trauma lien berkisar antara 10%
hingga 25% dan biasanya akibat trauma pada organ lain dan kehilangan darah
yang banyak.

B. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN


1. Pengkajian Keperawatan
Pengkajian adalah langkah awal dan dasar dalam proses keperawatan secara
menyeluruh. Pengkajian kegawatdaruratan pada kasus trauma abdomen : ruptur
lien, yaitu :
a. Primary Survey
A : Airway : Tidak ada obstruksi jalan nafas
B : Breathing (pernapasan) : Ada dispneu, penggunaan otot bantu napas
dan napas cuping hidung.
C : Circulation (sirkulasi) : Hipotensi, perdarahan , adanya tanda Bruit
(bunyi abnormal pd auskultasi pembuluh darah, biasanya pd arteri karotis),
tanda Cullen, tanda Grey-Turner, tanda Coopernail, tanda
balance.,takikardi,diaforesis
D : Disability (ketidakmampuan ) : Nyeri, penurunan kesadaran, tanda
Kehr
E : Exposure : Terdapat jejas ( trauma tumpul atu trauma tajam) pada
daerah abdomen tergantung dari tempat trauma

b. Secondary Survey
1) Riwayat Penyakit
a) Nyeri di RUQ ,hipokondria atau region epigastrik (cedera pada
hati)
b) Nyeri pada kuadran kiri atas (LUQ ), tanda Kehr (nyeri pada
kuadran kiri atas yang menjalar ke bahu kiri) pada cedera limfa
c) Nyeri pada area epigastrik atau bagian belakang, mungkin
asimptomatik kecuali terdapat peritonitis, tanda mungkin tidak
ditemukan sampai 12 jam setelah cedera pada cedera pancreas
d) Nyeri pada abdomen ,mual dan muntah pada cedera usus
e) Mekanisme cedera trauma tumpul atau tajam

2) Riwayat Medis

35
a) Kecenderungan terjadi pendarahan
b) Alergi
3) Pemeriksaan Fisik
Inspeksi :
Adanya ekimosis
Adanya hematom
Auskultasi :
Menurun/tidak adanya suara bising usus
Palpasi :
Pembengkakan pada abdomen
Adanya spasme pada abdomen
Adanya masa pada abdomen
Nyeri tekan
Perkusi :
Suara dullness

2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
a. Nyeri b/d agen cedera fisik
b. Ketidakefektifan pola nafas b/d tekanan pada organ paru
c. Risiko ketidakseimbangan elektrolit b/d disfungsi pengaturan
endokrin
d. Resiko infeksi b/d peningkatan sel darah putih

3. INTERVENSI
No Tujuan Tujuan Intervensi
Dx
1. Nyeri akut Setelah dilakukan asuhan NIC : Pain Management
keperawatan selama 2 x 24 Nursing Activities :
jam, diharapkan pasien dapat Definisi : perubahan atau
mengenal dan mengontrol pengurangan nyeri ke
nyeri dengan kriteria hasil: tingkat kenyamanan yang
dapat diterima pasien
NOC Label: Intervensi:
a. Pain level (level nyeri): 1. Berikan KIE tentang
- Klien tidak melaporkan penyebab nyeri yang
adanya nyeri dirasakan klien
1 2 3 4 5 2. Kaji secara menyeluruh
- Klien tidak merintih tentang nyeri, meliputi:
ataupun menangis lokasi, karakteristik,
1 2 3 4 5 waktu kejadian, lama,

36
- Klien tidak menunjukkan frekuensi, kualitas,
ekspresi wajah terhadap intensitas/beratnya nyeri,
nyeri dan faktor-faktor
1 2 3 4 5 pencetus.
- Klien tidak tampak 3. Ajarkan penggunaan
berkeringat dingin teknik non-farmakologi
1 2 3 4 5 (ex: relaksasi, terapi
1 musik, distraksi)
2
b. Pain control (kontrol
nyeri):
- Klien dapat mengontrol
nyerinya dengan
menggunakan teknik
manajemen nyeri non
farmakologis
1 2 3 4 5
- Klien dapat menggunakan
analgesik sesuai indikasi
1 2 3 4 5
- Klien melaporkan nyeri
terkontrol
1 2 3 4 5

Keterangan:
Skala 1: tidak pernah dilakukan
Skala 2: jarang dilakukan
Skala 3: dilakukan kadang-
kadang
Skala 4: sering dilakukan
Skala 5: selalu dilakukan
2. Ketidakefektifan pola nafas Setelah dilakukan tindakan NIC
keperawatan ..x.. jam Oxygen Therapy
diharapkan pola nafas pasien Bersihkan mulut,

37
teratur dengan kriteria : hidung dan secret
NOC : trakea
Pertahankan jalan
Respiratory status :
nafas yang paten
Ventilation
Siapkan peralatan
Respirasi dalam batas
oksigenasi
normal (dewasa: 16- Monitor aliran
20x/menit) oksigen
Irama pernafasan Monitor respirasi
teratur dan status O2
Kedalaman pernafasan Pertahankan posisi
normal pasien
Suara perkusi dada Monitor volume
normal (sonor) aliran oksigen dan
Retraksi otot dada
jenis canul yang
Tidak terdapat
digunakan.
orthopnea
Monitor keefektifan
Taktil fremitus normal
terapi oksigen yang
antara dada kiri dan
telah diberikan
dada kanan
Observasi adanya
Ekspansi dada simetris
Tidak terdapat tanda tanda
akumulasi sputum hipoventilasi
Tidak terdapat Monitor tingkat
penggunaan otot bantu kecemasan pasien
napas yang kemungkinan
diberikan terapi O2
3. Risiko Ketidakseimbangan Setelah dilakukan asuhan Electrolyte Management
Elektrolit keperawatan selama ...x... jam Monitor gejala
kadar elektrolit seimbang ketidakseimbangan
dengan kriteria hasil : elektrolit.
Pertahankan kepatenan
NOC :
saluran intravena.
Electrolyte Balance
Menjaga intake dan
Nilai pemeriksaan natrium
output yang adekuat
1 2 3 4 5 Pertahankan cairan
Nilai pemeriksaan klorida elektrolit per intravena
1 2 3 4 5 dengan kecepatan

38
Nilai pemeriksaan kalsium konstan, secara tepat.
Atur elektrolit
1 2 3 4 5
tambahan.
Nilai pemeriksaan
Konsul dengan ahli
magnesium
dalam pemberian
1 2 3 4 5
medikasi elektrolit
Nilai pemeriksaan fosfat
secara tepat.
1 2 3 4 5 Ambil specimen untuk
Nilai pemeriksaan klorida analisis tingkat elektrolit
1 2 3 4 5 secara tepat.
Monitor banyak
Nilai pemeriksaan kalium
kehilangan cairan
1 2 3 4 5
elektrolit.
Konsul pada ahli jika
Ket :
tanda dan gejala dari
skala 1 = penyimpangan parah
cairan dan elektrolit
skala 2 = penyimpangan
tetap atau memburuk.
substansial
Electrolyte Monitoring
skala 3 = penyimpangan
Monitor faktor yang
sedang
berhubungan dengan
skala 4 = penyimpangan ringan
keseimbangan asam-
skala 5 = tidak ada
basa.
penyimpangan Identifikasi
kemungkinan penyebab
ketidakseimbangan
elektrolit.
Catat dan lapor
perubahan ketidak
seimbangan elektrolit.
Monitor kehilangan
cairan dan faktor yang
berhubungan dengan
kehilangan elektrolit,
secara tepat.
Monitor mual, muntah
dan diare.

39
Identifikasi pengobatan
yang dapat mengubah
status elektrolit seperti
GI suction, diuretic,
antihipertensitas, dan
Calsium channel
blocker.
Monitor pengobatan
yang mendasari penyakit
yang dapat
menyebabkan
ketidakseimbangan
elektrolit.
4. Resiko Infeksi Setelah dilakukan asuhan NIC :
keperawatan selama 2 x 24 Infection Control (Kontrol
jam, diharapkan pasien dapat infeksi)
mengatasi resiko infeksi : Bersihkan lingkungan
NOC Label: setelah dipakai pasien
a. Risk control lain
- Mencari informasi Pertahankan teknik
mengenai factor risiko isolasi
infeksi Batasi pengunjung bila
1 2 3 4 5 perlu
- Mengidentifikasi factor Instruksikan pada
risiko pengunjung untuk
1 2 3 4 5
- Monitor factor risiko mencuci tangan saat

lingkungan berkunjung dan setelah


1 2 3 4 5 berkunjung
- Monitor factor risiko
meninggalkan pasien
individu/ perseorangan Gunakan sabun
1 2 3 4 5
antimikrobia untuk cuci
Keterangan:
tangan
Skala 1: tidak pernah dilakukan Cuci tangan setiap
Skala 2: jarang dilakukan sebelum dan sesudah
Skala 3: dilakukan kadang- tindakan kperawtan

40
kadang Gunakanbaju,
Skala 4: sering dilakukan sarungtangan sebagai
Skala 5: selalu dilakukan alat pelindung
Pertahankan lingkungan

b. Knowledge: Infection aseptik selama

Management pemasangan alat


- cara penularan infeksi Ganti letak IV perifer
1 2 3 4 5 dan line central dan
- Mempraktikkan cara
dressing sesuai dengan
mencegah penularan
1 2 3 4 5 petunjuk umum
- Menjelaskan tanda dan Gunakan kateter

gejala infeksi intermiten untuk


1 2 3 4 5 menurunkan infeksi
- Melakukan pengobatan
kandung kencing
terhadap infeksi Tingktkan intake nutrisi
1 2 3 4 5 Berikan terapi antibiotik
- Follow up diagnose
bila perlu
infeksi
1 2 3 4 5
Keterangan: Infection Protection
Skala 1: tidak tahu (proteksi terhadap infeksi)
Skala 2: pengetahuan terbatas Monitor tanda dan gejala
Skala 3: pengetahuan sedang infeksi sistemik dan
Skala 4: pengetahuan lokal
Monitor hitung
substantial
granulosit, WBC
Skala 5: tahu detail
Monitor kerentanan
terhadap infeksi
Batasi pengunjung
Saring pengunjung
terhadap penyakit
menular
Partahankan teknik
asepsis pada pasien yang
beresiko
Pertahankan teknik
isolasi k/p

41
Berikan perawatan
kuliat pada area epidema
Inspeksi kulit dan
membran mukosa
terhadap kemerahan,
panas, drainase
Ispeksi kondisi luka /
insisi bedah
Dorong masukkan
nutrisi yang cukup
Dorong masukan cairan
Dorong istirahat
Instruksikan pasien
untuk minum antibiotik
sesuai resep
Ajarkan pasien dan
keluarga tanda dan
gejala infeksi
Ajarkan cara
menghindari infeksi
Laporkan kecurigaan
infeksi
Laporkan kultur positif

42
BAB 3
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Lien merupakan organ yang paling sering terluka pada trauma tumpul abdomen
atau trauma toraks bagian kiri bawah. Penyebab utamanya adalah cedera langsung
atau tidak langsung, yaitu kecelakaan atau kekerasan lain, iatrogenik ataupun spontan
pada penyakit lien.
Tanda-tanda trauma lien yaitu rudapaksa dalam anamnesis, tanda kekerasan di
pinggang kiri atau perut kiri atas, patah tulang iga kiri bawah, tanda umum
perdarahan (hipotensi, takikardi, anemia), tanda masa di perut kiri atas, tanda cairan
bebas di dalam rongga perut, dan tanda iritasi peritoneum lokal (kehr) atau iritasi
umum.
Pada foto abdomen mungkin tampak gambaran patah tulang iga sebelah kiri,
peninggian diafragma kiri, bayangan lien yang membesar, dan adanya desakan
terhadap lambung ke arah garis tengah. Pemeriksaan CT Scan, payaran
radionukleotida, atau angiografi jarang berguna pada keadaan darurat. Namun CT
Scan masih merupakan pemeriksaan pilihan utama karena sensitivitas pada CT Scan
tinggi.
Pada pemeriksaan akan tampak sebagai daerah yang kurang densitasnya
dibanding lien. Daerah hitam melingkar atau ireguler dalam lien menunjukkan
hematom atau laserasi, dan area seperti bulan sabit abnormal pada tepi lien
menunjukkan subkapular hematom. USG abdomen akan tampak hipoechoic pada
perdarahan akut, dan pada pemeriksaan angiografi akan tampak ekstravasasi agen
kontras ke parenkim lien.
Setelah diagnosis ditegakkan, trauma lien dapat ditatalaksana konservatif ataupun
dengan pembedahan. Pembedahan yang dapat dilakukan yaitu splenorafi dan

43
splenektomi. Splenektomi dilakukan jika terdapat kerusakan lien yang tidak dapat
diatasi dengan splenorafi.

B. SARAN
Diharapkan makalah ini dapat menambah pengetahuan tenaga medis khususnya
perawat mengenai konsep dasar penyakit dan konsep dasar asuhan keperawatan
kegawatdaruratan pada trauma abdomen khususnya ruptur lien.

DAFTAR PUSTAKA

Smeltzer, Suzanne C. 2001. Keperawatan Medikal-Bedah Brunner and Suddarth


Ed.8 Vol.3. : Jakarta: EGC.
R. Syamsuhidat, Wim de Jong. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah. Ed.2. Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarta. Hal 608-612.
Akram. Muhammad. 2014. Anatomi dan Fisiologi Lien. (online). Available :
https://www.scribd.com/doc/185718226/Anatomi-Dan-Fisiologi-Lien-docx#
(diakses tanggal 03 Oktober 2017 pukul 18.10 WITA)
Masyhuda, Irmawati. 2011. Referat Ruptur Lien. (online). Available :
https://www.scribd.com/doc/61137232/Referat-irma-ruptur-lien# (diakses
tanggal 03 Oktober 2017 pukul 18.18 WITA)
Karuniawati, Diah. 2013. Laporan Kasus Ruptur Lien. (online). Available :
https://www.scribd.com/document/261998133/Laporan-Kasus-Ruptur-Lien-
Diah-Karuniawati# (diakses tanggal 03 Oktober 2017 pukul 18.30 WITA)
Nickyun, Nicko. 2015. Pathway Trauma Tumpul Abdomen. (online). Available :
https://www.scribd.com/document/264041466/Pathway-trauma-tumpul-
abdomen# (diakses tanggal 03 Oktober 2017 pukul 18.45 WITA)
Lara, Dadahlia. 2017. WOC Trauma Abdomen. (online). Available :
https://www.scribd.com/document/338950572/WOC-Trauma-Abdomen#
(diakses tanggal 03 Oktober 2017 pukul 19.00 WITA)

44

You might also like