Professional Documents
Culture Documents
TRAUMATOLOGI
LAPORAN MODUL I SESAK NAPAS
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas berkah, rahmat dan hidayahNya sehingga kami dapat
menyelesaikan laporan modul I mengenai Sesak Nafas tepat pada waktunya. Laporan ini
merupakan hasil observasi dari Problem Based Learning yang telah kami jalani yang merupakan
sebuah metode pembelajar yang bertujuan melatih siswa untuk berpikir kritis dalam
menghadapi suatu kasus atau masalah.
Kami menyadari bahwa segala kesempurnaan hanya milik Allah, sehingga saran dan kritik yang
bersifat membangun untuk perbaikan laporan ini sangat kami harapkan.
Terima kasih kepada dr. Farsida, MPH yang telah membimbing kami pada modul I ini dan para
narasumber lain yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu, dan seluruh pihak yang ikut
terlibat dalam menyumbangkan segala aspirasi, tenaga, dan waktu sehingga laporan ini dapat
tersusun.
Penyusun
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I : PENDAHULUAN
BAB II : PEMBAHASAN
3.1 Kesimpulan
ii
BAB I
PENDAHULUAN
Modul sesak napas ini merupakan bagian dari Sistem Kegawatdaruratan dan Traumatologi
diberikan pada anda yang mengambil mata kuliah tersebut. TIU dan TIK untuk modul ini
disajikan pada permulaan buku agar anda dapat mengerti secara menyeluruh tentang semua
aspek sesak napas.
Modul ini membicarakan insiden, patofisiologi hipoksia, hiperkarbia dan asidosis yang terjadi
pada sesak napas baik pada trauma maupun non trauma. Modul ini terdiri dari dua scenario
yang menunjukkan beberapa symptom klinik yang bisa ditemukan pada beberapa penyakit.
Diskusi bukan hanya difokuskan pada inti permasalahan tetapi juga akan dibicarakan semua hal
yang ada hubungannya dengan hal tersebut. Anda diharapkan mampu menjelaskan semua
aspek penilaian dan pengelolaan awal penderita sesak napas baik pada trauma maupun pada
yang non trauma.
Sebelum menggunakan buku ini, tutor dan mahasiswa harus membaca TIU dan TIK dengan
cermat, sehingga diharapkan diskusi tidak menyimpang dari tujuan, dan dapat dicapai
kompetensi minimal yang diharapkan. Peran tutor dalam mengarahkan tutorial sangat penting.
Bahan untuk diskusi bisa diperoleh dari bahan bacaan yang tercantum pada akhir setiap unit.
Informasi juga bisa diperoleh dari seorang ahli melalui kuliah atau pada pertemuan konsultasi
antara kelompok mahasiswa peserta diskusi dengan ahli yang bersangkutan. Konsultasi atau
kuliah pakar bisa diatur oleh mahasiswa dengan dosen yang bersangkutan.
Penyusun mengharapkan buku modul ini dapat membantu mahasiswa dalam memecahkan
masalah sesak napas pada trauma maupun non trauma yang akan disajikan pada sistem
selanjutnya.
Setelah selesai mempelajari modul ini, anda diharapkan dapat menjelaskan bagaimana
mengenal tanda-tanda kegawatan dan bagaimana cara memberikan tindakan yang cepat dan
tepat pada penderita sesak napas.
Seorang laki-laki usia 25 tahun dibawa ke Puskesmas dengan keluhan sesak napas penderita
terlihat pucat dan kebiruan. Nadi teraba cepat dan lemah.
1.5. Pertanyaan
1. Anamnesis yang seksama, sesak nafas pada penyakit paru, biasanya lebih bertahap,
sedangkan pada penyakit jantung lebih akut dan sering timbul pada malam hari (paroxysmal
nocturnal dyspnea). Sesak nafas yang timbul akibat aktifitas (dyspnea deffort), seringkali
sulit dibedakan pada waktu istirahat.
2. Pada pemeriksaan fisik, kadang-kadang tidak mudah membedakan sesak nafas kardiak dan
pulmonal, kecuali bila didapatkan tanda-tanda yang spesifik.
3. Brain Natriuretic Peptide (BNP), meningkat pada sesak nafas kardiak, dan tidak meningkat
pada sesak nafas pulmonal.
4. Tes fungsi paru, seringkali menunjukkan gambaran obstruktif atau restriktif pada kelainan
paru.
5. Ventricular performance : fraksi ejeksi ventrikel kiri, baik pada waktu istirahat atau
beraktifitas akan turun pada kelainan jantung.
2.2 Sebutkan dan jelaskan penyebab dari sesak napas pada scenario
2.3 Apa saja tanda dan gejala sesak napas yang dapat mengancam jiwa; jelaskan
mekanisme antar gejala di scenario
Mekanisme antar gejala
Tanda dan gejala yang menyertai gejala sesak napas karena trauma
2.4 Pemeriksaan apa pertama kali pada pasien dengan sesak napas
Sebagian besar negara didunia mengalami epidemi trauma tetapi peningkatan jumlah
yang tinggi terjadi di negara yang sedang berkembang. Penambahan jalan raya dan
penggunaan kendaraan bermotor menyebabkan laju jumlah korban dan kematian korban
trauma. Banyak fasilitas kesehatan di perifer tidak mampu menangani banyak korban
sekaligus dari kecelakaan yang melibatkan bis penumpang atau bencana lainnya. Luka
bakar yang berat juga banyak dijumpai didaerah kota maupun diluarnya.
Beberapa perbedaan besar antara negara-negara berpenghasilan tinggi dan yang rendah
Jauhnya jarak yang harus ditempuh korban untuk mencapai rumah sakit dengan
Tidak adanya tenaga kesehatan terdidik untuk menjalankan alat medik dan
merawatnya.
Tindakan pencegahan trauma sebenarnya adalah sarana yang paling murah dan paling
Budaya
Politik
Pelatihan
Setiap usaha harus dilakukan oleh tim medik trauma untuk mengarah kepada pencegahan
terjadinya trauma. Walaupun hal ini berada diluar lingkup buku ini akan dibicarakan juga
masalah-masalah yang ada di lingkungan saudara dan kemungkinan untuk
pencegahannya.
Pengelolaan trauma ganda yang berat memerlukan kejelasan dalam menetapkan prioritas.
Tujuannya adalah segera mengenali cedera yang mengancam jiwa dengan Survey
Primer, seperti :
Cedera abdomen
Jika ditemukan lebih dari satu orang korban maka pengelolaan dilakukan berdasar
prioritas (triage) Hal ini tergantung pada pengalaman penolong dan fasilitas yang ada.
Terapi dikerjakan serentak jika korban mengalami ancaman jiwa akibat banyak sistim
yang cedera :
Airway
Menilai jalan nafas bebas. Apakah pasien dapat bicara dan bernafas dengan bebas ?
Chin lift / jaw thrust (lidah itu bertaut pada rahang bawah)
Breathing
Menilai pernafasan cukup. Sementara itu nilai ulang apakah jalan nafas bebas.
Pernafasan buatan
Penilaian ulang ABC harus dilakukan lagi jika kondisi pasien tidak stabil
Sirkulasi
Menilai sirkulasi / peredaran darah. Sementara itu nilai ulang apakah jalan nafas bebas
Disability
Menilai kesadaran dengan cepat, apakah pasien sadar, hanya respons terhadap nyeri atau
sama sekali tidak sadar. Tidak dianjurkan mengukur Glasgow Coma Scale
AWAKE = A
RESPONS NYERI = P
Eksposure
Lepaskan baju dan penutup tubuh pasien agar dapat dicari semua cedera yang mungkin
ada. Jika ada kecurigaan cedera leher atau tulang belakang, maka imobilisasi in-line harus
dikerjakan.
Prioritas pertama adalah membebaskan jalan nafas dan mempertahankannya agar tetap
bebas.
1. Bicara kepada pasien
Pasien yang dapat menjawab dengan jelas adalah tanda bahwa jalan nafasnya bebas.
Pasien yang tidak sadar mungkin memerlukan jalan nafas buatan dan bantuan pernafasan.
Penyebab obstruksi pada pasien tidak sadar umumnya adalah jatuhnya pangkal lidah ke
belakang. Jika ada cedera kepala, leher atau dada maka pada waktu intubasi trakhea
2. Berikan oksigen dengan sungkup muka (masker) atau kantung nafas ( selfinvlating)
Suara berkumur
Sianosis
Waspada adanya benda asing di jalan nafas. Cara membebaskan jalan nafas diuraikan
pada Appendix 1
Apnea
Hipoksia
Trauma dada
Trauma wajah / maxillo-facial
. Sianosis
. Flail chest
. Sucking wounds
. Emfisema kulit
Tindakan Resusitasi
Jika ada distres nafas maka rongga pleura harus dikosongkan dari udara dan darah dengan
Catatan Khusus
jarum besar yang ditusukkan menembus rongga pleura sisi yang cedera. Lakukan
pada ruang sela iga kedua (ICS 2) di garis yang melalui tengah klavikula. Pertahankan
Jika intubasi trakhea dicoba satu atau dua kali gagal, maka kerjakan krikotiroidotomi.
Tentu hal ini juga tergantung pada kemampuan tenaga medis yang ada dan
kelengkapan alat.
SURVEI SEKUNDER
Bila sewaktu survei sekunder kondisi pasien memburuk maka kita harus kembali
Pemeriksaan dari kepala sampai ke jari kaki (head-to-toe examination) dilakukan dengan
perhatian utama :
Pemeriksaan kepala
Pemeriksaan leher
Emfisema subkutan
Deviasi trachea
Pemeriksaan neurologis
Pemeriksaan dada
Pasanglah pipa nasogastrik pada pasien trauma tumpul abdomen kecuali bila ada
trauma wajah
Pasang kateter kandung seni jika tidak ada darah di meatus externus
Cari adanya fraktura (pada kecurigaan fraktur pelvis jangan melakukan tes gerakan
Dada dan tulang leher (semua 7 ruas tulang leher harus nampak)
Tulang kepala untuk melihat adanya fraktura bila trauma kepala tidak disertai defisit
neurologis fokal
Tentukan dengan cepat adanya obstruksi total dengan sapuan jari (finger sweep) ke dalam
faring sampai belakang epiglotis. Jika tidak berhasil, lakukan Abdominal Thrust dalam keadaan
penderita berbaring.
b. Obstruksi Parsial
Obstruksi parsial bisa disebabkan berbagai hal. Biasanya korban masih bisa bernapas sehingga
timbul berbagai macam suara pada pemeriksaan listen, tergantung penyebabnya :
Cairan (Darah/Sekret)
Timbul suara gurgling (suara napas + suara cairan), bisa terjadi pada aspirasi akut.
Penatalaksanaan :
Penatalaksanaan :
Penatalaksanaan : Trakheostomi.
b. Breathing (Ventilasi)
Airway (jalan napas) yang baik tidak menjamin breathing (dan ventilasi) yang baik. Breathing
artinya pernapasan atau proses pertukaran oksigen dan karbon dioksida. Airway yang baik tidak
menjamin ventilasi yang baik. Ventilasi yang baik menggambarkan fungsi baik dari paru, dinding
thoraks dan diafragma. Pada saat pemeriksaan breathing dada korban harus dibuka untuk
melihat pernapasan yang baik. Dalam pemeriksaan breathing berpedoman pada :
1) Inspeksi
- Keadaan umum pasien tampak sesak dengan tangan menopang pada tempat tidur dengan
maksud supaya otot-otot bantu pernapasan dapat membantu ekspirasi, pernapasan cuping
hidung, tachypneu dan sianosis. Selain itu juga mungkin dapat didengar wheezing (ekspirasi
yang memanjang) dan bentuk dada barrel chest (terjadi pemanjangan diameter antero-
posterior disertai sela iga yang melebar dan sudut epigastrium yang tumpul). Keadaan ini bisa
dijumpai pada keadaan saluran napas yang menyempit seperti asma. Yang dapat dilakukan
memposisikan pasien pada posisi senyaman mungkin, biasanya posisi setengah duduk dan
diberi oksigen pada asma ringan. Sedangkan pada asma berat diberi bronkhodilator. Pada kasus
trauma stabilisasi penderita dilakukan pada posisi stabil dengan menggunakan bantuan oksigen
baik itu dengan endotracheal tube ataupun dengan ventilator. Indikasi pemberian oksigen
antara lain :
2) Palpasi
Palpasi dilakukan untuk memperlihatkan kelainan dinding dada yang mungkin mengganggu
ventilasi berupa adanya ekspansi dada dan posisi apex jantung. Apex jantung berubah dapat
disebabkan dorongan oleh kelainan mediastinum, efusi pleura dan lain-lain. Yang dinilai pada
palpasi :
Perkusi dilakukan untuk menilai adanya udara atau darah dalam rongga pleura. Suara perkusi
yang normal adalah sonor. Suara perkusi redup, pekak, hipersonor atau timpani menandakan
adanya kelainan pleura atau paru.
Perkusi yang pekak (dullness percussion, stone dullness) misalnya pada hemothorax.
Penanganannya dengan WSD (Water Seal Drainage) pada ICS V atau VI.
Perkusi yang hipersonor ditemukan misalnya pada Pneumothorax.
Perkusi inilah yang biasanya membantu membedakan Pneumothorax dan Hemotrax selain
foto thorax. Dalam melakukan perkusi hendaknya selalu membandingkan tempat yang sehat
dan lesi (dari atas ke bawah; dari medial ke lateral).
4) Auskultasi
Auskulatasi dilakukan untuk memastikan masuknya udara ke dalam paru. Pada keadaan normal
didapatkan napas bronchial pada trachea, napas bronchovesikuler di daerah intraclaviculer,
suprasternal dan interscapular. Sedangkan suara napas vesikuler di luar lokasi diatas. Bila
didapatkan suara napas bronchial/ bronchovesikuler pada lokasi yang seharusnya vesikuler,
menandakan adanya suatu kelainan pada tempat tersebut.
Suara napas vesikuler yang melemah menandakan adanya halangan hantaran suara ke dinding
dada misalnya efusi pleura, pneumothorax dan hemotrax.
Suara wheezing, menciut (highed pitch) misalnya pada asma dan gagal jantung.
Ronchi halus dan sedang dapat disebabkan oleh cairan misalnya pada pneumonia dan edema
paru.
Bunyi berkurang/menghilang menunjukkan adanya cairan/udara dalam rongga pleura/ kolaps
paru.
Bunyi napas bernada tinggi misalnya pada Tension Pneumothorax.
Bunyi rub misalnya pada peluritis, infark paru dan lain-lain.
Setelah evaluasi breathing dan hasilnya baik, harus periksa kembali Airway sebelum
melanjutkan ke Circulation. Bila tiba-tiba pasien henti napas maka pernapasan buatan bisa
dengan :
c. Circulation
Hal yang dinilai pada pemeriksaan sirkulasi adalah status hemodinamik dari pasien.
Pemeriksaan tersebut dilakukan dengan melihat ada tidak perdarahan, pemeriksaan tekanan
darah dan nadi (tanda vital). Juga perhatikan ada tidak tanda-tanda syok seperti hipotensi,
pucat, berkeringat, akral dingin, dan perubahan status mental.
Bila ada tanda-tanda syok tersebut maka segera posisikan pasien dengan posisi Trendelenberg
untuk menjamin sirukulasi ke otak. Kemudian segera pasang infus untuk memasukkan cairan
intravena sesuai dengan indikasi. Bila ada perdarahan eksternal yang nyata maka segera
hentikan perdarahan tersebut dengan kompresi atau penekanan langsung di tempat
perdarahan atau bebat tekan. Kontrol perdarahan ini diperlukan agar status hemodinamik
pasien tidak semakin memburuk.
Setelah tindakan tersebut dilakukan maka evaluasi kembali keadaan pasien mulai dari tindakan
yang pertama yaitu Airway atau jalan napas, Breathing atau pernapasan dan Circulation atau
sirkulasi. Juga evaluasi tindakan yang telah kita lakukan.
Pada skenario kasus tampak nadi pasien lemah dan pucat. Keadaan ini menunjukkan bahwa
pasien mengalami gejala awal dari syok. Untuk itu tindakan sirkulasi perlu kita lakukan.
Tindakan yang dilakukan adalah membaringkan pasien dengan posisi kaki lebih tinggi dari
kepala untuk menjamin sirkulasi ke otak tetap baik. Kemudian masukkan cairan intravena/infus.
Cairan yang dapat diberikan adalah kristalloid dimana cairan ini relatif mudah ditemukan di
puskesmas dan relatif murah.
Disability adalah penilaiaan status neurologis atau penggunaan obat-obatan resusitasi. Status
neurologis meliputi : GCS (Lihat Tabel).
Variabel Nilai
Spontan 4
Tidak Ada 1
Menuruti Perintah 6
Melokalisir Nyeri 5
Ekstensi Abnormal 2
Tidak Ada 1
Berorientasi 5
Bicara Membingungkan 4
Tidak ada 1
e. Environment
Dalam environment kita melakukan penilaian head to toe, untuk mengetahui adanya cedera
lain yang nampak dengan melepas semua pakaian yang melekat, cegah jangan sampai pasien
hipotensi, asidosis, dan koagulopati, yang merupakan Trias of Death.
f. ABC RJP
ABC RJP yang dilakukan pada korban dengan henti jantung dapat memberikan kemungkinan
hasil :
Korban/pasien menjadi sadar kembali.
Korban/pasien dinyatakan mati.
Korban/pasien belum dapat dinyatakan mati dan belum timbul denyut jantung spontan.
Dalam hal ini perlu diberi pertolongan lebih lanjut (bantuan hidup lanjut).
Denyut lanjut spontan timbul, tetapi korban/pasien belum pulih kesadarannya. Ventilasi
spontan bisa ada atau tidak.
Selain kompresi dada luar, yang juga termasuk bantuan sirkulasi adalah penghentian
perdarahan dan penentuan posisi untuk mengatasi syok, yaitu dengan meletakkan kepala lebih
rendah daripada kaki.
Bantuan Hidup Lanjut (Advanced Lie Support)
Bantuan hidup lanjut (BHL) bertujuan melalui kembali sirkulasi spontan dan mempertahankan
sistem jantung paru dengan cara memulihkan transport oksigen arteri mendekati normal. BHL
diberikan setelah dilakukan ABC RJP an belum timbul denyut jantung spontan. Yang termasuk
dalam BHL adalah DEF RJP, yaitu : Drugs Fluids Intravenous Infusion (pemberian obat-obatan
dan cairan melalui infus intravena tanpa menunggu hasil EKG).
Cara menstabilkan penderita sesak napas karena trauma
Penstabilan pasien trauma bertujuan untuk mengurangi resiko penderita menjadi lebih buruk
dengan jalan stabilitasi yang benar. Sehingga dapat melakukan transportasi yang aman.
4. Diagnosis banding
a. Trauma
Obstruksi Benda Asing
Pneumothoraks
b. Non Trauma
Asma
Keracunan
2.6 Bagaimana cara menstabilkan penderita sesak napas yang disebabkan oleh trauma
Proses untuk menjaga kondisi dan posisi penderita / pasien agar tetap stabil selama
pertolongan pertama
1. Menjaga korban supaya tidak banyak bergerak sehubungan dengan keadaan yang
dialaminya
4. Menjaga agar tingkat kesadaran korban tidak jatuh pada keadaan yang lebih buruk lagi
5. Menjaga agar posisi patah tulang yang telah dipasang bidai tidak berubah
Pertahankan posisi pasien tetap datar
selama diangkat
Imobilisasi fraktur
Analgesia
2.7 Bagaimana tindakan awal penanganan jalan napas pada penderita sesak napas
dengan menggunakan alat dan tanpa alat
Tetapkan apakah jalan napas berada dalam keadaan bebas dan terlindung, terancam atau
mengalami sumbatan parsial atau total. Jalan napas yang bebas merupakan prioritas utama.
Prorteksi terhadap aspirasi hanya bersifat relative, tindakan terpenting yang perlu dilakukan
adalah penilaian awal dan penanganan kondisi pernapasan dan sirkulasi pada pasien
a. Inspeksi dan dengar aliran udara naoas, frekuensi, serta dalamnya pernapasan (pada
mulut dan hidung, pergerakan dinding dada, atau adanya tarikan trakea (tracheal
tug))
b. Dengarkan adanya suara napas yang abnormal (suara mendeguk (gargling),
mendengkur (snoring), tersedak (choking), batuk, stridor, mengi (wheezing))
c. Nilai suara pasien dan kualitasnya (lemah, terdengar kesakitan, serak)
d. Tentukan tingkat kesadaran pasien (menggunakan GCS)
e. Inspeksi mulut untuk mencari benda asing
f. Uji kekuatan otot rahang, mulut, dan otot-otot orofaring
g. Uji refleks muntah
h. Palpasi daerah maksilofasial dan leher (adanya pembengkakan, deformitas,
emfisema subkutis)
a. Posisi Koma
Baringkan pasien pada sisi samping. Pada posisi ini lidah akan jatuh ke depan dan ke satu sisi
sehingga cairan dari dalam mulut dapat mengalir keluar sehingga mengurangi risiko aspirasi.
Apabila diperlukan, suction dan laringoskopi dapat dilakukan dengan pasien dalam posisi
Trendelenburg lateral kiri.
Ekstensikan kepala pada sendi atlanto-oksipital dengan meletakkan satu tangan pada dahi.
Perasat ini biasanya dikombinasi dengan perasat mengangkat dagu (chin lift) atau mendorong
rahang (jaw thrust).
Angkat rahang bawah dan topang dengan mulut pasien dalam keadaan sedikit terbuka.
Pegang angulus mandibularis dan angkat ke arah depan. Jaw thrust yang dilakukan dengan baik
dapat meminimalkan head tilt yang dibutuhkan untuk mengamankan jalan napas pada pasien
yang dicurigai mengalami cedera tulang belakang leher.
e. Neck Lift
Angkat leher ke sniffing position. Perasat ini kurang efektif dibandingan perasat head tilt/chin
lift atau head tilt/jaw thrust. Dikontraindikasikan pada cedera vertebra servikalis.
2.8 Kapan terapi oksigen dapat diberikan pada pasien dan berapa persen jumlah
pemberian
Terapi oksigen adalah pemberian oksigen dgn konsentrasi yang lebih besar daripada udara
ruang untuk mencegah hipoksemia.
Indikasi pemberian oksigen harus jelas . Oksigen yang diberikan harus diatur dalam jumlah yang
tepat dan harus dievaluasi agar dapat manfaat terapi
Curah jantung yang rendah dan asidosis metabolic (bikarbonat <18 mmol/L)
PaO2 istirahat 55-59 mmHg dengan saturasi oksigen 89% pada salah satu keadaan:
Jumlah pemberiannya
1. Jika pemberiannya menggunakan nasal canul
O2 kanul 3L/menit
Jwb :
3L x 4(Konstanta) = 12 %
Jwb :
8L x 4(Konstanta) = 32%
Intubasi Endotrakeal
Intubasi endotrakeal merupakan cara yang paling efektif dan handal untuk
mengamankan jalan napas. Metode ini menjamin patensi jalan napas, mencegah aspirasi,
memastikan oksigenasi yang baik, dan memungkinkan pemberian ventilasi tekanan tinggi dan
positive end-expiratory pressure (PEEP). Suctioning dapat dilakukan dengan mudah; obat-
obatan juga dapat diberikan melalui selang endotrakeal apabila tidak terdapat akses intravena.
DEFINISI
Intubasi endotrakheal adalah tindakan untuk memasukan pipa endostracheal kedalam trachea.
Tujuannya adalah pembebasan jalan nafas, pemberian nafas buatan dengan bag and mask,
pemberian nafas buatan secara mekanik ( respirator )memungkinkan pengisapan secret secara
adekuat, mencegah aspirasi asam lambung dan pemberian oksigen dosis tinggi.
TUJUAN
Tujuannya adalah pembebasan jalan nafas, pemberian nafas buatan dengan bag and mask,
pemberian nafas buatan secara mekanik ( respirator )memungkinkan pengisapan secret secara
adekuat, mencegah aspirasi asam lambung dan pemberian oksigen dosis tinggi.
INDIKASI
d. Pemberian anestesi seperti pada operasi kepala, mulut, hidung, tenggorokan, operasi
abdominal dengan relaksasi penuh dan operasi thoracotomy.
JENIS INTUBASI
a. Intubasi oral
-Keuntungan : lebih mudah dilakukan, bisa dilakukan dengan cepat pada pasien dalam keadaan
emergency, resiko terjadinya trauma jalan nafas lebih kecil.
-Kerugian : tergigit, lebih sulit dilakukan oral hygiene dan tidak nyaman.
b. Intubasi nasal
-Keuntungan : pasien merasa lebih enak/ nyaman, lebih mudah dilakukan pada pasien sadar,
tidak akan tergigit
-Kerugian : pipa ET yang digunakan lebih kecil, pengisapan secret lebih sulit, dapat terjadi
kerusakan jaringan dan perdarahan, dan lebih sering terjadi infeksi ( sinusitis )
KOMPLIKASI
a. Ringan : Tenggorokan serak, kerusakan pharyng, muntah, aspirasi, gigi copot/ rusak.
b. Serius : Laryngeal edema, obstruksi jalan nafas, rupture trachea, perdarahan hidung,
fistula trcheoesofagal granuloma, memar, laserasi akan terjadi dysponia dan dyspagia, bradi
kardi, aritmia, sampai dengan cardiac arrest.
Penyulit :
a. Leher pendek
b. Fraktur servical
e. Trismus
1. Persiapan pasien.
2. Persiapan alat.
b. Laryngoscope lengkap dengan blade sesuai ukuran pasien dan lampu harus menyala
dengan terang
g. Stilet/ mandarin
h. Magyll forcep
j. Stethoscope
PROSEDUR
a. Mencuci tangan
l. Anastesi daerah laring dengan xillocain spray ( bila kasus emergency tidak perlu
dilakukan )
q. Foto thoraks
PERAWATAN INTUBASI
b. Gunakan oropharing air way ( guedel )pada pasien yang tidak kooperatif
j. Lakukan suction setiap fisioterapi nafas dan sewaktu-waktu bila ada suara lender
m. Lakukan foto thorak segera setelah intubasi dan dalam waktu-waktu tertentu
Krikotiroidotomi
Krikotirodotomi merupakan tindakan penyelamat pada pasien dalam keadaan gawat napas.
Dengan cara membelah membrane krikotiroid untuk dipasang kanul. Membrane ini terletak
dekat kulit, tidak terlalu kaya darah sehingga lebih mudah dicapai. Tindakan ini harus dikerjakan
cepat walaupun persiapannya darurat (Hadiwikarta, dkk, 2010)
a. Needle cricothyroidotomy
b. Surgical cricothyroidotomy
Pada surgical cricothyroidotomy, dokter dan tim medis lainnya membuat insisi melewati
membran krikoid sampai ke trakea dengan tujuan memasukkan pipa untuk ventilasi pasien.
Teknik Krikotirodotomi
Pasien tidur telentang dengan kepala ekstensi pada artikulasio atlanto oksipitalis. Puncak tulang
rawan tiroid (Adams apple) mudah diidentifikasi difiksasi dengan jari tangan kiri. Dengan
telunjuk jari tangan kanan tulang rawan tiroid diraba ke bawah sampai ditemukan kartilago
krikoid. Membrane krikotiroid terdapat diantara kedua tulang rawan ini. Daerah ini diinfiltrasi
dengan anestetikum kemudian dibuat sayatan horizontal pada kulit. Jaringan dibawah sayatan
dipisahkan tepat pada garis tengah. Setelah tepi bawah kartilago tiroid terlihat, tusukkan pisau
dengan arah ke bawah. Kemudian, masukkan kanul bila tersedia. Jika tidak, dapat dipakai pipa
plastic untuk sementara.
Krikotirodotomi merupakan kontraindikasi pada anak dibawah 12 tahun, demikian juga pada
tumor laring yang sudah meluas ke subglotik dan terdapat laryngitis. Stenosis subglotik akan
timbul bila kanul dibiarkan terlalu lama karena kanul yang letaknya tinggi akan mengiritasi
jaringan-jaringan disekitar subglotis, sehingga terbentuk jaringan granulasi dan sebaiknya
segera diganti dengan trakeostomi dalam waktu 48 jam.
Indikasi
- gagal intubasi, tidak terjadi ventilasi, atau pasien tidak bias tenang terhadap
pemasangan alat bantu nafas.
Kontraindikasi
Kontrainsokasi relative :
Tumor laring
Anak usia < 8 tahun karena anatomi kecil dan jaringannya sangat lembut
Gangguan perdarahan
Komplikasi
Komplikasi dari krikotiroidotomi :
Gagal napas
Emfisema subkutis
Infeksi
Perforasi esophageal
Mediastinitis
Pneumotoraks
Pneumomediastinum
Trauma laring
Stoma persisten
Stenosis subglotik
Trakeostomi
Trakeostomi adalah prosedur operatif dengan membuat lubang untuk bernapas pada dinding
depan trakea. Trakeostomi menurut letak yaitu letak yang tinggi dan letak yang rendah dan
batasnya adalah cincin trakea ketiga. Trakeostomi menurut waktu yaitu trakeostomi darurat
dan trakeostomi berencana.
Indikasi Trakeostomi
- Elektif: trakesotomi dilakukan untuk mempertahankan aliran udara saat saluran napas
atas tidak dapat dilakukan
Prosedur Trakeostomi
- Pinset anatomi
- Haak tumpul yang kecil, klem arteri (hemostat) lurus & bengkok
- Kanul trakea
- Forceps.
Kanul Trakheostomi
Terdiri dari 3 bagian yaitu kanul luar, kanul dalam dan abturator. Kanul dalam dapat ditarik
untuk dapat dibersihkan dalam waktu yang singkat. Obturator hanya digunakan sebagai
penuntun untuk kanul luar dan dicabut kembali setelah kanul luar masuk pada tempatnya.
Bentuk-bentuk kanul dapat pula bervariasi sesuai dengan jenis dan kegunaannya masing-
masing.
Jenis-jenis Kanula :
-Kanul Metal
-Kanul Plastik
Penderita tidur terlentang dengan posisi kepala lebig tingga daripada kaki untuk mengurangi
tekanan aliran balik vena. Kulit daerah leher dibersihkan secara asepsis dan antisepsis dan
ditutup dengan kain kasa steril.
Insisi horisontal direkomendasikan pada trakheostomi elektif. Insisi kulit dilakukan pada daerah
landmark sepanjang 5 cm,yaitu cincin ke-2 dan ke-4. Ikatan-ikatan otot dipisahkan selapis
demi selapis dan dijauhkan satu sama lain dengan dua penarik kecil samapi cincin trachea
tampak Isthmus ini bisa diretraksi maka dapat ditarik ke atas dan ke bawah menjauhi lapangan
trakheostomi.
Irisan trakhea dilakukan pada jajaran setinggi cincin kedua dan ketiga. Kanul trakheostomi
disesuaikan dengan diameter dari lumen trakhea dan panjangnya disesuaikan dengan panjang
trakhea. Setelah kanul terpasang, dilakukan fiksasi berupa pengikatan dari kanul dan diikatkan
disisi leher.
Trakheostomi Darurat
Indikasi: kondisi pasien sangat berat berupa hipoksia yang semakin menghebat dimana tidak
ada waktu untuk trakheostomi terencana dan fasilitas untuk intubasi endoktrakhea dan
pemasukkan bronkhoskopi tidak memungkinkan.
Teknik dari trakheostomi darurat berbeda dari trakheostomi terencana, yaitu insisi dilakukan
secara vertikal.
Teknik trakheostomi pada anak prinsipnya sama dengan pada orang dewasa. Anak harus lebih
hati-hati karena anatomi leher anak sedikit berbeda. Diperlukan pula suatu ventilasi control
dengan masker.
- Foto dada segera dilakukan dan 48 jam kemudian untuk melihat komplikasi lambat yang
mungkin ada.
- Aspirasi teratur harus dilakukan dalam beberapa hari segera setelah operasi
Komplikasi
Immediate
- Perdarahan
- Trauma pada struktur dekat trachea, seperti esophagus, n.laringeal rekurens dan pleura.
Intermediate.
- Erosi trachea dan perdarahan
- Emfisema subkutan
Late
- Fistel trakheaosofagus
Dekanulasi
Pastikan bahwa penyakit yang mendasari tindakan trakeostomi telah teratasi. Penutupan kanul
trakeostomi dilakukan secara bertahap. Mulai dari bagian stoma/lubang, bagian dan
terakhir ditutup penuh, atau dengan mengganti kanul dengan diameter yang lebih kecil.
Hambatan atau kelainan neurologik sudah teratasi sehingga airway melalui hidung sudah
adekuat. Jika pasien dapat batuk dengan adekuat dan disertai fungsi menelan yang sudah baik.
Sekret tidak ada tanda-tanda infeksi seperti mukopurulen. Stoma terawat baik dan tidak ada
komplikasi misalnya fistel (faringokutan).
2.10 Bagaimana cara pemakaian obat-obat darurat pada scenario; tindakan apa yang
tidak boleh dilakukan pada pasien sesak napas
Banyak hal yang bias menyebabkan pasien mengalami sesak nafas, baik penyakit akibat
traumatik maupun non traumatik. Obat-obat yang diberikan kepada pasien pun diberikan
sesuai dengan etiologi sesak nafas. Pada kasus di skenario kita awali dengan melakukan ABCDE.
Airway, Breathing, Circulation, Disability, and Environment.
PNEMOTORAKS
FLAIL CHEST
Pada pasien UGD lakukan stabilisasi internal. Untuk mengatasi nyeri berat berikan bupivakain
(Marcaine) 0,5% sampai 5 ml, diinfiltrasikan disekitar N. interkostalis pada iga yang fraktur dan
iga-iga diatas dan dibawah yang cedera. Tempat penyuntikan dibawah tepi bawah iga.
HEMOTORAKS
Hemotoraks yang signifikan harus dialirkan melalui slang torakostomi yang dihubungkan
dengan sekat air. Darah dibuang dan paru dikembangkan kembali. Drainase dari slang dada
akan mencerminkan beratnya perdarahan. Pemulihan volume darah dengan cairan / darah IV
harus dimulai segera. Torakotomi diruang operasi perlu dipikirkan jika pada torakostomi slang
awal ditentukan darah >20 ml/kg. jika perdarahan menetap dengan kecepatan >7 ml/kg/jam
atau jika pasien tetap hipotensi tempat-tempat perdarahan lain sudah disingkirkan.
KONTUSIO PARU
Terapi yang paling signifikan adalah intubasi ET untuk dapat melakukan penyedotan dan
memasang ventilasi mekanik dengan continouos possitive end expiratory pressure (PEEP).
ASMA
Bronkodilator (-2 adrenergik) dgn inhaler dosis terukur, albuterol 2,5-5 mg (0,5-1 ml larutan
0,5% dalam 2-3 ml larutan salin) setiap 20-30 menit jika perlu untuk 3 dosis. Selain itu dapat
ditambahkan steroid bila serangan bersifat lebih berat, misalnya prednison/prednisolon 60-120
mg/hari dosis terbagi 3 dan diturunkan bertahap selama 10 hari.
ANAFILAKSIS
PPOK
Pemberian oksigen dapat menginaktifkan reseptor O2, backup mereka sehingga dapat terjadi
henti pernapasan, Oleh karena itu, oksigen suplemen harus diberikan mulai dengan 0,5-
2L/menit dengan kanula hidung. Ipratropium bromide dapat membantu PPOK dengan
bronkospasme
SINDROMA HIPERVENTILASI
Terapinya berupa menenangkan pasien dan jika perlu, sedasi farmakologis (diazepam 10 mg)
Bernapas ke dalam sebuah kantong kertas untuk meningkatkan Pco2 inspirasi sudah kurang
disukai karena tindakan ini tidak terlalu efektif dan dapat menyebakan hipoksia.
GANGGUAN INHALASI
Terapi ARDS yang meliputi ventilasi tekanan positif dengan PEEP melalui ETT. Intubasi
enditrakeal dini harus dipertimbangkan pada pasien dengan luka bakar ternal luas diwajah atau
membran mukosa karena timbulnya edema.
Oksigen melalui masker dengan konsentrasi 1005 harus diberikan kepada semua pasien
simtomatik dengan kadar Cohg >10%
Pasien dengan gangguan mental / Cohg >40% harus diterapi dalam ruangan hiperbarik
Pasien dengan gangguan fungsi jantung, kadar Cohg > 25% maka harus dirawat di rumah sakit
untuk monitoring jantung dan pemberian oksigen.
SESUAI SKENARIO
Obat-obatan yang dibutuhkan dalam hal darurat sebenarnya tergantung dari keadaan pasien
sendiri, apakah ia benar membutuhkan obat tersebut atau masih membutuhkan penanganan
non farmakologis dalam menstabilisasi keadaan pasien terlebih dahulu. Namun apabila telah
dipastikan pasien dalam keadaan stabil dapat segera diberikan obat-obatan untuk menunjang
pemulihan pasien. Dalam hal ini bila kita mendapat pasien dengan keadaan seperti di skenario
dengan gejala sesak nafas disertai adanya nadi yang cepat dan lemah, pucat, sianosis, namun
tidak ada batuk dan demam, tentu ini merupakan keadaan emergensi yang mana setelah kita
stabilisasikan terlebih dahulu pasien tersebut, barulah kita cari tahu lebih mendalam apa
sebenarnya penyebab dari keadaan tersebut, mungkinkah karena suatu penyakit tertentu (Non-
Trauma) ataukah karena keadaan trauma yang dialami pasien.
Misalnya pasien dicurigai ke arah Non-trauma, atau suatu penyakit misalnya status asmatikus
dimana pasien mengalami bronkospasme dan timbul gejala-gejala seperti pada skenario, terapi
obat yang bersifat emergensi mungkin dibutuhkan yaitu selain oksigen yang pada dasarnya
memang dibutuhkan pasien, tetapi juga dapat diberikan obat-obatan bronkodilator (-2
adrenergik) dengan inhaler dosis terukur, albuterol 2,5-5 mg (0,5-1 ml larutan 0,5% dalam 2-3
ml larutan salin) setiap 20-30 menit jika perlu untuk 3 dosis. Selain itu dapat ditambahkan
steroid bila serangan bersifat lebih berat, misalnya prednison atau prednisolon 60-120 mg/hari
dosis terbagi 3 dan diturunkan bertahap selama 10 hari. Hal ini tentu saja dibarengi dengan
follow up pasien apakah keadaan daruratnya masih harus ditangani atau memang sudah stabil.
Selain itu pada sekenario juga mungkin saja mengalami bronkospasme akibat reaksi anafilaksis
(alergi) , selain dibutuhkan antihistamin dapat juga diberikan obat-obatan
simpatomimetik/adrenergik misalnya efinefrin (adrenalin) 0,3 ml larutan secara subkutan, IM,
atau IV 0,1 mg yang diencerkan dalam 10 ml saline selama 5 menit, namun secara inhalasi akan
lebih baik walaupun dengan dosis yg lebih besar dan kerja lebih lama. Setelah sesak nafas
berkurang dan pasien sudah stabil maka dapat diberikan antihistamin maupun steroid
parenteral. Mengingat alergi merupakan keadaan yang dicetuskan oleh alergen dan dapat
mengakibatkan selain keadaan bronkospasme tapi juga dapat timbul laringospasme ataupun
hipotensi. Kedua hal tersebut dapat ditangani dengan pemberian obat lidokain IV 1 mg/kg BB
(laringospasme), dan 1-2 L saline atau ringer laktat diinfuskan secara cepat (hipotensi).
Namun jika sesak nafas yang disebabkan karena keadaan trauma, maka tindakan secepatnya
yang paling dibutuhkan yaitu lebih berkaitan dengan tindakan bedah sesuai dengan trauma
yang terjadi. Misalnya hemothorax yang disebabkan karena kontusio paru yang biasanya harus
langsung dilakukan tindakan suction atau penyedotan sekret yang terkumpul pada trakea dan
bronkkus dengan pemasangan intubasi endotrakea terlebih dahulu. Atau pada kasus trauma
lain misalnya pneumothorax dapat dilakukan torakostomi slang dengan pnyedotan kontinu.
Hal yang tidak boleh dilakukan pada pasien dengan sesak nafas adalah pemberian obat yang
menyebabkan depresi nafas.
(Sumber : Buku Manual Kedokteran Darurat Michael Jay Bresler, George L.Sternbach Edisi 6,
Buku Ajar IPD FKUI BAB Kegawatdaruratan Medik Jilid I Edisi IV)
2.11 Jelaskan syarat-syarat untuk melakukan transportasi dan rujukan pada pasien
TUJUAN
Melakukan persiapan yang optimal untuk dilakukan rujukan dengan cara transport yang
sesuai
Waktu sangatlah penting dari mulai kejadian sampai dilakukan terapi difinitif
Peralatan ambulance
Kriteria fisiologis penderita syock yang sulit diatasi dengan penurunan keadaan
neurologis
Pola perlukaan
Biomekanik trauma
Masalah khusus
Penderita dalam keadaan gelisah dengan tidak kooperatif akan sangat sulit, kadang-
kadangpenderita diikat kuat
Mengurangi rasa nyeri dengan memasang pada penderita fraktur dan pemberian
narkotik dengan dosis kecil
PATUT DI INGAT
Pemberian benzodiazopam, fentanyl,propofol dengan ketamin berbahaya bila diberikan
padapenderita dengan syock intoksikasi dan trauma kapitis
CARA RUJUKAN
CARA RUJUKAN
CARA TRANSPORT
Prinsip DO NO Further Harm sangat berperan. Udara, darat, laut dapat dilakukan
dengan amanstabilkan penderita sebelum dilakukan transport
Persiapkan tenaga yang terlatih agar proses transport berjalan dengan aman
PROTOKOL RUJUKAN
PROTOKOL RUJUKAN
PROTOKOL RUJUKAN
3. Dokumentasi
-Permasalahan penderita
PROTOKOL RUJUKAN
4.Sebelum rujukan
- profilaksis tetanus
Dokumentasi
PERMASALAHAN
Pemindahan penderita dari satu tempat ke tempat lain tanpa mempertimbangkan jarak selalu
berbahaya
Harus dipikirkan masalah yang akan timbul selama transportasi. Misal : ETT tercabut, pemakai
monitor jantung, penggunaan listrik yang tidak cocok
KESIMPULAN
Petugas/perawat pendamping harus sudah terlatih dengan baik dibidang gawat darurat
PERSYARATAN AMBULANS
Suspensi lunak
Cukup tinggi
Ruangan cukup luas
Pakai pendingin/AC
Identitas jelas
Tempat tidur/blankard
Tandu scoop
Alat resusitasi
Obat-obat resusitasi
Dapat berupa :
- Darat
- Udara
- Laut / air
1.Melalui darat & laut tidak terlalu banyak masalah hanya waktu lebih lama
2.Melalui udara mempunyai masalah tersendiri yang harus dikuasai oleh tim medis
yangmelakukannya.
Cara transportasinya ?
3.Infark miokard, terutama yang tidak stabil COPD keracunan obat, syok septik dengan pasien
HD
4.Pasien Trauma dengan kelaianan neurologi, luka bakar >30%
HIPOKSIA
- COPD
- Odema paru
- Pneumoni
- Emboli paru
- Anemia
- Syok
- Nyeri
- Keracunan sianida
- Mabuk alkohol
TOTAL CARE
1. Diagnosa
- Pemeriksa fisik
- Pemeriksa lab
3. Kontra indikasi
4. Cara evakuasi
5. Timing evakuasi