You are on page 1of 45

SISTEM KEGAWATDARURATAN DAN

TRAUMATOLOGI
LAPORAN MODUL I SESAK NAPAS

KELOMPOK 3 Cempaka Putih


Ketua : AMF Faidzin Akbar (2011730121)
Sekretaris : M. Kamardi (2011730152)
Anggota :
1. Agus Jamjam M (2011730119)
2. Arafani Putri Yaman (2011730123)
3. Dyah Raras Puruhita (2011730130)
4. Fina Ina Hamidah (2011730133)
5. Fitriya Sujatmaka (2011730134)
6. Hessty Pusparani (2011730140)
7. RR. Bono Pazio (2011730160)
8. Setiani Imaningtias (2011730162)
9. Yossey Pratiwi (2010730168)
Tutor : Dr. Farsida, MPH

PROGAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2013/2014
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb.

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas berkah, rahmat dan hidayahNya sehingga kami dapat
menyelesaikan laporan modul I mengenai Sesak Nafas tepat pada waktunya. Laporan ini
merupakan hasil observasi dari Problem Based Learning yang telah kami jalani yang merupakan
sebuah metode pembelajar yang bertujuan melatih siswa untuk berpikir kritis dalam
menghadapi suatu kasus atau masalah.

Kami menyadari bahwa segala kesempurnaan hanya milik Allah, sehingga saran dan kritik yang
bersifat membangun untuk perbaikan laporan ini sangat kami harapkan.

Terima kasih kepada dr. Farsida, MPH yang telah membimbing kami pada modul I ini dan para
narasumber lain yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu, dan seluruh pihak yang ikut
terlibat dalam menyumbangkan segala aspirasi, tenaga, dan waktu sehingga laporan ini dapat
tersusun.

Wassalamualaikum Wr. Wb.

Jakarta, 20 Juni 2014

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i

DAFTAR ISI ii

BAB I : PENDAHULUAN

1.1 Tujuan Instruksional Umum


1.2 Tujuan Instruksional Khusus
1.3 Skenario
1.4 Kata/Kalimat Kunci
1.5 Pertanyaan

BAB II : PEMBAHASAN

2.1 Bagaimana cara membedakan sesak napas kardiogenik dengan pulmonal


2.2 Sebutkan dan jelaskan penyebab dari sesak napas pada scenario
2.3 Apa saja tanda dan gejala sesak napas yang dapat mengancam jiwa; jelaskan mekanisme
antar gejala di scenario
2.4 Pemeriksaan apa pertama kali pada pasien dengan sesak napas
2.5 Bagaimana penanganan sesak napas trauma pada scenario
2.6 Bagaimana cara menstabilkan penderita sesak napas yang disebabkan oleh trauma
2.7 Bagaimana tindakan awal penanganan jalan napas pada penderita sesak napas dengan
menggunakan alat dan tanpa alat
2.8 Kapan terapi oksigen dapat diberikan pada pasien dan berapa liter jumlah pemberian
2.9 Apabila tindakan penanganan awal gagal, bagaimana tindakan penanganan selanjutnya
2.10 Bagaimana cara pemakaian obat-obat darurat pada scenario; tindakan apa yang tidak
boleh dilakukan pada pasien sesak napas
2.11 Jelaskan syarat-syarat untuk melakukan transportasi dan rujukan pada pasien

BAB III : PENUTUP

3.1 Kesimpulan

ii
BAB I
PENDAHULUAN

Modul sesak napas ini merupakan bagian dari Sistem Kegawatdaruratan dan Traumatologi
diberikan pada anda yang mengambil mata kuliah tersebut. TIU dan TIK untuk modul ini
disajikan pada permulaan buku agar anda dapat mengerti secara menyeluruh tentang semua
aspek sesak napas.

Modul ini membicarakan insiden, patofisiologi hipoksia, hiperkarbia dan asidosis yang terjadi
pada sesak napas baik pada trauma maupun non trauma. Modul ini terdiri dari dua scenario
yang menunjukkan beberapa symptom klinik yang bisa ditemukan pada beberapa penyakit.
Diskusi bukan hanya difokuskan pada inti permasalahan tetapi juga akan dibicarakan semua hal
yang ada hubungannya dengan hal tersebut. Anda diharapkan mampu menjelaskan semua
aspek penilaian dan pengelolaan awal penderita sesak napas baik pada trauma maupun pada
yang non trauma.

Sebelum menggunakan buku ini, tutor dan mahasiswa harus membaca TIU dan TIK dengan
cermat, sehingga diharapkan diskusi tidak menyimpang dari tujuan, dan dapat dicapai
kompetensi minimal yang diharapkan. Peran tutor dalam mengarahkan tutorial sangat penting.
Bahan untuk diskusi bisa diperoleh dari bahan bacaan yang tercantum pada akhir setiap unit.
Informasi juga bisa diperoleh dari seorang ahli melalui kuliah atau pada pertemuan konsultasi
antara kelompok mahasiswa peserta diskusi dengan ahli yang bersangkutan. Konsultasi atau
kuliah pakar bisa diatur oleh mahasiswa dengan dosen yang bersangkutan.

Penyusun mengharapkan buku modul ini dapat membantu mahasiswa dalam memecahkan
masalah sesak napas pada trauma maupun non trauma yang akan disajikan pada sistem
selanjutnya.

1.1. Tujuan Instruksional Umum (TIU)

Setelah selesai mempelajari modul ini, anda diharapkan dapat menjelaskan bagaimana
mengenal tanda-tanda kegawatan dan bagaimana cara memberikan tindakan yang cepat dan
tepat pada penderita sesak napas.

1.2. Tujuan Instruksional Khusus (TIK)

Setelah selesai mempelajari modul ini, anda diharapkan dapat :

Menyebutkan dan menjelaskan berbagai penyebab sesak napas


Menjelaskan gejala dan tanda sesak napas oleh berbagai sebab yang dapat mengancam
jiwa
Menjelaskan bagaimana cara tindakan awal penanganan jalan napas dan pernapasan
pada penderita sesak napas tanpa alat
Menjelaskan bagaimana cara tindakan awal penanganan jalan napas dan pernapasan
pada penderita sesak napas dengan alat
Menjelaskan bagaimana cara pemberian oksigen
Menjelaskan bagaimana cara memberikan tindakan lanjut apabila terjadi kegagalan
pada tindakan awal
Menjelaskan bagaimana cara memberikan resusitasi apabila terjadi kegagalan sirkulasi
Menjelaskan bagaimana cara pemakaian obat-obat darurat
Menjelaskan bagaimana cara menstabilisasi penderita sesak napas yang disebabkan
oleh trauma
Menjelaskan syarat-syarat melakukan transportasi dan rujukan pada penderita

1.3. Skenario (case 1)

Seorang laki-laki usia 25 tahun dibawa ke Puskesmas dengan keluhan sesak napas penderita
terlihat pucat dan kebiruan. Nadi teraba cepat dan lemah.

1.4. Kata/ Kalimat Kunci

1. Laki-laki usia 25 tahun


2. Sesak napas
3. Terlihat pucat dan kebiruan
4. Nadi cepat dan lemah

1.5. Pertanyaan

1. Bagaimana cara membedakan sesak napas kardiogenik dengan pulmonal


2. Sebutkan dan jelaskan penyebab dari sesak napas pada scenario
3. Apa saja tanda dan gejala sesak napas yang dapat mengancam jiwa; jelaskan mekanisme
antar gejala di scenario
4. Pemeriksaan apa pertama kali pada pasien dengan sesak napas
5. Bagaimana penanganan sesak napas trauma pada scenario
6. Bagaimana cara menstabilkan penderita sesak napas yang disebabkan oleh trauma
7. Bagaimana tindakan awal penanganan jalan napas pada penderita sesak napas dengan
menggunakan alat dan tanpa alat
8. Kapan terapi oksigen dapat diberikan pada pasien dan berapa liter jumlah pemberian
9. Apabila tindakan penanganan awal gagal, bagaimana tindakan penanganan selanjutnya
10. Bagaimana cara pemakaian obat-obat darurat pada scenario; tindakan apa yang tidak
boleh dilakukan pada pasien sesak napas
11. Jelaskan syarat-syarat untuk melakukan transportasi dan rujukan pada pasien
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Bagaimana cara membedakan sesak napas kardiogenik dengan pulmonal

Cara membedakan sesak nafas kardiogenik dengan pulmonal, antara lain :

1. Anamnesis yang seksama, sesak nafas pada penyakit paru, biasanya lebih bertahap,
sedangkan pada penyakit jantung lebih akut dan sering timbul pada malam hari (paroxysmal
nocturnal dyspnea). Sesak nafas yang timbul akibat aktifitas (dyspnea deffort), seringkali
sulit dibedakan pada waktu istirahat.

2. Pada pemeriksaan fisik, kadang-kadang tidak mudah membedakan sesak nafas kardiak dan
pulmonal, kecuali bila didapatkan tanda-tanda yang spesifik.

3. Brain Natriuretic Peptide (BNP), meningkat pada sesak nafas kardiak, dan tidak meningkat
pada sesak nafas pulmonal.

4. Tes fungsi paru, seringkali menunjukkan gambaran obstruktif atau restriktif pada kelainan
paru.

5. Ventricular performance : fraksi ejeksi ventrikel kiri, baik pada waktu istirahat atau
beraktifitas akan turun pada kelainan jantung.

2.2 Sebutkan dan jelaskan penyebab dari sesak napas pada scenario

2.3 Apa saja tanda dan gejala sesak napas yang dapat mengancam jiwa; jelaskan
mekanisme antar gejala di scenario
Mekanisme antar gejala

Tanda dan gejala yang menyertai gejala sesak napas karena trauma
2.4 Pemeriksaan apa pertama kali pada pasien dengan sesak napas

TRAUMA DALAM PERSPEKTIF

Sebagian besar negara didunia mengalami epidemi trauma tetapi peningkatan jumlah

yang tinggi terjadi di negara yang sedang berkembang. Penambahan jalan raya dan

penggunaan kendaraan bermotor menyebabkan laju jumlah korban dan kematian korban

trauma. Banyak fasilitas kesehatan di perifer tidak mampu menangani banyak korban

sekaligus dari kecelakaan yang melibatkan bis penumpang atau bencana lainnya. Luka

bakar yang berat juga banyak dijumpai didaerah kota maupun diluarnya.

Beberapa perbedaan besar antara negara-negara berpenghasilan tinggi dan yang rendah

mendesakkan adanya kursus Primary Trauma Care ini karena :

Jauhnya jarak yang harus ditempuh korban untuk mencapai rumah sakit dengan

fasilitasi medik yang memadai.

Lamanya waktu yang dibutuhkan korban untuk mencapai rumah sakit

Tidak adanya peralatan canggih dan penyediaan obat-obat yang penting

Tidak adanya tenaga kesehatan terdidik untuk menjalankan alat medik dan

merawatnya.

Tindakan pencegahan trauma sebenarnya adalah sarana yang paling murah dan paling

aman. Namun hal ini tergantung pada faktor :

Budaya

Sumber daya manusia (manpower)

Politik

Anggaran keuangan untuk kesehatan

Pelatihan

Setiap usaha harus dilakukan oleh tim medik trauma untuk mengarah kepada pencegahan

terjadinya trauma. Walaupun hal ini berada diluar lingkup buku ini akan dibicarakan juga
masalah-masalah yang ada di lingkungan saudara dan kemungkinan untuk

pencegahannya.

ABCDE DALAM TRAUMA

Pengelolaan trauma ganda yang berat memerlukan kejelasan dalam menetapkan prioritas.

Tujuannya adalah segera mengenali cedera yang mengancam jiwa dengan Survey

Primer, seperti :

Obstruksi jalan nafas

Cedera dada dengan kesukaran bernafas

Perdarahan berat eksternal dan internal

Cedera abdomen

Jika ditemukan lebih dari satu orang korban maka pengelolaan dilakukan berdasar

prioritas (triage) Hal ini tergantung pada pengalaman penolong dan fasilitas yang ada.

Survei ABCDE (Airway, Breathing, Circulation, Disability, Exposure) ini disebut

survei primer yang harus selesai dilakukan dalam 2 - 5 menit.

Terapi dikerjakan serentak jika korban mengalami ancaman jiwa akibat banyak sistim

yang cedera :

Airway

Menilai jalan nafas bebas. Apakah pasien dapat bicara dan bernafas dengan bebas ?

Jika ada obstruksi maka lakukan :

Chin lift / jaw thrust (lidah itu bertaut pada rahang bawah)

Suction / hisap (jika alat tersedia)

Guedel airway / nasopharyngeal airway

Intubasi trakhea dengan leher di tahan (imobilisasi) pada posisi netral

Breathing

Menilai pernafasan cukup. Sementara itu nilai ulang apakah jalan nafas bebas.

Jika pernafasan tidak memadai maka lakukan :


Dekompresi rongga pleura (pneumotoraks)

Tutuplah jika ada luka robek pada dinding dada

Pernafasan buatan

Berikan oksigen jika ada

Penilaian ulang ABC harus dilakukan lagi jika kondisi pasien tidak stabil

Sirkulasi

Menilai sirkulasi / peredaran darah. Sementara itu nilai ulang apakah jalan nafas bebas

dan pernafasan cukup. Jika sirkulasi tidak memadai maka lakukan :

Hentikan perdarahan eksternal

Segera pasang dua jalur infus dengan jarum besar (14 - 16 G)

Berikan infus cairan

Disability

Menilai kesadaran dengan cepat, apakah pasien sadar, hanya respons terhadap nyeri atau

sama sekali tidak sadar. Tidak dianjurkan mengukur Glasgow Coma Scale

AWAKE = A

RESPONS BICARA (verbal) = V

RESPONS NYERI = P

TAK ADA RESPONS = U

Cara ini cukup jelas dan cepat.

Eksposure

Lepaskan baju dan penutup tubuh pasien agar dapat dicari semua cedera yang mungkin

ada. Jika ada kecurigaan cedera leher atau tulang belakang, maka imobilisasi in-line harus

dikerjakan.

PENGELOLAAN JALAN NAFAS

Prioritas pertama adalah membebaskan jalan nafas dan mempertahankannya agar tetap

bebas.
1. Bicara kepada pasien

Pasien yang dapat menjawab dengan jelas adalah tanda bahwa jalan nafasnya bebas.

Pasien yang tidak sadar mungkin memerlukan jalan nafas buatan dan bantuan pernafasan.

Penyebab obstruksi pada pasien tidak sadar umumnya adalah jatuhnya pangkal lidah ke

belakang. Jika ada cedera kepala, leher atau dada maka pada waktu intubasi trakhea

tulang leher (cervical spine) harus dilindungi dengan imobilisasi in-line.

2. Berikan oksigen dengan sungkup muka (masker) atau kantung nafas ( selfinvlating)

3. Menilai jalan nafas

Tanda obstruksi jalan nafas antara lain :

Suara berkumur

Suara nafas abnormal (stridor, dsb)

Pasien gelisah karena hipoksia

Bernafas menggunakan otot nafas tambahan / gerak dada paradoks

Sianosis

Waspada adanya benda asing di jalan nafas. Cara membebaskan jalan nafas diuraikan

pada Appendix 1

Jangan memberikan obat sedativa pada pasien seperti ini.

4. Menjaga stabilitas tulang leher

5. Pertimbangkan untuk memasang jalan nafas buatan

Indikasi tindakan ini adalah :

Obstruksi jalan nafas yang sukar diatasi

Luka tembus leher dengan hematoma yang membesar

Apnea

Hipoksia

Trauma kepala berat

Trauma dada
Trauma wajah / maxillo-facial

PENGELOLAAN NAFAS (VENTILASI )

Prioritas kedua adalah memberikan ventilasi yang adekuat.

Inspeksi / lihat frekwensi nafas (LOOK)

Adakah hal-hal berikut :

. Sianosis

. Luka tembus dada

. Flail chest

. Sucking wounds

. Gerakan otot nafas tambahan

Palpasi / raba (FEEL)

. Pergeseran letak trakhea

. Patah tulang iga

. Emfisema kulit

. Dengan perkusi mencari hemotoraks dan atau pneumotoraks

Auskultasi / dengar (LISTEN)

. Suara nafas, detak jantung, bising usus

. Suara nafas menurun pada pneumotoraks

. Suara nafas tambahan / abnormal

Tindakan Resusitasi

Diuraikan lebih rinci pada Appendix 5

Jika ada distres nafas maka rongga pleura harus dikosongkan dari udara dan darah dengan

memasang drainage toraks segera tanpa menunggu pemeriksaan sinar X.

Jika diperlukan intubasi trakhea tetapi sulit, maka kerjakan krikotiroidotomi.

Catatan Khusus

Jika dimungkinkan, berikan oksigen hingga pasien menjadi stabil


Jika diduga ada tension pneumotoraks, dekompresi harus segera dilakukan dengan

jarum besar yang ditusukkan menembus rongga pleura sisi yang cedera. Lakukan

pada ruang sela iga kedua (ICS 2) di garis yang melalui tengah klavikula. Pertahankan

posisi jarum hingga pemasangan drain toraks selesai.

Jika intubasi trakhea dicoba satu atau dua kali gagal, maka kerjakan krikotiroidotomi.

Tentu hal ini juga tergantung pada kemampuan tenaga medis yang ada dan

kelengkapan alat.

SURVEI SEKUNDER

Survei Sekunder hanya dilakukan bila ABC pasien sudah stabil

Bila sewaktu survei sekunder kondisi pasien memburuk maka kita harus kembali

mengulangi PRIMARY SURVEY.

Semua prosedur yang dilakukan harus dicatat dengan baik.

Pemeriksaan dari kepala sampai ke jari kaki (head-to-toe examination) dilakukan dengan

perhatian utama :

Pemeriksaan kepala

Kelainan kulit kepala dan bola mata

Telinga bagian luar dan membrana timpani

Cedera jaringan lunak periorbital

Pemeriksaan leher

Luka tembus leher

Emfisema subkutan

Deviasi trachea

Vena leher yang mengembang

Pemeriksaan neurologis

Penilaian fungsi otak dengan Glasgow Coma Scale (GCS)

Penilaian fungsi medula spinalis dengan aktivitas motorik


Penilaian rasa raba / sensasi dan refleks

Pemeriksaan dada

Clavicula dan semua tulang iga

Suara napas dan jantung

Pemantauan ECG (bila tersedia)

Pemeriksaan rongga perut (abdomen)

Luka tembus abdomen memerlukan eksplorasi bedah

Pasanglah pipa nasogastrik pada pasien trauma tumpul abdomen kecuali bila ada

trauma wajah

Periksa dubur (rectal toucher)

Pasang kateter kandung seni jika tidak ada darah di meatus externus

Pelvis dan ekstremitas

Cari adanya fraktura (pada kecurigaan fraktur pelvis jangan melakukan tes gerakan

apapun karena memperberat perdarahan)

Cari denyut nadi-nadi perifer pada daerah trauma

Cari luka, memar dan cedera lain

Pemeriksaan sinar-X (bila memungkinkan) untuk :

Dada dan tulang leher (semua 7 ruas tulang leher harus nampak)

Pelvis dan tulang panjang

Tulang kepala untuk melihat adanya fraktura bila trauma kepala tidak disertai defisit

neurologis fokal

2.5 Bagaimana penanganan sesak napas trauma pada scenario

Penanganan awal pada pasien :

a. Airway + Cervical Spine Control

Look : Melihat adanya darah/cairan di sekitar mulut.


Melihat adanya obstruksi baik oleh benda asing/cairan.

Listen : Suara pernapasan.

Feel : Merasakan hembusan nafas korban.

Gangguan pada Airway

a. Obstruksi Total akibat (benda asing)

Bila korban masih sadar:

o Korban memegang leher dalam keadaan sangat gelisah


o Mungkin ada kesan masih bernapas walaupun tidak ada ventilasi
Penatalaksanaan:

Hemlich manuever/abdominal thrust (kontra pada ibu hamil dan bayi)

Bila tidak sadar :

Tentukan dengan cepat adanya obstruksi total dengan sapuan jari (finger sweep) ke dalam
faring sampai belakang epiglotis. Jika tidak berhasil, lakukan Abdominal Thrust dalam keadaan
penderita berbaring.

b. Obstruksi Parsial

Obstruksi parsial bisa disebabkan berbagai hal. Biasanya korban masih bisa bernapas sehingga
timbul berbagai macam suara pada pemeriksaan listen, tergantung penyebabnya :

Cairan (Darah/Sekret)

Timbul suara gurgling (suara napas + suara cairan), bisa terjadi pada aspirasi akut.

Penatalaksanaan :

Tanpa alat : Lakukan log roll lalu finger sweep

Alat : Suction (Orofaring atau Nasofaring) / ETT

Lidah jatuh ke belakang.

Bisa terjadi karena tidak sadar. Timbul suara snoring (mendengkur) .

Penatalaksanaan :

Tanpa alat : Jaw Thrust

Alat : Oropharyngeal Tube.

Penyempitan di laring / trakea.


Oedema dapat terjadi karena berbagai hal : Keracunan, Luka bakar. Timbul suara
crowing/stridor.

Penatalaksanaan : Trakheostomi.

b. Breathing (Ventilasi)

Airway (jalan napas) yang baik tidak menjamin breathing (dan ventilasi) yang baik. Breathing
artinya pernapasan atau proses pertukaran oksigen dan karbon dioksida. Airway yang baik tidak
menjamin ventilasi yang baik. Ventilasi yang baik menggambarkan fungsi baik dari paru, dinding
thoraks dan diafragma. Pada saat pemeriksaan breathing dada korban harus dibuka untuk
melihat pernapasan yang baik. Dalam pemeriksaan breathing berpedoman pada :

1) Inspeksi

Inspeksi breathing berupa observasi dada, yang dinilai :

- Keadaan umum pasien tampak sesak dengan tangan menopang pada tempat tidur dengan
maksud supaya otot-otot bantu pernapasan dapat membantu ekspirasi, pernapasan cuping
hidung, tachypneu dan sianosis. Selain itu juga mungkin dapat didengar wheezing (ekspirasi
yang memanjang) dan bentuk dada barrel chest (terjadi pemanjangan diameter antero-
posterior disertai sela iga yang melebar dan sudut epigastrium yang tumpul). Keadaan ini bisa
dijumpai pada keadaan saluran napas yang menyempit seperti asma. Yang dapat dilakukan
memposisikan pasien pada posisi senyaman mungkin, biasanya posisi setengah duduk dan
diberi oksigen pada asma ringan. Sedangkan pada asma berat diberi bronkhodilator. Pada kasus
trauma stabilisasi penderita dilakukan pada posisi stabil dengan menggunakan bantuan oksigen
baik itu dengan endotracheal tube ataupun dengan ventilator. Indikasi pemberian oksigen
antara lain :

Pada saat RJP.


Setiap penderiat trauma berat.
Setiap nyeri prekardial.
Gangguan paru seperti asma, COPD, dan sebagainya.
Gangguan jantung.
- Pergerakan dada apakah simetris antara dinding thoraks kiri dan kanan pada saat inspirasi dan
ekspirasi. Ketidaksimetrisan ini salah satunya disebabkan oleh trauma pada thoraks sehingga
terdapat udara dan darah dalam cavum pleura. Terdapatnya udara dalam cavum pleura disebut
pneumothorax dan gejalanya disertai dengan nyeri dada, sesak napas dan dugaan diperkuat lagi
jika terdapat luka terbuka di daerah dada (dx : Pneumothorax terbuka). Jika terdapat darah
pada cavum pleura disebut hemothorax dan gejalanya pun disertai sesak napas dan nyeri dada.
Pada kedua kasus tersebut kadang dijumpai deviasi trachea dan pergeseran mediastinum pada
stadium yang berat. Untuk pneumothorax terbuka bisa memasang kasa tiga sisi.

- Frekwensi napas dan iramanya.

2) Palpasi
Palpasi dilakukan untuk memperlihatkan kelainan dinding dada yang mungkin mengganggu
ventilasi berupa adanya ekspansi dada dan posisi apex jantung. Apex jantung berubah dapat
disebabkan dorongan oleh kelainan mediastinum, efusi pleura dan lain-lain. Yang dinilai pada
palpasi :

- Nyeri Tekan dan Krepitasi


Hal ini mungkin mengarah pada fraktur kosta. Nyeri timbul akibat penekanan kosta ke
pleura parietalis sedang krepitasi adalah bunyi tulang kosta yang patah.
- Vocal Fremitus atau Tctil Fremitus
Hal ini dilakukan untuk mengetahui perambatan suara ke dinding dada yang dirasakan oleh
kedua tangan yang dirapatkan, tepatnya di sela-sela kosta.
Peningkatan fremitus menandakan adanya konsolidasi paru misalnya pada Pneumonia
(kelainan infiltrat)
Penurunan fremitus hampir selalu disebabkan oleh kelainan non infiltrat. Misalnya
Pneumothorax, Hemotrax.
- Deviasi Trachea
Artinya terjadi penyimpangan trachea akibat pendorongan di dalam mediastinum. Pada
pneumothorax misalnya : deviasi trachea akan mengarah ke arah sehat. Hal ini akan membantu
dalam melakukan NTS (Needle Thoracocintesis) jika tidak ada foto. NTS dilakukan pada ICS
dengan menggunakan ABBOCATH.
- DVS (Desakan Vena Sentralis)
Peningkatan DVS yang menyertai sesak biasanya mengarah pada sesak yang disebabkan
oleh kelainan jantung.
3) Perkusi

Perkusi dilakukan untuk menilai adanya udara atau darah dalam rongga pleura. Suara perkusi
yang normal adalah sonor. Suara perkusi redup, pekak, hipersonor atau timpani menandakan
adanya kelainan pleura atau paru.

Perkusi yang pekak (dullness percussion, stone dullness) misalnya pada hemothorax.
Penanganannya dengan WSD (Water Seal Drainage) pada ICS V atau VI.
Perkusi yang hipersonor ditemukan misalnya pada Pneumothorax.
Perkusi inilah yang biasanya membantu membedakan Pneumothorax dan Hemotrax selain
foto thorax. Dalam melakukan perkusi hendaknya selalu membandingkan tempat yang sehat
dan lesi (dari atas ke bawah; dari medial ke lateral).
4) Auskultasi

Auskulatasi dilakukan untuk memastikan masuknya udara ke dalam paru. Pada keadaan normal
didapatkan napas bronchial pada trachea, napas bronchovesikuler di daerah intraclaviculer,
suprasternal dan interscapular. Sedangkan suara napas vesikuler di luar lokasi diatas. Bila
didapatkan suara napas bronchial/ bronchovesikuler pada lokasi yang seharusnya vesikuler,
menandakan adanya suatu kelainan pada tempat tersebut.

Suara napas vesikuler yang melemah menandakan adanya halangan hantaran suara ke dinding
dada misalnya efusi pleura, pneumothorax dan hemotrax.
Suara wheezing, menciut (highed pitch) misalnya pada asma dan gagal jantung.
Ronchi halus dan sedang dapat disebabkan oleh cairan misalnya pada pneumonia dan edema
paru.
Bunyi berkurang/menghilang menunjukkan adanya cairan/udara dalam rongga pleura/ kolaps
paru.
Bunyi napas bernada tinggi misalnya pada Tension Pneumothorax.
Bunyi rub misalnya pada peluritis, infark paru dan lain-lain.
Setelah evaluasi breathing dan hasilnya baik, harus periksa kembali Airway sebelum
melanjutkan ke Circulation. Bila tiba-tiba pasien henti napas maka pernapasan buatan bisa
dengan :

1. Mouth to mouth ventilation/Mouth to nose


2. Mouth to mask ventilation
Bila dipasang saluran oksigen pada fase mask maka konsentrasi oksigen dapat mencapai 55%.
3. Ambu-Bag
Dipakai alat yang ada bag dan mask dengan diantaranya ada katup.
4. Jackson-REES
5. Ventilator

c. Circulation

Hal yang dinilai pada pemeriksaan sirkulasi adalah status hemodinamik dari pasien.
Pemeriksaan tersebut dilakukan dengan melihat ada tidak perdarahan, pemeriksaan tekanan
darah dan nadi (tanda vital). Juga perhatikan ada tidak tanda-tanda syok seperti hipotensi,
pucat, berkeringat, akral dingin, dan perubahan status mental.

Bila ada tanda-tanda syok tersebut maka segera posisikan pasien dengan posisi Trendelenberg
untuk menjamin sirukulasi ke otak. Kemudian segera pasang infus untuk memasukkan cairan
intravena sesuai dengan indikasi. Bila ada perdarahan eksternal yang nyata maka segera
hentikan perdarahan tersebut dengan kompresi atau penekanan langsung di tempat
perdarahan atau bebat tekan. Kontrol perdarahan ini diperlukan agar status hemodinamik
pasien tidak semakin memburuk.

Setelah tindakan tersebut dilakukan maka evaluasi kembali keadaan pasien mulai dari tindakan
yang pertama yaitu Airway atau jalan napas, Breathing atau pernapasan dan Circulation atau
sirkulasi. Juga evaluasi tindakan yang telah kita lakukan.

Pada skenario kasus tampak nadi pasien lemah dan pucat. Keadaan ini menunjukkan bahwa
pasien mengalami gejala awal dari syok. Untuk itu tindakan sirkulasi perlu kita lakukan.
Tindakan yang dilakukan adalah membaringkan pasien dengan posisi kaki lebih tinggi dari
kepala untuk menjamin sirkulasi ke otak tetap baik. Kemudian masukkan cairan intravena/infus.
Cairan yang dapat diberikan adalah kristalloid dimana cairan ini relatif mudah ditemukan di
puskesmas dan relatif murah.

d. Disability & Drugs


Setelah Circulasi & Bleeding Control tertangani, kita beralih ke tahap primary survey Disability &
Drugs. Cara pemakaian obat-obatan darurat adalah dengan kanulasi vena perifer, yaitu
melakukan penusukan pada vena yang letaknya superfisial di lengan, tungkai, leher atau kepala
dengan kateter intra vena (infusse). Selain untuk media masuknya obat-obatan darurat,
kanulasi vena perifer juga diindikasikan untuk : pemberian cairan & elektrolit, sebagai bagian
dari resusitasi, sebelum dilakukan tindakan operasi dan untuk pemberian nutrisi perenteral
perifer. Contoh obat-obatan resusitasi antara lain : Adrenalin/efineprin, naloxon, Na
bikarbonat, dsb.

Disability adalah penilaiaan status neurologis atau penggunaan obat-obatan resusitasi. Status
neurologis meliputi : GCS (Lihat Tabel).

Variabel Nilai

Spontan 4

Respon Buka Mata Terhadap Suara 3


(M) Terhadap Nyeri 2

Tidak Ada 1

Menuruti Perintah 6

Melokalisir Nyeri 5

Respon Motorik Fleksi Normal (Menarik Dari Nyeri) 4


Terbaik (M) Fleksi Abnoemal (Dekortikasi) 3

Ekstensi Abnormal 2

Tidak Ada 1

Berorientasi 5

Bicara Membingungkan 4

Respon Verbal (V) Kata-kata Tak Teratur 3

Suara tak jelas 2

Tidak ada 1

Nilai GCS = ( M + M + V), nilai terbaik = 15, Nilai terburuk = 3


Refleks pupil, yang dimulai adalah diameter pupil isokor.
Anisokor adalah jika perbedaan diameter kedua pupil lebih dari 1 mm.
Isokor adalah jika perbedaan diameterkedua pupil kurang dari 1 mm.
Miosis.
Midriasis.
Lateralisasi adalah ketidakmampuan sebagian fungsi sensoris dan motoris berdasarkan ada
tidaknya jejas atau massa intrakranial.

e. Environment
Dalam environment kita melakukan penilaian head to toe, untuk mengetahui adanya cedera
lain yang nampak dengan melepas semua pakaian yang melekat, cegah jangan sampai pasien
hipotensi, asidosis, dan koagulopati, yang merupakan Trias of Death.

f. ABC RJP
ABC RJP yang dilakukan pada korban dengan henti jantung dapat memberikan kemungkinan
hasil :
Korban/pasien menjadi sadar kembali.
Korban/pasien dinyatakan mati.
Korban/pasien belum dapat dinyatakan mati dan belum timbul denyut jantung spontan.
Dalam hal ini perlu diberi pertolongan lebih lanjut (bantuan hidup lanjut).
Denyut lanjut spontan timbul, tetapi korban/pasien belum pulih kesadarannya. Ventilasi
spontan bisa ada atau tidak.
Selain kompresi dada luar, yang juga termasuk bantuan sirkulasi adalah penghentian
perdarahan dan penentuan posisi untuk mengatasi syok, yaitu dengan meletakkan kepala lebih
rendah daripada kaki.
Bantuan Hidup Lanjut (Advanced Lie Support)
Bantuan hidup lanjut (BHL) bertujuan melalui kembali sirkulasi spontan dan mempertahankan
sistem jantung paru dengan cara memulihkan transport oksigen arteri mendekati normal. BHL
diberikan setelah dilakukan ABC RJP an belum timbul denyut jantung spontan. Yang termasuk
dalam BHL adalah DEF RJP, yaitu : Drugs Fluids Intravenous Infusion (pemberian obat-obatan
dan cairan melalui infus intravena tanpa menunggu hasil EKG).
Cara menstabilkan penderita sesak napas karena trauma
Penstabilan pasien trauma bertujuan untuk mengurangi resiko penderita menjadi lebih buruk
dengan jalan stabilitasi yang benar. Sehingga dapat melakukan transportasi yang aman.

Syarat melakukan transportasi dan rujukan pada penderita


Syarat merujuk pasien kegawatdaruratan :
Unstable circulation
Fraktur-fraktur terbuka
Dan pada saat merujuk jangan ke satu rumah sakit saja, harus
dibagi-bagi dan dirujuk sesuai indikasi.
Contoh :
o Cuma fraktur ringan di bawa ke rumah sakit lokal.
o Trauma kepala dibawa ke rumah sakit pusa yang punya ct scan dan peralatan yang lengkap.
Transportasi pasien dengan :
Long spine board
Servical collar
Vacuum mattress
Ked (kendrick exrication device)
Scoop stretcher.
Syarat ditransportasi yaitu keadaan pasien/korban harus stabil dulu gangguan airways,
breathing(example tenion pneumothoraks) dan usahakan sudah diberi penanganan awal
pendarahan.

4. Diagnosis banding
a. Trauma
Obstruksi Benda Asing
Pneumothoraks
b. Non Trauma
Asma
Keracunan

2.6 Bagaimana cara menstabilkan penderita sesak napas yang disebabkan oleh trauma

Menstabilisasi pasien dengan trauma

Proses untuk menjaga kondisi dan posisi penderita / pasien agar tetap stabil selama
pertolongan pertama

Prinsip stabilisasi trauma :

1. Menjaga korban supaya tidak banyak bergerak sehubungan dengan keadaan yang
dialaminya

2. Menjaga korban agar pernafasannya tetap stabil

3. Menjaga agar perdarahan tidak bertambah

4. Menjaga agar tingkat kesadaran korban tidak jatuh pada keadaan yang lebih buruk lagi

5. Menjaga agar posisi patah tulang yang telah dipasang bidai tidak berubah
Pertahankan posisi pasien tetap datar
selama diangkat

Untuk stabilisasi yang efektif diperlukan :

Resusitasi yang cepat

Menghentikan pendarahan dan menjaga sirkulasi

Imobilisasi fraktur

Analgesia

2.7 Bagaimana tindakan awal penanganan jalan napas pada penderita sesak napas
dengan menggunakan alat dan tanpa alat

1. Penilaian dan Antisipasi Sumbatan Jalan Napas

Tetapkan apakah jalan napas berada dalam keadaan bebas dan terlindung, terancam atau
mengalami sumbatan parsial atau total. Jalan napas yang bebas merupakan prioritas utama.
Prorteksi terhadap aspirasi hanya bersifat relative, tindakan terpenting yang perlu dilakukan
adalah penilaian awal dan penanganan kondisi pernapasan dan sirkulasi pada pasien

a. Inspeksi dan dengar aliran udara naoas, frekuensi, serta dalamnya pernapasan (pada
mulut dan hidung, pergerakan dinding dada, atau adanya tarikan trakea (tracheal
tug))
b. Dengarkan adanya suara napas yang abnormal (suara mendeguk (gargling),
mendengkur (snoring), tersedak (choking), batuk, stridor, mengi (wheezing))
c. Nilai suara pasien dan kualitasnya (lemah, terdengar kesakitan, serak)
d. Tentukan tingkat kesadaran pasien (menggunakan GCS)
e. Inspeksi mulut untuk mencari benda asing
f. Uji kekuatan otot rahang, mulut, dan otot-otot orofaring
g. Uji refleks muntah
h. Palpasi daerah maksilofasial dan leher (adanya pembengkakan, deformitas,
emfisema subkutis)

2. Perasat-perasat untuk membuka atau mempertahankan jalan napas

a. Posisi Koma

Baringkan pasien pada sisi samping. Pada posisi ini lidah akan jatuh ke depan dan ke satu sisi
sehingga cairan dari dalam mulut dapat mengalir keluar sehingga mengurangi risiko aspirasi.
Apabila diperlukan, suction dan laringoskopi dapat dilakukan dengan pasien dalam posisi
Trendelenburg lateral kiri.

b. Memiringkan kepala ke arah belakang (head tilt)

Ekstensikan kepala pada sendi atlanto-oksipital dengan meletakkan satu tangan pada dahi.
Perasat ini biasanya dikombinasi dengan perasat mengangkat dagu (chin lift) atau mendorong
rahang (jaw thrust).

c. Mengangkat dagu (chin lift)

Angkat rahang bawah dan topang dengan mulut pasien dalam keadaan sedikit terbuka.

d. Mendorong rahang (jaw thrust)

Pegang angulus mandibularis dan angkat ke arah depan. Jaw thrust yang dilakukan dengan baik
dapat meminimalkan head tilt yang dibutuhkan untuk mengamankan jalan napas pada pasien
yang dicurigai mengalami cedera tulang belakang leher.

e. Neck Lift

Angkat leher ke sniffing position. Perasat ini kurang efektif dibandingan perasat head tilt/chin
lift atau head tilt/jaw thrust. Dikontraindikasikan pada cedera vertebra servikalis.
2.8 Kapan terapi oksigen dapat diberikan pada pasien dan berapa persen jumlah
pemberian

Terapi oksigen adalah pemberian oksigen dgn konsentrasi yang lebih besar daripada udara
ruang untuk mencegah hipoksemia.

Tujuan terapi oksigen :

Mempertahankan PaO2 > 60 mmHg atau SaO2 > 90%

Mengoptimalkan oksigenisasi jaringan dan meminimalkan asidosis respiratory.

Indikasi terapi oksigen :

Henti jantung dan nafas

Hipoksemia AGD PaO2 <58, 5% SaO2 <90%

Respiratory distrees respiratory rate >24/menit

Hipotensi sistol < 100 mmHg

Low cardiac output dan asidosis metabolik

Indikasi pemberian oksigen harus jelas . Oksigen yang diberikan harus diatur dalam jumlah yang
tepat dan harus dievaluasi agar dapat manfaat terapi

Indikasi terapi oksigen jangka pendek

Hipoksemia akut (PaO2< 60 mmHg: SaO2 < 90%)

Henti jantung dan henti napas


Hipotensi (tekanan darah sistolik < 100 mmHg)

Curah jantung yang rendah dan asidosis metabolic (bikarbonat <18 mmol/L)

Indikasi terapi oksigen jangka panjang

PaO2 istirahat 55 mmHg atau saturasi oksigen 88%

PaO2 istirahat 55-59 mmHg dengan saturasi oksigen 89% pada salah satu keadaan:

Edema karena disebabkan oleh CHF

P pulmonal pada pemeriksaan EKG (gelombang P > 3 mmpada lead II,III,aVF)

Eritrosemian (hematokrit >56%)

PaO2 > 59mmHg atau oksigen saturasi >89%

Jumlah pemberiannya
1. Jika pemberiannya menggunakan nasal canul

Dik : udara bebas 21%

O2 kanul 3L/menit

Dit : berapa suplai O2 yang diberikan pada pasien ?

Jwb :

3L x 4(Konstanta) = 12 %

12% + 21% (udara bebas diruangan) = 33%

2. Jika pemberiannya menggunakan simple mask

Dik : udara bebas 21%

O2 simple mask 8L/menit

Dit : berapa suplai O2 yang diberikan pada pasien ?

Jwb :

8L x 4(Konstanta) = 32%

32% + 21% (udara bebas diruangan) = 53%

2.9 Apabila tindakan penanganan awal gagal, bagaimana tindakan penanganan


selanjutnya

Intubasi Endotrakeal

Intubasi endotrakeal merupakan cara yang paling efektif dan handal untuk
mengamankan jalan napas. Metode ini menjamin patensi jalan napas, mencegah aspirasi,
memastikan oksigenasi yang baik, dan memungkinkan pemberian ventilasi tekanan tinggi dan
positive end-expiratory pressure (PEEP). Suctioning dapat dilakukan dengan mudah; obat-
obatan juga dapat diberikan melalui selang endotrakeal apabila tidak terdapat akses intravena.

DEFINISI

Intubasi endotrakheal adalah tindakan untuk memasukan pipa endostracheal kedalam trachea.
Tujuannya adalah pembebasan jalan nafas, pemberian nafas buatan dengan bag and mask,
pemberian nafas buatan secara mekanik ( respirator )memungkinkan pengisapan secret secara
adekuat, mencegah aspirasi asam lambung dan pemberian oksigen dosis tinggi.

TUJUAN

Tujuannya adalah pembebasan jalan nafas, pemberian nafas buatan dengan bag and mask,
pemberian nafas buatan secara mekanik ( respirator )memungkinkan pengisapan secret secara
adekuat, mencegah aspirasi asam lambung dan pemberian oksigen dosis tinggi.

INDIKASI

a. Ada obstruksi jalan nafas bagian atas

b. Pasien memerlukan bantuan nafas dengan respirator

c. Menjaga jalan nafas tetap bebas

d. Pemberian anestesi seperti pada operasi kepala, mulut, hidung, tenggorokan, operasi
abdominal dengan relaksasi penuh dan operasi thoracotomy.

e. Terdapat banyak sputum ( pasien tidak mengeluarkan sendiri )

JENIS INTUBASI

a. Intubasi oral

-Keuntungan : lebih mudah dilakukan, bisa dilakukan dengan cepat pada pasien dalam keadaan
emergency, resiko terjadinya trauma jalan nafas lebih kecil.

-Kerugian : tergigit, lebih sulit dilakukan oral hygiene dan tidak nyaman.

b. Intubasi nasal

-Keuntungan : pasien merasa lebih enak/ nyaman, lebih mudah dilakukan pada pasien sadar,
tidak akan tergigit

-Kerugian : pipa ET yang digunakan lebih kecil, pengisapan secret lebih sulit, dapat terjadi
kerusakan jaringan dan perdarahan, dan lebih sering terjadi infeksi ( sinusitis )

KOMPLIKASI

a. Ringan : Tenggorokan serak, kerusakan pharyng, muntah, aspirasi, gigi copot/ rusak.

b. Serius : Laryngeal edema, obstruksi jalan nafas, rupture trachea, perdarahan hidung,
fistula trcheoesofagal granuloma, memar, laserasi akan terjadi dysponia dan dyspagia, bradi
kardi, aritmia, sampai dengan cardiac arrest.

Penyulit :

a. Leher pendek
b. Fraktur servical

c. Rahang bawah kecil

d. Osteoarthritis temporo mandibula joint

e. Trismus

f. Ada masa difaring dan laring

PERSIAPAN PASIEN DAN ALAT

1. Persiapan pasien.

a. Beritahukan pasien tentang tindakan yang akan dilakukan

b. Minta persetujuan keluarga/ informed consent

c. Berikan support mental

d. Hisap cairan atau sisa makanan dari naso gastric tube

e. Yakinkan pasien terpasang IV line dan infuse menetes dengan lancer

2. Persiapan alat.

a. Bag and mask + slang 02 dan 02

b. Laryngoscope lengkap dengan blade sesuai ukuran pasien dan lampu harus menyala
dengan terang

c. Alat-alat untuk suction ( yakinkan berfungsi dengan baik )

d. Xillocain jelli/ xyllocain spraydan ky jelli

e. Naso/ orotracheal tube sesuai ukuran pasien

Laki-laki dewasa no 7, 7.5, 8


Perempuan dewasa no 6.5, 7, 7.5
Anak-anak usia ( dalam tahun ) + 4 dibagi 4
f. Konektor yang cocok dengan tracheal tube yang disiapkan

g. Stilet/ mandarin

h. Magyll forcep

i. Oropharingeal tube ( mayo tube )

j. Stethoscope

k. Spoeit 20 cc untuk mengisi cuff


l. Plester untuk fiksasi

m. Gunting bantal kecil setinggi 12 cm

PROSEDUR

a. Mencuci tangan

b. Posisi pasien terlentang

c. Kepala diganjal bantal kecil setinggi 12 cm

d. Pilih ukuran pipa endotraceal yang akan digunakan

e. Periksa balon pipa/ cuff ETT

f. Pasang blade yang sesuai

g. Oksigenasi dengan bag dan mask/ ambil bag dengan O2 100%

h. Masukan obat-obat sedasi dan muscle relaxan

i. Buka mulut dengan laryngoscope sampai terlihat epiglottis

j. Dorong blade sampai pangkal epiglottis

k. Lakukan pengisapan lender bila banyak secret

l. Anastesi daerah laring dengan xillocain spray ( bila kasus emergency tidak perlu
dilakukan )

m. Masukan endotraceal tube yang sebelumnya sudah diberi jelli

n. Cekapakah endotraceal sudah benar posisinya

o. Isi cuff dengan udara, sampai kebocoran mulai tidak terdengar

p. Lakukan fiksasi dengan plester

q. Foto thoraks

PERAWATAN INTUBASI

a. Fiksasi harus baik

b. Gunakan oropharing air way ( guedel )pada pasien yang tidak kooperatif

c. Hati-hati pada waktu mengganti posisi pasien

d. Jaga kebersihan mulut dan hidung


e. Jaga patensi jalan nafas

f. Humidifikasi yang adekuat

g. Pantau tekanan balon

h. Observasi tanda-tanda vital dan suara paru-paru

i. Lakukan fisioterapi nafas tiap 4 jam

j. Lakukan suction setiap fisioterapi nafas dan sewaktu-waktu bila ada suara lender

k. Yakinkan bahwa posisi konektor dalam posisi baik

l. Cek blood gas untuk mengetahui perkembangan

m. Lakukan foto thorak segera setelah intubasi dan dalam waktu-waktu tertentu

n. Observasi terjadinya empisema kutis

o. Air dalam water trap harus sering terbuang

p. Pipa endotraceal tube ditandai diujung mulut/ hidung

Krikotiroidotomi

Krikotirodotomi merupakan tindakan penyelamat pada pasien dalam keadaan gawat napas.
Dengan cara membelah membrane krikotiroid untuk dipasang kanul. Membrane ini terletak
dekat kulit, tidak terlalu kaya darah sehingga lebih mudah dicapai. Tindakan ini harus dikerjakan
cepat walaupun persiapannya darurat (Hadiwikarta, dkk, 2010)

Krikotiroidotomi dibagi menjadi 2 macam yaitu needle cricothyroidotomy dan surgical


cricothyroidotomy.

a. Needle cricothyroidotomy

Pada needle cricothyroidotomy,sebuah semprit dengan jarum digunakan untuk melubangi


melewati membran krikoid yang berada sepanjang trakea. Setelah jarum menjangkau trakea,
kateter dilepaskan dari jarumnya dan dimasukkan ke tenggorokan dan dilekatkan pada sebuah
kantung berkatup.

b. Surgical cricothyroidotomy

Pada surgical cricothyroidotomy, dokter dan tim medis lainnya membuat insisi melewati
membran krikoid sampai ke trakea dengan tujuan memasukkan pipa untuk ventilasi pasien.

Teknik Krikotirodotomi
Pasien tidur telentang dengan kepala ekstensi pada artikulasio atlanto oksipitalis. Puncak tulang
rawan tiroid (Adams apple) mudah diidentifikasi difiksasi dengan jari tangan kiri. Dengan
telunjuk jari tangan kanan tulang rawan tiroid diraba ke bawah sampai ditemukan kartilago
krikoid. Membrane krikotiroid terdapat diantara kedua tulang rawan ini. Daerah ini diinfiltrasi
dengan anestetikum kemudian dibuat sayatan horizontal pada kulit. Jaringan dibawah sayatan
dipisahkan tepat pada garis tengah. Setelah tepi bawah kartilago tiroid terlihat, tusukkan pisau
dengan arah ke bawah. Kemudian, masukkan kanul bila tersedia. Jika tidak, dapat dipakai pipa
plastic untuk sementara.

Krikotirodotomi merupakan kontraindikasi pada anak dibawah 12 tahun, demikian juga pada
tumor laring yang sudah meluas ke subglotik dan terdapat laryngitis. Stenosis subglotik akan
timbul bila kanul dibiarkan terlalu lama karena kanul yang letaknya tinggi akan mengiritasi
jaringan-jaringan disekitar subglotis, sehingga terbentuk jaringan granulasi dan sebaiknya
segera diganti dengan trakeostomi dalam waktu 48 jam.

Indikasi

Indikasi Absolut krikotiroidotomi :

- gagal intubasi, tidak terjadi ventilasi, atau pasien tidak bias tenang terhadap
pemasangan alat bantu nafas.

Indikasi relative krikotiroidotomi :

- trauma wajah atau orofaringeal yang masif

- pembengkakan wajah atau orofaringeal yang masif.

Kontraindikasi

Kontraindikasi absolute : tidak ada kontraindikasi absolute untuk dilakukan krikotiroidotomi

Kontrainsokasi relative :

Transeksi trakea dengan retraksi trakea ke mediastinum

Fraktur laring atau trauma pada kartilago krikoid

Tumor laring

Anak usia < 8 tahun karena anatomi kecil dan jaringannya sangat lembut

Gangguan perdarahan

Edema leher yang masif

Inflamasi laring yang berat (laringotrakeitis, difteri, inflamasi kimia, TB).

Komplikasi
Komplikasi dari krikotiroidotomi :

Gagal napas

Perdarahan local dan hematoma

Emfisema subkutis

Infeksi

Perforasi esophageal

Mediastinitis

Pneumotoraks

Pneumomediastinum

Trauma pita suara

Trauma laring

Trauma kelenjar tiroid

Trauma arteri karotis, vena jugularis, dan nervus vagus

Stoma persisten

Stenosis subglotik

Trakeostomi

Trakeostomi adalah prosedur operatif dengan membuat lubang untuk bernapas pada dinding
depan trakea. Trakeostomi menurut letak yaitu letak yang tinggi dan letak yang rendah dan
batasnya adalah cincin trakea ketiga. Trakeostomi menurut waktu yaitu trakeostomi darurat
dan trakeostomi berencana.

Indikasi Trakeostomi

Alasan utama trakeostomi dilakukan, yaitu :

- Obstruksi saluran napas atas

- Insufisiensi mekanis respirasi

- Kesulitan pernapasan akibat sekresi

- Elektif: trakesotomi dilakukan untuk mempertahankan aliran udara saat saluran napas
atas tidak dapat dilakukan

- Untuk membantu pemasangan alat bantu pernapasan


- Mengurangi ruang rugi /dead air space

Prosedur Trakeostomi

Alat-alat yang diperlukan, yaitu :

- Spoit (semprit) dengan anestesi local (lidokain 2%)

- Pisau (bisturi no. 11 & 15 dan penanganannya)

- Pinset anatomi

- Gunting panjang dengan tepi/ujung yang tumpul

- Haak tumpul yang kecil, klem arteri (hemostat) lurus & bengkok

- Retraktor untuk membuka lumen trakea

- Suction dan kauterisasi

- Kanul trakea

- Forceps.

Kanul Trakheostomi

Terdiri dari 3 bagian yaitu kanul luar, kanul dalam dan abturator. Kanul dalam dapat ditarik
untuk dapat dibersihkan dalam waktu yang singkat. Obturator hanya digunakan sebagai
penuntun untuk kanul luar dan dicabut kembali setelah kanul luar masuk pada tempatnya.
Bentuk-bentuk kanul dapat pula bervariasi sesuai dengan jenis dan kegunaannya masing-
masing.

Jenis-jenis Kanula :

-Kanul Metal

-Dewasa dan Anak-anak

-Kanul Plastik

-Tube Portex dan Tube Sheiley

Trakheostomi Efektif Pada Orang Dewasa

Penderita tidur terlentang dengan posisi kepala lebig tingga daripada kaki untuk mengurangi
tekanan aliran balik vena. Kulit daerah leher dibersihkan secara asepsis dan antisepsis dan
ditutup dengan kain kasa steril.

Insisi horisontal direkomendasikan pada trakheostomi elektif. Insisi kulit dilakukan pada daerah
landmark sepanjang 5 cm,yaitu cincin ke-2 dan ke-4. Ikatan-ikatan otot dipisahkan selapis
demi selapis dan dijauhkan satu sama lain dengan dua penarik kecil samapi cincin trachea
tampak Isthmus ini bisa diretraksi maka dapat ditarik ke atas dan ke bawah menjauhi lapangan
trakheostomi.

Irisan trakhea dilakukan pada jajaran setinggi cincin kedua dan ketiga. Kanul trakheostomi
disesuaikan dengan diameter dari lumen trakhea dan panjangnya disesuaikan dengan panjang
trakhea. Setelah kanul terpasang, dilakukan fiksasi berupa pengikatan dari kanul dan diikatkan
disisi leher.

Trakheostomi Darurat

Indikasi: kondisi pasien sangat berat berupa hipoksia yang semakin menghebat dimana tidak
ada waktu untuk trakheostomi terencana dan fasilitas untuk intubasi endoktrakhea dan
pemasukkan bronkhoskopi tidak memungkinkan.

Teknik dari trakheostomi darurat berbeda dari trakheostomi terencana, yaitu insisi dilakukan
secara vertikal.

Trakheostomi Pada Anak

Teknik trakheostomi pada anak prinsipnya sama dengan pada orang dewasa. Anak harus lebih
hati-hati karena anatomi leher anak sedikit berbeda. Diperlukan pula suatu ventilasi control
dengan masker.

Perawatan Pasca Trakheostomi

- Awasi tanda vital

- Foto dada segera dilakukan dan 48 jam kemudian untuk melihat komplikasi lambat yang
mungkin ada.

- Udara hangat yang lembab harus disediakan selama 48 sampai 72 jam

- Aspirasi teratur harus dilakukan dalam beberapa hari segera setelah operasi

Komplikasi

Immediate

- Apneu, akibat lambatnya penanganan hipoksia

- Perdarahan

- Pneumothoraks dan pneumomediastinum

- Trauma pada kartilago krikoid

- Trauma pada struktur dekat trachea, seperti esophagus, n.laringeal rekurens dan pleura.

Intermediate.
- Erosi trachea dan perdarahan

- Disposisi dari kanul trakheostomi

- Emfisema subkutan

- Aspirasi dan abses paru

Late

- Fistel trakheokutanes yang menetap

- Stenosis dari laring dan trachea

- Pembentukan jaringan ikat pada trachea

- Fistel trakheaosofagus

Dekanulasi

Pastikan bahwa penyakit yang mendasari tindakan trakeostomi telah teratasi. Penutupan kanul
trakeostomi dilakukan secara bertahap. Mulai dari bagian stoma/lubang, bagian dan
terakhir ditutup penuh, atau dengan mengganti kanul dengan diameter yang lebih kecil.

Syarat-syarat dilakukan dekanulasi

Hambatan atau kelainan neurologik sudah teratasi sehingga airway melalui hidung sudah
adekuat. Jika pasien dapat batuk dengan adekuat dan disertai fungsi menelan yang sudah baik.
Sekret tidak ada tanda-tanda infeksi seperti mukopurulen. Stoma terawat baik dan tidak ada
komplikasi misalnya fistel (faringokutan).

2.10 Bagaimana cara pemakaian obat-obat darurat pada scenario; tindakan apa yang
tidak boleh dilakukan pada pasien sesak napas

Banyak hal yang bias menyebabkan pasien mengalami sesak nafas, baik penyakit akibat
traumatik maupun non traumatik. Obat-obat yang diberikan kepada pasien pun diberikan
sesuai dengan etiologi sesak nafas. Pada kasus di skenario kita awali dengan melakukan ABCDE.
Airway, Breathing, Circulation, Disability, and Environment.

Kasus Gawat Darurat dan Obatnya

TERAPI SESAK TRAUMA DAN NON TRAUMA

TERAPI SESAK TRAUMA

PNEMOTORAKS

Torakostomi slang dengan penyedotan kontinu dianjurkan untuk semua pneumotoraks


traumatik, Kecuali yang sangat minor. Demikian juga untuk pneumotoraks spontan berukuran
sedang hingga besar. Ketika dilakukan teknik trakeostomi slang, berikan lidokain pada saat
melakukan infiltarsi luas sampai ke peristeum dan permukaan pleura. Pada pneumotoraks
terbuka, berikan penyuntikan larutan glucose 40-50% untuk melekatkan kedua pleura.

FLAIL CHEST

Pada pasien UGD lakukan stabilisasi internal. Untuk mengatasi nyeri berat berikan bupivakain
(Marcaine) 0,5% sampai 5 ml, diinfiltrasikan disekitar N. interkostalis pada iga yang fraktur dan
iga-iga diatas dan dibawah yang cedera. Tempat penyuntikan dibawah tepi bawah iga.

HEMOTORAKS

Hemotoraks yang signifikan harus dialirkan melalui slang torakostomi yang dihubungkan
dengan sekat air. Darah dibuang dan paru dikembangkan kembali. Drainase dari slang dada
akan mencerminkan beratnya perdarahan. Pemulihan volume darah dengan cairan / darah IV
harus dimulai segera. Torakotomi diruang operasi perlu dipikirkan jika pada torakostomi slang
awal ditentukan darah >20 ml/kg. jika perdarahan menetap dengan kecepatan >7 ml/kg/jam
atau jika pasien tetap hipotensi tempat-tempat perdarahan lain sudah disingkirkan.

KONTUSIO PARU

Terapi yang paling signifikan adalah intubasi ET untuk dapat melakukan penyedotan dan
memasang ventilasi mekanik dengan continouos possitive end expiratory pressure (PEEP).

TERAPI SESAK NON TRAUMA

Brokospasme : Asma, Anafilaksis dan PPOK

ASMA

Bronkodilator (-2 adrenergik) dgn inhaler dosis terukur, albuterol 2,5-5 mg (0,5-1 ml larutan
0,5% dalam 2-3 ml larutan salin) setiap 20-30 menit jika perlu untuk 3 dosis. Selain itu dapat
ditambahkan steroid bila serangan bersifat lebih berat, misalnya prednison/prednisolon 60-120
mg/hari dosis terbagi 3 dan diturunkan bertahap selama 10 hari.

ANAFILAKSIS

Bronkospasme dapat dicetuskan oleh reaksi alergi, terapinya berupa pengobatan


simpatomimetik dan antihistamin Epinefrin 0,3 ml larutan 1/1000 diberikan subkutan atau IM
(dengan sangat hati-hati pada lansia. Untuk kasus berat, epinefrin diberikan IV, 0,1 mg (1 ml
larutan 1/10.000) yang diencerkan dalam 10 ml saline selama 5 menit. Antihistamin parenteral
difenhidramin (benadryl) 50 mg IM/ IV. Simitidine (Tagamet) 300 mg IV/ ranitidin 50 mg IV

PPOK
Pemberian oksigen dapat menginaktifkan reseptor O2, backup mereka sehingga dapat terjadi
henti pernapasan, Oleh karena itu, oksigen suplemen harus diberikan mulai dengan 0,5-
2L/menit dengan kanula hidung. Ipratropium bromide dapat membantu PPOK dengan
bronkospasme

SINDROMA HIPERVENTILASI

Terapinya berupa menenangkan pasien dan jika perlu, sedasi farmakologis (diazepam 10 mg)
Bernapas ke dalam sebuah kantong kertas untuk meningkatkan Pco2 inspirasi sudah kurang
disukai karena tindakan ini tidak terlalu efektif dan dapat menyebakan hipoksia.

GANGGUAN INHALASI

Terapi ARDS yang meliputi ventilasi tekanan positif dengan PEEP melalui ETT. Intubasi
enditrakeal dini harus dipertimbangkan pada pasien dengan luka bakar ternal luas diwajah atau
membran mukosa karena timbulnya edema.

KERACUNAN KARBON MONOKSIDA

Menentukan kadar Cohg

Memasang oksigen aliran tinggi sambil menunggu hasil pemeriksaan Cohg

Oksigen melalui masker dengan konsentrasi 1005 harus diberikan kepada semua pasien
simtomatik dengan kadar Cohg >10%

Pasien dengan gangguan mental / Cohg >40% harus diterapi dalam ruangan hiperbarik

Pasien dengan gangguan fungsi jantung, kadar Cohg > 25% maka harus dirawat di rumah sakit
untuk monitoring jantung dan pemberian oksigen.

SESUAI SKENARIO

Obat-obatan yang dibutuhkan dalam hal darurat sebenarnya tergantung dari keadaan pasien
sendiri, apakah ia benar membutuhkan obat tersebut atau masih membutuhkan penanganan
non farmakologis dalam menstabilisasi keadaan pasien terlebih dahulu. Namun apabila telah
dipastikan pasien dalam keadaan stabil dapat segera diberikan obat-obatan untuk menunjang
pemulihan pasien. Dalam hal ini bila kita mendapat pasien dengan keadaan seperti di skenario
dengan gejala sesak nafas disertai adanya nadi yang cepat dan lemah, pucat, sianosis, namun
tidak ada batuk dan demam, tentu ini merupakan keadaan emergensi yang mana setelah kita
stabilisasikan terlebih dahulu pasien tersebut, barulah kita cari tahu lebih mendalam apa
sebenarnya penyebab dari keadaan tersebut, mungkinkah karena suatu penyakit tertentu (Non-
Trauma) ataukah karena keadaan trauma yang dialami pasien.

Misalnya pasien dicurigai ke arah Non-trauma, atau suatu penyakit misalnya status asmatikus
dimana pasien mengalami bronkospasme dan timbul gejala-gejala seperti pada skenario, terapi
obat yang bersifat emergensi mungkin dibutuhkan yaitu selain oksigen yang pada dasarnya
memang dibutuhkan pasien, tetapi juga dapat diberikan obat-obatan bronkodilator (-2
adrenergik) dengan inhaler dosis terukur, albuterol 2,5-5 mg (0,5-1 ml larutan 0,5% dalam 2-3
ml larutan salin) setiap 20-30 menit jika perlu untuk 3 dosis. Selain itu dapat ditambahkan
steroid bila serangan bersifat lebih berat, misalnya prednison atau prednisolon 60-120 mg/hari
dosis terbagi 3 dan diturunkan bertahap selama 10 hari. Hal ini tentu saja dibarengi dengan
follow up pasien apakah keadaan daruratnya masih harus ditangani atau memang sudah stabil.
Selain itu pada sekenario juga mungkin saja mengalami bronkospasme akibat reaksi anafilaksis
(alergi) , selain dibutuhkan antihistamin dapat juga diberikan obat-obatan
simpatomimetik/adrenergik misalnya efinefrin (adrenalin) 0,3 ml larutan secara subkutan, IM,
atau IV 0,1 mg yang diencerkan dalam 10 ml saline selama 5 menit, namun secara inhalasi akan
lebih baik walaupun dengan dosis yg lebih besar dan kerja lebih lama. Setelah sesak nafas
berkurang dan pasien sudah stabil maka dapat diberikan antihistamin maupun steroid
parenteral. Mengingat alergi merupakan keadaan yang dicetuskan oleh alergen dan dapat
mengakibatkan selain keadaan bronkospasme tapi juga dapat timbul laringospasme ataupun
hipotensi. Kedua hal tersebut dapat ditangani dengan pemberian obat lidokain IV 1 mg/kg BB
(laringospasme), dan 1-2 L saline atau ringer laktat diinfuskan secara cepat (hipotensi).

Namun jika sesak nafas yang disebabkan karena keadaan trauma, maka tindakan secepatnya
yang paling dibutuhkan yaitu lebih berkaitan dengan tindakan bedah sesuai dengan trauma
yang terjadi. Misalnya hemothorax yang disebabkan karena kontusio paru yang biasanya harus
langsung dilakukan tindakan suction atau penyedotan sekret yang terkumpul pada trakea dan
bronkkus dengan pemasangan intubasi endotrakea terlebih dahulu. Atau pada kasus trauma
lain misalnya pneumothorax dapat dilakukan torakostomi slang dengan pnyedotan kontinu.

Hal yang tidak boleh dilakukan pada pasien dengan sesak nafas adalah pemberian obat yang
menyebabkan depresi nafas.

(Sumber : Buku Manual Kedokteran Darurat Michael Jay Bresler, George L.Sternbach Edisi 6,
Buku Ajar IPD FKUI BAB Kegawatdaruratan Medik Jilid I Edisi IV)

2.11 Jelaskan syarat-syarat untuk melakukan transportasi dan rujukan pada pasien

SYARAT TRANSPORT DAN RUJUKAN PASIEN GAWAT DARURAT :

TUJUAN

Mengenal penderita trauma yang harus dilakukan rujukan

Melakukan persiapan yang optimal untuk dilakukan rujukan dengan cara transport yang
sesuai

Mengetahui RS rujukan yang mampu menangani penderita trauma

MENENTUKAN PERLUNYA RUJUKAN

Kebanyakan penderita trauma dapat dilakukan tindak di RS setempat

Dalam menentukan rujukan penting diketahui kemampuan dokter dan RS yang


akanmenerima rujukan
Bila sudah diputuskan dirujuk jangan menundanunda rujukan dengan melakukan
tindakan diagnostik (misal:DPL CT Scan dsb)

Waktu sangatlah penting dari mulai kejadian sampai dilakukan terapi difinitif

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEBERHASILAN RUJUKAN

Jarak antara RS Pusat rujukan

Kesiapan tenaga terampil untuk mendampingi penderita

Peralatan ambulance

Keadaan penderita sebelum dan selama transport

FAKTOR-FAKTOR YANG MENJADI DASAR UNTUK RUJUKAN

Kriteria fisiologis penderita syock yang sulit diatasi dengan penurunan keadaan
neurologis

Pola perlukaan

Biomekanik trauma

Masalah khusus

Sebaiknya stabilkan dulu keadaan penderita kemudian dilakukan rujukan

KESULITAN DALAM MELAKUKAN RUJUKAN

Penderita dalam keadaan gelisah dengan tidak kooperatif akan sangat sulit, kadang-
kadangpenderita diikat kuat

Pemberian sedativa pada penderita tersebut sebaiknya dilakukan intubasi

KESULITAN DALAM MELAKUKAN RUJUKAN

Sebelum memberikan sedativa sebaiknya :

Masalah ABCDE sudah teratasi

Mengurangi rasa nyeri dengan memasang pada penderita fraktur dan pemberian
narkotik dengan dosis kecil

Menghentikan pendarahan dengan balutan

Usahakan menenangkan penderita

PATUT DI INGAT
Pemberian benzodiazopam, fentanyl,propofol dengan ketamin berbahaya bila diberikan
padapenderita dengan syock intoksikasi dan trauma kapitis

Bila ragu-ragu serahkan pada ahlinya

Pemakai alkohol/obatobatan lain sering ditemukan pada penderita trauma harus


dikenalikarena mungkin dapat mengurangi rasa nyeri dan menghilangkan gejala

Perubahan tingkat kesadaran dapat dipengaruhi oleh alkohol dan obat-obatan

CARA RUJUKAN

Dokter/perawat yang mengirim bertanggung jawab untuk memulai rujukan yaitu :

- cara transport harus dipilih yang sesuai

- perawatan dalam perjalanan

- komunikasi dengan RS dirujuk

- penderita dalam keadaan stabil saat akan dirujuk

- laporkan prosedur tindakan yang telah dilakukan

CARA RUJUKAN

Dokter/perawat yang dirujuk

Yakinkan bahwa RS mampu menerima penderita

Bersedia untuk menerima

Sebaiknya dapat membantu memilih cara transport

Komunikasi dapat membantu keamanan dalam transport penderita

CARA TRANSPORT

Prinsip DO NO Further Harm sangat berperan. Udara, darat, laut dapat dilakukan
dengan amanstabilkan penderita sebelum dilakukan transport

Persiapkan tenaga yang terlatih agar proses transport berjalan dengan aman

PROTOKOL RUJUKAN

1.Sebelum melakukan rujukan harus melakukan komunikasi dengan memberikan informasike


RS rujukan tentang :

Identitas penderita ;nama, umur, kelamin,dll

Hasil anamnesa penderita dan termasuk data pra RS


Penemuan awal pemeriksaan dengan respon terapi

PROTOKOL RUJUKAN

2. Informasi untuk petugas pendamping

Pengelolaan jalan nafas

Cairan yang telah/akan diberikan

Prosedur khusus yang mungkin diperlukan

GCS, resusitasi, dan perubahan-perubahan yang mungkin terjadi dalamperjalanan.

PROTOKOL RUJUKAN

3. Dokumentasi

Harus disertakan dengan penderita :

-Permasalahan penderita

-Terapi yang telah diberikan

-Keadaan penderita saat akan dirujuk

-Sebaiknya dengan fax agar data lebih cepat sampai

PROTOKOL RUJUKAN

4.Sebelum rujukan

Sebelum dirujuk stabilkan dulu penderita, yaitu :

Airway : pasang OPA bila perlu intubasi

Breathing : tentukan laju pernafasan, oxygen bila perlu ventilasi mekanik

Circulation : Kontrol pendarahan

Pasang infus bila perlu 2 jalur

Tentukan jenis cairan

Perbaiki kehilangan darah, bila perlu teruskan selama transportasi

Pemasangan kateter urin

Monitor kecepatan dan irama jantung

Berikan diuretik bila diperlukan


Bila Curiga Ada Cedera Cervikal Dan Tulang Belakang

Luka : - hentikan pendarahan dengan balutan dan tehnik lainnya

- profilaksis tetanus

- antibiotik bila perlu

Fraktur : pasang bidai atau traksi

5. Pegelolaan selama transport

Petugas pendamping harus :

Monitor, tanda-tanda vital bila tersedia, pasang pulse oxymetry

Bantu kardio respirasi bila diperlukan

Pemberian darah bila diperlukan

Pemberian obat-obatan sesuai instruksi dokter atau sesuai protap

Melakukan komunikasi dengan dokter selama transportasi

Dokumentasi

PERMASALAHAN

Pemindahan penderita dari satu tempat ke tempat lain tanpa mempertimbangkan jarak selalu
berbahaya

Harus dipikirkan masalah yang akan timbul selama transportasi. Misal : ETT tercabut, pemakai
monitor jantung, penggunaan listrik yang tidak cocok

Terjadi penurunan tingkat kesadaran atau hemodinamika

Data dengan hasil pemeriksaan tertinggal

KESIMPULAN

Prinsip utama pelayanan trauma DO NO FURTHER HARM

Harus ada komunikasi antar RS yang merujuk dengan yang dirujuk

Petugas/perawat pendamping harus sudah terlatih dengan baik dibidang gawat darurat

PERSYARATAN AMBULANS

Suspensi lunak

Cukup tinggi
Ruangan cukup luas

Kalau bisa muat 2 penderita paling sedikit

Pakai pendingin/AC

Identitas jelas

ALAT-ALAT YANG DIPERLUKAN

Tempat tidur/blankard

Tandu scoop

Vacum matras/LSB SSB

Alat resusitasi

Alat monitor jantung

Obat-obat resusitasi

MASALAH YANG MUNGKIN TERJADI DALAM EVAKUASI

Dapat berupa :

- Darat

- Udara

- Laut / air

1.Melalui darat & laut tidak terlalu banyak masalah hanya waktu lebih lama

2.Melalui udara mempunyai masalah tersendiri yang harus dikuasai oleh tim medis
yangmelakukannya.

Sebelum Melakukan Evakuasi Harus Dipikirkan

Apakah pasien perlu dirujuk ?

Cara transportasinya ?

PASIEN-PASIEN YANG HARUS DIRUJUK

1.Bayi Prematur dengan komplikasi yang memerlukan fasilitas (NICU)

2.Pasien hamil dengan resiko tinggi

3.Infark miokard, terutama yang tidak stabil COPD keracunan obat, syok septik dengan pasien
HD
4.Pasien Trauma dengan kelaianan neurologi, luka bakar >30%

5.Pasien psikiatri dapat ditolak dipenerbangan

PENYAKIT YANG DAPAT TIMBUL DI UDARA

HIPOKSIA

Dapat terjadi karena :

1. Kadar oksigen menurun

2. Menurunnya suplay oksigen dalam darah

- COPD

- Odema paru

- Pneumoni

- Emboli paru

3. Menurunnya kemampuan darah mentransport O2.

- Anemia

- Keracunan CO, dll

4. Menurunnya suplay O2 ke jaringan

- Syok

- Nyeri

- Perfusi jaringan menurun karena

luka bakar Frostbite

5. Menurunnya kemampuan sel mempergunakan O2

- Keracunan sianida

- Mabuk alkohol

- Bahan hitotostik lain

TOTAL CARE

Dapat dipakai dalam persiapan atau selama transport :

1. Diagnosa
- Pemeriksa fisik

- Pemeriksa lab

2. Apakah harus di evakuasi

3. Kontra indikasi

4. Cara evakuasi

5. Timing evakuasi

6. Problem pra evakuasi

7. Problem selama evakuasi

8. Problem pasca evakuasi

9. Follow up setelah keluar RS

You might also like