Professional Documents
Culture Documents
Ketuban pecah dini ditandai dengan keluarnya cairan berupa air-air dari
vagina setelah usia kehamilan 22 minggu. Pecahnya selaput amnion dapat
terjadi pada kehamilan preterm atauptun kehamilan aterm.
Jarak waktu antara, terjadinya ruptur dengan dimulai nya proses persalinan
tersebut sebagai masa laten. Disebut juga ketuban pecah dini.bila masa
laten lebih dari 1 jam.
2. Etiologi
Penyebab pasti dari KPD ini belum jelas. Akan tetapi, ada beberapa faktor
yang berhubungan dengan terjadinya KPD ini, diantaranya adalah sebagai
berikut.
a. Trauma: amniosintesis, pemeriksaan pelvis, dan hubungan seksual.
b. Peningkatan tekanan intrauterus, kehamilan kembar, atau
polihidroamnion.
c. Infeksi vagina, seviks atau karioamnionitis streptokokus, serta bakteri
vagina.
d. Selaput amnion yang mempunyai struktur yang lemah / selaput terlalu
tipis.
e. Keadaan abnormal dari fetus seperti malpresentasi
f. Kelainan pada serviks atau alat genitalia seperti ukuran serviks yang
pendek (< 25 cm)
g. Multipara dan peningkatan usia ibu
h. Defisiensi nutrisi.
Faktor lain penyebabnya adalah :
a. Faktor golongan darah
b. Akibat golongan darah ibu dan anak yang tidak sesuai dapat
menimbulkan kelemahan bawaan termasuk kelemahan jarinngan kulit
ketuban.
c. Faktor disproporsi antar kepala janin dan panggul ibu.
d. Faktor multi graviditas, merokok dan perdarahan antepartum.
e. Defisiesnsi gizi dari tembaga atau asam askorbat (Miranie , Hanifah,
dan Desy Kurniawati. 2009).
3. Patofisiologi
Infeksi dan inflamasi dapat menyebabkan ketuban pecah dini dengan
menginduksi kontraksi uterus dan atau kelemahan fokal kulit ketuban.
Banyak mikroorganisme servik ovaginal, menghasilkan fosfolipid A2 dan
fosfolipid C yang dapat meningkatkan konsentrasi secara lokal asam
arakidonat, dan lebih lanjut menyebabkan pelepasan PGE2 dan PGF2 alfa
dan selanjutnya menyebabkan kontraksi miometrium. Pada infeksi juga
dihasilkan produk sekresi akibat aktivasi monosit/ makrofag, yaitu sitokin,
interleukin 1,faktor nekrosis tumor dan interleukin 6. Platelet activating
factor yang diproduksi oleh paru-paru janin dan ginjal janin yang
ditemukan dalam cairan amnion, secara sinergis juga mengaktifasi
pembentukan sitokin. Endotoksin yang masuk ke dalam cairan
amnion juga akan merangsang sel-sel desidua untuk memproduksi sitokin
dan kemudian prostaglandin yang menyebabkan dimulainya persalinan.
5. Komplikasi
a. Infeksi intra partum (korioamnionitis) ascendens dari vagina ke
intrauterin.
b. Persalinan preterm, jika terjadi pada usia kehamilan preterm.
c. Prolaps tali pusat, bisa sampai gawat janin dan kematian janin akibat
hipoksia (sering terjadi pada presentasi bokong atau letak lintang).
d. Oligohidramnion, bahkan sering partus kering (dry labor) karena air
ketuban habis.
6. Pemeriksaan Diagnostik
a. Hitung darah lengkap untuk menentukan adanya anemia, infeksi
b. Golongan darah dan faktor Rh
c. Rasio lesitin terhadap spingomielin (rasio US): menetukan maturitas
janin
d. Tes ferning dan kertas nitrazine: memastikan pecah ketuban
e. Ultrasonografi: menentukan usia gestasi, ukuran janin, gerakan jantung
janin, dan lokasi plasenta
f. Pelvimetri : identifikasi posisi janin
7. Manajemen Terapeutik
Manajemen terapeutik bergatung pada usia kehamilan serta apakah ada
tanda infeksi atau tidak. Langkah pertama yang harus dilakukan adalah
menentukan apakah selaput amnion benar-benar ruptur. Inkontinensia
urine dan peningkatan pengeluaran vagina merupakan tanda-tanda untuk
mencurigai terjadinya rupture/pecahnya selaput amnion. Untuk
membuktikannya, dengan cara menggunakan spekulum steril guna melihat
kumpulan cairan amnioan disekitar serviks, atau dapat juga melihat
langsung cairan amnion yang keluar melalui vagina.
Saat usia kehamilan antara 32-35 minggu perlu dlakukan tes kematangan
paru janin dan cairan yang ada di vagina. Tes tersebut antaranya adalah
tes-tes yang mengukur perbandingan surfaktan dengan albumin. Tes
dengan menggunakan Phosphatidyl glycerol, atau tes yang menghitung
perbandingan lesitin dengan spingomielin. Aminiosintesis dan kultur
kuman sering dilakukan jika terdapat tanda infeksi. Tes ini berguna untuk
menghindari terjadinya Respiratory Distress Syndrom (RDS) pada bayi
jika bayi dilahirkan. Liggins dan Howie (1972) menunjukan bahwa
pemberian glukokortikoid (betametason) akan mempercepat pematangan
paru-paru fetus dan akan menurunkan insiden terjadinya RDS. Namun,
karena terjadi peningkatan insidensi kelainan neurologis dan potensi untuk
meningkatkan insidensi infeksi pada bayi baru lahir yang diberi
kortikosteroid, maka pemberian kortikosteroid belum dapat disarankan.
Bila janin telah viable (lebih dari 36 minggu) dan serviks sudah matang,
lakukan induksi persalinan dengan oksitosin 2-6 jam setelah periode laten,
dan diberikan antibiotic profilaksis. Jika serviks belum matang, matangkan
serviks dengan prostaglandin dan infuse oksitosin. Pada kasus-kasus
tertentu bila induksi partus gagal, maka dilakukan tindakan operatif.
Resiko infeksi pada KPD tinggi sekali, ini biasanya disebabkan oleh
organisme yang ada di vagina, seperti E. Colli, Streptococcus fastafis,
Streptococcus hemoliticus, proteus, klebsietta, pseudomonas dan
stafilococcus. Namun beruntunglah insiden infeksi ini masih rendah. Hal
ini Karena walaupun resikoinfeksi selama pemeriksaan dan persalinan
sangat tinggi, namun cairan amnion memiliki fungsi bakteriostatik. Jika
terdapat korioamnitis, diberi antibiotic dan akan lebih baik jiika diberikan
melalui intravena. Antibiotic yang paling efektif yaitu: gentamicin,
cephalosporine, dan ampiciline.
d. Penatalaksanaan konservatif
1) Kebanyakan persalinan dimulai dalam 24 72 jam setelah ketuban
pecah.
2) Kemungkinan infeksi berkurang bila tidak ada alat yang dimasukan
ke vagina, kecuali spekulum steril; jangan melakukan pemeriksaan
vagina.
3) Saat menunggu, tetap pantau pasien dengan ketat.
a) Ukur suhu tubuh empat kali sehari ; bila suhu meningkat secara
signifikan, dan/atau mencapai 38 C, berikan 2 macam antibiotik
dan pelahiran harus diselesaikan.
b) Observasi rabas vagina : bau menyengat, purulen atau tampak
kekuningan menunjukkan adanya infeksi.
c) Catat bila ada nyeri tekan dan iritabilitas uterus serta laporkan
perubahan apapun.
e. Penatalaksanaan agresif
1) Jel prostaglandin atau Misoprostol (meskipun tidak disetujui
penggunaannya) dapat diberikan setelah konsultasi dengan dokter
2) Mungkin dibutuhkan rangkaian induksi Pitocin bila serviks tidak
berespon
3) Beberapa ahli menunggu 12 jam untuk terjadinya persalinan. Bila
tidak ada tanda, mulai pemberian Pitocin
4) Berikan cairan per IV, pantau janin
5) Peningkatan risiko seksio sesaria bila induksi tidak efektif
6) Bila pengambilan keputusan bergantung pada kelayakan serviks
untuk diinduksi, kaji nilai Bishop setelah pemeriksaan spekulum.
Bila diputuskan untuk menunggu persalinan, tidak ada lagi
pemeriksaan yang dilakukan, baik manipulasi dengan tangan
maupun spekulum, sampai persalinan dimulai dan induksi dimulai
7) Periksaan hitung darah lengkap bila ketuban pecah. Ulangi
pemeriksaan pada hari berikutnya sampai pelahiran atau lebih
sering bila ada tanda infeksi
8) Lakukan NST (nonstress test) setelah ketuban pecah ; waspada
adanya takikardia janin yang merupakan salah satu tanda infeksi
9) Mulai induksi setelah konsultasi dengan dokter bila :
a) Suhu tubuh ibu meningkat signifikan
b) Terjadi takikardi janin
c) Lochea tampak keruh
d) Iritabilitas atau nyeri tekan uterus yang signifikan
e) Kultur vagina menunjukan streptokus beta hemolitikus
f) Hitung darah lengkap menunjukkan kenaikan sel darah putih
c. Pemeriksaan fisik
1) Kepala dan leher
- Mata perlu diperiksa di bagian sclera, konjugtiva
- Hidung: ada/tidaknya pembengkakan konka nasalis.
Ad/tidaknya hipersekresi mukosa Mulut gigi karies/tidak,
mukosa mulut kering, dan warna mukosa gigi
- Leher berupa pemeriksaan JVP, KGB, dan tiroid
2) Dada
a) Toraks
- Inspeksi kesimetrisan dada, jenis pernapasan
torakoabdominal, dan tidak ada retraksi dinding dada.
Frekuensi pernapasan normal 26-24 kali/menit. Ictus
kordis terlihat /tidak.
- Palpasi: payudara tidak ada pembengkakan.
- Auskultasi : terdengar BJ1 dan II di IC kiri/kanan. Bunyi
napas normal vesikuler.
b) Abdomen
- Inspeksi: ada/tidak ada bekas operasi, striae, dan linea.
- Palpasi : TFU, kontraksi ada /tidak, posisi, kandung kemih
penuh/tidak
- Auskultasi : DJJ ada /tidak
c) Genetalia
- Inspeksi : kebersihan, ada/tidaknya tanda-tanda REEDA
(Red, Edema, Discharge, Approximately); pengeluaran air
ketuban(jumlah,warna, bau); dan lendir merah muda
kecoklatan.
- Palpasi: pembukaan serviks (0-4)
- Ekstremitas :edema, varises ada/tidak
2. Diagnosa Keperawatan
a. Risiko tinggi infeksi maternal yang berhubungan dengan prosedur
invasif, pemeriksaan, vagina berulang dan ruptur membran amniotik
b. Kerusakan pertukaran gas pada janin yang berhubungan dengan
adanya penyakit
c. Risiko tinggi cedera pada janin yang berhubungan dengan melahirkan
bayi prematur/tidak matur
d. Ansietas yang berhubungan dengan krisis situasi, ancaman pada diri
sendiri /janin
e. Risiko tinggi penyebaran infeksi/sepsis yang berhubungan dengan
adanya infeksi, prosedur invasif, dan peningkatan pemahaman
lingkungan.
f. Resiko tinggi keracunan karena toksik yang berhubungan dengan
dosis/ efek samping tokolitik.
g. Resiko tinggi cedera pada ibu yang berhubungan dengan intervensi
pembedahan, penggunaan obat tokolitik
h. Intoleransi aktivitas yang berhubungan dengan hipersensitivitas otot
i. Resiko tinggi kekurangan volume cairan yang berhubungan dengan
penurunan masukan cairan.
3. Rencana Keperawatan
a. Risiko tinggi infeksi maternal yang berhubungan dengan prosedur
invasif, pemeriksaan, vagina berulang dan ruptur membran amniotik
Tujuan: infeksi maternal tidak terjadi
Kriteria hasil : dalam waktu 3x24 jam ibu bebas dari tanda-tanda
infeksi ( tidak demam, cairan amnion jernih, hampir tidak berwarna,
dan tidak berbau).
Intervensi Rasional
Mandiri
a. Lakukan pemeriksaan a. Pengulanagn pemeriksaan
vagina awal, ulangi bila pola vagina berperan dalam
kontraksi atau perilaku ibu insiden infeksi saluran
menandakan kemajuan. asendens.
b. Gunakan teknik aseptik b. Mencegah pertumbuhan
selama pemeriksaan vagina bakteri dan kontaminasi pada
vagina
c. Anjurkan perawatan c. Menurunkan resiko infeksi
perineum setelah eliminasi saluran asendens
setiap 4 jam dan sesuai
indikasi
d. Pantau dan gambarkan d. Pada infeksi, cairan amnion
karakter cairan amniotik menjadi lebih kental dan
kuning pekat serta dapat
terdeteksi adanya bau yang
kuat.
e. Pantau suhu, nadi, e. Dalam 4 jam setelah
pernapasan, dan sel darah membran ruptur, insiden
putih sesuai indikasi korioamnionitis meningkat
secara progresif sesuai
dengan waktu yang
ditunjukan melalui TTV
f. Tekankan pentinngnya f. Mengurangi perkembangan
mencuci tangan yang baik mikroorganisme
dengan benar.
Kolaborasi
g. Berikan cairan oral dan g. Meski tidak boleh sering
parental sesuai indikasi. dilakukan, namun evaluasi
Berikan enema pembersih usus dapat meningkatkan
bula sesuai indikasi kemajuan persalinan dan
menurunkan resiko infeksi
h. Berikan antibiotik h. Antibiotik dapat melindungi
profilaktik bila perkembangan
diindikasikan koriamnionitis pada ibu
beresiko
i. Dapatkan kultur darah bila i. Mendeteksi dan
gejala sepsis ada mengidentifikasi organisme
penyebab terjadinya infeksi.
Pada keadaan dimana janin sudah meninggal, tidak ada alasan untuk
menyelesaikan persalinan dengan segera. Persalinan diawasi, sehingga
berlangsung spontan dan tindakan hanya dilakukan jika diperlukan
demi kepentingan ibu. Ibu ditidurkan dengan posisi Trendelenburg
dengan harapan bahwa ketuban tidak pecah terlalu dini dan tali pusat
masuk kembali ke dalam cavum uterus. Selama menunggu, denyut
jantung janin diawasi dengan seksama, sedangkan kemajuan persalinan
hendaknya selalu dinilai dengan pemeriksaan dalam untuk menentukan
tindakan yang perlu dilakukan selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA