You are on page 1of 34

TUGAS PRAKTIKUM ORAL MEDICINE

MAKALAH

MANIFESTASI ORAL PENURUNAN SISTEM IMUN


PADA RONGGA MULUT (RAS, ERITEMA
MULTIFORME, LEUKOPLAKIA)

Oleh :
Fitriana Wadianur 131611101017
Sita Rahma N. 131611101025
Tadjul Arifin 131611101037

Pembimbing :
drg. Ayu Mashartini Prihanti, Sp. PM
Praktikum Putaran III
Semester Genap Tahun Ajaran 2016/2017

BAGIAN ILMU PENYAKIT MULUT


FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS JEMBER
2016/2017
PENDAHULUAN
Sistem imun merupakan mekanisme pertahanan tubuh sebagai
perlindungan dari bahaya berbagai bahan dalam lingkungan yang dianggap asing
bagi tubuh seperti bakteri, virus, jamur, parasit dan protozoa. Ketika daya tahan
tubuh lemah maka agen infektif akan dengan mudah menembus pertahanan tubuh
dan menyebabkan penyakit.
Sistem imun adalah semua mekanisme yang digunakan tubuh untuk
mempertahankan keutuhannya sebagai perlindungan terhadap bahaya yang
ditimbulkan berbagai bahan dalam lingkungan hidup yang dianggap asing bagi
tubuh. Mekanisme tersebut melibatkan gabungan sel, molekul, dan jaringan yang
berperan dalam resistensi terhadap infeksi yang disebabkan oleh berbagai unsur
patogen yang terdapat di lingkungan sekitar kita seperti virus, bakteri, fungus,
protozoa dan parasit. Sedangkan reaksi yang dikoordiansi oleh sel-sel, molekul-
molekul dan bahan lainnya terhadap mikroba disebut dengan respon imun.
Sistem imun memiliki tiga fungsi yaitu fungsi pertahanan (melawan
patogen, fungsi homeostasis (mempertahankan keseimbangan kondisi tubuh
dengan cara memusnahkan sel-sel yang sudah tidak berguna) dan pengawasan
(surveillance). Pada fungsi pengawasan dini (surveillance) sistem imun akan
mengenali sel-sel abnormal yang timbul di dalam tubuh dikarenakan virus
maupun zat kimia. Sistem imun akan mengenali sel abnormal tersebut dan
memusnahkannya. Fungsi fisiologis sistem imun yang terpenting adalah
mencegah infeksi dan melakukan eradikasi terhadap infeksi yang sudah ada.
Respon imun ada dua yaitu imunitas alamiah atau nonspesifik/
natural/innate/native/nonadaptif dan imunitas dapatan atau spesifik/adaptif/
acquired.
Rongga mulut masih merupakan kesatuan dengan tubuh manusia, namun
karena fungsi dan posisinya yang khusus, organisasi respon imun di dalam rongga
mulut mempunyai karakteristik sendiri. Rongga mulut terus-menerus akan
diagresi secara mekanik dan bakterial. Banyak faktor yang terlibat dalam
organisasi respon imun di dalam rungga mulut terhadpa kuman patogen karena
merupakan tempat masuk utama mikroorganisme. Faktor-faktor ini dapat
dikelompokkan menjadi barier anatomi, fisiologi dan biokimiawi, serta
pertahanan seluler dan imunitas humoral. Berbagai faktor ini merupakan faktor
beberapa jaringan di dalam rongga mulut seperti membran mukosa, jaringan
limfoid rongga mulut, kelenjar saliva, dan celah gingiva. Selain sebagai
pembersih, saliva juga mengandung berbagai senyawa antibakteri. Respon imun
seluler dan humoral, lokal dan sistemik, spesifik dan tidak spesifik, juga ikut
berperan dalam sistem imun di dalam rongga mulut.
Dasar respon imun adalah kemampuannya membedakan antigen self dari
antigen nonsell yang kemudian melakukan usaha eliminasi antigen asing dari
tubuh. Di dalam rongga mulut, sistem imun berperan dalam berbagai kelainan,
terutama kelainan yang disebabkan mikroorganisme. Namun, beberapa kelainan
lain di dalam rongga mulut bisa juga disebabkan oleh imunodefisiensi, kelainan
neoplastik, autoimun, atau reaksi tolakan. Pemahaman tentang sistem imun di
dalam rongga mulut, baik pada keadaan normal maupun saat terjadi kelainan,
diperlukan untuk penelitian, pencegahan, dan pengobatan. Beberapa contoh
penyakit sistem imun yang berkaitan dengan kesehatan gigi dan mulut yaitu
Recurrent Aphtous Stomatitis (RAS), Erithema Multiforme, dan Leukoplakia.

A. Leukoplakia

PENDAHULUAN

Leukoplakia merupakan salah satu kelainan yang terjadi di mukosa rongga


mulut. Meskipun leukoplakia tidak termasuk dalam jenis tumor, lesi ini sering
meluas sehingga menjadi suatu lesi pre-cancer. Leukoplakia merupakan suatu
istilah lama yang digunakan untuk menunjukkan adanya suatu bercak putih atau
plak yang tidak normal yang terdapat pada membran mukosa. Pendapat lain
mengatakan bahwa leukoplakia hanya merupakan suatu bercak putih yang
terdapat pada membran mukosa dan sukar untuk dihilangkan atau terkelupas.

Mukosa rongga mulut merupakan bagian yang paling mudah mengalami


perubahan, karena lokasinya yang sering berhubungan dengan pengunyahan,
sehingga sering pula mengalami iritasi mekanis. Di samping itu, banyak
perubahan yang sering terjadi akibat adanya kelainan sistemik. Perlu diingat
bahwa kelainan yang terjadi pada umumnya memberikan gambaran yang mirip
antara yang satu dengan yang lainnya, sehingga dapat menimbulkan kesukaran
dalam menentukan diagnosis yang tepat.

Faktor-faktor yang berperan adalah iritasi kimia melalui tembakau atau


faktor mekanis melalui pemasangan gigi palsu yang tidak baik, alkohol dan
infeksi Candida, terkena iritan terus-menerus dan Human Papiloma Virus sero
tipe 16. Karena gambaran klinisnya berupa suatu plak putih pada permukaan
membrana mukosa dan leukoplakia oral lebih sering terjadi pada pria, maka
penggolongannya sering diabaikan.

Leukoplakia dalam perkembangannya sering menjadi ganas dan untuk


menyingkirkan diagnosis banding, maka sangat diperlukan biopsi dari leukoplakia
tersebut. Gambaran histologinya dapat bermacam-macam dan tergantung dari
umur lesi pada saat biopsi dilakukan. Kendala dalam menegakkan diagnosis
leukoplakia masih sering terjadi. Hal ini disebabkan oleh beberapa kemungkinan
seperti etiologi leukoplakia yang belum jelas serta perkembangan yang agresif
dari leukoplakia yang mula-mula hanya sebagai hiperkeratosis ringan tetapi pada
akhirnya menjadi karsinoma sel skuamosa dengan angka kematian yang tinggi.

Di Asia Tenggara, frekuensi tumor ganas rongga mulut lebih tinggi bila
dibandingkan dengan negara lainnya di seluruh dunia. Keadaan yang demikian
diduga ada hubungannya dengan kebiasaan mengunyah tembakau yang dilakukan
sebagian masyarakat di kawasan Asia.
PEMBAHASAN

A. DEFINISI

Menurut World Health Organization (WHO), Leukoplakia merupakan


makula mukosa kronis yang berwarna putih yang dimana penyakit ini tidak dapat
di karakterisasi secara klinis dan patologi dibandingkan dengan penyakit lainnya.
Leukoplakia adalah lesi prekanker yang berkembang di daerah lidah dan pada
bagian dalam pipi karena adanya iritasi kronis. Terkadang leukoplakia
berkembang pula pada daerah genitalia eksternal wanita

Batasan leukoplakia telah dipakai di masa lalu oleh ahli kulit dan ahli
kebidanan untuk menunjukkan suatu penebalan putih pada mukosa mulut atau
vulva yang menunjukkan perubahan dini, in situ dan anaplastik. Berdasarkan
konsep yang diterima oleh World Health Organization maka batasan leukoplakia
adalah lesi yang tidak ada konotasi histologinya dan dipakai hanya sebagai
deskripsi klinis. Jadi definisinya adalah suatu penebalan putih yang tidak dapat
digosok sampai hilang dan tidak dapat digolongkan secara klinis atau histologi
sebagai penyakit-penyakit spesifik lainnya (contoh: seperti likhen planus, lupus
eritematosus, kandidiasis, white sponge naevus).

B. EPIDEMIOLOGI

Prevalensi terjadinya leukoplakia di beberapa variasi populasi


memperlihatkan hasil dengan rentangan yang berbeda. Hasil penelitian
memperlihatkan sekitar 1,7% hingga 2,7% prekanker berkembang menjadi kanker
di berbagai populasi. Sekitar 80% kanker mulut berasal dari lesi prekanker.

Di Asia Tenggara, frekuensi tumor ganas rongga mulut lebih tinggi bila
dibandingkan dengan negara lainnya di seluruh dunia. Keadaan yang demikian
diduga ada hubungannya dengan kebiasaan mengunyah tembakau yang dilakukan
sebagian masyarakat di kawasan Asia.
Hasil penelitian kasus pada Yugoslavia, dari 2385 pasien yang diperiksa,
53 pasien didiagnosis mengalami leukoplakia dengan prevalensi sekitar 2,2%.
Distribusi berdasarkan umur dan jenis kelamin menunjukkan bahwa angka
kejadian berdasarkan jenis kelamin ditemukan bahwa pria lebih sering terkena
leukoplakia dibandingkan wanita (4,3% : 0,9%). Berdasarkan umur, pada pria,
angka kejadian leukoplakia meningkat pada umur sebelum dan sesudah 40 tahun,
sedangkan wanita angka kejadian leukoplakia meningkat pada umur 30-39 dan
50-59
Tabeltahun.
1. Distribusi jenis kelamin dan umur dari 53 pasien dengan leukoplakia pada
mulut

Angka kejadian leukoplakia di mulut berdasarkan lokasi paling banyak


terjadi pada mukosa bukal (28,3%), dilanjutkan oleh komisura (20,8%), lidah
(15,1%) dan bagian dalam bibir (13,2%).\

C. ETIOLOGI

Leukoplakia paling sering menyerang membran mukus pada mulut yang


terjadi karena iritasi. Lesi biasanya akan berkembang pada bagian lidah tetapi
terkadang berkembang pula pada bagian dalam lidah. Leukoplakia juga
berkembang pada daerah genitalia eksternal wanita, namun penyebabnya belum
diketahui.
Etiologi yang pasti dari leukoplakia sampai sekarang belum diketahui dengan
pasti, tetapi predisposisi menurut beberapa ahli ahli klinis terdiri dari faktor yang
beraneka ragam, yaitu faktor lokal, faktor sistemik, dan malnutrisi vitamin.

1. Faktor Lokal

Biasanya merupakan segala macam bentuk iritasi kronis, antara lain:

a. Trauma

Trauma karena gigitan tepi atau akar gigi yang tajam


Iritasi dari gigi yang malposisi
Pemakaian protesa yang kurang baik sehingga menyebabkan
iritasi
Adanya kebiasaan menggigit jaringan mulut, pipi dan lidah

b. Kemikal atau termal

Tembakau

Terjadinya iritasi pada jaringan mukosa mulut tidak hanya


disebabkan oleh asap rokok dan panas yang terjadi pada waktu
merokok, tetapi dapat juga disebabkan oleh zat-zat yang
terdapat di dalam tembakau yang ikut terkunyah. Banyak
peneliti yang berpendapat bahwa pipa rokok juga merupakan
benda yang berbahaya, sebab dapat menyebabkan lesi yang
spesifik pada palatum yang disebut "Stomatitis Nicotine". Pada
lesi ini, dijumpai adanya warna kemerahan dan timbul
pembengkakan pada palatum. Selanjutnya, palatum akan
berwarna putih kepucatan, serta terjadi penebalan yang sifatnya
merata. Ditemukan pula adanya "multinodular" dengan bintik-
bintik kemerahan pada pusat noduli. Kelenjar saliva yang
membengkak dan terjadi perubahan di daerah sekitarnya.
Banyak penelitian yang kemudian berpendapat bahwa lesi ini
merupakan salah satu bentuk dari leukoplakia.

Alkohol

Telah banyak diketahui bahwa alkohol merupakan salah


satu faktor yang memudahkan terjadinya leukoplakia, karena
pemakaian alkohol dapat menimbulkan iritasi pada mukosa.

Bakteri

Leukoplakia dapat terjadi karena adanya infeksi bakteri,


penyakit periodontal yang disertai kebersihan mulut yang
kurang baik.

2. Faktor Sistemik

Adanya kemungkinan konstitutional karakteristik, karena ada yang


berpendapat bahwa penyakit ini lebih mudah berkembang pada individu
yang berkulit putih dan bermata biru. Pendapat ini dikemukakan oleh
Shaffer dan Burket. Kemungkinan lain adalah adanya penyakit sistemik,
misalnya sipilis. Pada penderita dengan penyakit sipilis pada umumnya
ditemukan adanya "syphilis glositis". Candidiasis yang kronik dapat
menyebabkan terjadinya leukoplakia. Hal ini telah dibuktikan oleh peneliti
yang melakukan biopsi di klinik. Ternyata, dari 171 penderita kandidiasis
kronis, 50 di antaranya ditemukan gambaran yang menyerupai
leukoplakia. Untuk mengetahui diagnosis yang pasti dari leukoplakia,
sebaiknya dilakukan pemeriksaan klinik, histopatologi, serta latar
belakang etiologi terjadinya lesi.
3. Faktor Malnutrisi Vitamin

Defisiensi vitamin A diperkirakan dapat mengakibatkan metaplasia


dan keratinisasi dari susunan epitel, terutama epitel kelenjar dan epitel
mukosa respiratorius. Beberapa ahli menyatakan bahwa leukoplakia di
uvula merupakan manifestasi dari pemasukkan vitamin A yang tidak
cukup. Apabila kelainan tersebut parah, gambarannya mirip dengan
leukoplakia. Selain itu, pada percobaan dengan menggunakan binatang
tikus, dapat diketahui bahwa kekurangan vitamin B kompleks akan
menimbulkan perubahan hiperkeratotik.

4. Infeksi virus

Hairy leukoplakia pada mulut biasanya adalah bentukan


leukoplakia yang sering terjadi pada orang yang mengidap HIV positif.
Hairy leukoplakia mungkin menjadi tanda awal infeksi HIV. Hal tersebut
juga terlihat pada orang yang memiliki sistem imun yang bekerja tidak
optimal, contohnya pada seseorang yang mendapatkan transplantasi
sumsum tulang. Hairy leukoplakia disebabkan oleh virus Epstein-Barr,
tetapi virus Epstein-Barr akan dorman dan tidak berbahaya jika tidak ada
faktor penurunan sistem imun.

Walaupun seseorang yang mengidap HIV/AIDS menggunakan


anti-retroviral (ARV) untuk mengurangi kasus hairy leukoplakia, kasus ini
tetap mengenai seperempat orang yang positif HIV. Tampaknya hairy
leukoplakia juga bisa menjadi indikasi pemberian anti-retroviral yang
gagal.

Pola-pola putih biasanya terlihat pada lidah. Tetapi tidak jarang


juga muncul pada bagian mulut lainnya. Kondisi ini mungkin terlihat
menyerupai thrush, sebuah tipe penyakit infeksi oleh kandida yang
dihubungkan ke HIV/AIDS pada orang dewasa.
D. PATOFISIOLOGI
Dasar perubahan molekular pada leukoplakia sampai saat ini masih belum
diketahui. Namun, beberapa data dari hasil penelitian pada pre-maligna
leukoplakia membuktikan bahwa perubahan epitel pada penyakit ini disebabkan
oleh transformasi displastik. Perubahan patologi yang utama pada leukoplakia
diperlihatkan oleh diferensiasi epitel yang abnormal dengan peningkatan
permukaan keratinisasi menghasilkan penampakan mukosa yang putih. Hal ini
diikuti pula oleh penebalan pada epitelium, bahkan epitel bisa menjadi atrofi atau
akantosis (perubahan lapisan tanduk).
Banyak penelitian memperlihatkan adanya perubahan genetika akan
mempengaruhi perubahan pada ekspresi gen keratin, perubahan siklus sel, dan
peningkatan ekspresi sel yang kehilangan sifat heterozigotnya. Stres oksidatif dan
kerusakan DNA akibat produk nitrogen reaktif, seperti induksi nitrit oksida dan
mekanisme inflamasi, juga memiliki implikasi pada leukoplakia dan
transformasinya dari displasia menjadi karsinoma. Penelitian pada penanda
molekular memperlihatkan bahwa lesi jinak meningkat pada sel yang telah
mengalami cacat pada sel p53 dan pada antigen proliferation marker proliferating
cell nuclear.

E. GAMBARAN KLINIS

Leukoplakia ditandai dengan adanya plak putih yang tidak bisa


digolongkan secara klinis atau patologis ke dalam penyakit lainnya. Leukoplakia
merupakan lesi prakanker yang paling banyak, yaitu sekitar 85% dari semua lesi
prakanker.
Lesi ini sering ditemukan pada daerah alveolar, mukosa lidah, bibir,
palatum, daerah dasar mulut, gingival, mukosa lipatan bukal, serta mandibular
alveolar ridge. Bermacam-macam bentuk lesi dan daerah terjadinya lesi
tergantung dari awal terjadinya lesi tersebut, dan setiap individu akan berbeda.
Lesi awal dapat berupa warna kelabu atau sedikit putih yang agak
transparan, berfissura atau keriput dan secara khas lunak dan datar. Biasanya
batasnya tegas tetapi dapat juga berbatas tidak tegas. Lesi dapat berkembang
dalam minggu sampai bulan menjadi tebal, sedikit meninggi dengan tekstur kasar
dan keras. Lesi ini biasanya tidak sakit, tetapi sensitif terhadap sentuhan, panas,
makanan pedas dan iritan lainnya.
Terdapat dua tipe klinis leukoplakia, yaitu homogen dan non- homogen
1. Leukoplakia Homogen
Dalam perkembangannya, leukoplakia dapat menjadi semakin
meluas, menebal, disebut leukoplakia homogen. Pada tipe ini, terutama
berupa lesi putih yang datar dan tipis. Lesi ini dapat terlihat sebagai
retakan yang dangkal dengan permukaan yang halus atau berkerut.
Teksturnya konsisten. Tipe ini biasanya asimptomatik.

2. Leukoplakia Non-homogen
Gambar 1. leukoplakia homogen
Lesi ini berupa plak putih atau putih disertai merah. Permukaan
lesi ireguler, bisa rata, bernodul (speckled leukoplakia) atau exophytic
(exophytic atau verrucous leukoplakia). Pada verrucous leukoplakia,
permukaan lesi tampak sudah menonjol, berwarna putih, tetapi tidak
mengkilat. Tipe leukoplakia ini biasanya disertai dengan keluhan ringan
berupa ketidaknyamanan atau nyeri yang terlokalisir.

Gambar 2. Speckled leukoplakia


Proliferative verrucous leukoplakia merupakan tipe leukoplakia
yang agresif yang hampir selalu berkembang menjadi malignansi. Tipe ini
ditandai dengan manifestasi multifokal dan menyebar luas, sering terjadi
pada pasien dengan faktor risiko yang tidak diketahui. Secara umum,
leukoplakia non-homogen memiliki risiko yang lebih tinggi untuk
bertransformasi menjadi malignan, tetapi oral carcinoma dapat
berkembang dari berbagai jenis leukoplakia.

Gambar 2. Proliferative verrucous leukoplakia

Hairy leukoplakia merupakan lesi putih yang hampir selalu terjadi


unilateral atau bilateral pada tepi lateral lidah, sering tampak menyerupai
rambut atau bergelombang, dapat pula seperti plak. Hairy leukoplakia
disebabkan oleh aoutoinokulasi Virus Epstein Bar (EBV) melalui saliva
dan ada hubungannya dengan imunosupresi yang biasanya disebabkan
oleh infeksi HIV.

Gambar 3. Hairy Leukoplakia


F. DIAGNOSIS
Penegakan diagnosis leukoplakia masih sering mengalami kendala. Hal ini
disebabkan oleh beberapa hal seperti etiologi leukoplakia yang belum jelas serta
perkembangan yang agresif dari leukoplakia yang mula-mula hanya sebagai
hiperkeratosis ringan namun dapat menjadi karsinoma sel skuamosa dengan angka
kematian yang tinggi.

Berdasarkan konsep yang diterima oleh World Health Organization maka


batasan leukoplakia adalah lesi yang tidak ada konotasi histologinya dan dipakai
hanya sebagai deskripsi klinis. Jadi definisinya adalah suatu penebalan putih yang
tidak dapat digosok sampai hilang dan tidak dapat digolongkan secara klinis atau
histologi9 sebagai penyakit-penyakit spesifik lainnya (contoh: seperti likhen
planus, lupus eritematosus, kandidiasis, white sponge naevus).

Leukoplakia di diagnosis banding dengan lesi putih lain seperti likhen


planus, jamur, sifilis, leukoplakia berambut, atau karsinoma. Untuk
menyingkirkan diagnosis banding, maka pemeriksaan penunjang dapat dilakukan.
Pemeriksaan yang teliti pada seluruh rongga mulut dan nodus limfa pada leher
diperlukan untuk membuat diagnose yang akurat dari leukoplakia mulut.
Tes serological deperlukan untuk mengeksklusi sifilis sebagai factor
etiologi. Jika lesi mengandung nodul keras, atau terdapat ulserasi atau
papillomatous, atau terfixasi dengan jaringan dasarnya, maka diperlukan biopsy
untuk mengeksklusi bahwa lesi tersebut disebabkan oleh kanker. Terdapat juga
lesi lain dengan etiologi yang tidak diketahui yang mungkin akan menyulitkan
penegakan diagnosis. Psoriasis merupakan salah satuny, lesi ini memiliki
gambaran seperti renda (lacelike), mengkilat dan lebih superficial dibandingkan
dengan leukoplakia. Yang kedua adalah lichen planus, biasanya tampak sebagai
spot putih kecil hingga besar dapat juga berbentuk gelang (annular) atau papular.

G. DIFERENTIAL DIAGNOSIS
Leukoplakia memiliki gambaran klinis yang mirip dengan beberapa
kelainan. Oleh karena itu, diperlukan adanya diferensial diagnosis atau
diagnosis banding untuk membedakan apakah kelainan tersebut adalah lesi
leukoplakia atau bukan. Pada beberapa kasus, leukoplakia tidak dapat dibedakan
dengan lesi yang berwarna putih di dalam rongga mulut tanpa dilakukan biopsy.
Jadi, cara membedakannya dengan leukoplakia adalah dengan pengambilan
biopsi. Ada beberapa lesi berwarna putih yang juga terdapat dalam rongga mulut,
yang memerlukan diagnosis banding dengan leukoplakia. Lesi tersebut antara
lain: syphililitic mucous patches; lupus erythematous dan white sponge
nevus; infeksi mikotik, terutama kandidiasis; white folded gingivo stomatitis;
serta terbakarnya mukosa mulut karena bahan-bahan kimia tertentu, misalnya
minuman atau makanan yang pedas.

Untuk menentukan diagnosis yang tepat, perlu dilakukan pemeriksaan


yang teliti baik secara klinis maupun histopatologis, karena lesi ini secara klinis
mempunyai gambaran yang serupa dengan lichen plannus dan white sponge
naevus.

H. PENATALAKSANAAN
Dalam penatalaksanaan leukoplakia yang terpenting adalah mengeliminir
faktor predisposisi yang meliputi penggunaan tembakau (rokok), alkohol,
memperbaiki higiene mulut, memperbaiki maloklusi, dan memperbaiki gigi tiruan
yang letaknya kurang baik. Penanganan leukoplakia dapat dibagi menjadi 2
tindakan, yaitu:
1. Penanganan Konservatif
Tujuan dari penanganan ini adalah untuk mendeteksi dan
mencegah perubahan leukoplakia menjadi sel ganas. Bila leukoplakia
masih berupa plak putih saja, tidak diperlukan tindakan khusus untuk
menanganinya. Terdapat beberapa tindakan yang disarankan untuk
dilakukan, akan tetapi hingga saat ini belum ditemukan pengobatan
definitif untuk penyakit ini.
Beberapa tindakan yang dapat dilakukan diantaranya:
Tunggu dan amati
Terapi vitamin (A,C dan E) untuk proteksi epitel.
Retinoids.
Lycopene (protein menghambat siklus sel dengan memblok sinyal
reseptor GR).
Beta carotene ( antioksidan untuk melawan radikal bebas
onkogenik).
Terapi nystatin pada candidal leukoplakia.
Bleomycin topikal, merupakan antibiotik sitotoksik.
Fotodinamic terapi, menghancurkan sel rusak melalui proses
oksidatif.
2. Penanganan Bedah
Tindakan operasi masih menjadi penanganan pilihan untuk
leukoplakia kecil. Electrocautery, cryosurgery dan laser sama-sama
efektif, dimana proses ini sangat tergantung kepada kemampuan patologis
untuk mengevaluasi luas serta derajat displasia yang terjadi. Pasien juga
harus diperiksa secara berkala, kira-kira setiap 2-3 bulan sekali karena
tingkat kekambuhan penyakit yang sangat tinggi. Pasien yang tidak
mengalami kekambuhan selama 3 tahun tidak perlu melakukan
pemeriksaan berkala lagi, tapi pasien dengan residual leukoplakia harus
melakukan pemeriksaan berkala seumur hidup.

I. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan histologis leukoplakia sering dikaitkan dengan tingkat


keganasan leukoplakia. Gambaran yang paling sering terlihat adalah
hiperkeratosis dan penebalan epitel. Hiperkeratosis dapat berupa
hiperortokeratosis atau hiperparakeratosis, atau gabungan
keduanya. Pemeriksaan histologis pada leukoplakia juga diperlukan
agar dapat mengidentifikasi perubahan sel seperti displasia yang
merupakan tanda praganas. Tingkat keganasan leukoplakia
didasarkan atas 3 kriteria dasar, yaitu adanya gambaran hiperkeratosis
(dapat berupa ortokeratosis atau parakeratosis), displasia epitel
(hiperplasia sel basal, hilangnya polaritas sel basal, sel pleomorfik,
meningkatnya mitosis, diskeratosis, stratifikasi epitel yang abnormal)
dan infiltrasi sel radang (banyak infiltrasi sel limfosit, plasma,
histiosit pada jaringan sub mukosa).

Gambar 4. Gambaran histopatologis leukoplakia

Hairy leukoplakia mempunyai gambaran histopatologis yang


karakteristik yaitu hiperkeratosis yang tidak teratur dengan
gambaran menyerupai rambut, hiperplasia epitel yang disertai
akantosis, adanya vakuol sel, sedikit atau tidak adanya edema radang pada
jaringan ikat sub epitel.

J. PROGNOSIS

Apabila permukaan jaringan yang terkena lesi leukoplakia secara klinis


menunjukkan hiperkeratosis ringan maka prognosisnya baik. Tetapi, bila telah
menunjukkan proses diskeratosis atau ditemukan adanya sel-sel atipia maka
prognosisnya menjadi buruk, karena diperkirakan akan berubah menjadi suatu
keganasan.
B. Recurrent Aphtous Stomatitis (RAS)
Recurrent Aphtous Stomatitis (RAS) adalah ulseratif yang paling umum.
RAS muncul berupa lesi sakit pada mukosa bukal dan labial dan lidah.
Keterlibatan mukosa berkeratin pada palatum dan gingiva biasanya jarang terjadi.
Lesi yang secara klinis menyerupai RAS dapat dihasilkan dari sejumlah penyakit
seperti penyakit Behcet syndrome, neutropenia, anemia, atau defisiensi imun atau
penyakit gastrointestinal seperti Crohn disease dan kolitis ulserativ. Beberapa
faktor telah diusulkan sebagai agen penyebab RAS. Penyebab yang diusulkan ini
meliputi faktor lokal, seperti trauma pada individu yang secara genetik rentan
terhadap RAS, faktor mikroba, faktor nutrisi, seperti kekurangan folat dan vitamin
B kompleks, faktor imunitas, stres psikososial, dan alergi terhadap makanan.
Beberapa penelitian difokuskan terutama pada faktor imunologi, namun definitif
etiologi RAS belum ditetapkan secara pasti. RAS diklasifikasikan menjadi ulkus
minor, mayor, dan herpetiform. Lebih dari 85% RAS hadir sebagai bisul kecil
berdiameter kurang dari 1 cm dan sembuh tanpa bekas luka (Gambar 1). Ulkus
herpetiformis secara klinis berbeda karena tampak berkelompok. Karakteristik
umum dari tiga jenis RAS dirangkum dalam Tabel 1. Pengelolaan RAS
bergantung pada frekuensi dan tingkat keparahan lesi. Sebagian besar kasus dapat
ditangani dengan terapi topikal, namun terapi sistemik tersedia untuk pasien
dengan RAS mayor atau mereka yang Mengalami sejumlah besar luka ringan.
1. Epidemiologi
Sekitar 20% populasi umum disebabkan oleh RAS, namun kejadian
bervariasi dari 5% sampai 50% tergantung pada kelompok etnis dan
sosioekonomi. Studi epidemiologis telah menunjukkan bahwa prevalensi RAS
dipengaruhi oleh populasi yang diteliti, kriteria diagnostik, dan faktor lingkungan.
Pada anak-anak, prevalensi RAS mungkin setinggi 39% dan dipengaruhi oleh
adanya RAS pada satu atau kedua orang tua. Anak-anak dengan orang tua RAS-
positif memiliki kesempatan 90% menderita RAS dibandingkan dengan 20% di
antara orang tua dengan RAS-negatif. Pada anak-anak dengan status sosial
ekonomi tinggi, RAS lima kali lebih umum dan mewakili 50% lesi mukosa mulut.
Aktivitas kehidupan sehari-hari mempengaruhi prevalensi RAS. Prevalensi RAS
lebih tinggi (laki-laki, 48,3%, perempuan, 57,2%) di antara siswa sekolah
profesional daripada subjek yang sama 12 tahun kemudian ketika mereka menjadi
praktisi profesional. Temuan ini menyebabkan beberapa peneliti untuk berteori
bahwa stres selama kehidupan siswa merupakan faktor utama dalam RAS,
walaupun perbedaan dalam kelompok usia juga harus dipertimbangkan.
Permulaan RAS tampaknya mencapai puncak antara usia 10 dan 19 tahun
sebelum menjadi kurang sering dengan bertambahnya usia dan tampaknya tidak
bergantung pada pengaruh geografis, usia, jenis kelamin, atau ras. RAS yang
mulai memburuk bisa meningkatkan kecurigaan bahwa ulkus pada rongga mulut
tersebut disebabkan oleh gangguan medis yang mendasarinya seperti penyakit
jaringan hematologis, imunologis, atau ikat atau sindrom Behcet.

2. Etiologi
Etiologi lesi RAS tidak diketahui, namun beberapa faktor lokal,
sistemik, faktor imunologi, genetik, alergi, nutrisi, dan mikroba telah diusulkan
sebagai agen penyebab (Tabel 2).
Faktor lokal
Faktor lokal dianggap sebagai agen penyebab RAS. Trauma menjadi
predisposisi RAS dengan menginduksi edema, inflamasi awal berhubungan
dengan peningkatan viskositas submukosa oral matriks ekstraselular. Tidak semua
trauma pada rongga mulut bisa menyebabkan RAS. Pemakaian gigi tiruan
biasanya tiga kali lebih rentan terhadap ulserasi mukosa mulut, tapi RAS bukan
ulserasi yang paling umum dalam hal ini. Sebagai tambahan,
kebiasaan merokok yang selalu mengekspos mukosa oral mereka terhadap nikotin
miliki menunjukkan hubungan negatif antara merokok dan RAS.
Dengan demikian trauma lokal mempengaruhi untuk RAS hanya untuk
individu yang memiliki keturunan terhadap penyakit tersebut.
Beberapa perubahan dalam komposisi kelenjarludah, seperti pH, yang mempengar
uhi sifat air liur dan peningkatan kortisol yang diinduksi stres telah
berkorelasi dengan RAS. pasien dengan kombinasi
RAS dan xerostomia mungkin mengalami peningkatan gejala.
Faktor mikroba
Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa RAS tidak disebabkan
oleh virus herpes simpleks meskipun keduanya, orang awam dan beberapa dokter
bingung RAS dengan infeksi virus herpes simpleks. Evaluasi jaringan biopsi RAS
dengan polymerase cha in reaction (PCR) untuk melihat kemungkinan
keterlibatan virus herpes, cytomegalovirus, dan varicella zoster virus sebagai
faktor penyebab tidak menemukan bukti untuk mendukung peran virus tersebut
dalam patogenesis RAS. Dengan demikian, ini adalah tanggung jawab dokter
untuk membedakan RAS dari infeksi herpes rekuren dan untuk meyakinkan
pasien RAS bahwa mereka tidak memiliki penyakit menular dan tidak
memerlukan terapi antivirus. Telah diusulkan bahwa Helicobacter pylori mungkin
memiliki peran penting dalam RAS karena merupakan faktor risiko umum untuk
ulser lambung dan duodenum. Studi menggunakan teknik molekuler telah
menunjukkan H pylori pada keduanya. Mukosa yang terkena dampak dan tidak
terpengaruh pasien RAS dan tidak menemukan hubungan dengan RAS. Dengan
demikian pasien dengan sakit maag mungkin tidak biasa rentan terhadap RAS
meskipun kedua penyakit tersebut telah dikaitkan dengan disregulasi fungsi
kekebalan tubuh. Ada banyak spekulasi mengenai kemungkinan itu. Keterlibatan
spesies Streptococci dalam etiologi RAS khususnya S sanguis 2A. Hipotesis yang
diajukan adalah bahwa streptococcus oral bertindak sebagai antigenic stimulants
yang bereaksi silang dengan protein mitokondria keratinosit oral. Reaksi ini
menginduksi imunitas yang dimediasi sel T Respon yang menyebabkan kerusakan
mukosa mulut. Teori ini masih belum terbukti. Virus Epstein-Barr (EBV) dan
lactobacillus adalah organisme lain yang telah dipelajari pada pasien RAS.
Sebuah studi tentang kemungkinan peran lactobacillus di Indonesia terhadap RAS
tidak menghasilkan temuan yang signifikan, namun dalam sebuah penelitian kecil
EBV terkait dengan sel epitel RAS prulkeratif. Dengan menggunakan teknik PCR,
39% lesi RAS preulceratif positif untuk EB-DNA.
Faktor keturunan dan genetik
Peran faktor keturunan adalah penyebab utama RAS yang paling jelas.
Kerentanan terhadap RAS meningkat secara signifikan dengan kehadirannya
dalam satu atau kedua orang tua. Studi kembar identik juga telah menunjukkan
sifat turun temurun dari gangguan ini. Bila pasien memiliki riwayat keluarga yang
positif RAS, mereka cenderung mengembangkan RAS sejak usia dini. Secara
khusus, anak-anak dengan orang tua RAS-positif memiliki kesempatan 90%
mengembangkan RAS. Lesi RAS mereka tampak lebih sering dan gejala yang
lebih parah. Spesifik genetik HLA telah diidentifikasi dalam RAS; tipe HLA-A2,
HLA-B5, HLA-B12, HLA-B44, HLA-B51, HLA-B52, HLA-DR2, HLA-DR7,
dan HLA-DQ.
Faktor imunologis
Selama 30 tahun terakhir, sebagian besar penelitian tentang penyebab
RAS terfokus pada mendeteksi kelainan pada respon imunologis. Terdapat
hubungan antara beberapa reaksi yang dimediasi oleh kekebalan dan
pengembangan RAS. Reaksi ini meliputi sitotoksisitas limfosit ke epitel oral,
sitotoksisitas sel yang dimediasi oleh antibodi, dan acat pada subpopulasi limfosit.
Banyak reaksi kekebalan tubuh menyebabkan kerusakan akibat deposisi kompleks
imun dalam epitel oral. Studi yang lebih baru telah menunjukkan sebuah
hubungan antara tingkat keparahan RAS dan proporsi CD4 dan CD4 abnormal Sel
CD8, perubahan rasio CD4: CD8, dan peningkatan kadar Interleukin 2,
gamma interferon, dan tumor necrosing factor-a (TNFa) MRNA pada lesi RAS.
Studi imunohistokimia biopsi RASpada jaringan telah menunjukkan banyak sel
inflamasi dengan rasio variabel Limfosit CD4: CD8 T tergantung pada durasi
ulkus. Sel CD4 lebih banyak selama tahap preulcerative dan healing, sedangkan
sel CD8 cenderung lebih banyak selama keadaan ulseratif ulkus. Studi serupa
pada situs yang tidak terpengaruh negatif, dibuat Peneliti lebih fokus pada teori
bahwa RAS mungkin disebabkan oleh antigentriggering efek. Karena kadar
serum imunoglobulin dan autoimun pada dasarnya berada dalam batas normal
pada pasien RAS, fokusnya adalah masih pada respon kekebalan tubuh yang tidak
teratur dan disegmentasi, yang kondusif terhadap akumulasi bagian sel T,
kebanyakan sel CD8. Kekebalan lokal respon menyebabkan kerusakan jaringan
yang bermanifestasi sebagai RAS.
3. Patogenesis dan Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis dan patogenesis Pasien RAS biasanya mengalami
senasasi terbakar pada masa prodromal. Itu terjadi pada 2 sampai 48 jam sebelum
ulkus muncul. Ulser bulat dengan margin eritematosa yang terdefinisi dengan
baik dan pusat ulserasi dangkal yang tertutup dengan pseudomembran fibrinous
abu-abu. RAS bersifat simetris namun tidak memiliki jaringan seperti yang
terlihat pada ulkus tidak teratur Seperti eritema multiforme, pemfigus, dan
pemfigoid. Meskipun beberapa ulkus mungkin hadir, jumlah, ukuran, dan
frekuensi bervariasi. RAS biasanya berkembang pada mukosa oral nonkeratin,
bukal dan mukosa labial menjadi tempat yang paling umum. Mereka bertahan
sekitar 10 sampai 14 hari tanpa pembentukan parut (lihat Tabel 1). Karakteristik
mikroskopis RAS adalah tidak spesifik. Lesi preulcerative menunjukkan
peradangan subepitel sel mononuklear dengan sel mast melimpah, jaringan ikat
edema, dan lapisan margin dengan neutrofil. Kerusakan pada epitel biasanya
dimulai di lapisan basal dan berkembang melalui lapisan superfisial. Akhirnya
menyebabkan ulserasi dan eksudat permukaan. Kehadiran dari eritrosit
ekstravasasi di sekitar margin ulkus, ekstravaskular subepitel neutrofil, banyak
makrofag yang penuh dengan fagolysosom, dan pengikatan nonspesifik sel
spinosum stratum ke imunoglobulin dan komplemen bisa jadi akibat kebocoran
vaskular dan difusi pasif protein serum. Temuan ini menunjukkan bahwa
patogenesis RAS mungkin terjadi dimediasi oleh vaskulitis kompleks imun.
4. Gambaran Klinis
1. RAS Major
Ukuran : >10mm
Durasi : >14 hari
Scarring : yes
Bentuk : oval dan dalam
Jumlah : 1-10
Lokasi : nonkeratinized mucosa
2. RAS Minor
Ukuran : 5-10mm
Durasi : 10-14 hari
Scarring : No
Bentuk : oval, dangkal
Jumlah : 1-5
Lokasi : nonkeratinized mucosa

3. RAS Herpetiform
Ukuran : <5mm
Durasi : 10-14 hari
Scarring : No
Bentuk : bergabung menjadi ulser iireguler
Jumlah : 10-100
Lokasi : any intraoral site

5. Diagnosa
Diagnosis RAS hampir selalu didasarkan pada riwayat keluhan dan
temuan klinis pasien. Biasanya, pasien melaporkan riwayat ulserasi berulang pada
permukaan mukosa mulut. Masing-masing ulserasi berlangsung beberapa minggu,
penyembuhan kadang disertai dengan perkembangan ulkus baru. DD : Traumatic
ulcer.
6. Rencana Perawatan
Perawatan RAS yang tepat bergantung pada frekuensi, ukuran, dan
jumlah ulser. Pasien yang mengalami RAS minor biasanya cocok dengan terapi
topikal. Gejala akibat RAS cukup terkontrol dengan penggunaan emolien seperti
Zilactin (Zila Pharmaceuticals, Phoenix, Arizona) atau Orabase (Bristol Myers
Squib, Princeton, New Jersey), digunakan sendiri atau dicampur dengan anestesi
topikal seperti benzokain. Agen topikal lainnya yang bisa memperkecil
ketidaknyamanan pasien meliputi diklofenak, obat antiinflamasi nonsteroid, atau
pasta amlexanox, yang juga telah terbukti mengurangi penyembuhannya
- Eliminasi faktor predisposisi
- Berikan obat pada lesi BBG (Benzokain, Boraks, Gliserin)
- Berikan Chlorhexidine glukonat (bila perlu)
- Berikan multivitamin

7. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan histopatologis, termasuk imunofluoresensi langsung pada
jaringan lesi, jarang mendapat manfaat diagnostik, karena ciri histopatologis
tidak spesifik. Penyelidikan hematologi dan serologis dapat mengungkapkan
kekurangan hematinik yang menyertainya, terutama feritin, namun jarang ada
kelainan signifikan lainnya yang mungkin terdeteksi. Investigasi virologi
terperinci dari jaringan lesi atau serum biasanya tidak diperlukan kecuali
untuk menyingkirkan infeksi herpes.

C. Erithema Multiforme
Definisi
Eritema multiforme (EM) merupakan penyakit kulit akut dan dapat
sembuh dengan sendirinya yang dicirikan dengan papul merah simetris yang
timbul secara tiba-tiba, dan beberapa menjadi lesi target yang tipikal kadang-
kadang atipikal. EM merupakan erupsi mendadak dan rekuren pada kulit dan
kadang-kadang pada selaput lendir dengan gambaran bermacam-macam spektrum
dan gambaran khas berbentuk iris (target lesion). Eritema menunjukkan
perubahan warna kulit yang disebabkan karena dilatasi pembuluh darah,
khususnya pada dermis pars retikularis dan pars papillaris. Pada kasus yang berat
disertai gejala konstitusi dan lesi viseral.
Eritema multiforme kebanyakan ditemukan pada dewasa muda dan sangat
tidak umum terjadi pada masa kanak-kanak. Jumlah penderita laki-laki ditemukan
lebih besar, tetapi tidak berhubungan dengan ras. Angka kejadian pasti dari EM
sampai saat ini tidak diketahui.
Erupsi kulit yang terjadi seringnya dicetuskan oleh infeksi, kebanyakan
Herpes Simplex Virus (HSV). Bentuk EM terdiri dari EM minor dan EM mayor.
Keduanya dicirikan berdasarkan kesamaan pada dasar lesi target, tetapi dibedakan
berdasarkan ada atau tidak adanya keterlibatan mukosa dan gejala sistemik. Pada
kebanyakan pasien, EM dapat dibedakan secara klinis dari SSJ (Sindrom Steven
Jhonson) dan NET (Nekrosis epidermal Toksik) berdasarkan jenis lesi kulit dan
distribusinya.

Etiologi
Penyebab yang pasti belum diketahui, salah satunya disebabkan oleh
hipersensitivitas terhadap obat, mikroba, atau alergen lain. Sebagian besar kasus
merupakan Hasil respon immunologi terhadap pemberian obat, khususnya obat-
obat yang mengandung sulfa (antibiotik atau agen hipoglikemik) atau barbiturat.
Kasus yang lain dipicu oleh radiasi, infeksi virus herpes simpleks atau
Mycoplasma pneumonia, atau alergen yang tidak teridentifikasi, kompleks imun
yang terbentuk pada pembuluh darah kecil akan mengakibatkan peradangan
perivaskular dan nekrosis epitelium.
Epidemiologi
Meski bisa terjadi di segala usia, eritema multiforme lebih sering terjadi
terjadi pada dewasa muda terutama pria sekitar usia 20-40 tahun , tetapi juga
dapat terjadi pada anak-anak (20%) dan orang tua.
Baru-baru ini penelitia torreto dkk menggambarkan setelah dilakukan
biopsi EM didapatkan bahwa tidak ada kaitannya dengan HSV pada anak laki-
laki berusia 2 minggu. Hanya satu kasus biopsi terbukti EM selama periode
neonatal yang telah dilaporkan. Namun, dalam tak satu pun dari dua kasus
tersebut, penulis mengklasifikasikan penyakit ini sebagai EM minor, yang sering
kali menghambat penelitian epidemiologi mengenai penyakit ini.
Kejadian lesi pada kulit dan mukosa bervariasi dan tampaknya tergantung
apakah studi didasarkan pada obat-obatan oral atau dermatologi klinik pada
populasi. Rekurensi terjadi pada 37% kasus, dimana mereka biasanya mengalami
EM di musim semi dan musim gugur. EM minor mungkin terjadi secara rekuren
dan lebih sering terjadi pada rongga mulut.
Prevalensi lesi rongga mulut pada EM minor bervariasi dari 35 65%
antara pasien dengan lesi kulit. Namun, pada pasien dimana EM minor
didiagnosis oleh lesi rongga mulut, kejadian lesi kulit berkisar dari 25-33%.
Patogenesis
Kebanyakan Eritema Multiforme pada pasien timbul sebagai manifestasi
mukokutaneus dari reaksi imun langsung yang nyata terhadap kulit yang terjadi
akibat adanya satu infeksi pada individu yang memiliki faktor presipitasi.
Penelitian menunjukkan bahwa pembentukan kompleks imun dan deposisinya
pada mikrovaskulatur kutaneus memiliki peran dalam patogenesis EM. Kompleks
imun yang bersirkulasi dan deposisi dari C3, IgM, dan fibrin di sekitar bagian atas
pembuluh darah dermal telah ditemukan pada kebanyakan pasien EM.
Secara histologis, infiltrat sel mononuklear ditemukan di sekitar bagian
atas pembuluh darah dermal; dimana halnya pada vaskulitis kutaneus yang
dimediasi oleh kompleks imun juga ditemukan leukosit polimorfonuklear. EM
menunjukkan infiltrat inflamasi yang lichenoid dan nekrosis epidermal yang
kebanyakan mempengaruhi lapisan basalis. Keratinosit yang mengalami nekrosis
bervariasi mulai dari individu sel sampai nekrosisepidermal yang konfluen.
Epidermo-dermal junction menunjukkan perubahan strukturbervariasi mulai dari
perubahan vaskuler sampai subepidermal yang melepuh. Infiltrat didermal
kebanyakan berada perivaskuler.
Bila dibandingkan dengan SSJ, SSJ menunjukkan lebih banyak jaringan
yang nekrotik dan infiltrat inflamasi yang minimal. Konsentrasi acrosyringeal
pada keratinosit yang mengalami inflamasi pada EM terjadi pada kasus-kasus
yang behubungan dengan obat-obatan dan kebanyakan dihubungkan dengan
infiltrat inflamasi pada dermis yang mengandung eosinofil. EM memiliki infiltrat
dengan densitas yang kaya akan limfosit T. Sebaliknya, nekrosis epidermal toksik
dicirikan dengan infiltrat yang miskin sel dan mengandung kebanyakan makrofag
dan dendrosit. Perbedaan ini menunjukkan patogenesis yang jelas untuk penyakit-
penyakit tersebut

Gambaran Klinis
Lesi oral tampak sebagai beberapa vesikel kecil yang menyatu, kemudian
pecah dalam dua hingga tiga hari, meninggalkan erosi nyeri dengan tepi tidak
beraturan yang tertutup oleh pseudomembran nekrotik. Daerah yang umumnya
terlihat adalah bibir, mukosa pipi, lidah, palatum molle dan dasar mulut. Lesi kulit
terdiri dari makula, papula atau plak bulat, datar dan eritematus, biasanya lesi
terletak simetris. Ciri khas lesi di kulit adalah lesi target atau iris like lesion.
Kadang-kadang juga ditemukan bula pada kulit. Keluhan lain yang dapat dijumpai
adalah konjungtivitas, balanitis, vulvitis, gejala prodormal, seperti sakit kepala,
malaise, arthralgia dan demam. Rekurensi dapat juga terjadi.

D. Diagnosa
Pada EM, riwayat lesi kulit yang muncul akut dengan hampir seluruh lesi
muncul dalam 24 jam dan berkembang sempurna dalam 72 jam. Pruritus dan
sensasi terbakar pada lesi dapat digambarkan oleh pasien. Lesi-lesi individual
menetap pada tempat yang sama selama 7 hari atau lebih. Pada kebanyakan
individu dengan EM, episode penyakit bertahan 2 minggu dan sembuh tanpa
sekuele; kecuali sekuele pada mata yang jarang tapi mungkin terjadi pada EM
mayor, dimana dapat terjadi jika tidak ada penanganan dini terhadap mata.
Kadang-kadang, ditemukan gambaran hipo/hiperpigmentasi post-inflamasi.
Pasien dengan EM biasanya memiliki gejala yang tidak berat, meskipun rekurensi
dapat terjadi. Pada kasus EM terkait-HSV, rekurensi agak sering terjadi. Satu
rekurensi biasanya terjadi pada musim semi, seperti yang dideskripsikan oleh von
Hebra, ahli dermatologi berkebangsaan Austria yang menemukan penyakit ini.
Kebanyakan individu dengan EM terkait-HSV rekuren mengalami satu atau dua
episode serangan dalam setahun, kecuali orang-orang yang mengonsumsi obat-
obat imunosupresif. Penggunaan obat-obat imunosupresif seperti kortikosteroid
oral dapat dihubungkan dengan frekuensi dan lamanya episode EM. Orang-orang
ini dapat mengalami lima atau enam episode serangan dalam setahun bahkan
hampir dapat berlanjut dimana serangan pertama belum sembuh kemudian disusul
oleh serangan selanjutnya. Infeksi bakteri sekunder juga meningkatkan frekuensi
dan lama penggunaan kortikosteroid.
Diagnosa banding : Herpes simpleks virus, pemphigus vulgaris,
gingivostomatitis herpetik primer, ulkus aftosa
Penatalaksanaan
Untuk semua bentuk eritema multiforme, penanganan yang paling penting
adalah penanganan simtomatik, yaitu antihistamin oral, analgesik, perawatan
kulit, dan soothing mouth washes (yaitu dengan membilas mulut dengan warm
saline water atau dicampur dengan difenhidramin, xylocaine, dan kaopectate).
Pada kasus ringan diberi pengobatan simtomatik, meskipun sedapat-
dapatnya perludicari penyebabnya. Pada penyakit ini biasanya dapat diberikan
pengobatan kortikosteroid per oral, misalnya berupa prednison 3 x 10 mg sehari.
Manajemen eritema multiforme melibatkan penentuan etiologi bila
mungkin.Langkah pertama adalah untuk mengobati kecurigaan penyakit menular
atau untuk menghentikan obat kausal.
Penanganan terhadap infeksi seharusnya setelah kultur dan/atau
pemeriksaan serologis dilakukan. Pengobatan topikal berupa antiseptik topikal
untuk lesi kulit yang telaherosi dan bilasan antiseptik/antihistamin dan anestetik
lokal untuk lesi mukosa. Penggunaan cairan antiseptik, seperti klorhexidin 0.05%
saat mandi dapat mencegah superinfeksi. Pengobatan topikal, termasuk yang
melibatkan organ genitalia, harus dilakukan dengan gauzedressing atau
hidrokoloid. Pemberian preparat topikal mata harus diberikan oleh ahli
oftalmologi, seperti lubrikan untuk mata kering, usapan pada forniks konjungtiva,
dan pembersihan perlengkatan yang masih baru.
Antihistamin oral dan steroid topikal dapat digunakan untuk gejala
relief .Antihistamin oral selama 3-4 hari dapat mengurangi rasa perih dan terbakar
pada kulit. Padakasus-kasus yang berat dengan gangguan fungsi, terapi awal
dengan kortikosteroid sistemik (prednison [0.5 1 mg/kg/hr]) atau
metilprednisolon [1 mg/kg/hr untuk 3 hari]) haruslah dipertimbangkan. Prednison
dapat digunakan pada pasien dengan lesi banyak dengan dosis 40 sampai 80 mg
per hari selama satu sampai dua minggu kemudian dosis diturunkan.Namun,
penggunaannya masih kontroversial. Belum ada studi terkontrol dari
efektivitasprednison, dan penggunaannya pada pasien dengan herpes terkait
eritema multiforme dapat menurunkan resistensi pasien untuk HSV dan
mempromosikan infeksi HSV berulang diikuti oleh eritema multiforme berulang.
Terapi simtomatik hanya digunakan jika terbentuk bulla dan papul yang
terlokalisir.Terapi antivirus dengan asiklovir pada EM yang timbul akibat infeksi
HSV cenderung mengecewakan ketika erupsi telah muncul, sehingga terapi ini
bermanfaat untuk profilaksis.Pada pasien yang hidup bersama atau baru terinfeksi
HSV, pengobatan dini dengan asikloviroral (Zovirax) dapat mengurangi jumlah
dan durasi lesi kulit. Pada individu dengan EM terkait-HSV dengan tingkat
rekurensi yang tinggi, profilaksis minimal 6 bulan dengan asiklovir oral (10
mg/kg/hr dalam dosis terbagi, biasanya 200mg dalam 5 kali sehari selama 5hari),
valasiklovir (500-1000 mg/hr, dengan dosis tergantung frekuensi rekurensi), atau
famsiklovir (250 mg dua kali sehari) haruslah dipikirkan. Hasil penelitian double-
blind , placebo-controlled pada dewasa muda menunjukkan efektivitas asiklovir
sebagai profilaksis. Tentu saja, EM yang dipresipitasi selain oleh infeksi HSV
tidak memberi respon terhadap pemberian antivirus.
Jika tetap terjadi rekurensi, dibutuhkan dosis rendah berlanjut dari
asiklovir oral. Asiklovir oral telah ditunjukkan efektif dalam mencegah EM
terkait-HSV yang rekuren dan protokol pengobatannya berupa 200-800 mg/hari
selama 26 minggu. Jika asiklovir gagal,valasiklovir dapat digunakan (500 mg, dua
kali sehari). Penggunaan yang terakhir ini memiliki bioavaliabilitas oral yang
lebih besar dan lebih efektif dalam menekan EM terkait HSV yang rekuren.

Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan histopatologi
EM didiagnosis berdasarkan klinikopatologik, tidak hanya dengan
pemeriksaanhistologis semata. Temuan histologik EM memiliki ciri tapi tidak
spesifik, dan sangatberguna untuk menyingkirkan diagnosis banding yang lain
seperti lupus eritematosus danvaskulitis. Pada EM, keratinosit adalah target utama
dari proses inflamasi, dimana apoptosisdari keratinosit sebagai temuan patologis
dini. Seiring dengan perkembangannya, ditemukanspongiosis dan degenerasi
vakuolar fokal pada keratinosit basal. Edema dermis superfisialisdan infiltrat
perivaskuler dari leukosit mononuklear dan limfosit-T dengan eksositosis
keepidermis juga ditemukan pada EM
Pemeriksaan darah lengkap, urea, elektrolit, erythrocyte sedimentation rate
(ESR) dan fungsi liver bersamaan dengan serologi HSV dan mikoplasma, kultur
mikrobial dari darah, sputum dan daerah yang erosif dilakukan pada pasien-
pasien yang parah

Prognosis
Kebanyakan kasus eritema multiforme bersifatself-limited. Pada EM
minor, lesi berkembang lebih 1-2 minggu dan pada akhirnya mereda dalam 2-3
minggu tanpa jaringan parut. Bagaimanapun, rekurensi EM minor umum terjadi
dan kebanyakan diawali oleh infeksi subklinis dari HSV. Eritema multiforme
mayor memiliki angka kematian kurang dari 5% dan berlangsungannya lebih lama
dimana penyembuhan membutuhkan 3-6 minggu. Lesi kulit biasanya sembuh
dengan meninggalkan lesi hipo/hiperpigmenatasi. Jaringan parut biasanyatidak
ada, kecuali setelah infeksi sekunder. Rekurensi ditemukan sekitar 20-25% dari
kasus EM. Meskipun penyakit ini dapat sembuh secara spontan dalam 10-20 hari,
beberapa pasien dapat mengalami 2-24 kali episode dalam setahun.
DAFTAR PUSTAKA

Adams G.Leukoplakia, dalam Boies Buku Ajar Penyakit THT Edisi 6.


Editor Hrjanto E dan Kuswidayanti S. EGC. Jakarta.1997:389-390

Augusto G dkk. Oral hairy Leukoplakia Histopatologi and Cytopatologic


Features of a Subclinical Phase. American society of Clinical pathologists.
www.Massachusetts Medical Society.com

Akintoye, Sunday O. BDS, DDS, MS, Martin S. Greenberg, DDS.


Recurrent aphthous stomatitis. Dent Clin N 2005:(49) 3147.

Banoczy Jolan. Exfoliative Cytologic Changes In Oral Leukoplakia.


Journal of Dental Research. www.sagepublication.com

Banozy J:Oral leukoplakia Dev Oncol 8,Martinus Nijhoff Pubs, Hingham,


Mass.1982

Banozy J:Occurrence of epithelial dysplasia in oral leukoplakia.Analysis


and follow-up study of 12 cases.Oral Surg 42:766,1976

Baric JM, Alman JE, Feldman RS, Chauncey HH:Influence of cigarette,


pipe and cigar smoking, removable partial denture and age oral leukoplakia. Oral
Surg 54:424,1982
Breathnach SM. Erythema Multiforme, Stevens-Jhonson Syndrome and
ToxicEpidermal Necrolysis. In: Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffiths C,
editors. Rook'sTextbook of Dermatology. 8 ed . Singapore: Wiley-Blackwell
Publishing; 2010. p. 1-7.
Carrozzo, M., M. Togliatto and S. Gandolfo, 1999. Erythema multiforme.
Aheterogeneous pathologic phenotype. Minerva Stomatol., 48: 217-226.
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/10434539
Craig RM: Speckled leukoplakia of the floor of the mouth.J am dent assoc
102:690,1981

Crivelini Macedo M. PCNA and p53 Expression in Oral Leukoplakia With


Different Degrees of Keratinization. Journal of Applied Oral Science.
www.faculdadeodontologia.com

Eversole; Sol Silverman, Essentials of Oral Medicine, 10th ed.

French LE, Prins C. Erythema multiforme, Stevens-Jhonson Syndrome


and ToxicEpidermal Necrolysis. In: Bolognia JL, Jorizzo JL, Rapini RP,
editors.Dermatology.2 ed . UK: Elsevier Inc; 2008

Greenberg, M.S and Glick, M. Burkets Oral Medicine. 10th ed. 2003.; BC
Decker Inc. Spain
Hamzah M. Eritema Multiforme. In: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S,
editors. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 5 ed . Jakarta: Balai Penerbit FKUI;
2007. p. 162.

Katz, J., A. Livneh and J. Shemer et al., 1999. Herpes simplex-associated


erythema multiforme (HAEM): A clinical therapeutic dilemma. Pediatr. Dent., 21:
359-362. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/10509338
Kleinman DV, Swango PA, Niessen LC. Epidemiologic studies of oral
mucosal conditionsmethodologic issues. Community Dent Oral Epidemiol
1991;19(3):12940.

Langlais, R.P. & C.S. Miller. 2000. Altas Berwarna Kelainan Rongga
Mulut Yang Lazim. Alih Bahasa drg. Budi Susetyo. Hipokrates: Jakarta.
Matoka NaM. Penatalaksanaan Eritema Multiforme pada Pasien Usia 43
tahun.Yogyakarta: UMY eCase; 2012 [updated May 16, 2012; cited 2012 June 3]
Miller MF, Garfunkel AA, Ram CA, Ship II. The inheritance of recurrent
aphthous stomatitis. Observations on susceptibility. Oral Surg Oral Med Oral
Pathol 1980;49(5):40912.
Rein Charles R and Goodman J. Leukoplakia Buccalis, in CA a Cancer
Journal for Clinicians. American Cancer Society. www.caonline.amcancersoc.org

Rogers RS III. Recurrent aphthous stomatitis: clinical characteristics and


associated systemic disorders. Semin Cutan Med Surg 1997;16(4):27883.

Soeprapto, Andrianto. 2016. Pedoman dan Tatalaksana Praktik


Kedokteran Gigi. STPI Bina Insan Mulia: Yogyakarta.

Tinus E. Leukoplakia. Tugas Refrat Ilmu Penyakit Tenggorok.2008

Williams Darren R. Dental health and Leukoplakia. diakses tanggal 5 mei


2009. www.webMD.com

You might also like