Professional Documents
Culture Documents
MAKALAH
Oleh :
Fitriana Wadianur 131611101017
Sita Rahma N. 131611101025
Tadjul Arifin 131611101037
Pembimbing :
drg. Ayu Mashartini Prihanti, Sp. PM
Praktikum Putaran III
Semester Genap Tahun Ajaran 2016/2017
A. Leukoplakia
PENDAHULUAN
Di Asia Tenggara, frekuensi tumor ganas rongga mulut lebih tinggi bila
dibandingkan dengan negara lainnya di seluruh dunia. Keadaan yang demikian
diduga ada hubungannya dengan kebiasaan mengunyah tembakau yang dilakukan
sebagian masyarakat di kawasan Asia.
PEMBAHASAN
A. DEFINISI
Batasan leukoplakia telah dipakai di masa lalu oleh ahli kulit dan ahli
kebidanan untuk menunjukkan suatu penebalan putih pada mukosa mulut atau
vulva yang menunjukkan perubahan dini, in situ dan anaplastik. Berdasarkan
konsep yang diterima oleh World Health Organization maka batasan leukoplakia
adalah lesi yang tidak ada konotasi histologinya dan dipakai hanya sebagai
deskripsi klinis. Jadi definisinya adalah suatu penebalan putih yang tidak dapat
digosok sampai hilang dan tidak dapat digolongkan secara klinis atau histologi
sebagai penyakit-penyakit spesifik lainnya (contoh: seperti likhen planus, lupus
eritematosus, kandidiasis, white sponge naevus).
B. EPIDEMIOLOGI
Di Asia Tenggara, frekuensi tumor ganas rongga mulut lebih tinggi bila
dibandingkan dengan negara lainnya di seluruh dunia. Keadaan yang demikian
diduga ada hubungannya dengan kebiasaan mengunyah tembakau yang dilakukan
sebagian masyarakat di kawasan Asia.
Hasil penelitian kasus pada Yugoslavia, dari 2385 pasien yang diperiksa,
53 pasien didiagnosis mengalami leukoplakia dengan prevalensi sekitar 2,2%.
Distribusi berdasarkan umur dan jenis kelamin menunjukkan bahwa angka
kejadian berdasarkan jenis kelamin ditemukan bahwa pria lebih sering terkena
leukoplakia dibandingkan wanita (4,3% : 0,9%). Berdasarkan umur, pada pria,
angka kejadian leukoplakia meningkat pada umur sebelum dan sesudah 40 tahun,
sedangkan wanita angka kejadian leukoplakia meningkat pada umur 30-39 dan
50-59
Tabeltahun.
1. Distribusi jenis kelamin dan umur dari 53 pasien dengan leukoplakia pada
mulut
C. ETIOLOGI
1. Faktor Lokal
a. Trauma
Tembakau
Alkohol
Bakteri
2. Faktor Sistemik
4. Infeksi virus
E. GAMBARAN KLINIS
2. Leukoplakia Non-homogen
Gambar 1. leukoplakia homogen
Lesi ini berupa plak putih atau putih disertai merah. Permukaan
lesi ireguler, bisa rata, bernodul (speckled leukoplakia) atau exophytic
(exophytic atau verrucous leukoplakia). Pada verrucous leukoplakia,
permukaan lesi tampak sudah menonjol, berwarna putih, tetapi tidak
mengkilat. Tipe leukoplakia ini biasanya disertai dengan keluhan ringan
berupa ketidaknyamanan atau nyeri yang terlokalisir.
G. DIFERENTIAL DIAGNOSIS
Leukoplakia memiliki gambaran klinis yang mirip dengan beberapa
kelainan. Oleh karena itu, diperlukan adanya diferensial diagnosis atau
diagnosis banding untuk membedakan apakah kelainan tersebut adalah lesi
leukoplakia atau bukan. Pada beberapa kasus, leukoplakia tidak dapat dibedakan
dengan lesi yang berwarna putih di dalam rongga mulut tanpa dilakukan biopsy.
Jadi, cara membedakannya dengan leukoplakia adalah dengan pengambilan
biopsi. Ada beberapa lesi berwarna putih yang juga terdapat dalam rongga mulut,
yang memerlukan diagnosis banding dengan leukoplakia. Lesi tersebut antara
lain: syphililitic mucous patches; lupus erythematous dan white sponge
nevus; infeksi mikotik, terutama kandidiasis; white folded gingivo stomatitis;
serta terbakarnya mukosa mulut karena bahan-bahan kimia tertentu, misalnya
minuman atau makanan yang pedas.
H. PENATALAKSANAAN
Dalam penatalaksanaan leukoplakia yang terpenting adalah mengeliminir
faktor predisposisi yang meliputi penggunaan tembakau (rokok), alkohol,
memperbaiki higiene mulut, memperbaiki maloklusi, dan memperbaiki gigi tiruan
yang letaknya kurang baik. Penanganan leukoplakia dapat dibagi menjadi 2
tindakan, yaitu:
1. Penanganan Konservatif
Tujuan dari penanganan ini adalah untuk mendeteksi dan
mencegah perubahan leukoplakia menjadi sel ganas. Bila leukoplakia
masih berupa plak putih saja, tidak diperlukan tindakan khusus untuk
menanganinya. Terdapat beberapa tindakan yang disarankan untuk
dilakukan, akan tetapi hingga saat ini belum ditemukan pengobatan
definitif untuk penyakit ini.
Beberapa tindakan yang dapat dilakukan diantaranya:
Tunggu dan amati
Terapi vitamin (A,C dan E) untuk proteksi epitel.
Retinoids.
Lycopene (protein menghambat siklus sel dengan memblok sinyal
reseptor GR).
Beta carotene ( antioksidan untuk melawan radikal bebas
onkogenik).
Terapi nystatin pada candidal leukoplakia.
Bleomycin topikal, merupakan antibiotik sitotoksik.
Fotodinamic terapi, menghancurkan sel rusak melalui proses
oksidatif.
2. Penanganan Bedah
Tindakan operasi masih menjadi penanganan pilihan untuk
leukoplakia kecil. Electrocautery, cryosurgery dan laser sama-sama
efektif, dimana proses ini sangat tergantung kepada kemampuan patologis
untuk mengevaluasi luas serta derajat displasia yang terjadi. Pasien juga
harus diperiksa secara berkala, kira-kira setiap 2-3 bulan sekali karena
tingkat kekambuhan penyakit yang sangat tinggi. Pasien yang tidak
mengalami kekambuhan selama 3 tahun tidak perlu melakukan
pemeriksaan berkala lagi, tapi pasien dengan residual leukoplakia harus
melakukan pemeriksaan berkala seumur hidup.
I. PEMERIKSAAN PENUNJANG
J. PROGNOSIS
2. Etiologi
Etiologi lesi RAS tidak diketahui, namun beberapa faktor lokal,
sistemik, faktor imunologi, genetik, alergi, nutrisi, dan mikroba telah diusulkan
sebagai agen penyebab (Tabel 2).
Faktor lokal
Faktor lokal dianggap sebagai agen penyebab RAS. Trauma menjadi
predisposisi RAS dengan menginduksi edema, inflamasi awal berhubungan
dengan peningkatan viskositas submukosa oral matriks ekstraselular. Tidak semua
trauma pada rongga mulut bisa menyebabkan RAS. Pemakaian gigi tiruan
biasanya tiga kali lebih rentan terhadap ulserasi mukosa mulut, tapi RAS bukan
ulserasi yang paling umum dalam hal ini. Sebagai tambahan,
kebiasaan merokok yang selalu mengekspos mukosa oral mereka terhadap nikotin
miliki menunjukkan hubungan negatif antara merokok dan RAS.
Dengan demikian trauma lokal mempengaruhi untuk RAS hanya untuk
individu yang memiliki keturunan terhadap penyakit tersebut.
Beberapa perubahan dalam komposisi kelenjarludah, seperti pH, yang mempengar
uhi sifat air liur dan peningkatan kortisol yang diinduksi stres telah
berkorelasi dengan RAS. pasien dengan kombinasi
RAS dan xerostomia mungkin mengalami peningkatan gejala.
Faktor mikroba
Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa RAS tidak disebabkan
oleh virus herpes simpleks meskipun keduanya, orang awam dan beberapa dokter
bingung RAS dengan infeksi virus herpes simpleks. Evaluasi jaringan biopsi RAS
dengan polymerase cha in reaction (PCR) untuk melihat kemungkinan
keterlibatan virus herpes, cytomegalovirus, dan varicella zoster virus sebagai
faktor penyebab tidak menemukan bukti untuk mendukung peran virus tersebut
dalam patogenesis RAS. Dengan demikian, ini adalah tanggung jawab dokter
untuk membedakan RAS dari infeksi herpes rekuren dan untuk meyakinkan
pasien RAS bahwa mereka tidak memiliki penyakit menular dan tidak
memerlukan terapi antivirus. Telah diusulkan bahwa Helicobacter pylori mungkin
memiliki peran penting dalam RAS karena merupakan faktor risiko umum untuk
ulser lambung dan duodenum. Studi menggunakan teknik molekuler telah
menunjukkan H pylori pada keduanya. Mukosa yang terkena dampak dan tidak
terpengaruh pasien RAS dan tidak menemukan hubungan dengan RAS. Dengan
demikian pasien dengan sakit maag mungkin tidak biasa rentan terhadap RAS
meskipun kedua penyakit tersebut telah dikaitkan dengan disregulasi fungsi
kekebalan tubuh. Ada banyak spekulasi mengenai kemungkinan itu. Keterlibatan
spesies Streptococci dalam etiologi RAS khususnya S sanguis 2A. Hipotesis yang
diajukan adalah bahwa streptococcus oral bertindak sebagai antigenic stimulants
yang bereaksi silang dengan protein mitokondria keratinosit oral. Reaksi ini
menginduksi imunitas yang dimediasi sel T Respon yang menyebabkan kerusakan
mukosa mulut. Teori ini masih belum terbukti. Virus Epstein-Barr (EBV) dan
lactobacillus adalah organisme lain yang telah dipelajari pada pasien RAS.
Sebuah studi tentang kemungkinan peran lactobacillus di Indonesia terhadap RAS
tidak menghasilkan temuan yang signifikan, namun dalam sebuah penelitian kecil
EBV terkait dengan sel epitel RAS prulkeratif. Dengan menggunakan teknik PCR,
39% lesi RAS preulceratif positif untuk EB-DNA.
Faktor keturunan dan genetik
Peran faktor keturunan adalah penyebab utama RAS yang paling jelas.
Kerentanan terhadap RAS meningkat secara signifikan dengan kehadirannya
dalam satu atau kedua orang tua. Studi kembar identik juga telah menunjukkan
sifat turun temurun dari gangguan ini. Bila pasien memiliki riwayat keluarga yang
positif RAS, mereka cenderung mengembangkan RAS sejak usia dini. Secara
khusus, anak-anak dengan orang tua RAS-positif memiliki kesempatan 90%
mengembangkan RAS. Lesi RAS mereka tampak lebih sering dan gejala yang
lebih parah. Spesifik genetik HLA telah diidentifikasi dalam RAS; tipe HLA-A2,
HLA-B5, HLA-B12, HLA-B44, HLA-B51, HLA-B52, HLA-DR2, HLA-DR7,
dan HLA-DQ.
Faktor imunologis
Selama 30 tahun terakhir, sebagian besar penelitian tentang penyebab
RAS terfokus pada mendeteksi kelainan pada respon imunologis. Terdapat
hubungan antara beberapa reaksi yang dimediasi oleh kekebalan dan
pengembangan RAS. Reaksi ini meliputi sitotoksisitas limfosit ke epitel oral,
sitotoksisitas sel yang dimediasi oleh antibodi, dan acat pada subpopulasi limfosit.
Banyak reaksi kekebalan tubuh menyebabkan kerusakan akibat deposisi kompleks
imun dalam epitel oral. Studi yang lebih baru telah menunjukkan sebuah
hubungan antara tingkat keparahan RAS dan proporsi CD4 dan CD4 abnormal Sel
CD8, perubahan rasio CD4: CD8, dan peningkatan kadar Interleukin 2,
gamma interferon, dan tumor necrosing factor-a (TNFa) MRNA pada lesi RAS.
Studi imunohistokimia biopsi RASpada jaringan telah menunjukkan banyak sel
inflamasi dengan rasio variabel Limfosit CD4: CD8 T tergantung pada durasi
ulkus. Sel CD4 lebih banyak selama tahap preulcerative dan healing, sedangkan
sel CD8 cenderung lebih banyak selama keadaan ulseratif ulkus. Studi serupa
pada situs yang tidak terpengaruh negatif, dibuat Peneliti lebih fokus pada teori
bahwa RAS mungkin disebabkan oleh antigentriggering efek. Karena kadar
serum imunoglobulin dan autoimun pada dasarnya berada dalam batas normal
pada pasien RAS, fokusnya adalah masih pada respon kekebalan tubuh yang tidak
teratur dan disegmentasi, yang kondusif terhadap akumulasi bagian sel T,
kebanyakan sel CD8. Kekebalan lokal respon menyebabkan kerusakan jaringan
yang bermanifestasi sebagai RAS.
3. Patogenesis dan Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis dan patogenesis Pasien RAS biasanya mengalami
senasasi terbakar pada masa prodromal. Itu terjadi pada 2 sampai 48 jam sebelum
ulkus muncul. Ulser bulat dengan margin eritematosa yang terdefinisi dengan
baik dan pusat ulserasi dangkal yang tertutup dengan pseudomembran fibrinous
abu-abu. RAS bersifat simetris namun tidak memiliki jaringan seperti yang
terlihat pada ulkus tidak teratur Seperti eritema multiforme, pemfigus, dan
pemfigoid. Meskipun beberapa ulkus mungkin hadir, jumlah, ukuran, dan
frekuensi bervariasi. RAS biasanya berkembang pada mukosa oral nonkeratin,
bukal dan mukosa labial menjadi tempat yang paling umum. Mereka bertahan
sekitar 10 sampai 14 hari tanpa pembentukan parut (lihat Tabel 1). Karakteristik
mikroskopis RAS adalah tidak spesifik. Lesi preulcerative menunjukkan
peradangan subepitel sel mononuklear dengan sel mast melimpah, jaringan ikat
edema, dan lapisan margin dengan neutrofil. Kerusakan pada epitel biasanya
dimulai di lapisan basal dan berkembang melalui lapisan superfisial. Akhirnya
menyebabkan ulserasi dan eksudat permukaan. Kehadiran dari eritrosit
ekstravasasi di sekitar margin ulkus, ekstravaskular subepitel neutrofil, banyak
makrofag yang penuh dengan fagolysosom, dan pengikatan nonspesifik sel
spinosum stratum ke imunoglobulin dan komplemen bisa jadi akibat kebocoran
vaskular dan difusi pasif protein serum. Temuan ini menunjukkan bahwa
patogenesis RAS mungkin terjadi dimediasi oleh vaskulitis kompleks imun.
4. Gambaran Klinis
1. RAS Major
Ukuran : >10mm
Durasi : >14 hari
Scarring : yes
Bentuk : oval dan dalam
Jumlah : 1-10
Lokasi : nonkeratinized mucosa
2. RAS Minor
Ukuran : 5-10mm
Durasi : 10-14 hari
Scarring : No
Bentuk : oval, dangkal
Jumlah : 1-5
Lokasi : nonkeratinized mucosa
3. RAS Herpetiform
Ukuran : <5mm
Durasi : 10-14 hari
Scarring : No
Bentuk : bergabung menjadi ulser iireguler
Jumlah : 10-100
Lokasi : any intraoral site
5. Diagnosa
Diagnosis RAS hampir selalu didasarkan pada riwayat keluhan dan
temuan klinis pasien. Biasanya, pasien melaporkan riwayat ulserasi berulang pada
permukaan mukosa mulut. Masing-masing ulserasi berlangsung beberapa minggu,
penyembuhan kadang disertai dengan perkembangan ulkus baru. DD : Traumatic
ulcer.
6. Rencana Perawatan
Perawatan RAS yang tepat bergantung pada frekuensi, ukuran, dan
jumlah ulser. Pasien yang mengalami RAS minor biasanya cocok dengan terapi
topikal. Gejala akibat RAS cukup terkontrol dengan penggunaan emolien seperti
Zilactin (Zila Pharmaceuticals, Phoenix, Arizona) atau Orabase (Bristol Myers
Squib, Princeton, New Jersey), digunakan sendiri atau dicampur dengan anestesi
topikal seperti benzokain. Agen topikal lainnya yang bisa memperkecil
ketidaknyamanan pasien meliputi diklofenak, obat antiinflamasi nonsteroid, atau
pasta amlexanox, yang juga telah terbukti mengurangi penyembuhannya
- Eliminasi faktor predisposisi
- Berikan obat pada lesi BBG (Benzokain, Boraks, Gliserin)
- Berikan Chlorhexidine glukonat (bila perlu)
- Berikan multivitamin
7. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan histopatologis, termasuk imunofluoresensi langsung pada
jaringan lesi, jarang mendapat manfaat diagnostik, karena ciri histopatologis
tidak spesifik. Penyelidikan hematologi dan serologis dapat mengungkapkan
kekurangan hematinik yang menyertainya, terutama feritin, namun jarang ada
kelainan signifikan lainnya yang mungkin terdeteksi. Investigasi virologi
terperinci dari jaringan lesi atau serum biasanya tidak diperlukan kecuali
untuk menyingkirkan infeksi herpes.
C. Erithema Multiforme
Definisi
Eritema multiforme (EM) merupakan penyakit kulit akut dan dapat
sembuh dengan sendirinya yang dicirikan dengan papul merah simetris yang
timbul secara tiba-tiba, dan beberapa menjadi lesi target yang tipikal kadang-
kadang atipikal. EM merupakan erupsi mendadak dan rekuren pada kulit dan
kadang-kadang pada selaput lendir dengan gambaran bermacam-macam spektrum
dan gambaran khas berbentuk iris (target lesion). Eritema menunjukkan
perubahan warna kulit yang disebabkan karena dilatasi pembuluh darah,
khususnya pada dermis pars retikularis dan pars papillaris. Pada kasus yang berat
disertai gejala konstitusi dan lesi viseral.
Eritema multiforme kebanyakan ditemukan pada dewasa muda dan sangat
tidak umum terjadi pada masa kanak-kanak. Jumlah penderita laki-laki ditemukan
lebih besar, tetapi tidak berhubungan dengan ras. Angka kejadian pasti dari EM
sampai saat ini tidak diketahui.
Erupsi kulit yang terjadi seringnya dicetuskan oleh infeksi, kebanyakan
Herpes Simplex Virus (HSV). Bentuk EM terdiri dari EM minor dan EM mayor.
Keduanya dicirikan berdasarkan kesamaan pada dasar lesi target, tetapi dibedakan
berdasarkan ada atau tidak adanya keterlibatan mukosa dan gejala sistemik. Pada
kebanyakan pasien, EM dapat dibedakan secara klinis dari SSJ (Sindrom Steven
Jhonson) dan NET (Nekrosis epidermal Toksik) berdasarkan jenis lesi kulit dan
distribusinya.
Etiologi
Penyebab yang pasti belum diketahui, salah satunya disebabkan oleh
hipersensitivitas terhadap obat, mikroba, atau alergen lain. Sebagian besar kasus
merupakan Hasil respon immunologi terhadap pemberian obat, khususnya obat-
obat yang mengandung sulfa (antibiotik atau agen hipoglikemik) atau barbiturat.
Kasus yang lain dipicu oleh radiasi, infeksi virus herpes simpleks atau
Mycoplasma pneumonia, atau alergen yang tidak teridentifikasi, kompleks imun
yang terbentuk pada pembuluh darah kecil akan mengakibatkan peradangan
perivaskular dan nekrosis epitelium.
Epidemiologi
Meski bisa terjadi di segala usia, eritema multiforme lebih sering terjadi
terjadi pada dewasa muda terutama pria sekitar usia 20-40 tahun , tetapi juga
dapat terjadi pada anak-anak (20%) dan orang tua.
Baru-baru ini penelitia torreto dkk menggambarkan setelah dilakukan
biopsi EM didapatkan bahwa tidak ada kaitannya dengan HSV pada anak laki-
laki berusia 2 minggu. Hanya satu kasus biopsi terbukti EM selama periode
neonatal yang telah dilaporkan. Namun, dalam tak satu pun dari dua kasus
tersebut, penulis mengklasifikasikan penyakit ini sebagai EM minor, yang sering
kali menghambat penelitian epidemiologi mengenai penyakit ini.
Kejadian lesi pada kulit dan mukosa bervariasi dan tampaknya tergantung
apakah studi didasarkan pada obat-obatan oral atau dermatologi klinik pada
populasi. Rekurensi terjadi pada 37% kasus, dimana mereka biasanya mengalami
EM di musim semi dan musim gugur. EM minor mungkin terjadi secara rekuren
dan lebih sering terjadi pada rongga mulut.
Prevalensi lesi rongga mulut pada EM minor bervariasi dari 35 65%
antara pasien dengan lesi kulit. Namun, pada pasien dimana EM minor
didiagnosis oleh lesi rongga mulut, kejadian lesi kulit berkisar dari 25-33%.
Patogenesis
Kebanyakan Eritema Multiforme pada pasien timbul sebagai manifestasi
mukokutaneus dari reaksi imun langsung yang nyata terhadap kulit yang terjadi
akibat adanya satu infeksi pada individu yang memiliki faktor presipitasi.
Penelitian menunjukkan bahwa pembentukan kompleks imun dan deposisinya
pada mikrovaskulatur kutaneus memiliki peran dalam patogenesis EM. Kompleks
imun yang bersirkulasi dan deposisi dari C3, IgM, dan fibrin di sekitar bagian atas
pembuluh darah dermal telah ditemukan pada kebanyakan pasien EM.
Secara histologis, infiltrat sel mononuklear ditemukan di sekitar bagian
atas pembuluh darah dermal; dimana halnya pada vaskulitis kutaneus yang
dimediasi oleh kompleks imun juga ditemukan leukosit polimorfonuklear. EM
menunjukkan infiltrat inflamasi yang lichenoid dan nekrosis epidermal yang
kebanyakan mempengaruhi lapisan basalis. Keratinosit yang mengalami nekrosis
bervariasi mulai dari individu sel sampai nekrosisepidermal yang konfluen.
Epidermo-dermal junction menunjukkan perubahan strukturbervariasi mulai dari
perubahan vaskuler sampai subepidermal yang melepuh. Infiltrat didermal
kebanyakan berada perivaskuler.
Bila dibandingkan dengan SSJ, SSJ menunjukkan lebih banyak jaringan
yang nekrotik dan infiltrat inflamasi yang minimal. Konsentrasi acrosyringeal
pada keratinosit yang mengalami inflamasi pada EM terjadi pada kasus-kasus
yang behubungan dengan obat-obatan dan kebanyakan dihubungkan dengan
infiltrat inflamasi pada dermis yang mengandung eosinofil. EM memiliki infiltrat
dengan densitas yang kaya akan limfosit T. Sebaliknya, nekrosis epidermal toksik
dicirikan dengan infiltrat yang miskin sel dan mengandung kebanyakan makrofag
dan dendrosit. Perbedaan ini menunjukkan patogenesis yang jelas untuk penyakit-
penyakit tersebut
Gambaran Klinis
Lesi oral tampak sebagai beberapa vesikel kecil yang menyatu, kemudian
pecah dalam dua hingga tiga hari, meninggalkan erosi nyeri dengan tepi tidak
beraturan yang tertutup oleh pseudomembran nekrotik. Daerah yang umumnya
terlihat adalah bibir, mukosa pipi, lidah, palatum molle dan dasar mulut. Lesi kulit
terdiri dari makula, papula atau plak bulat, datar dan eritematus, biasanya lesi
terletak simetris. Ciri khas lesi di kulit adalah lesi target atau iris like lesion.
Kadang-kadang juga ditemukan bula pada kulit. Keluhan lain yang dapat dijumpai
adalah konjungtivitas, balanitis, vulvitis, gejala prodormal, seperti sakit kepala,
malaise, arthralgia dan demam. Rekurensi dapat juga terjadi.
D. Diagnosa
Pada EM, riwayat lesi kulit yang muncul akut dengan hampir seluruh lesi
muncul dalam 24 jam dan berkembang sempurna dalam 72 jam. Pruritus dan
sensasi terbakar pada lesi dapat digambarkan oleh pasien. Lesi-lesi individual
menetap pada tempat yang sama selama 7 hari atau lebih. Pada kebanyakan
individu dengan EM, episode penyakit bertahan 2 minggu dan sembuh tanpa
sekuele; kecuali sekuele pada mata yang jarang tapi mungkin terjadi pada EM
mayor, dimana dapat terjadi jika tidak ada penanganan dini terhadap mata.
Kadang-kadang, ditemukan gambaran hipo/hiperpigmentasi post-inflamasi.
Pasien dengan EM biasanya memiliki gejala yang tidak berat, meskipun rekurensi
dapat terjadi. Pada kasus EM terkait-HSV, rekurensi agak sering terjadi. Satu
rekurensi biasanya terjadi pada musim semi, seperti yang dideskripsikan oleh von
Hebra, ahli dermatologi berkebangsaan Austria yang menemukan penyakit ini.
Kebanyakan individu dengan EM terkait-HSV rekuren mengalami satu atau dua
episode serangan dalam setahun, kecuali orang-orang yang mengonsumsi obat-
obat imunosupresif. Penggunaan obat-obat imunosupresif seperti kortikosteroid
oral dapat dihubungkan dengan frekuensi dan lamanya episode EM. Orang-orang
ini dapat mengalami lima atau enam episode serangan dalam setahun bahkan
hampir dapat berlanjut dimana serangan pertama belum sembuh kemudian disusul
oleh serangan selanjutnya. Infeksi bakteri sekunder juga meningkatkan frekuensi
dan lama penggunaan kortikosteroid.
Diagnosa banding : Herpes simpleks virus, pemphigus vulgaris,
gingivostomatitis herpetik primer, ulkus aftosa
Penatalaksanaan
Untuk semua bentuk eritema multiforme, penanganan yang paling penting
adalah penanganan simtomatik, yaitu antihistamin oral, analgesik, perawatan
kulit, dan soothing mouth washes (yaitu dengan membilas mulut dengan warm
saline water atau dicampur dengan difenhidramin, xylocaine, dan kaopectate).
Pada kasus ringan diberi pengobatan simtomatik, meskipun sedapat-
dapatnya perludicari penyebabnya. Pada penyakit ini biasanya dapat diberikan
pengobatan kortikosteroid per oral, misalnya berupa prednison 3 x 10 mg sehari.
Manajemen eritema multiforme melibatkan penentuan etiologi bila
mungkin.Langkah pertama adalah untuk mengobati kecurigaan penyakit menular
atau untuk menghentikan obat kausal.
Penanganan terhadap infeksi seharusnya setelah kultur dan/atau
pemeriksaan serologis dilakukan. Pengobatan topikal berupa antiseptik topikal
untuk lesi kulit yang telaherosi dan bilasan antiseptik/antihistamin dan anestetik
lokal untuk lesi mukosa. Penggunaan cairan antiseptik, seperti klorhexidin 0.05%
saat mandi dapat mencegah superinfeksi. Pengobatan topikal, termasuk yang
melibatkan organ genitalia, harus dilakukan dengan gauzedressing atau
hidrokoloid. Pemberian preparat topikal mata harus diberikan oleh ahli
oftalmologi, seperti lubrikan untuk mata kering, usapan pada forniks konjungtiva,
dan pembersihan perlengkatan yang masih baru.
Antihistamin oral dan steroid topikal dapat digunakan untuk gejala
relief .Antihistamin oral selama 3-4 hari dapat mengurangi rasa perih dan terbakar
pada kulit. Padakasus-kasus yang berat dengan gangguan fungsi, terapi awal
dengan kortikosteroid sistemik (prednison [0.5 1 mg/kg/hr]) atau
metilprednisolon [1 mg/kg/hr untuk 3 hari]) haruslah dipertimbangkan. Prednison
dapat digunakan pada pasien dengan lesi banyak dengan dosis 40 sampai 80 mg
per hari selama satu sampai dua minggu kemudian dosis diturunkan.Namun,
penggunaannya masih kontroversial. Belum ada studi terkontrol dari
efektivitasprednison, dan penggunaannya pada pasien dengan herpes terkait
eritema multiforme dapat menurunkan resistensi pasien untuk HSV dan
mempromosikan infeksi HSV berulang diikuti oleh eritema multiforme berulang.
Terapi simtomatik hanya digunakan jika terbentuk bulla dan papul yang
terlokalisir.Terapi antivirus dengan asiklovir pada EM yang timbul akibat infeksi
HSV cenderung mengecewakan ketika erupsi telah muncul, sehingga terapi ini
bermanfaat untuk profilaksis.Pada pasien yang hidup bersama atau baru terinfeksi
HSV, pengobatan dini dengan asikloviroral (Zovirax) dapat mengurangi jumlah
dan durasi lesi kulit. Pada individu dengan EM terkait-HSV dengan tingkat
rekurensi yang tinggi, profilaksis minimal 6 bulan dengan asiklovir oral (10
mg/kg/hr dalam dosis terbagi, biasanya 200mg dalam 5 kali sehari selama 5hari),
valasiklovir (500-1000 mg/hr, dengan dosis tergantung frekuensi rekurensi), atau
famsiklovir (250 mg dua kali sehari) haruslah dipikirkan. Hasil penelitian double-
blind , placebo-controlled pada dewasa muda menunjukkan efektivitas asiklovir
sebagai profilaksis. Tentu saja, EM yang dipresipitasi selain oleh infeksi HSV
tidak memberi respon terhadap pemberian antivirus.
Jika tetap terjadi rekurensi, dibutuhkan dosis rendah berlanjut dari
asiklovir oral. Asiklovir oral telah ditunjukkan efektif dalam mencegah EM
terkait-HSV yang rekuren dan protokol pengobatannya berupa 200-800 mg/hari
selama 26 minggu. Jika asiklovir gagal,valasiklovir dapat digunakan (500 mg, dua
kali sehari). Penggunaan yang terakhir ini memiliki bioavaliabilitas oral yang
lebih besar dan lebih efektif dalam menekan EM terkait HSV yang rekuren.
Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan histopatologi
EM didiagnosis berdasarkan klinikopatologik, tidak hanya dengan
pemeriksaanhistologis semata. Temuan histologik EM memiliki ciri tapi tidak
spesifik, dan sangatberguna untuk menyingkirkan diagnosis banding yang lain
seperti lupus eritematosus danvaskulitis. Pada EM, keratinosit adalah target utama
dari proses inflamasi, dimana apoptosisdari keratinosit sebagai temuan patologis
dini. Seiring dengan perkembangannya, ditemukanspongiosis dan degenerasi
vakuolar fokal pada keratinosit basal. Edema dermis superfisialisdan infiltrat
perivaskuler dari leukosit mononuklear dan limfosit-T dengan eksositosis
keepidermis juga ditemukan pada EM
Pemeriksaan darah lengkap, urea, elektrolit, erythrocyte sedimentation rate
(ESR) dan fungsi liver bersamaan dengan serologi HSV dan mikoplasma, kultur
mikrobial dari darah, sputum dan daerah yang erosif dilakukan pada pasien-
pasien yang parah
Prognosis
Kebanyakan kasus eritema multiforme bersifatself-limited. Pada EM
minor, lesi berkembang lebih 1-2 minggu dan pada akhirnya mereda dalam 2-3
minggu tanpa jaringan parut. Bagaimanapun, rekurensi EM minor umum terjadi
dan kebanyakan diawali oleh infeksi subklinis dari HSV. Eritema multiforme
mayor memiliki angka kematian kurang dari 5% dan berlangsungannya lebih lama
dimana penyembuhan membutuhkan 3-6 minggu. Lesi kulit biasanya sembuh
dengan meninggalkan lesi hipo/hiperpigmenatasi. Jaringan parut biasanyatidak
ada, kecuali setelah infeksi sekunder. Rekurensi ditemukan sekitar 20-25% dari
kasus EM. Meskipun penyakit ini dapat sembuh secara spontan dalam 10-20 hari,
beberapa pasien dapat mengalami 2-24 kali episode dalam setahun.
DAFTAR PUSTAKA
Greenberg, M.S and Glick, M. Burkets Oral Medicine. 10th ed. 2003.; BC
Decker Inc. Spain
Hamzah M. Eritema Multiforme. In: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S,
editors. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 5 ed . Jakarta: Balai Penerbit FKUI;
2007. p. 162.
Langlais, R.P. & C.S. Miller. 2000. Altas Berwarna Kelainan Rongga
Mulut Yang Lazim. Alih Bahasa drg. Budi Susetyo. Hipokrates: Jakarta.
Matoka NaM. Penatalaksanaan Eritema Multiforme pada Pasien Usia 43
tahun.Yogyakarta: UMY eCase; 2012 [updated May 16, 2012; cited 2012 June 3]
Miller MF, Garfunkel AA, Ram CA, Ship II. The inheritance of recurrent
aphthous stomatitis. Observations on susceptibility. Oral Surg Oral Med Oral
Pathol 1980;49(5):40912.
Rein Charles R and Goodman J. Leukoplakia Buccalis, in CA a Cancer
Journal for Clinicians. American Cancer Society. www.caonline.amcancersoc.org