Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
1.1 Pemicu
Ny. Re 25 tahun datang ketempat praktek anda dengan keluahna nyeri
perut kanan bawah sejak 3 hari terakhir. Nyeri kadang terasa tumpul, kadang
terasa tajam membaik ketika ketika Nyonya Re minum parasetamol. Mual
muntah disangkal, demam tidak ada, BAB dan BAK seperti biasa, tanpa ada
keluhan. Diketahui juga Ny. Re sebelumnnya mengalami keputihan hilang
timbul sejak 1 tahun terakhir sejak menikah kadang berbau amis, kadang tidak
berbabu. Tidak flek ataupun perdarahan pervaginam.
Selain itu, Ny. Re ingin berkonsultasi karena sudah 1 bulan Ny.Re tidak
datang bulan. Ny. Re khawatir karena 3 bulan yang lalu mengalami keguguran
saat hamil berusia 8 minggu, riwayat menstruasi sebelumnnya selalu teratur.
Data Tambahan :
Pemeriksaan Fisik
a. TTV normal
b. Nyeri tekan doudenum regio illiaca (+) tumpul
c. Inspeksi vulva tampak kemerahan dan terdapat bekas garukan
dan vagina putih cukup banyak
d. PP test (-)
Pemeriksaan Laboratorium
a. Glukosa (-)
b. Keton (-)
c. Sel darah merah 1-2/ lapang pandang
d. Swab vagina ditemuan kandida
e. USG normal
1.2 Klarifikasi dan Definisi
-
Ny. Re
25 tahun
Mual,
muntah, Pemeriksaan
demam, flek, fisik
perdarahan,
BAK, dan Keguguran
BAB baik
Diagnosis banding
1. PID
2. KE
3. Endometriosis
Pemeriksaan
penunjang
Diagnosis
Tatalaksana dan
edukasi
1.6 Hipotesis
Ny. Re 25 tahun mengalami endometriosis
1.7 Pertanyaan Diskusi
1. Jelaskan mengenai PID!
a. Definisi
b. Etiologi
c. Epidemiologi
d. Patofisiologi
e. Manifestasi klinis
f. Diagnosis
g. Tatalaksana
h. Edukasi
2. Jelaskan mengenai kehamilan ektopik!
a. Definisi
b. Epidemiologi
c. Patogenesis
d. Patofisiologi
e. Faktor resiko
f. Manifestasi klinis
g. Diagnosis
h. Tatalaksana
i. Komplikasi
j. Edukasi
k. Prognosis
3. Jelaskan endometriosis!
a. Definisi
b. Etiologi
c. Epidemiologi
d. Patofisiologi
e. Manifestasi klinis
f. Tatalaksana
4. Flora normal di daerah vagina?
5. Apa yang menyebabkan keputihan?
6. Mekanisme aborsi spontan
7. Parasetamol
a. Farmakokinetik
b. Farmakodinamik
c. Indikasi
d. Efek samping
BAB II
PEMBAHASAN
c. Epidemiologi
Ada 750.000 kasus PID setiap tahun di Amerika Serikat, terutama
pada wanita 15 sampai 29 tahun. Jumlah ini tetap konstan sejak awal 1990-
an, setelah menurun dalam dekade sebelumnya. Kebanyakan wanita
dirawat dengan rawat jalan. Jumlah rawat inap telah terus menurun selama
dekade terakhir.1
d. Patofisiologi
e. Manifestasi klinis
Karena potensi komplikasi serius dari PID yang tidak diobati dan
prevalensi endemik infeksi, Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit
(Centers for Disease Control, CDC) telah mengadopsi pendekatan yang
dirancang untuk memaksimalkan diagnosis dengan menggunakan kriteria
minimal. CDC merekomendasikan melembagakan pengobatan empiris
dari PID ketika seorang wanita muda yang aktif secara seksual yang
berisiko IMS memiliki sakit perut panggul atau lebih rendah, tidak ada
penyebab yang dapat diidentifikasi untuk penyakitnya selain PID, dan,
pada pemeriksaan panggul, 1 atau lebih dari minimal berikut kriteria:13
1. Nyeri gerak serviks
2. Nyeri tekan uterus
3. Nyeri tekan adneksa
Suhu yang lebih tinggi dari 38,3 C (101 F) dan kehadiran serviks
atau vagina mukopurulen cairan yang abnormal meningkatkan spesifisitas
kriteria minimum, seperti yang tampak pada tes laboratorium.
Nyeri tekan perut bagian bawah dan tahanan involunter dapat di catat
dan diperkirakan peritonitis. Nilai prediktif positif dari temuan ini akan
bervariasi, tergantung pada prevalensi PID dalam populasi tertentu.
Sebuah percobaan multicenter besar ditemukan adneksa yang paling
sensitif pada temuan pemeriksaan fisik (sensitivitas, 95%).14 servisitis
mukopurulen adalah umum dan, jika tidak ada, memiliki besar nilai
prediksi negatif. kepenuhan adneksa atau tidak proporsional adneksa
unilateral dapat menunjukkan perkembangan abses tubo-ovarium (TOA).
Molander et al menemukan 3 variabel berikut untuk menjadi
prediktor signifikan dari diagnosis, benar mengklasifikasikan 65% dari
pasien dengan laparoskopi didokumentasikan PID:15
1. Adneksa
2. Demam
3. Tingkat sedimentasi darah (LED)
f. Diagnosis
Gambar 2.1 Cara mendiagnosa Pelvic Inflamatory Disease (PID). Pada tabel tersebut dijelsakna
kriteria dari PID yang dapat disesuaikan dengan keluahan pasien dalam meneggakkan diagnosa.1
g. Tatalaksana
Menurut data konsensus, pengobatan PID harus empirik karena
definitif diagnosis jarang dikenal atau dikonfirmasi saat dilapangan.
pengobatan dapat mengakibatkan merugikan efek dari antibiotik, termasuk
reaksi alergi, gastrointestinal gejala, atau obat perlawanan; Namun,
manfaat diperkirakan lebih besar daripada resiko. Karena infeksi ini adalah
polymicrobial, antimikroba spektrum luas agen dianjurkan untuk
menutupi patogen yang paling mungkin. Antibiotik digunakan harus
efektif terhadap C. Trachomatis dan N. gonorrhoeae bahkan jika tes
negatif, karena wanita mungkin memiliki penyakit saluran genital bagian
atas tanpa kulture serviks yang positif bagi organisme ini.1
Gambar 2.2. Beberapa pilihan obat dikonsumsi melalui oral yang dapat digunakan dalam
menatalaksana PID secara medikamentosa. Penggunaan antimikroba disesuaikan dengan jenis
bakteri atau mikroba yang ada sehingga hasil lebih maksimal dan resiko resistensi atau pengobatan
gagal menjadi lebih rendah. Penggunaan obat antimikroba juga dapat mempengaruhi keberadaan
flora norma dalam saluran genital. Sebab itu seharusnya digunakan secara rasional.1
Gambar 2.3. Tabel diatas berisi obat yang dapat digunakan melalui parenteral untuk mengatasi PID. 1
h. Edukasi
Ada bukti bahwa skrining lebih dari sekali per tahun mungkin lebih
efektif daripada skrining tahunan di kelompok berisiko tinggi. Suatu
penelitian menunjukkan bahwa 79 persen wanita yang mengidap PID
selama periode 12-bulan diuji negatif pada screening tahunan Clamydia.
Perempuan harus diskrining masing-masing waktu mereka memiliki
pasangan seks baru. Namun, data tidak jelas apakah itu adalah biaya-
efektif untuk menyaring wanita yang tanpa gejala Infeksi Clamydia pada
saluran kelamin yang lebih rendah. Penyuluhan tentang penggunaan
kondom dapat menurunkan risiko PID.1
2.2 Jelaskan mengenai kehamilan ektopik!
a. Definisi
Kehamilan ektopik adalah kehamilan dengan ovum yang dibuahi,
berimplantasi dan tumbuh tidak di tempat yang normal yakni dalam
endometrium kavum uteri. Bila kehamilan tersebut mengalami proses
pengakhiran (abortus) maka disebut dengan kehamilan ektopik terganggu
(KET).16
b. Epidemiologi
Kehamilan ektopik (KET) merupakan penyebab 1 dari 200 (5-6%)
mortalitas maternal di negara maju. Dengan 60.000 kasus setiap tahun atau
3% dari populasi masyarakat, angka kejadian KET di Indonesia
diperkirakan tidak jauh berbeda dengan Negara maju. Berdasarkan data
yang didapatkan dari Dinas Kesehatan Provinsi pada tahun 2013, di
wilayah Jawa Barat 2,7% penyebab kematian ibu disebabkan oleh
perdarahan antepartum yang diantaranya mencangkup kehamilan
ektopik.17-18
c. Patogenesis
Proses implantasi ovum di tuba pada dasarnya sama dengan yang
terjadi di kavum uteri. Telur di tuba bernidasi secara kolumnar atau
interkolumnar. Pada nidasi secara kolumnar telur bernidasi pada ujung
atau sisi jonjot endosalping. Perkembangan telur selanjutnya dibatasi oleh
kurangnya vaskularisasi dan biasanya telur mati secara dini dan
direabsorbsi. Pada nidasi interkolumnar, telur bernidasi antara dua jonjot
endosalping. Setelah tempat nidasi tertutup maka ovum dipisahkan dari
lumen oleh lapisan jaringan yang menyerupai desidua dan dinamakan
pseudokapsularis. Karena pembentukan desidua di tuba malahan kadang-
kadang sulit dilihat vili khorealis menembus endosalping dan masuk
kedalam otot-otot tuba dengan merusak jaringan dan pembuluh darah.
Perkembangan janin selanjutnya tergantung dari beberapa faktor, yaitu;
tempat implantasi, tebalnya dinding tuba dan banyaknya perdarahan yang
terjadi oleh invasi trofoblas.19
Di bawah pengaruh hormon esterogen dan progesteron dari korpus
luteum graviditi dan tropoblas, uterus menjadi besar dan lembek,
endometrium dapat berubah menjadi desidua. Beberapa perubahan pada
endometrium yaitu; sel epitel membesar, nukleus hipertrofi, hiperkromasi,
lobuler, dan bentuknya ireguler. Polaritas menghilang dan nukleus yang
abnormal mempunyai tendensi menempati sel luminal. Sitoplasma
mengalami vakuolisasi seperti buih dan dapat juga terkadang ditemui
mitosis. Perubahan endometrium secara keseluruhan disebut sebagai
reaksi Arias-Stella.19-20
Setelah janin mati, desidua dalam uterus mengalami degenerasi
kemudian dikeluarkan secara utuh atau berkeping-keping. Perdarahan
yang dijumpai pada kehamilan ektopik terganggu berasal dari uterus
disebabkan pelepasan desidua yang degeneratif.23
Sebagian besar kehamilan tuba terganggu pada umur kehamilan
antara 6 sampai 10 minggu. Karena tuba bukan tempat pertumbuhan hasil
konsepsi, tidak mungkin janin tumbuh secara utuh seperti dalam uterus.
Beberapa kemungkinan yang mungkin terjadi adalah:21,23,24
1. Hasil konsepsi mati dini dan diresorbsi
Pada implantasi secara kolumna, ovum yang dibuahi cepat mati
karena vaskularisasi yang kurang dan dengan mudah diresobsi
total.
2. Abortus ke dalam lumen tuba
Perdarahan yang terjadi karena terbukanya dinding pembuluh
darah oleh vili korialis pada dinding tuba di tempat implantasi
dapat melepaskan mudigah dari dinding tersebut bersama-sama
dengan robeknya pseudokapsularis. Segera setelah perdarahan,
hubungan antara plasenta serta membran terhadap dinding tuba
terpisah bila pemisahan sempurna, seluruh hasil konsepsi
dikeluarkan melalui ujung fimbrae tuba ke dalam kavum
peritonium. Dalam keadaan tersebut perdarahan berhenti dan
gejala-gejala menghilang.
3. Ruptur dinding tuba
Penyebab utama dari ruptur tuba adalah penembusan dinding vili
korialis ke dalam lapisan muskularis tuba terus ke peritoneum.
Ruptur tuba sering terjadi bila ovum yang dibuahi berimplantasi
pada isthmus dan biasanya terjadi pada kehamilan muda.
Sebaliknya ruptur yang terjadi pada pars-intersisialis pada
kehamilan lebih lanjut. Ruptur dapat terjadi secara spontan, atau
yang disebabkan trauma ringan seperti pada koitus dan
pemeriksaan vagina.21,23,24
d. Patofisiologi
e. Faktor resiko
Gambar 2.4. Faktor resiko kehamilan ektopik. Dalam daftar tabel tersebut dijelaskan bahwa nilai
odds ratio semakin tinggi maka mengindikasikan resiko yang semakin besar untuk terjadi kehamilan
ektopik.25
f. Manifestasi klinis
Gejala dan tanda dari kehamilan ektopik ada tiga yaitu riwayat
keterlambatan haid atau amenorrhea yang diikuti perdarahan abnormal
(60-80%), nyeri abdominal atau pelvik (95%). Biasanya kehamilan
ektopik baru dapat ditegakkan pada usia kehamilan 6 8 minggu saat
timbulnya gejala tersebut di atas. Gejala lain yang muncul biasanya sama
seperti gejala pada kehamilan muda, seperti mual, rasa penuh pada
payudara, lemah, nyeri bahu, dan dispareunia. Selain itu pada pemeriksaan
fisik didapatkan pelvic tenderness, pembesaran uterus dan massa
adneksa.26-27
g. Diagnosis
a. Anamnesis
Amenore dan kadang terdapat tanda hamil muda, nyeri perut
bagian bawah, nyeri bahu, tenesmus, dan perdarahan pervaginam
setelah nyeri perut bagian bawah.
b. Pemeriksaan umum
Penderita tampak kesakitan dan pucat : pada perdarahan dalam
rongga perut dapat ditemukan tanda-tanda syok.
c. Pemeriksaan ginekologi
Ditemukan tanda-tanda kehamilan muda, rasa nyeri pada
pergerakan serviks ; uterus dapat teraba agak membesar dan kadang
teraba tumor di samping uterus dengan batas yang sukar ditentukan;
kavum Douglasi menonjol, berisi darah, dan nyeri bila diraba.
d. Pemeriksaan laboratorium
Hemoglobin menurun setelah 24 jam dan jumlah sel darah
merah dapat meningkat.27
h. Tatalaksana
Pada kehamilan ektopik terganggu, walaupun tidak selalu ada
bahaya terhadap jiwa penderita, dapat dilakukan terapi konservatif, tetapi
sebaiknya tetap dilakukan tindakan operasi. Kekurangan dari terapi
konservatif (non-operatif) yaitu walaupun darah berkumpul di rongga
abdomen lambat laun dapat diresorbsi atau untuk sebagian dapat
dikeluarkan dengan kolpotomi (pengeluaran melalui vagina dari darah di
kavum Douglas), sisa darah dapat menyebabkan perlekatan-perlekatan
dengan bahaya ileus. Operasi terdiri dari salpingektomi ataupun salpingo-
ooforektomi. Jika penderita sudah memiliki anak cukup dan terdapat
kelainan pada tuba tersebut dapat dipertimbangkan untuk mengangkat
tuba. Namun jika penderita belum mempunyai anak, maka kelainan tuba
dapat dipertimbangkan untuk dikoreksi supaya tuba berfungsi.19
Tindakan laparatomi dapat dilakukan pada ruptur tuba, kehamilan
dalam divertikulum uterus, kehamilan abdominal dan kehamilan tanduk
rudimenter. Perdarahan sedini mungkin dihentikan dengan menjepit
bagian dari adneksia yang menjadi sumber perdarahan. Keadaan umum
penderita terus diperbaiki dan darah dari rongga abdomen sebanyak
mungkin dikeluarkan. Serta memberikan transfusi darah.19
Untuk kehamilan ektopik terganggu dini yang berlokasi di ovarium
bila dimungkinkan dirawat, namun apabila tidak menunjukkan perbaikan
maka dapat dilakukan tindakan sistektomi ataupun oovorektomi.
Sedangkan kehamilan ektopik terganggu berlokasi di servik uteri yang
sering menngakibatkan perdarahan dapat dilakukan histerektomi, tetapi
pada nulipara yang ingin sekali mempertahankan fertilitasnya diusahakan
melakukan terapi konservatif.19,27
Keadaan umum penderita terus diperbaiki dan dalam rongga perut
sebanyak mungkin dikeluarkan. Dalam tindakan demikian, beberapa hal
yang harus dipertimbagkan yaitu kondisi penderita, keinginan penderita
akan fungsi reproduksinya, lokasi kehamilan ektopik. Hasil ini menetukan
apakah perlu dilakukan salpingektomi (pemotongan bagian tuba yang
terganggu) pada kehamilan tuba. Dilakukan pemantauan terhadap kadar
hCG (kuantitatif). Peningkatan kadar hCG yang berlangsung terus
menerus menandakan masih adanya jaringan ektopik yang belum
terangkat. Penanganan pada kehamilan ektopik dapat pula dengan
transfusi, infus, oksigen, atau kalau dicurigai ada infeksi diberikan juga
antibiotika dan antiinflamasi. Sisa-sisa darah dikeluarkan dan dibersihkan
sedapat mungkin supaya penyembuhan lebih cepat dan harus dirawat inap
di rumah sakit.28
Pada pengobatan medis dapat menggunakan Methotrexate,
antagonist asam folat, merupakan terapi medis yang telah dipelajari
dengan baik. Methotrexate mendeaktivasi dihydrofolate reductase, yang
dapat mengurangi kadar tetrahydrofolate (kofaktor untuk sintesis
deoxyribonucleic acid and ribonucleic acid), dengan demikian
mengganggu pembelahan cepat dari sel trofoblas. Agen terapeutik yang
lain meliputi glukosa hiperosmolar, prostaglandin, dan mifepristone
(Mifeprex). Efek samping dari Methotrexate meliputi supresi dari
sumsum tulang, elevasi enzim hati, alopesia, rash, stomatitis, nausea, dan
diare.29
i. Komplikasi
1. Pada pengobatan konservatif, yaitu bila kehamilan ektopik
terganggu telah lama berlangsung (4-6 minggu), terjadi perdarahan
ulang, Ini merupakan indikasi operasi.
2. Infeksi
3. Sterilitas
4. Pecahnya tuba falopii
5. Komplikasi juga tergantung dari lokasi tumbuh berkembangnya
embrio.30
k. Prognosis
Harapan penanganan
Penanganan yang sesuai harapan diantara 47% dan 82% efektif
dalam menangani kehamilan ektopik. Penanganan yang sesuai harapan
contohnya pada pasien yang memiliki beta-hCG kurang dari 1.000 mIU
per ml (1.000 IU per L) dan dibawahnya, massa ektopik kurang dari 3 cm,
tidak ada denyut jantung fetal, dan patuh dan terus follow-up.
Follow-up dan prognosis
Selama penanganan, dokter harus memeriksa pasien paling tidak
setiap minggu dan kadang-kadang setiap hari. Pengukuran beta-hCG harus
dilakukan setelah penanganan hingga kadarnya tidak terdeteksi. Jika
kadarnya gagal untuk turun, pasien dapat diobati dengan methotrexate
yang kedua (second course of methotrexate) atau pemberian methotrexate
setelah operasi. Pembedahan diperlukan jika beta-hCG meningkat.
Prognosisnya baik untk pasien yang menerima penanganan yang tepat.
Tingkat fertilitas dimasa depan dan resiko untuk terjadi lagi
Kira-kira 30% dari wanita yang telah mendapat
pengobatan/penanganan kehamilan ektopik memiliki kesulitan untuk
mendapatkan anak kedepannya. Kemampuan untuk kambuh/terjadi lagi
kehamilan ektopik diantara 5% dan 20 %, tetapi resikonya meningkat
hingga 32% pada wanita yang memiliki kehamilan ektopik dua kali
berturut-turut.29
b. Etiologi
c. Epidemiologi
Endometriosis dapat terjadi pada sekitar 515% wanita usia
reproduktif pada populasi umum. Lebih sering terjadi pada wanita usia 25-
35 tahun, jarang pada wanita premenars dan postmenopause. Prevalensi
endometriosis secara umum juga terlihat lebih rendah pada wanita dengan
ras hitam dan Asia dibandingkan dengan Kaukasia. Prevalensi kejadian
endometriosis berdasarkan visualisasi organ pelvis dapat diestimasi
sebagai berikut :
a. 1% dari wanita yang menjalani bedah mayor dengan semua
indikasi ginekologis.
b. 1 sampai 7 % dari wanita yang ditubektomi steril. 12 sampai 32%
dari wanita usia reproduktif yang dilakukan laparoskopi
diagnostik terhadap keluhan nyeri pelvis.
c. 9 sampai 50% wanita women yang dilakukan laparoskopi karena
infertilitas.
d. 50% dari remaja perempuan yang dilakukan laparoskopi evaluasi
terhadap nyeri pelvis kronis atau dysmenorrhea.
Pengaruh status sosioekonomi, ras dan umur pada angka prevalensi
endometriosis juga sangat kontroversial. Penundaan kehamilan dikatakan
meningkatkan risiko endometriosis, sehingga kejadian endometriosis
dikatakan lebih sering pada wanita dengan kelas ekonomi tinggi dimana
wanita tersebut lebih sering menunda kehamilan. Namun hal ini mungkin
juga diakibatkan oleh karena wanita tersebut mempunyai kans lebih tinggi
untuk mendapat pelayanan medis. Angka prevalensi kejadian kista
endometriosis pada ovarium belum diketahui secara pasti. Menurut
Masson, endometriosis kulit merupakan dengan total hanya 1,1% dari
keseluruhan kasus endometriosis. Namun menurut Scott dan TeLinde,
persentasenya mencapai 2,6%.33
Prevalensi pada kelompok tertentu cukup tinggi. Misalnya, pada
wanita yang dilakukan laparaskopi diagnostik, ditemukan endometriosis
sebanyak 0-53%; pada kelompok wanita dengan infertilitas yang belum
diketahui penyebabnya ditemukan endometriosis sebanyak 70-80%;
sedangkan pada wanita dengan infertilitas sekunder ditemukan
endometriosis sebanyak 25%. Angka kejadian antara 5-15% dapat
ditemukan di semua operasi pelvik. Diperkirakan prevalensi endometriosis
akan terus meningkat dari tahun ketahun. Meskipun endometriosis
dikatakan penyakit wanita usia reproduksi, namun telah ditemukan pula
endometriosis pada usia remaja dan pasca menopause. Oleh karena itu,
untuk setiap nyeri haid baik pada usia remaja, maupun pada usia
menopause perlu dipikirkan adanya endometriosis.41
d. Patofisiologi
Endometriosis didefinisikan sebagai terdapatnya kelenjar
endometrial dan stroma di lokasi ektopik, terutama di bagian peritoneum
pelvis, ovarium dan septum rectovaginal. Jaringan ini biasanya terletak di
bagian pelvis perempuan (posterior dan anterior cul-de-sac, ligament
uterosacral, tuba dan ovarium), tetapi organ-organ lain juga dapat menjadi
resiko terjadinya endometriosis. Ektopik foci akan merespon fluktuasi dari
siklus hormonal dengan cara yang sama dengan endometrium intrauterine,
dengan proliferasi, aktivitas sekresi dan siklus menstrual. Hasil dari
aktivitas metabolic, seperti konsentrasi dan siklus pelepasan sitokin dan
prostaglandin akan menyebabkan respon inflamatori yang
dikarakteristikkan dengan neovaskularisasi dan pembentukan fibrosis.
Beberapa kasus dapat menunjukkan abnormalitas dari fungsi sel T dan B,
deposisi yang abnormal dan tergantinya produksi interleukin (IL) 6 pada
perempuan yang disebabkan oleh penyakit ini. Pada penyakit ini akan
menimbulkan rasa sakit, pembentukan adesi dan distorsi anatomi.42
e. Manifestasi klinis
Gejala utama dari wanita dengan endometriosis adalah nyeri
panggul. Nyeri ini biasanya timbul sesaat sebelum menstruasi dan
berlangsung selama selama siklus menstruasi dan diikuti oleh dismenore,
diparuni, disuria, dan dischezia dan dapat menjalar ke arah punggung dan
paha.. Nyeri yang timbul dapat menyeluruh maupun terlokalisir hal ini
sesuai dengan lokasi endometriosis, namun nyeri yang ada tidak
berbanding lurus dengan dengan derajat keparahan endometriosis dan
begitu juga sebaliknya. Secara restropektif diketahui bahwa endometriosis
dijumpai pada sekitar 20-40% wanita dengan masalah infertlitas
sedangkan pada wanita tanpa masalah infertilitas, endometriosis hanya
dijumpai sekitar 0,5-5%.35,36,38
f. Tatalaksana
Gambar 2.7. Tabel ini yang membagi penyebab terjadinya keputihan, Non-infective, Non-sexually
tarnsmited infection, dan sexually tarnsmited infection.48
Penyebab patologis.
Keputihan bisa karena banyak hal. Benda asing, luka pada vagina,
kotoran dari lingkungan, air tak bersih, pemakaian tampon atau panty liner
berkesinambungan. Semua ini potensial membawa jamur, bakteri, virus, dan
parasit:
a. Jamur Candida
Warnanya putih susu, kental, berbau agak keras, disertai rasa gatal pada
vagina. Akibatnya, mulut vagina menjadi kemerahan dan meradang.
Biasanya, kehamilan, penyakit kencing manis, pemakaian pil KB, dan
rendahnya daya tahan tubuh menjadi pemicu. Bayi yang baru lahir juga bisa
tertular keputihan akibat Candida karena saat persalinan tanpa sengaja
menelan cairan ibunya yang menderita penyakit tersebut.
Gambar 2.8. Adanya keputihan (vaginal discharge) dengan candidiasis pada pemeriksaan
spekulum.48
c. Kuman (bakteri)
Bakteri Gardnella-Infeksi ini menyebabkan rasa gatal dan mengganggu.
Warna cairan keabuan, berair, berbuih, dan berbau amis. Juga menyebabkan
peradangan vagina tak spesifik. Biasanya mengisi penuh sel-sel epitel vagina
berbentuk khas clue cell. Menghasilkan asam amino yang akan diubah
menjadi senyawa amin bau amis, berwarna keabu-abuan.
Gambar 2.10. Bakterial vaginosis48
2.7 Parasetamol
a. Farmakokinetik
Parasetamol cepat diabsorbsi dari saluran pencernaan, dengan kadar serum
puncak dicapai dalam 30-60 menit. Waktu paruh kira-kira 2 jam.
Metabolisme di hati, sekitar 3 % diekskresi dalam bentuk tidak berubah
melalui urin dan 80-90% dikonjugasi dengan asam glukoronik atau asam
sulfurik kemudian diekskresi melalui urin dalam satu hari pertama;
sebagian dihidroksilasi menjadi N asetil benzokuinon yang sangat reaktif
dan berpotensi menjadi metabolit berbahaya. Pada dosis normal bereaksi
dengan gugus sulfhidril dari glutation menjadi substansi nontoksik. Pada
dosis besar akan berikatan dengan sulfhidril dari protein hati.50
b. Farmakodinamik
Agonis opiod memproduksi analgesia dengan berikatan kepada
reseptor protein G spesifik yang berada di otak dan tulang belakang yang
memodulasi rasa sakit.51
Paracetamol (Acetaminophen) merupakan obat yang paling banyak
digunakan untuk mengobati rasa nyeri yang minor dan rasa sakit.
Paracetamol berbeda dari NSAID dalam memproduksi efek analgesic dan
antipiretik tetapi tidak memiliki efek inflamatori yang baik. Perbedaan
analgesic dan NSAID masih belum jelas. Uji secara biokimiawi
menunjukkan inhibitor COX yang lemah, dengan selektivitas untuk COX
yang terdapat di otak. Cara paracetamol mengurangi rasa sakit masih
menjadi perdebatan, apakah paracetamol mengurangi rasa sakit secara
sentral dengan menginhibisi COX-3 ataupun menginhibisi COX-2 pada
aktivitas laju enzim yang rendah.
Paracetamol diabsorbsi dengan baik oleh mulut, dan plasma waktu
paruhnya adalah 3 jam. Obat ini dimetabolisme oleh hydroxylation, yang
banyak terkonjugasi sebagai glucoronide dan diekskresikan di urin. Pada
dosis terapeutik, terdapat beberapa efek samping, namun pada dosis yang
berlebihan dapat menyebabkan rusaknya liver yang parah, yang di mana
akan berujung fatal.52
c. Indikasi
Indikasi utama paracetamol yaitu digunakan sebagai obat penurun
panas (analgesik) dan dapat digunakan sebagi obat penghilang rasa sakit
dari segala jenis seperti sakit kepala, sakit gigi, nyeri pasca operasi, nyeri
sehubungan dengan pilek, nyeri otot pasca-trauma, dll. Sakit kepala
migrain, dismenore dan nyeri sendi juga dapat diringankan dengan
parasetamol. Parasetamol digunakan bagi nyeri yang ringan sampai
sedang.52
d. Efek samping
Efek samping yang ditimbulkan dari penggunaan parasetamol yang
overdosis dapat berakibat pada nekrosis hati. Nekrosis tubulus ginjal dan
koma hipoglikemia juga dapat terjadi. Metabolit Mekanisme ketika
overdosis asetaminofen menyebabkan kerusakan hepatoseluler dan
kematian melibatkan perubahannya menjadi metabolit NAPQI yang
toksik (lihat Bab 64). Jalur koniugasi glukoronida dan sulfat menjadi
jenuh, dan sejumlah besar mengalami N-hidroksilasi yang diperantarai
oleh CYP menjadi bentuk NAPQI. Eliminasinya dipercepat melalui
konjugasi dengAn GSH dan kemudian dimetabolisme menjadi asam
merkapturat dan dieksresi dalam urine. Pada keadaan overdosis
asetaminofen, kadar GSH hepatoseluler berkurang. Metabolit NAPQI
yang sangat reaktif berikatan secara kovalen dengan makromolekul sel,
menyebabkan disfungsi sistem enzim serta kekacauan metabolik atau
struktural. Selaniutnya, berkurangnya GSH lnfraseluler membuat
hepatosit mudah terkena stres oksidatif dan apoptosis. 53