You are on page 1of 11

ASUHAN KEPERAWATAN JIWA

ISOLASI SOSIAL /MENARIK DIRI

TINJAUAN TEORI
1. PENGERTIAN

Menurut Townsend, M.C (1998:152) isolasi sosial merupakan keadaan kesepian yang dialami
oleh seseorang karena orang lain dianggap menyatakan sikap negatif dan mengancam bagi
dirinya. Sedangkan menurut DEPKES RI (1998) Seseorang dengan perilaku menarik diri
akan menghindari interaksi dengan orang lain. Individu merasa bahwa ia kehilangan
hubungan akrab dan tidak mempunyai kesempatan untuk membagi perasaan, pikiran dan
prestasi atau kegagalan. Ia mempunyai kesulitan untuk berhubungan secara spontan dengan
orang lain, yang dimanivestasikan dengan sikap memisahkan diri, tidak ada perhatian dan
tidak sanggup membagi pengalaman dengan orang lain . Isolasi sosial merupakan keadaan di
mana individu atau kelompok mengalami atau merasakan kebutuhan atau keinginan untuk
meningkatkan keterlibatan dengan orang lain tetapi tidak mampu untuk membuat kontak
(Carpenito ,L.J, 1998: 381). Menurut Rawlins, R.P & Heacock, P.E (1988 : 423) isolasi sosial
menarik diri merupakan usaha menghindar dari interaksi dan berhubungan dengan orang lain,
individu merasa kehilangan hubungan akrab, tidak mempunyai kesempatan dalam berfikir,
berperasaan, berprestasi, atau selalu dalam kegagalan.

RENTANG RESPON SOSIAL


Manusia sebagai makhluk sosial adalah memenuhi kebutuhan sehari hari, tidak mampu
memenuhi kebutuhan hidupnya tanpa ada hubungan dengan lingkungan sosialnya. Hubungan
dengan orang lain dan lingkungan sosialnya menimbulkan respon respon sosial pada
individu. Rentang respon sosial individu berada dalam rentang adaptif sampai dengan
maladaptif.
Respon Adaptif
Yaitu respon individu dalam penyesuaian masalah yang dapat diterima oleh norma -norma
sosial dan kebudayaan, meliputi :
a. Solitude (Menyendiri)
Merupakan respon yang dibutuhkan seseorang untuk merenungkan apa yang telah
dilakukan di lingkungan sosialnya, dan merupakan suatu cara mengevaluasi diri untuk
menentukan langkah langkah selanjutnya.
b. Autonomy (Kebebasan)
Respon individu untuk menentukan dan menyampaikan ide ide pikiran dan perasaan
dalam hubungan sosial.
c. Mutuality
Respon individu dalam berhubungan interpersonal dimana individu saling memberi
dan menerima.
d. Interdependence (Saling Ketergantungan)
Respon individu dimana terdapat saling ketergantungan dalam melakukan hubungan
interpersonal.
b.
Respon Antara Adaptif dan Maladaptif
a. Aloness (Kesepian)
Dimana individu mulai merasakan kesepian, terkucilkan dan tersisihkan dari
lingkungan.
b. Manipulation (Manipulasi)
Hubungan terpusat pada masalah pengendalian orang lain dan individu cenderung
berorientasi pada diri sendiri atau tujuan bukan pada orang lain.
c. Dependence (Ketergantungan)
Individu mulai tergantung kepada individu yang lain dan mulai tidak memperhatikan
kemampuan yang dimilikinya.

Respon Maladaptif
Yaitu respon individu dalam penyelesaian masalah yang menyimpang dari norma norma
sosial dan budaya lingkungannya.
a. Loneliness (Kesepian)
Gangguan yang terjadi apabila seseorang memutuskan untuk tidak berhubungan dengan
orang lain atau tanpa bersama orang lain untuk mencari ketenangan waktu sementara.
b. Exploitation (Pemerasan)
Gangguan yang terjadi dimana seseorang selalu mementingkan keinginannya tanpa
memperhatikan orang lain untuk mencari ketenangan pribadi.
c. Withdrawl (Menarik Diri)
Gangguan yang terjadi dimana seseorang menentukan kesulitan dalam membina hubungan
saling terbuka dengan orang lain, dimana individu sengaja menghindari hubungan
interpersonal ataupun dengan lingkungannya.
d. Paranoid (Curiga)
Gangguan yang terjadi apabila seseorang gagal dalam mengembangkan rasa percaya pada
orang lain.

2. FAKTOR PREDISPOSISI DAN PRESIPITASI

Faktor predisposisi terjadinya perilaku menarik diri adalah kegagalan perkembangan yang
dapat mengakibatkan individu tidak percaya diri, tidak percaya orang lain, ragu takut salah,
putus asa terhadap hubungan dengan orang lain, menghindar dari orang lain, tidak mampu
merumuskan keinginan dan merasa tertekan.
Sedangkan faktor presipitasi dari faktor sosio-cultural karena menurunnya stabilitas keluarga
dan berpisah karena meninggal dan faktor psikologis seperti berpisah dengan orang yang
terdekat atau kegagalan orang lain untuk bergantung, merasa tidak berarti dalam keluarga
sehingga menyebabkan klien berespons menghindar dengan menarik diri dari lingkungan
(Stuart and Sundeen, 1995).

a.Faktor Predisposisi
1) Teori Biologikal dan hubungannya dengan menarik diri
a) Genetik
Transmisi gangguan alam perasaan yang membuat perasaan sedih dan individu merasa tak
pantas berada ditengah lingkungan sosialnya. Keadaan ini diteruskan melalui garis keturunan.
Frekuensi gangguan alam perasaan meningkat pada kembar monozigot dibanding dizigot
walaupun diasuh secara terpisah.
b) Neurotransmitter
Katekolamin : Penurunan relatif dari katekolamin otak atau aktifitas sistem katekolamin
menyebabkan timbulnya depresi dan berusaha menghindari lingkungan sosial..
Asetilkolin : Suatu peningkatan aktifitas kolinergik dapat menjadi faktor penyebab dan
berusaha menghindasi lingkungan sosial.
Serotonin : Suatu defisit pada sistem serotoninergik dapat merupakan faktor penyebab dari
depresi dan berusaha menghindasi lingkungan sosial.
c) Endokrin
Keadaan sedih berkaitan dengan gannguan hormon seperti pada hipotiroidisme dan
hipertirodisme, terapi estrogen eksogen, dan post partum.
d) Kronobiologi
Gangguan dari ritme sirkadian.

2) Teori Psikologikal dan hubungannya dengan menarik diri


Uraian teori psikologikal dan hubungannya dengan menarik diri yang dipaparkan disini lebih
spesifik berdasarkan Teori Perkembangan Erik H. Erikson. Menurut Erikson, dalam menuju
maturasi psikososial, manusia perlu menjalankan 8 tugas perkembangan (development task)
sesuai dengan proses perkembangan usia. Faktor stimulasi menjadi sangat penting melalui
proses belajar menuju maturasi. Untuk mengembangkan hubungan social yang positif, setiap
tugas perkembangan sepanjang daur kehidupan diharapkan dilalui dengan sukses sehingga
kemampuan membina hubungan social dapat menghasilkan kepuasan bagi individu.

Sebaliknya tugas perkembangan yang tidak dijalankan dengan baik memberikan implikasi
masalah psikososial di kemudian hari, yaitu:

(a) Masa bayi/anak usia 0 1,5 tahun (konflik basic trust vs mistrust)
Bayi sangat bergantung pada orang lain dalam pemenuhan kebutuhan biologis dan
psikologisnya. Bayi biasanya berkomunikasi untuk dipenuhi kebutuhannya dengan menangis.
Kesediaan ibu secara konsisten untuk memenuhi kebutuhan makan, rasa aman, rasa nyaman
dan kehangatan akan berimplikasi pada pemebntukan rasa percaya pada diri sendiri, orang
lain dan lingkungannya. Kegagalan ibu dalam memenuhi kebutuhannya akan berimplikasi
pada rasa tidak percaya pada diri sendiri, orang lain, lingkungannya dan perilaku menarik
diri.

(b) Masa anak usia 1,5 3 tahun (Conflik otonomy vs shame and doubt).
Pada rentang usia ini, anak mulai menyadari dirinya terpisah dengan orang lain (memiliki
otonomi). Anakan mulai berkreasi dalam kebebasan dirinya seperti berlari-lari kian kemari,
memegang segala sesuatu yang disukainya, dapat mengendalikan organ-organ tubuhnya dan
dapat menyatakan menolak atau menerima sesuatu dari orang lain. Otonomi anak yang
berkembang pada tahap ini menuju pada membina hubungan dengan orang lain secara
interdependent. Kegagalan anak dalam membina hubungan dengan lingkungannya dan
keluarga cenderung membatasi kebebasannya tas dasar pertimbangan yang negatif terhadap
lingkungannya (over protective) berimplikasi pada kepribadian anak yang pemalu dan
peragu. Pada kondisi lebih lanjut mengakibatkan individu menarik diri dari orang lain dan
lingkungannya.

(c) Masa anak usia 3 6 tahun (Conflik initiative vs guilt)


Pada usia ini semakin berkembang rasa inisitatif anak. Anak mulai banyak bertanya secara
kritis dan mencoba melakukan tugas tertentu. Inisiatif yang ditunjukkan misalnya mandi
sendiri, memebreskan sendiri permainannya, membantu adiknya dan sebagainya. Pada usia
ini, anak mulai menghadapi tuntutan normative dari lingkungannya. Hal ini dapat
menimbulkan krisis pada anak sehingga akan mengalami kekecewaaan yang selanjutnya
menuju pada rasa bersalah yang berlebihan. Sebaliknya jika lingkungannya kondusif maka
berimplikasi pada pembentukan kepribadian anak yang berinisiatif. Perilaku yang
menunjukkan rasa bersalah yaitu, takut memulai pekerjaan yang baru, meminta maaf secara
berlebihan dan menjadi sangat malu hanya karena kesalahan kecil. Pada kondisi lebih lanjut
dapat menimbulkan menarik diri.

(d) Masa anak usia 6 12 tahun (Conflik industry vs inferiority)


Pada usia ini, anak mulai terdorong untuk melaksanakan tugas-tugas yang dihadapinya secara
sempurna dan menghasilkan karya-karya tertentu. Pada usia ini anak mulai bersekolah dan
memulai menyesuaikan diri dengan aturan-aturan baru di lingkungan sekolah dan keluarga.
Dengan bersekolah, anak memulai mengembangkan hubungan interpersonal dengan peer
groupnya terutama dengan yang berjenis kelamin sama. Anak mulai mampu menukar
kemampuannya, merasakan kegunaannya dan berkesempatan mebandingkan dirinya dengan
teman sebayanya. Orang tua tidak lagi menjadi atu-satunya sumber identifikasi anak. Anak
mulai melihat dan mengagumi orang lain selain orang tua dan temannya. Figur guru sangat
menjadi panutan bagi anak sehingga sering kali anak menjadi lebih percaya pada gurunya
daripada orang tuanya. Oleh karena itu orang tua dan guru haruslah menjadi figure yang
seimbang untuk ditiru anak. Apabila lingkungan (orang tua dan guru) tidak menghargai hasil
karya atau usaha anak maka anak akan mengalami ketidakpuasan dalam bekerja dan diliputi
perasaan kurang, tidak mampu dan inferior yang ditunjukkan dengan perilaku : Tidak biasa
bekerja sama dengan orang lain, tidak mampu mengerjakan tugas dengan tuntas dan tidak
mampu mengatur tugas atau pekerjaan. Pada kondisi lebih lanjut mengakibatkan menarik
diri.

(e) Masa usia 12 20 tahun (Conflik identity vs role confusion)


Merupakan usia peralihan dari kanak-kanak menuju dewasa, yang sering disebut pubertas.
Perubahan fisik dan kejiwaan terjadi begitu pesat sehingga dapat mengganggu keseimbangan
diri yang sebelumnya sudah tercapai. Secara biologis kemampuan anak sama dengan orang
dewasa, namun secara psikosial dianggap masih labil. Mereka dianggap tidak pantas
berperilaku seperti anak-anak tetapi lingkungan juga tidak mengakui mereka sebagai orang
dewasa. Pada usia ini, remaja mulai menunjukkan identitas dirinya, baik dalam seksual, umur
dan pekerjaan. Kelompok teman sebaya menjadi sangat penting bagi remaja. Melalui teman
sebaya, remaja dapat mengeksprersikan perasaan, pikiran, memainkan peran dan
bereksperimen dengan peran. Dalam kelompok inilah remaja mendapat pengakuan dan
merima keberadaannya. Sikap orang tua yang terbuka, mengembangkan komunikasi yang
akrab, menghargai pendapat dan pikiran remaja, memberikan kesempatan untuk
mengekspresikan diri sebagai sahabat bagi remaja akan sangat membantu remaja dalam
memperoleh identitas dirinya. Sikap orang tua dan lingkungan yang tidak mendukung ke arah
remaja menemukan identitas dirinya dengan selalau saling bertentangan akan menimbulkan
kegagalan perkembangan yaitu terjadi kebingungan peran yang ditunjukkan dengan perilaku
tidak mempunyai tujuan hidup yang pasti, tidak mampu bertanggung jawab terhadap
perbuatannya sendiri dan mengadopsi nilai-nilai orang lain tanpa mempertimbangkan terlebih
dahulu. Pada kondisi lebih lanjut mengakibatkan menarik diri.

(f) Masa usia 20 40 tahun (Conflik intimacy vs isolation)


Tahap ini merupakan tahap perkembangan dewasa awal. Individu mulai bekerja dan
meningkatkan hubungan yang khusus dengan lawan jenisnya. Usia ini dapat juga dikatakan
sebagai karier dan berumah tangga. Pada usia ini individu biasanya juga sudah terlepas dari
orang tuanya sehingga kegagalan maupun kesuksesan dalam tahap perkembangan ini lebih
banyak ditentukan oleh dirinya sendiri dan pasangan hidupnya daripada orang tuanya.
Kegagalan dalam memenuhi perkembangan pada tahap ini mengakibatkan individu merasa
terisolasi dan mearik diri.

(g) Masa usia 40 60 tahun (Conflik generativity vs stagnation)


Usia 40 60 tahun merupakan usia ketika seseorang mengalami titik karier puncak. Pada usia
ini, individu akan menghasilkan sesuatu yang dapat ditawarkan kepada keturunannya. Dapat
berupa tulisan, ide atau pikiran. Individu pada tahap perkembangan ini akan banyak
memberikan nasihat dan pengarahan. Kegagalan pada tahap perkembangan ini berakibat
individu mengalami stagnasi dimana individu lebih banyak menceritakan dirinya sendiri
daripada mendengarkan orang lain. Implikasinya terhadap perkembangan psikososial dimana
individu akan dijauhi dan menjauhkan diri dari orang lain dan lingkungannya yang disebut
dengan menarik diri.

(h) Masa usia 65 tahun keatas.


Masa ini, individu akan mengalami masa kepuasan dan ketidakpuasan dalam kehidupannya.
Bila dalam tahap perkembangan sebelumnya individu mengalami kepuasan dan siap
mengalami penurunan fungsi hidupnya bahkan kematian. Hal ini disebut dengan individu
telah mencapai integritas diri. Kegagalan pada usia ini, mengakibatkan individu akan
mengalami keputusasaan hidup atau despair dengan berperilaku menangis dan apatis, sulit
menerima perubahan dan sangat bergantung pada orang lain (tidak mandiri). Jika tidak
mendapatkan perhatian mengakibatkan individu menarik diri dari orang lain dan lingkungan.

3) Teori sosiokultural dan hubungannya dengan menarik diri.


Menurut Kartini Kartono (1999, dikutip oleh Sunaryo, 2004) menyebutkan bahwa timbulnya
gangguan mental/gangguan jiwa ditinjau dari factor sosial-budaya/sisio-kultural sebagai
berikut:
(a) Konflik dengan standar social dan norma etis
Gangguan mental dapat terjadi karena individu tidak mampu berperilaku sesuai
dengan standar social dan norma etik yang berlaku sehingga dalam kehidupan social
akan terjadi benturan dengan masyarakat yang menganut standar social dan norma
etik tertentu. Prinsip ini erat kaitannya dengan stress adaptasi yang menurut Suliswati,
dkk. (2005) menyebutkan bahwa stress disebabkan oleh perubahan-perubahan
diantaranya perubahan nilai budaya, perubahan system kemasyarakatan dan pekerjaan
yang mengakibatkan gangguan keseimbangan mental-emosional karena gangguan
produktivitas dan kehidupan seseorang menjadi tidak efisien. Kondisi ini berpengaruh
terhadap respons menarik diri seseorang.
(b) Overproteksi orang tua
Akibat dari overproteksi atau perlindungan orang tua yang berlebihan terhadap anak
mengakibatkan anak menjadi tidak mandiri, tidak percaya diri, tidak memiliki harga
diri, ragu-ragu dan tidak memiliki kreativitas dan inisiatif. Dengan demikian
mentalitas anak menjadi rapuh sehingga dapat diasumsikan bahwa lama kelamaan
individu akan menarik diri dari orang lain dan lingkungan.

(c) Anak yang ditolak/tidak diterima dalam kelahirannya (rejected child)


Sering terjadi pada pasangan suami-isteri yang belum dewasa secara psikis sehingga
pada saat hamil dan melahirkan cenderung menolak atau tidak mau bertanggung
jawab sebagai ayah dan ibu yang baik (tidak cukup memberikan kasih saying). Hal ini
dapat membentuk pribadi anak yang labil, mentalitas yang rapuh karena tidak percaya
diri, tidak meiliki harga diri dan curiga sehingga dapat menimbulkan menarik diri dari
hubungan social.

(d) Kondisi broken home


Keluarga yang broken home mengakibatkan anak mengalami kesulitan beradaptasi
dengan lingkungan, hati yang kacau, bingung, sedih, hidup terombang-ambing antara
kasih sayang dan kekecewaan terhadap orang tua. Selanjutnya anak menjadi mudah
tersinggung, kesedihan yang berlebihan, putus asa, merasa terhina dan merasa berdosa.
Perilaku anak akan menyimpang dari norma social seperti agresif, sadistic, kriminal dan
psikopatis. Kondisi ini mengakibatkan individu dijauhi atau menjauhkan diri dari orang
lain dan lingkungan social.
(e) Konflik budaya
Pertemuan budaya antara daerah atau suku bangsa yang satu dengan lainnya
membutuhkan saling pengertian dan adaptasi sosial. Apabila terjadi konflik budaya dapat
menimbulkan kecemasan, ketakutan dan kehidupan perasaan semakin datar, dingin dan
beku. Ekses yang terjadi adalah perilaku yang menyimpang seperti tindakan kejahatan,
kekalutan bathin dan stress psikososial. Kesemuaannya itu akan membawa individu pada
kondisi menarik diri dari hubungan social.

(f) Lingkungan sekolah yang tidak kondusif


Lingkungan sekolah yang tidak kondusif seperti temperamen guru yang kejam, aktivitas
peserta didik yang tertekan, bangunan tidak memenuhi syarat, tidak memiliki tempat
rekreasi, dan sebagainya berimplikasi terhadap gangguan emosi anak serta konflik yang
menjurus pada gangguan psikososial. Anak menjadi minder, tidak ada kebanggaan diri
dan menurunnya kreatifitas sehingga berdampak pada harga diri yang rendah sehingga
mengakibatkan menarik diri dari hubungan sosialnya.

(g) Cacat jasmaniah


Anak yang cacat jasmani cenderung merasa malu, minder, dibayangi ketakutan, keragu-
raguan akan masa depannya sehingga menimbulkan harga diri rendah yang menjurus
pada menarik diri.

(h) Motif kemewahan materi/financial


Dewasa ini orang berlomba-lomba untuk memperoleh kemewahan material/finansial.
Kebahagiaan hidup diukur dari suksesnya sesorang menduduki jabatan tinggi, status
social dan sukses finasial. Keadaan seperti ini menggiring orang untuk melakukan
penyimpangan atau mendapatkan materi dengan cara yang tidak halal. Orang menjadi
gelisah dan cemas karena bertentangan dengan nilai-nilai agama yang dianutnya. Atau
pada kondisi lain, pendapatan kecil tetapi ambisinya besar untuk sukses finansial,
akibatnya timbul ketegangan batin dan ketakutan. Karena ukuran hidupnya/harga dirinya
adalah sukses finansial, sementara kenyataannya tidak sesuai dengan harapan maka
individu merasa renhdah diri atau martabatnya menurun. Akibatnya menjauhkan diri dari
hubungan social dan lingkungan.

b. Stresor Presipitasi
1) Faktor Nature (alamiah)
Secara alamiah, manusia merupakan makhluk holistic yang terdiri dari dimensi bio-psiko-
sosial dan spiritual (Dadang Hawari, 2002). Oleh karena itu meskipun stressor presipitasi
yang sama tetapi apakah berdampak pada gangguan jiwa atau kondisi psikososial tertentu
yang maladaptive dari individu, sangat bergantung pada ketahanan holistic individu
tersebut (W.F. Maramis, 1998).
2) Faktor Origin (sumber presipitasi)
Demikian juga dengan factor sumber presipitasi, baik internal maupun eksternal yang
berdampak pada psikososial seseorang. Hal ini karena manusia bersifat unik.

3) Faktor Timing
Setiap stressor yang berdampak pada trauma psikologis seseorang yang berimplikasi pada
gangguan jiwa sangat ditentukan oleh kapan terjadinya stressor, berapa lama dan
frekuensi stressor (PPDGJ-III, 2000).
4) Faktor Number (Banyaknya stressor)
Demikian juga dengan stressor yang berimplikasi pada kondisi gangguan jiwa sangat
ditentukan oleh banyaknya stressor pada kurun waktu tertentu. Misalnya, baru saja suami
meninggal, seminggu kemudian anak mengalami cacad permanen karena kecelakaan lalu
lintas, lalu sebulan kemudian ibu kena PHK dari tempat kerjanya (Luh Ketut Suryani,
2005).
5) Appraisal of Stressor (cara menilai predisposisi dan presipitasi)

Pandangan setiap individu terhadap factor predisposisi dan presipitasi yang dialami sangat
tergantung pada :
(a)Faktor kognitif : Berhubungan dengan tingkat pendidikan, luasnya pengetahuan dan
pengalaman.

(b)Faktor Afektif : Berhubungan dengan tipe kepribadian seseorang. Menurut tipologi


kepribadian C.G. Jung (dikutip oleh Sunaryo, 2004), menyebutkan bahwa tipe kepribadian
introvert bersifat: Tertutup, suka memikirkan diri sendiri, tidak terpengaruh pujian, banyak
fantasi, tidak tahan keritik, mudah tersinggung, menahan ekspresi emosinya, sukar bergaul,
sukar dimengerti orang lain, suka membesarkan kesalahannya dan suka keritik terhadap diri
sendiri.Tipe kepribadian extrovert bersifat : Terbuka, licah dalam pergaulan, riang, ramah,
mudah berhubungan dengan orang lain, melihat realitas dan keharusan, kebal terhadap
keritik, ekspresi emosinya spontan, tidak begitu merasakan kegagalan dan tidak banyak
mengeritik diri sendiri. Tipe kepribadian ambivert dimana seseorang memiliki kedua tipe
kepribadian dasar tersebut sehingga sulit untuk menggolongkan dalam salah satu tipe.

(c)Faktor Physiological
Menurut Suhartono Taat Putra (2005), kondisi fisik seperti status nutrisi, status kesehatan
fisik, factor kecacadan atau kesempurnaan fisik sangat berpengaruh bagi penilaian seseorang
terhadap stressor predisposisi dan presipitasi.
(d)Faktor Bahavioral
Pada dasarnya perilaku seseorang turut mempengaruhi nilai, keyakinan, sikap dan
keputusannya (Bimo Walgito, 1989). Oleh karena itu, factor perilaku turut berperan pada
seseorang dalam menilai factor predisposisi dan presipitasi yang dihadapinya. Misalnya,
seorang peminum alcohol, dalam keadaan mabuk akan lebih emosional dalam menghadapi
stressor.Demikian juga dengan perokok atau penjudi, dalam menilai stressor berbeda dengan
seseorang yang taat beribadah.

(e)Faktor Sosial
Manusia merupakan makhluk social yang hidupnya saling bergantung antara satu dengan
lainnya. Menurut Luh Ketut Suryani (2005), kehidupan kolektif atau kebersamaan berperan
dalam pengambilan keputusan, adopsi nilai, pembelajaran, pertukaran pengalaman dan
penyelenggaraan ritualitas. Dengan demikian, dapat diasumsikan bahwa factor kolektifitas
atau kebersamaan berpengaruh terhadap cara menilai stressor predisposisi dan presipitasi.

3. MANIFESTASI KLINIK

Menurut Townsend, M.C (1998:152-153) & Carpenito,L.J (1998: 382) isolasi sosial menarik
diri sering ditemukan adanya tanda dan gejala sebagai berikut:
a. Data subjektif :
1) Mengungkapkan perasaan tidak berguna, penolakan oleh lingkungan
2) Mengungkapkan keraguan tentang kemampuan yang dimiliki
b. Data objektif :
1) Tampak menyendiri dalam ruangan
2) Tidak berkomunikasi, menarik diri
3) Tidak melakukan kontak mata
4) Tampak sedih, afek datar
5) Posisi meringkuk di tempat tidur dengang punggung menghadap ke pintu
6) Adanya perhatian dan tindakan yang tidak sesuai atau imatur dengan perkembangan
usianya
7) Kegagalan untuk berinterakasi dengan orang lain didekatnya
8) Kurang aktivitas fisik dan verbal
9) Tidak mampu membuat keputusan dan berkonsentrasi
10) Mengekspresikan perasaan kesepian dan penolakan di wajahnya

4. PSIKOPATOLOGI
Resiko gangguan persepsi sensori : halusinasi ( Efek )
Deficit perawatan diri

Isolasi Sosial : Menarik Diri ( Core Problem )

Harga Diri Rendah ( Cause )

5. PENATALAKSANAAN

a. Pengkajian
Pengelompokan data pada pengkajian kesehatan jiwa berupa faktor presipitasi, penilaian
stressor, suberkoping yang dimiliki klien. Setiap melakukan pengkajian, tulis tempat klien
dirawat dan tanggal dirawat isi pengkajian meliputi:
1) Identitas Klien
Meliputi nama klien, umur, jenis kelamin, status perkawinan, agama, tangggal
MRS, informan, tangggal pengkajian, No Rumah klien dan alamat klien.
2) Keluhan Utama
Keluhan biasanya berupa menyendiri (menghindar dari orang lain) komunikasi kurang atau
tidak ada, berdiam diri dikamar, menolak interaksi dengan orang lain, tidak melakukan
kegiatan sehari hari, dependen.
3) Faktor predisposisi
Kehilangan, perpisahan, penolakan orang tua, harapan orang tua yang tidak realistis,
kegagalan / frustasi berulang, tekanan dari kelompok sebaya; perubahan struktur sosial.
Terjadi trauma yang tiba - tiba misalnya harus dioperasi, kecelakaan dicerai suami, putus
sekolah, PHK, perasaan malu karena sesuatu yang terjadi (korban perkosaan, dituduh kkn,
dipenjara tiba tiba) perlakuan orang lain yang tidak menghargai klien/ perasaan negatif
terhadap diri sendiri yang berlangsung lama.
4) Aspek fisik / biologis
Hasil pengukuran tada vital (TD, Nadi, suhu, Pernapasan, TB, BB) dan keluhan fisik yang
dialami oleh klien.
5) Aspek Psikososial
a) Genogram yang menggambarkan tiga generasi
b) Konsep diri
b.1) citra tubuh :
Menolak melihat dan menyentuh bagian tubuh yang berubah atau tidak menerima perubahan
tubuh yang telah terjadi atau yang akan terjadi. Menolak penjelasan perubahan tubuh,
persepsi negatif tentang tubuh. Preokupasi dengan bagia tubuh yang hilang, mengungkapkan
keputus asaan, mengungkapkan ketakutan.
b.2) Identitas diri :
Ketidak pastian memandang diri, sukar menetapkan keinginan dan tidak mampu mengambil
keputusan.
b.3) Peran :
Berubah atau berhenti fungsi peran yang disebabkan penyakit, proses menua, putus sekolah,
PHK.
b.4) Ideal diri :
Mengungkapkan keputusasaan karena penyakitnya : mengungkapkan keinginan yang terlalu
tinggi.
b.5) Harga diri :
Perasaan malu terhadap diri sendiri, rasa bersalah terhadap diri sendiri, gangguan hubungan
sosial, merendahkan martabat, mencederai diri, dan kurang percaya diri.
c) Klien mempunyai gangguan / hambatan dalam melakukan hubungan social dengan orang
lain terdekat dalam kehidupan, kelompok yang diikuti dalam masyarakat.
6) Keyakinan klien terhadap Tuhan dan kegiatan untuk ibadah ( spritual)
7) Status Mental
Kontak mata klien kurang / tidak dapat mempertahankan kontak mata, kurang dapat memulai
pembicaraan, klien suka menyendiri dan kurang mampu berhubungan dengan orang lain,
adanya perasaan keputusasaan dan kurang berharga dalam hidup.
8) Kebutuhan persiapan pulang
a) Klien mampu menyiapkan dan membersihkan alat makan
b) Klien mampu BAB dan BAK, menggunakan dan membersihkan WC, membersikan dan
merapikan pakaian
c) Pada observasi mandi dan cara berpakaian klien terlihat rapi
d) Klien dapat melakukan istirahat dan tidur, dapat beraktivitas didalam dan diluar rumah
e) Klien dapat menjalankan program pengobatan dengan benar.
9) Mekanisme Koping
Klien apabila mendapat masalah takut atau tidak mau menceritakan nya pada orang orang
lain( lebih sering menggunakan koping menarik diri)
10) Aspek Medik
Terapi yang diterima klien bisa berupa therapy farmakologi ECT, Psikomotor, therapy
okopasional, TAK , dan rehabilitas.

ANALISA DATA

NO TGL/JAM DATA FOKUS MASALAH


1 Subyektif:
o Mengatakan malas berinteraksi
o Mengatakan orang lain tidak mau menerima dirinya
o Merasa orang lain tidak selevel
Obyektif:
o Menyendiri
o Mengurung diri
o Tidak mau bercakap-cakap dengan orang lain

Isolasi Sosial

Subyektif:
o Mengeluh hidup tidak bermakna
o Tidak memiliki kelebihan apapun
o Merasa jelek
Obyektif:
o Kontak mata kurang
o Tidak berinisiatif berinteraksi dengan orang lain

Gangguan konsep diri : harga diri rendah


3 Subyektif:
o Mengatakan mendengar suara bisikan/melihat bayangan
Obyektif:
o Bicara sendiri
o Tertawa sendiri

Marah tanpa sebab Gangguan persepsi sensori : halusinasi

Subyektif:
o Menyatakan malas mandi
o Tidak tahu cara makan yang baik
o Tidak tahu cara dandan yang baik
o Tidak tahu cara eliminasi yang baik
Obyektif:
o Badan kotor
o Dandanan tidak rapi
o Makan berantakan
Bab/bak sembarang tempat Deficit perawatan diri
6. DIAGNOSA KEPERAWATAN

Isolasi social : menarik diri


Gangguan konsep diri : harga diri rendah
Gangguan persepsi sensori : halusinasi
Deficit perawatan diri

7. FOCUS INTERVENSI
STRATEGI PELAKSANAAN PADA PS. ISOLASI SOSIAL
SP PASIEN SP KELUARGA
SP1 :
- Membina hubungan saling percaya
- Mengidentifikasi penyebab isolasi social
- Berdiskusi tentang keuntungan berinteraksi dengan orang lain
- Berdiskusi tentang kerugian tidak berinteraksi dengan orang lain
- Mengajarkan pasien cara berkenalan dengan satu orang
- Menganjurkan pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian pasien SP 1 :
- Membina hubungan saling percaya
- Mendiskusikan masalah yang dirasakan keluarga dalam merawat pasien
- Menjelaskan pengertian, tanda dan gejala isolasi social yang dialami pasien
- Menjelaskan cara merawat pasien isolasi social

SP II :
- Mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien
- Memberikan kesempatan pasien mempraktekan cara berkenalan dengan satu orang
- Membatu pasien memasukkan kegiatan berbincang-bincang dengan orang lain sebagai salah
satu kegiatan harian SP II :
- Melatih keluarga mempraktekan cara merawat pasien dengan isolasi social
- Melatih keluarga melakukan cara merawat langsung kepada pasien isolasi social

SP III :
- Mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien
- Memberikan kesempatan pada pasien berkenalan dengan dua orang atau lebih
- Mengajurkan pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian pasien SP III :
- Membantu keluarga membuat jadwal aktivitas dirumah termasuk minum obat
- Menjelaskan follow up pasien setelah pulang

DAFTAR PUSTAKA

Anna Budi Keliat, SKp. (2000). Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Sosial Menarik Diri,
Jakarta ; Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia.
Nurjanah, Intansari S.Kep. 2001. Pedoman Penanganan Pada Gangguan Jiwa. Yogyakarta :
Momedia
Perry, Potter. 2005 . Buku Ajar Fundamental Keperawatan. Jakarta : EGC
Rasmun S. Kep. M 2004. Seres Kopino dan Adaptasir Toors dan Pohon Masalah
Keperawatan. Jakarta : CV Sagung Seto
Stuart, GW. 2002. Buku Saku Keperawatan Jiwa. Edisi 5. Jakarta: EGC.
Tarwoto dan Wartonah. 2000. Kebutuhan Dasar Manusia. Jakarta.
www.erfanhiyandi.blogspot.com/askep_isolasi sosial.html. (di akses 13 Mei 2009)

You might also like