You are on page 1of 6

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Pariwisata adalah sebuah industri yang sangat bergantung pada
keunikan alam dan budaya. Daya tarik utama sebuah destinasi wisata
adalah bentangan alam dan kekayaan budaya suatu daerah yang berbeda
dari daerah lainnya. Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki
potensi pariwisata yang sangat besar. Pariwisata merupakan salah satu
sumber pemasukkan bagi pendapatan Negara Indonesia. Sehingga sudah
seharusnya pariwisata harus di kelola dengan baik. Jika terjadi kerusakan
ataupun degradasi pada sebuah destinasi, baik akibat krisis maupun
bencana, maka akan sangat berpengaruh terhadap kelangsungan
industrinya. Dapat dikatakan pula bahwa industri pariwisata sangat rentan
terhadap bencana dan krisis.
Berbicara tentang pariwisata dan bencana, berarti mengupas keduanya
dari dua sisi yang berbeda. Bencana bisa berpengaruh positif maupun
negatif terhadap pariwisata. Pengaruh negatif muncul karena adanya
kerusakan dan penurunan jumlah pengunjung, sementara pengaruh positif
justru timbul saat bencana itu sendiri dijadikan sebagai komoditi
pariwisata. Ada beberapa fakta di lapangan yang menunjukan hal unik
terkait pariwisata dan bencana. Secara konseptual bencana akan
mempengaruhi permintaan industri pariwisata. Pada beberapa kejadian,
justru menunjukan sebaliknya. Mungkin belum hilang dari ingatan kita
bagaimana erupsi yang terjadi di Gunung Bromo telah menarik banyak
wisatawan untuk melihatnya atau bagaimana wisatawan malah
berbondong-bondong untuk melihat keadaan Kali Urang paska-erupsi
Gunung Merapi.
Letak Indonesia yang tepat berada di atas deretan cincin gunung api,
menjadikan Indonesia negeri yang rawan bencana alam, seperti gempa
bumi, letusan gunung berapi, kebakaran hutan, banjir bandang, angin
topan, dan tsunami. Sejarah juga telah membuktikan bahwa hampir tiap
tahun Indonesia selalu mengalami bencana yang sifatnya berulang. Ada
beberapa bencana yang sifatnya memang alamiah dalam artian bencana
tersebut tak dapat dicegah, seperti letusan gunung berapi dan gempa bumi.
Sementara di sisi lain ternyata lebih banyak lagi bencana yang sebenarnya
merupakan ulah dari manusia itu sendiri yang seharusnya bisa dicegah,
seperti banjir bandang, kebakaran hutan, dan tanah longsor.
Kondisi alam Provinsi Bali sangat rentan terhadap bencana alam.
Berbagai bencana pernah terjadi di Bali seperti gempabumi, letusan
gunung api, banjir, longsor, kekeringan dan angin kencang. Provinsi Bali
memiliki dua gunung api aktif, yaitu Gunung Agung dan Gunung Batur,
serta tidak menutup kemungkinan Gunung Batukaru. Di kawasan Gunung
Agung, daerah yang kemungkinan akan terlanda awan panas, aliran lava
dan aliran lahar 23.037,58 ha. Daerah yang rawan terkena aliran
lahar/banjir dan kemungkinan dapat terlanda awan panas dan longsoran
atau runtuhan.
Bali terletak sangat dekat dengan zona tumbukan (subduction zone)
antara Lempeng Indo-Australia dan Lempeng Eurasia. Zona tumbukan ini
merupakan kawasan yang menjadi sumber utama untuk tsunami lokal yang
bisa berdampak di pulau Bali. Diperkirakan gelombang tsunami hanya
membutuhkan waktu antara 20-30 menit untuk mencapai pantai. Oleh
karena itu waktu untuk memberikan peringatan sangatlah singkat.
Selain zona subduksi Selat Sunda Trench dan patahan belakang (back
arc fault), ada 2 sumber tsunami lainnya yang sudah terindentifikasi:
longsor bawah laut dan aktivitas vulkanik. Longsor bawah laut dapat
dikaitkan dengan gempa bumi. Longsor tersebut terjadi selama gempa
bumi, yang dapat meningkatkan energi tsunami, sehingga
melipatgandakan efek pengangkatan akibat gerakan tektonik pada zona
subduksi (disebabkan oleh gempa bumi tersebut).
Berdasarkan UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan
Bencana, menyebutkan definisi bencana adalah peristiwa atau rangkaian
peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan
masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor non-
alam maupun faktor manusia, sehingga mengakibatkan timbulnya korban
jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak
psikologis. Definisi tersebut mengacu pada semua bencana, baik bencana
alam, non-alam, maupun bencana sosial. Sementara Faulkner (2001)
menjelaskan secara lebih spesifik bahwa bencana merupakan suatu
peristiwa atau kejadian akibat dari fenomena alam yang membutuhkan
sistem informasi gabungan pendeteksi cuaca dan tindakan manusia secara
lebih luas. Faulkner membedakan antara bencana alam dan bencana non-
alam. Bencana menurut Faulkner adalah bencana alam, sementara bencana
non-alam dan sosial disebut sebagai krisis. Dari pengertian tersebut,
Faulkner menegaskan bahwa apa pun bentuk sebuah bencana sebenarnya
bisa diprediksi ataupun dicegah. Keterlibatan manusia secara aktif dan
sistem informasi pendeteksi cuaca yang lebih luas bisa membantu
penanganan sebelum dan setelah bencana.
Kecelakaan yang terjadi di tempat wisata menimbulkan kerugian
bersifat materi dan immaterial kepada pengelola dan pengunjung yang
merupakan korban. Pengelola mengalami dua kerugian sekaligus yaitu
mengganti kerugian kepada korban dengan sejumlah uang yang sudah
ditentukan dan kerugian bersifat immaterial yaitu reputasi (kerugian
immateriil bersifat jangka panjang yaitu kelangsungan tempat wisata untuk
kembali memulihkan image positif sehingga pengunjung akan melupakan
kejadian tersebut. Perbedaan karakter wisata akan membedakan potensi
risiko antara satu tempat dengan tempat lain sehingga menuntut pengelola
wisata dapat melakukan estimasi risiko secara mendalam. Estimasi ini
akan menghitung derajat resiko yang terbagai dalam tiga level yaitu tinggi,
menengah dan rendah. (Siahaan, 2007). Level ini dapat juga digunakan
untuk menilai derajat resiko tempat wisata menggunakan pendekatan
manajemen resiko.
Manajemen resiko adalah salah satu cara meminimumkan kerugian
yang muncul di tempat wisata. Manajemen resiko menjadi alat untuk
meminimalisir kerugian bagi semua pihak yang terkait khususnya
pengelola sehingga memberikan dukungan pada organisasi dan
pengendalian resiko internal maupun eksternal yang lebih efektif. Saat ini
pengelola wisata sudah menggunakan pendekatan manajemen resiko
dalam menyelenggarakan kegiatan wisata meski skala penggunaannya
masih jauh dibandingkan dengan industry keuangan seperti perbankan dan
asuransi.
Untuk itu para pakar termasuk Prideaux (2003) sepakat kalau industri
pariwisata memerlukan penanganan khusus dalam perencanaan dan
pemulihan paska-bencana. Kedua akibat bencana tersebut, baik negatif
maupun positif, tetap membutuhkan penanganan sebelum, saat, dan
sesudah terjadinya bencana. Faulkner dan Vikulov (2001) memberikan
beberapa alasan mengapa industri pariwisata memerlukan penanganan
khusus terkait dengan bencana alam.
Berdasarkan latar belakang di atas, Prodi D-IV Keperawatan Reguler
Politeknik Kesehatan Denpasar menerapkan metode pembelajaran praktik
Manajemen Risiko Bencana Pariwisata dimana teori dari mata kuliah ini
telah didapatkan di semester VI. Hasil dari proses pembelajaran praktik
manejemen risiko bencana pariwisata ini dimuat dalam laporan kegiatan.

B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah terkait dengan latar belakang di atas adalah
sebagai berikut.
1. Bagaimana menetapkan konteks risiko bencana pariwisata ?
2. Bagaimana cara mengidentifikasi risiko bencana pariwisata ?
3. Bagaimana cara menganalisis risiko bencana pariwisata ?
4. Bagaimana cara mengevaluasi risiko bencana pariwisata ?
5. Bagaimana cara menanganani risiko bencana pariwisata ?
C. Tujuan Praktikum
Tujuan praktikum ini dapat dibagi menjadi dua yaitu,
1. Tujuan Umum
Setelah melaksanakan kegiatan pembelajaran praktik dan orientasi di
tempat praktik, mahasiswa diharapkan mampu memahami dan
mengimplementasikan proses manajemen risiko bencana pariwisata
2. Tujuan Khusus
Capaian pembelajaran praktikum yang diharapkan adalah
mahasiswa :
a. Mampu menetapkan konteks risiko bencana pariwisata
b. Mampu mengidentifikasi risiko bencana pariwisata
c. Mampu menganalisis risiko bencana pariwisata
d. Mampu mengevaluasi risiko bencana pariwisata
e. Mampu menangani risiko bencana pariwisata

D. Bobot Praktikum
Bobot Praktik Manajemen Risiko Bencana Pariwisata ini adalah 4 SKS.
Waktu yang dibutuhkan selama : 4 x 14 minggu x 170 menit = 9.520 menit
setara dengan 4 minggu praktik.

E. Kegiatan Praktik
Adapun kegiatan praktik manajemen risiko bencana pariwisata ini adalah :
1. Menetapkan konteks risiko bencana pariwisata
2. Mengidentifikasi risiko bencana pariwisata
3. Menganalisis risiko bencana pariwisata
4. Mengevaluasi risiko bencana pariwisata
5. Menangani risiko bencana pariwisata
6. Mengikuti Pre dan Post conference
7. Mendokumentasikan kegiatan/membuat laporan
8. Melaksanakan seminar
LAPORAN PRAKTIK KEPERAWATAN
MANAJEMEN RISIKO BENCANA PARIWISATA
DI UPT PUSDALOPS PB BPBD PROVINSI BALI
04 30 SEPTEMBER 2017

OLEH :

KADEK PONI MARJAYANTI

P07120214026

D IV KEPERAWATAN SEMESTER VII

KEMENTERIAN KESEHATAN RI
POLITEKNIK KESEHATAN DENPASAR
JURUSAN KEPERAWATAN
2017

You might also like