You are on page 1of 7

Login Sign Up

Beranda

Resep

Kesehatan

Gaya Hidup Sehat

Ragam

produk.png Produk

tentang.png Tentang Kami

Hubungi Kami

Kembali ke

Penulis: DR. Ratna Megawangi

Pendidikan Karakter 3 M (Moral Knowing, Moral Feeling, dan Moral Action)

0 vote

Hampir semua anak mengetahui bahwa menyontek, menjiplak, membawa kertas catatan ke ruang ujian,
adalah perbuatan yang tidak jujur dan secara moral tidak bisa diterima. Namun ternyata banyak yang
melakukannya. Jadi ada kesenjangan antara apa yang diketahui anak dengan apa yang dilakukannya.
Namun sebagai orangtua, Anda harus dapat mengarahkan anak bertindak konsisten antara pikiran dan
tindakannya.

Menurut William Kilpatrick, salah satu penyebab ketidakmampuan seseorang untuk berperilaku baik,
walaupun secara kognitif ia mengetahuinya (moral knowing), yaitu karena ia tidak terlatih untuk
melakukan kebajikan atau moral action. Untuk itu, orangtua tidak cukup memberikan pengetahuan
tentang kebaikan, namun harus terus membimbing anak sampai pada tahap implementasi dalam
kehidupan anak sehari-hari.
Dalam pendidikan karakter, Lickona (1992) menekankan pentingnya tiga komponen karakter yang baik
(components of good character) yaitu moral knowing atau pengetahuan tentang moral, moral feeling
atau perasaan tentang mental dan moral action atau perbuatan moral. Hal ini diperlukan agar anak
mampu memahami, merasakan dan mengerjakan sekaligus nilia-niali kebajikan.

Moral knowing adalah hal yang penting untuk diajarkan, terdiri dari enam hal, yaitu: moral awareness
(kesadaran moral), knowing moral values (mengetahui nilai-nilai moral), perspective taking, moral
reasoning, decision making dan self knowledge.

Moral feeling adalah aspek yang lain yang harus ditanamkan kepada anak yang merupakan sumber
energi dari diri manusia untuk bertindak sesuai dengan prinsip-prinsip moral. Terdapat 6 hal yang
merupakan aspek emosi yang harus mampu dirasakan oleh seseorang untuk menjadi manusia
berkarakter, yakni conscience (nurani), self esteem percaya diri), empathy (merasakan penderitaan orang
lain), loving the good (mencintai kebenaran), self control (mampu mengontrol diri) dan humility
(kerendahan hati).

Moral action adalah bagaimana membuat pengetahuan moral dapat diwujudkan menjadi tindakan
nyata. Perbuatan tindakan moral ini merupakan hasil (outcome) dari dua komponen karakter lainya.
Untuk memahami apa yang mendorong seseorang dalam perbuatan yang baik (act morally) maka harus
dilihat tiga aspek lain dari karakter, yaitu kompetensi (competence), keinginan (will) dan kebiasaan
(habit).

Melatih Kebiasaan Baik

Pendidikan karakter terhadap anak hendaknya menjadikan seorang anak terbiasa untuk berperilaku baik,
sehingga ia menjadi terbiasa dan akan merasa bersalah kalau tidak melakukannya. Sebagai contoh,
seorang anak yang terbiasa mandi dua kali sehari, akan merasa tidak enak bila mandi hanya satu kali
sehari. Dengan demikian, kebiasaan baik yang sudah menjadi naluri, otomatis akan mebuat seorang anak
merasa bersalah bila tidak melakukan kebiasaan baik tersebut.

Namun mendidik kebiasaan baik saja tidak cukup. Anak yang terbiasa berbuat baik belum tentu
menghargai pentingnya nilai-nilai moral (valuing). Misalnya ia tidak mencuri karena mengetahui sanksi
hukumnya, dan bukan karena ia menjunjung tinggi nilai kejujuran. Oleh karena itu, setelah anak memiliki
pengetahuan (moral knowing), orangtua hendaknya dapat menumbuhkan rasa atau keinginan anak
untuk berbuat baik (desiring the good).
Keinginan untuk berbuat baik adalah bersumber dari kecintaan untuk berbuat baik (loving the good).
Aspek kecintaan inilah yang disebut Piaget sebagai sumber energi yang secara efektif membuat
seseorang mempunyai karakter yang konsisten antara pengetahuan (moral knowing) dan tindakannya
(moral action). Oleh karena itu, aspek ini merupakan yang paling sulit untuk diajarkan, karena
menyangkut wilayah emosi (otak kanan).

Salah satu cara untuk menumbuhkan aspek moral feeling yaitu dengan cara membangkitkan kesadaran
anak akan pentingnya memberikan komitmen terhadap nilai-nilai moral. Sebagai contoh untuk
menanamkan kecintaan anak untuk jujur dengan tidak mencontek, orangtua harus dapat menumbuhkan
rasa bersalah, malu dan tidak empati atas tindakan mencontek tersebut. Kecintaan ini (moral feeling)
akan menjadi kontrol internal yang paling efektif, selain kontrol eksternal berupa pengawasan orangtua
terhadap tindak tanduk anak dalam keseharian.

Terlepas dari adanya moral feeling anak yang mencintai kebajikan, orangtua tidak lantas menghilangkan
perannya dalam melakukan kontrol eksternal. Kontrol eksternal juga penting dan perlu diberikan
orangtua, khususnya dalam memberikan lingkungan yang kondusif kepada anak untuk membiasakan diri
berperilaku baik.

"If a man continuously hears bad words, thinks bad thoughts, does bad actions, his mind will be full of
bad impressions, and they will influence his thought and work without his being conscious of the fact. He
will be like a machine in the hands of a man thinks good thoughts and does good works, the sum total of
these impressions will be good, and they, in similar manner, will force him to do good, even in spite of
himself. When such is the case, a mans good character is said to be established".

"Apabila seorang manusia secara terus menerus mendengarkan kata-kata buruk, berpikir buruk dan
bertindak buruk, pikirannya akan penuh dengan ide-ide buruk, dan ide-ide tersebut akan mempengaruhi
pikiran dan kerjanya tanpa ia menyadari keberadaannya. Ia akan menjadi seperti sebuah mesin di
tengah-tengah ide-idenya, dan mereka akan memaksanya untuk berbuat jahat, dan orang tersebut akan
menjadi orang jahat; apabila seorang manusia berpikir baik dan mengerjakan pekerjaan-pekerjaan baik,
total keseluruhan ide-idenya akan mendorongnya untuk berbuat baik. Apabila demikian halnya, karakter
manusia yang baik telah dibentuk." (Swami Vivekanada)
Hubungan Moral dan Ilmu Pengetahuan

Untuk menjelaskan keterkaitan moral dengan ilmu pengetahuan, perlu menjelaskan secara sistematis
dari penjabaran filsafat. Berdasarkan uraian konseptual pada bab sebelumnya bahwa filsafat, dapat
ditafsirakan, yaitu:

Pertama, filsafat adalah upaya spekulatif yang mengajarkan kepada kita untuk mencintai, kebijaksanaan,
kebenaran dan mengenal Tuhan (the speculative attempt to present a systematic and complete view of
all reality). Spekulatif adalah berdasarkan perkiraan-perkiraan atau berdasrkan dugaan-
dugaan/pandangan-pandangan, pemikiran yang telah terbentuk lebih dahulu tanpa mengetahui fakta-
fakta yang ada (bassed on guessing or on opinion that have been formed without knowing all the facts)
atau menunjukan upaya untuk menduga/memperkirakan sesuatu (showing that you are trying to gues
something). Teori adalah sekumpulan ide-ide yang teruji/sudah mapan yang ditujukan untuk
menjelaskan mengapa sesuatu itu terjadi (theory, a formal set of ideas that is intended to explain why
something happens orexists).

Kedua, filsafat adalah upaya untuk menjelaskan/menggambarkan kenyataan yang paling akhir dan nyata
(The attempt to describe the ultimate and real nature of reality). Ketiga, filsafat dapat juga didefinisikan
sebagai refleksi atas berbagai pengalaman manusia, atau sebagai upaya pengenalan masalah-masalah
yang berkaitan erat dengan kemanusiaan secara rasional, metodikal dan sistematis.

Setelah memberikan penegasan dari tafsiran atas filsafat tersebut, secara spesifik dari alat rasionalisasi
dari ilmu pengetahuan adalah logika. Secara etimologis, logika adalah istilah yang dibentuk dari kata
logikos yang berasal dari kata benda logos. Kata logos berarti sesuatu yang diutarakan, suatu
pertimbangan akal (pikiran), kata, percakapan, atau ungkapan lewat bahasa. Kata logikos berarti
mengenai kata, percakapan atau yang berkenaan dengan ungkapan lewat bahasa. Sebagai ilmu, logika
disebut logike episteme atau dalam bahasa latin disebut logica scientia yang berarti ilmu logika, namun
sekarang ini lazim disebut logika saja.

Secara defenisi, secara umum oleh para ahli mendefinisikan logika, antara lain: ada yang mengatakan
bahwa logika adalah ilmu dalam lingkungan filsafat yang membahas prinsip-prinsip dan hukum
penalaran yang tepat, ada yang menandaskan bahwa logika adalah ilmu pengetahuan (science) tetapi
sekaligus juga merupakan kecakapan atau keterampilan (art) untuk berpikir secara lurus, tepat dan
teratur; ada pula yang mengatakan bahwa logika adalah ilmu yang mempersoalkan prinsip-prinsip dan
aturan-aturan penalaran yang sahih (valid). Dari berbagai defenisi yang diuraikan oleh para ahli, Jan
Hendrik Rapar (1996:10), menyimpulkan bahwa logika adalah cabang filsafat yang mempelajari,
menyusun, mengembangkan, dan membahas asas-asas, aturan-aturan formal, prosedur-prosedur, serta
kriteria yang sahih bagi penalaran dan penyimpulan demi mencapai kebenaran yang dapat
dipertanggungjawabkan secara rasional.

Menurut W. Poespoprodjo (1985:2), kata logika berasal dari bahasa Yunani logos yang digunakan dalam
beberapa arti, seperti: ucapan, bahasa, kata, pengertian, pikiran, akal budi, ilmu. Dari pemaparan
secara etimologi tentang logika tersebut kemudian diturunkan kata sifat logis yang sudah sangat sering
terdengar dalam percakapan kita sehari-hari. Misalnya: Orang berbicara tentang perilaku yang tidak
logis, tentang tata cara yang logis, tentang penjelasan yang logis, tentang jalan pikiran yang logis, dan
sejenisnya. Dalam semua kasus itu, kata logis digunakan dalam arti yang kurang lebih sama dengan
masuk akal atau singkatnya, segala sesuatu yang sesuai dengan dan dapat diterima oleh akal sehat.

Logika merupakan sebuah ilmu pengetahuan dimana obyek materialnya adalah berpikir (khususnya
penalaran/proses penalaran) dan obyek formal logika adalah berpikir/penalaran yang ditinjau dari segi
ketepatannya. Menurut Irving M. Copi (Review: Introduction to Logic oleh Donald Kalish, 1964:92), logika
didefinisikan sebagai suatu studi tentang metode-metode dan prinsip-prinsip yang digunakan dalam
membedakan penalaran yang tepat dari penalaran yang tidak tepat. Tetapi definisi ini pun tidak
bermaksud untuk mengatakan bahwa seseorang dengan sendirinya mampu menalar atau berpikir secara
tepat hanya jika ia mempelajari logika.
Namun di lain pihak, harus juga diakui bahwa orang yang telah mempelajari logika jadi sudah memiliki
pengetahuan mengenai metode-metode dan prinsip-prinsip berpikir, mempunyai kemungkinan lebih
besar untuk berpikir secara tepat bila dibandingkan dengan orang yang sama sekali tidak pernah
berkenalan dengan prinsip-prinsip dasar yang melandasi setiap kegiatan penalaran. Dengan kata lain,
logika tidak hanya menyangkut soal pengetahuan, melainkan juga soal kemampuan atau keterampilan.
Kedua aspek ini berkaitan erat satu dengan yang lain.

Pengetahuan mengenai metode-metode dan prinsip-prinsip berpikir harus dimiliki bila seseorang ingin
melatih kemampuannya dalam berpikir, dan sebaliknya, seseorang hanya bisa mengembangkan
keterampilannya dalam berpikir bila ia sudah menguasai metode-metode dan prinsip-prinsip berpikir.
Antara keduanya terdapat kaitan yang saling melengkapi satu sama lainnya dalam proses pemikiran yang
logis.

Keterampilan berpikir harus terus-menerus dilatih dan dikembangkan dan untuk itu, mempelajari logika
secara akademis, khususnya logika formal sambil tetap menekuni latihan-latihan secara serius. Dengan
cara ini, seseorang lambat laun diharapkan mampu untuk mengenali setiap bentuk kesesatan berpikir,
termasuk kesesatan berpikir yang dilakukannya sendiri.

Berdasarkan uraian di atas dapat dikerucutkan keterkaitan atau relasi moral dengan ilmu pengetahuan
ketika berbicara pada pelacakan dimensi masyarakat, proses pembentukan ilmu pengetahuan, dan
keputusan (produk) dari hasil pengembangan ilmu pengetahuan. Segala rangkaian dari setiap dimensi
tersebut tentu menunjukan suatu tindakan dan pernyataan dari setiap masyarakat ilmiah yang mengeluti
ilmu pengetahuan. Masyarakat ilmiah ini berdasarkan paradigma revolusi sains dalam mengembangakan
ilmu pengetahuan tentu mempertimbangkan segala nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat.
Nilai-nilai yang dimaksud yaitu nilai moral. Moral ini merupakan wujud baik atau buruknya suatu
tindakan/pernyataan bagi setiap masyarakat ilmiah.
Ranah pertimbangan moralitas dalam pengembangan ilmu pengetahuan yaitu ditekankan pada etika
penelitian. Karena penelitian merupakan salah satu rangkaian dari proses pengembangan ilmu
pengetahuan. Terlepas dari keragaman perspektif atas Etika penelitian. Etika penelitian ini untuk
memberikan penekanan validitas (kesahihan data), reliability agar tidak merongrong wibawa keilmuan,
apriori dari masyarakat ilmiah, dan meragukan bagi masyarakat pengguna, merugikan objek, dan rasa
bersalah bagi peneliti itu sendiri (dalam kerangka pahaman pengembangan ilmu pengetahuan).
Karenanya, keterkaitan moral dengan ilmu pengetahuan terhubungkan pada kajian tentang etika filsafat
ilmu, etika bermetodologi, etika bermasyarakat ilmiah, etika sebagai subjek, etika terhadap objek, serta
etika berpenelitian bagi peneliti

You might also like