Professional Documents
Culture Documents
PERDARAHAN INTRASEREBRAL
OLEH:
Nurul Syammimi Fatin bt Junit
C111 11 872
Pembimbing:
Supervisor :
1
LEMBAR PENGESAHAN
Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian neurologi Fakultas
kedokteran Universitas Hasanuddin
2
BAB I
PENDAHULUAN
Perdarahan intraserebral (PIS) adalah disfungsi neurologi fokal yang akut dan
disebabkan oleh perdarahan primer substansi otak yang terjadi secara spontan, bukan oleh
karena trauma kapitis, disebabkan oleh karena pecahnya pembuluh arteri, vena dan kapiler.
Perdarahan intraserebral merupakan 10% dari semua jenis stroke, tetapi persentase kematian
leih tinggi disebabkan oleh stroke. Sekitar 60% terjadi di putamen dan kapsula interna, dan
masing-masing 10% pada substansia alba, batang otak, serebelum dan talamus. Pada usia 60
tahun, PIS lebih sering terjadi dibandingkan subarachnoid hemorrhage (PSA). (1)
Perdarahan intraserebral paling sering terjadi ketika tekanan darah tinggi kronis
sehingga melemahkan arteri kecil dan menyebabkannya robek. Penggunakan kokain atau
amfetamin dapat menyebabkan tekanan darah tinggi dan perdarahan sementara. Pada
beberapa orangtua, sebuah protein abnormal yang disebut amiloid terakumulasi di arteri otak.
Akumulasi ini (disebut angiopati amiloid) melemahkan arteri dan dapat menyebabkan
perdarahan.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
B. EPIDEMIOLOGI
4
C. ANATOMI
Otak terdiri dari sel-sel otak yang disebut neuron, sel-sel penunjang yang
dikenal sebagai sel glia, cairan serebrospinal, dan pembuluh darah. Semua orang memiliki
jumlah neuron yang sama sekitar 100 miliar, tetapi koneksi di antara neuron berbeda-
beda. Pada orang dewasa, otak membentuk hanya sekitar 2% (sekitar 1,4 kg) dari berat
tubuh total, tetapi mengkonsumsi sekitar 20% oksigen dan 50% glukosa yang ada di
dalam darah arterial. (6)
Otak harus menerima lebih kurang satu liter darah per menit, yaitu sekitar
15% dari darah total yang dipompa oleh jantung saat istirahat agar berfungsi normal. Otak
mendapat darah dari arteri. Yang pertama adalah arteri karotis interna yang terdiri dari
arteri karotis (kanan dan kiri), yang menyalurkan darah ke bagian depan otak disebut
sebagai sirkulasi arteri cerebrum anterior. Yang kedua adalah vertebrobasiler, yang
mengalirkan darah ke bagian belakang otak disebut sebagai sirkulasi arteri cerebrum
posterior. Selanjutnya sirkulasi arteri cerebrum anterior bertemu dengan sirkulasi arteri
cerebrum posterior membentuk suatu sirkulus willisi. (6)
D. ETIOLOGI
1. Hipertensi
Cerebral Amyloid Angiopathy adalah suatu perubahan vaskular yang unik ditandai
oleh adanya deposit amiloid di dalam tunika media dan tunika adventisia pada arteri
kecil dan arteri sedang di hemisfer serebral. Arteri-arteri yang terkena biasanya adalah
arteri-arteri kortikal superfisial dan arteri-arteri leptomening. Sehingga perdarahan
lebih sering di daerah subkortikal lobar berbanding daerah basal ganglia. Deposit
amiloid menyebabkan dinding arteri menjadi lemah sehingga pecah dan terjadi
perdarahan intraserebral. Di samping hipertensi, amyloid angiopathy dianggap faktor
penyebab kedua terjadinya perdarahan intraserebral pada penderita lanjut usia.
Kelainan ini khas dengan deposit fibril amiloid pada media dan intima arteria ukuran
kecil dan sedang pada otak dan leptomening pasien lanjut usia. Perdarahan itu
mungkin disebabkan karena robeknya dinding pembuluh yang lemah atau
mikroaneurisma. Angiopati amiloid serebral tidak berhubungan dengan angiopati
amiloid sistemik dan terjadi sporadis, namun hubungan famili pernah dilaporkan.
Hubungan dengan Alzheimer dipostulasikan karena plak dijumpai pada lebih dari 50
% kasus dan 1030 % pasien menunjukkan demensia progresif. Berbeda dengan
6
perdarahan hipertensif, ia mempunyai predileksi pada lapisan superfisial dari korteks
serebral, terutama pada lobus parietal dan oksipital, dan jarang tampak pada substansi
putih atau abu-abu dalam. Perdarahan spontan berganda pada pasien lanjut usia
normotensif lebih mungkin karena angiopati amiloid. Perdarahan berulang sering
pada kasus yang operatif maupun nonoperatif. (8)
E. PATOFISIOLOGI
7
Kasus PIS umumnya terjadi di kapsula interna (70 %), di fossa
posterior (batang otak dan serebelum) 20 % dan 10 % di hemisfer (di luar kapsula
interna). Gambaran patologik menunjukkan ekstravasasi darah karena robeknya
pembuluh darah otak dan diikuti adanya edema dalam jaringan otak di sekitar
hematom. Akibatnya terjadi diskontinuitas jaringan dan kompresi oleh hematom dan
edema pada struktur sekitar, termasuk pembuluh darah otak dan penyempitan
atau penyumbatannya sehingga terjadi iskemia pada jaringan yang dilayaninya, maka
gejala klinis yang timbul bersumber dari destruksi jaringan otak, kompresi pembuluh
darah otak / iskemia dan akibat kompresi pada jaringan otak lainnya.(4)
F. GEJALA KLINIS
Secara umum gejala klinis PIS merupakan gambaran klinis akibat akumulasi
darah di dalam parenkim otak. PIS khas terjadi sewaktu aktivitas, onset pada saat tidur
sangat jarang. Perjalanan penyakitnya, sebagian besar (37,5-70%) per akut. Biasanya
disertai dengan penurunan kesadaran. Penurunan kesadaran ini bervariasi frekuensi dan
derajatnya tergantung dari lokasi dan besarnya perdarahan tetapi secara keseluruhan
minimal terdapat pada 60% kasus. Dua pertiganya mengalami koma, yang dihubungkan
dengan adanya perluasan perdarahan ke arah ventrikel, ukuran hematomnya besar dan
prognosisnya jelek. Sakit kepala hebat dan muntah yang merupakan tanda peningkatan
tekanan intrakranial dijumpai pada PIS, tetapi frekuensinya bervariasi. Tetapi hanya 36%
kasus yang disertai dengan sakit kepala,namun kasus yang disertai muntah didapati pada
44% kasus. Jadi tidak adanya sakit kepala dan muntah tidak menyingkirkan PIS,
sebaliknya bila dijumpai akan sangat mendukung diagnosis PIS atau perdarahan
subarakhnoid sebab hanya 10% kasus stroke oklusif disertai gejala tersebut. Kejang
jarang dijumpai pada saat onset PIS. (5)
G. PEMERIKSAAN FISIK
8
sistemik seperti hipertrofi ventrikel kiri dan retinopati hipertensif. Pemeriksaan fundus
okuli pada kasus yang diduga PIS mempunyai tujuan ganda yaitu mendeteksi adanya
tanda-tanda retinopati hipertensif dan mencari adanya perdarahan subhialoid (adanya
darah di ruang preretina, yang merupakan tanda diagnostik perdarahan subarakhnoid)
yang mempunyai korelasi dengan ruptur aneurisma. Gerakan mata, pada perdarahan
putamen terdapat deviation conjugae kerah lesi, sedang pada perdarahan nukleus
kaudatus terjadi kelumpuhan gerak horisontal mata dengan deviation conjugae ke arah
lesi. Perdarahan thalamus akan berakibat kelumpuhan gerak mata atas (upward gaze
palsy), jadi mata melihat ke bawah dan kedua mata melihat ke arah hidung. Pada
perdarahan pons terdapat kelumpuhan gerak horisontal mata dengan ocular bobbing. (5)(6)
Pada perdarahan putamen, reaksi pupil normal atau bila terjadi herniasi unkus
maka pupil anisokor dengan paralisis N. III ipsilateral lesi. Perdarahan di thalamus akan
berakibat pupil miosis dan reaksinya lambat. Pada perdarahan di mesensefalon, posisi
pupil di tengah, diameternya sekitar 4-6 mm, reaksi pupil negatif. Keadaan ini juga sering
dijumpai pada herniasi transtentorial. Pada perdarahn di pons terjadi pinpoint pupils
bilateral tetapi masih terdapat reaksi, pemeriksaannya membutuhkan kaca pembesar. (5)(6)
1. Putaminal Hemorrhage
10
Gambar Perdarahan Putaminal6
2. Thalamic Hemorrhage
3. Perdarahan Pons
11
ialah onset yang tiba-tiba dan terjadi koma yang dalam dengan defisit neurologik
bilateral serta progresif dan fatal. Perdarahan ponting paling umum menyebabkan
kematian dari semua perdarahan otak. Bahkan perdarahan kecil segera menyebabkan
koma, pupil pinpoint (1 mm) namun reaktif, gangguan gerak okuler lateral, kelainan
saraf kranial, kuadriplegia, dan postur ekstensor. Nyeri kepala, mual dan muntah
jarang.6
4. Perdarahan Serebelum
Lokasi yang pasti dari tempat asal perdarahan di serebelum sulit diketahui.
Tampaknya sering terjadi di daerah nukleus dentatus dengan arteri serebeli superior
sebagai suplai utama. Perluasan perdarahan ke dalam ventrikel IV sering terjadi pada
50% dari kasus perdarahan di serebelum. Batang otak sering mengalami kompresi dan
distorsi sekunder terhadap tekanan oleh gumpalan darah. Obstruksi jalan keluar cairan
serebrospinal dapat menyebabkan dilatasi ventrikel III dan kedua ventrikel lateralis
sehingga dapat terjadi hidrosefalus akut dan peningkatan tekanan intrakranial dan
memburuknya keadaan umum penderita. Kematian biasanya disebabkan tekanan dari
hematoma yang menyebabkan herniasi tonsil dan kompresi medula spinalis.(6)
12
klinis. Umumnya perjalanan pasien lebih ganas dan tampil dengan oftalmoplegia
total, arefleksia, dan kuadriplegia flaksid. (6)
Pada pasien koma, diagnosis klinis perdarahan serebeler lebih sulit karena
disfungsi batang otak berat. Dari pasien koma, 83 % dengan oftalmoplegia eksternal
yang lengkap, 53 % dengan irreguleritas pernafasan, 54 % dengan kelemahan fasial
ipsilateral. Pupil umumnya kecil; tak ada reaksi pupil terhadap sinar pada 40 %
pasien.
5. Perdarahan Lober
13
I. DIAGNOSIS
Cara yang paling akurat untuk mendefinisikan stroke hemoragik dengan stroke
non hemoragik adalah dengan CT scan tetapi alat ini membutuhkan biaya yang besar
sehingga diagnosis ditegakkan atas dasar adanya suatu kelumpuhan gejala yang dapat
membedakan manifestasi klinis antara perdarahan infark.(5)
CT-scan adalah suatu pemeriksaan penunjang yang efektif bagi pasien dengan kecurigaan
perdarahan intraserebral untuk mengetahui lokasi,tempat, arah penyebaran perdarahan. (5)
Pemeriksaan Penunjang
Kimia darah
Lumbal punksi
EEG
CT scan
Volume darah pada perdarahan intraserebral bisa dihitung menggunakan rumus
Broderick :
(Panjang lesi x Lebar lesi x jumlah slice yang ada lesi) / 2
Arteriografi
J. KOMPLIKASI
o Stroke hemoragik
pengobatan untuk :
14
3. Pengontrolan terhadap edema serebral
4. Pencegahan kejang
Walau begitu pasien sering tetap dengan defisit neurologis yang jelas. Pasien
memperlihatkan tanda-tanda herniasi unkus memerlukan evakuasi yang sangat segera dari
hematoma. Angiogram memungkinkan untuk menemukan kelainan vaskuler. Adalah
sangat serius untuk memikirkan pengangkatan PIS yang besar terutama bila ia bersamaan
15
dengan hipertensi intrakranial yang menetap dan diikuti atau telah terjadi defisit
neurologis walau telah diberikan tindakan medis maksimal.
Saat pasien datang atau berkonsultasi, evaluasi dan pengelolaan awal harus
dilakukan bersama tanpa penundaan yang tidak perlu. Pemeriksaan neurologis inisial
16
dapat dilakukan dalam 10 menit, harus menyeluruh. Informasi ini untuk memastikan
prognosis, juga untuk membuat rencana tindakan selanjutnya. Pemeriksaan neurologis
serial harus dilakukan.
Gas darah arterial diperiksa untuk menilai oksigenasi dan status asam-basa.
Bila jalan nafas tidak dapat dijamin, atau diduga suatu lesi massa intrakranial pada pasien
koma atau obtundan, dilakukan intubasi endotrakheal. Cegah pemakaian agen anestetik
yang akan meninggikan TIK seperti oksida nitro. Agen anestetik aksi pendek lebih
disukai. Bila diduga ada peninggian TIK, dilakukan hiperventilasi
untuk mempertahankan PCO2 sekitar 25-30 mmHg, dan setelah kateter Foley terpasang,
diberikan mannitol 1,5 g/kg IV. Tindakan ini juga dilakukan pada pasien dengan
perburukan neurologis progresif seperti perburukan hemiparesis, anisokoria progresif,
atau penurunan tingkat kesadaran. Dilakukan elektrokardiografi, dan denyut nadi
dipantau.
Darah diambil saat jalur intravena dipasang. Hitung darah lengkap, hitung
platelet, elektrolit, nitrogen urea darah, creatinin serum, waktu protrombin, waktu
tromboplastin parsial, dan tes fungsi hati dinilai. Foto polos dilakukan bila perlu.
17
Setelah penilaian secara cepat dan stabilisasi pasien, dilakukan CT-scan kepala
tanpa kontras. Sekali diagnosis PIS ditegakkan, pasien dibawa untuk mendapatkan
pemeriksaan radiologis lain yang diperlukan, ke unit perawatan intensif, kamar operasi
atau ke bangsal, tergantung status klinis pasien, perluasan dan lokasi perdarahan, serta
etiologi perdarahan. Sasaran awal pengelolaan adalah pencegahan perdarahan ulang dan
mengurangi efek massa, sedang tindakan berikutnya diarahkan pada perawatan medikal
umum serta pencegahan komplikasi.9
1. Elevasi kepala higga 30o untuk mengurangi volume vena intrakranial serta
memperbaiki drainase vena.
18
2. Manitol intravena (mula-mula 1,5 g/kg bolus, lalu 0,5 g/kg tiap 4-6 jam
untuk mempertahankan osmolalitas serum 295-310 mOsm/L).
3. Restriksi cairan ringan (67-75% dari pemeliharaan) dengan penambahan bolus cairan
koloid bila perlu.
Pada pasien sadar dengan efek massa regional akibat PIS, peninggian kepala,
restriksi cairan, dan manitol biasanya memadai. Tindakan ini dilakukan
untuk memperbaiki tekanan perfusi serebral dan mengurangi cedera iskemik sekunder.
Harus ingat bahwa tekanan perfusi serebral adalah sama dengan tekanan darah arterial
rata-rata dikurangi tekanan intrakranial, hingga tekanan darah sistemik harus
dipertahankan pada tingkat normal, atau lebih disukai sedikit lebih tinggi dari tingkat
normal. Diusahakan tekanan perfusi serebral setidaknya 70 mmHg, bila perlu memakai
vasopresor seperti dopamin intravena atau fenilefrin. (9)
Perawatan Umum
19
Pasien dengan perdarahan intraventrikuler atau kombinasi dengan perdarahan
subarakhnoid atau parenkhimal akibat robeknya aneurisma nimodipin diberikan 60 mg
melalui mulut atau NGT setiap 4 jam. Belum ada bukti pemberian intravena lebih baik.
Namun penggunaan pada PIS non-aneurismal belum pasti. (9)
Antikonvulsan lain seperti fenobarbital (60 mg/IV atau oral, dua kali sehari,
kadar terapeutik darah 20-40 g/ml) dan Carbamazepin (200 mg oral, 3-4 kali sehari,
kadar terapeutik 4-12 g/ml). Kejang bisa bersamaan dengan peninggian dramatik TIK
dan tekanan darah sistemik, yang dapat menyebabkan perdarahan, karenanya harus
dicegah. Selain itu hipoksia dan asidosis sering tampak selama aktifitas kejang, potensial
untuk menambah cedera otak sekunder. (9)
Pengelolaan metabolik yang baik diperlukan pada pasien dengan PIS. Status
cairan, elektrolit serum, dan fungsi renal harus ditaksir berulang, terutama pada pasien
dengan restriksi cairan, mendapat manitol atau diuretika lain, atau tidak makan. Nutrisi
memadai adalah esensial. (9)
Penggunaan manitol
20
klien menurunkan peningkatan tekanan intrakranial. Manitol selalu dipakai untuk terapi
edema otak, khususnya pada kasus dengan Hernisiasi. Manitol masih merupakan obat
untuk menurunkan tekanan intrakranial, tetapi jika hanya digunakan sebagai mana
mestinya. Bila tidak semestinya akan menimbulkan toksisitas dari pemberian manitol,
dan hal ini harus dicegah dan dimonitor. (9)(10)
Obat Neuroprotektor :
21
Indikasi : Kemunduran daya pikir, astenia, gangguan adaptasi, gangguan reaksi
psikomotor. Alkoholisme kronik dan adiksi. Disfungsi serebral sehubungan
dengan akibat pasca trauma.
Efek samping : Keguguran, mudah marah, sukar tidur, gelisah, gemetar, agitasi,
lelah, gangguan GI, mengantuk.
Rencana edukasi :
Oleh karena efek piracetam pada agregasi platelet, peringatan harus diberikan
pada penderita dengan gangguan hemostatis atau perdarahan hebat.
2. Injeksi Citicoline
Dosis : Gangguan kesadaran karena cedera kepala atau operasi otak 100-500 mg 1-
2x/hari secara IV drip atau injeksi. Gangguan kesadaran karena infark serebral 1000
mg 1x/hari secara injeksi IV. Hemiplegia apopleksi 1000 mg 1x/hari secara oral atau
injeksi IV.
22
Pemberian obat : berikan pada saat makan atau di antara waktu makan.
Mekanisme kerja :
OPERASI (3)
Untuk menentukan pasien mana yang harus di operasi adalah suatu masalah
yang sulit. Ada beberapa pandangan yang dapat dijadikan patokan / pedoman :
Dari seluruh penderita PISH hanya sedikit kasus yang harus di operasi
Kriteria memilih pasien untuk operasi harus ketat dan sesuai dengan norma-
norma kemanusiaan. Harapan terhadap hasil tindakan operasi harus terfokus
terhadap quality of survival yang dapat diterima oleh pasien, keluarganya dan
masyarakat.
23
Burr hole aspiration adalah suatu teknik dalam situasi gawat darurat. Tindakan ini
sudah lama ditinggalkan.
3. Kraniotomi
Jarak terdekat antara hematoma dan permukaan korteks biasanya merupakan
pedoman yang baik untuk menentukan tempat kraniotomi. Insisi diatas korteks
motoric hendaknya dicegah. Untuk suatu hematoma yang berada di dekat korteks
motorik hendaknya mempertimbangkan approach dari anterior frontal , temporal atau
parietal. Kaneko dan kawan-kawan 2 menggunakan teknik bedah mikro untuk
mengeluarkan hematoma didaerah insula. Mereka membuat insisi kecil di girus
temporalis anterior superior lalu menampakkan insula. Suzuki dan Takaku1
menggunakan teknik bedah mikro melalui insisi transtemporal / transsylvian untuk
meng approach hematoma di daerah putamen. Dalam 459 kasus intracerebral
hemorrhage ; 305 nonsurgikal , 154 surgikal , Kanno dan kawan-kawan, tidak
menemukan perbedaan yang bermakna dalam outcome antara pasien yang di operasi
dan pasien yang menerima medikamentosa . The international surgical trial in
intracerebral hemorrhage melakukan pilihan acak terhadap 1033 pasien dalam kurun
waktu 72 jam setelah terjadi onset. Rata-rata operasi dilakukan dalam waktu 20 jam
setelah onset. Kriteria keberhasilan didasarkan atas usia, volume hematoma dan skor
Skala Koma Glasgow. Tidak ada perbedaan yang bermakna antara kelompok operatif
dan nonoperatif didalam outcome dan mortalitas.
L. PROGNOSIS
Perdarahan yang besar jelas mempunyai morbiditas dan mortalitas yang tinggi.
diperkirakan mortalitas seluruhnya berkisar 26-50%. Mortalitas secara dramatis
meningkat pada perdarahan talamus dan serebelar yang diameternya lebih dari 3 cm, dan
pada perdarahan pons yang lebih dari 1 cm. Untuk perdarahan lobar mortalitas berkisar
dari 6-30 %. Bila volume darah sesungguhnya yang dihitung (bukan diameter
25
hematomnya), maka mortalitas kurang dari 10% bila volume darahnya kurang dari 20
mm3 dan 90% bila volume darahnya lebih dari 60 mm3.
26
BAB III
KESIMPULAN
Perdarahan intraserebral (PIS) adalah perdarahan fokal dari pembuluh darah dalam
parenkim otak. Penyebabnya biasanya hipertensi kronis. Gejala umum termasuk defisit
neurologis fokal, seringkali dengan onset mendadak sakit kepala, mual, dan penurunan
kesadaran. Kebanyakan perdarahan intraserebral juga dapat terjadi ganglia basal, lobus otak,
otak kecil, atau pons. Perdarahan intraserebral juga dapat terjadi di bagian lain dari batang
otak atau otak tengah. Aada sindroma utama yang menyertai stroke hemoragik menurut
Smith dapat dibagi menurut tempat perdarahannya yaitu putaminal hemorrhage, thalamic
hemorrhage, pontine hemorrhage, cerebellar hemorrhage, lobar hemorrhage.
Prognosis bervariasi tergantung dari keparahan stroke, lokasi dan volume perdarahan.
Semakin rendah nilai GCS, maka prognosis semakin buruk dan tingkat mortalitasnya tinggi.
27
Semakin besar volume perdarahan maka prognosis semakin buruk. Dan adanya darah di
dalam ventrikel berhubungan dengan angka mortalitas yang tinggi. Adanya darah di dalam
ventrikel meningkatkan angka kematian sebanyak 2 kali lipat.
DAFTAR PUSTAKA
1. Jody Corey-Bloom, Ronald B. David . Clinical Adult of Neurology 3 rd ed. New York :
Demosmedical: 2009 .p. 270-279.
6. Baehr M, Frotscher M. Duus : Topical Diagnosis in Neurology. 4th revised edition. New
York : Thieme. 2005 .p.417-479.
28
9. Fred Rincon, Stephan A Mayer : Critical care management of spontaneous intracerebral
hemorrhage. Vol 12, December 2008, 1-15.
10. Ramandeep Sahni, Jesse Weinberger : Management of intracerebral hemorrhage. Vol 3,
2007, 701-709
11. Adnan I. Qureshi, Stanley Tuhrim,Joseph P. Broderick,H. Hunt Batjer, Hideki Hondo,
Daniel F. Hnley: : Perdarahan Intraserebral Spontan. NEJM, Volume 344:1450-1460 Mei
10, 2001, Nomer 19
29