You are on page 1of 24

DAFTAR HALAMAN

DAFTAR HALAMAN...............................................................................................................1
BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................................2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA................................................................................................3
A. Anatomi............................................................................................................................3
B. Definisi.............................................................................................................................4
C. Epidemiologi....................................................................................................................5
D. Etiologi.............................................................................................................................6
E. Patofisiologi.....................................................................................................................7
F. Manifestasi Klinis..........................................................................................................11
G. Diagnosis........................................................................................................................14
H. Penatalaksanaan.............................................................................................................16
I. Pencegahan.....................................................................................................................20
J. Prognosis........................................................................................................................21
BAB III KESIMPULAN..........................................................................................................22
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................................23

1
BAB I

PENDAHULUAN

Neuralgia pascaherpetika didefi nisikan sebagai nyeri yang terus berlangsung


selama 3 bulan setelah lesi herpes zoster sembuh, atau nyeri yang terus berlangsung
selama 120 hari sejak timbulnya lesi herpes zoster. Dari data yang ada, disimpulkan
bahwa 10-25% pasien herpes zoster akan mengalami neuralgia pascaherpetika dan
kebanyakan pada pasien berusia lanjut. Neuralgia pascaherpetika dapat berlangsung
terus-menerus selama bertahun-tahun dan dapat sangat mengganggu kualitas hidup,
antara lain mengganggu tidur dan kegiatan seharihari sehingga mengganggu
produktivitas pasien. Banyak penelitian menyimpulkan bahwa neuralgia
pascaherpetika dapat diprediksi, sehingga dapat dicegah agar nyeri dapat
diminimalkan atau tidak terjadi. Tulisan ini membahas patogenesis neuralgia
pascaherpetika, faktor-faktor yang mempengaruhi kejadiannya, cara pencegahan, dan
terapi yang tersedia untuk memperbaiki kualitas hidup pasien.

Herpes zoster adalah infeksi virus yang biasanya timbul sebagai infeksi
varicella pada masa anak-anak. Penyebabnya adalah human herpes virus-3 (HHV-3)
atau yang biasa disebut virus Varicella zoster (VZV). Selama fase akut, virus
menyerang sistem nervus sensoris yang kemudian menetap di daerah genital,
trigeminal, atau ganglia radiks dorsalis dan sisanya bisa dorman untuk waktu yang
lama bahkan sampai tahunan. Seiring bertambahnya umur dan penurunan sistem imun
tubuh, virus akan teraktivasi kembali dan menyebabkan terjadinya erupsi seperti lesi
herpes zoster. Walaupun eritema akut telah berkurang dan bahkan menghilang, nyeri
bisa menetap atau berulang pada daerah bekas lesi herpes zoster. Kondisi ini biasa
disebut sebagai neuralgia post herpetic (PHN). Nyeri merupakan salah satu keluhan
terbanyak yang ditemukan pada pelayanan kesehatan primer. Nyeri pada PHN
menjadi sangat penting karena sangat mempengaruhi kualitas hidup penderita.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

POST HERPETIC NEURALGIA

A. ANATOMI

Saraf trigeminal atau saraf kranial ke 5 terutama memberi persarafan pada


kulit muka, konjungtiva dan kornea, mukosa dari hidung, sinus-sinus dan bagian
frontal dari rongga mulut, juga sebagian besar dari duramater. Saraf ini keluar dari
bagian lateral pons berupa akar saraf motoris dan saraf sensoris. Akar saraf yang
lebih kecil, yang disebut juga portio minor nervi trigemini, merupakan akar saraf
motoris. Berasal dari nukleus motoris dari saraf trigeminal dibatang otak terdiri
dari serabut-serabut motoris, terutama mensarafi otot-otot pengunyah.

Dalam perjalanannya akar saraf ini melalui ganglion disebelah medial dari
akar sensoris yang jauh lebih besar, sebelum bergabung dengan saraf mandibularis
pada saat melalui foramen ovale dari os. Sphenoid. Akar sensoris saraf trigeminal
yang lebih besar disebut dengan portio major nervi trigemini yang memberi
penyebaran serupa dengan akar-akar saraf dorsalis dari saraf spinal. Akar-akar
saraf sensoris ini akan melalui ganglion trigeminal ( ganglion gasseri ) dan dari
sini keluar tiga cabang saraf tepi yaitu cabang optalmikus, cabang maksilaris dan
cabang mandibularis.

Cabang pertama yaitu saraf optalmikus berjalan melewati fissura orbitalis


superior dan memberi persarafan sensorik pada kulit kepala mulai dari fissura
palpebralis sampai bregma ( terutama dari saraf frontalis ) dan suatu cabang yang
lebih kecil ke bagian atas dan medial dari dorsum nasi. Konjungtiva, kornea dan
iris, mukosa dari sinus frontalis dan sebagian dari hidung, juga sebagian dari
duramater dan pia-arakhnoid juga disarafi oleh serabut, saraf sensoris dari saraf
ophtalmikus. Cabang kedua, yaitu saraf maksilaris memasuki fossa
pterygopalatina melalui foramen maksilaris superior memberikan cabang saraf
zygomatikus yang menuju ke orbita melewati fissura orbitalis inferior. Batang
utamanya yaitu saraf infra orbitalis menuju ke dasar orbita melewati fissura yang
sama. Sewaktu keluar dari foramen infra orbitalis, saraf ini terbagi menjadi

3
beberapa cabang yang menyebar di permukaan maksila bagian atas dari wajah
bagian lateral dari hidung dan bibir sebelah atas. Sebelum keluar dari foramen
infra orbitalis, didapat beberapa cabang yang mensarafi sinus maksilaris dan gigi-
gigi molar dari rahang atas, ginggiva dan mukosa mulut yang bersebelahan.
Cabang yang ketiga, merupakan cabang yang terbesar yaitu saraf mandibularis.
Saraf ini keluar dari rongga kepala melalui foramen ovale dari os sphenoid, selain
terdiri dari akar-akar saraf motoris dari saraf trigeminal, juga membawa serabut-
serabut sensoris untuk daerah buccal, ke rahang bawah dan bagian depan dari
lidah, gigi mandibularis, ginggiva. Cabang aurikulo temporalis yang memisahkan
diri sejak awal, mensarafi daearah didepan dan diatas daun telinga maupun meatus
akustikus eksternus dan membrana tympani.

Serabut serabut sensoris untuk duramater yang merupakan cabang cabang


dari ketiga bagian saraf trigeminal berperan dalam proyeksi rasa nyeri yang
berasal dari intrakranial. Terdapat hubungan yang erat dari saraf trigeminal dengan
saraf otonomik/simpatis, dimana ganglia siliaris berhubungan dengan saraf
ophtalmikus, ganglion pterygopalatina dengan saraf maksilaris sedangkan
ganglion otikus dan submaksilaris berhubungan dengan cabang mandibularis.

B. DEFINISI

Nyeri kepala merupakan keluhan utama yang paling sering dijumpai dalam
praktek sehari hari dan salah satunya dapat disebabkan oleh karena gangguan
pada cabang saraf no 5 yaitu Nervus Trigeminus. Gangguan tersebut dikenal
dengan penyakit Neuralgia Trigeminal atau dikenal dengan istilah lain Tic
Douloureux yang berupa adanya keluhan serangan nyeri hebat diwajah salah satu
sisi yang berulang dan dapat berlangsung dalam beberapa detik sampai menit.
Narasi pertama yang dicatat adalah oleh seorang doker dari Jerman Johanes
Laurentius Bausch pada tahun 1671 yang mengalami nyeri disisi kanan wajahnya
sehingga dia tidak bisa berbicara dan makan dan akhirnya mengalami malnutrisi.
Kemudian istilah Tic Douloureux digunakan oleh seorang dokter dari Perancis
Nicolaus Andre pada tahun 1756.

Neuralgia paska herpetika adalah suatu kondisi nyeri yang menetap dalam
jangka waktu yang lama yaitu dapat berbulan-bulan dan bertahun-tahun sebagai
hasil reaktivasi dari infeksi virus Varicella zoster pada penyakit herpes zoster.

4
Definisi lain mengatakan neuralgia paska herpetika (NPH) merupakan rasa nyeri
yang persisten selama lebih dari 3 bulan setelah lesi vesikular pada kulit pecah
menjadi krusta dan ruam sudah menghilang. Herpes zoster berasal dari bahasa
Latin yaitu cingulum yang berarti korset atau ikat pinggang. Hal ini disebabkan
karena bentuk klinis dari penyakit ini bersifat unilateral dan melingkari tubuh
seperti korset. Zoster sendiri berarti ikat pinggang yang biasa digunakan oleh
tentara di Yunani dahulu kala.

Neuralgia pasca herpes didefinisikan sebagai nyeri yang dirasakan ditempat


penyembuhan ruam, terjadi sekitar 9-15% pasien herpes zoster yang tidak diobati.
Dan pada pasien yang berumur tua memiliki resiko yang lebih tinggi. Herpes
Zoster dikenal pula sebagai shingles dapat menginfeksi sistem saraf dengan
reaktivasi dari virus ini. Infeksi ini menimbulkan erupsi kulit sepanjang distribusi
dermatomal yang terkena. Fenomena nyeri yang timbul dikenal sebagai neuralgia
paska herpetika. Biasanya gangguan sensorik dikarakteristikan sebagai nyeri
radikular dengan rasa terbakar, gatal, dan dapat sangat mengganggu kehidupan
penderitanya. Reaktivasi virus ini biasanya terjadi pada orang tua dan penderita
dengan imunitas menurun seperti pada kasus transplantasi organ atau kemoterapi
untuk kanker dan penderita HIV.

C. EPIDEMIOLOGI

Kejadian neuralgia post herpetika berkisar antara 8-15%. Di Amerika Serikat,


neuralgia post herpetika merupakan penyebab nyeri neuropati tersering setelah
low back pain dan neuropatik diabetic. Insidens penyakit ini 73% terjadi pada usia
di atas 70 tahun, 47% di atas 60 tahun, 27% pada usia di atas 55 tahun dan hanya
2% yang berkembang pada usia di bawah 50 tahun. Jenis kelamin yang terbanyak
adalah perempuan. Pasien dengan Herpes Zoster, 20% akan menetap dan
berkelanjutan menderita persisten neuropatik. Penelitian lainnya mendapatkan
bahwa riwayat keluarga menderita Herpes zoster juga merupakan faktor resiko
terjadinya PHN.

Dalam studi potong lintang oleh Hicks at al pada 504 pasien dan 523 kontrol,
ditemukan bahwa pasien yang menderita herpes zoster banyak yang memiliki
hubungan darah dibandingkan kontrol (39% vs 11%, p<0,001). Resiko tinggi pada
pasien dengan hubungan darah yang lebih dari satu dengan pasien herpes zoster

5
dibandingkan dengan mereka yang memiliki hubungan darah tunggal dengan
pasien dengan herpes zoster. Sebuah penelitian dari Iceland menunjukkan variasi
resiko terjadinya PHN dengan kelompok umur yang berbeda. Tidak ada pasien
berusia <50 tahun yang menderita nyeri hebat. Pasien dengan usia >60 tahun
menunjukkan nyeri hebat. 6% pada 1 bulan dan 4% pada 3 bulan setelah onset
timbulnya herpes zoster.

D. ETIOLOGI

Neuralgia post herpetik disebabkan oleh infeksi virus herpes zoster. Virus
varisella zoster merupakan salah satu dari delapan virus herpes yang menginfeksi
manusia. Virus ini termasuk dalam famili herpesviridae. Struktur virus terdiri dari
sebuah icosahedral nucleocapsid yang dikelilingi oleh selubung lipid.
Ditengahnya terdapat DNA untai ganda. Virus varisella zoster memiliki diameter
sekitar 150-200 nm. Infeksi primernya secara klinis dikenal dengan Varicella
(chicken pox), umumnya terjadi pada anak-anak. Tipe Virus yang bersifat patogen
pada manusia adalah herpes virus-3 (HHV-3), biasa juga disebut dengan varisella
zoster virus (VZV). Virus ini berdiam di ganglion posterior susunan saraf tepi dan
ganglion kranialis terutama nervus kranialis V (trigeminus) pada ganglion gasseri
cabang oftalmik dan vervus kranialis VII (fasialis) pada ganglion genikulatum.

6
Setelah infeksi primer, virus ini akan tetap berada di dalam akar saraf sensorik
untuk hidup. Setelah reaktivasi, virus bermigrasi ke saraf sensoris pada kulit,
menyebabkan ruam karakteristik dermatomal yang menyakitkan. Setelah resolusi,
banyak individu terus mengalami nyeri pada distribusi dari ruam (postherpetic
neuralgia). Faktor Resiko :

Usia
Jenis kelamin

Riwayat menderita varicella sebelumnya

Penyakit kronis dengan penurunan sistem imun

Immunocompromise

E. PATOFISIOLOGI

Neuralgia paska herpetika (NPH) memiliki gejala utama adalah nyeri. Definisi
nyeri menurut International Association for the Study of Pain (IASP) adalah suatu
pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan akibat kerusakan
jaringan, baik aktual maupun potensial, atau yang digambarkan dalam bentuk
kerusakan tersebut8. Berdasarkan definisi tersebut, nyeri memiliki 2 komponen
yaitu komponen sensorik (fisik) dan emosional (psikogenik). Klasifikasi nyeri
berdasarkan banyak indikator seperti waktu dan lamanya perlangsungan yaitu

7
nyeri transient, intermitten dan persisten, berdasarkan intensitas yaitu ringan,
sedang dan berat, berdasarkan kualitas yaitu tajam, tumpul dan terbakar,
berdasarkan penjalaran yaitu nyeri superfisial, viseral, lokal dan menyebar.
Berdasarkan mekanisme, nyeri terbagi menjadi nyeri nosiseptif, nyeri somatik,
nyeri viseral dan neuropati. Nyeri nosiseptif adalah tipe nyeri yang normal yang
timbul karena adanya kerusakan jaringan yang potensial dan mengaktivasi
nosiseptor dan selanjutnya berlangsung pada sistem saraf yang intak atau normal.
nyeri somatik merupakan jenis dari pada nyeri nosiseptif yang dimediasi oleh
serat aferen somatosensori. Nyeri ini mudah dilokalisir dengan kualitas nyeri yang
sifatnya tajam, menusuk atau seperti teriris. Contoh dari nyeri jenis ini adalah
nyeri post operasi, trauma, dan inflamasi lokal. Nyeri viseral merupakan nyeri
yang sulit dilokalisir dengan kualitas nyeri bersifat tumpul, keram, menusuk,
menyebar dan terkadang berkurang nyerinya sehingga tidak jelas dideskripsikan
karena terkadang nyerinya menyebar.

Pada keadaan fisiologis, stimulus nosiseptif diterima oleh 3 macam reseptor


saraf, yakni mekanoseptor, termoreseptor, dan nosiseptor polimodal.
Mekanoseptor diaktivasi oleh stimulus mekanis, kemudian ditransmisikan oleh
serabut saraf A dan C, sedangkan termoreseptor diaktivasi oleh stimulus termal
yang kebanyakan ditransmisikan oleh serabut saraf C. Serabut saraf A dan C
merupakan serabut saraf aferen pada akson distal dari neuron sensoris primer.
Serabut saraf C sangat halus, tidak bermyelin, mengalirkan stimulus secara
lambat. Serabut saraf C adalah serabut saraf polimodal dan mentransmisikan nyeri
tumpul atau seperti terbakar. Serabut saraf A bermyelin tipis dan mengalirkan
stimulus dengan cepat. Serabut saraf A merespons sentuhan ringan, suhu,
tekanan, serta nyeri bersifat tajam dan dapat meletupkan potensial aksi sesuai
dengan proporsi intensitas stimulus yang diterimanya.

Masa inkubasi dari varicella adalah 14-16 hari dengan periode penularan dari
10 sampai 21 hari setelah fase inisial. Penderita varicella tidak dapat menularkan
virusnya setelah lesi kulit sudah pecah dan menjadi krusta. Setelah masa initial
atau akut mereda dan membaik, VZV akan menginfeksi dan tinggal dalam radiks
ganglia dorsalis dalam jangka waktu bertahun-tahun sampai ada pemicu yang
mengaktivasi VZV kembali. Pengaktivasi kembali atau reaktivasi dari VZV inilah
yang disebut dengan herpes zoster (HZ).

8
Neuralgia pascaherpetika termasuk nyeri neuropatik, yakni nyeri yang
disebabkan oleh kerusakan atau disfungsi primer pada sistem saraf. Pada nyeri
neuropatik terjadi kerusakan saraf perifer dan perubahan sinyal sistem saraf pusat,
sehingga terjadi letupan potensial aksi spontan, ambang aktivasi saraf yang
menurun, dan peningkatan respon terhadap stimulus. Mekanisme terjadinya
neuralgia pascaherpetika dapat berlainan pada setiap individu sehingga
manifestasi nyeri yang berhubungan dengan neuralgia pascaherpetika juga
berlainan. Replikasi virus di dalam ganglion dorsalis menyebabkan respon infl
amasi berupa pembengkakan, perdarahan, nekrosis dan kematian sel neuron.
Kemudian virus akan menyebar secara sentrifugal sepanjang saraf menuju ke
kulit, menyebabkan inflamasi dan kerusakan saraf perifer. Kadang-kadang virus
menyebar secara sentripetal ke arah medula spinalis (mengenai area sensorik dan
motorik) serta batang otak. Hal ini menyebabkan sensitisasi ataupun deaferenisasi
elemen saraf perifer dan sentral. Sensitisasi saraf perifer terutama terjadi pada
nosiseptor serabut saraf C yang halus dan tidak bermyelin. Sensitisasi ini
menyebabkan ambang sensoris terhadap suhu menurun, menimbulkan heat
hyperalgesia, yakni nyeri seperti terbakar. Selain itu juga terjadi letupan ektopik
dari nosiseptor C yang rusak sehingga timbul alodinia, yakni rasa nyeri akibat
stimulus yang pada keadaan normal tidak menimbulkan rasa nyeri. Sebagai respon
atas menghilangnya sebagian besar input serabut saraf C karena kerusakan
tersebut, terbentuk tunas-tunas serabut saraf A yang menerima rangsang non-
noksius mekanoseptor di lapisan superfisial kornu dorsalis medula spinalis.

9
Pertunasan ini menyebabkan hubungan antara serabut saraf A yang tidak
menghantarkan nyeri dengan serabut saraf C, sehingga stimulus yang tidak
menyebabkan nyeri (raba halus) dipersepsikan sebagai nyeri.

Selain sensitisasi perifer dapat juga terjadi sensitisasi sentral yang


menyebabkan terjadinya nyeri spontan maupun nyeri yang diprovokasi, berupa
alodinia dan hiperalgesia. Sensitisasi sentral disebabkan oleh aktivitas ektopik dari
serabut saraf aferen. Neurotransmiter eksitatorik utama di medula spinalis adalah
glutamat yang berikatan dengan reseptor N-Metil-D-Aspartat (NMDA). Glutamat
diproduksi oleh serabut saraf aferen primer di kornu dorsalis. Pada keadaan
istirahat glutamat akan mengaktivasi reseptor ionotropik -amino-3-hidroksi-5-
metil-4-isoksazol propionat (AMPA), reseptor kainat, dan reseptor metabotropik
glutamat (mGluRs), sedangkan reseptor NMDA diblok oleh ion magnesium
sehingga mencegah masuknya ion natrium dan kalsium yang akan terjadi saat
glutamat berikatan dengan reseptor NMDA tersebut. Aktivasi pascasinap yang
berulang akan menyebabkansumasi potensial sinaptik dan depolarisasi membran
yang progresif. Hal ini menyebabkan reseptor NMDA terbebas dari blok ion
magnesium yang selanjutnya menyebabkan influks kation-kation ke dalam sel dan
depolarisasi membran makin progresif.

Neuralgia pascaherpetika juga dapat terjadi akibat proses deaferenisasi, yakni


hilangnya serabut saraf aferen sensoris baik yang berdiameter besar maupun kecil.
Lesi pada serabut saraf perifer maupun sentral dapat memacu terjadinya

10
remodeling dan hipereksitabilitas membran sel. Lesi yang masih terhubung
dengan badan sel akan membentuk tunas-tunas baru. Tunastunas baru ini ada yang
mencapai organ target, sedangkan yang tidak mencapai organ target akan
membentuk neuroma, di neuroma ini akan terakumulasi berbagai kanal ion,
terutama kanal ion natrium, molekul-molekul transduser dan reseptor-reseptor
baru, sehingga pada akhirnya akan menyebabkan terjadinya letupan ektopik,
mekanosensitivitas abnormal, sensitivitas terhadap suhu dan kimia. Letupan
ektopik dan sensitisasi berbagai reseptor akan menyebabkan timbulnya nyeri
spontan dan nyeri yang diprovokasi. Letupan spontan pada neuron sentral yang
terdeaferenisasi akan menyebabkan terjadinya nyeri konstan pada area tersebut.

F. MANIFESTASI KLINIS

Tanda khas dari herpes zooster pada fase prodromal adalah nyeri dan
parasthesia pada daerah dermatom yang terkena. Dworkin membagi neuralgia post
herpetik ke dalam tiga fase:

1. Fase akut: fase nyeri timbul bersamaan/ menyertai lesi kulit. Biasanya
berlangsung < 4 minggu

2. Fase subakut: fase nyeri menetap > 30 hari setelah onset lesi kulit tetapi <
4 bulan

3. Neuralgia post herpetik: dimana nyeri menetap > 4 bulan setelah onset
lesikulit atau 3 bulan setelah penyembuhan lesi herpes zoster.

11
Pada umumnya penderita dengan herpes zoster berkunjung ke dokter ahli
penyakit kulit oleh karena terdapatnya gelembung-gelembung herpesnya. Keluhan
penderita disertai dengan rasa demam, sakit kepala, mual, lemah tubuh. 48-72 jam
kemudian, setelah gejala prodromal timbul lesi makulopapular eritematosa unilateral
mengikuti dermatom kulit dan dengan cepat berubah bentuk menjadi lesi vesikular.
Nyeri yang timbul mempunyai intensitas bervariasi dari ringan sampai berat sehingga
sentuhan ringan saja menimbulkan nyeri yang begitu mengganggu penderitanya.
Setelah 3-5 hari dari awal lesi kulit, biasanya lesi akan mulai mengering. Durasi
penyakit biasanya 7-10 hari, tetapi biasanya untuk lesi kulit kembali normal
dibutuhkan waktu sampai berminggu-minggu.

Penyakit ini dapat sangat mengganggu penderitanya. Gangguan sensorik yang


ditimbulkan diperberat oleh rangsangan pada kulit dengan hasil hiperestesia, allodinia
dan hiperalgesia. Nyeri yang dirasakan dapat mengacaukan pekerjaan si penderita,
tidur bahkan sampai mood sehingga nyeri ini dapat mempengaruhi kualitas hidup
jangka pendek maupun jangka panjang pasien. Nyeri dapat dirasakan beberapa hari
atau beberapa minggu sebelum timbulnya erupsi kulit. Keluhan yang paling sering
dilaporkan adalah nyeri seperti rasa terbakar, parestesi yang dapat disertai dengan rasa
sakit (disestesi), hiperestesia yang merupakan respon nyeri berlebihan terhadap
stimulus, atau nyeri seperti terkena/ tersetrum listrik. Nyeri sendiri dapat diprovokasi
antara lain dengan stimulus ringan/ normal (allodinia), rasa gata-gatal yang tidak
tertahankan dan nyeri yang terus bertambah dalam menanggapi rangsang yang
berulang.

Pada masa gelembung gelembung herpes menjadi kering, orang sakit mulai
menderita karena nyeri hebat yang yang dirasakan pada daerah kulit yang terkena.
Nyeri hebat itu bersifat neuralgik. Di mana nyeri ini sangat panas dan tajam, sifat
nyeri neuralgik ini menyerupai nyeri neuralgik idiopatik, terutama dalam hal
serangannya yaitu tiap serangan muncul secara tiba tiba dan tiap serangan terdiri
dari sekelompok serangan serangan kecil dan besar. Orang sakit dengan keluhan
sakit kepala di belakang atau di atas telinga dan tidak enak badan. Tetapi bila
penderita datang sebelum gelembung gelembung herpes timbul, untuk meramalkan
bahwa nanti akan muncul herpes adalah sulit sekali. Bedanya dengan neuralgia
trigeminus idiopatik ialah adanya gejala defisit sensorik. Dan fenomena paradoksal
inilah yang menjadi ciri khas dari neuralgia post herpatik, yaitu anestesia pada tempat

12
tempat bekas herpes tetapi pada timbulnya serangan neuralgia, justru tempat
tempat bekas herpes yang anestetik itu yang dirasakan sebagai tempat yang paling
nyeri. Neuralgia post herpatik sering terjadi di wajah dan kepala. Jika terdapat di dahi
dinamakan neuralgia postherpatikum oftalmikum dan yang di daun telinga neuralgia
postherpatikum otikum.

Manifestasi klinis klasik yang terjadi pada herpes zoster adalah gejala
prodromal rasa terbakar, gatal dengan derajat ringan sampai sedang pada kulit sesuai
dengan dermatom yang terkena. Biasanya keluhan penderita disertai dengan rasa
demam, sakit kepala, mual, lemah tubuh. 48-72 jam kemudian, setelah gejala
prodromal timbul lesi makulopapular eritematosa unilateral mengikuti dermatom kulit
dan dengan cepat berubah bentuk menjadi lesi vesikular. Nyeri yang timbul
mempunyai intensitas bervariasi dari ringan sampai berat sehingga sentuhan ringan
saja menimbulkan nyeri yang begitu mengganggu penderitanya. Setelah 3-5 hari dari
awal lesi kulit, biasanya lesi akan mulai mengering. Durasi penyakit biasanya 7-10
hari, tetapi biasanya untuk lesi kulit kembali normal dibutuhkan waktu sampai
berminggu-minggu. Intensitas dan durasi dari erupsi kulit oleh karena infeksi herpes
zoster dapat dikurangi dengan pemberian acyclovir (5x800mg/hari) atau dengan
famciclovir atau valacyclovir.

Manifestasi klinis neuralgia paska herpetika adalah penyakit yang dapat sangat
mengganggu penderitanya. Gangguan sensorik yang ditimbulkan diperberat oleh
rangsangan pada kulit dengan hasil hiperestesia, allodinia dan hiperalgesia. Nyeri
yang dirasakan dapat mengacaukan pekerjaan si penderita, tidur bahkan sampai mood
sehingga nyeri ini dapat mempengaruhi kualitas hidup jangka pendek maupun jangka
panjang pasien. Nyeri dapat dirasakan beberapa hari atau beberapa minggu sebelum
timbulnya erupsi kulit. Keluhan yang paling sering dilaporkan adalah nyeri seperti
rasa terbakar, parestesi yang dapat disertai dengan rasa sakit (disestesi), hiperestesia
yang merupakan respon nyeri berlebihan terhadap stimulus, atau nyeri seperti terkena/
tersetrum listrik. Nyeri sendiri dapat diprovokasi antara lain dengan stimulus ringan/
normal (allodinia), rasa gata-gatal yang tidak tertahankan dan nyeri yang terus
bertambah dalam menanggapi rangsang yang berulang.

13
G. DIAGNOSIS

1. Anamnesis :

Adanya erupsi vesikel berkelompok yang nyeri sesuai dengan


distribusi dermatom (khas untuk herpes zoster).

Erupsi dan vesikel menghilang namun nyeri tetap berlangsung selama


3 bulan atau lebih sehingga disebut PHN.

Nyerinya nyata seperti rasa terbakar, tertusuk atau berdenyut.

Infeksi Herpes zoster dapat teraktivasi kembali secara subklinikal


disertai nyeri dan mengikuti distribusi dermatom tanpa eritem.

Pasien juga dapat mengeluhkan nyeri yang bersifat disestesia,


hiperalgesia, anesthesia dan paralgesia yang kontinyu.

Adanya rasa gatal yang semakin bertambah.

Semua hal di atas dapat mengganggu aktivitas dan menimbulkan


gangguan tidur, depresi, anoreksia dan kelelahan.

2. Pemeriksaan Fisik :

Adanya scar cutaneus di daerah yang pernah terinfeksi Herpes zoster


sebelumnya.

Adanya perubahan sensasi yaitu menjadi lebih sensitif (hyperaesthesia)


atau kurang sensitif seperti mati rasa/baal (dysaesthesia) pada daerah
yang terlibat infeksi.

Alodinia yaitu nyeri yang disebabkan oleh stimulus non toksik (non
noxious) seperti sentuhan ringan oleh sikat, bergesekan dengan pakaian
saat memakai pakaian, aliran angin sepoi-sepoi, hembusan nafas,
menyisir rambut, kepanasan). Alodinia dialami oleh kurang lebih 90%
penderita neuralgia post herpetika dan biasanya dirasakan pada daerah
yang masih mempunyai sensasi rasa. Sedangkan nyeri spontan
biasanya terjadi pada dermatom yang sensasinya telah terganggu.

14
Adapun perluasan nyeri ini biasanya mengenai dermatom torakal
(50%), kranial, servikal, lumbal (10-20%), dan sakral (2-8%).

Perubahan fungsi autonom seperti keringat bertambah pada daerah


yang terlibat infeksi herpes zoster.

3. Pemeriksaan Penunjang :

3.1 Laboratorium :

Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk PHN.

Pemeriksaan cairan serebrospinal (CSF) 61% menunjukkan


abnormal. Ditemukan pleocytosis 46%, peningkatan protein 26%,
dan Varicella zozter virus (VZV) DNA 22%. Ini tidak spesifik
untuk PHN.

Kultur virus atau pewarnaan imunofluorosen hanya untuk


membedakan herpes simpleks dari herpes zozter pada beberapa
kasus yang sulit dibedakan secara klinis.

3.2 Radiologi :

Menurut penelitian Haanpaa et al :

MRI menunjukkan khas lesi herpes zoster terdapat pada batang


otak dan saraf servikal pada 9 pasien (56%).

Pada 3 bulan setelah onset herpes zoster, 5 pasien (56%) dengan


MRI yang abnormal berkembang menjadi PHN.

Pada 7 pasien yang tidak menderita herpes zoster namun terdapat


gambaran lesi di MRI tidak mengalami nyeri.

3.3 Patologi Anatomi (Pemeriksaan histologi) :

Walaupun gejala herpes zoster hanya mempengaruhi beberapa sensoris


dermatom, namun secara patologikal terdapat perubahan yang luas yaitu
ganglia spinal atau radiks nervus kranialis mengalami pembengkakan dan
inflamasi dengan dominan sel limfosit. Beberapa sel ganglion mengalami

15
pembengkakan sedangkan yang lainnya mengalami degenerasi. Inflamasi
yang terjadi dapat berkembang ke meninges dan daerah keluarnya radix
dan bisa sampai ke kornu anterior dan daerah perivaskular medulla
spinalis. Perubahan patologi pada batang otak sama dengan radix spinal
dan medula spinalis. Dalam sebulan infeksi, fibrosis terjadi pada ganglia,
nervus perifer dan radiks saraf. Degenerasi terjadi pada cornu posterior
ipsilateral.

H. PENATALAKSANAAN

1) Non Medikamentosa :

Memakai pakaian yang nyaman. Pakaian yang terlalu ketat atau


terbuat dari bahan yang kasar atau material sintetik dapat
mengiritasi kulit dan menyebabkan nyeri semakin bertambah.
Mengenakan pakaian yang bahan dasar pembuatannya dari kapas
akan lebih mengurangi terjadinya iritasi.

Menutup daerah yang sensitive. Dapat dengan pakaian yang


nyaman atau dengan plastic yang melekat pada luka.

Menggunakan es batu untuk mengebalkan atau menghilangkan


nyeri sesaat, kecuali bila PHN bertambah buruk pada beberapa
kasus (tergantung stimulus non noxious)

Akupunktur banyak digunakan sebagai terapi untuk menghilangkan


nyeri. Terdapat beberapa penelitian mengenai terapi akupunktur untuk
kasus neuralgia paska herpetika. Namun penelitian-penelitian tersebut
masih menggunakan jumlah kasus tidak terlalu banyak dan terapi
tersebut dikombinasi pula dengan terapi farmakologis.

TENS (stimulasi saraf elektris transkutan) . Penggunaan TENS


dilaporkan dapat mengurangi nyeri secara parsial hingga komplit pada
beberapa pasien neuralgia paska herpetik. Tetapi penggunaan TENS-pun
dianjurkan hanya sebagai terapi adjuvan/ tambahan disamping terapi
farmakologis.

16
2) Medikamentosa :

Untuk menangani neuralgia post herpetika sebenarnya adalah


dengan mencegah terjadinya hal tersebut yaitu dengan mengobati
infeksi herpes zoster secara cepat dan tepat. Obat-obatan yang
dipakai adalah asiklovir 6 x 800 mg selama 7 sampai 10 hari,
famsiklovir 3 x 500 mg per hari selama 7 hari dan ditoleransi
dengan baik pada infeksi herpes zoster akut, valasiklovir 3 x 1000
mg selama 7 sampai 14 hari, mengurangi nyeri secara bermakna
daripada pemberian asiklovir. Dalam pemberian antivirus ini, perlu
diperhatikan fungsi ginjal pasien. Pemberian antivirus bertujuan
untuk memperpendek gejala klinis, mencegah komplikasi,
mencegah perkembangan infeksi laten atau berulangnya infeksi,
menurunkan transmisi virus dan mengeliminasi infeksi laten yang
menetap.

Antidepressan trisiklik menunjukkan peran penting pada kasus


neuralgia paska herpetika. Obat golongan ini mempunyai
mekanisme memblok reuptake (pengambilan kembali)
norepinefrin dan serotonin. Antidepresan trisiklik seperti
amitriptilin, nortriptilin, imipramin, desipramin dan doksepin.
Dosis amitriptilin, yaitu : Dewasa 30-100mg PO menjelang tidur;
anak 0,1/kg/hr ditoleransi hingga 0,5-2mg/hr menjelang tidur;
remaja 25-50mg/hr sampai 100mg/hr PO. Dosis nortriptilin, yaitu:
Dewasa 25mg PO 3-4xsehari, tidak melebihi 150mg/hr; anak
BB<25kg tidak dianjurkan, BB25-35kg 10-20mg/hr PO, BB35-
54kg 25-35mg/hr PO,BB>25kg sama dengan dosis dewasa.

Terapi sistemik umumnya bersifat simptomatik, untuk nyerinya


diberikan analgetik. Jika diserta infeksi sekunder deberikan
antibiotic. Analgesik non opioid seperti NSAID dan parasetamol
mempunyai efek analgesik perifer maupun sentral walaupun
efektifitasnya kecil terhadap nyeri neuropatik. Sedangkan
penggunaan analgesik opioid memberikan efektifitas lebih baik.
Tramadol telah terbukti efektif dalam pengobatan nyeri neuropatik.

17
Bekerja sebagai agonis mu-opioid yang juga menghambat reuptake
norepinefrin dan serotonin. Pada sebuah penelitian, jika dosis
tramadol dititrasi hingga maksimum 400 mg/hari dibagi dalam 4
dosis. Namun, efek pada sistem saraf pusat dapat menimbulkan
terjadinya amnesia pada orang tua. Hal yang harus diperhatikan
bahwa pemberian opiat kuat lebih baik dikhususkan pada kasus
nyeri yang berat atau refrakter oleh karena efek toleransi dan
takifilaksisnya. Dosis yang digunakan maksimal 60 mg/hari.
Oxycodone berdasarkan penelitian menunjukkan efek yang lebih
baik dibandingkan plasebo dalam meredakan nyeri, allodinia,
gangguan tidur, dan kecacatan.

Anti konvulsan digunakan untuk mengatasi spasme otot yang berat


dan memberi efek sedasi serta berefek untuk memodulasi nyeri.
Gabapentin biasa digunakan untuk nyeri neuropatik yang tertusuk
dengan dosis untuk dewasa 3x100mg PO, dapat mencapai 900-
1800mg PO setiap harinya tapi tidak melebihi 4x900mg PO; dosis
anak <12th tidak direkomendasikan, anak >12th sama dengan
dosis dewasa. Sedangkan obat pregabalin onsetnya lebih cepat,
berikatan dengan subunit dari voltage-gated calcium channel yang
mengurangi influks kalsium dan pelepasan neurotransmiter
(glutamat, substance P, dan calcitonin gene-related peptide) pada
primary afferent nerve terminals. Didapatkan pula hasil perbaikan
dalam hal tidur dan ansietas. Dosis dewasa awal 2x75mg PO,
dapat dinaikkan sampai 2x150mg dalam 1minggu, dapat dinaikkan
lagi sampai 2x300mg jika perlu. Pregabalin Merupakan obat anti
epilepsy (anti konvulsan) yang digunakan utnuk mengobati
epilepsy. Sama halnya dengan amitriptyline, pregabalin juga
efektif untuk mengobati neuropatic pain. Obat ini bekerja dengan
membantu mengurangi/menghentikan impuls saraf. Terapi dengan
pregabalin dapt dimulai dengan dosis rendah kemudian dinaikkan
sampai memperoleh efek maksimal. Efek samping pregabalin yang
paling sering adalah pusing dan mengantuk. Efek samping lain

18
adalah kurang koordinasi/keseimbangan, berat badan bertambah,
retensi cairan, gangguan memori sementara.

Kortikosteroid: Kortikosteroid digunakan sebagai anti inflamasi


yang bekerja dengan menekan migrasi sel leukosi PMN dan
meningkatkan permeabilitas kapiler. Obat yang biasa dipakai
adalah dexametason. Dosisnya, dewasa 0,75-9mg/hr PO dalam
dosis terbagi setiap 6-12 j am: anak 0,08-0,3mg/kg/hr PO dalam
dosis terbagi setiap 6-12 jam. Prednison juga dipakai dengan dosis
dewasa 5-60mg/hr PO setiap hari atau terbagi dalam 2-
4xsehari,tappering off setelah 2 minggu/gejala membaik; anak 1-
2mg/kg/hr PO tappering off setelah 2 minggu/gejala membaik.

Terapi topikal : Lidokain topical merupakan obat yang diteliti baik


untuk mengobati nyeri neuropati. Obat ini bekerja lebih baik jika
kerusakan neuron hanya terjadi sebagian dimana fungsi nosiseptor
masih ada, hanya jumlah kanal sodium saja yang meningkat. Hal
ini dikarenakan kerja obat ini adalah menghambat votage gate
sodium channel. Lidokain yang biasa dipakai adalah lidokain patch
5%. Obat ini dioleskan pada tempat yang nyeri dan dibiarkan
selama 12 jam kemudian.

Penggunaan krim topikal seperti capsaicin cukup banyak


dilaporkan. Krim capsaicin sampai saat ini adalah satu-satunya
obat yang disetujui FDA untuk neuralgia paska herpetika.
Capsaicin berefek pada neuron sensorik serat C (Cfiber). Telah
diketahui bahwa neuron ini melepaskan neuropeptida inflamatorik
seperti substansia P yang menginisiasi nyeri. Dengan dosis tinggi,
capsaicin mendesensitisasi neuron ini. Pada suatu uji klinik acak
terkendali melibatkan 143 pasien neuralgia paska herpetika,
dilaporkan setelah pengobatan selama 4 minggu, 21% nyeri
berkurang pada kelompok yang mendapat terapi capsaicin ,
sedangkan 6% nyeri berkurang pada kelompok kontrol (p<0.05).
Tetapi sayangnya capsaicin mempunyai efek sensasi rasa terbakar
yang sering tidak bisa ditoleransi pemakainya.

19
Neuropatic pain tidak berespon baik pada analgetik biasa seperti
aspirin, parasetamol, ibuprofen. Analgetik yang lebih kuat seperti
codein dan tramadol lebih disarankan untuk digunakan. Adapun
obat-obat yang dapat digunakan untuk menenangkan dan menahan
nyeri seperti obatobat golongan tricyclic, anti-epileptic seperti
gabapentin, dan golongan opioid pain seperti morphine, codein,
tramadol. Terapi awal yang direkomendasikan untuk mengobati
neuropatic pain seperti PHN adalah Amitriptyline dan Pregabalin.
Kedua obat ini dapat mengobati nyeri secara signifikan namun
tidak dapat menghilangkan nyeri sepenuhnya. Kedua obat ini dapat
dikonsumsi dalam bentuk tablet atau sirup.

I. PENCEGAHAN

Kemungkinan menderita neuralgia pascaherpetika dapat diprediksi dari


beberapa faktor risiko pasien tersebut. Faktor risiko utama untuk terjadinya
neuralgia pasca herpetika antara lain usia tua, lesi kulit yang hebat, nyeri akut
yang berat, dan nyeri prodromal pada dermatom sebelum munculnya ruam.
Kurang lebih 20% pasien berusia lebih dari 50 tahun mengalami nyeri sampai 6
bulan sejak awitan ruam kulit walaupun telah mendapatkan terapi antiviral. Pada
orangtua terjadi polineuropati subklinis sehingga hanya dibutuhkan jumlah virus
yang lebih sedikit untuk menyebabkan neuralgia pascaherpetika dibandingkan
pada pasien muda.

Pencegahan neuralgia pascaherpetika dapat diusahakan dengan kombinasi


agen antiviral dan usaha agresif mengurangi nyeri akut pada pasien herpes zoster.
Kombinasi ini diharapkan akan mengurangi kerusakan saraf dan nyeri akut.
Terapi antiviral harus dimulai segera setelah diagnosis ditegakkan, dan lebih baik
jika dimulai pada tiga atau empat hari pertama. Terapi antiviral diharapkan dapat
menghentikan replikasi virus, sehingga durasi penyakit akan lebih singkat, dan
menurunkan kejadian neuralgia pascaherpetika. Antiviral yang dapat digunakan
adalah asiklovir, valasiklovir, atau famsiklovir. Terapi analgetika akan
mengurangi nyeri yang merupakan faktor risiko utama neuralgia pascaherpetika.

Selain itu, telah dikembangkan vaksin pencegahan herpes zoster yang di


rekomendasikan oleh Centers for Disease Control and Prevention (CDC) bagi

20
mereka yang berusia 60 tahun atau lebih. Dalam penelitian klinis yang melibatkan
ribuan lansia berusia 60 tahun atau lebih, vaksin ini mengurangi risiko herpes
zoster sebesar 51% dan risiko neuralgia pascaherpetika sebesar 67%. Efek
proteksi vaksin ini dilaporkan dapat mencapai 6 tahun atau bahkan lebih.

J. PROGNOSIS

PHN tidak dapat disembuhkan. Tetapi jika diterapi lebih awal maka
perbaikannya akan lebih besar. Banyak pasien dengan PHN mengalami perbaikan
nyeri dari waktu ke waktu. Hal ini tergantung dari durasi nyeri yang terjadi.
Apabila PHN tetap berlangsung selama 6 bulan setelah infeksi herpes zoster maka
kesempatan untuk mengalami perbaikan selama 12 bulan ke depan sebesar 60%.
Jika nyeri berlangsung lebih dari 1 tahun maka hanya sedikit perbaikan yang dapat
terjadi dan apabila setelah 3 tahun nyeri masih menetap maka secara praktis tidak
dapat disembuhkan.

Prognosis ad vitam dikatakan bonam karena neuralgia paska herpetik tidak


menyebabkan kematian. Kerusakan yang terjadi bersifat lokal dan hanya
mengganggu fungsi sensorik. Prognosis ad functionam dikatakan bonam karena
setelah terapi didapatkan perbaikan nyata, dan pasien dapat beraktivitas baik
seperti biasa. Prognosis ad sanactionam dubia ad bonam karena risiko
berulangnya HZ masih mungkin terjadi, namun selama pasien mempunyai daya
tahan tubuh baik kemungkinan timbul kembali kecil.

BAB III

21
KESIMPULAN

Neuralgia pasca herpetika merupakan komplikasi dari penyakit herpes zoster


yang disebabkan oleh virus varicella zoster. Virus ini menyebabkan 3 klinis yang
berbeda, yaitu menyebabkan cacar air pada masa anak-anak, pada dewasa
menimbulkan herpes zoster dan pada keadaan berikutnya dapat timbul neuralgia pasca
herpes, yang biasanya menyerang pada usia tua. Pada neuralgia pasca herpes, fungsi
sensoris normal mengalami perubahan. Perubahan yang terjadi yaitu berupa sensasi
abnormal terhadap rabaan halus, tiupan atau suhu yang dirasakan sangat nyeri. Hal ini
diakibatkan karena perlukaan dari saraf perifer dan berubahnya proses pengolahan
sinyal ke system saraf pusat.
Secara umum penatalaksanaan neuralgia pasca herpes meliputi 2 jalur, yaitu
farmakologik dan nonfarmakologik. Obat anastetik misalnya lidokain, prokain
dilaporkan memberikan efek teerapi sementara bila diberikan injeksi local atau
intravena. Penggunaan krim topical untuk mengobati neuralgia pasca herpes cukup
banyak dilaporkan diantaranya dengan menggunakan capsaicin. Antidepresan trisiklik
juga menunjukkan peran penting pada neuralgia pasca herpes, karena mekanisme
memblok reuptake noreepinefrin dan serotonin. Obat ini dapat mengurangi nyeri
melalui jalur inhibisi saraf yang terlibat dalam persepsi nyeri.
Untuk menegakkan diagnosa neuralgia paska herpetika yaitu dengan
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Penatalaksanaannya
membutuhkan terapi nonmedikamentosa dan medikamentosa. Semakin cepat
pengobatan nyeri pada neuralgia post herpetika semakin baik prognosisnya.

DAFTAR PUSTAKA

22
1. Meliala L. Neuralgia Pasca Herpes. Nyeri Neuropatik patofisiologi dan
penatalaksanaan. Kelompok studi nyeri Perdossi 2001.
2. Martin. Neuralgia Paska Herpetika. Jakarta 2008 available from:
http://perdossijaya.org/perdossijaya/index.php?
view=article&catid=43%3Apaper&id
3. Mazzoni, P. Pearson, T. Rowland, L. Merritts Neurology Handbook. 2nd
Edition.
4. Lippincott Williams & Wilkins : 2006.
5. Gilhus. E, Barnes. M, brainin, M. European Handbook of Neurogical
Management. Vol.1, willey Blackwell : 2010.
6. Anderson. E, Varicella-Zoster virus.available from :
http://emedicine.medscape.com/article/231927-overview
7. McElveen W Alvin. Postherpetic Neuralgia Overview.
http://emedicine.medscape.com/article/1143066-overview. Updated: July 3,
2012.
8. Roxas M. Herpes Zoster and Postherpetic Neuralgia:Diagnosis and
Therapuetic Considerations. Alternative Medicine Review Vol.11. 2006;102.
9. Kaur J, Jyotika J. Approach To A Patient With Postherpetic Neuralgia-A
Review. Journal Of Pakistan Association of Dermatologist. 2012;146
10. Sumaryo Sugastiasri. Prevention and Treatment of Post Herpetic Neuralgia to
be Travelling. Bagian SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin. Fakultas
kedokteran Universitas Diponegoro. RSUP dr.Karyadi. Semarang.2011
11. Gharibo Christofer MD, Kim Caroline MD. Neuropathic Pain of Post
Neuropathic Neuralgia. Pain Medicine News Special Edition. December 2011.
12. Demarin V, Basic Kes V. Postherpetic Neuralgia. Acta Clin Croat. University
Departement of Neurology.Croatia. 2007;279.
13. Alaydrus Zen Muhammad. Neuralgia Post Herpetik. 2012 diunduh dari
www.scribd.com, Juni 2013
14. Rohkamm R. Color Atlas of Neurology. Thieme Stugart. New York.2004;108-
9.
15. Wahyudi H, Selvarasan S. Patofisiologi dan Faktor Resiko Neuralgia Paska
Herpetika. Bagian.SMF Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran Udayana.

23
2012. Diunduh dari http://theherijournals.blogspot.com/2013/01/patofisiologi-
dan-faktor-risiko.html
16. McElveen W Alvin. Postherpetic Neuralgia Clinical Presentation.
(http://emedicine.medscape.com/article/1143066-overview). Updated: July 3,
2012
17. Sumaryo Sugastiasri. Prevention and Treatment of Post Herpetic Neuralgia to
be Travelling. Bagian SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin. Fakultas
kedokteran Universitas Diponegoro. RSUP dr.Karyadi. Semarang.2011
18. Staff of the Pain Relief Foundation, Walton Centre Pain Team, Walton Center
for Neurology and Neurosurgery.
19. Herpes zoster and Postherpetic Neuralgia. Dealing with pain series 2003:
Herpes zoster & PHN. Clinical Sciences Centre, University Hospital Aintree,
Lower line, Liver Pool L9 7LJ,UK : 1. (www.painrelieffoundation.org.uk)
20. Symptom of PostHerpetic Neuralgia
(http://www.nhs.uk/Conditions/postherpeticneuralgia/ Pages/symptoms.aspx).
Last reviewed: 01/08/2012.
21. McElveen W Alvin. Postherpetic Neuralgia Workup
(http://emedicine.medscape.com/article/1143066-overview). Updated: July 3,
2012.
22. Ropper H. Allan, Samuels A. Martin. Headache and Other Craniofacial Pains.
Adams & Victors Principles of Neurology, 9th Edition. Chap.10 : 20-21.
23. Treating PostHerpetic Neuralgia.
(http://www.nhs.uk/Conditions/postherpeticneuralgia/Pages/treatment.aspx).
Last reviewed: 01/08/2012.
24. Mardani Agil Zulfah. Terapi Post Herpetic Neuralgia/PHN atau Nyeri Paskah
Herpes/NPH.2009. (diunduh dari www.scribd.com, Juni 2013)
25. McElveen W Alvin. Postherpetic Neuralgia Medication
(http://emedicine.medscape.com/article/1143066-overview). Updated: July 3,
2012
26. Regina, Lorettha Wijaya. Neuralgia Pascaherpetika. CDK-194/ vol. 39 no. 6,
th. 2012. Departemen/SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas
Kedokteran/RS Atma Jaya, Jakarta, Indonesia

24

You might also like