You are on page 1of 21

BAB I

KASUS

I. Identitas Pasien
Nama : An. A
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 2 tahun
Agama : Islam
Alamat : Suradadi 3 / 1
MRS : 21 Oktober 2017

Anamnesis (Autoanamnesis)
Keluhan utama
BAB cair
Riwayat penyakit sekarang
Pasien datang ke IGD RSUD Suradadi dengan BAB cair >5x/ hari sejak 1
hari SMRS. Lendir (+) darah (-) Demam sejak 2 hari, demam naik turun.
Minum (+). Muntah (+) tiap kali minum. BAK sedikit. Riw kejang (-)
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien belum pernah dirawat karena keluhan seperti ini.
Riwayat penyakit keluarga
Keluarga tidak ada yang menderita penyakit serupa pasien
Riwayat Pengobatan
Pasien pernah mendapatkan pengobatan sebelumnya untuk keluhan
yang sekarang, namun belum ada perbaikan
Riwayat Alergi
Pasien mengaku tidak memiliki riwayat alergi terhadap obat-obatan,
makanan dan cuaca.
II. Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum tampak lemas, kesadaran compos mentis,
frekuensi nadi 120 kali/menit
pernapasan 32 kali/menit
suhu 38,5oC

1
SpO2 100%
BB 15 kg
Kepala: Bentuk normocephal, simetris, rambut hitam, tidak mudah dicabut,
hematom (-)
Mata. konjungtiva anemis (-/-) , sklera ikterik (-/-) ,pupil isokor kanan dan
kiri, refleks cahaya positif pada kedua mata, mata cowong (-/-)
Hidung. Septum di tengah, tidak deviasi, pernafasan cuping hidung (-),
sekret (-).
Mulut.Mukosa bibir kering (-) lidah (-), faring dan tonsil tidak hiperemis
Leher.Pada inspeksi bentuk normal, pembesaran kelenjar tiroid dan
kelenjar getah (-), JVP tidak meningkat
Thoraks.Pada inspeksi bentuk dada kanan dan kiri sama, pergerakan nafas
kanan dan kiri sama, iktus kordis tidak terlihat, auskultasi pernafasan
vesikuler (+/+), ronkhi (-/-),wheezing (-/-), bunyi jantung I-II reguler,
murmur (-) gallop (-/-).
Abdomen. Pada inspeksi supel, perut tampak datar, , hepar dan lien tidak
teraba, perkusi seluruh lapang abdomen timpani, auskultasi bising usus
meningkat (+)
Pinggang. Nyeri ketok CVA (-/-)
Ekstremitas. Akral dingin (-/-), CRT <2 detik

III. Hasil Pemeriksaan laboratorium (21 Oktober 2017)


18 Juli 2017 Hasil Nilai Rujukan
MCH 23,6 pg 27-35 pg
MCHC 34,3 g/dL 30-40 g/dL
MCV 68,8 fl 80-100 fl
Leukosit 12.700/mm 3
4.000 10.000/mm3
Eritrosit 3,53 x 106/mm3 4.25 5.40/mm3
Hemoglobin 11,3 g/dL 12.0 16.0
Hematokrit 24,2 % 37.0 47.0
Trombosit 201 x 103/mm3 150.000 450.000/mm3

IV. Diagnosis
Diare akut dehidrasi ringan sedang

2
V. Penatalaksanaan
Terapi IGD
Inf RL 45 tpm mikro
Inj sanmol 150 mg ekstra
Inj Ondancetron 1 mg ekstra
PO :
L-bio 2x1 sach
L-Zinc syr 1 x 10mg

Konsul dr. Septiana Sp.A


Inj Lapixime 3x400 mg
Inj Sanmol 3x150 mg

VI. Prognosis
Quo ad vitam : Dubia ad bonam
Quo ad fungtionam : Dubia ad bonam
Quo ad Sanationam : Dubia ad bonam

3
Follow up (22 Oktober 2017)
S O A P
Muntah (-) KU/Kes: S.sedang/CM Diare akut IVFD RL 45 tpm mikro
dehidrasi ringan
Demam (-) RR: 35 x/menit Inj Lapixime 3x400 mg
sedang
BAB cair (- HR: 132 x/menit PO :
) Spo2: 100% Sanmol 3x150 mg
Suhu 37 C L-Zinc 2x1 sach
Mata: ca -/-, SI-/-
Thorax: Cor BJ1=2 reg
Pulmo VBS +/+, Rh-/-,
Wh -/-
Abd: supel, NTE -

4
Follow up (23 oktober 2017)
S O A P
Muntah (-) KU/Kes: S.sedang/CM Diare akut IVFD RL 45 tpm mikro
dehidrasi ringan
Demam (-) RR: 35 x/menit Inj Lapixime 3x400 mg
sedang
BAB cair HR: 132 x/menit PO :
1x Spo2: 100% Sanmol 3x150 mg
Suhu 37,4 C L-Bio 2x1 sach
Mata: ca -/-, SI-/- L-Zinc syr 1x1 cth
Thorax: Cor BJ1=2 reg
Pulmo VBS +/+, Rh-/-,
Wh -/-
Abd: supel, NTE -

17.00
Pasien Ibu pasien ttd APS
meminta Obat pulang :
APS L-Bio 2x1
L-Zinc syr 1x1 cth

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 DEFINISI INFORMED CONSENT


Informed Consent terdiri dari dua kata yaitu informed yang berarti informasi
atau keterangan dan consent yang berarti persetujuan atau memberi izin, sehingga
informed consent mengandung pengertian suatu persetujuan yang diberikan setelah
mendapat informasi. Dengan demikian informed consent dapat didefinisikan
sebagai persetujuan yang diberikan oleh pasien dan atau keluarga atas dasar
penjelasan mengenai tindakan medis yang akan dilakukan terhadap dirinya serta
risiko yang berkaitan dengannya.2,3
Menurut PerMenKes no 290/MenKes/Per/III/2008 dan Pasal 45 UU RI No.29
Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran serta Manual Persetujuan Tindakan
Kedokteran KKI tahun 2008. maka Informed consent adalah persetujuan tindakan
kedokteran yang diberikan oleh pasien atau keluarga terdekatnya setelah mendapatkan
penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran yang akan dilakukan
terhadap pasien tersebut.4

3.2 TUJUAN PELAKSANAAN INFORMED CONSENT


Dalam hubungan antara pelaksana (dokter) dengan pengguna jasa tindakan
medis (pasien), maka pelaksanaan informed consent, bertujuan untuk melindungi
pengguna jasa tindakan medis (pasien) secara hukum dari segala tindakan medis yang
dilakukan tanpa sepengetahuannya, maupun tindakan pelaksana jasa tindakan medis
yang sewenang-wenang, tindakan malpraktek yang bertentangan dengan hak asasi
pasien dan standar profesi medis, serta penyalahgunaan alat canggih yang
memerlukan biaya tinggi atau over utilization yang sebenarnya tidak perlu dan
tidak ada alasan medisnya.3
Memberikan perlindungan hukum terhadap pelaksana tindakan medis dari
tuntutan-tuntutan pihak pasien yang tidak wajar, serta akibat tindakan medis yang tak
terduga dan bersifat negatif, misalnya terhadap risk of treatment yang tak mungkin
dihindarkan walaupun dokter telah bertindak hati-hati dan teliti serta sesuai dengan
standar profesi medik. Sepanjang hal itu terjadi dalam batas-batas tertentu, maka tidak
dapat dipersalahkan, kecuali jika melakukan kesalahan besar karena kelalaian
(negligence) atau karena ketidaktahuan (ignorancy) yang sebenarnya tidak akan

6
dilakukan demikian oleh teman sejawat lainnya. Perlunya memberi inform consent
pada pasien adalah untuk:5
a) Melindungi pasien terhadap segala tindakan medis yang dilakukan tanpa
sepengetahuan pasien; 5
b) Memberikan perlindungan hukum kepada dokter terhadap akibat yang tidak terduga
dan bersifat negatif, misalnya terhadap risk of treatment yang tak mungkin
dihindarkan walaupun dokter sudah mengusahakan semaksimal mungkin dan
bertindak dengan sangat hati-hati dan teliti.5

3.3 FUNGSI INFORMED CONSENT


Informed consent mempunyai beberapa fungsi sebagai berikut :7
1. Penghormatan terhadap harkat dan martabat pasien selaku manusia
2. Promosi terhadap hak untuk menentukan nasibnya sendiri
3. Untuk mendorong dokter melakukan kehati-hatian dalam mengobati pasien
4. Menghindari penipuan dan misleading oleh dokter
5. Mendorong diambil keputusan yang lebih rasional
6. Mendorong keterlibatan publik dalam masalah kedokteran dan kesehatan
7. Sebagai suatu proses edukasi masyarakat dalam bidang kedokteran dan
kesehatan.

Dalam keadaan gawat darurat Informed consent tetap merupakan hal yang paling
penting walaupun prioritasnya diakui paling bawah. Prioritas yang paling utama
adalah tindakan menyelamatkan nyawa. Walaupun tetap penting, namun Informed
consent tidak boleh menjadi penghalang atau penghambat bagi pelaksanaan
emergency care sebab dalam keadaan kritis dimana dokter berpacu dengan maut, ia
tidak mempunyai cukup waktu untuk menjelaskan sampai pasien benar-benar
menyadari kondisi dan kebutuhannya serta memberikan keputusannya. Dokter juga
tidak mempunyai banyak waktu untuk menunggu kedatangan keluarga pasien.
Kalaupun keluarga pasien telah hadir dan kemudian tidak menyetujui tindakan dokter,
maka berdasarkan doctrine of necessity, dokter tetap harus melakukan tindakan
medik. Hal ini dijabarkan dalam PerMenKes Nomor 585/PerMenKes/Per/IX/1989
tentang Persetujuan Tindakan Medik, bahwa dalam keadaan emergency tidak
diperlukan Informed consent. 8

7
Ketiadaan informed consent dapat menyebabkan tindakan malpraktek dokter,
khususnya bila terjadi kerugian atau intervensi terhadap tubuh pasiennya. Hukum
yang umum diberbagai Negara menyatakan bahwa akibat dari ketiadaan informed
consent setara dengan kelalaian/keteledoran. Akan tetapi, dalam beberapa hal,
ketiadaan informed consent tersebut setara dengan perbuatan kesengajaan, sehingga
derajat kesalahan dokter pelaku tindakan tersebut lebih tinggi. Tindakan malpraktek
dokter yang dianggap setara dengan kesengajaan adalah sebagai berikut :3
1. Pasien sebelumnya menyatakan tidak setuju terhadap tindakan dokter, tetapi
dokter tetap melakukan tindakan tersebut.
2. Jika dokter dengan sengaja melakukan tindakan misleading tentang risiko dan
akibat dari tindakan medis yang diambilnya.
3. Jika dokter dengan sengaja menyembunyikan risiko dan akibat dari tindakan
medis yang diambilnya.
4. Informed consent diberikan terhadap prosedur medis yang berbeda secara
substansial dengan yang dilakukan oleh dokter

3.4 JENIS-JENIS INFORMED CONSENT


Ada 2 bentuk Persetujuan Tindakan Medik (Informed Consent) yaitu :
1. Implied Consent
Pasien menyetujui penjelasan yang diberikan oleh dokter atau suatu tindakan
oleh dokter dengan isyarat. Sebagai contoh, ketika prosedur pengambilan darah rutin
untuk pemeriksaan, pasien memberikan implied consent dengan hanya menghulurkan
tangan untuk pengambilan darah.2
2. Explicit / Express Consent
Express atau explicit consent adalah dimana patient dengan jelas menyatakan
persetujuan untuk suatu tindakan medis. Persetujuan ini bisa dalam bentuk verbal atau
tulisan.3,9
a) Verbal consent adalah suatu bentuk dari express consent dimana pasien menyetujui
tindakan medis dokter secara verbal.2,9
b) Written consent adalah dimana seorang pasien menyetujui tindakan medis secara
bertulis pada lembar inform consent yang telah disediakan.2

Persetujuan tertulis dalam suatu tindakan medis dibutuhkan saat :2

8
a. Bila tindakan terapeutik bersifat kompleks atau menyangkut resiko atau efek samping
yang bermakna.
b. Bila tindakan kedokteran tersebut bukan dalam rangka terapi.
c. Bila tindakan kedokteran tersebut memiliki dampak yang bermakna bagi kedudukan
kepegawaian atau kehidupan pribadi dan sosial pasien.
d. Bila tindakan yang dilakukan adalah bagian dari suatu penelitian.

3.5 INFORMASI YANG WAJIB DIBERIKAN DALAM INFORMED


CONSENT
Di dalam Undang-undang Praktik Kedoteran, memberikan gambaran
informasi apa saja yang minimal diberikan kepada pasien dalam upaya untuk
membentuk informed consent.
Pasal 45 ayat (3) Undang Undang Praktik Kedokteran memberikan batasan
minimal informasi yang selayaknya diberikan kepada pasien, yaitu:
1. Diagnosis dan tata cara tindakan medis
2. Tujuan tindakan medis yang dilakukan
3. Alternatif tindakan lain dan risikonya
4. Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi, dan
5. Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan
Diagnosa dan tata cara tindakan kedokteran serta penjelasan mengenai diagnosis
dapat meliputi:1
a. Temuan klinis dari hasil pemeriksaan medis hingga saat tersebut.
b. Diagnosis penyakit, atau dalam hal belum dapat ditegakan, maka sekurang-
kurangnya diagnosis kerja dan diagnosis banding.
c. Indikasi atau keadaan klinis pasien yang membutuhkan dilakukannya tindakan
kedokteran.
d. Prognosis apabila dilakukan tindakan dan apabila tidak dilakukan tindakan.

Tujuan tindakan kedokteran yang dilakukan dimana penjelasan tentang tindakan


kedokteran yang dilakukan meliputi :1
a. Tujuan tindakan kedokteran yang dapat berupa tujuan preventif, diagnostik,
terapeutik, ataupun rehabilitative.
b. Tata cara pelaksanaan tindakan apa yang akan dialami pasien selama dan sesudah
tindakan, serta efek samping atau ketidaknyamanan yang mungkin terjadi.

9
Serta alternatif tindakan lain dan risikonya.2
a. Alternatif tindakan lain berikut kelebihan dan kekurangannya dibandingkan
dengan tindakan yang direncanakan.
b. Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi pada masing-masing alternatif
tindakan.
c. Perluasan tindakan yang mungkin dilakukan untuk mengatasi keadaan darurat
akibat risiko dan komplikasi tersebut atau keadaan tak terduga lainnya.

Risiko-risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi juga harus diberikan2


Penjelasan tentang risiko dan komplikasi tindakan kedokteran adalah semua risiko
dan komplikasi yang dapat terjadi mengikuti tindakan kedokteran yang dilakukan,
kecuali :
a. Risiko dan komplikasi yang sudah menjadi pengetahuan umum.
b. Risiko dan komplikasi yang sangat jarang terjadi atau yang dampaknya sangat
ringan.
c. Risiko dan komplikasi yang tidak dapat dibayangkan sebelumnya.

a. Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan dan penjelasan tentang prognosis


meliputi :
b. Pronosis tentang hidup matinya (ad vitam)
c. Prognosis tentang fungsinya (ad functionam)
d. Prognosis tentang kesembuhan (ad sanationam)

3.6 KETENTUAN INFORMED CONSENT


Ketentuan persetujuan informed consent sesuai dengan PERMENKES 290
Tahun 2008 menyebutkan bahwa persetujuan tindakan kedokteran adalah persetujuan
yang diberikan oleh pasien atau keluarga terdekat setelah mendapatkan penjelasan
secara lengkap mengenai tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan
dilakukan terhadap pasien. Keluarga terdekat yang dimaksud adalah suami atau istri,
ayah atau ibu kandung, anak-anak kandung, saudara-sudara kandung atau
pengampunya2,5
Seseorang dewasa dianggap kompeten dan oleh karena itu harus mengetahui
terapi yang direncanakan. Orang dewasa yang tidak kompeten karena penyakit fisik

10
atau kejiwaan dan tidak mampu mengerti tentu saja tidak dapat memberikan informed
consent yang sah. Sebagai akibatnya, persetujuan diperoleh dari orang lain yang
memiliki otoritas atas nama pasien. Ketika pengadilan telah memutuskan bahwa
pasien inkompeten, wali pasien yang ditunjuk pengadilan harus mengambil otoritas
terhadap pasien. Dokter atau dokter gigi wajib memberikan penjelasan sesegera
mungkin kepada pasien setelah pasien sadar atau kepada keluarga terdekat.2
Pemberi informasi tentang tindakan yang akan dilakukan terhadap pasien
dilakukan oleh dokter atau dokter gigi, dokter spesialis atau dokter gigi spesialis
lulusan pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi baik di dalam maupun di luar
negeri, yang diakui oleh pemerintah Republik Indonesia, sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.2
Informed consent tidak berlaku pada 5 keadaan :2
1. Keadaan darurat medis
2. Ancaman terhadap kesehatan masyarakat
3. Pelepasan hak memberikan consent (waiver)
4. Clinical privilege (penggunaan clinical privilege hanya dapat dilakukan pada
pasien yang melepaskan haknya memberikan consent.
5. Pasien yang tidak kompeten dalam memberikan consent.

3.7 ASPEK HUKUM INFORMED CONSENT


1. Dalam hubungan hukum, pelaksana dan pengguna jasa tindakan medis (dokter, dan
pasien) bertindak sebagai subyek hukum yakni orang yang mempunyai hak dan
kewajiban, sedangkan jasa tindakan medis sebagai obyek hukum yakni sesuatu
yang bernilai dan bermanfaat bagi orang sebagai subyek hukum, dan akan terjadi
perbuatan hukum yaitu perbuatan yang akibatnya diatur oleh hukum, baik yang
dilakukan satu pihak saja maupun oleh dua pihak.2
2. Dalam masalah informed consent dokter sebagai pelaksana jasa tindakan medis,
disamping terikat oleh KODEKI (Kode Etik Kedokteran Indonesia) bagi dokter, juga
tetap tidak dapat melepaskan diri dari ketentuan-ketentuan hukun perdata, hukum
pidana maupun hukum administrasi, sepanjang hal itu dapat diterapkan.10
Pada pelaksanaan tindakan medis, masalah etik dan hukum perdata, tolok ukur yang
digunakan adalah kesalahan kecil (culpa levis), sehingga jika terjadi kesalahan kecil

11
dalam tindakan medis yang merugikan pasien, maka sudah dapat dimintakan
pertanggungjawabannya secara hukum. Hal ini disebabkan pada hukum perdata
secara umum berlaku adagium barang siapa merugikan orang lain harus memberikan
ganti rugi.10 Sedangkan pada masalah hukum pidana, tolak ukur yang dipergunakan
adalah kesalahan berat (culpa lata). Oleh karena itu adanya kesalahan kecil (ringan)
pada pelaksanaan tindakan medis belum dapat dipakai sebagai tolok ukur untuk
menjatuhkan sanksi pidana.8
3. Aspek Hukum Perdata, suatu tindakan medis yang dilakukan oleh pelaksana jasa
tindakan medis (dokter) tanpa adanya persetujuan dari pihak pengguna jasa tindakan
medis (pasien), sedangkan pasien dalam keadaan sadar penuh dan mampu
memberikan persetujuan, maka dokter sebagai pelaksana tindakan medis dapat
dipersalahkan dan digugat telah melakukan suatu perbuatan melawan hukum
(onrechtmatige daad) berdasarkan Pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata
(KUHPer). Hal ini karena pasien mempunyai hak atas tubuhnya, sehingga dokter dan
harus menghormatinya;
4. Aspek Hukum Pidana, informed consent mutlak harus dipenuhi dengan adanya
pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang penganiayaan.
Suatu tindakan invasive (misalnya pembedahan, tindakan radiology invasive) yang
dilakukan pelaksana jasa tindakan medis tanpa adanya izin dari pihak pasien, maka
pelaksana jasa tindakan medis dapat dituntut telah melakukan tindak pidana
penganiayaan yaitu telah melakukan pelanggaran terhadap Pasal 351 KUHP.4
5. Sebagai salah satu pelaksana jasa tindakan medis dokter harus menyadari bahwa
informed consent benar-benar dapat menjamin terlaksananya hubungan hukum
antara pihak pasien dengan dokter, atas dasar saling memenuhi hak dan kewajiban
masing-masing pihak yang seimbang dan dapat dipertanggungjawabkan. Masih
banyak seluk beluk dari informed consent ini sifatnya relative, misalnya tidak mudah
untuk menentukan apakah suatu inforamsi sudah atau belum cukup diberikan oleh
dokter. Hal tersebut sulit untuk ditetapkan secara pasti dan dasar teoritis-yuridisnya
juga belum mantap, sehingga diperlukan pengkajian yang lebih mendalam lagi
terhadap masalah hukum yang berkenaan dengan informed consent ini.8

Di Indonesia terdapat ketentuan informed consent yang diatur dalam:8


1. Sesuai dengan Kode Etik Kedokteran Indonesia, terdapat kewajiban umum yang
harus dipenuhi oleh seorang dokter terutama pada pasal 5, dimana tiap perbuatan atau

12
nasehat yang mungkin melemahkan daya tahan psikis maupun fisik hanya diberikan
untuk kepentingan dan kebaikan pasien, setelah memperoleh persetujuan pasien.2
2. Berdasarkan UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal 45 dan
Pasal 25 huruf d dan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1419/Menkes/Per/X/2005
tentang Penyelenggaraan Praktik Dokter dan Dokter Gigi Pasal 17 bahwa :11
Untuk menjalin komunikasi dua arah yang efektif dalam rangka memperoleh
persetujuan tindakan medik, baik dokter atau dokter gigi maupun pasien mempunyai
hak untuk didengar dan kewajiban untuk saling member informasi.
Setelah menerima informasi yang cukup dari dokter atau dokter gigi dan memahami
maknanya (well informed), pasien diharapkan dapat mengambil keputusan bagi
dirinya sendiri (the right to self determination) untuk menyetujui (consent) atau
menolah (refuse) tindakan medik yang akan dilakukan padanya.
Setiap tindakan medik yang akan dilakukan kepada pasien, mensyaratkan persetujuan
(otorisasi) dari yang bersangkutan. Dalam kondisi dimana pasien tidak dapat
memberikan persetujuan secara pribadi (dibawah umur atau keadaan fisik/mental
tidak memungkinkan), maka persetujuan dapat diberikan oleh keluarga yang
berwenang (suami/istri, bapak/ibu, anak atau saudara kandung) atau wali atau
pengampunya.
3. Sebagai suatu perbuatan hukum, persetujuan tindakan medik tentu harus
dilatarbelakangi oleh sektor yuridis agar dapat berlaku dan sesuai dengan
aturanhukum yang berlaku.

Di Indonesia, yang menjadi dasar hukum bagi suatu transaksi persetujuan tindakan
medik adalah sebagai berikut:11
A. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
B. Undang Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran

Pasal 45
(1). Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh dokter
atau dokter gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan.
(2). Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien
mendapat penjelasan secara lengkap.

13
(3). Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya mencakup :
a. Diagnosis dan tata cara tindakan medis;
b. Tujuan tindakan medis yang dilakukan;
c. Alternatif tindakan lain dan risikonya;
d. Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan
e. Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan
(1). Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan baik secara
tertulis maupun lisan.
(2). Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang mengandung risiko
tinggi harus diberikan dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh
yang berhak memberikan persetujuan.
(3). Ketentuan mengenai tata cara persetujuan tindakan kedokteran atau
kedokteran gigi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat
(4), dan ayat (5) diatur dengan Peraturan Menteri.
C. UU Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan
(1). Tenaga kesehatan berhak memperoleh perlindungan hukum dalam
melaksanakan tugas sesuai dengan profesinya.
(2). Tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban untuk mematuhi
standar profesi dan menghormati hak pasien.
(3). Ketentuan mengenai standar profesi dan hak-hak pasien sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
D. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1419/Menkes/Per/X/2005
tentang penyelenggaraan praktik dokter dan dokter gigi:

Pasal 13 ayat (1) yang berbunyi dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan

praktek kedokteran didasarkan pada kesepakatan antara dokter atau dokter gigi
dengan pasien dalam upaya pemeliharaan kesehatan, pencegahan penyakit,
peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit dan pemulihan kesehatan.
Pasal 17 ayat (1) : Dokter atau dokter gigi dalam memberikan pelayanan tindakan
kedokteran atau kedokteran gigi terlebih dahulu harus memberikan penjelasan kepada
pasien tentang tindakan kedokteran yang akan dilakukan.
Ayat (2) : Tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud ayat (1) harus mendapat
persetujuan pasien.
Ayat (3) : Pemberian penjelasan dan persetujuan sebagaimana dimaksud ayat (1) dan

14
ayat (2) dilaksanakan sesuai ketentuan perundang-undangan.
E. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 585/Men.Kes/Per/IX/1989
tentang Persetujuan Tindakan Medik
F. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 749a/Men.Kes/Per/XII/1989
tentang Rekam Medik/ Medical Record
G. Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 1951 tentang Kesehatan Kerja.
H. Surat Keputusan Dirjen Yan Dik No. HK.00.06.6.5.1866 Tahun 1999 tentang
Pedoman Persetujuan Tindakan Medik ditetapkan tanggal 21 April 1999 (selanjutnya
disebut Pedoman Pertindik)
I. Peraturan Menteri Kesehatan RI No.290/Menkes/Per/III/ 2008 tentang persetujuan
tindakan Kedokteran dinyatakan dalam pasal 1, 2, dan 3 yaitu:
Pasal 1

1. Persetujuan tindakan kedokteran adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien

atau keluarga terdekat setelah mendapat penjelasan secara lengkap mengenai


tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan terhadap pasien.
2. Keluarga terdekat adalah suami atau istri, ayah atau ibu kandung, anak-anak
kandung, saudara-saudara kandung atau pengampunya.
3. Tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang selanjutnya disebut tindakan
kedokteran adalah suatu tindakan medis berupa preventif, diagnostik, terapeutik
atau rehabilitatif yang dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien.
4. Tindakan Invasif adalah suatu tindakan medis yang langsung dapat mempengaruhi
keutuhan jaringan tubuh pasien.
5. Tindakan kedokteran yang mengandung risiko tinggi adalah tindakan medis yang
berdasarkan tingkat probabilitas tertentu, dapat mengakibatkan kematian atau
kecacatan.
6. Dokter dan dokter gigi adalah dokter, dokter spesialis, dokter gigi dan dokter gigi
spesialis lulusan pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi baik di dalam
maupun di luar negeri yang diakui oleh pemerintah Republik Indonesia sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
7. Pasien yang kompeten adalah pasien dewasa atau bukan anak menurut peraturan
perundang-undangan atau telah/pernah menikah, tidak
8. terganggu kesadaran fisiknya, mampu berkomunikasi secara wajar, tidak
mengalami kemunduran perkembangan (retardasi) mental dan tidak mengalami

15
penyakit mental sehingga mampu membuatkeputusan secara bebas.
Pasal 2

1. Semua tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien harus

mendapat persetujuan.

2. Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan secara

tertulis maupun lisan.

3. Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien

mendapat penjelasan yang diperlukan tentang perlunya tindakan kedokteran

dilakukan.

Pasal 3

1. Setiap tindakan kedokteran yang mengandung risiko tinggi harus

memperoleh persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak

memberikan persetujuan.

2. Tindakan kedokteran yang tidak termasuk dalam ketentuan sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan dengan persetujuan lisan.

3. Persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat dalam

bentuk pernyataan yang tertuang dalam formulir khusus yang dibuat untuk itu.
4. Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan dalam
bentuk ucapan setuju atau bentuk gerakan menganggukkan kepala yang dapat
diartikan sebagai ucapan setuju.
5. Dalam hal persetujuan lisan yang diberikan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dianggap meragukan, maka dapat dimintakan persetujuan tertulis.
Peraturan Informed Consent apabila dijalankan dengan baik antara dokter dan pasien
akan sama-sama terlindungi secara Hukum. Tetapi apabila terdapat perbuatan diluar
peraturan yang sudah dibuat tentu dianggap melanggar Hukum. Dalam pelanggaran
Informed Consent telah diatur dalam pasal 19 Permenkes No. 290 Tahun 2008 tentang
Persetujuan Tindakan Kedokteran, dinyatakan terhadap dokter yang melakukan
tindakan tanpa Informed Consent dapat dikenakan sanksi berupa teguran lisan,
teguran tertulis sampai dengan pencabutan Surat Ijin Praktik

16
Jika dilihat melalui hukum perdata, maka medcal informed consent adalah informasi
kesehatan yang diberikan kepada pasien (informed) untuk melakukan sebuat tindakan
medis dan diperlukan persetujuan pasien untuk melakukan tindakan medis tersebut
(consent). dalam pasal 1320 KUHPerdata, informed sebagai bagian dari informed
consent adalah hal yang diperjanjikan dalam persetujuan tindakan medis itu sendiri
karena dalam formulir persetujuan tindakan medis misalnya, isinya sangat terbatas,
yaitu hanya persetujuan pasien terhadap suatu tindakan medis tanpa dijelaskan lebih
mendetail bagaimana prosedurnya, efek samping, alternatif tindakan lain dan hal
lainnya. Detail mengenai tindakan medis tersebut berada pada informasi yang
disampaikan oleh dokter tersebut. Informasi kesehatan tersebut tidak diberikan tertulis
dalam formulir persetujuan tindakan medis karena tiap-tiap pasien, penjelasan
mengenai kesehatan dan tindakan medisnya pasti berbeda, walaupun penyakitnya
sama. Perbedaan penjelasan tersebut bisa disebabkan oleh faktor usia, ketahanan
tubuh, parah tidaknya penyakit dan lain-lain.
Consent dalam medical informed consent merupakan persetujuan yang
diberikan oleh pasien setelah diberikan informasi kesehatan oleh dokter. Dalam Pasal
1320 KUHPerdata, ada 4 syarat sahnya perjanjian yaitu: kesepakatan, kecakapan
untuk membuat perikatan, adanya hal tertentu yang diperjanjikan dan sebab yang
halal. Dalam informed consent sudah terpenuhi seluruh syarat sahnya perjanjian.
Informed consent sendiri sudah memenuhi syarat kesepakatan dan hal tertentu,
kemudian suatu tindakan medis harus dilakukan dengan tidak melanggar hukum yang
ada dan memnuhi syarat sebab yang halal. Syarat terakhir, pihak pihak yang
melakukan perjanjian harus cakap dapat terpenuhi dalam perjanjian medis karena bagi
pihak-pihak yang tidak cakap dapat diwakili oleh keluarganya dalam memberikan
persetujuan tindakan medis.

HAK DAN KEWAJIBAN DOKTER


Dalam melaksanakan praktik kedokteran, Dokter atau dokter gigi mempunyai
hak serta kewajiban yang harus diperhatikan. Hak dan kewajiban ini diatur dalam
Paragraf 6 Pasal 50-51 UU RI No.29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran.
Adapun hak dan kewajiban tersebut ialah :11
Pasal 50

17
Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai hak :
a. Memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan
standar profesi dan standar prosedur operasional;
b. Memberikan pelayanan medis menurut standar profesi dan standar prosedur
operasional;
c. Memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari pasien atau keluarganya; dan
d. Menerima imbalan jasa.
Pasal 51
Dokter atau dokter gigi dlam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai
kewajiban :
a. Memberikan pelayanan medis
b. sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional serta kebutuhan
medis pasien;
c. Merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai keahlian atau
kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan
atau pengobatan;
d. Merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan juga
setelah pasien itu meninggal dunia;
e. Melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin
ada orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya; dan
f. Menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran atau
kedokteran gigi.

HAK DAN KEWAJIBAN PASIEN


Dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran, pasien pun mempunyai
hak serta kewajiban yang harus diperhatikan. Hak dan kewajiban ini diatur dalam
Paragraf 7 Pasal 52-53 UU RI No.29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran.
Adapun hak dan kewajban tersebut ialah :11
Pasal 52
Pasien, dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran, mempunyai hak:
a. Mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 45 ayat (3);
b. Meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain;

18
c. Mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis;
d. Menolak tindakan medis; dan
e. Mendapatkan isi rekam medis.
Pasal 53
Pasien, dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran, mempunyai
kewajiban;
a. Memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah kesehatannya;
b. Mematuhi nasihat dan petunjuk dokter atau dokter gigi;
c. Mematuhi ketentuan yang berlaku di sarana pelayanan kesehatan; dan
memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima.

3.8 SANKSI HUKUM TERHADAP INFORMED CONSENT


1. Sanksi pidana
Apabila seorang tenaga kesehatan menorehkan benda tajam tanpa persetujuan pasien
dipersamakan dengan adanya penganiayaan yang dapat dijerat Pasal 351 KUHP.
2. Sanksi perdata
Tenaga kesehatan atau sarana kesehatan yang mengakibatkan kerugian dapat digugat
dengan 1365, 1367, 1370, 1371 KUHPer.
3. Sanksi administratif
Pasal 13 Pertindik mengatur bahwa :
Terhadap dokter yang melakukan tindakan medis tanpa persetujuan pasien atau
keluarganya
Seorang tenaga kesehatan yang melakukan tindakan medik terhadap pasien tanpa
persetujuan pasien atau keluarganya, dapat dianggap melakukan penganiayaan yang
sanksinya diatur dalam pasal 351 KUHP. Yang berbunyi :
1. Penganiayaan dihukum dengan hukuman penjara paling lama dua tahun delapan
bulan atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
2. Jika penganiayaan itu berakibat luka berat, yang bersalah dipidana dengan pidana
penjara paling lama lima tahun.
3. Jika perbuatan itu berakibat matinya orang, maka yang bersalah dipidana dengan
pidana penjara paling lama tujuh tahun.
4. Dengan penganiayaan disamakan merusak kesehatan orang dengan sengaja.
5. Percobaan melakukan kejahatan itu tidak dipidana.

19
BAB III
DAFTAR PUSTAKA

1. Howard, B., Dickler, MD., David, K., Susan, E., Bernard, S., et all. Universal
Use of Short and Readable Informed Consent Documents: How Do We Get
There? Association of American Medical Colleges.
http://www.aamc.org/research/clinicalresearch/hdickler-mtgsumrpt53007.pdf,
diakses 15 November 2009
2. Wakenfield John, et al.. Queensland Health: Guide to Informed Decision-
Making in Healthcare. Centre for Healthcare Improvement. 1st Edition.
Queensland. Queensland Government. February 2012. p.1-34, 45-48, 55-59
3. Escobodo Crisol, Guerrero Javier, Lujan Gilbert, et. al. Ethical Issues with
Informed Consent. University of Texas. Texas. Available from http:// www.
ethicalissues-pdf.com.
4. Bab XX-Penganiayaan. Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
Indonesia.
5. Persetujuan Tindakan Kedokteran. Dalam: Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 290/MENKES/III/2008. Menteri Kesehatan
Republik Indonesia. 2008.
6. Noor M Azis. Laporan Penelitian Hukum terntang Hubungan Tenaga Medik,
Rumah Sakit dan Pasien. Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian
Hukum dan HAM RI. Jakarta. November 2010.
7. Hicks Lorna. Informed Consent. Duke University. Available from http://
informconsent_pdf.com.
8. Organisasi dan Tata Kerja Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia
dan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia di Tingkat Provinsi.
Dalam: Peraturan Konsil Kodekteran Indonesia Nomor
15/KKI/PER/VIII/2006. Menteri Kesehatan Republik Indonesia. 2006.
9. The Process of Obtaining Inform Consent. Research Ethics Review
Committee. World Health Organization. Available:
http://www.who.int/rpc/research_ethics .
10. Kode Etik Kedokteran Indonesia dan Pedoman Pelaksana Kode Etik
Indonesia. Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Indonesia. Ikatan Dokter
Indonesia. Jakarta.
11. Praktik Kedokteran. Dalam : Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29
Tahun 2004. Dewan Perwakilan Republik Indonesia. 2004.

20
21

You might also like