You are on page 1of 15

KONSEP DASAR TEORI

A. DEFINISI
Benigna Prostate Hyperplasia adalah kondisi patologis yang paling
umum pada pria lansia dan penyebab kedua yang paling sering untuk
intervensi medis pada pria di atas usia 60 tahun (Brunner & Suddarth, 2005)
Beningna Prostate Hyperplasia adalah pertumbuhan nodul-nodul
fibriadenomatosa majemuk dalam prostate, pertumbuhan tersebut dimulai
dari bagian periuretral sebagai proliperasi yang terbatas dan tumbuh dengan
menekan kelenjar normal yang tersisa (Sylvia A. Price, 2006)
B. ETIOLOGI
Secara pasti penyebab prostat hiplasia belum diketahui. Tetapi ada
beberapa hipotesis menyebutkan bahwa hyperplasia prostate erat kaitannya
dengan peningkatan kadar dihidrotestoteron (DHT) dan proses menjadi tua
(aging). Beberapa hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya
hyperplasia prostate adalah :
1. Teori DHT.
Pembesaran prostat diaktifkan oleh testosteron dan DHT. Testosteron
dikonversi menjadi dihydrotestosteron oleh enzim 5-alpha reduktase yang
dihasilkan oleh prostat. DHT jauh lebih aktif dibandingkan dengan
testosteron dalam menstimulus pertumbuhan proliferasi prostat..
2. Faktor usia.
Peningkatan usia akan membuat ketidakseimbangan rasio antara estrogen
dan testosteron. Dengan meningkatnya kadar estrogen diduga berkaitan
dengan terjadinya hiperplasia stroma, sehingga timbul dugaan bahwa
testosteron diperlukan untuk insiasi terjadinya proliferasi sel tetapi
kemudian estrogen lah yang berperan untuk perkembangan stroma.
3. Faktor Growth.
Cuncha (1973) membuktikan bahwa diferensiasi dan pertumbuhan sel
epitel prostate secara tidak langsung dikontrol oleh sel-sel stroma melalui
suatu mediator (growth factor) tertentu. Setelah sel-sel stroma
mendapatkan stimulasi dari DHT dan estradiol, sel-sel stroma mensintesis
suatu growth factor yang selanjutnya mempengaruhi sel-sel stroma itu
sendiri secara intrakrin dan atuokrim, serta mempengaruhi sel-sel epitel
secara parakrin. Stimulasi itu menyebabkan terjadinya proliperasi sel-sel
epitel maupun sel stroma.
4. Meningkatnya masa hidup sel-sel prostate.
Program kematian sel (apoptosisi) pada sel prostate adalah mekanisme
fisiologik untuk mempertahankan homeostasis kelenjar prostate. Pada
apoptosisi terjadi kondensasi dan fragmentasi sel yang selanjutnya sel-sel
yang mengalami apoptosis akan difagositosis oleh sel-sel sekitarnya
kemudian didegradasi oleh enzim lisosom.
Pada jaringan normal terdapat keseimbangan antara laju proliferasi sel
dengan kematian sel. Pada saat terjadi pertumbuhan prostate pada prostate
dewasa, penambahan jumlah sel-sel prostate baru dengan yang mati dengan
keadaan seimbang. Berkurangnya jumlah sel-sel secara keseluruhan menjadi
meningkat sehingga menyebabkan petambahan masa prostate.
Sampai sekarang belum dapat diterangkan secara pasti faktor-faktor
yang menghambat proses apoptosis. Diduga hormon androgen berperan
menghambat proses kematian sel karena setelah dilakukan kastrasi, terjadi
peningkatan aktivitas kematian sel kelenjar prostate. Estrogen diduga mampu
memperpanjang usia sel-sel prostate, sedangkan faktor pertumbuhan TGFB
berperan dalam proses apoptosis.
C. PATOFISIOLOGI
Menurut Syamsu Hidayat dan Wim De Jong tahun 1998 adalah
umumnya gangguan ini terjadi setelah usia pertengahan akibat perubahan
hormonal. Bagian paling dalam prostat membesar dengan terbentuknya
adenoma yang tersebar. Pembesaran adenoma progresif menekan atau
mendesak jaringan prostat yang normal ke kapsula sejati yang menghasilkan
kapsula bedah. Kapsula bedah ini menahan perluasannya dan adenoma
cenderung tumbuh ke dalam menuju lumennnya, yang membatasi
pengeluaran urin. Akhirnya diperlukan peningkatan penekanan untuk
mengosongkan kandung kemih. Serat-serat muskulus destrusor berespon
hipertropi yang menghasilkan trabekulasi di dalam kandung kemih. Pada
beberapa kasus jika obstruksi keluar terlalu hebat, terjadi dekompensasi
kandung kemih menjadi struktur yang flasid (lemah), berdilatasi dan sanggup
berkontraksi secara efektif. Karena terdapat sisi urin, maka terdapat
peningkatan infeksi dan batu kandung kemih. Peningkatan tekanan balik
dapat menyebabkan hidronefrosis. Retensi progresif bagi air, natrium, dan
urea dapat menimbulkan edema hebat. Edema ini berespon cepat dengan
drainage kateter.
Menurut Mansjoer Arif (2003) pembesaran prostat terjadi secara
perlahan-lahan pada traktus urinarius, terjadi perlahan-lahan. Pada tahap awal
terjadi pembesaran prostat sehingga terjadi perubahan fisiologis yang
mengakibatkan resistensi uretra daerah prostat, leher vesika kemudian
detrusor mengatasi dengan kontraksi lebih kuat. Sebagai akibatnya serat
detrusor akan menjadi lebih tebal dan penonjolan serat detrusor ke dalam
mukosa buli-buli akan terlihat sebagai balok-balok yang tampai (trabekulasi).
Jika dilihat dari dalam vesika dengan sitoskopi, mukosa vesika dapat
menerobos keluar di antara serat detrusor sehingga terbentuk tonjolan mukosa
yang apabila kecil dinamakan sakula dan apabila besar disebut diverkel. Fase
penebalan detrusor adalah fase kompensasi yang apabila berlanjut detrusor
akan menjadi lelah dan akhirnya akan mengalami dekompensasi dan tidak
mampu lagi untuk kontaksi, sehingga terjadi retensi urin total yang berlanjut
pada hidronefrosis dan disfungsi saluran kemih atas.
D. MANIFESTASI KLINIS
Gejala dan tanda yang tampak pada pasien dengan Benigna Prostate
Hyperplasia adalah :
1. Retensi urin.
2. Kurangnya atau lemahnya pancaran kencing.
3. Miksi yang tidak puas.
4. Frekuensi kencing bertambah terutama malam hari (nocturia).
5. Pada malam hari miksi harus mengejan.
6. Terasa panas, nyeri atau sekitar waktu miksi (disuria).
7. Massa pada abdomen bagian bawah.
8. Hematuria.
9. Urgency (dorongan yang mendesak dan mendadak untuk mengeluarkan
urin).
10. Kesulitan mengawali dan mengakhiri miksi.
11. Kolik renal.
12. Berat badan turun.
13. Anemia kadang-kadang tanpa sebab yang diketahui, pasien sama sekali
tidak dapat berkemih sehingga harus dikeluarkan dengan kateter. Karena
urin selalu terisi dalam kandung kemih, maka mudah sekali terjadi
cystitis dan selaputnya merusak ginjal.
E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Colok dubur (Recta Toucher)
Pemeriksaan colok dubur adalah memasukkan jari telunjuk yang sudah
diberi pelicin ke dalam lubang dubur. Pada pemeriksaan colok dubur
dinilai :
a. Tonus sfingter ani dan refleks bulbo-kavernosus (BCR).
b. Mencari kemungkinan adanya massa di dalam lumen rectum.
c. Menilai keadaan prostate.
2. Laboratorium.
a. Urinalisa untuk melihat adanya infeksi, hematuria.
b. Ureum, cretainin, elektorilt untuk melihat gambaran fungsi ginjal.
3. Pengukuran derajat berat obstruksi.
a. Menentukan jumlah sisa urin setelah penderita miksi spontan (normal
sisa urin kosong dan batas intervensi sisa urin lebih dari 100 cc).
b. Pancaran urin (uroflowmetri).
Syarat : jumlah urin dalam vesika 125 s/d 150 ml. Angka normal rata-
rata 10 s/d 12 ml/detik, obstruksi ringan 6-8 ml/detik.
4. Pemeriksaan lain.
a. BNO/IVP untuk menentukan adanya divertikel, penebalan bladder.
b. USG dengan Transuretral ultrasonografi prostat (TRUS P) untuk
menentukan volume prostat.
c. Trans-abdominal USG : Untuk mendeteksi bagian prostat yang
menonjol ke buli-buli yang dapat dipakai untuk menentukan derajat
berat obstruksi apabila ada batu dalam vesika.
d. Cystoscopy untuk melihat adanya penebalan pada dinding bladder.
F. PENATALAKSANAAN
Tujuan terapi pada pasien BPH adalah mengembalikan kualitas hidup pasien.
Terapi yang ditawarkan pada pasien tergantung pada derajat keluhan, keadaan
pasien, maupun kondisi obyektif kesehatan pasien yang diakibatkan oleh
penyakitnya (Ikatan Ahli Urologi Indonesia)
a. Watchful waiting
Pada Watchful waiting, pasien tidak mendapatkan terapi apapun dan
hanya diberi penjelasan mengenai sesuatu hal yang mungkin dapat
memperburuk keluhannya misalnya jangan banyak minum dan
mengkonsumsi kopi atau alkohol setelah makan malam, kurangi
konsumsi makanan atau minuman yang menyebabkan iritasi pada buli-
buli (kopi atau cokelat), batasi penggunaan obat-obat influenza yang
mengandung fenilpropanolamin, kurangi makanan pedas dan asin, jangan
menahan kencing terlalu lama.
Setiap 6 bulan, pasien diminta untuk kontrol dengan ditanya dan diperiksa
tentang perubahan keluhan yang dirasakan, penilaian IPSS, pemeriksaan
laju pancaran urine, maupun volume residual urine. Jika keluhan miksi
bertambah jelek daripada sebelumnya, mungkin perlu difikirkan untuk
memilih terapi yang lain.
b. Terapi Medikametosa
Tujuan terapi Medikametosa adalah berusaha untuk :
1. Mengurangi retensio otot polos prostate sebagai komponen dinamik
penyebab obstruksi infravesica dengan obat-obatan penghambat
adrenalgik alfa.
2. Mengurangi volume prostat sebagai komponen statik. Jenis obat yang
digunakan adalah :
a) Antagonis adrenergik reseptor- yang dapat berupa :
b) Inhibitor 5 redukstase, yaitu finasteride dan dutasteride.
c) Fitofarmaka.
c. Terapi Intervensi
Terapi intervensi dibagi dalam 2 golongan yakni teknik ablasi jaringan
prostat atau pembedahan dan teknik instrumentasi alternatif. Termasuk
ablasi jaringan prostat adalah pembedahan terbuka, TURP, TUIP, TUVP,
laser prostatektomi. Sedangkan teknik instrumentasi alternatif interstitial
laser coagulation, Trans Uretral Microlowave Termoterapi (TUMT),
Transurethral Needle Ablation of The Prostate (TUNA), dilatasi balon
dan Stenst uretra. (AUA dan Ikatan Ahli Urologi Indonesia dan
Roehrborn CG)
G. KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat terjadi pada hipertropi prostat adalah :
1. Retensi kronik dapat menyebabkan refluks vesiko-ureter, hidroureter,
hidronefrosis, gagal ginjal.
2. Proses kerusakan ginjal dipercepat bila terjadi infeksi pada waktu miksi.
3. Hernia / hemoroid.
4. Karena selalu terdapat sisa urin sehingga menyebabkan terbentuknya
batu.
5. Hematuria.
6. Sistitis dan pielonefritis.
H. DISCHARGE PLANNING
1. Berhenti merokok.
2. Biasakan hidup bersih.
3. Makan makanan yang banyak mengandung vitamin dan hindari minuman
beralkohol.
4. Berolahraga secara rutin dan berusaha untuk mengendalikan stres.
5. Menilai dan mengajarkan pasien untuk melaporkan tanda-tanda hematuria
dan infeksi.
6. Jelaskan komplikasi yang mungkin BPH dan untuk melaporkan hal ini
sekaligus.
7. Anjurkan pasien untuk menghindari obat-obatan yang mengganggu
berkemih seperti obat OTC yang mengandung simpatomimetik seperti
fenilpropanolamin dingin.
8. Mendorong untuk selalu check up.
KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
Berikut ini tinjauan teoritis tentang pelaksanaan asuhan keperawatan pada
pasien dengan penyakit Beningna Prostat Hiperplasia :
A. PENGKAJIAN
1. Data Biografi
2. Riwayat kesehatan atau perawatan.
Meliputi :
a. Keluhan utama / alasan masuk rumah sakit : Biasanya klien mengeluh
nyeri pada saat miksi, pasien juga mengeluh sering BAK berulang-
ulang, terbangun untuk miksi pada malam hari, perasaan ingin miksi
yang sangat mendesak kalau mau miksi harus menunggu lama, harus
mengedan, kencing terputus-putus.
b. Riwayat sekarang : Pasien mengeluh sakit pada saat miksi dan harus
menunggu lama dan harus mengedan, pasien mengatakan tidak bisa
melakukan hubungan seksual, pasien mengatakan buang air kecil tidak
terasa, pasien mengeluh sering BAK berulang-ulang, pasien mengeluh
sering terbangun untuk miksi pada malam hari.
c. Riwayat kesehatan dahulu : Apakah pasien pernah menderita BPH
sebelumnya dan apakah pasien pernah dirawat di rumah sakit
sebelumnya.
d. Riwayat kesehatan keluarga : Mungkin diantara keluarga pasien
sebelumnya ada yang menderita penyakit yang sama dengan penyakit
pasien sekarang.
3. Pola Fungsi Kesehatan
Meliputi : pola persepsidan pemeliharaan kesehatan, pola nutrisi dan
metabolisme, pola eliminasi, pola aktivitas dan latihan, pola istirahat dan
tidur, pola kognitif dan persepsi, persepsi diri dan konsep diri, pola peran
hubungan, pola seksual dan reproduksi, pola koping dan toleransi stress,
keyakinan dan kepercayaan.
4. Pemeriksaan Fisik
Pada waktu melakukan inspeksi keadaan umum pasien mengalami tanda-
tanda penurunan mental seperti neuropati perifer. Pada waktu palpasi
adanya nyeri tekan pada kandung kemih.
Data dasar pengkajian pasien :
a. Sirkulasi
Tanda : Peninggian tekanan darah (efek pembesaran ginjal).
b. Eliminasi
Gejala : Penurunan kekuatan / dorongan aliran urine tetesan; keragu-
raguan pada berkemih awal; ketidakmampuan untuk
mengosongkan kandung kemih dengan lengkap, dorongan dan
frekuensi berkemih; nokturia, dysuria, hematuria; duduk untuk
berkemih; infeksi saluran kemih berulang, riwayat batu (statis
urinaria); konstivasi (protrusi prostat ke dalam rectum).
Tanda : Massa padat di bawah abdomen bawah (distensi kandung
kemih), nyeri tekan kandung kemih; hernia inguinalis,
hemorhoid (mengakibatkan peningkatan tekanan abdominal
yang memerlukan pengosongan kandung kemih mengatasi
tahanan).
c. Makanan / cairan
Gejala : Anoreksia, mual, muntah; penurunan berat badan.
d. Nyeri / kenyamanan
Gejala : Nyeri suprapubik, panggul atau punggung, tajam, kuat (pada
prostates akut; nyeri punggung bawah.
e. Keamanan
Gejala : Demam.
f. Seksualitas
Gejala : Masalah tentang efek kondisi / penyakit kemampuan seksual;
takut inkontinentia / menetes selama hubungan intim;
penurunan kekuatan kontraksi ejakulasi.
g. Penyuluhan dan pembelajaran
Gejala : Riwayat keluarga kanker, hipertensi, penyakit ginjal;
penggunaan antihipersensitif atau antidefresan, antibiotik
urinaria atau gen antibiotik, obat yang dijual bebas, batuk flu /
alergi obat mengandung simpatomimetik.
h. Aktifitas / Istirahat :
Riwayat pekerjaan, lamanya istirahat, aktifitas sehari-hari, pengaruh
penyakit terhadap aktifitas, pengaruh penyakit terhadap istirahat.
i. Hygiene :
Penampilan umum, aktifitas sehari-hari, kebersihan tubuh, frekwensi
mandi.
j. Integritas Ego :
Pengaruh penyakit terhadap stress, gaya hidup, masalah finansial.
k. Neurosensori :
Apakah ada sakit kepala, status mental, ketajaman penglihatan.
l. Pernapasan :
Apakah ada sesak napas, riwayat merokok, frekwensi pernapasan,
bentuk dada, auskultasi.
m. Interaksi Sosial :
Status perkawinan, hubungan dalam masyarakat, pola interaksi
keluarga, komunikasi verbal / non verbal.
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Gangguan eliminasi urin berhubungan dengan sumbatan saluran
pengeluaran pada kandung kemih.
2. Nyeri akut berhubungan dengan agent injuri fisik (spasme kandung kemih)
3. Retensi urine.
4. Resiko perdarahan berhubungan dengan trauma efek samping pembedahan
5. Resiko ketidakefektifan perfusi ginjal.
6. Resiko infeksi.
7. Ansietas berhubungan dengan perasaan takut terhadap tindakan
pembedahan.
C. INTERVENSI
Diagnosa Nursing Outcomes Classification Nursing Interventions Classification
No
Keperawatan (NOC) (NIC)
1. Gangguan eliminasi urine a. Urinary elimination. Urinary Retention Care
b. Urinary Continuence 1. Lakukan penilaian kemih yang komprehensif berfokus pada inkontinensia
Batasan Karakteristik : (misalnya, output urin, pola berkemih, fungsi kognitif dan masalah kencing
a. Disuria Kriteria Hasil : praeksisten)
b. Sering berkemih a. Kandung kemih kosong secara 2. Memantau penggunaan obat dengan sifat antikolinergik atau properti alpha
c. Inkontinensia penuh. agonis.
d. Nokturia b. Tidak ada residu urine >100- 3. Memonitor efek dari obat-obatan yang diresepkan, seperti calcium channel
e. Retensi 200cc blockers dan antikolinergik.
c. Intake cairan dalam rentang 4. Menyediakan penghapusan privasi.
Faktor yang berhubungan : normal. 5. Gunakan kekuatan sugesti dengan menjalankan air atau disiram toilet.
a. Obstruksi anatomic d. Bebas dari ISK. 6. Merangsang refleks kandung kemih dengan menerapkan dingin untuk perut,
b. Penyebab multiple e. Tidak ada spasme bladder. membelai tinggi batin, atau air.
c. Gangguan sensori motorik f. Balance cairan seimbang. 7. Sediakan waktu yang cukup untuk pengosongan kandung kemih (10 menit).
d. Infeksi saluran kemih 8. Gunakan spirit wintergreen di pispot atau urinal.
9. Menyediakan manuver Crede, yang diperlukan.
10. Gunakan double-void teknik.
11. Masukkan kateter kemih, sesuai.
12. Anjurkan pasien / keluarga untuk merekam output urin, sesuai.
13. Instrusikan cara-cara untuk menghindari konstipasi atau impaksi tinja.
14. Memantau asupan dan keluaran.
15. Memantau tingkat distensi kandung kemih dengan palpasi dan perkusi.
16. Membantu dengan toilet secara berkala, sesuai.
17. Memasukkan pipa ke dalam lubang tubuh untuk sisa, sesuai.
18. Menerapkan kateterisasi intermitten, sesuai.
19. Merujuk ke spesialis kontinensia kemih, sesuai.
2 Nyeri Akut a. Pain level Pain Management
b. Pain control 1. lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi,
c. Comfort level karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi
2. observasi reaksi non verbal dari ketidaknyamanan
Kriteria Hasil 3. gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk mengetahui pengalaman nyeri
a. Mampu mengontrol nyeri pasien
b. Melaporkan bahwa nyeri 4. kaji kultur yang mempengaruhi respon nyeri
berkurang dengan menggunakan 5. evaluasi pengalaman nyeri masa lampau
manajemen nyeri 6. evaluasi bersama pasien dan tim kesehatan lain tentang ketidakefektifan
c. Mampu mengenali nyeri kontrol nyeri masa lampau
d. Menyatakan rasa nyaman setelah 7. bantu pasien dan keluarga untuk mencari dan menemukan dukungan
nyeri berkurang 8. kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan,
pencahayaan dan kebisingan
9. kurangi faktor presipitasi
10. pilih dan lakukan penanganan nyeri (farmakologi, non farmakologi dan
inter personal)
11. kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan intervensi ajarkan tentang
teknik non farmakologi
12. berikan analgetik untuk mengurangi nyeri
13. evaluasi keefektifan kontrol nyeri
14. tingkatkan istirahat
15. kolaborasikan dengan dokter jika keluhan dan tindakan nyeri tidak berhasil
Analgetic Administration
1. tentukan lokasi, karakteristik, kualitas, dan derajat nyeri sebelum pemberian
obat
2. cek instruksi dokter tentang jenis obat, dosis dan frekuensi
3. cek riwayat alergi
4. pilih analgetik yang diperlukan atau kombinasi dari analgetik ketika pemberian
lebih dari satu
5. tentukan pilihan analgetik tergantung tipe dan beratnya nyeri
6. tentukan analgetik pilihan, rute pemberian dan dosis optimal
7. pilih rute pemberian secara IV, IM untuk pengobatan nyeri secara teratur
8. monitor vital sign sebelum dan sesudah pemberian analgetik pertama kali
9. berikan analgetik tepat waktu terutama saat nyeri hebat
10. evaluasi efektifitas analgetik, tanda dan gejala (efek samping)

3. Retensi Urine
4 Resiko Infeksi berhubungan NOC NIC
dengan luka post operasi, g. Immune status Infection Control (Kontrol Infeksi)
pemasangan alat-alt invasif. h. Knowledge : infection control 1. Bersihkan lingkungan setelah dipakai pasien lain.
i. Risk control 2. Pertahankan teknik isolasi.
Kriteria Hasil : 3. Batasi pengunjung bila perlu.
j. Klien bebas dari tanda dan gejala 4. Instruksikan pada pengunjung untuk mencuci tangan saat berkunjung dan
infeksi. setelah berkunjung meninggalkan pasien.
k. Mendeskripsikan proses penularan 5. Gunakan sabun antimikroba untuk cuci tangan.
penyakit, faktor yang 6. Cuci tangan setiap sebelum dan seseudah tindakan keperawatan.
mempengaruhi penularan serta 7. Gunakan baju, sarung tangan sebagai alat pelindung.
penatalaksanaannya. 8. Pertahankan lingkungan aseptik selama pemasangan alat.
l. Menunjukkan kemampuan untuk 9. Ganti letak IV Perifer dan line central dan dressing sesuai dengan petunjuk
mencegah timbulnya infeksi. umum.
m. Jumlah leukosit dalam batas 10. Gunakan kateter intermitten untuk menurunkan infeksi kandung kemih.
normal. 11. Tingkatkan intake nutrisi.
n. Menunjukkan perilaku hidup 12. Berikan terapi antibiotik bila perlu.
sehat. Infection Protection (Proteksi terhadap infeksi)
1. Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan lokal.
2. Monitor hitung granulosit, WBC
3. Monitor kerentanan terhadap infeksi.
4. Batasi pengunjung
5. Sering pengunjung terhadap penyakit menular.
6. Pertahankan teknik aspsesis pada pasien yang beresiko.
7. Pertahankan teknik isolasi.
8. Berikan perawatan kulit pada area epidema.
9. Inspeksi kulit dan membran mukosa terhadap kemerahan, panas, drainase.
10. Inspeksi kondisi luka / insisi bedah.
11. Dorong masukkan nutrisi yang cukup.
12. Dorong masukkan cairan.
13. Dorong istirahat.
14. Instruksikan pasien untuk minum antibiotik sesuai resep.
15. Ajarkan pasien dan keluarga tanda dan gejala infeksi,
16. Ajarkan cara menghindari infeksi.
17. Laporkan kecurigaan infeksi.
18. Laporkan kultur positif.

5 Ansietas berhubungan dengan NOC NIC


kurangnya pengetahuan o. Anxiety self control Anxiety Reduction (penurunan kecemasan)
mengenai prognosis penyakit. p. Anxiety level 1. Gunakan pendekatan yang menenangkan.
q. Coping 2. Nyatakan dengan jelas harapan terhadap pelaku pasien.
Kriteria Hasil 3. Jelaskan semua prosedur dan apa yang dirasakan selama prosedur.
r. Klien mampu mengidentifikasi 4. Pahami perspektif pasien terhadap situasi stres.
dan mengungkapkan gejala cemas. 5. Temani pasien untuk memberikan keamanan dan mengurangi takut
s. Mengidentifikasi, mengungkapkan 6. Dorong keluarga untuk menemani anak.
dan menunjukkan teknik untuk 7. Lakukan back / neck rub.
mengontrol cemas. 8. Dengarkan dengan penuh perhatian
t. Vital sign dalam batas normal. 9. Identifikasi tingkat kecemasan
u. Postur tubuh, ekspresi wajah, 10. Bantu pasien mengenai situasi yang menimbulkan kecemasan
bahasa tubuh dan tingkat aktivitas 11. Dorong pasien untuk mengungkapkan perasaan, ketakutan, persepsi.
menunjukkan berkurangnya 12. Instruksikan pasien menggunakan teknik relaksasi.
kecemasan. 13. Berikan obat untuk mengurangi kecemasan.

You might also like