You are on page 1of 6

Dasar Hukum Visum et Repertum

Dasar hukum Visum et Repertum adalah sebagai berikut:


Pasal 133 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyebutkan:
(1) Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban
baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang
merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan
ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya.
(2) Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan
secara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk
pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat.

Yang berwenang meminta keterangan ahli adalah penyidik dan penyidik


pembantu sebagaimana bunyi Pasal 7 (1) butir h dan Pasal 11 KUHAP. Penyidik
yang dimaksud adalah penyidik sesuai dengan Pasal 6 (1) butir a, yaitu penyidik
yang pejabat Polisi Negara RI. Penyidik tersebut adalah penyidik tunggal bagi
pidana umum, termasuk pidana yang berkaitan dengan kesehatan dan jiwa manusia.
Oleh karena Visum et Repertum adalah keterangan ahli mengenai pidana yang
berkaitan dengan kesehatan jiwa manusia, maka penyidik pegawai negeri sipil tidak
berwenang meminta Visum et Repertum, karena mereka hanya mempunyai
wewenang sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-
masing (Pasal 7 (2) KUHAP). Sanksi hukum bila dokter menolak permintaan
penyidik adalah sanksi pidana:
Pasal 216 KUHP:
Barangsiapa dengan sengaja tidak menuruti perintah atau permintaan yang
dilakukan menurut undang-undang oleh pejabat yang tugasnya mengawasi
sesuatu, atau oleh pejabat berdasarkan tugasnya, demikian pula yang diberi kuasa
untuk mengusut atau memeriksa tindak pidana; demikian pula barangsiapa dengan
sengaja mencegah, menghalang-halangi atau menggagalkan tindakan guna
menjalankan ketentuan, diancam dengan pidana penjara paling lama empat bulan
dua minggu atau denda paling banyak sembilan ribu rupiah.
Mengenai kepangkatan pembuat surat permintaan Visum et Repertum telah
diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1983 yang menyatakan penyidik
Polri berpangkat serendah-rendahnya Pembantu Letnan Dua, sedangkan pada
wilayah kepolisian tertentu yang komandannya adalah seorang bintara (Sersan),
maka ia adalah penyidik karena jabatannya tersebut. Kepangkatan bagi penyidik
pembantu bintara serendah-rendahnya Sersan Dua. Untuk mengetahui apakah suatu
surat permintaan pemeriksaan telah ditandatangani oleh orang yang berwenang,
maka yang penting adalah bahwa si penanda tangan menandatangani surat tersebut
selaku penyidik.
Wewenang penyidik meminta keterangan ahli ini diperkuat dengan
kewajiban dokter untuk memberikannya bila diminta, seperti yang tertuang dalam
Pasal 179 KUHAP sebagai berikut:
(1) Setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakiman
atau dokter atau ahli lainnya wajib memberikan keterangan ahli demi
keadilan.

Dari bunyi Staatsblad 350 Tahun 1937 terlihat bahwa:


1. Nilai daya bukti Visum et Repertum dokter hanya sebatas mengenai hal yang
dilihat atau ditemukannya saja pada korban. Dalam hal demikian, dokter hanya
dianggap memberikan kesaksian (mata) saja.
2. Visum et Repertum hanya sah bila dibuat oleh dokter yang sudah mengucapkan
sumpah sewaktu mulai menjabat sebagai dokter, dengan lafal sumpah dokter
seperti yang tertera pada Staatsblad No. 97 Pasal 38 Tahun 1882. Lafal sumpah
dokter ini memang tepat bila digunakan sebagai landasan pijak pembuatan
Visum et Repertum.
Pasal-pasal KUHAP yang mengatur tentang produk dokter yang sepadan
dengan Visum et Repertum adalah Pasal 186 dan 187 (c), yang berbunyi:
Pasal 186:
Keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan.
Penjelasan Pasal 186 KUHAP:
Keterangan ahli ini dapat juga sudah diberikan pada waktu pemeriksaan oleh
penyidik atau penuntut umum yang dituangkan dalam suatu bentuk laporan dan
dibuat dengan mengingat sumpah di waktu ia menerima jabatan atau pekerjaan.
Pasal 187:
(c) Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan
keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi
dari padanya.

Berdasarkan penjelasan pada kedua pasal di atas, maka Visum et Repertum


dapat digolongkan sebagai alat bukti yang sah berupa keterangan ahli, surat, dan
petunjuk sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 184 KUHAP. Alat bukti yang sah
yang diatur dalam Pasal 184 KUHAP adalah:
a. Keterangan saksi
b. Keterangan ahli
c. Surat
d. Petunjuk
e. Keterangan terdakwa

Afandi D. 2010. Visum et Repertum Perlukaan: Aspek Medikolegal dan Penentuan


Derajat Luka. Maj Kedokt Indon, 60(4):188-95.

Pencabutan Visum
Diatur dalam instruksi polisi No.Pol.INS/E/20/IX/75 tentang tata cara
permohonan/pencabutan Visum et Repertum. Pada dasarnya
penarikan/pencabutan Visum et Repertum tidak dapat dibenarkan. Bila terpaksa
Visum et Repertum yang sudah diminta harus diadakan pencabutan/penarikan
kembali, maka hal tersebut hanya diberikan oleh komandan kesatuan paling
rendah tingkat Komres dan untuk kota hanya oleh DANTES.
Afandi. 2010. Visum et Repertum pada Korban Hidup. Bagian Ilmu Kedokteran
Forensik dan Medikolegal: FK UNRI
Perbedaan Antara Saksi dan Saksi Ahli

Saksi Saksi Ahli


Definisi Salah satu alat bukti dalam perkara Keterangan yang
pidana yang berupa keterangan dari diberikan oleh seorang
saksi mengenai suatu perisitiwa yang memiliki keahlian
pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat khusus tentang hal yang
sendiri, dan ia alami sendiri.( Pasal 1 diperlukan untuk
angka 27 KUHAP) membuat terang suatu
perkara pidana guna
kepentingan
pemeriksaan (Pasal 1
angka 28 KUHAP)
Dasar Memberikan keterangan atas dasar Memberikan keterangan
memberikan segala hal yang dilihat, didengar dan atas dasar hal-hal yang
keterangan dialaminya sendiri sesuai dengan menjadi atau di bidang
kenyataan dan fakta keahliannya yang ada
hubungannya dengan
perkara yang sedang
diperiksa
Bukti Perlu alat bukti lain atau bukti Keterangan ahli tidak
penguat penguat untuk membuktikan. Adanya perlu diperkuat dengan
asas unus testis nullus testis (seorang alasan. Tidak mengenal
saksi bukanlah saksi) asas unus testis nullus
testis
Bentuk Harus memberikan keterangan Dapat memberi
penyampaian dengan lisan. Jika memberikan keterangan lisan maupun
keterangan keterangan tertulis maka masuk tulisan
dalam kategori bukti tertulis
Urgensi pada Sifatnya mutlak Pemeriksaan ahli
tahap tidaklah semutlak
penyidikan pemeriksaan saksi-saksi.
Mereka dipanggil dan
diperiksa apabila
penyidik menganggap
perlu untuk
memeriksanya {Pasal
120 ayat (1) KUHAP}
Tidak hanya memiliki perbedaan, ternyata keterangan saksi dan keterangan ahli
juga memiliki perbedaan, yaitu :
1. Kekuatan nilai pembuktian: tidak sempurna, tidak menentukan/mengikat,
tergantung pada penilaian hakim
2. Wajib disumpah sebelum memberikan keterangan.

Hamzah A (2010). Asas-Asas Hukum Pidana, PT. Rineka Cipta: Jakarta.

Dasar hukum dokter sebagai keterangan ahli


Kewajiban dokter untuk membuat keterangan ahli telah diatur dalam pasal 133
KUHAP. Keterangan ahli ini akan dijadikan sebagai alat bukti yang sah di depan
sidang pengadilan (Pasal 184 KUHAP) dan dapat diberikan secara lisan di depan
sidang pengadilan (Pasal 186 KUHAP). Bila dokter atau tenaga kesehatan dengan
sengaja tidak memenuhi kewajiban saat dipanggil sebagai saksi, atau sebagai ahli
dalam suatu kasus yang diduga terkait dengan suatu kejahatan, maka dalam perkara
pidana diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan dan dalam
perkara lain, diancam dengan pidana paling lama enam bulan (Pasal 224 KUHP).
Pada kasus yang terkait dengan pelanggaran, maka dokter atau tenaga kesehatan
dapat didenda sesuai kepantasan menurut persidangan (Pasal 522 KUHP). Pada
pasal 170 KUHAP dinyatakan bahwa dokter karena pekerjaan, harkat martabat atau
jabatannya dapat menggunakan hak undur diri untuk diminta dibebaskan dari
kewajiban untuk memberi keterangan sebagai saksi, mengenai rahasia kedokteran
yang dipercayakan kepadanya dengan memberikan alasan pada hakim. Hakim akan
menentukan sah atau tidaknya segala alasan untuk permintaan tersebut. Namun,
pada pasal 179 KUHAP dinyatakan bahwa permintaan bantuan pengadilan pada
dokter sebagai ahli sesuai prosedur hukum, wajib dipenuhi. Sehingga permintaan
memberikan keterangan ahli atau permintaan keterangan dalam pemeriksaan pada
tahap sebelum pemeriksaan sidang dipengadilan, tidak dapat diabaikan dengan
mengasumsikan seorang dokter atau tenaga kesehatan memiliki hak undur diri.
Kristanto E, Isries AM. Hak Undur Diri dalam Pemeriksaan di Sidang Pengadilan
dalam Konteks Rahasia Kedokteran. Dalam: Tjiptomartono AL, editor
(penyunting). Penerapan Ilmu Kedokteran Forensic dalam Proses Penyidikan. Edisi
Revisi. Jakarta: Sagung Seto; 2008. hlm. 252-6.

You might also like