Professional Documents
Culture Documents
TINJAUAN PUSTAKA
2. Faktor Plasenta
Pertukaran gas antara ibu dan janin dipengaruhi oleh luas dan kondisi plasenta.
Asfiksia janin akan terjadi bila terdapat gangguan mendadak pada plasenta,
misalnya solusio plasenta, perdarahan plasenta, dan lain-lain.
3. Faktor fetus
Kompresi umbilikus akan mengakibatkan terganggunya aliran darah dalam
pembuluh darah umbilikus dan menghambat pertukaran gas antara ibu dan janin.
Gangguan aliran darah ini dapat ditemukan pada kelainan tali pusat menumbung,
tali pusat melilit leher, kompresi tali pusat janin dan jalan lahir, dan lain-lain.
4. Faktor Neonatus
Depresi pusat pernapasan pada bayi baru lahir dapat terjadi karena beberapa
hal, sebagai berikut.
a. Pemakaian obat anastesia/analgetika yang berlebihan pada ibu
secara langsung dapat menimbulkan depresi pusat pernapasan janin.
b. Trauma yang terjadi pada persalinan, misalnya perdarahan intrakranial.
c. Kelainan kongenital pada bayi misalnya hernia diafragmatika, atresi/stenosis
saluran pernapasan, hipoplasia paru, dan lain-lain.
(Abdoerrachman dkk, 1985)
Setelah lahir, bayi akan segera bergantung pada paru-paru sebagai sumber
utama oksigen. Pada saat bayi mengambil napas pertama, udara memasuki alveoli
paru dan cairan yang mengisi alveoli akan diserap ke dalam jaringan paru. Pada
napas kedua dan berikutnya, udara yang masuk alveoli bertambah banyak dan
cairan paru diabsorpsi sehingga kemudian seluruh alveoli berisi udara yang
mengandung oksigen. Pengisian alveoli oleh udara akan memungkinkan oksigen
mengalir ke dalam pembuluh darah di sekitar alveoli.
Arteri dan vena umbilikalis akan menutup sehingga menurunkan tahanan pada
sirkulasi plasenta dan meningkatkan tekanan darah sistemik. Akibat tekanan
udara dan peningkatan kadar oksigen di alveoli, pembuluh darah paru akan
mengalami relaksasi sehingga tahanan terhadap aliran darah bekurang.
Keadaan relaksasi tersebut dan peningkatan tekanan darah sistemik,
menyebabkan tekanan pada arteri pulmonalis lebih rendah dibandingkan tekanan
sistemik sehingga aliran darah paru meningkat sedangkan aliran pada duktus
arteriosus menurun. Oksigen yang diabsorbsi di alveoli oleh pembuluh darah di
vena pulmonalis dan darah yang banyak mengandung oksigen kembali ke bagian
jantung kiri, kemudian dipompakan ke seluruh tubuh bayi baru lahir. Pada
kebanyakan keadaan, udara menyediakan oksigen (21%) untuk menginisiasi
relaksasi pembuluh darah paru. Pada saat kadar oksigen meningkat dan pembuluh
paru mengalami relaksasi, duktus arteriosus mulai menyempit. Darah yang
sebelumnya melalui duktus arteriosus sekarang melalui paru-paru akan
mengambil banyak oksigen untuk dialirkan ke seluruh jaringan tubuh.
Pada akhir masa transisi normal, bayi menghirup udara dan menggunakan
paru-parunya untuk mendapatkan oksigen. Tangisan pertama dan tarikan napas
yang dalam akan mendorong cairan dari jalan napasnya. Oksigen dan
pengembangan paru merupakan rangsang utama relaksasi pembuluh darah paru.
Pada saat oksigen masuk adekuat dalam pembuluh darah, warna kulit bayi akan
berubah dari abu-abu/biru menjadi kemerahan (Health Technology Assessment
Indonesia Depkes RI, 2008).
Aliran darah paru meningkat secara dramatis. Hal ini disebabkan ekspansi paru
yang membutuhkan tekanan puncak inspirasi dan tekanan akhir ekspirasi yang
lebih tinggi. Ekspansi paru dan peningkatan tekanan oksigen alveoli, keduanya,
menyebabkan penurunan resistensi vaskuler paru dan peningkatan aliran darah
paru setelah lahir. Aliran intrakardial dan ekstrakardial mulai beralih arah yang
kemudian diikuti penutupan duktus arteriosus. Kegagalan penurunan resistensi
vaskuler paru menyebabkan hipertensi pulmonal persisten (Persisten Pulmonary
Hypertension of the Neonate) pada bayi baru lahir, dengan aliran darah paru yang
inadekuat dan hipoksemia relatif. Ekspansi paru yang inadekuat menyebabkan
gagal napas (Dharmasetiawani, 2008).
(Pulse)
(Grimace)
(Respiration)
3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium beupa analisis gas darah tali pusat menunjukkan
hasil asidosis pada darah tali pusat:
a. PaO2 < 50 mm H2O
b. PaCO2 > 55 mm H2
c. pH < 7,30
Bila bayi sudah tidak membutuhkan bantuan resusitasi aktif, pemeriksaan
penunjang diarahkan pada kecurigaan atas komplikasi, berupa :
a. Darah perifer lengkap
b. Analisis gas darah sesudah lahir
c. Gula darah sewaktu
d. Elektrolit darah (Kalsium, Natrium, Kalium)
e. Ureum kreatinin
f. Laktat
g. Ronsen dada
h. Ronsen abdomen tiga posisi
i. Pemeriksaan USG kepala
j. Pemeriksaan EEG dan CT Scan kepala
(IDAI, 2004).
1. Menghangatkan
Termoregulasi merupakan aspek penting dari langkah awal resusitasi. Hal ini
dapat dilakukan dengan meletakkan neonatus di bawah radiant warmer.
Sebaiknya bayi yang diletakkan di bawah radiant warmer dibiarkan tidak
berpakaian agar dapat diobservasi dengan baik serta mencegah terjadinya
hipertermi. Bayi yang dengan berat kurang dari 1500 gram, mempunyai risiko
tinggi terjadinya hipotermi. Untuk itu, sebaiknya bayi tersebut dibungkus
dengan plastik, selain diletakkan di bawah radiant warmer. Tujuan dari
resusitasi neonatus yaitu untuk mencapai normotermi dengan cara memantau
suhu, sehingga tidak terjadi hipertermi iatrogenik.2,7,10
sniffing position
source :
http://www.cgmh.org.tw/intr/intr5/c6700/N%20teaching/Neonatal%20Resusci
tation%20Supplies%20and%20Equipment.html//
Jika terdapat mekonium tetapi bayinya bugar, yang ditandai dengan laju nadi lebih
dari 100 kali per menit, usaha nafas dan tonus otot yang baik, lakukan suction
pada mulut dan hidung dengan bulb syringe ( balon penghisap ) atau kateter
penghisap besar jika diperlukan. 5,7
Pneumonia aspirasi yang berat merupakan hasil dari aspirasi mekonium saat
proses persalinan atau saat dilakukan resusitasi. Oleh karena itu, jika bayi
menunjukan usaha nafas yang buruk, tonus otot yang melemah, dan laju nadi
kurang dari 100 kali per menit, perlu dilakukan suction langsung pada trachea
dan harus dilakukan secepatnya setelah lahir. Hal ini dapat dilakukan dengan
laringoskopi langsung dan memasukan kateter penghisap ukuran 12 French
(F) atau 14 F untuk membersihkan mulut dan faring posterior, dilanjutkan
dengan memasukkan endotracheal tube, kemudian dilakukan suction. Langkah
ini diulangi hingga keberadaan mekonium sangat minimal. 5,6,7
Source : http://www.firstaidmonster.com/popup_image.php/pID/7122
sumber:
http://healthprofessions.missouri.edu/cpd/RT/CRCE/nrpinfo.php
Sumber :
http://journal.medscape.com/content/1999/00/43/71/437101/437101_fig.html
Penilaian warna kulit dapat dilakukan dengan memperhatikan bibir dan batang
tubuh bayi untuk menilai ada tidaknya sianosis sentral. Sianosis sentral
menandakan terjadinya hipoksemia, sehingga perlu diberikan oksigen
tambahan. Jika masih terjadi sianosis setelah diberikan oksigen tambahan,
ventilasi tekanan positif perlu dilakukan, bahkan dengan laju nadi lebih dari
100 kali per menit. Jika sianosis sentral masih terjadi dengan ventilasi tekanan
positif yang adekuat, perlu dipikirkan adanya penyakit jantung bawaan atau
adanya hipertensi pulmoner yang persisten.
Seperti yang sudah disebutkan, penilaian dan penatalaksanaan dari jalan nafas
dapat dilakukan dengan cara pembersihan jalan nafas, memposisikan bayi
pada sniffing position untuk membuka jalan nafas. Selain itu, dapat pula
dilakukan evaluasi terhadap laju nadi dan tonus bayi. Evaluasi ini harus
dilakukan dengan baik karena bila ada salah satu tanda vital yang abnormal,
akan segera membaik jika diberikan ventilasi. Jadi, di dalam resusitasi
neonatus, pemberian ventilasi yang adekuat merupakan langkah yang paling
penting dan paling efektif.
Pemberian Oksigen
Pemberian oksigen diperlukan apabila neonatus dapat bernafas, laju nadi lebih
dari 100 kali per menit, tetapi masih terjadi sianosis sentral. Oksigen aliran
bebas oksigen diberikan dengan cara dialirkan ke hidung bayi secara pasif,
dapat diberikan menggunakan sungkup, T-piece resuscitator, atau selang
oksigen (oxygen tubing) sesuai dengan cara yang diperlukan. Untuk
memastikan neonatus mendapatkan oksigen dengan konsetrasi tinggi, sungkup
harus diletakkan menempel pada wajah, agar menciptakan tekanan yang setara
dengan Continuous Positive Airway Pressure (CPAP) atau Positive End
Expiratory Pressure (PEEP). Jika menggunakan selang oksigen, posisi tangan
harus dibentuk seperti mangkok di ujung selang dan diletakkan di depan wajah
bayi. Oksigen tidak boleh diberikan lebih dari 10 liter per menit (LPM) untuk
waktu yang lama. Oksigen cukup diberikan dengan aliran 5 LPM dalam
resusitasi. 2,11,12
Standar oksigen yang digunakan dalam resusitasi neonatus yaitu oksigen 100%.
Terdapat penelitian yang meneliti penggunaan udara ruangan (oksigen 21%)
dan oksigen 100% untuk resusitasi neonatus. Disebutkan bahwa penggunaan
oksigen 100% dapat merugikan selama masa post asfiksia, hal ini berdasarkan
teori :
1. Pada observasi in vitro , produksi oksigen radikal saat reoksigenasi hipoksia
bergantung pada konsentrasi oksigen
2. peningkatan konsentrasi hipoxantine di plasma selama hipoksia mencapai
level lebih tinggi pada saat resusitasi. Karena hipoxantine terakumulasi pada
neonatus yang asfiksia , maka dapat kita artikan bahwa limitasi oksigen pada
masa post asfiksi secara potensial dapat mengurangi luka akibat akumulasi
dari oksigen radikal.
3. Selain itu hiperoksia memperlambat aliran darah pada bayi aterm maupun
preterm dan pemberian oksigen 100% saat persalinan dapat menyebabkan
penurunan aliran darah jangka panjang pada bayi preterm. Pada penelitian
tersebut didapatkan bahwa mortalitas neonatus lebih rendah pada penggunaan
oksigen 21% daripada oksigen 100% ( 5,8 % dan 9,5% ) dan pada neonatus
preterm juga berlaku hal yang sama yaitu mortalitas pada penggunaan oksigen
21% lebih rendah daripada oksigen 100% ( 21 % dan 35 % ). Hal ini
menunjukkan resusitasi menggunakan oksigen 21% ( udara ruangan)
tampaknya potensial sebagai strategi untuk menurunkan mortalitas neonatus
bahkan pada neonatus preterm. Ini dapat berimplikasi terhadap aturan di
negara berkembang yang masih mencari cara lebih murah namun dapat
menurunkan angka kematian pada neonatus maupun bayi. 11, 12
Penggunaan oksigen memiliki efek samping seperti dapat merusak paru-paru dan
jaringan, terutama pada bayi prematur. Hal ini menyebabkan
direkomendasikannya penggunaan oksigen dengan konsentrasi kurang dari
100%, yang dapat diperoleh dengan menggunakan oxygen blender yang dapat
mencampur oksigen dan udara untuk menghasilkan konsentrasi udara yang
diinginkan. Pada bayi yang menderita penyakit jantung bawaan, penggunaan
oksigen 100% dapat mengganggu perfusi jaringan. Secara umum, saturasi
oksigen harus dijaga antara 85-95%, dimana 70-80% didapatkan pada menit
awal kehidupan. 7,10
Pemberian oksigen tambahan juga diberikan pada bayi yang memerlukan ventilasi
tekanan positif. Indikasi dari ventilasi tekanan positif dengan oksigen
tambahan antara lain:
1. Bayi yang apnea
2. Laju nadi kurang dari 100 kali per menit setelah 30 detik
3. Terjadi sianosis sentral setelah diberikan oksigen tambahan
Alat-alat Ventilasi 7
Ventilasi pada neonatus dapat menggunakan beberapa macam alat seperti:
1. Self-inflating bags
2. Flow-inflating bag
3. T-piece resuscitator
4. Laryngeal mask airways
5. Endotracheal tube
Self-inflating bags merupakan alat yang paling banyak dipakai dalam ventilasi
manual. Alat ini memiliki katup pengaman yang menjaga tekanan inflasi
sebesar 35 cm H2O. Namun katup pengaman ini kurang efektif bila digunakan
terlalu kuat. Positive End-Expiratory Pressure (PEEP) dapat diberikan apabila
katup PEEP disambungkan. Tetapi self-inflating bags tidak dapat
menggunakan CPAP. Selain itu, self-inflating bags tidak dapat digunakan
untuk mengalirkan oksigen aliran bebas (free-flow oxygen).
Sumber : http://www.nzdl.org/gsdl/collect/who/archives/HASH0176.dir/p05.gif
Sumber :
http://www.hospitalmanagement.net/contractor_images/intersurgical_2/5_solu
s.jpg
C. Kompresi Dada
Indikasi kompresi dada adalah jika frekuensi denyut jantung <60 denyut
permenit setelah ventilasi dilakukan efektif selama 30 detik. Dengan rasio
kompresi : ventilasi = 3:1. Pernafasan, frekuensi denyut jantung dan
oksigenasi harus dinilai secara periodic. Kompresi dan ventilasi tetap
dilakukan sampai frekuensi denyut jantung 60 denyut per menit.
Kompresi dada harus dilakukan apabila laju nadi kurang dari 60 kali per
menit walaupun sudah dilakukan ventilasi secara adekuat dengan pemberian
oksigen tambahan selama 30 detik. Kompresi dada harus dilukan dengan
kecepatan 90 kali per menit dengan perbandingan kompresi dengan ventilasi
3:1 (90:30). Kompresi dilakukan di bawah sela iga ketiga dengan kedalaman
sepertiga dari diameter anterior dan posterior. Ada 2 cara yang dapat
digunakan, yaitu dengan metode 2 jari (2 finger method) dan metode ibu jari (
thumb method).
Metode ibu jari lebih direkomendasikan karena tidak cepat lelah dan dapat
mengatur kedalaman tekanan dengan baik. Selain itu, menurut beberapa
penelitian, metode tangan melingkari dada menghasilkan tekanan sistolik,
diastolik, mean arterial pressure, dan perfusi jaringan yang lebih baik
daripada metode 2 jari. Metode 2 jari digunakan apabila dibutuhkan akses ke
umbilikus untuk memasang umbilical catheter.
Setelah dilakukan kompresi dada selama 30 detik, lakukan penilaian kembali
terhadap laju nadi, laju pernafasan, dan warna kulit. Kompresi dada harus
dilakukan sampai laju nadi lebih dari atau sama dengan 60 kali per menit
secara spontan.
D. Medikamentosa
Obat-obatan jarang digunakan pada resusitasi bayi baru lahir. Namun jika
frekuensi denyut jantung <60 denyut permenit walaupun telah diberikan
ventilasi yang adekuat dengan oksigen dan kompresi dada, pemberian
epinefrin, cairan penambah volume darah atau keduanya dapat dilakukan.
Epinefrin 1:10.000 direkomendasikan untuk diberikan secara IV dengan dosis
: 0,1-0,3 ml/kg berat badan atau 0,01-0,03 mg/kg berat badan diberikan secara
cepat, dilarutkan dengan larutan NaCl 0,9% menjadi 1-2 ml bila secara
endotrakea.
b. Cairan penambah volume darah (plasma expander)
Dosis awal 10 ml/kg dengan kecepatan 5-10 menit secara intravena. Bila bayi
menunjukkan perbaikan yang minimal setelah pemberian dosis pertama, dapat
dberikan dosis tambahan lagi 10 ml/kg.
H. Prognosis Asfiksia Neonatorum
bayi yang mengalami asfiksia dapat bertahan hidup pada 24 jam pertama
maka prognosis kehidupannya biasanya akan baik. Namun, sekitar 1 juta bayi
yang bertahan dari asfiksia neonatorum hidup dengan gangguan
perkembangan otak kronik, termasuk cerebral palsy, retardasi mental dan
kesulitan belajar.
I. Komplikasi Asfiksia Neonatorum
Komplikasi yang dapat terjadi pada bayi yang mengalami asfiksia neonatorum
adalah asidosis metabolik, hipoglikemia, enselofati hipoksia iskemik dan gagal
ginjal. Kompresi dada juga dapat menyebabkan trauma pada bayi. Organ vital
dibawah tulang iga adalah jantung, paru, dan sebagian hati. Tulang rusuk juga
rapuh dan mudah patah. Kompresi harus dilakukan dengan hati-hati supaya
tidak merusak organ dibawahnya (Health Technology Assessment Indonesia
Depkes RI, 2008).
Penghentian Resusitasi 10
Di dalam persalinan, ada kondisi dimana tidak dilakukan resusitasi, antara lain
bayi dengan masa gestasi kurang dari 23 minggu, bayi dengan berat lahir
kurang dari 400 gram, anencephaly, dan bayi yang dipastikan menderita
trisomi 13 dan 18. Sedangkan penghentian resusitasi dapat dilakukan apabila
tidak terjadi sirkulasi spontan dalam waktu 15 menit.
DAFTAR PUSTAKA