You are on page 1of 24

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.1. Asfiksia Neonatorum


A. Definisi
Asfiksia neonatorum adalah keadaan bayi baru lahir yang gagal bernafas
secara spontan dan teratur segera setelah lahir1.
Menurut American College of Obstetricans and Gynecologists (ACOG) dan
American Academy of Pediatrics (AAP), seorang neonatus disebut mengalami
asfiksia bila memenuhi kondisi sebagai berikut.
a. Nilai Apgar menit kelima 0-3.
b. Adanya asidosis pada pemeriksaan darah tali pusat (pH<7.0).
c. Gangguan neurologis (misalnya: kejang, hipotonia atau koma).
d. Adanya gangguan sistem multiorgan (misalnya: gangguan
kardiovaskular,gastrointestinal, hematologi, pulmoner, atau sistem renal).
e. Asfiksia dapat bermanifestasi sebagai disfungsi multi organ, kejang dan
ensefalopati hipoksik-iskemik, serta asidemia metabolik. Bayi yang
mengalami episode hipoksia-iskemi yang signifikan saat lahir memiliki risiko
disfungsi dari berbagai organ, dengan disfungsi otak sebagai pertimbangan
utama (Health Technology Assessment Indonesia Depkes RI, 2008).

B. Etiologi Asfiksia Neonatorum


Pengembangan paru bayi baru lahir terjadi pada menit - menit pertama
kelahiran dan kemudian disusul dengan pernafasan teratur. Bila terdapat
gangguan pertukaran gas atau pengangkutan oksigen dari ibu ke janin akan terjadi
asfiksia janin atau neonatus. Gangguan ini dapat timbul pada masa kehamilan,
persalinan atau segera setelah lahir (McGuire, 2007).

Towell (1966) mengajukan penggolongan penyebab kegagalan


Pernafasan pada bayi, yang terdiri dari :
1. Faktor ibu
a. Hipoksia ibu
Hal ini akan menimbulkan hipoksia janin dengan segala akibatnya. Hipoksia
ibu ini dapat terjadi karena hipoventilasi akibat pemberian obat analgetika atau
anastesia dalam.
b. Gangguan aliran darah uterus
Mengurangnya aliran darah pada uterus akan menyebabkan berkurangnya
oksigen ke plasenta dan demikian pula ke janin. Hal ini sering ditemukan pada
keadaan :
a). Gangguan kontraksi uterus, misalnya hipertoni, hipotoni atau tetani uterus
akibat penyakit atau obat.
b). Hipotensi mendadak pada ibu karena perdarahan.
c). Hipertensi pada penyakit eklampsia dan lain-lain.

2. Faktor Plasenta
Pertukaran gas antara ibu dan janin dipengaruhi oleh luas dan kondisi plasenta.
Asfiksia janin akan terjadi bila terdapat gangguan mendadak pada plasenta,
misalnya solusio plasenta, perdarahan plasenta, dan lain-lain.

3. Faktor fetus
Kompresi umbilikus akan mengakibatkan terganggunya aliran darah dalam
pembuluh darah umbilikus dan menghambat pertukaran gas antara ibu dan janin.
Gangguan aliran darah ini dapat ditemukan pada kelainan tali pusat menumbung,
tali pusat melilit leher, kompresi tali pusat janin dan jalan lahir, dan lain-lain.

4. Faktor Neonatus
Depresi pusat pernapasan pada bayi baru lahir dapat terjadi karena beberapa
hal, sebagai berikut.
a. Pemakaian obat anastesia/analgetika yang berlebihan pada ibu
secara langsung dapat menimbulkan depresi pusat pernapasan janin.
b. Trauma yang terjadi pada persalinan, misalnya perdarahan intrakranial.
c. Kelainan kongenital pada bayi misalnya hernia diafragmatika, atresi/stenosis
saluran pernapasan, hipoplasia paru, dan lain-lain.
(Abdoerrachman dkk, 1985)

C. Patofisiologi Asfiksia Neonatorum


1. Cara bayi memperoleh oksigen sebelum dan setelah lahir
Sebelum lahir, paru janin tidak berfungsi sebagai sumber oksigen atau jalan
untuk mengeluarkan karbondioksida. Pembuluh arteriol yang ada di dalam paru
janin dalam keadaan konstriksi sehingga tekanan oksigen (pO2) parsial rendah.
Hampir seluruh darah dari jantung kanan tidak dapat melalui paru karena
konstriksi pembuluh darah janin, sehingga darah dialirkan melalui pembuluh
yang bertekanan lebih rendah yaitu duktus arteriosus kemudian masuk ke aorta.

Setelah lahir, bayi akan segera bergantung pada paru-paru sebagai sumber
utama oksigen. Pada saat bayi mengambil napas pertama, udara memasuki alveoli
paru dan cairan yang mengisi alveoli akan diserap ke dalam jaringan paru. Pada
napas kedua dan berikutnya, udara yang masuk alveoli bertambah banyak dan
cairan paru diabsorpsi sehingga kemudian seluruh alveoli berisi udara yang
mengandung oksigen. Pengisian alveoli oleh udara akan memungkinkan oksigen
mengalir ke dalam pembuluh darah di sekitar alveoli.

Arteri dan vena umbilikalis akan menutup sehingga menurunkan tahanan pada
sirkulasi plasenta dan meningkatkan tekanan darah sistemik. Akibat tekanan
udara dan peningkatan kadar oksigen di alveoli, pembuluh darah paru akan
mengalami relaksasi sehingga tahanan terhadap aliran darah bekurang.
Keadaan relaksasi tersebut dan peningkatan tekanan darah sistemik,
menyebabkan tekanan pada arteri pulmonalis lebih rendah dibandingkan tekanan
sistemik sehingga aliran darah paru meningkat sedangkan aliran pada duktus
arteriosus menurun. Oksigen yang diabsorbsi di alveoli oleh pembuluh darah di
vena pulmonalis dan darah yang banyak mengandung oksigen kembali ke bagian
jantung kiri, kemudian dipompakan ke seluruh tubuh bayi baru lahir. Pada
kebanyakan keadaan, udara menyediakan oksigen (21%) untuk menginisiasi
relaksasi pembuluh darah paru. Pada saat kadar oksigen meningkat dan pembuluh
paru mengalami relaksasi, duktus arteriosus mulai menyempit. Darah yang
sebelumnya melalui duktus arteriosus sekarang melalui paru-paru akan
mengambil banyak oksigen untuk dialirkan ke seluruh jaringan tubuh.

Pada akhir masa transisi normal, bayi menghirup udara dan menggunakan
paru-parunya untuk mendapatkan oksigen. Tangisan pertama dan tarikan napas
yang dalam akan mendorong cairan dari jalan napasnya. Oksigen dan
pengembangan paru merupakan rangsang utama relaksasi pembuluh darah paru.
Pada saat oksigen masuk adekuat dalam pembuluh darah, warna kulit bayi akan
berubah dari abu-abu/biru menjadi kemerahan (Health Technology Assessment
Indonesia Depkes RI, 2008).

2. Kesulitan yang dialami bayi selama masa transisi


Bayi dapat mengalami kesulitan sebelum lahir, selama persalinan atau setelah
lahir. Kesulitan yang terjadi dalam kandungan, baik sebelum atau selama
persalinan, biasanya akan menimbulkan gangguan pada aliran darah di plasenta
atau tali pusat. Tanda klinis awal dapat berupa deselerasi frekuensi jantung janin.
Masalah yang dihadapi setelah persalinan lebih banyak berkaitan dengan jalan
napas dan paru-paru, misalnya sulit menyingkirkan cairan atau benda asing
seperti mekonium dari alveolus, sehingga akan menghambat udara masuk ke
dalam paru mengakibatkan hipoksia. Bradikardia akibat hipoksia dan iskemia
akan menghambat peningkatan tekanan darah (hipotensi sistemik). Selain itu
kekurangan oksigen atau kegagalan peningkatan tekanan udara di paru-paru akan
mengakibatkan arteriol di paru-paru tetap konstriksi sehingga terjadi penurunan
aliran darah ke paru-paru dan pasokan oksigen ke jaringan.

Aliran darah paru meningkat secara dramatis. Hal ini disebabkan ekspansi paru
yang membutuhkan tekanan puncak inspirasi dan tekanan akhir ekspirasi yang
lebih tinggi. Ekspansi paru dan peningkatan tekanan oksigen alveoli, keduanya,
menyebabkan penurunan resistensi vaskuler paru dan peningkatan aliran darah
paru setelah lahir. Aliran intrakardial dan ekstrakardial mulai beralih arah yang
kemudian diikuti penutupan duktus arteriosus. Kegagalan penurunan resistensi
vaskuler paru menyebabkan hipertensi pulmonal persisten (Persisten Pulmonary
Hypertension of the Neonate) pada bayi baru lahir, dengan aliran darah paru yang
inadekuat dan hipoksemia relatif. Ekspansi paru yang inadekuat menyebabkan
gagal napas (Dharmasetiawani, 2008).

3. Reaksi bayi terhadap kesulitan selama masa transisi


Bayi baru lahir akan melakukan usaha untuk menghirup udara ke dalam paru-
parunya yang mengakibatkan cairan paru keluar dari alveoli ke jaringan
insterstitial di paru sehingga oksigen dapat dihantarkan ke arteriol pulmonal dan
menyebabkan arteriol berelaksasi. Jika keadaan ini terganggu maka arteriol
pulmonal akan tetap kontriksi, alveoli tetap terisi cairan dan pembuluh darah
arteri sistemik tidak mendapat oksigen.
Pada saat pasokan oksigen berkurang, akan terjadi konstriksi arteriol pada
organ seperti usus, ginjal, otot dan kulit, namun demikian aliran darah ke jantung
dan otak tetap stabil atau meningkat untuk mempertahankan pasokan oksigen.
Penyesuaian distribusi aliran darah akan menolong kelangsungan fungsi organ-
organ vital. Walaupun demikian, jika kekurangan oksigen berlangsung terus
maka terjadi kegagalan fungsi miokardium dan kegagalan peningkatan curah
jantung, penurunan tekanan darah, yang mengkibatkan aliran darah ke seluruh
organ akan berkurang. Sebagai akibat dari kekurangan perfusi oksigen dan
oksigenasi jaringan, akan menimbulkan kerusakan jaringan otak yang
irreversible, kerusakan organ tubuh lain, atau kematian. Keadaan bayi yang
membahayakan akan memperlihatkan satu atau lebih tanda-tanda klinis seperti
tonus otot buruk karena kekurangan oksigen pada otak, otot dan organ lain;
depresi pernapasan karena otak kekurangan oksigen; bradikardia (penurunan
frekuensi jantung) karena kekurangan oksigen pada otot jantung atau sel otak;
tekanan darah rendah karena kekurangan oksigen pada otot jantung, kehilangan
darah atau kekurangan aliran darah yang kembali ke plasenta sebelum dan selama
proses persalinan; takipnu (pernapasan cepat) karena kegagalan absorbsi cairan
paru-paru; dan sianosis karena kekurangan oksigen di dalam darah (Health
Technology Assessment Indonesia Depkes RI, 2008).

D. Faktor Risiko Asfiksia Neonatorum


Beberapa faktor risiko yang berperan dalam menimbulkan asfiksia neonatorum
diuraikan sebagai berikut.
1. Faktor Risiko Ibu
a. Primigravida dan primiparitas
Gravida dan paritas turut menjadi faktor risiko terjadinya asfiksia neonatorum
karena persalinan yang lama biasanya terjadi pada wanita yang baru menjalani
kehamilan dan persalinan anak pertama.
b. Penyakit pada ibu
Penyakit pada ibu seperti Pregnancy Induced Hypertension/PIH yang apabila
telah timbul gejala kejang dan disusul dengan koma akan menyebabkan
gangguan aliran darah ke uterus sehingga berakibat terjadinya asfiksia berat.
2. Faktor Risiko Intrapartum
a. Kelainan tali pusat
Adanya lilitan pusat pada bayi dapat menyebabkan asfiksia, dimana saat mulai
timbul kontraksi dan kepala janin mulai turun, maka lilitan tali pusat menjadi
semakin erat akibat terkompresi sehingga dapat mengakibatkan hipoksia.
b. Partus lama
Kala II lama akan menyebabkan kompresi tali pusat dan kontraksi uterus yang
berlangsung lama sehingga transportasi oksigen ke janin berkurang.
c. Mekoneum dalam ketuban
Kondisi hipoksia pada janin akan menyebabkan reaksi pengurangan aliran
darah ke beberapa organ untuk mempertahankan aliran darah ke otak dan
jantung. Vasokontriksi pembuluh darah usus yang diikuti relaksasi sfingter ani
akan mengakibatkan pengeluaran mekonium dalam air ketuban sehingga
bercampurnya air ketuban dalam mekonium merupakan kondisi yang dapat
menunjukkan terjadinya gawat janin dan apabila teraspirasi oleh janin akan
menyebabkan asfiksia.
d. Induksi Oksitosin
Induksi oksitosin adalah pemberian oksitosin pada ibu yang bertujuan untuk
merangsang atau menginduksi terjadinya persalinan. Induksi oksitosin ini
dapat menyebabkan meningkatnya risiko kelahiran dengan seksio sesaria.
e. Plasenta Previa
Plasenta previa adalah plasenta yang letaknya abnormal, yaitu pada segmen
bawah uterus sehingga dapat menutupi sebagian ataupun seluruh pembukaan
jalan lahir.
f. Seksio sesarea
Seksio sesarea adalah operasi untuk melahirkan atau mengeluarkan bayi dari
rahim ibu dengan cara membuat sayatan pada perut dan rahim ibu. Hal ini
dapat mengakibatkan asfiksia neonatorum karena tidak adanya kompresi bayi
seperti pada persalinan normal
3. Faktor Risiko Janin
a. Prematuritas
Preterm adalah kelahiran yang terjadi sebelum usia kehamilan mencapai 37
minggu. Prematuritas memiliki risiko yang lebih besar terhadap kematian
akibat asfiksia neomatorum. Bayi prematur mempunyai organ tubuh yang
belum berfungsi dengan baik termasuk pada organ paru-paru sehingga
mengalami kesulitan untuk beradaptasi dengan lingkungan yang baru.
b. BBLR
Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) adalah neonatus dengan berat badan lahir
pada saat kelahiran kurang dari 2.500 gram (1500 gram sampai dengan 2.499
gram) tanpa memandang masa kehamilan. Pada bayi BBLR biasanya disertai
dengan prematuritas maupun dismaturitas termasuk organ-organ seperti sistem
respirasi. Bayi BBLR sering mengalami defisiensi surfaktan akibat paru yang
belum sempurna sehingga tegangan membran permukaan udara-air (darah)
menjadi tinggi dan risiko alveoli kolaps pada saat ekspirasi sangat besar yang
menyebabkan alveoli akan menguncup selama ekspirasi (atelektasis) dan paru
kolaps yang pada akhirnya akan menyebabkan asfiksia.
c. Keterlambatan pertumbuhan dalam rahim/IUGR
Janin tidak mendapat dukungan plasenta secara adekuat karena terjadi
insufisiensi uteroplasenta sehingga masukan nutrisi dan oksigenisasi menjadi
sangat terbatas. Pada saat persalinan terjadi pengurangan aliran oksigen ke
plasenta sebagai akibat kontraksi dinding uterus sehingga kekurangan oksigen
yang terjadi akan bertambah menjadi lebih berat.

E. Klasifikasi Asfiksia Neonatorum


Klasifikasi asfiksia neonatorum dibagi berdasarkan tingkat keparahan asfiksia
yang dinilai berdasarkan skor apgar. Nilai Apgar ditemukan pada tahun 1952
oleh seorang obstetrical anesthesiologist bernama dr. Virginia Apgar di Sloane
Hospital for Women, New York.
Skor apgar ini biasanya dinilai 1 menit setelah bayi lahir lengkap, yaitu pada
saat bayi telah diberi lingkungan yang baik serta telah dilakukan pengisapan
lendir dengan sempurna. Skor apgar 1 menit ini menunjukkan beratnya
asfiksia yang diderita dan baik sekali sebagai pedoman untuk menentukan cara
resusitasi. Skor apgar perlu pula dinilai setelah 5 menit bayi lahir, karena hal
ini mempunyai korelasi yang erat demgan morbiditas dan mortalitas neonatal
(Abdoerrachman dkk, 1985).
Skor Apgar
Tanda Nilai 0 Nilai 1 Nilai 2

Warna kulit Biru/pucat Tubuh kemerahan, Tubuh dan


ekstremitas biru ekstremitas
(Appearance) kemerahan

Frekuensi Tidak ada <100x/menit >100x/menit


jantung

(Pulse)

Refleks Tidak ada Gerakan sedikit Menangis

(Grimace)

Tonus otot Lumpuh Ekstremitas fleksi Gerakan aktif


sedikit
(Activity)

Usaha Tidak ada Lambat Menangis kuat


bernafas

(Respiration)

Berdasarkan standar penatalaksanaan ilmu kesehatan anak Rumah Sakit


Mohammad Hoesin (RSMH) Palembang, asfiksia neonatorum dapat dibagi
sebagai berikut:
1. Tidak asfiksia, yaitu skor Apgar menit pertama antara 8 - 10.
2. Asfiksia ringan, yaitu skor Apgar menit pertama antara 5 - 7.
3. Asfiksia sedang, yaitu skor Apgar menit pertama antara 3 - 4.
4. Asfiksia berat, yaitu skor Apgar menit pertama antara 0 - 2.
F. Diagnosis Asfiksia Neonatorum
1. Anamnesis
Anamnesis diarahkan untuk mencari faktor risiko terjadinya asfiksia.
2. Pemeriksaan Fisik
a. Bayi tidak bernafas atau menangis.
b. Denyut jan.tung kurang dari 100x/menit.
c. Tonus otot menurun.
d. Bisa didapatkan cairan ketuban ibu bercampur mekonium atau sisa mekonium
pada tubuh bayi.
e. BBLR.

3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium beupa analisis gas darah tali pusat menunjukkan
hasil asidosis pada darah tali pusat:
a. PaO2 < 50 mm H2O
b. PaCO2 > 55 mm H2
c. pH < 7,30
Bila bayi sudah tidak membutuhkan bantuan resusitasi aktif, pemeriksaan
penunjang diarahkan pada kecurigaan atas komplikasi, berupa :
a. Darah perifer lengkap
b. Analisis gas darah sesudah lahir
c. Gula darah sewaktu
d. Elektrolit darah (Kalsium, Natrium, Kalium)
e. Ureum kreatinin
f. Laktat
g. Ronsen dada
h. Ronsen abdomen tiga posisi
i. Pemeriksaan USG kepala
j. Pemeriksaan EEG dan CT Scan kepala
(IDAI, 2004).

G. Penatalaksanaan Asfiksia Neonatorum


Tujuan utama mengatasi asfiksia ialah untuk mempertahankan kelangsungan
hidup bayi dan membatasi gejala sisa yang mungkin timbul di kemudian hari.
Tindakan yang dikerjakan pada bayi lazim disebut resusitasi bayi baru lahir.
Penilaian awal dilakukan pada setiap bayi baru lahir untuk menetukan apakah
tindakan resusitasi harus segera dimulai. Segera setelah lahir dilakukan
penilaian pada semua bayi dengan cara melihat :
1. Apakah bayi lahir cukup bulan ?
2. Apakah air ketuban jernih dan tidak bercampur mekonium ?
3. Apakah bayi bernapas adekuat atau menangis ?
4. Apakah tonus otot baik ?
Apabila semua jawaban diatas Ya, berarti bayi baik dan tidak memerlukan
tindakan resusitasi. Pada bayi ini segera dilakukan Asuhan Bayi Normal. Bila
salah satu atau lebih jawaban tidak, bayi memerlukan tindakan resusitasi
segera.
1). Langkah awal dalam stabilisasi
a. Memberikan kehangatan
Bayi diletakkan dibawah alat pemancar panas (radiant warmer) dalam keadaan
telanjang agar panas dapat mencapai tubuh bayi dan memudahkan eksplorasi
seluruh tubuh.
b. Memposisikan bayi dengan sedikit menengadahkan kepalanya
Bayi diletakkan telentang dengan leher sedikit tengadah dalam posisi
menghidu agar posisi farings, larings dan trakea dalam satu garis lurus yang
akan mempermudah masuknya udara. Posisi ini adalah posisi terbaik untuk
melakukan ventilasi dengan balon dan sungkup atau untuk pemasangan pipa
endotrakeal.
c. Membersihkan jalan napas sesuai keperluan
Aspirasi mekoneum saat proses persalinan dapat menyebabkan pneumonia
aspirasi. Bila terdapat mekoneum dalam cairan amnion dan bayi tidak bugar
(bayi mengalami depresi pernapasan, tonus otot kurang dan frekuensi jantung
kurang dari 100x/menit) segera dilakukan penghisapan trakea sebelum timbul
pernapasan untuk mencegah sindrom aspirasi mekonium. Bila terdapat
mekoneum dalam cairan amnion namun bayi tampak bugar, pembersihan
sekret dari jalan napas dilakukan seperti pada bayi tanpa mekoneum.
d. Mengeringkan bayi, merangsang pernapasan dan meletakkan pada posisi yang
benar
Meletakkan pada posisi yang benar, menghisap sekret, dan mengeringkan
akan memberi rangsang yang cukup pada bayi untuk memulai pernapasan.
Bila setelah posisi yang benar, penghisapan sekret dan pengeringan, bayi
belum bernapas adekuat, maka perangsangan taktil dapat dilakukan dengan
menepuk atau menyentil telapak kaki, atau dengan menggosok punggung,
tubuh dan ekstremitas bayi.

2). Ventilasi tekanan positif


Setelah dilakukan langkah awal resusitasi, ventilasi tekanan positif harus
dimulai bila bayi tetap apnea setelah stimulasi atau pernapasan tidak adekuat,
dan/atau frekuensi jantung memadai tetapi sianosis sentral, bayi diberi oksigen
aliran bebas. Bila setelah ini bayi tetap sianosis, dapat dicoba melakukan
ventilasi tekanan positif.

3). Pemberian Oksigen


Bila bayi masih terlihat sianosis sentral, maka diberikan tambahan oksigen.
Pemberian oksigen aliran bebas dapat dilakukan dengan menggunakan
sungkup oksigen, sungkup dengan balon tidak mengembang sendiri, T-piece
resuscitator dan selang/pipa oksigen.
Pemberian oksigen 100% tidak dianjurkan pada bayi kurang bulan karena
dapat merusak jaringan. Penghentian pemberian oksigen dilakukan secara
bertahap bila tidak terdapat sianosis sentral lagi yaitu bayi tetap merah atau
saturasi oksigen tetap baik walaupun konsentrasi oksigen sama dengan
konsentrasi oksigen ruangan. Bila bayi kembali sianosis, maka pemeberian
oksigen perlu dilanjutkan sampai sianosis sentral hilang. Kemudian
secepatnya dilakukan pemeriksaan gas darah arteri dan oksimetri untuk
menyesuaikan kadar oksigen mencapai normal.

4). Kompresi dada


Kompresi dada dimulai jika frekuensi jantung kurang dari 60x/menit setelah
dilakukan ventilasi tekanan positif selama 30 detik. Kompresi dada dilakukan
dengan menekan sternum menggunakan 1 jempol atau 2 jari tegak lurus di
linea parasentralis kiri sedalam 1/3 diameter anteroposterior rongga dada
dengan 3 kali penekanan dan 1 kali ventilasi dalam 2 detik (45 kali kompresi
dada dan 15 kali ventilasi selama 30 detik).
Rekomendasi resusitasi bayi baru lahir menurut consensus ILCOR 2010 yaitu:
Tindakan resusitasi selanjutnya setelah langkah awal ditentukan oleh penilaian
simultan dua tanda vital, yaitu frekuensi denyut jantung dan pernafasan.
Oksimetri digunakan untk menilai oksigenasi karena penilaian warna kulit
tidak dapat diandalkan.
Resusitasi bayi cukup bulan lebih baik diawali dengan oksigen ruangan (FiO2
21%) dibandingkan oksigen 100%
Oksigen tambahan diberikan dengan mencampur oksigen dan udara (blended
oxygen), konsentrasi oksigen diatur dengan panduan oksimetri.
Bukti yang ada tidak cukup mendukung atau menolak dilakukannya
penghisapan trakea secara rutin pada bayi dengan air ketuban bercampur
meconium, bahkan pada bayi dalam keadaan tidak bugar/depresi.
Rasio kompresi dada dan ventilasi 3:1. Jika diketahui henti jantung adalah
akibat kelainan jantung, rasio lebih besar dapat dipertimbangkan.
Terapi hipotermia dipertimbangkan untuk bayi yang lahir cukup bulan atau
mendekati cukup bulan dengan ensefalopati hipoksi iskemik sedang dan berat,
menggunakan protoKol dan tindak lanjut sesuai panduan.
Penghentian resusitasi dipertimbangkan jika tidak terdeteksi detak jantung
selama 10 menit. Berbagai factor berperan dalam keputusan melanjutkan
resusitasi setelah 10 menit.
Penjepitan tali pusat harus di tunda sedikitnya 1 menit unutk bayi yang tidak
membutuhkan resusitasi. Bukti tidak cukup untuk merekomendasikan lama
waktu penjepitan tali pusat pada bayi yang memerlukan resusitasi.

Rekomendasi AHA (2010) menyatakan bahwa kita dapat melakukan penilaian


cepat pada bayi baru lahir, yaitu memutuskan seorang bayi memerlukan
resusitasi atau tidak berdasarkan tiga karakteristik berikut:
1. Cukup bulan?
2. Menangis atau bernafas?
3. Tonus otot baik?
Sedangkan rekomendasi IDAI 2013 menyatakan bahwa kita dapat melakukan
penilaian cepat pada bayi baru lahir, yaitu memutuskan seorang bayi
memerlukan resusitasi atau tidak berdasarkan tiga karakteristik berikut:
1. Menangis atau bernafas?
2. Tonus otot baik?
Jika jawaban untuk semua pertanyaan tersebut adalah ya, maka bayi memerlukan
perawatan rutin, tidak memerlukan resusitasi dan tidak boleh dipisahkan dari
ibunya. Bayi diberikan kehangatan, diposisikan kontak kulit dengan kulit pada
ibu, dan diselimuti dengan linen kering untuk mempertahankan temperature.
Selanjutnya tenaga kesehatan tetap melanjutan pemantauan tanda-tanda
bahaya bayi baru lahir.
Jika ada jawaban tidak dari semua pertanyaan itu, maka langkah yang harus
dikerjakan brikutnya secara umum serupa dengan rekomendasi oleh ILCOR,
AHA dan AAP, yaitu dilakukan satu atau lebih tindakan secara berurutan di
bawah ini:
A. Langkah awal resusitasi: memberikan kehangatan, membersihkan jalan nafas
jika diperlukan, mengeringkan dan memberikan stimulasi.
B. Ventilasi
C. Kompresi dada
D. Pemberian epinefrin dan atau cairan penambah volume
Waktu 60 detik (the golden minute) diberikan untuk melengkapi langkah awal,
menilai kembali, dan memulai ventilasi.
Keputusan petugas resusitasi untuk melanjutkan dari satu langkah ke langkah
lainnya adalah berdasarkan evaluasi tanda vital, yaitu denyut jantung dan
pernafasan. Petugas resusitasi maju kelangkah berikutnya jika langkah
sebelumnya sudah dikerjakan dengan baik. Berikut adalah penjelasan untuk
tiap-tiap langkah tersebut diatas:
A. Langkah awal
Langkah awal untuk memulai resusitasi meliputi mengurangi pengeluaran panas,
memposisikan kepala pada sniffing position untuk membuka jalan nafas,
membersihkan jalan nafas, mengeringkan dan memberikan rangsangan, dan
memposisikan kembali.

1. Menghangatkan
Termoregulasi merupakan aspek penting dari langkah awal resusitasi. Hal ini
dapat dilakukan dengan meletakkan neonatus di bawah radiant warmer.
Sebaiknya bayi yang diletakkan di bawah radiant warmer dibiarkan tidak
berpakaian agar dapat diobservasi dengan baik serta mencegah terjadinya
hipertermi. Bayi yang dengan berat kurang dari 1500 gram, mempunyai risiko
tinggi terjadinya hipotermi. Untuk itu, sebaiknya bayi tersebut dibungkus
dengan plastik, selain diletakkan di bawah radiant warmer. Tujuan dari
resusitasi neonatus yaitu untuk mencapai normotermi dengan cara memantau
suhu, sehingga tidak terjadi hipertermi iatrogenik.2,7,10

2. Memposisikan Kepala dan Membersihkan Jalan Nafas


Setelah diletakkan di bawah radiant warmer, bayi sebaiknya diposisikan terlentang
dengan sedikit ekstensi pada leher pada posisi sniffing position. Kemudian
jalan nafas harus dibersihkan. Jika tidak ada mekonium, jalan nafas dapat
dibersihkan dengan hanya menyeka hidung dan mulut dengan handuk, atau
dapat dilakukan suction dengan menggunakan bulb syringe atau suction
catheter jika diperlukan. Sebaiknya dilakukan suction terhadap mulut lebih
dahulu sebelum suction pada hidung, untuk memastikan tidak terdapat sesuatu
di dalam rongga mulut yang dapat menyebabkan aspirasi. Selain itu, perlu
dihindari tindakan suction yang terlalu kuat dan dalam karena dapat
menyebabkan terjadinya refleks vagal yang menyebabkan bradikardi dan
apneu. 2,7

sniffing position
source :
http://www.cgmh.org.tw/intr/intr5/c6700/N%20teaching/Neonatal%20Resusci
tation%20Supplies%20and%20Equipment.html//

Jika terdapat mekonium tetapi bayinya bugar, yang ditandai dengan laju nadi lebih
dari 100 kali per menit, usaha nafas dan tonus otot yang baik, lakukan suction
pada mulut dan hidung dengan bulb syringe ( balon penghisap ) atau kateter
penghisap besar jika diperlukan. 5,7
Pneumonia aspirasi yang berat merupakan hasil dari aspirasi mekonium saat
proses persalinan atau saat dilakukan resusitasi. Oleh karena itu, jika bayi
menunjukan usaha nafas yang buruk, tonus otot yang melemah, dan laju nadi
kurang dari 100 kali per menit, perlu dilakukan suction langsung pada trachea
dan harus dilakukan secepatnya setelah lahir. Hal ini dapat dilakukan dengan
laringoskopi langsung dan memasukan kateter penghisap ukuran 12 French
(F) atau 14 F untuk membersihkan mulut dan faring posterior, dilanjutkan
dengan memasukkan endotracheal tube, kemudian dilakukan suction. Langkah
ini diulangi hingga keberadaan mekonium sangat minimal. 5,6,7

Source : http://www.firstaidmonster.com/popup_image.php/pID/7122

sumber:
http://healthprofessions.missouri.edu/cpd/RT/CRCE/nrpinfo.php

Sumber :
http://journal.medscape.com/content/1999/00/43/71/437101/437101_fig.html

3. Mengeringkan dan Memberi Rangsangan serta Memposisikan Kembali


Pada bayi dengan berat badan kurang dari 1500 gram, bayi langsung dibungkus
plastic bening tanpa dikeringkan terlebih dahulu kecuali wajahnya, kemudian
dipasang topi. Bayi tetap distimulasi walaupun dibungkus plastic. Ketika jalan
nafas sudah dibersihkan, bayi dikeringkan untuk mencegah terjadinya
kehilangan panas, kemudian diposisikan kembali. Jika usaha nafas bayi masih
belum baik, dapat diberikan rangsang taktil dengan memberikan tepukan
secara lembut atau menyentil telapak kaki, atau dapat juga dilakukan dengan
menggosok-gosok tubuh dan ekstremitas bayi. 2,7
Penelitian laboratotium menunjukkan bahwa pernapasan adalah tanda vital
pertama yang berhenti ketika bayi baru lahir kekurangan oksigen. Setelah
periode awal pernapasan yang cepat maka peride selanjutnya disebut apnu
primer. Rangsangan seperti mengeringkan atau menepuk telapak kaki akan
menimbulkan pernapasan.7
Walaupun demikian bila kekurangan oksigen terus berlangsung, bayi akan
melakukan beberapa usaha bernapas megap megap dan kemudian masuk ke
dalam periode apnu sekunder. Selama masa apnu sekunder, rangsangan saja
tidak akan menimbulkan kembali usaha pernapasan bayi baru lahir. Bantuan
pernapasan dengan ventilasi tekanan positif harus diberikan untuk mengatasi
masalah akibat kekurangan oksigen. Frekuensi jantung akan mulai menurun
pada saat bayi mengalami apnu primer , tekanan darah akan tetap bertahan
sampai dimulainya apnu sekunder.7
sumber : http://www.fac.org.ar/scvc/llave/epi/niermeye/nierf3.gif

4. Evaluasi Pernafasan, Laju Denyut Jantung, dan Tonus Otot


Langkah terakhir dari langkah awal resusitasi yaitu evaluasi pernafasan, laju nadi
dan warna kulit. Pergerakan dada harus baik dan tidak ada megap megap
(gasping ). Gasping menunjukkan adanya usaha nafas yang tidak efektif dan
memerlukan ventilasi tekanan positif. Selain itu, laju nadi harus lebih dari 100
kali per menit, yang diukur dengan cara melakukan palpasi tekanan nadi di
daerah dasar umbilikus, atau dengan auskultasi dinding dada sebelah kiri. Jika
laju nadi kurang dari 100 kali per menit, segera lakukan ventilasi tekanan
positif.
sumber : http://healthprofessions.missouri.edu/cpd/RT/CRCE/nrpinfo.php

Penilaian warna kulit dapat dilakukan dengan memperhatikan bibir dan batang
tubuh bayi untuk menilai ada tidaknya sianosis sentral. Sianosis sentral
menandakan terjadinya hipoksemia, sehingga perlu diberikan oksigen
tambahan. Jika masih terjadi sianosis setelah diberikan oksigen tambahan,
ventilasi tekanan positif perlu dilakukan, bahkan dengan laju nadi lebih dari
100 kali per menit. Jika sianosis sentral masih terjadi dengan ventilasi tekanan
positif yang adekuat, perlu dipikirkan adanya penyakit jantung bawaan atau
adanya hipertensi pulmoner yang persisten.

PENILAIAN DAN PENATALAKSANAAN JALAN NAFAS 2

Penilaian Jalan Nafas

Seperti yang sudah disebutkan, penilaian dan penatalaksanaan dari jalan nafas
dapat dilakukan dengan cara pembersihan jalan nafas, memposisikan bayi
pada sniffing position untuk membuka jalan nafas. Selain itu, dapat pula
dilakukan evaluasi terhadap laju nadi dan tonus bayi. Evaluasi ini harus
dilakukan dengan baik karena bila ada salah satu tanda vital yang abnormal,
akan segera membaik jika diberikan ventilasi. Jadi, di dalam resusitasi
neonatus, pemberian ventilasi yang adekuat merupakan langkah yang paling
penting dan paling efektif.
Pemberian Oksigen
Pemberian oksigen diperlukan apabila neonatus dapat bernafas, laju nadi lebih
dari 100 kali per menit, tetapi masih terjadi sianosis sentral. Oksigen aliran
bebas oksigen diberikan dengan cara dialirkan ke hidung bayi secara pasif,
dapat diberikan menggunakan sungkup, T-piece resuscitator, atau selang
oksigen (oxygen tubing) sesuai dengan cara yang diperlukan. Untuk
memastikan neonatus mendapatkan oksigen dengan konsetrasi tinggi, sungkup
harus diletakkan menempel pada wajah, agar menciptakan tekanan yang setara
dengan Continuous Positive Airway Pressure (CPAP) atau Positive End
Expiratory Pressure (PEEP). Jika menggunakan selang oksigen, posisi tangan
harus dibentuk seperti mangkok di ujung selang dan diletakkan di depan wajah
bayi. Oksigen tidak boleh diberikan lebih dari 10 liter per menit (LPM) untuk
waktu yang lama. Oksigen cukup diberikan dengan aliran 5 LPM dalam
resusitasi. 2,11,12

Standar oksigen yang digunakan dalam resusitasi neonatus yaitu oksigen 100%.
Terdapat penelitian yang meneliti penggunaan udara ruangan (oksigen 21%)
dan oksigen 100% untuk resusitasi neonatus. Disebutkan bahwa penggunaan
oksigen 100% dapat merugikan selama masa post asfiksia, hal ini berdasarkan
teori :
1. Pada observasi in vitro , produksi oksigen radikal saat reoksigenasi hipoksia
bergantung pada konsentrasi oksigen
2. peningkatan konsentrasi hipoxantine di plasma selama hipoksia mencapai
level lebih tinggi pada saat resusitasi. Karena hipoxantine terakumulasi pada
neonatus yang asfiksia , maka dapat kita artikan bahwa limitasi oksigen pada
masa post asfiksi secara potensial dapat mengurangi luka akibat akumulasi
dari oksigen radikal.
3. Selain itu hiperoksia memperlambat aliran darah pada bayi aterm maupun
preterm dan pemberian oksigen 100% saat persalinan dapat menyebabkan
penurunan aliran darah jangka panjang pada bayi preterm. Pada penelitian
tersebut didapatkan bahwa mortalitas neonatus lebih rendah pada penggunaan
oksigen 21% daripada oksigen 100% ( 5,8 % dan 9,5% ) dan pada neonatus
preterm juga berlaku hal yang sama yaitu mortalitas pada penggunaan oksigen
21% lebih rendah daripada oksigen 100% ( 21 % dan 35 % ). Hal ini
menunjukkan resusitasi menggunakan oksigen 21% ( udara ruangan)
tampaknya potensial sebagai strategi untuk menurunkan mortalitas neonatus
bahkan pada neonatus preterm. Ini dapat berimplikasi terhadap aturan di
negara berkembang yang masih mencari cara lebih murah namun dapat
menurunkan angka kematian pada neonatus maupun bayi. 11, 12

Penggunaan oksigen memiliki efek samping seperti dapat merusak paru-paru dan
jaringan, terutama pada bayi prematur. Hal ini menyebabkan
direkomendasikannya penggunaan oksigen dengan konsentrasi kurang dari
100%, yang dapat diperoleh dengan menggunakan oxygen blender yang dapat
mencampur oksigen dan udara untuk menghasilkan konsentrasi udara yang
diinginkan. Pada bayi yang menderita penyakit jantung bawaan, penggunaan
oksigen 100% dapat mengganggu perfusi jaringan. Secara umum, saturasi
oksigen harus dijaga antara 85-95%, dimana 70-80% didapatkan pada menit
awal kehidupan. 7,10
Pemberian oksigen tambahan juga diberikan pada bayi yang memerlukan ventilasi
tekanan positif. Indikasi dari ventilasi tekanan positif dengan oksigen
tambahan antara lain:
1. Bayi yang apnea
2. Laju nadi kurang dari 100 kali per menit setelah 30 detik
3. Terjadi sianosis sentral setelah diberikan oksigen tambahan

B. Ventilasi tekanan positif


Bantuan pernafasan dilakukan jika bayi mengalami apnue atau gasping, dan atau
denyut jantung <100 denyut permenit, dan atau saturasi oksigen tetap berada
dibawah nilai target walaupun telah diberikan oksigen aliran bebas hingga
100%. Keberhasilan ventilasi ditandai pengembangan dada, peningkatan
denyut jantung dan saturasi oksigen.

Ventilasi Tekanan Positif pada Bayi Aterm


Beberapa penelitian menunjukkan pada bayi yang mengalami apnea atau
gasping (megap megap), pemberian ventilasi tekanan positif dengan kecepatan
40-60 kali per menit dengan oksigen 100% merupakan cara yang efektif
untuk memcapai laju nadi lebih dari 100 kali per menit. Tekanan yang
diperlukan untuk dapat melakukan ventilasi tekanan positif pada bayi aterm
dan preterm dengan efektif yaitu antara 30-40 cm H2O, walaupun dengan
tekanan 20 cm H2O sudah cukup efektif. Tanda dari ventilasi yang adekuat
yaitu adanya peningkatan dari laju nadi. Apabila tidak terjadi peningkatan laju
nadi, reposisi ulang kepala dan sungkup, serta bersihkan kembali jalan nafas
atau lakukan suction lagi. Bila masih gagal dengan ventilasi yang non-invasif,
perlu dilakukan intubasi.

Ventilasi Tekanan Positif pada Bayi Preterm


Paru-paru pada bayi preterm lebih mudah terluka oleh volume inflasi yang
besar, sehingga lebih sulit untuk dilakukan ventilasi. Tekanan sebesar 20-25
cm H2O sudah cukup adekuat dalam ventilasi pada bayi preterm. Pada bayi
yang menunjukkan tanda-tanda pernapasan yang buruk dan/atau sianosis dapat
digunakan Continuous Positive Airway Pressure (CPAP) sekitar 4-6 cm H2O.
Sama seperti bayi aterm, jika masih gagal, perlu dilakukan intubasi.

Alat-alat Ventilasi 7
Ventilasi pada neonatus dapat menggunakan beberapa macam alat seperti:
1. Self-inflating bags
2. Flow-inflating bag
3. T-piece resuscitator
4. Laryngeal mask airways
5. Endotracheal tube
Self-inflating bags merupakan alat yang paling banyak dipakai dalam ventilasi
manual. Alat ini memiliki katup pengaman yang menjaga tekanan inflasi
sebesar 35 cm H2O. Namun katup pengaman ini kurang efektif bila digunakan
terlalu kuat. Positive End-Expiratory Pressure (PEEP) dapat diberikan apabila
katup PEEP disambungkan. Tetapi self-inflating bags tidak dapat
menggunakan CPAP. Selain itu, self-inflating bags tidak dapat digunakan
untuk mengalirkan oksigen aliran bebas (free-flow oxygen).
Sumber : http://www.nzdl.org/gsdl/collect/who/archives/HASH0176.dir/p05.gif

Flow-inflating bags atau balon tidak mengembang sendiri dapat mengembang


apabila ada sumber gas. Alat ini tidak memiliki katup pengaman, namun
dengan alat ini dapat dilakukan PEEP atau CPAP karena adanya katup yang
dapat mengatur aliran udara. Selain itu, dengan alat ini dapat dialirkan oksigen
aliran bebas dan lebih baik dalam resusitasi neonatus.
T-piece resuscitator merupakan alat yang dapat mengatur aliran udara serta juga
dapat membatasi tekanan yang diberikan. Tekanan inflasi yang diinginkan dan
waktu inspirasi lebih stabil dengan alat ini dibandingkan dengan self-inflating
bags dan flow-inflating bags. Selain itu, dengan alat ini dapat dilakukan PEEP
dan dapat mengalirkan oksigen aliran bebas.
Laryngeal mask airway (LMA) merupakan alat yang dapat digunakan apabila
penggunaan sungkup sudah tidak efektif. Ukuran yang biasa digunakan yaitu
1.

Sumber :
http://www.hospitalmanagement.net/contractor_images/intersurgical_2/5_solu
s.jpg

Indikasi penggunaan endotracheal tube antara lain: 7,8,9


1. Penghisapan mekonium dari trakea
2. Saat ventilasi menggunakan sungkup sudah tidak efektif
3. Koordinasi dengan kompresi dada
4. Penggunaan Epinefrin
5. Keadaan resusitasi khusus (seperti hernia diafragma kongenital)
Untuk mengurangi terjadinya hipoksia saat melakukan intubasi, sebaiknya
dilakukan pre-oksigenasi, dengan cara memberikan oksigen aliran bebas
selama 20 detik. Biasanya digunakan blade yang lurus pada tindakan ini.
Blade no.1 digunakan untuk bayi aterm, no.0 untuk bayi preterm, dan no.00
untuk bayi yang sangat preterm. Ukuran dari endotracheal tube dipilih
berdasarkan berat dari neonatus. 9
Posisi dari endotracheal tube yang benar dapat ditandai dengan peningkatan laju
nadi, adanya pengeluaran CO2, terdengarnya suara nafas, pergerakan dinding
dada, adanya embun pada selang, dan tidak ada distensi abdomen saat
ventilasi. Apabila tidak ada peningkatan dari laju nadi dan tidak ada
pengeluaran CO2, posisi dari endotracheal tube harus diperiksa dengan
laringoskop. 7,9

Ukuran ET Berat (gram) Usia gestasi (minggu)


2,5 <1000 <28
3,0 1000-2000 28-34
3,5 2000-3000 34-38
3,5-4,0 >3000 > 38

C. Kompresi Dada
Indikasi kompresi dada adalah jika frekuensi denyut jantung <60 denyut
permenit setelah ventilasi dilakukan efektif selama 30 detik. Dengan rasio
kompresi : ventilasi = 3:1. Pernafasan, frekuensi denyut jantung dan
oksigenasi harus dinilai secara periodic. Kompresi dan ventilasi tetap
dilakukan sampai frekuensi denyut jantung 60 denyut per menit.
Kompresi dada harus dilakukan apabila laju nadi kurang dari 60 kali per
menit walaupun sudah dilakukan ventilasi secara adekuat dengan pemberian
oksigen tambahan selama 30 detik. Kompresi dada harus dilukan dengan
kecepatan 90 kali per menit dengan perbandingan kompresi dengan ventilasi
3:1 (90:30). Kompresi dilakukan di bawah sela iga ketiga dengan kedalaman
sepertiga dari diameter anterior dan posterior. Ada 2 cara yang dapat
digunakan, yaitu dengan metode 2 jari (2 finger method) dan metode ibu jari (
thumb method).
Metode ibu jari lebih direkomendasikan karena tidak cepat lelah dan dapat
mengatur kedalaman tekanan dengan baik. Selain itu, menurut beberapa
penelitian, metode tangan melingkari dada menghasilkan tekanan sistolik,
diastolik, mean arterial pressure, dan perfusi jaringan yang lebih baik
daripada metode 2 jari. Metode 2 jari digunakan apabila dibutuhkan akses ke
umbilikus untuk memasang umbilical catheter.
Setelah dilakukan kompresi dada selama 30 detik, lakukan penilaian kembali
terhadap laju nadi, laju pernafasan, dan warna kulit. Kompresi dada harus
dilakukan sampai laju nadi lebih dari atau sama dengan 60 kali per menit
secara spontan.

D. Medikamentosa
Obat-obatan jarang digunakan pada resusitasi bayi baru lahir. Namun jika
frekuensi denyut jantung <60 denyut permenit walaupun telah diberikan
ventilasi yang adekuat dengan oksigen dan kompresi dada, pemberian
epinefrin, cairan penambah volume darah atau keduanya dapat dilakukan.
Epinefrin 1:10.000 direkomendasikan untuk diberikan secara IV dengan dosis
: 0,1-0,3 ml/kg berat badan atau 0,01-0,03 mg/kg berat badan diberikan secara
cepat, dilarutkan dengan larutan NaCl 0,9% menjadi 1-2 ml bila secara
endotrakea.
b. Cairan penambah volume darah (plasma expander)
Dosis awal 10 ml/kg dengan kecepatan 5-10 menit secara intravena. Bila bayi
menunjukkan perbaikan yang minimal setelah pemberian dosis pertama, dapat
dberikan dosis tambahan lagi 10 ml/kg.
H. Prognosis Asfiksia Neonatorum
bayi yang mengalami asfiksia dapat bertahan hidup pada 24 jam pertama
maka prognosis kehidupannya biasanya akan baik. Namun, sekitar 1 juta bayi
yang bertahan dari asfiksia neonatorum hidup dengan gangguan
perkembangan otak kronik, termasuk cerebral palsy, retardasi mental dan
kesulitan belajar.
I. Komplikasi Asfiksia Neonatorum
Komplikasi yang dapat terjadi pada bayi yang mengalami asfiksia neonatorum
adalah asidosis metabolik, hipoglikemia, enselofati hipoksia iskemik dan gagal
ginjal. Kompresi dada juga dapat menyebabkan trauma pada bayi. Organ vital
dibawah tulang iga adalah jantung, paru, dan sebagian hati. Tulang rusuk juga
rapuh dan mudah patah. Kompresi harus dilakukan dengan hati-hati supaya
tidak merusak organ dibawahnya (Health Technology Assessment Indonesia
Depkes RI, 2008).
Penghentian Resusitasi 10
Di dalam persalinan, ada kondisi dimana tidak dilakukan resusitasi, antara lain
bayi dengan masa gestasi kurang dari 23 minggu, bayi dengan berat lahir
kurang dari 400 gram, anencephaly, dan bayi yang dipastikan menderita
trisomi 13 dan 18. Sedangkan penghentian resusitasi dapat dilakukan apabila
tidak terjadi sirkulasi spontan dalam waktu 15 menit.

Pada bayi dengan kehamilan 25-28 minggu (berisiko Respiratory Distress


Syndrome), sustained lung inflation (SLI) dengan tekanan 25 cm H2O selama
15 detik diikuti nCPAP yang dilakukan di ruang bersalin menurunkan
kebutuhan ventilasi mekanik dalam 72 jam pertma kehidupan bayi baru lahir
dibandingkan dengan nCPAP saja tetapi tidak menurunkan kebutuhan dan
mendukung pernafasan dan kejadian dysplasia Bronkopulmonal.
Bayi yang membutuhkan resusitasi saat lahir memiliki risiko unutk mengalami
perburukan kembali walaupun telah teracapai tanda vital yang normal. Ketika
ventilasi dan sirkulasi yang adekuat telah tercapai, bayi harus dipantau atau
ditransfer ke tempat yang dapat dilakukan monitoring penuh dan dapat
dilakukan tindakan antisipasi, untuk mendapatkan pencegahan hipotermia,
monitoring yang ketat, serta pemeliharaan fungsi sistemik dan serebral.
Selama transportasi, bayi yang baru lahir yang sakit kritis tersebut sangat
rentan terkna rangsang yang berbahaya, seperti suara, goncangan, dan ketidak
stabilan neonates yang sedang berusaha mempertahankan homeostatis
tubuhnya.

Rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia. 16 Mei 2014. No:005/Rek/PP


IDAI/V/2014
Resusitasi dan stabilisasi neonatus
Tujuan:
Membuat bayi baru lahir stabil dalam waktu selambat-lambatnya 1 jam sesudah
lahir:
Menjamin suhu neonatus dalam keadaan normal. Suhu normal bayi baru lahir
adalah rentang 36,5-37,5o C yang diukur diaksila selama 3-5 menit atau
samapi thermometer berbunyi jika menggunakan thermometer digital.
Menjaga patensi airway (jalan nafas) yang baik dengan mneggunakan CPAP
untuk bayi yang retraksi atau merintih sejak di kamar bersalin. Oksigen
tambahan diberikan dengan mencampur oksigen dan udara (blended oksigen)
dan mengatur konsentrasi oksigen berdasarkan panduan oksimetri dengan
target saturasi oksigen 88-92%
Penilaian sirkulasi bayi baru lahir yang baik dapat dilihat dari beberapa
parameter yaitu 1) heart rate antara 120-160 x/menit, 2) pulsasi arteri radialis
kuat dan teratur, 3) akral hangat, 4) capillary refill time <3detik
Bila bayi tidak dapat minum, dapat dipasang akses melalui vena perifer atau
dalam keadaan darurat dapat menggunakan tali pusat.
Identifikasi bayi yang potensial mengalami hipoglikemia, seperti bayi kurang
bulan (usia gestasi <37 minggu), kecil masa kehamilan (KMK), besar masa
kehamilan (BMK), bayi dari ibu penderita diabetes melitus, bayi sakit, dan
bayi dari ibu yang mengonsumsi obat-obatan tertentu (beta-simpatomimetik,
penghambat beta, klorpropamid, benzotiazid, dan anti-depresan trisiklik)
selama kehamilan. Apabila pada pemeriksaan ditemukan kadar gula darah <
47 mg/dL dapat diberikan bolus dextrosa 10% 2 mL/kgbb atau segera diberi
minum jika tidak ada kontraindikasi pemberian minum.
Bayi harus dirujuk dalam keadaan stabil dan kondisi tersebut dapat dicapai
dengan menerapkan program STABLE. Program STABLE adalah panduan
yang dibuat untuk tata laksana bayi baru lahir yang sakit, mulai dari pasca-
resusitasi/pra-transportasi. Program ini berisi standar tahapan stabilisasi pasca-
resusitasi untuk memerbaiki kestabilan, keamanan, dan luaran bayi. STABLE
tersebut merupakan singkatan dari S: Sugar and safe care (kadar gula darah
dan keselamatan bayi), T: Temperature (suhu), A: Airway (jalan napas), B:
Blood pressure (tekanan darah), L: Lab work (pemeriksaan laboratorium), E:
Emotional support (dukungan emosional). Program STABLE mengupayakan
kondisi bayi menjadi warm, pink, and sweet secepatnya dalam kurun waktu
1 jam.
Pada kondisi lingkungan (cuaca dingin, angin kencang, dataran tinggi, jarak
jauh) dan fasilitas kurang memadai, upaya mengendalikan suhu neonatus
selama proses transportasi dapat dilakukan dengan perawatan metode kanguru.

DAFTAR PUSTAKA

1. Wiswell MD,Thomas: Neonatal resuscitation. Respiratory Care. Vol 48 No


3;2003.
2. Prawiroharjo, Sarwono. Ilmu Kebidanan. Jakarta. P 708-715; 2007
3. Seidel J, Smerling A, Saltzberg D. Resusitation. In: Crain E F, Gershel J C,
eds. Clinical Manual of Emergency pediatrics. 4th ed. International Edition:
McGraw-Hill;2003
4. Givens K. Neonatal Resusitation. In: som. 15 Agustus 2006. Available at :
http://www.som.tulane.edu/departments/peds_respcare/neores.htm
5. Weinberger Barry, et al : Antecedents and Neonatal Consequences of Low
Apgar Scores in Preterm New Born. Arch Pediatr Adolesc Med. Vol 154: 294-
300; 2000
6. American Academy of Pediatrics, Committee on fetus and Newborn,
AmericanCollage of Obstetricians and Gynecologists and Committee on
Obstetric Practice : The Apgar Score. Pediactrics 2006 ; 117 ; 1444. Available
at : http://pediatrics.aapublications.org/content/117/4/1444.full.html

You might also like