You are on page 1of 25

Federasi Uskup Oseania: Mayoritas Rakyat

Papua Ingin Damai


Penulis: Wim Goissler 10:13 WIB | Senin, 14 Agustus 2017

Foto arsip tahun 2016 saat Komite Eksekutif Federasi Uskup Oseania bertemu di Port
Moresby, Papua Nugini. Dari kiri ke kanan, Uskup Agung Port Moresby, John Ribat MSC,
Uskup Parramatta,Vincent Long OFM Conv, Uskup Toowombia, Robert McGuckin, Uskup
Palmerston North, Charles Drennan, Uskup Noumea, Michel Calvet SM, dan Uskup Port
Vila, John Bosco Baremes SM, (Foto: Chatolic Outlook)

AUCKLAND, SATUHARAPAN.COM - Komite Eksekutif Federasi Uskup Katolik


Konferensi Oseania (Australia, Papua Nugini dan Kepulauan Solomon, Selandia Baru,
CEPAC - seluruh Pasifik) saat ini bertemu di Auckland, Selandia Baru. Salah
satu pembahasan dan seruan dalam pertemuan tersebut adalah perdamaian dan dialog di
Papua.

Dalam siaran pers yang dilansir oleh scoope.co.nz, sebuah media independen Selandia Baru,
hari ini (14/08), Federasi menegaskan bahwa "sebagian besar Orang Asli Papua (OAP)
menginginkan perdamaian," dan "berbagai kelompok dialog, perjuangan dan kesaksian
tentang koeksistensi damai, merupakan sumber harapan bagi semua orang."
Pernyataan tersebut ditandatangani oleh Uskup Agung Sir John Cardinal Ribat MSC,
presiden Federasi dan Uskup Agung Port Moresby, Papua Nugini. Selain itu ditandatangani
pula oleh Uskup Robert McGuckin, deputi presiden dan Uskup Toowoomba,
Australia; Uskup Agung Michel Calvet SM, Uskup Agung Noumea, New
Caledonia; Uskup Colin Campbell, Uskup Dunedin, Selandia Baru; Uskup Charles Drennan,
Uskup Palmerston North, Selandia Baru; dan Uskup Vincent Long OFM Conv,
Uskup Parramatta, Australia.

Lebih jauh, siaran pers itu menekankan bahwa para uskup tersebut memilih untuk tidak
berkomentar soal aspirasi merdeka Papua. Dikatakan bahwa mereka "tidak mengajukan suatu
pandangan terkait dengan kemerdekaan (Papua)." Alasannya, karena bila agenda tentang
Papua hanya berfokus pada soal aspirasi merdeka, dapat mengaburkan hal lain yang dianggap
lebih penting. Dalam siaran pers itu dikatakan bahwa "Saat pertanyaan ini (Papua
merdeka) menjadi fokus tunggal, perhatian untuk menegakkan dan memperkuat institusi
demokrasi lokal dapat diabaikan."

Oleh karena itu, Federasi lebih memilih untuk "menggemakan seruan untuk pendidikan
berkualitas di Papua, untuk akses yang adil dan transparan terhadap pekerjaan, program
pelatihan dan pekerjaan, untuk menghormati hak atas tanah, dan batas-batas yang jelas antara
peran angkatan bersenjata dan kepolisian dan peran perdagangan."

Isu Papua bukan hal baru diangkat dalam pertemuan federasi ini, dan pernyataan kali ini
terkesan lebih lunak daripada sebelumnya. Tahun lalu, dalam pertemuan di Port Moresby,
mereka lebih tegas menyerukan pemerintah negara masing-masing untuk mendukung
keinginan rakyat Papua berpartisipasi menjadi anggota penuh Melanesian Spearhead Group
(MSG).

Di atas masalah Papua, pertemuan para komite eksekutif itu berfokus pada pembahasan
tentang perlunya memperhatikan laut sebagai sumber kehidupan masyarakat.

"Lautan milik kita bersama penuh dengan kehidupan dan kebaikan. Bagi banyak umat kita,
laut adalah sumber nutrisi, rezeki dan penghidupan yang berharga. Dengan solidaritas dengan
mereka, Mazmur 107 bergema di dalam hati kita: 'Mereka yang melakukan bisnis di perairan
yang hebat, mereka melihat dunia Tuhan dan keajaiban-keajaibannya di kedalaman.'"

Dikatakan, Federasi sangat menyadari dampak perubahan iklim di negara-negara kepulauan


dan sebagian dari uskup telah mengunjungi masyarakat dan mencatat penghancuran garis
pantai yang mempengaruhinya.

"Pada catatan yang lebih membahagiakan, kami berbesar hati untuk belajar dari oposisi yang
sistematis dan terkoordinasi terhadap penambangan dasar laut yang mengubah dasar laut
menjadi tahap penghancuran eksploitatif habitat laut."

Para uskup juga menekankan bahwa "Ekonomi Biru" adalah upaya menegakkan sebuah
model pembangunan yang menghormati kepentingan yang mendasar mengenai
kelanggengan, sehingga jauh melampaui imbalan ekonomi jangka pendek yang dirasakan.

Mereka menegaskan bahwa anggota parlemen dan gubernur setempat serta otoritas sipil
lainnya memiliki kewajiban khusus untuk mempromosikan pembangunan ekonomi dan sosial
jangka panjang dan harus waspada dalam menjaga setiap usaha internasional untuk
mengeksploitasi sumber daya bersama.

Editor : Eben E. Siadari

Uskup Timika Kutuk Penembakan Warga


Sipil Deiyai
Penulis: Wim Goissler 15:33 WIB | Sabtu, 05 Agustus 2017

Uskup Timika, Mgr. John Philip Saklil, Pr didampingi pastor paroki Santa Maria Rosario Modio, P. Biru
Kira, Pr bersama umat Katolik di Papua dalam sebuah acara pencanangan Stop Jual Tanah, pada
akhir Juni 2017 (Foto: Yamoye'AB)

TIMIKA, SATUHARAPAN.COM Gereja Katolik Keuskupan Timika mengecam dan


mengutuk penembakan masyarakat sipil di Oneibo, Kabupaten Deiyai, dalam sebuah surat
Pernyataan Sikap yang ditandatangani oleh Uskup Keuskupan Timika, John Philip Saklil Pr,
Jumat (04/08).

Surat pernyataan itu juga menerbitkan empat rekomendasi yang ditujukan kepada Gubernur
Papua, Kapolda Papua, Komnas HAM dan DPR Papua. Rekomendasi tersebut adalah
mengevaluasi kembali penempatan anggota TNI dan POLRI yang jumlahnya melebihi warga
sipil, menangkap, menahan dan memproses secara hukum semua anggota POLRI yang
terlibat dalam tindakan penembakan warga sipil di Oneibo Kabupaten Deiyai, investigasi
yang baik, benar, independen dan obyektif terhadap peristiwa yang terjadi dan meminta DPR
Papua menghasilkan produk hukum yang menjamin kelangsungan hidup warga masyarakat
sipil dan secara khusus terhadap Orang Asli Papua.

Berikut ini adalah pernyataan sikap Keuskupan Timika seutuhnya.

PERNYATAAN SIKAP GEREJA KATOLIK KEUSKUPAN TIMIKA ATAS


PENEMBAKAN MASYARAKAT SIPIL OLEH APARAT KEAMANAN DI ONEIBO,
KABUPATEN DEIYAI, PADA TANGGAL 1 AGUSTUS 2017

Salam Damai dan Sejahtera,

Untuk kesekian kalinya kita semua dikagetkan dengan penembakan warga masyarakat sipil
oleh aparat keamanan. Hari Selasa, 1 Agustus 2017 aparat keamanan yang seharusnya
melindungi, memberikan rasa aman kepada warga masyarakat, justru hadir dan menciptakan
rasa tidak aman, dengan melakukan penembakan brutal kepada warga sipil di Oneibo
Kabupaten Deiyai Provinsi Papua. Perlakuan aparat keamanan dengan melakukan
penembakan terhadap warga sipil sepertinya merupakan suatu keharusan jahat yang terus-
menerus dipraktekan. Seperti yang masih segar di kepala kita beberapa kasus ini:

1. Tanggal 07-08 Desember 2014 di Enarotali Kabupaten Paniai: penembakan oleh aparat
gabungan (TNI dan POLRI) ke arah kerumunan warga sipil di Lapangan Karel Gobay.
Kejadian ini menewaskan 3 (tiga) orang pelajar SMU dan melukai 10 (sepuluh) orang
lainnya. Kasus yang sempat menjadi masalah nasional ini, belum ditangani hingga tuntas
sampai saat ini.

2. Tanggal 26 Juni 2015 di Ugapuga Kabupaten Dogiyai : Terjadi serangan senjata oleh
aparat TNI terhadap sekelompok anak muda pada malam hari. Kejadian ini menewaskan 1
(satu) orang pemuda dan mencederai 1 (satu) orang pemuda lainnya (luka bekas tikaman
sangkur di lengan kiri). Kasus kekerasan ini juga belum ditangani.

3. Tanggal 17 Juli 2015 di Bilogai Kabupaten Intan Jaya: terjadi penyerangan yang dilakukan
oleh 6 (enam) anggota Brimob terhadap seorang pemuda. Pemuda ini dianiaya, bahkan
ditembak pada kakinya. Kasus ini pun belum ditangani.

4. Tanggal 17 Juli 2015 di Kabupaten Tolikara: selain terbakarnya sebuah Musolah, ada juga
korban penembakan yang menewaskan 1 (satu) orang dan mencederai 9 (sembilan) orang
lainnya. Pelakunya pasukan gabungan (TNI/POLRI). Terbakarnya Musolah sudah ditangani
hingga tuntas namun soal korban penembakan rupanya sudah dipetieskan.

5. Tanggal 28 Agustus 2015 di Koperapoka, Timika Kabupaten Mimika: Anggota tentara


dengan senjata api di tangan, masuk dan menodongkannya kepada warga sipil di halaman
gereja. Sesudahnya menembak secara membabi buta dan menewaskan 2 (dua) orang serta
mencederai 5 (lima) orang lainnya.

6. Dan masih banyak lagi deretan kasus penembakan oleh aparat keamanan terhadap warga
sipil pada beberapa tahun lalu. Sayangnya bahwa dengan banyaknya kasus penembakan,
tidak terlihat perubahan sikap oleh aparat keamanan yang cukup nyata. Kita juga kurang
mendengar adanya upaya penyejelesaian kasus secara profesional, selain kasus penembakan
Koperapoka Timika, tanggal 28 Agustus 2017.

Dengan kasus-kasus serupa yang terjadi terus-menerus dan tidak diselesaikan secara
profesional, menimbulkan kesan buruk dalam masyarakat bahwa institusi keamanan baik
POLRI maupun TNI, bukanlah pengayom rakyat melainkan pelindung kaum penjahat tidak
bermoral.

Apapun alasannya, menyerang warga sipil dengan menggunakan alat negara sudah tentu
merupakan pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia (HAM). Tanpa diberi kewenangan oleh
negara atau pun jika negara tidak dalam keadaan darurat, maka seorang anggota TNI/POLRI
TIDAK BERHAK menggunakan peralatan perang yang dipercayakan oleh negara untuk
menyerang warga masyarakat sipil. Penyalahgunaan kewenangan ini mesti dipandang sebagai
pengkhianatan terhadap negara dan serentak merupakan pembangkangan terhadap intitusi
TNI/POLRI.

Dengan kekerasan bersenjata dan secara khusus atas kasus penembakan masyarakat sipil di
Oneibo Kabupaten Deiyai, kami, Gereja Katolik Keuskupan Timika menyatakan sikap:

1. Mengecam dan mengutuk semua bentuk tindak kekerasan terhadap kemanusiaan, terutama
kekerasan yang mengakibatkan hilangnya nyawa orang lain,

2. Mengecam dan mengutuk semua bentuk tindak kekerasan terhadap kemanusiaan yang
menggunakan alat negara untuk menyerang dan menghilangkan nyawa warga masyarakat
sipil,

3. Meminta dengan hormat kepada semua lembaga penegak hukum, agar segera menangkap,
menahan dan memproses para pelaku penembakan secara terbuka sesuai dengan hukum yang
berlaku.

4. Dan jika kejahatan para pelaku penembakan memenuhi unsur-unsur, syarat dan kategori
Pelanggaran Hak Asasi Manusia, maka pelakunya harus diseret ke pengadilan Hak Azasi
Manusia, dihukum dengan tuntutan maksimal dan dipecat dari Institusi Kepolisian Republik
Indonesia.

5. Meminta kepada semua pihak untuk menahan diri, berjaga, bersabar dan memantau kinerja
aparat penegak hukum dalam menangani kasus-kasus kekerasan bersenjata, secara khusus
kasus penembakan 1 Agustus 2017 di Deiyai secara tuntas dengan cara yang bermartabat,
transparan, yuridis dan tanpa pandang bulu.

6. Meminta semua pihak, terutama warga sipil, untuk selalu mengedepankan cara damai
dalam menyelesaikan aneka persoalan dalam kehidupan bersama.

Dan secara khusus kami juga memberikan rekomendasi kepada:


1. GUBERNUR PAPUA untuk berdiri kokoh membela kepentingan rakyat dengan
mengevaluasi kembali penempatan anggota TNI dan POLRI yang jumlahnya melebihi warga
sipil,

2. KAPOLDA PAPUA sebagai ksatria penegak hukum untuk menangkap, menahan dan
memproses secara hukum semua anggota POLRI yang terlibat dalam tindakan penembakan
warga sipil di Oneibo Kabupaten Deiyai,

3. KOMNAS HAM untuk segera melakukan investigasi yang baik, benar, independen dan
obyektif.

4. DPRP untuk menghasilkan produk hukum yang menjamin kelangsungan hidup warga
masyarakat sipil dan secara khusus terhadap Orang Asli Papua.

Demikian Pernyataan sikap kami, semoga Hak Asasi dan Martabat Manusia di Tanah Papua,
dihormati dan dihargai selayaknya sebagai Citra Allah yang luhur.

Salam dan berkatku,

John Philip Saklil Pr,


Uskup Keuskupan Timika

Editor : Eben E. Siadari

Pendeta Benny Giay: Di Papua Aparat


Menyembah Pemodal
Penulis: Wim Goissler 09:46 WIB | Jumat, 04 Agustus 2017
Pdt Benny Giay (Foto: bbc.com)

JAYAPURA, SATUHARAPAN.COM- Dalam pesan pastoral kepada jemaatnya, Ketua


Sinode Gereja KINGMI di Tanah Papua, Pdt Benny Giay, mengatakan jemaat di Deiyai
banyak yang berpendapat bahwa yang menjadi penguasa di wilayah mereka bukan Bupati
melainkan aparat keamanan.

Pada saat yang sama, ia menilai, aparat keamanan lebih mengutamakan kepentingan pemilik
modal yang hadir di Papua lewat perusahaan-perusahaan mereka. Mereka "siap amankan
kepentingan" para pemodal, bahkan "menyembah" mereka.

Surat pastoral itu diterbitkan setelah terjadinya penembakan oleh aparat terhadap warga sipil
di Deiyai, Papua, yang menewaskan satu orang dan melukai beberapa orang lainnya.

Menurut keterangan saksi mata, seorang warga Deiyai bernama Ravianus Douw (24)
tenggelam pada 2 Agustus 2017 sekitar pukul 16:30 di kali Oneibo, Tigi Selatan. Korban
berhasil diselamatkan oleh warga setempat dalam kondisi kritis. Warga setempat kemudian
memohon bantuan kendaraan kepada pihak perusahaan Putra Dewa Paniai yang sedang
membangun jembatan kali Oneibo untuk membawanya ke RSUD Deiyai tetapi ditolak.

Akhirnya warga yang kritis itu dibawa ke RS memakai kendaraan lain yang baru diperoleh
setelah cukup lama.

Ketika tiba di rumah sakit, Ravianus tidak tertolong lagi. Diperkirakan lambatnya penganan
medis yang disebabkan oleh jarak dan waktu membuat korban tidak terselamatkan.
Hal ini telah memicu kemarahan warga kepada pihak perusahaan. Warga sekitar mengamuk
dan melampiaskannya dengan membongkar camp perusahaan.

Untuk menghadapi amuk massa, pasukan bersenjata lengkap dari satuan Brimob Polres
Paniai, turun ke lokasi dan melakukan penembakan. Pihak keamanan mengatakan mereka
menembakkan peluru karet, namun keluarga korban dan sejumlah saksi mengatakan para
korban terkena peluru besi.

Dalam pesan pastoralnya yang cukup panjang, Pdt Benny Giay mengurai berbagai faktor
yang menyebabkan pelanggaran HAM seperti yang terjadi di Deiyai selalu berulang. Tidak
ada faktor tunggal, berbagai pihak, termasuk gereja, turut andil.

Pdt Benny Giay mengemukakan sorotan sangat tajam terhadap aparat pemerintah baik sipil
maupun militer, yang ia nilai selalu 'tiarap' ketika hal-hal seperti ini terjadi.

Ia mengulang lagi contoh-contoh, seperti kisah 100 lebih balita yang meninggal di Distrik
Tigi Barat. "Pelayanan kesehatan masyarakat tidak jalan. Menurut Kepala Dinas Kesehatan
Prov Papua, semua kebijakan tidak jalan, walaupun sudah ada juklak dan juknis. Puskesmas
tidak berjalan. Kepala Dinas Kesehatan juga tidak laksanakan tugas. Menurut warga, ini
protes ke Dance Takimai, Bupati Deiyai juga tidak pernah masuk kantor sejak dilantik di
Jayapura beberapa tahun lalu. Dia habiskan hari-harinya di tempat lain. Sekarang sibuk untuk
maju lagi."

"Ada pejabat yang memperkirakan Bupati Deiyai hanya masuk kantor 30 hari sejak dilantik
sebagai Bupati Deiyai."

Fenomena seperti ini, menurut Pdt Benny Giay, tidak asing di Papua.

"Dari sisi performa Bupati Deiyai ini, yang tidak pernah masuk kantor ini memang bukan
baru. Bupati Paniai sebelum Henky Kayame yang memang warga Gereja KINGMI juga
lakukan lakukan hal yang sama. Dia menurut Kapolres Paniai pada waktu itu, hanya masuk
kantor di Enarotali hanya 40 hari."

Lebih mengenaskan lagi, kata Pdt Benny, Kapolres Paniai kala itu pernah berkata, "Sayalah
Bupati Paniai."

"Kalau begitu, siapa yang Bupati di Deiyai, selama 5 tahun terakhir ini? Menurut jemaat,
'Aparat Keamanan yang dibayar oleh PT tertentu,' tulis Pdt Benny Giay.

Menurut Pdt Benny Giay, seperti halnya banyak gereja di Papua yang hanya menyembah
ajaran Gereja yang mati, kaku berorientasi ke dunia batin, para pejabat elit dan TNI POLRI
juga sedang menyembah sesuatu yang lain yang tidak relevan dengan kehidupan masyarakat
Papua. Yang mereka sembah, menurut dia, adalah para pemilik modal, seraya ia menyebut
nama sebuah PT yang menjadi obyek protes rakyat Deiyai.

"Perhatikan dalam sejumlah insiden yang disebutkan di atas. Para Bupati, SKPD, Calon
Bupati, dll, aparat Keamanan hari ini tiarap, sembah sujud Pak Dewa. Siap amankan
kepentingannya; melayani nafsu sang putra dewa di Meuwo.

Editor : Eben E. Siadari


Pesan Pastoral Gereja KINGMI Papua
tentang Penembakan Deiyai
Penulis: Wim Goissler 08:45 WIB | Jumat, 04 Agustus 2017

Pdt Benny Giay (Foto: bbc.com)

JAYAPURA, SATUHARAPAN.COM- Ketua Sinode Gereja KINGMI di Tanah Papua


Papua, Pdt Benny Giay, mengeluarkan kecaman keras lewat pesan pastoral berupa Surat
Gembala, kepada gereja maupun elit masyarakat Papua atas terjadinya penembakan oleh
aparat keamanan di Deiyai yang menyebabkan seorang warga sipil meninggal dan beberapa
orang lainnya luka-luka.

Gereja KINGMI menilai hal ini terjadi merupakan kombinasi dan akumulasi dari banyak
faktor. Sebagian dikarenakan kegagalan pembinaan gereja yang terlalu sibuk mengurusi
ajaran murni, kader gereja yang etika sosialnya rendah, bupati dan para pejabat yang tidak
bertanggung jawab, elit masyarakat yang menutup mata terhadap dosa para pejabat itu serta
aparat yang 'menyembah' kekuatan modal.

Akibatnya, menurut Pdt Benny Giay, tidak ada yang perduli terhadap nasib umat dan ia
menyerukan agar justru umat sendiri yang bergerak, membangkitkan sesamanya, "Cobalah
untuk berhubungan langsung, dan sebagai manusia jamahlah manusia."

Berikut ini pesan pastoral itu secara utuh.

SURAT GEMBALA 3 AGUSTUS 2017

"Janganlah kamu ragu-ragu! Kamu, yang telah masuk ke dalam benteng yang dibangun
bagimu oleh masyarakat, negara, Gereja, sekolah, dunia usaha, pendapat umum dan
keangkuhanmu sendiri sehingga tidak dapat berhubungan langsung dengan siapa pun atau di
luarnya, runtuhkan itu, cobalah untuk berhubungan langsung, dan sebagai manusia jamahlah
manusia".

1. Hari ini Rabu, 3 Agustus 2017, warga Deiyai/Meuwo berduka, mengulangi pengalaman
duka sebelumnya.

Februari 1998
Ratusan warga mengalami penyiksaan dan penganiyaan berat dan berakhir dengan
penahanan terhadap puluhan warga di Waghete. Setelah 3 bulan penahanan 4 orang warga
mengalami gangguan mental dan seorang ditemukan tewas di hutan Kobouyedimi (Gunung
perbatasan Tigi (Deiyai) dan Tage (Kab Paniai).

20 Januari 2006
Seorang warga tewas ditembak Aparat di Waghete, sementara 3 orang lainnya luka tembak.
Ketiga korban tersebut: Moses Douw (14 tahun pelajar SMP), Yonike Kotouki (pelajar
SMP), dan Petrus Pekey (43) seorang warga sipil. Pelaku Letda Inf Situmeang, Danton
Timsus Yonif 753 Arga Vira Tama. Pelaku lainnya: Bripda Ronald Isac Tumena anggota
POlsek Waghete.

4 Oktober 2011
Dominikus Tekege ditembak di Tigi (Deiyai) oleh 2 orang anggota Brimob penjaga
Keamanan PT Modern. Korban pergi memprotes PT Modern yang sudah mulai mengambil
batu dan pasir melewati batas lokasi yang telah disepakati.

12 Juli 2012
8 orang warga tewas setelah minum soda (yang sudah kadaluarsa) di Waghete, Deiyai.
Saat keluarga korban memprotes pemilik kios orang pendatang itu, mereka ditembaki
aparat.

23 September 2013
Alpius Mote pelajar SMA di Waghete tewas ditembak Brimob. Mereka juga menembak
Frans Dogopia (anggota Satpol yang sedang menenangkan warga) dan menganiaya Yance
Pekey seorang guru di SMA tersebut.

8 Desember 2014
Aparat menembak mati beberapa pelajar di Enarotali.

25 Juni 2015
Aparat menembak mati Yoteni Agapa di Ugapuga.
Juni Juli 2017
100 lebih balita meninggal dunia di Distrik Tigi Barat. Pelayanan kesehatan masyarakat tidak
jalan. Menurut Kepala Dinas Kesehatan Prov Papua, semua kebijakan tidak jalan, walaupun
sudah ada juklak dan juknis. Puskesmas tidak berjalan. Kepala Dinas Kesehatan juga tidak
laksanakan tugas. Menurut warga, ini protes ke Dance Takimai, Bupati Deiyai juga tidak
pernah masuk kantor sejak dilantik di Jayapura beberapa tahun lalu. Dia habiskan hari-
harinya di tempat lain. Sekarang sibuk untuk maju lagi.

1 Agustus 2017
Brimob menembak mati seorang warga dan 6 warga lainnya yang luka tembak aparat sedang
dirawat.

2. DI MANA PARA ELITNYA?

2.1.Melihat kekerasan yang terus terjadi di Daerah kami sebagai Gereja (telah berkarya di
sini) mengakui kegagalan kami: (a) karena pembinaan pastoral (Gembala) telah lama
dibentuk atau digiring untuk sibuk mengurus ajaran Gereja murni, yang normatif, kaku dan
berorientasi ke akhir jaman; yang menghadirkan (b) kader Gereja yang etika sosialnya amat
rendah; tidak punya/peka dalam mempertanggung-jawabkan imannya dalam situasi konkrit.
Etika sosial sangat rendah atau nol.

2.2.Dari sisi pemerintahan, Bupati Deiyai, sejak dilantik tidak pernah di tempat. Ada pejabat
yang memperkirakan Bupati Deiyai hanya masuk kantor 30 hari sejak dilantik sebagai
Bupati Deiyai. Sekarang ada sibuk mau maju lagi sebagai Bupati Deiyai lagi.

Dari sisi performa Bupati Deiyai ini, yang tidak pernah masuk kantor ini memang bukan
baru. Bupati Paniai sebelum Henky Kayame yang memang warga Gereja KINGMI juga
lakukan lakukan hal yang sama. Dia menurut Kapolres Paniai pada waktu itu, hanya masuk
kantor di Enarotali hanya 40 hari. Kapolres pada waktu itu mengaku: sayalah Bupati Paniai.
Kalau begitu, siapa yang Bupati di Deiyai, selama 5 tahun terakhir ini? Menurut jemaat,
Aparat Keamanan yang dibayar oleh PT tertentu.

2.3.Elit orang Mee dari Meeuwo dari luar hebatnya hanya sibuk mengeritik Gubernur
Enembe, tetapi menutup mata terhadap dosa para pejabat orang Mee di kampong
halamannya.

2.4.Di mana TNI POLRI? Bupati-bupati di Meuwo dengan semua SKPDnya? Kalau Gereja
kami menyembah ajaran Gereja yang mati, kaku berorientasi ke dunia batin, maka para
pejabat elit dan TNI POLRI sedang menyembah PT Dewa Moderen di Meuwo. Perhatikan
dalam sejumlah insiden yang disebutkan di atas. Para Bupati, SKPD, Calon Bupati, dll,
aparat Keamanan hari ini tiarap, sembah sujud pak Dewa. Siap amankan kepentingannya;
melayani nafsu sang putra dewa di Meuwo.

3. LALU BAGAIMANA JEMAATNYA?


Kami meminta maaf. Tidak ada yang urus kami. No body cares. Karena itu
Simaklah himbauan pak Martin Buber, Teolog Yahudi yang sudah dikutip pada awal surat
gembala ini. Timbangkan dan renungkan bahasa pemikir Eksistensialis Yahudi
berkewarganegaraan Jerman itu. apa arti pesan itu bagi kita yang sudah dan sedang jalani
pengalaman-pengalaman di atas? Bagaimana kita bisa siasati seruan itu dalam suasana, kita
bangsa Papua:
(3.1.) yang terus terlibat perang suku di antara kita sendiri;
(3.2) terus memandang biasa KDRT sebagai hal yang biasa-biasa,
(3.3) atau terus bermasa bodoh terhadap pendidikan dan masa depan anak-anak kita. dll
(3.4) memandang biasa Pejabat Daerah yang sudah tidak masuk kantor bertahun-tahun tanpa
rasa takut kepada Tuhan dan masyarakat.
Apa arti seruan teolog itu bagi kita bangsa Papua yang sedang tenggelam tetapi masih bikin
diri inti.

Kalau ada yang mengerti dan membaca tanda-tanda jaman ini (Matius 16:2-3), kami
ucapkan Selamat berjuang, Tuhan sang Gembala menyertai.

Jayapura, 3 Agustus 2017


Ketua Sinode KINGMI di Tanah Papua,
Pdt Benny Giay

Editor : Eben E. Siadari

Penembakan di Papua: Menambah


Antipati terhadap RI
Penulis: Neles Tebay 19:16 WIB | Rabu, 02 Agustus 2017
Neles Tebay (Foto: Dedy Istanto/satuharapan.com)

SATUHARAPAN.COM - Ketika orang Papua sedang mempersiapkan diri untuk menyambut


perayaan HUT Proklamasi Repulik Indonesia (RI) yang ke 72, mereka dikejutkan oleh berita
penembakan terhadap warga sipil yang dilakukan sejumlah anggota Brimob dan Polisi di
Kabupaten Deiyai, 1/8. Dilaporkan bahwa 17 orang Papua tertembak (Tabloid jubi.com.,
1/8). Penembakan dilakukan dengan peluru kaliber PIN 5,56, bukan peluru karet. Satu korban
tewas. Tiga korban yang kritis dirujuk ke RSUD Nabire. Ada korban yang dirawat di Rumah
Sakit Deiyai. Sejumlah korban lainnya dirawat oleh keluarganya di rumah masing-masing
(Tabloid jubi.Com., 2/8). Peristiwa penembakan ini akan diingat orang Papua sebagai hadiah
HUT Proklamasi RI ke 72.

Bukan Hal Baru

Penembakan di Deiyai bukan hal pertama bagi orang Papua. Karena mereka sudah biasa
menjadi korban aksi kekerasan. Kasus-kasus yang terjadi sejak pelantikan Presiden Joko
Jokowi Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla pada oktober 2014 hingga 1 Agutus 2017,
dapat dijadikan contoh untuk memperlihatkan adanya kekerasan terhadap orang Papua.

Di Kabupaten Dogiyai, 20/1, 2017, beberapa oknum polisi melakukan penyiksaan dan
penganiayaan terhadap Ferdinand T., Desederius Goo (24), Alex Pigai, Oktopianus Goo,
dengan menggunakan potongan kayu balok berukuran 5x5 cm dan pangkal senjata di Markas
Kepolisian Sektor (Mapolsek) Moanemani.

Pada 10/1, Otis Pekei meninggal dunia karena dipukul hingga babak belur oleh oknum polisi
di Mapolsek yang sama.
Di Wamena, Kabupaten Jayawijaya,10/1, Edison Matuan (21) ditangkap beberapa oknum
polisi, kemudian dipukul, disiksa, dan dianiaya, baik di Mapolsek maupun di Rumah Sakit
Umum Daerah, hingga meninggal dunia pada keesokan harinya.

Dalam tahun 2016, SETARA Institute mencatat 68 kasus kekerasan terhadap orang Papua di
Provinsi Papua dan Papua Barat. Di antaranya, di Kabupaten Dogiyai, 23/12, dua oknum
brimob melakukan penganiayaan terhadap Melkias Dogomo yang meninggal beberapa hari
kemudian.

Di Kabupaten Boven Digul,1/12, Oktovianus Guam (16) diduga ditembak mati oleh oknum
polisi.

Di Manokwari, 26-27/10, aparat kepolisian melakukan penembakan, penyiksaan, dan


penganiayaan terhadap orang Papua.

Di Kabupaten Merauke, 14/9, dua okum polisi melakukan pemukulan dan penembakan
terhadap Melky Balagaize (19).

Di Kabupaten Intan Jaya, 27/8, Otianus Sondegau (15) ditembak mati oleh oknum Brimob.

Sedangkan dari Oktober 2014 hingga Desember 2015, menurut SETARA Institute, terjadi 16
tindakan kekerasan negara. Misalnya di Jayapura, 27/8, tiga pemuda Papua atas nama
Wilhelmus Awom (26), Soleman Yom (27), dan Yafet Awom (19) diculik dan dianiaya
hingga babak belur oleh oknum polisi.

Di Kabupaten Yahukimo, 19/3, oknum polisi menembak mati Intel Senegil (16).

Semua kasus kekerasan di atas memperlihatkan bahwa orang Papua masih dipandang sebagai
musuh Negara Indonesia. Maka kekerasan dilakukan untuk menghancurkan musuh Negara.
Karena itu, hanya orang Papua yang menjadi korban dari kekerasan.

Pelaku kekerasannya adalah aparat keamanan. Dalam banyak kasus, anggota POLRI dan
Brimob diduga terlibat sebagai pelaku kekerasan. Oleh sebab itu, semua kekerasan di atas
dapat dikategorikan sebagai kekerasan negara karena pelakunya adalah aparat negara.
Kekerasan terwujud dalam bentuk penculikan, pemukulan, penyiksaan, penganiayaan, dan
penembakan orang Papua.

Mengenai tempat kejadian, tampak bahwa kekerasan negara dilakukan bukan hanya di
Kabupaten Deiyai tetapi juga di beberapa kabupaten lain dalam Provinsi Papua dan Papua
Barat.

Seperti yang ditemukan Tim LIPI melalui penelitiannya, ternyata bahwa kekerasan negara
terhadap orang Papua sudah berlangsung sejak Papua berintegrasi ke dalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia ((NKRI) tahun 1963. Maka aksi kekerasan yang dilakukan aparat
keamanan terhadap orang Papua sejak tahun 2014 hingga kini merupakan pengulangan dan
kelanjutan dari apa yang sudah biasa dilakukan selama 50 tahun sebelumnya di Tanah Papua.

Bumi Cenderawasih dihuni bukan hanya oleh orang Papua. Minimal satu stengah juta orang
Melayu yang berasal dari berbagai provinsi di Indonesia yang hidup di Tanah Papua. Tetapi,
selama 54 tahun Papua berintegrasi ke dalam NKRI, hampir tidak pernah ada berita tentang
kekerasan negara yang dilakukan anggota TNI, POLRI, Brimob, terhadap orang Melayu yang
hidup di Tanah. Malah anggota TNI, POLRI dan Brimob, seperti yang diperlihatkan kasus-
kasus di atas, berperan melindungi orang Melayu di Tanah Papua. Orang Melayu melapor ke
Brimob atau Polisi memohon perlindungan keamanan. Aparat keamanan melayani
permohonan tersebut dengan melakukan tindakan kekerasan dalam berhadapan dengan orang
Papua.

Pengalaman selama lebih dari lima dekade ini memperlihatkan bahwa hanya orang Papua,
sekalipun tidak semuanya, dipandang dan diperlakukan sebagai musuh negara. Mereka jadi
target dari aksi kekerasan negara. Sementara orang Melayu lebih dipandang sebagai
sahabatnya aparat keamanan sehingga mereka dilindungi. Oleh sebab itu, muncul kecurigaan
pada orang Papua, terutama mereka yang mengalami kekerasan negara dan keluarganya,
bahwa aparat keamanan bertindak diskriminatif.

Tantangan bagi Pemerintah

Pelaku penembakan di Deiyai dapat saja diberi sangsi. Tetapi perlu disadari bahwa
penembakan di Deiyai telah menambah luka baru dalam hati orang Papua. Ditambah dengan
luka hati yang lama, kekerasan negara seperti penembakan, dapat berakibat fatal bagi
Indonesia.

Bertolak dari pengalaman penderitaannya selama ini, banyak orang Papua bersikap antipati
terhadap oknum dan lembaga Polisi dan Brimob. Rencana pendirian Markas Kepolisian
Resort (Mapolres) di sejumlah kabupaten ditolak oleh orang Papua karena mereka tidak ingin
menjadi korban kekerasan negara.

Orang Papua juga sudah memohon Pemerintah Provinsi Papua untuk menarik keluar anggota
Brimob dari beberapa kabupaten karena kehadirannya, terutama aksi kekerasannya,
meresahkan orang setempat. Rencana pembangunan Markas Komando Brimob di Wamena
juga sudah ditolak oleh orang Papua.

Ketika kekerasan negara terus dilaksanakan, nasionalisme Indonesia sekalipun


dikampanyekan melalui berbagai media dan kegiatan sulit bertumbuh dalam hati orang
Papua, terutama pada para keluarga yang menjadi korban kekerasan negara. Pemerintah
Daerah, anggota TNI, dan Polisi, di kabupaten-kabupaten di Provinsi Papua dan Papua Barat
dapat saja berlomba dan berbangga mengibarkan Bendera Merah Putih dalam ukuran yang
besar. Tetapi kegiatan artifisial ini tidak akan berhasil menghilangkan antipati dan
ketidakpercayaan mereka terhadap Indonesia. Bagaimana mungkin orang Papua diharapkan
mencintai Indonesia, ketika pada saat yang sama mereka dipandang sebagai musuh negara
dan dihadapi dengan tindakan kekerasan yang dilakukan aparatur negara? Tambah lagi, orang
Papua mengetahui bahwa Pemerintah belum mempunyai komitmen moral dan politik untuk
menyelesaikan tiga kasus pelanggaran HAM berat yakni Kasus Wasior (2001), Kasus
Wamena (2003), dan Kasus Paniai (2014).

Berdasarkan pengalaman kekerasan negara yang terus dialami sejak 1963 hingga kini,
kepercayaan orang Papua terhadap negara Indonesia sudah mencapai titik terendah. Semakin
banyak orang Papua berkesimpulan bahwa orang Papua tidak mempunyai masa depan dalam
NKRI.
Kini Pemerintah Pusat dan Daerah ditantang untuk membangkitkan kepercayaan dan harapan
dalam hati orang Papua. Pemerintah perlu meyakinkan mereka bahwa orang Papua akan
mempunyai harapan dan masa depan yang lebih baik dalam NKRI.

Neles Tebay adalah dosen pada Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Fajar TImur Abepura,
Papua.

Editor : Eben E. Siadari

7 Negara Bawa Isu Papua ke Parlemen


Afrika-Pasifik dan UE
Penulis: Wim Goissler 21:49 WIB | Kamis, 27 Juli 2017

Pembukaan pertemuan regional (Pasifik) ke-14 ACP-EU Parliamentary Joint Assembly di Port Vila,
Vanuatu, pada 20 Juli 2017 (Foto: gov.vu)
PORT VILA, SATUHARAPAN.COM - Tujuh negara Pasifik secara resmi membawa isu
pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) Papua ke dalam Majelis Gabungan Parlemen
negara-negara Afrika Karibia, Pasifik (African, Carribean and Pacific/ACP) dengan Uni
Eropa (EU), yang beranggotakan 97 negara.

Majelis Gabungan yang lebih dikenal dengan nama ACP-EU Joint Assembly ini mengadakan
pertemuan regional ke-14 khusus untuk negara-negara Pasifik di Port Vila, Vanuatu, pada 19-
21 Juli 2017 lalu. Pertemuan itu kemudian mengeluarkankomunike yang memuat seruan
agar pelanggaran HAM di Papua dibahas dalam pertemuan parlemen ACP-EU terdekat.

Dalam naskah komunike yang diterima oleh satuharapan.com, dikatakan bahwa yang
pertama kali membawa isu pelanggaran HAM Papua ke forum adalah delegasi Vanuatu.
Langkah itu didukung oleh negara-negara Pasifik lainnya, yaitu Kiribati, Marshall Islands,
Nauru, Samoa, Tonga dan Papua Nugini. Khusus untuk Papua Nugini, ditegaskan bahwa
dukungan mereka terhadap diangkatnya isu Papua, murni hanya pada soal-soal kemanusiaan.

Dalam komunike tersebut dikatakan bahwa parlemen dari negara-negara anggota ACP-EU
menyerukan agar dihentikan dengan segera pembunuhan brutal dan tidak masuk akal atas
Orang Asli Papua. Mereka juga menyerukan agar masalah itu dibawa pada pertemuan
menteri-menteri ACP-EU pada November mendatang.

Delegasi pertemua regional (Pasifik) ke-14 ACP-EU Joint Assembly di Port Vila, Vanuatu
(Foto: ACP-EU)

Isu Papua dalam komunike tersebut, hanya salah satu dari tujuh isu yang diangkat. Isu Papua,
yang dalam komunike dituliskan sebagai "Situasi di Papua Barat," mengambil porsi yang
tidak terlalu besar, dijelaskan dalam satu paragraf yang terdiri dari empat baris. Isu utama
dalam komunike tersebut adalah perihal proses integrasi dan kerjasama regional, negosiasi
Economic Partnership Agreements (EPAs), perspektif Pasifik atas perubahan iklim
serta 'blue economy' dan tata kelola kelautan termasuk perikanan.

Kendati tidak mengambil porsi yang besar dalam komunike, munculnya isu Papua dalam
komunike parlemen ACP-EU menunjukkan keberhasilan Vanuatu yang selama ini gigih
memperjuangkannya. Masuknya isu ini dalam komunike mengkonfirmasi apa yang
sebelumnya diungkapkan salah seorang anggota delegasi Vanuatu. Pekan lalu, agggota
parlemen Vanuatu, Marco Mahe, mengatakan negara-negara yang tergabung dalam ACP
telah menyetujui diangkatnya isu pelanggaran HAM dalam rapat terpisah yang berlangsung
sebelum acara resmi pembukaan forum ACP-EU Joint Parliamentary Assembly pada 20 Juli
lalu.

Ia juga mengatakan delegasi Vanuatu pada pertemuan itu menyetujui bahwa pemimpin
oposisi, Ishmael Laksakau, akan mewakili mereka untuk mengangkat hal tersebut dalam
pertemuan.

Pertemuan terpisah negara-negara anggota ACP mendahului pembukaan secara resmi ACP-
EU Joint Parliamentary Assembly dilaksanakan pada hari Rabu (19/07). Pertemuan itu
dipimpin oleh Co-President ACP-EU Joint Parliamentary Assembly, Ibrahim R. Bundu. Pada
pertemuan itu hadir perwakilan United Liberation Movement for West Papua (ULMWP),
Octavianus Mote.

Diberitakan delegasi ULMWP datang terlambat pada pertemuan tersebut, namun anggota
ACP sepakat mengangkat isu pelanggaran HAM di Papua.

Mohe mengatakan walaupun Papua bukan anggota ACP, negara-negara anggota menganggap
Papua masuk dalam negara-negara Pasifik. Ia menambahkan pelanggaran HAM di Papua
tidak dapat ditoleransi.

Sekretaris Jenderal United Liberation Movement for West Papua (ULMWP), Octovianus
Mote, yang hadir dalam pertemuan itu atas undangan pemerintah Vanuatu, membenarkan
diangkatnya isu Papua.

Ia bahkan menggarisbawahi sikap Papua Nugini, yang turut mendukung langkah Vanuatu.
"Bahkan Papua Nugini yang secara politik mengakui Papua adalah bagian integral Indonesia
juga mengatakan pelanggaran HAM di Papua tidak bisa dibiarkan terus-menerus, karena
sudah berlangsung sekian lama," ungkap Mote, kepada Tabloid Jubi.

Walau tak terungkap dalam komunike, Mote mengatakan semua perwakilan ACP setuju
pelanggaran HAM di Papua dapat mengarah pada pemusnahan etnis Papua jika terus
dibiarkan.

Octovianus Mote hadir di Pertemuan ke-14 Majelis Gabungan Parlemen ACP-EU mewakili
ULMWP atas undangan resmi pemerintahan Vanuatu sebagai tuan rumah. Namun ia tidak
memiliki hak bicara. Meskipun demikian, ia mendapat kesempatan membeberkan fakta dan
informasi dasar tentang pelanggaran HAM di Papua.
Sejauh ini belum ada tanggapan dari pemerintah Indonesia atas hal ini. Kebenaran apakah
komunike ini akan membawa dampak yang lebih signifikan pada pertemuan ACP-EU
mendatang masih perlu dicermati lebih jauh. Sebab, klaim serupa sudah pernah dilontarkan
awal Mei lalu tetapi dibantah oleh pemerintah RI. Ketika itu tujuh negara Pasifik, yaitu
Vanuatu, Solomon Islands, Tonga, Tuvalu, Nauru, Papau dan Marshall Islands mengklaim
lewat sebuah pernyataan bersama bahwa Dewan menteri negara-negara ACP yang
beranggotakan 97 negara mengungkapkan keprihatinan atas pelanggaran HAM di Papua.
Dalam pertemuan di Brussels, Johnny Koanapo, delegasi dari Vanuatu, mengklaim bahwa
platform penentuan nasib sendiri disetujui oleh ACP dan akan dibahas pada pertemuan
November.

Pemerintah Indonesia langsung mengeluarkan bantahan terkait adanya kesepakatan ACP


untuk memberi dukungan terhadap penentuan nasib sendiri Papua. Kedutaan Besar RI di
Selandia Baru juga membantah pernyataan yang mengatakan pertemuan konsultasi
kementerian ACP di Brussels mendiskusikan dukungan terhadap penentuan nasib sendiri
Papua.Indonesia bahkan mengatakan ACP menyepakati untuk tidak akan membahas isu
Papua di pertemuan selanjutnya.

Editor : Eben E. Siadari

Federasi Uskup Pasifik Minta Papua Tidak


Dihambat Masuk MSG
Penulis: Eben E. Siadari 09:15 WIB | Rabu, 24 Agustus 2016
Dari kiri ke kanan, Uskup Agung Port Moresby, John Ribat MSC, Uskup Parramatta,Vincent Long OFM
Conv, Uskup Toowombia, Robert McGuckin, Uskup Palmerston North, Charles Drennan, Uskup
Noumea, Michel Calvet SM, dan Uskup Port Vila, John Bosco Baremes SM, (Foto: Chatolic Outlook)

PORT MORESBY, SATUHARAPAN.COM - Enam uskup yang tergabung dalam Komite


Eksekutif Federasi Konferensi Uskup Katolik se-Oseania menyerukan agar pemerintah mana
pun tidak menghambat keinginan rakyat Papua untuk bergabung dengan Melanesian
Spearhead Group (MSG).

Menghambat keinginan itu, menurut mereka, akan melukai hati semua rakyat Melanesia.
MSG, demikian pernyataan itu, adalah tempat alami kolaborasi dan potensi saling memahami
yang lebih dalam di antara sesama rakyat Melanesia.

Keenam uskup tersebut bertemu di Port Moresby, Papua Nugini, dan mengeluarkan
pernyataan tersebut pada 22 Agustus, sebagaimana dilansir dari catholicoutlook.org. Keenam
uksup itu adalah Uskup Agung Port Moresby, John Ribat MSC, Uskup Parramatta, Vincent
Long OFM Conv, Uskup Toowoomba, Robert McGuckin, Uskup Palmerston North, Charles
Drennan, Uskup Noumea, Michel Calvet SM, dan Uskup Port Billa, John Bosco Baremes
SM. Keenamnya datang dari negara-negara Australia, Selandia Baru, Papua
Nugini,Kepulauan Solomon dan CEPAC.

Menurut Wikipedia, Oseania (Oceania) adalah istilah yang mengacu kepada suatu wilayah
geografis atau geopolitis yang terdiri dari sejumlah kepulauan yang terletak di Samudra
Pasifik dan sekitarnya.
Dalam artian sempit Oseania meliputi Polinesia (termasuk Selandia Baru), Melanesia
(termasuk dari Maluku sampai Nugini) dan Mikronesia. Sedangkan dalam artian
luas Oseania juga meliputi Australia dan Indonesia bagian timur; namun terkadang Jepang
dan Kepulauan Aleut dianggap masuk dalam kelompok Oseania.

Sebagian besar wilayah Oseania terdiri dari negara-negara kepulauan yang kecil. Australia
adalah satu-satunya negara kontinental, sedangkan Papua Nugini dan Timor Leste adalah
negara yang memiliki perbatasan darat, di mana keduanya berbatasan dengan Indonesia.

Oleh karena itu, tidak terlalu salah apabila para uskup yang bertemu ini dikatakan merupakan
wakil dari umat Katolik di Pasifik.

"Kami datang dari banyak negara bangsa kepulauan yang tersebar di seluruh Pasifik,"
demikian pernyataan mereka.

"Kami sangat senang berada di sini di PNG dan telah menikmati keramahan yang sangat
indah dari bangsa yang hidup ini. Adalah suatu kehormatan bagi kami untuk bertemu dengan
Yang Terhormat Powes Parkop, gubernur Port Moresby, dan kami semua mengucapkan
selamat kepadanya dan dorongan bagi pengembangan kota ini dan komitmennya untuk
keadilan, integritas dan layanan dalam kepemimpinan sipil," demikian bunyi pernyataan
tersebut.

"Meskipun kami datang dari beragam budaya dan daerah, sebagai rohaniawan dan gembala
hati kami bersatu dalam keinginan untuk mencari apa yang terbaik bagi manusia dan
kebaikan bersama bagi masyarakat apapun. Lebih jauh, kami mengikuti contoh dari Paus
Fransiskus, imam kita, yang mendorong kita untuk melihat dunia bukan sebagai pasar global,
tetapi sebagai rumah universal."

Menurut pernyataan itu, tahun lalu para uskup telah mendesak pemerintah dan kalangan
bisnis untuk mendukung inisiatif Paris COP21 menangani isu-isu perubahan iklim dan
pembangunan berkelanjutan. Mereka mengatakan berbesar hati melihat bahwa Pemerintah
PNG telah mengesahkan UU yang baru dan setuju untuk menerapkan strategi inisiatif itu.

Pada pertemuan kali ini, keenam uskup itu mengatakan mereka memfokuskan diri pada isu
tentang Papua. Dalam hemat mereka, rakyat Papua mencari apa yang dicari oleh setiap
keluarga dan kebudayaan, yaitu penghormatan terhadap martabat pribadi dan komunal,
kebebasan berekspresi bagi aspirasi individu serta hubungan bertetangga yang baik.

"Batas politik tidak pernah dapat membatasi atau mengontrol hubungan etnis dan kami
mendesak pemerintah untuk mendukung keinginan rakyat Papua (Barat) untuk berpartisipasi
penuh dalam Melanesian Spearhead Group (MSG)," demikian pernyataan tersebut.

Oleh karena itu, keenam uskup mengatakan mendukung deklarasi lintas iman pada tahun
2003 Papua Tanah Damai.

"Menghalangi partisipasi rakyat Papua di MSG adalah luka di sisi semua rakyat Melanesia.
Untuk Papua (Barat), MSG adalah tempat alami kolaborasi dan potensi sumber
pemahaman yang lebih dalam," kata pernyataan itu.
Keenam uskup juga mengucapkan terimakasih atas bantuan pemerintah Indonesia dalam
membuat kemungkinan kunjungan uskup dari Papua Nugini dan Kepulauan Solomon ke
Jayapura belum lama ini, untuk bertemu dengan kolega sesama uskup di Papua Barat.

"Kunjungan tersebut selalu untuk menciptakan perdamaian," kata mereka.

Sejak tahun 2014, United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) telah berupaya
untuk diterima di MSG, sebagai perwakilan dari rakyat Melanesia di Papua. Pada tahun 2015,
ULMWP mendapat status sebagai peninjau.

Pada saat yang sama, Indonesia juga mengklaim mewakili rakyat Melanesia yang menjadi
warga negara Indonesia, yang tersebar di pulau-pulua Nusa Tenggara, Maluku dan Papua.
Indonesia telah memperoleh status associate member di MSG pada tahun 2015.

Pertengahan Juli lalu, aplikasi ULMWP untuk menjadi anggota penuh MSG ditunda, dengan
alasan masih perlu adanya penyempurnaan kriteria keanggotaan MSG. Keputusan atas
aplikasi itu dijadwalkan akan diambil pada pertemuan pemimpin MSG pada September ini
Vanuatu.

Menurut Amena Yauvoli, direktur jenderal MSG, kepada tabloidjubi.com, pengajuan aplikasi
untuk menjadi anggota penuh sejauh ini hanya dilakukan oleh ULMWP, sementara Indonesia
tidak mengajukan aplikasi kepada Sekretariat MSG.

Indonesia selama ini menganggap ULMWP merupakan kelompok separatis.

Editor : Eben E. Siadari

Gereja Anglikan: Kami Dengar


Pelanggaran HAM Mengerikan di Papua
Penulis: Reporter Satuharapan 08:32 WIB | Jumat, 10 Maret 2017
Lima uskup agung Gereja Anglikan Oseania bertemu di Tweed Heads, Australia, pada 6 Maret 2017
(Foto: Abp Philip Freier)

TWEED HEADS, AUSTRALIA, SATUHARAPAN.COM - Lima uskup agung Gereja


Anglikan di Oseania atau Samudera Pasifik bertemu di Tweed Heads, Australia awal pekan
ini. Dalam pertemuan itu, mereka antara lain mendengarkan paparan tentang pelanggaran
Hak Asasi Manusia (HAM) yang oleh mereka disebut 'mengerikan', yang disampaikan oleh
Uskup Agung Gereja Anglikan Papua Nugini, Clyde Igara.

Lima uskup agung tersebut adalah Philip Freier dari the Anglican Church of Australia, Clyde
Igara dari the Anglican Church of Papua New Guinea, Winston Halapua dari the Anglican
Church in Aotearoa, New Zealand and Polynesia, Philip Richardson dari the Anglican
Church in Aotearoa, New Zealand and Polynesia, dan George Takeli Anglican Church of
Melanesia.

Seusai pertemuan mereka menerbitkan pernyataan bersama yang menyinggung sejumlah


topik yang dibicarakan dalam pertemuan, antara lain masalah perubahan iklim dan
pelanggaran Hak Asasi Manusia di Papua.

"Kami mendengar cerita mengerikan dari pelanggaran HAM di Papua (Barat), yang dengan
pedih difokuskan kepada kami oleh Uskup Agung Clyde Igara, yang mengatakan: 'Saya
orang Papua (Barat). Saya Papua'- suatu kesewenang-wenangan batas-batas negara dan
keadaan historis yang telah melingkupi mereka," demikian bunyi salah satu paragraf
pernyataan bersama, dan satu-satunya paragraf yang menyinggung tentang Papua, narasi
sepanjang 14 paragraf itu.
Pernyataan ini menggemakan apa yang sebelumnya sudah sering diungkapkan oleh Clyde
Igara, yang dikenal vokal menyuarakan isu-isu Papua. Tahun lalu dalam sebuah pertemuan
para uskup Gereja Anglikan Papua Nugini, terbit juga pernyataan bersama yang
mengungkapkan keprihatinan atas situasi di Papua.

Dikatakan ketika itu bahwa Gereja Anglikan PNG telah "berbicara untuk mendukung saudara
dan saudari Melanesia kami dari Papua (Barat)."

"Konstitusi Gereja Anglikan PNG mengakui martabat kehidupan manusia dan harus
menghormatinya," kata dia, seperti diberitakan oleh anglicannews.org, Kamis (30/6).

Situs resmi Gereja Anglikan Papua Nugini itu mencatat meningkatnya tensi di Indonesia,
yang telah menarik perhatian gereja-gereja.

Gereja Anglikan Papua Nugini juga mengamati semakin berkembangnya seruan penentuan
nasib sendiri dalam berbagai aksi unjuk rasa. Pada beberapa waktu terakhir, mereka mencatat
ribuan pengunjuk rasa ditangkap polisi karena aksi mereka.

"Kami berdiri dalam solidaritas dengan rakyat Papua," demikian pernyataan Gereja Anglikan
Papua Nugini tahun lalu.

Kendati pernyataan bersama lima uskup Anglikan Pasifik ini mengangkat isu Papua, perlu
dicatat itu bukan isu satu-satunya dalam pernyataan bersama. Bahkan tampaknya bukan isu
utama dalam pernyataan bersama para uskup agung Pasifik tersebut. Isu-isu lain yang juga
ditekankan pada pernyataan bersama tersebut adalah mengenai masalah perubahan iklim,
pendidikan dan pengembangan kepemimpinan serta pekerja musiman dan pekerja pelintas
perbatasan.

"Kami sepakat bahwa secara keseluruhan bangsa Pasifik kehilangan pulau-pulau tempat
tinggal mereka, aksi dan advokasi dan tindakan keadilan iklim harus menjadi prioritas yang
paling mendesak untuk Anglikan Pasifik," demikian pernyataan seusai pertemuan pada 6
Maret lalu.

Di bidang pendidikan, "Kami berkomitmen untuk memperluas kemitraan kami di pendidikan


teologi dan pengembangan kepemimpinan dan mendorong hubungan antara sekolah
Anglikan dan lembaga pembangunan dan kesejahteraan."

Sedangkan mengenai pekerja musiman dan pekerja pelintas batas, dikatakan, "Kami
membahas tantangan pekerja musiman dan tenaga kerja antarprovinsi kami dan bagaimana
kami bisa merespon baik secara pastoral dan politik.

Pernyataan bersama tersebut juga mengungkapkan keprihatinan atas bangkitnya retorika


nasionalisme, ejekan-ejekan dan kebencian yang demikian umum.

"Dalam iklim di mana 'aku dulu' atau 'kami yang pertama' mendominasi, kami menegaskan:
"Kita bersama-sama," lanjut pernyataan bersama lima uskup agung gereja-gereja Anglikan
Pasifik.

"Kita akan dinilai oleh kegagalan kita untuk mendukung bagian terlemah dari kita. Kita
merayakan bahwa apa yang dipandang dunia sebagai kelemahan adalah kekuatan
sebenarnya, apa menurut dunia sebagai kebodohan, adalah hikmat. Kita bersukacita oleh
buah-buah Roh dalam melihat satu sama lain, dan kita bersyukur atas kesetiaan leluhur kita
yang menabur benih-benih Injil di tanah kita," demikian bagian lain pernyataan tersebut.

Sebagai catatan, menurut Wikipedia, Oseania (Oceania) adalah istilah yang mengacu kepada
suatu wilayah geografis atau geopolitis yang terdiri dari sejumlah kepulauan yang terletak di
Samudra Pasifik dan sekitarnya.

Dalam artian sempit Oseania meliputi Polinesia (termasuk Selandia Baru), Melanesia
(termasuk dari Maluku sampai Nugini) dan Mikronesia. Sedangkan dalam artian
luas Oseania juga meliputi Australia dan Indonesia bagian timur; namun terkadang Jepang
dan Kepulauan Aleut dianggap masuk dalam kelompok Oseania.

Sebagian besar wilayah Oseania terdiri dari negara-negara kepulauan yang kecil. Australia
adalah satu-satunya negara kontinental, sedangkan Papua Nugini dan Timor Leste adalah
negara yang memiliki perbatasan darat, di mana keduanya berbatasan dengan Indonesia.

Editor : Eben E. Siadari

You might also like