You are on page 1of 14

Termasuk ke dalam bagian air yang suci tidak dapat menyucikan, adalah air yang

berubah salah satu dari beberapa sifatnya yang disebabkan kecampuran benda-benda suci,
sehingga menjadikan hilangnya nama kemuthalaqannya air tersebut, maka air dihukumi
sama dengan hukumnya air mustakmal dalam arti ia masih tetap suci,tetapi tidak dapt
mensucikan. Perobahan air itu tadi dapat dibuktikan,baik dengan panca indera atau hanya
perkiraan, sebagaimana bila air tersebut kecampuran benda-benda yang kebetulan sifatnya
sama. Misalnya kecampuran air mawar yang sudah hlang baunya atau juga kecampuran air
mustakmal.

Apabila air itu berubah,tidak samapi tidak menghilangkan nam air muthlaq.
Misalnya disebabakan kecampuran benda suci dengan sedikit mengalami perubahan,maka
hukum air itu suci menyucikan. Demikian juga jika air itu berubah sebab campur dengan
benda yang menurut lahirnya mempunyai sifat yang sama dengan air itu , akan tetapi dapat
diperkirakan bahwa benda-benda itu tadi berbeda sifatnya dan tidak akan merubah keadaan
air tersebut, maka air yang semacam ini hukumnya suci menyucikan.

Pengarang kitab ini berpendapat,bahwa kata khaalathahu yang artinya : Benda


itu bercampur dengan air adalah dikandung maksud untuk mengecualikan air yang
berubah sebeb berdampingan dengan perkara yang suci yang memungkinkan dapat
dipisahkan atau dapat dilihat indra. Seperti bercampur dengan minyak (meskipun berbah
itu banyak), maka status hukum air itu masih tetap suci. Demikian pula terhadap air yang
berubah sebab campur dengan benda yang tidak dapat mengakibatkan air tersebut
bertambah banya. Seperti campur dengan lumpur dan ganggeng serta segala macam benda
di air. Atau air itu berubah (dengan sendirinya) karena terlalu lama berhenti di
tempatnya,maka air yang semacam ini hukumnya tetap suci.

4. Air najis,yaitu air yang terkena najis yang tidak mafu. Air najis ini terbagi
menjadi dua,yaitu

a. Air yang sedikit, kurang dari dua kulah yang terkena najis,baik ia berubah
atau tidak.
Dan terkecuali , apabila air tersebut terkena najis yang mafu, seperti
kejatuhan bangkai hewan yang tidak mengalir darahnya (misalnya:
semut,lalat dan sebagainya),asalkan saja asalkan saja bangkai tadi tidak
disengaja dimasukkan ke dalam air itu dan tidak menyebabkan berubahnya
air,maka air yang demikian keadaannya adalah suci hukumnya. Dan juga
bila najis tersebut tidak dapat dilihat oleh mata dan tidak dapat pula
membuat benda cairnya(air) menjadi najis,maka hukumnya air itu tetap
suci. Dan terkecuali juga beberapa contoh yang tersebut di dalam kitab
yang panjag lebar keterangannya.
b. Air yang banyak (lebih dari dua kulah ) yang berubah sebab kemasukan
sesuatu, baik berubahnya itu sedikit atau banyak.
Adapun yang dinamakan air dua kulah,menurut ukuran di negeri
Bagdad,yaitu sebanyak 500 kati atau (10 blek) inilah pendapat yang
shahih. Sedangkan ukuran per 1 (satu) kati menurut pendapat Imam
Nawawi adalah bernilai 128 dirham lebih 4/7 dirham.slanjutnya pengarang
kitab ini tidak membicarakan bagian air yang nomor 5(lima) yaitu air suci
yang tidak diperbolehkan/diharamkan untuk menggunakannya berwudhu.
Seperti wudhu menggunakan air ghasaban atau air yang disediakan untuk
minum.
Pasal : menerangkan tentang benda yang terkena najis dan benda yang
dapat menjadi suci dengan dimasak serta benda yang tidak dapat menjadi
suci.

Semua kulit bangkai,baik bangkai hewan yang bsa dimakan atau tidak,
adalh dapat ,menjadi suci dengan jaln dimasak (disamak).
Adapun cara memasak kulit bangkai tersebut,terlebih dahulu harus
dihilangkan dagingnya,darah,dan sebagainya yang masih tertinggal dan
melekat pada kulit itu,sebab jika tidak dihilangkan terlebih dahulu,maka
akan dapat menimbulkan bau busuk. Kemudian setelah itu dicuci dengan
diberi obat yang mempunyai rasa kelat, meskipun kelat itu brupa barang
najis,seperti kooran burung dara,maka sahlah dalam hal penyamaan.
Kulit-kulit bangkai hewan yang dapat menjadi suci dengan dimasak itu
tadi,mengecualikan kulit bangkai hewan anjing dan celeng beserta anak-
anaknya, meskipun anak tersebut keluar akibat persetubuhannya dengan
hewan yang suci,misalnya: anjing dengan kambing,maka anaknya ini sama
dengan anjing status hukumnya,maka tidak suci dalam penyamaan.

Tulang bangkai,bulunya,dan bangkainya itu sendiri adalah najis


semua,kecuali hewan yang disembelih menurut tata aturan syara.
Sedangkan hewan yang matinya tidak disembelih menurut tata aturan
syara,maka hukumnya berstatus bangkai. Tidak dapat termasuk bangkai
adalah janin hewan yang terdapat di dalam perut induknya, ketika keluar
dari perut induknya janin tersebut sudah mati karena induknya disembilah
maka janin tersebut hukumnya bukan sebagai bangkai, melainkan ia
hukumnya suci, karena twerbawa olh kematian induknya yang disembelih.
Demikian juga tidak termasuk bangkai yaitu berupa pengecualian-
pengecualian yang disebutkan di dalam kitab-kitab yang panjang
keterangannya.
Kemudian musannif mengecualikan rambutnya bangkai dalam
perkataannya: kecuali bangkai nya anak adam artinya,bahwasanya
rambut bangkai anak adam itu suci seperti bangkainya.

Pasal : menerangkan tentang tempat air khususnya tempat air yang haram
dipakai dan yang tidak haram.
Berkata pengarang kitab ini : bahwa memakai tempat yang terbuat dari
emas atau perak, tidak karena terpaksa, baik laki-laki maupun perempuan
makan hukumnya haram kecuali untuk makan dan minum dan yang lain
dari keduanya.

Den seperti halnya haram memakai tempat (dari emas dan perak) maka
haram pula membuatnya meskipun tidak untuk dipakai, demikian menurut
pendapat yang shahih. Juga haram memakai tempat yang disepuh dengan
emas atau perak, jika proses penyepuhannya dilakukan dengan dibakar api.

Adapun tempat yang terbuat dari bahan selain emas dan perak,tempat
tersebut sangat indah,seperti tempat yang terbuat dari yakut,maka
hukumnya boleh memakainya. Dan haram memakai tepat yang ditambal
dengan perak yang besar,dan yang menurut pengertian orang banyak
sekedar untuk perhiasan.

Jika tambalan tersebut bertujuan untuk kepentingan tertentu,maka


hukumnya boleh memakainya tetapi, makruh. Sama halnya bila tambalan
itu kecil dan hanya untuk perhiasan saja. Meskipun tambalannya itu kecil
akan etapi tujuan untuk kepentingan tertentu, maka hukum memakainya
tidak makruh. Sedangkan bila tambalannya muthlaq berupa emas,maka
haram memakainya. Demikian menurut pendapat yang dinilai shahih oleh
Imam Nawawi.
Pasal : menerangkan tentang memakai alat untuk bersiwak yang
merupakan bagian daripada kesuhan wudhu. Dan bersiwak itu harus
dengan kayu siwak(kayu irak).

Bersiwak adalah disunahkan di dalam semua keadaan dan tidak makruh


tanzih kecuali waktu sesudah terbenamnya matahari bagi orang yang
berpuasa (fardhu) atau sunat.

Dan menjadi hilang hukum makruh bersiwak sebab terbenamnya matahari.


Tapu menurut Imam Nawawi, bahwa h itu sama sekali tidak ada
kemakruhan secara mutlak.

Bersiwak itu sanagt disunatkan dalam 3 tempat bila dibandingkan dengan


yang lainnya,yaitu:
Pertama : ketika bau mulutb berubah menjadi busuk,yakni karena
lamanya berdiam,atau mungkin karena sebab meninggalkan makan.
Menurut pendapat pengarang kitab ini,bahwa termasuk juga bau mulut
yang grubah menjadi busuk karena habis makan makanan yang
mempunyai bau tidak enak.seperti habis makan brambang atau bawang
dan selain keduanya.
Kedua : ketika bangun dari tidur atau tersadar dari tidur.
Ketiga : ketika berdiri hendak mengerjakan shalat fardhu atau shalat
sunah.

Dan disunahkan juga bersiwak selain dalam tiga tempat tadi,seperti


hendak membaca Al-Quran dan ketika gigi-gigi mulut berwarna kuning.
Disamping itu hendaknya berniat mengerjakan siwakan dengan memegang
kayu siwak pada tangan kanan serta menggerakkan kayunya mulai dari
arah kanan,terus ke arah bagian atas tenggorokan secara pelan-pelan
sehingga pada akhirnya sampai ke arah gigi tenggorokan.
Pasal : menerangkan tentang fardhu-fardhu wudhu.

Kata wudhu : wudhu ( )di baca dhammah huruf waw nya, menurut
pendapat yang lebih masyhur yang dimaakudkan disini ialah nama bagi
suatu perbuatan dan dibaca fathah huruf wawnya berarti nama bagi sesuatu
benda yang dibuat wudhu. Pengertian ynag pertama tadi mengandung
beberapa fardhu dan sunah.

Pengarang kitab ini menerangkan fardhu-fardhunya dalam


perkataannya,bahwa fardhu-fardhu wudhu itu ada 6,yaitu :
1. Niat, menurut syara hakikat niat adalah menuju sesuatu yang
dibarengi dengan mengerjakannya. Jika tidak dibarengi dengan
mengerjakannya, maka ia dinamai Azam

Niat tersebut dikerjakan ketika membasuh permulaan bagian muka,


artinya ia dilakukan bersamaan dengan membasuh bagian muka(wajah),
tidak secara keseluruhannya, tidak sebelum membasuhnya dan juga tidak
sesudahnya.

Wajiblah niat bagi orang yang menghilangkan hadast dari beberapa


hadastnya (wudhu). Atau baginya niat mengerjakan fardhu wudhunya saja
atau pula niat bersuci dari hadast.

Apabila orang yang yang berwudhu tidak mengucapkan niat


menghilangkan hadast, maka tidak sah wudhunya. Oleh karena itu,
ebaiknya niat tersebut ditempuh dengan cara sebagaimana yang sudah
biasa dikerjakan sehari-hari yakni niaat membersihkan (bersuci) ari
hadast,maka hukumnya sudah sah (wudhunya).

2. Membasuh seluruh bagian uka. Adapun yang disebut dengan Muka


(wajah) maka batasannya adalah mulai tempat tumbuhnya rambut
kepala sampai bagian bawah dagu,dan mulai dari sentil (tempat anting-
anting) telinga yang kanan sampai telinga yang kiri.
Apabila pada bagian muka tersebut terdapat rambut yang tumbuh, baik
tumbuh tipis (jarang-jarang) atau tebal, maka wajib membasuh bagian
dalam yakni bagian yang menjadi tempat tumbuhnya rambut itu.

Adapun jenggot yang tebal,yakni sekiranya orang yang berbicara


(dihadapannya) tidak mengetahui kulitnya,maka cukuplah membasuh
pada bagian lahirnya saja. Berbeda dengan (rambut) jenggot yang tipis
(jarang-jarang) rambut sekiranya orang yang diajak berbicara dapat
melihat kulitnya,maka wajiblah menyampaikan air kekulitnya.

Dan yang demikian itu memgecualikan jenggotnya orang perempuan


dan orang banci,karena itu wajib bagi keduanya membasuh rambut
jenggotnya sampai kulit-kulitnya. Agar supaya pembasuhan itudaapt
merata. Sebaiknya air itu senantiasa dimasukkan ke dalam bagian-
bagian yang ahrus terkena air,seperti bagian kepala,leher dan bagian-
bagian yang ada di bawah jenggot itu sendiri.

3. Membasuh dua tangan sampai siku-sikunya. Apabila seseorang tidak


mempunyai dua siku-sikunya, maka pembasuhan dapat dilakukan
dengan cukup memperkirakan saja. Dan juga wajib membasuh benda
benda yang terdapat pada dua tangan. Misalnya : rambut (bulu),uci-
uci,anak jari tambahan, kuku. Dan semua benda yang ada dibawah
kuku (kotoran) maka wajib dihilangkan, sebab hal itu dapat
mengakibatkan terhalangnya air untuk sampai ke bagian (juz) yang ada
di bawah kuku
4. Mengusap sebagian dari kepala,baik lakilaki maupun perempuan,juga
diperbolehkan mengusap sebagian rambut yang ada pada batasan
kepala. Sedangkan cara mengusapnya tidaklah harus dengan
tangan,akan tetapi diperkenankan mengusap menggunakan kain bekas
atau lainnya. Seandainya terjadi seseorang membasuh kepalanya
(bukan mengusap) maka hukumnya diperbolehkan. Demikian pula bila
orng tersebut memasukkan tangannya yang sudah dibasahi
air,misalnya di dalam kolam (bak air) sedang ia idak menggerak-
gerakkan tangannya itu,maka hukumnya sah.
5. Membasuh dua kaki beserta ke dua mata kaki. Jika orang wudhu itu
tidak memakai dua muzah. Apabila memakai dua muzah,maka wajib
baginya mengusap dua muzah tersebut atau membasuh kedua kaki
Dan juga wajib membasuh setiap benda yang terdapat diatas kedua
kaki,misalnya : rambut (bulu),uci-uci,anak jari tambahan, sebagaimana
yang terjadi pada pembasuhan tangan di atas tadi.
6. Harus tertib (urut) di dalam mengerjakan wudhu sesuai dengan urutan
rukun (fardhunya) yang telah diatur oleh syariat. Seandainya terjadi
orang yang berwudhu itu lupa mengerkan fardhunya secra tertib maka
hukumnya tidak sah. Demikian pula jika terdapat empat orang,mereka
ini sama membasuh beberapa anggota orang yang wudhu meskipun
hana sekali dengan seijin dari yang berwudhu tersebut,maka yang
dihukumi hilang hadastnya adalah hanya pada bagian muka (wajah )
saja.

Adapun sunah wudhu itu ada 10 macam perkara :

1. Membaca bismillah pada permulaannya,paling tidak membaca Bismillah dan


sempurnanya yaitu Bismillahir rahmanir rahim, seandainya ia tertinggal
membaca Bismilla pada permulaannya,maka boleh dibaca di tengah-
tengahnya. Bila sampai habis wudhu masih belum membaca Bismillah ,maka
cukup tiak perlu membacanya.
2. Membasuh kedua telapak sampai dengan pergelangannya yang dikerjakan
sebelum berkumur dan jika ragu dalam kesuciannya maka sunat membasuh
sampai 3 kali sebelum dimasukkan kedalam air(sedang airnya) kurang dari 2
kulah. Apabila orang yang berwudhu tersebut belum membasuh kedua telapak
tangan,maka makruh hukumnya memasukkan ke dalam air yang ada di tempat
itu, dan bila dia sudah yakin akan kesucian kedua telapak tanganya, maka
hukumnya tidak makruh baginya untuk membasuh keduanya.
3. Berkumur sesudah membasuh kedua telapak tangan. Jika orang yang
berwudhu itu memasukkan air ke dalam mulut, baik ia mengkumurkan air itu
dalam mulutnya atau memuntahkannya,naka yang demikian ini sudah
termasuk mendapatkan kesunatan. Sedangkan bila menghendaki yang lebih
sempurna maka caranya yaitu dengan mengkumurkan air tersebut di dalam
mulut terus dimuntahkan.
Menghirup air kedalam hidung,dan dinyatakan berhasil kesunatan dalam hal
ini dengan memsaukkan air kedalam hidung sampai ke ronnganya, baik
mengerikan atau tidak.

Apabila menghendaki yang lebih sempurna maka sebaiknya memang air


tersebut dihirup sampai rongga hidung,meskipun dalam keadaan yang
mengerikan. Apabila keduanya (menghirup air ke dalam hidung dan
berkumur) itu dikumpulkan maksudnya dikerjakan secara bersama,maka yang
demikian itu lebih baik daripada di pisah-pisahkan.

4. Meratakan air di dalam mengusap kepala. Adapun mengusap sebagian


daripada kepala, maka hukumnya sudah jelas, yaitu wajib. Apabila orang yang
berwudhu itu tidak melepaskan atau membuka tutup kepala, misalnya : Surban
atau yang lainnya, maka hukumnya cukup mengusap bagian atasnya surban itu
tadi.
5. Mengusap seluruh bagian kedua telinga, baik bagian muka atau belakang
sampai ke lipat-lipatannya, juga sampai pada lobang-lobang telingan itu
dengan memakai air yang baru, tidak boleh memakai air yang terdapat pada
bagian muka (wajah) dan tau yang dikepala. Adapun caranya mengusap
telinga agar merata yaitu jari telunjuk dimasukkan ke dalam lobang telingan
lalu diputarkan (digerakkan dari arah bawah keatas). Pada bagian lipat-
lipatannya.
Kemudian ibu jarinya digerakkan untuk meratakan bagian telinga yang
dibelakang. Kemudian kedua telapak tangan dibasahi air terus dipertemukan
dengan kedua telingan secara jelas.

6. Memasukkan air ke dalam sela-sela rambut jenggot yang tebal bagi orang laki-
laki dengan jalan di tekan-tekan tangannnya (jari-jarinya) pada sela-sela
rambut jenggotnya. Sedangkan rambut jenggot yang tipis (jarang-jarang) yang
terdapat pada laki-laki, perempuan dan orang yang banci,maka wajib
menyampaikan air pada sela-sela rambut jenggot tersebut. Adapun caranya
yaitu dengan memasukkan beberapa jarinya (ke sela-sela) jenggot dari arah
bagian bawah jenggot itu.
7. Dan sunat juga memasukkan air pada sela-sela jari kedua tangan dan kaiki.
Hai ini dilakukan jika memang air tersebut sampai ke sela-sela itu dengan
tanpa dimasukkan padanya. Apabila air itu tidak \\dapat sampai ke sela-sela
kecuali dimasukkan, maka menyampaikan air ke sela-sela tersebut hukumnya
wajib. Sedangkan bil ja jari-jari tersebut dalam keadaan berhimpitan sehingga
tidak memungkinkan air tidak sampai kedalam sela-selanya,maka haram
hukumnya membelah (merobek) jari-jari tersebut karena hendak menyela-
nyela.
Adapun caranya menyampaikan air kedalam sela-sela jari yaitu dengan
berpanca (memasukkan jari-jari tangan ke dalam sela-sela jari tangan yang
satunya) sedangkan caranya menyela-nyela jari kaki yaitu memasukkan
tangan kelingking dari bawah, mulai dari kelingking kaki kanan selesai pada
kelingking kaki kiri.
8. Sunah mendahulukan anggota yang kanan daripada yang kiri. Seperti tangan
dan kaki anggota yang mudah mnsucikannya dengan cara berbarengan (kanan
dan kiri) seperti dua telingan dan pipi,maka tidak sunah mendahulukan yang
kanan atas yang kiri, tetapi keduanya boleh disucikan (dibasuh atau di usapa
bersama-sama)
9. Sunah mengulang tiga kali pada setiap anggota yang dibasuh atau diusap. Hal
ini sesuai dengan perkataan Mushannif sendiri bahwa : bersuci itu sunah
mengulang tiga kali . Dan menurut sebagian keterangan bahwa mengulang
itu bagi anggota yang dibasuh dan diusap.
10. Sunah sambung menyambung, artinya perbuatan wudhu (membasuh atau
mengusap) di antara dua anggota tidak boleh lebih berhenti lama, tetapi segera
dilakukan pencucian satu anggota dari anggota yang sebelumnya, sekiranya
anggota yang ada didepannay belem kering kemnali disertai cuaca sedang juga
situasi dan kondisinya.
Sunah melakukan perbuatan (membasuh atau mengusap) dalam berwudhu itu
tadi denganmengulang sampai tiga kali,maka yang dinyatakan sebagai
perbuatan pembasuhan atau usapan adalah perbuatan yang akhir (yang ketiga)
Sambung menyambung perbuatan daalm wudhu itu adalah disunahkan bagi
selain orang yang berbeda dalam keadaan dharurat bahwa waktunya itu masih
luas (longgar). Sedangkan bagiorang yang dalam keadaan dharurat, maka
perbuatan sambung menyambung tersebut hukumnya wajib. Disamping 10
perbuatan sunah yang ada didalam wudhu sebagaimana telah diterangkan di
dalam kitab yang panjang lebar.

Pasal : menerangkan tentang bersuci dan tata krama orang yang


mendatangkan hajat
Arti kata istinja ialah Aku memutuskan sesuatu. Maka sesungguhnya
orang yang hendak bersuci itu akan memutuskan sesuatu kotoran dari dirinya.
Istinja hukumnya wajib,disebabkan karena kencing atau berak (buang air
kecil atau buang air besar), istinja dilakukan dengan menggunakan air atau
batu dan benda-benda keras yang sejenis batu yang suci serta dapat
menghilangkan najis yang tidak diharamkan.
Tetapi yang lebih baik dalam bersuci itu adalah menggunakan beberapa batu
dahulu,kemudian mengikutinya dengan air. Sedangkan kewajiban bersuci
dengan menggunakan batu yang demikian itu adalah dalam mengerjakannya
adalah 3 kali usapan, meskipun dengan satu batu yang mempunyai 3 sudut.
Seseorang yang bersuci boleh meringkasnya yakni boleh memilih dengan air
saja atau dengan tiga batu yang dapat membersihkan tempat najisnya tersebut
(jika memang dengan tiga batu itu saja sudah dapat membersihkan najisnya).
Sedangkan bila tidak maka hendaklah menambah jumlah bilangan batu
sehingga benar-benar bersih. Sesudah itu,maak disunahkan mengulang sampai
tiga kali.
Apabila menghendaki untuk meringkas ( diantara salah satu dari air dan batu)
maka yang lebih baik adalah dengan menggunkan air saja, karena air itu dapat
menghilangkan najis dan bekas-bekasnya.
Adapun syarat syarat bersuci dengan beberapa batu tersebut yaitu dengan
sekiranya najis yang keluar itu tidak dalam keadaan kering dab tidak berubah
dari tempat keluarnya serta tidak mendatangkan najis lain. Jika sunyi satu
syarat dari syarat-syarat tersebut itu, maka sebaiknya menggunakan air saja.
Wajah bagi orang yang sedang mendatangi hajat (kencing dan berak) untuk
tidak menghadap kiblat atau membelakanginya, kecuali bila terdapat tabir
(pemisah) yang mencukupi, atau ada tabir yang tinggalnya 2/3 dzira atau
bahkan lebih dan antara orang yang berhajat dengan tabir itu tadi letaknya
paling ajauh hanay 3 dzira nya anak adam, sebagaimana pendapat dari
sebagian ulama bahwa yang demikian itu tidak haram hukumnya .
Adapun bangunan sebagaimana yang terdapat disuatu tempat (bukan khusus
WC), maka ia seperti halnyamtanah lapang dengan syarat sebagai yang telah
disebutkan dimuka tadi,kecuali memang bangunan yang disediakan khusus
untu WC, maka secara muthlaq tidak haram hukumnya. Dan sesuai dengan
perkataan mushannif, maka yang demikian itu juga mengecualikan bangunan
yang menjadi kiblat pertam, seperti Baitul Maqdis, maka menghadap atau
membelakangi kiblat tersebut hukumnya makruh.
Dan supaya menjauhi, bagi orang yang mendatangi hajat dari air yang berhenti
(baik berak atau kencing). Adapun berak atau kencing di air yang mengalir,
meskipun air itu sedikit mengalirnya,maka hukumnya makruh. Sedangkan bila
airnya mengalir banyak, maka tidak makruh. Tetapi yang lenih baik sedapat
mungkin dijauhkan (meskipun air itu mengalir banyak). Bahkan menurut
Imam Nawawi haram hukumnya mendatangi hajat di air yang sedikit, baik air
itu mengalir atau berhenti.
Dan supaya tidak kencing atau berak di bawah pohon yang berbuah, baik pada
waktu berbuah atau tidak.
Di samping pada tempat-tempat sebagaimana yang telah tersebut itu, maka
bagi orang yang berhajat supaya menjauhi juga untuk tidak mendatangi hajat
di jalan yang biasa di lalui manusia.,juga ditempat berteduh di musim kemarau
dan di tempat yang panas pada musim hujan. Dan ditempat liangan yang ada
dibumi yakni lubang yang bundar dan menurun ke bumi. Adapun lafad! Ats-
Tsaqbi itu,menurut sebagian tulian yang ada di dalam kitab matan adalah
ditiadakan (gugurkan).
Dan tidak diperbolehkan berbicara bagi orang yang sedang kencing atau berak
karna ini dapat mendatangkan karma,tidak dalam keadaan dhrurat. Apabila
dharurat itu memaksa untuk berbicara,misalnya orang tersebut melihat ada
ular yang menuju kepada dirinya maka tidak makruh hukumnya berbicara
dalam keadaan seperti itu.
Juga tidak diperbolehkan menghadap matahari dan rembulan, demikianlagi
membelakanginya,artinya ketika orang itu berhajat dimakruhkan menghadap
atau membelakangi matahari dan rembulan. Tetapi bagi Imam
Nawawi,sebagaiman keterangan yang terdapat dalam kitab Raudlah dan
Syarah kitab Muhadz-dzab,belau berkata bahwa jika membelakangi keduanya
itu tidak makruh hukumnya.

You might also like