You are on page 1of 34

BAB I

PENDAHULUAN

Dislokasi panggul adalah suatu keadaan dimana terjadi perpindahan


permukaan caput femoris terhadap acetabulum. Dislokasi terjadi ketika caput
femoris keluar dari acetabulum. Kondisi ini dapat kongenital atau didapat
(acquired). Dari kedua dislokasi ini, dislokasi yang paling sering ditemukan adalah
dislokasi panggul yang didapat akibat trauma (dislokasi panggul traumatika).
Dislokasi panggul traumatika ini dapat terjadi pada semua kelompok usia dan angka
kejadiannya meningkat seiring dengan meningkatnya angka kecelakaan lalu lintas;
dan dislokasi panggul ini merupakan suatu kegawatdaruratan ortopedik yang
membutuhkan tata laksana segera.
Trauma pelvis berkekuatan-tinggi merupakan cedera yang membahayakan
jiwa. Perdarahan luas sehubungan dengan fraktur pelvis relatif umum namun
terutama lazim dengan fraktur berkekuatan-tinggi. Kira-kira 1530% pasien dengan
cedera pelvis berkekuatan-tinggi tidak stabil secara hemodinamik, yang mungkin
secara langsung dihubungkan dengan hilangnya darah dari cedera pelvis.
Perdarahan merupakan penyebab utama kematian pada pasien dengan fraktur
pelvis, dengan keseluruhan angka kematian antara 6-35% pada fraktur pelvis
berkekuatan-tinggi rangkaian besar.1
Perdarahan sehubungan fraktur pelvis menuntut evaluasi yang efisien dan
intervensi yang cepat. Evaluasi dan perawatan pasien dengan fraktur pelvis
membutuhkan sebuah pendekatan multidisiplin. Meskipun ahli trauma bedah
umum pada akhirnya mengarahkan pengobatan seseorang dengan cedera multipel,
penting bagi pasien dengan fraktur pelvis agar ahli bedah ortopedi ikut terlibat
dalam setiap fase pengobatan, termasuk resusitasi primer. Penilaian dini oleh ahli
bedah ortopedi yang mengenal pola fraktur pelvis memudahkan tim pengobatan
untuk membangun diagnosa dan prioritas pengobatan, dan mempercepat
pembentukan manuver penyelamatan-hidup. Sebuah pemahaman seksama terhadap
sumber perdarahan potensial dan kesadaran akan pilihan pengobatan adalah penting
bagi semua dokter yang terlibat.1

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Dislokasi panggul adalah suatu keadaan dimana terjadi perpindahan
permukaan caput femoris terhadap acetabulum. Dislokasi terjadi ketika caput
femoris keluar dari acetabulum.
Patah tulang panggul adalah gangguan struktur tulang dari pelvis. Pada orang
tua, penyebab paling umum adalah jatuh dari posisi berdiri. Namun, fraktur
yang berhubungan dengan morbiditas dan mortalitas terbesar melibatkan pasukan
yang signifikan misalnya dari kecelakaan kendaraan bermotor atau jatuh dari
ketinggian. 2
2.2 Etiologi
Dengan makin meningkatnya kecelakaan lalu lintas mengakibatkan dislokasi
sendi panggul sering ditemukan. Dislokasi panggul merupakan suatu trauma hebat.
Patah tulang pelvis harus dicurigai apabila ada riwayat trauma yang menekan
tubuh bagian bawah atau apabila terdapat luka serut, memar, atau hematom di
daerah pinggang, sacrum, pubis atau perineum. 2
2.3 Epidemiologi
Dua pertiga dari fraktur panggul terjadi akibat kecelakaan lalu lintas.
Sepuluh persen diantaranya di sertai trauma pada alat-alat dalam rongga panggul
seperti uretra,buli-buli,rektum serta pembuluh darah dengan angka mortalitas
sekitar 10 %. 2
2.4 Anatomi Panggul/pelvis (pelvic)
Pelvis merupakan struktur mirip-cincin yang terbentuk dari tiga tulang: Os
Sacrum dan dua Os Innominata, yang masing-masing terdiri dari Os Ilium, Os
Ischium dan Os Pubis. Tulang-tulang innominata menyatu dengan sacrum di bagian
posterior pada dua persendian sacroiliaca; di bagian anterior, tulang-tulang ini
bersatu pada simfisis pubis. Simfisis bertindak sebagai penopang sepanjang
memikul beban berat badan untuk mempertahankan struktur cincin pelvis.1

2
Tiga tulang dan tiga persendian tersebut menjadikan cincin pelvis stabil oleh
struktur ligamentosa, yang terkuat dan paling penting adalah ligamentum-
ligamentum sacroiliaca posterior. Ligamentum-ligamentum ini terbuat dari serat
oblik pendek yang melintang dari tonjolan posterior sacrum sampai ke spina iliaca
posterior superior (SIPS) dan spina iliaca posterior inferior (SIPI) seperti halnya
serat longitudinal yang lebih panjang melintang dari sacrum lateral sampai ke spina
iliaca posterior superior (SIPS) dan bergabung dengan ligamentum sacrotuberale.
Ligamentum sacroiliaca anterior jauh kurang kuat dibandingkan dengan
ligamentum sacroiliaca posterior. Ligamentum sacrotuberale adalah sebuah jalinan
kuat yang melintang dari sacrum posterolateral dan aspek dorsal spina iliaca
posterior sampai ke tuber ischiadicum. Ligamentum ini, bersama dengan
ligamentum sacroiliaca posterior, memberikan stabilitas vertikal pada pelvis.
Ligamentum sacrospinosum melintang dari batas lateral sacrum dan coccygeus
sampai ke ligamentum sacrotuberale dan masuk ke spina ischiadica. Ligamentum
iliolumbale melintang dari processus transversus lumbalis keempat dan kelima
sampai ke crista iliaca posterior; ligamentum lumbosacrale melintang dari
processus transversus lumbalis ke lima sampai ke ala ossis sacri (gambar 1).1

Gambar 1. Pandangan anterior pelvis.

Arteri iliaca communis terbagi, menjadi arteri iliaca externa, yang terdapat
pada pelvis anterior diatas pinggiran pelvis. Arteri iliaca interna terletak diatas
pinggiran pelvis. Arteri tersebut mengalir ke anterior dan dalam dekat dengan sendi

3
sacroliliaca. Cabang posterior arteri iliaca interna termasuk arteri iliolumbalis, arteri
glutea superior dan arteri sacralis lateralis. Arteri glutea superior berjalan ke
sekeliling menuju bentuk panggul lebih besar, yang terletak secara langsung diatas
tulang. Cabang anterior arteri iliaca interna termasuk arteri obturatoria, arteri
umbilicalis, arteri vesicalis, arteri pudenda, arteri glutea inferior, arteri rectalis dan
arteri hemoroidalis. Arteri pudenda dan obturatoria secara anatomis berhubungan
dengan rami pubis dan dapat cedera dengan fraktur atau perlukaan pada struktur
ini. Arteri-arteri ini dan juga vena-vena yang menyertainya seluruhnya dapat cedera
selama adanya disrupsi pelvis (gambar 2). Pemahaman tentang anatomi pelvis akan
membantu ahli bedah ortopedi untuk mengenali pola fraktur mana yang lebih
mungkin menyebabkan kerusakan langsung terhadap pembuluh darah mayor dan
mengakibatkan perdarahan retroperitoneal signifikan. 1

Gambar 2. Aspek internal pelvis yang memperlihatkan pembuluh darah mayor


yang terletak pada dinding dalam pelvis

Sendi panggul (hip joint) adalah persendian antara caput femoris yang
berbentuk hemisphere dan acetabulum os coxae yang berbentuk mangkuk dengan
tipe ball and socket. Permukaan sendi acetabulum berbentuk tapal kuda dan
dibagian bawah membentuk takik disebut incisura acetabuli. Rongga acetabulum
diperdalam dengan adanya fibrocartilago dibagian pinggrinya yang disebut sebagai
labrum acetabuli. Labrum ini menghubungkan incisura acetabuli dan disini dikenal
sebagai ligamentum transversum acetabuli. Persendian ini dibungkus oleh capsula
dan melekat di medial pada labrum acetabuli.1,2

4
Gambar 2. Anatomi Sendi Panggul
Simpai sendi jaringan ikat di sebelah depan diperkuat oleh sebuah
ligamentum yang kuat dan berbentuk Y, yakni ligamentum ileofemoral yang
melekat pada SIAI dan pinggiran acetabulum serta pada linea intertrochanterica di
sebelah distal. Ligamentum ini mencegah ekstensi yang berlebihan sewaktu berdiri.
Di bawah simpai tadi diperkuat oleh ligamentum pubofemoral yang
berbentuk segitiga. Dasar ligamentum melekat pada ramus superior ossis pubis dan
apex melekat dibawah pada bagian bawah linea intertrochanterica. Ligamentum ini
membatasi gerakan ekstensi dan abduksi.
Di belakang simpai ini diperkuat oleh ligamentum ischiofemorale yang
berbentuk spiral dan melekat pada corpus ischium dekat margo acetabuli.
Ligamentum ini mencegah terjadinya hieprekstensi dengan cara memutar caput
femoris ke arah medial ke dalam acetabulum sewaktu diadakan ekstensi pada
articulatio coxae.
Ligamentum teres femoris berbentuk pipih dan segitiga. Ligamentum ini
melekat melalui puncaknya pada lubang yang ada di caput femoris dan melalui
dasarnya pada ligamentum transversum dan pinggir incisura acetabuli.
Ligamentum ini terletak pada sendi dan dan dibungkus membrana sinovial.1,2

5
Gambar 2. Anatomi Sendi Panggul dari Anterior

Cabang-cabang arteria circumflexa femoris lateralis dan arteria circumflexia


femoris medialis dan arteri untuk caput femoris, cabang arteria obturatoria.2
Nervus femoralis (cabang ke m.rectus femoris, nervus obturatorius (bagian
anterior) nervus ischiadicus (saraf ke musculus quadratus femoris), dan nervus
gluteus superior.2
Pergerakan yang dapat dilakukan sendi panggul:
Fleksi dilakukan oleh m. Iliopsoas, m. Rectus femoris, m.sartorius, dan juga
mm. Adductores.
Ekstensi dilakukan oleh m. Gluteus maximus dan otot otot hamstring
Abduksi dilakukan oleh m. Gluteus medius dan minimus, dan dibantu oleh
m. Sartorius, m.tensor fascia latae dan m. Piriformis
Adduksi dilakukan oleh musculus adductor longus dan musculus adductor
brevis serta serabut serabut adductor dari m adductor magnus. Otot otot ini
dibantu oleh musculus pectineus dan m.gracilis.
Rotasi lateral
Rotasi medial
Circumduksi merupakan kombinasi dari gerakan gerakan diatas.2

6
2.5 Mekanisme Trauma
Mekanisme trauma pada cincin panggul terdiri atas: 3
Kompresi Antero-Posterior (APC)
Hal ini biasanya terjadi akibat tabrakan antara seorang pejalan kaki
kendaraan. Ramus pubis mengalami fraktur , tulang inominata terbelah dan
mengalami rotasi eksterna disertai robekan simfisis . Keadaan ini disebut
sebagai open book injury. Bagian posterior ligamen sakro iliaka mengalami
robekan parsial atau dapat disertai fraktur bagian belakang ilium.
Kompresi Lateral (LC)
Kompresi dari samping akan menyebabkan cincin mengalami keretakan .
Hal ini terjadi apabila ada trauma samping karena kecelakaan lalu lintas atau
jatuh dari ketinggian . Pada keadaan ini ramus pubis bagian depan pada
kedua sisinya mengalami fraktur dan bagian belakang terdapat strain dari
sendi sakro iliaka atau fraktur ilium atau dapat pula fraktur ramus pubis pada
sisi yang sama.
Trauma Vertikal (SV)
Tulang inominata pada satu sisi mengalami pergerakan secara vertikal
disertai fraktur ramus pubis dan disrupsi sendi sakro iliaka pada sisi yang
sama. Hal ini terjadi apabila seseorang jatuh dari ketinggian pada satu
tungkai.
Trauma Kombinasi (CM)
Pada trauma yang lebih hebat dapat terjadi kombinasi kelainan diatas.
Dislokasi panggul traumatika dapat terjadi pada semua kelompok usia dan
angka kejadiannya meningkat seiring dengan meningkatnya angka kecelakaan lalu
lintas; dan dislokasi panggul ini merupakan suatu kegawatdaruratan ortopedi yang
membutuhkan tata laksana segera.
Seringkali cedera panggul disertai dengan cedera berat yang membutuhkan
tatalaksana segera. Cedera panggul harus segera direduksi karena semakin lama
caput femoris berada di luar acetabulum, maka semakin tinggi angka kejadian
necrosis avaskular. Hanya sedikit caput femoris yang dapat bertahan jika tetap
mengalami dislokasi selama lebih dari 24 jam.

7
2.6 Tipe Fraktur dan Dislokasi Pelvis
Cidera pelvis dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu: 3
2.6.1 Fraktur yang terisolasi dengan cincin pelvis yang utuh
a. Fraktur avulsi
Sepotong tulang tertarik oleh kontraksi otot yang hebat. Fraktur ini biasanya
ditemukan pada olahragawan dan atlet. Muskulus Sartorius dapat menarik spina
iliaca anterior superior, rektus femoris menarik spina iliaca anterior inferior ,
adductor longus menarik sepotong pubis, dan urat-urat lurik menarik bagian-bagian
iskium. Nyeri hilang biasanya dalam beberapa bulan. Avulsi pada apofisis iskium
oleh otot-otot lutut jarang mengakibatkan gejala menetap, dalam hal ini reduksi
terbuka dan fiksasi internal diindikasikan.
b. Fraktur langsung
Pukulan langsung pada pelvis, biasanya setelah jatuh dari tempat tinggi,
dapat menyebabkan fraktur iskium atau ala ossis ilii. Dalam hal ini memerlukan
bed rest total sampai nyeri mereda.
c. Fraktur-tekanan
Fraktur pada rami pubis cukup sering ditemukan dan sering dirasakan yidak
nyeri. Pada pasien osteoporosis dan osteomalasia yang berat. Yang lebih sulit
didiagnosis adalah fraktur-tekanan disekitar sendi sacroiliaca. Ini adalah penyebab
nyeri sacroiliaca yang tak lazim pada orangtua yang menderita osteoporosis.
2.6.2 Fraktur pada cincin pelvis
Telah lama diperdebatkan bahwa karena kakunya pelvis, patah di suatu
tempat cincin pasti diikuti pada tempat yang lainnya, kecuali fraktur akibat pukulan
langsung atau fraktur pada anak-anak yang simfisis dan sendi sacroiliaca masih
elastic. Tetapi, patahan kedua sering tidak ditemukan, baik karena fraktur tereduksi
segera atau karena sendi sacroiliaca hanya rusak sebagian. Dalam hal ini fraktur
yang kelihatan tidak mengalami pergeseran dan cincin bersifat stabil. Fraktur atau
kerusakan sendi yang jelas bergeser, dan semua fraktur cincin ganda yang jelas,
bersifat tak stabil. Perbedaan ini lebih bernilai praktis daripada klasifikasi kedalam
fraktur cincin tunggal dan ganda.

8
Tekanan anteroposterior, cidera ini biasanya disebabkan oleh tabrakan
frontal saat kecelakaan. Rami pubis mengalami fraktur atau tulang inominata retak
terbelah dan berotasi keluar disertai kerusakan simphisis. Fraktur ini biasa disebut
open book. Bagian posterior ligament sacroiliaca robek sebagian, atau mungkin
terdapat fraktur pada bagian posterior ilium. Tekanan lateral, tekanan dari sisi ke
sisi pelvis menyebabkan cincin melengkung dan patah. Di bagian anterior rami
pubis, pada satu atau kedua sisi mengalami fraktur dan di bagian posterior terdapat
strain sacroiliaca yang berat atau fraktur pada ilium, baik pada sisi yang sama
seperti fraktur rami pubis atau pada sisi yang sebaliknya pada pelvis. Apabila terjadi
pergeseran sendi sacroiliaca yang besar maka pelvis tidak stabil.
Pemuntiran vertical, tulang inominata pada satu sisi bergeser secara vertical,
menyebabkan fraktur vertical, menyebabkan fraktur rami pubis dan merusak daerah
sacroiliaca pada sisi yang sama. Ini secara khas terjadi tumpuan dengan salah satu
kaki saat terjatuh dari ketinggian. Cidera ini biasanya berat dan tidak stabil dengan
robekan jaringan lunak dan perdarahan retroperitoneal.
Tile (1988) membagi fraktur pelvis ke dalam cidera yang stabil, cidera yang
secara rotasi tak stabil dan cidera yang secara rotasi dan vertikal tak stabil.
Tipe A/stabil; ini temasuk avulsi dan fraktur pada cincin pelvis dengan sedikit
atau tanpa pergeseran.
o A1 : fraktur panggul tidak mengenai cincin
o A2 : stabil, terdapat pergeseran cincin yang minimal dari fraktur
Tipe B yaitu secara rotasi tidak stabil tapi secara vertikal stabil. Daya rotasi
luar yang mengena pada satu sisi pelvis dapat merusak dan membuka simfisis
biasa disebut fraktur open book atau daya rotasi internal yaitu tekanan lateral
yang dapat menyebabkan fraktur pada rami iskiopubik pada salah satu atau
kedua sisi juga disertai cidera posterior tetapi tida ada pembukaan simfisis.
o B1 : open book
o B2 : kompresi lateral ipsilateral
o B3 : kompresi lateral kontralateral (bucket-handle)
Tipe C yaitu secara rotasi dan vertical tak stabil, terdapat kerusakan pada
ligament posterior yang keras dengan cidera pada salah satu atau kedua sisi dan

9
pergeseran vertical pada salah satu sisi pelvis, mungkin juga terdapat fraktur
acetabulum.
o C1 : unilateral
o C2 : bilateral
o C3 : disertai fraktur asetabulum
2.6.3 Klasifikasi fraktur menurut Cey dan Conwell :
a. Fraktur pada salah satu tulang tanpa adanya disrupsi cincin
Fraktur avulsi
o Spina iliaka anterior posterior
o Spina iliaka anterior inferior
o Tuberositas ischium
Fraktur pubis dan ischium
Fraktur sayap ilium
Fraktur sacrum
Fraktur dan dislokasi tulang koksigeus
b. Keretakan tunggal pada cincin panggul
Fraktur pada kedua ramus ipsilateral
Fraktur dekat atau subluksasi simpisis pubis
Fraktur dekat atau subluksasi sendi sakroiliaka
c. Fraktur bilateral cincin panggul
Fraktur vertikal ganda dan atau dislokasi pubis
Fraktur ganda dan atau dislokasi
Fraktur multiple yang hebat
d. Fraktur asetabulum
Tanpa pergeseran
Dengan pergeseran
2.6.4 Tipe Dislokasi Sendi Panggul
Berdasarkan arah dislokasi, dislokasi panggul dibagi menjadi 3, yaitu
1. Dislokasi posterior
2. Dislokasi anterior

10
Dislokasi anterior jarang terjadi jika dibandingkan dengan dislokasi posterior.
Dislokasi ini terjadi sebanyak 10-12 % dari keseluruhan kejadian dislokasi
panggul traumatik. Penyebab yang lazim adalah kecelakaan lalu lintas atau
kecelakaan penerbangan. Caput femoris didorong dengan paksa ke arah
anteroinferior dan berpindah ke foramen obturatorium atau pubis.
3. Dislokasi pusat (central).
2.7 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan bila ditemukan nyeri subjektif dan objektif, dan
pergerakan abnormal pada gelang panggul. Untuk itu, pelvis ditekan ke belakang
dan ke medial secara hati-hati pada kedua spina iliaka anterior superior, ke medial
pada kedua trokanter mayor, ke belakang pada simpisis pubis, dan ke medial pada
kedua krista iliaka. Apabila pemeriksaan ini menyebabkan nyeri, patut dicurigai
adanya patah tulang panggul.4
Kemudian dicari adanya gangguan kencing seperti retensi urin atau
perdarahan melalui uretra, serta dilakukan pemeriksaan colok dubur untuk
melakukan penilaian pada sakrum, atau tulang pubis dari dalam.
Sinar X dapat memperlihatkan fraktur pada rami pubis, fraktur ipsilateral atau
kontra lateral pada elemen posterior, pemisahan simfisis, kerusakan pada sendi
sacroiliaca atau kombinasi. CT-scan merupakan cara terbaik untuk memperlihatkan
sifat cidera. 4
2.7.1 Gambaran Klinik
Fraktur panggul sering merupakan bagian dari salah satu trauma multiple
yang dapat mengenai organ-organ lain dalam panggul. Keluhan berupa
gejala pembengkakan ,deformitas serta perdarahan subkutan sekitar panggul.
Penderita datang dalam keadaan anemi dan syok karena perdarahan yang hebat.
Terdapat gangguan fungsi anggota gerak bawah.
Dislokasi dan fraktur dislokasi sendi panggul dibagi dalam 3 jenis : 3
1. Dislokasi posterior
Tanpa fraktur
Disertai fraktur rim posterior yang tunggal dan besar

11
Disertai fraktur komunitif asetabulum bagian posterior dengan atau
tanpakerusakan pada dasar asetabulum.
Disertai fraktur kaput femur
Mekanisme trauma dislokasi posterior disertai adanya fraktur adalah kaput
femur dipaksa keluar ke belakang asetabulum melalui suatu trauma yang
dihantarkan pada diafisis femur dimana sendi pinggul dalama posisi fleksi atau semi
fleksi. Trauma biasanya terjadi karena kecelakaan lalu lintas dimana lutut
penumpang dalam keadaan fleksi dan menabrak dengan keras yang berada dibagian
depan lutut. Kelainan ini juga dapat terjadi sewaktu mengendarai motor. 50%
dislokasi disertai fraktur pada pinggir asetabulum dengan fragmen kecil atau besar.
Penderita biasanya datang setelah suatu trauma yang hebat disertai nyeri dan
deformitas pada daerah sendi panggul. Sendi panggul teraba menonjol ke belakang
dalam posisi adduksi, fleksi dan rotasi interna .terdapat pemendekan anggota gerak
bawah. Dengan pemeriksaan rontgen akan diketahui jenis dislokasi dan apakah
dislokasi disertai fraktur atau tidak.3
Caput femoris dapat berada di posisi yang tinggi (iliac) atau rendah
(ischiatic), tergantung dari posisi fleksi paha ketika terjadi dislokasi.11
Dislokasi tipe iliac:
- Panggul fleksi, adduksi, endorotasi.
- Ekstremitas yang terkena tampak memendek.
- Trochanter mayor dan bokong di daerah yang mengalami dislokasi terlihat
menonjol.
- Lutut ekstremitas yang mengalami dislokasi tampak menumpang di paha
sebelahnya.
Dislokasi tipe ischiatic:
- Panggul fleksi.
- Panggul sangat beradduksi sehingga lutut di ekstremitas yang mengalami
dislokasi tampak menindih di paha sebelahnya.
- Ekstremitas bawah tampak dalam posisi endorotasi yang ekstrim.
- Trochanter mayor dan bokong di daerah yang mengalami dislokasi terlihat
menonjol.

12
Jika salah satu tulang panjang mengalami fraktur (biasanya femur), dislokasi
panggul seringkali tidak terdiagnosis. Pedoman yang baik adalah dengan
pemeriksaan pelvis dengan pemeriksaan radiologis. Tungkai bawah juga harus
diperiksa untuk mencari apakah terjadi cedera syaraf ischiadicus.
Cedera neurovaskular pada dislokasi panggul posterior dapat memberikan
gambaran sebagai berikut:14
Nyeri di panggul, bokong, dan tungkai bawah bagian posterior.
Hilangnya sensasi di tungkai bawah dan kaki.
Hilangnya kemampuan dorsofleksi (cabang peroneal) atau plantarfleksi
(cabang tibial).
Hilangnya deep tendon reflex di pergelangan kaki.
Hematoma lokal.
2. Dislokasi anterior
Kaki berada dalam posisi exorotasi, abduksi, dan sedikit fleksi. Kaki tidak
memendek karena perlekatan rektus femoris mencegah caput femoris bergeser ke
atas. Bila dilihat dari samping, tonjolan anterior pada caput yang mengalami
dislokasi tampak jelas. Kadang-kadang kaki berabduksi hampir membentuk sudut
siku-siku. Caput yang menonjol mudah diraba. Gerakan panggul tidak dapat
dilakukan.17
Cedera neurovaskular dapat terjadi. Berikut ini adalah tanda-tanda terjadinya
cedera neurovaskular pada dislokasi panggul anterior:
Paresis di extremitas bawah
Rasa nyeri tumpul di extremitas bawah
Refleks patella melemah atau hilang
Extremitas bawah tampak pucat dan dingin
Parestesia di extremitas bawah
3. Dislokasi sentral asetabulum
Terdapat luka lecet atau memar pada paha, namun kaki terletak pada posisi
normal. Trochanter dan daerah panggul terasa nyeri. Gerakan minimal masih dapat
dilakukan. Pasien harus diperiksa dengan cermat untuk mencari ada tidaknya cedera
pelvis dan abdomen.17

13
Hanya mengenai bagian dalam dinding asetabulum
Fraktur sebagian dari kubah asetabulum
Pergeseran menyeluruh ke panggul disertai fraktur asetabulum yang
komunitif
Mekanisme trauma Fraktur dislokasi sentral adalah terjadi apabila kaput
femur terdorong ke dinding medial asetabulum pada rongga panggul. Disini kapsul
tetap utuh. Fraktur asetabulum terjadi karena dorongan yang kuat dari lateral atau
jatuh dariketinggian pada satu sisi atau suatu tekanan yang melalui femur dimana
keadaan abduksi. Didapatkan perdarahan dan pembengkakan di daerah tungkai
bagian proksimal tetapi posisi tetap normal. Nyeri tekan pada daerah trokanter.
Gerakan sendi panggul sangat terbatas. Dengan pemeriksaan radiologis didapatkan
adanya pergeseran dari kaput femur menembus panggul. 3
Beberapa sistem klasifikasi telah dirumuskan untuk menjelaskan cedera
pelvis berdasarkan sifat dasar dan stabilitas disrupsi pelvis atau berdasarkan besar
dan arah tekanan yang diberikan ke pelvis. Masing-masing klasifikasi telah
dikembangkan untuk memberikan tuntunan pada ahli bedah umum dan ortopedi
tentang tipe dan kemungkinan masalah kesulitan manajemen yang mungkin
dihadapi dengan masing-masing tipe fraktur. Sistem klasifikasi fraktur pelvis ini,
salah satu yang dijelaskan oleh Young dan Burgess, paling erat hubungannya
dengan kebutuhan resusitasi dan pola yang terkait dengan cedera. Sistem ini
berdasarkan pada seri standar gambaran pelvis dan gambaran dalam dan luar,
sebagaimana dijelaskan oleh Pennal dkk.1
Klasifikasi Young-Burgess membagi disrupsi pelvis kedalam cedera-cedera
kompresi anterior-posterior (APC), kompresi lateral (LC), shear vertikal (VS), dan
mekanisme kombinasi (CM) (gambar 3). Kategori APC dan LC lebih lanjut
disubklasifikasi dari tipe I III berdasarkan pada meningkatnya perburukan cedera
yang dihasilkan oleh peningkatan tekanan besar. Cedera APC disebabkan oleh
tubrukan anterior terhadap pelvis, sering mendorong ke arah diastase simfisis pubis.
Ada cedera open book yang mengganggu ligamentum sacroiliaca anterior seperti
halnya ligamentum sacrospinale ipsilateral dan ligamentum sacrotuberale. Cedera
APC dipertimbangkan menjadi penanda radiografi yang baik untuk cabang-cabang

14
pembuluh darah iliaca interna, yang berada dalam penjajaran dekat dengan
persendian sacroiliaca anterior.1

Gambar 3. Klasifikasi fraktur pelvis Young-Burgess. A, kompresi anteroposterior


tipe I. B, kompresi anteroposterior tipe II. C, kompresi anteroposterior tipe III. D,
kompresi lateral tipe I. E, kompresi lateral tipe II. F, kompresi lateral tipe III. G,
shear vertikal. Tanda panah pada masing-masing panel mengindikasikan arah
tekanan yang menghasilkan pola fraktur.

Cedera LC sebagai akibat dari benturan lateral pada pelvis yang memutar
pelvis pada sisi benturan ke arah midline. Ligamentum sacrotuberale dan
ligamentum sacrospinale, serta pembuluh darah iliaca interna, memendek dan tidak
terkena gaya tarik. Disrupsi pembuluh darah besar bernama (misal, arteri iliaca
interna, arteri glutea superior) relatif luar biasa dengan cedera LC; ketika hal ini
terjadi, diduga sebagai akibat dari laserasi fragmen fraktur.
Cedera VS dibedakan dari pemindahan vertikal hemipelvis. Perpindahan
hemipelvis mungkin dibarengi dengan cedera vaskuler lokal yang parah. Pola
cedera CM meliputi fraktur pelvis berkekuatan tinggi yang ditimbulkan oleh
kombinasi dua vektor tekanan terpisah.
Klasifikasi fraktur pelvis Young-Burgess dan dugaan vektor tekanan juga
telah menunjukkan berkorelasi baik dengan pola cedera organ, persyaratan
resusitasi, dan mortalitas. Secara khusus, kenaikan pada mortalitas telah terbukti

15
sebagaimana meningkatnya angka APC. Pola cedera yang terlihat pada fraktur APC
tipe III telah berkorelasi dengan kebutuhan cairan 24-jam terbesar. Pada sebuah seri
terhadap 210 pasien berurutan dengan fraktur pelvis, Burgess dkk menemukan
bahwa kebutuhan transfusi bagi pasien dengan cedera LC rata-rata 3,6 unit PRC,
dibandingkan dengan rata-rata 14,8 unit bagi pasien dengan cedera APC. Pada seri
yang sama, pasien dengan cedera VS rata-rata 9,2 unit, dan pasien dengan cedera
CM memiliki kebutuhan transfusi rata-rata sebesar 8,5 unit. Angka mortalitas
keseluruhan pada seri ini adalah 8,6%. Angka mortalitas lebih tinggi terlihat pada
pola APC (20%) dan pola CM (18%) dibandingkan pada pola LC (7%) dan pola
VS (0%). Burgess dkk mencatat hilangnya darah dari cedera pelvis yang dihasilkan
dari kompresi lateral jarang terjadi, dan penulis menghubungkan kematian pada
pasien dengan cedera LC pada penyebab lainnya. Penyebab kematian yang
teridentifikasi paling umum pada pasien di seri ini dengan fraktur LC adalah cedera
kepala tertutup. Pada kontras, penyebab kematian yang teridentifikasi pada pasien
dengan cedera APC merupakan kombinasi cedera pelvis dan viseral. Temuan ini
mengindikasikan bahwa kemampuan untuk mengenali pola fraktur pelvis dan arah
tekanan cedera yang sesuai dapat membantu tim resusitasi mengantisipasi
kebutuhan transfusi cairan dan darah sebagaimana halnya membantu untuk
penilaian dan pengobatan awal langsung. Pasien dengan instabilitas posterior
lengkap dapat diantisipasi agar tidak menjadi perdarahan yang berat. 1
2.7.2 Gambaran Radiologis
2.7.2.1 Gambaran radiologi fraktur pelvis
Pada fraktur pelvic biasanya menunjukkan adanya garis fraktur pada rami
ossis pubis, fraktur element posterior baik ipsilateral maupun kontralateral,
terpisahnya os pubis,

16
Gambar. a,b: gambaran avulsi fracture pada pelvic. c,d: gambaran fraktur
pada iliaca.

Gambar . a: Fraktur open-book total, b: reduksi dan stabilisasi menggunakan


eksternal fiksasi, c: fiksasi internal os pobis dengan plate and screw
2.7.2.2 Gambaran radiologi dislokasi pelvis
Pada foto anteroposterior (AP), caput femoris terlihat keluar dari acetabulum
dan berada di atas acetabulum. Segmen atap acetabulum atau caput femoris dapat
ditemukan patah dan bergeser. Foto oblik dapat digunakan untuk mengetahui
ukuran fragmen. CT scan adalah cara terbaik untuk melihat fraktur acetabulum atau
setiap fragmen tulang.15

17
Gambaran radiologi dislokasi panggul posterior
Pada foto anteroposterior, dislokasi biasanya jelas, tetapi kadang-kadang
caput hampir berada di depan posisi normalnya sehingga jika meragukan dapat
dilakukan foto lateral.15

Gambaran radiologi dislokasi panggul anterior


Pada foto anteroposterior, caput femoris tampak bergeser ke medial dan lantai
acetabulum mengalami fraktur.15

18
2.8 Penatalaksanaan
2.8.1 Penatalaksanaan fraktur pelvis
Identifikasi dan Pengelolaan Fraktur Pelvis 5
a. Identifikasi mekanisme trauma yang menyebabkan kemungkinan fraktur
pelvis misalnya terlempar dari sepeda motor, crush injury, pejalan kaki
ditabrak kendaraan, tabrakan sepeda motor.
b. Periksa daerah pelvis adanya ekhimosis, perianal atau hematoma scrotal,
darah di meatus uretra.
c. Periksa tungkai akan adanya perbedaan panjang atau asimetri rotasi
panggul.
d. Lakukan pemeriksaan rectum, posis dan mobilitas kelenjar prostat, teraba
fraktur, atau adanya darah pada kotoran.
e. Lakukan pemeriksaan vagina, raba fraktur, ukuran dan konsistensi uterus ,
adanya darah. Perlu diingat bahwa penderita mungkin hamil.
f. Jika dijumpai kelainan pada B sampai E, jika mekanisme trauma menunjang
terjadinya fraktur pelvis, lakukan pemeriksaan ronsen pelvis AP
(mekanisme trauma dapat menjelaskan tipe fraktur).
g. Jika B sampai E normal, lakukan palpasi tulang pelvis untuk menemukan
tempat nyeri.
h. Tentukan stabilitas pelvis dengan hati-hati melakukan tekanan anterior-
posterior dan lateral-medial pada SIAS. Pemeriksaan mobilitas aksial
dengan melakukan dorongan dan tarikan tungkai secara hati-hati, tentukan
stabilitas kranial-kaudal.
i. Perhatian pemasangan kateter urine, jika tidak ada kontraindikasi, atau
lakukan pemeriksan retrograde uretrogram jika terdapat kecurigaan trauma
uretra.
j. Penilaian foto ronsen pelvis, perhatian kasus pada fraktur yang sering
disertai kehilangan darah banyak, misalnya fraktur yang meningkatkan
volume pelvis.
k. Teknik mengurangi Perdarahan
1. Cegah manipulasi berlebihan atau berulang-ulang

19
2. Tungkai bawah di rotasi ke dalam untuk menutup fraktur open-book.
Pasang bantalan pada tonjolan tulang dan ikat kedua tungkai yang
dilakukan rotasi. Tindakan ini akan mengurangi pergeseran
simpisis, mengurangi volume pelvis, bermanfaat untuk tindakan
sementara menunggu pengobatan definitif.
3. Pasang dan kembangkan PASG. Alat ini bermanfaat untuk
membawa/transport penderita.
4. Pasang external fixator pelvis (konsultasi orthopedi segera)
5. Pasang traksi skeletal (konsultasi orthopedi segera)
6. Embolisasi pembuluh darah pelvis melalui angiografi
7. Lakukan segera konsultasi bedah/ orthopedi untuk menentukan
prioritas
8. Letakkan bantal pasir di bawah bokong kiri-kanan jika tidak terdapat
trauma tulang belakang atau cara menutup pelvis yang lain tidak
tersedia.
9. Pasang pelvic binder
10. Mengatur untul transfer ke fasilitas terapi definitive jika tidak
mampu melakukannya.
Metode Penatalaksanaan1
a. Military Antishock Trousers
Military antishock trousers (MAST) atau celana anti syok militer dapat
memberikan kompresi dan imobilisasi sementara terhadap cincin pelvis dan
ekstremitas bawah melalui tekanan berisi udara. Pada tahun 1970an dan
1980an, penggunaan MAST dianjurkan untuk menyebabkan tamponade
pelvis dan meningkatkan aliran balik vena untuk membantu resusitasi.
Namun, penggunaan MAST membatasi pemeriksaan abdomen dan
mungkin menyebabkan sindroma kompartemen ekstermitas bawah atau
bertambah satu dari yang ada. Meskipun masih berguna untuk stabilisasi
pasien dengan fraktur pelvis, MAST secara luas telah digantikan oleh
penggunaan pengikat pelvis yang tersedia secara komersil.
b. Pengikat dan Sheet Pelvis

20
Kompresi melingkar mungkin siap dicapai pada keadaan pra rumah-
sakit dan pada awalnya memberikan keuntungan stabilisasi selama
pengangkutan dan resusitasi. Lembaran terlipat yang dibalutkan secara
melingkar di sekeliling pelvis efektif secara biaya, non-invasif, dan mudah
untuk diterapkan. Pengikat pelvis komersial beragam telah ditemukan.
Tekanan sebesar 180 N tampaknya memberikan efektivitas maksimal.
Sebuah studi melaporkan pengikat pelvis mengurangi kebutuhan transfusi,
lamanya rawatan rumah sakit, dan mortalitas pada pasien dengan cedera
APC (gambar 4).

Gambar 4. Ilustrasi yang mendemonstrasikan aplikasi alat kompresi melingkar


pelvis (pengikat pelvis) yang tepat, dengan gesper tambahan (tanda panah) untuk
mengontrol tekanan

Rotasi eksterna ekstremitas inferior umumnya terlihat pada orang


dengan fraktur pelvis disposisi, dan gaya yang beraksi melalui sendi panggul
mungkin berkontribusi pada deformitas pelvis. Koreksi rotasi eksternal
ekstremitas bawah dapat dicapai dengan membalut lutut atau kaki bersama-
sama, dan hal ini dapat memperbaiki reduksi pelvis yang dapat dicapai
dengan kompresi melingkar.

21
c. Fiksasi Eksternal
Fiksasi Eksternal Anterior Standar

Beberapa studi telah melaporkan keuntungan fiksasi eksternal pelvis


emergensi pada resusitasi pasien yang tidak stabil secara hemodinamik
dengan fraktur pelvis tidak stabil. Efek menguntungkan fiksasi eksternal pada
fraktur pelvis bisa muncul dari beberapa faktor. Imobilisasi dapat membatasi
pergeseran pelvis selama pergerakan dan perpindahan pasien, menurunkan
kemungkinan disrupsi bekuan darah. Pada beberapa pola (misal, APC II),
reduksi volume pelvis mungkin dicapai dengan aplikasi fiksator eksternal.
Studi eksperimental telah menunjukkan bahwa reduksi cedera pelvis open
book mengarah pada peningkatan tekanan retroperitoneal, yang bisa
membantu tamponade perdarahan vena. Penambahan fraktur disposisi dapat
meringankan jalur hemostasis untuk mengontrol perdarahan dari permukaan
tulang kasar.
C-Clamp
Fiksasi pelvis eksternal standar tidak menyediakan stabilisasi pelvis posterior
yang adekuat. Hal ini membatasi efektivitas pada pola fraktur yang
melibatkan disrupsi posterior signifikan atau dalam kasus-kasus dimana ala
ossis ilium mengalami fraktur. C-clamp yang diaplikasikan secara posterior
telah dikembangkan untuk menutupi kekurangan ini. Clamp memberikan
aplikasi gaya tekan posterior tepat melewati persendian sacroiliaca. Kehati-
hatian yag besar harus dilatih untuk mencegah cedera iatrogenik selama
aplikasi; prosedur umumnya harus dilakukan dibawah tuntunan fluoroskopi.
Penerapan C-clamp pada regio trochanter femur menawarkan sebuah
alternatif bagi fiksasi eksternal anterior standar untuk fiksasi sementara
cedera APC.1
d. Angiografi
Eksplorasi angiografi harus dipertimbangkan pada pasien dengan
kehilangan darah berkelanjutan yang tak dapat dijelaskan setelah stabilisasi
fraktur pelvis dan infus cairan agresif. Keseluruhan prevalensi pasien dengan

22
fraktur pelvis yang membutuhkan embolisasi dilaporkan <10%. Pada satu seri
terbaru, angiografi dilakukan pada 10% pasien yang didukung sebuah fraktur
pelvis. Pasien yang lebih tua dan yang memiliki Revised Trauma Score lebih
tinggi paling sering mengalami angiografi. Pada studi lain, 8% dari 162
pasien yang ditinjau ulang oleh penulis membutuhkan angiografi. Embolisasi
dibutuhkan pada 20% pola cedera APC, cedera VS, dan fraktur pelvis
kompleks, namun hanya 1,7% pada cedera LC. Eastridge dkk melaporkan
bahwa 27 dari 46 pasien dengan hipotensi persisten dan fraktur pelvis yang
sama sekali tak stabil, termasuk cedera APC II, APC III, LC II, LC III dan
VS, memiliki perdarahan arteri aktif (58,7%). Miller dkk menemukan bahwa
19 dari 28 pasien dengan instabilitas hemodinamik persisten diakibatkan oleh
pada fraktur pelvis menunjukkan perdarahan arteri (67,9%). Pada studi lain,
ketika angiografi dilakukan, hal tersebut sukses menghentikan perdarahan
arteri pelvis pada 86-100% kasus. Ben-Menachem dkk menganjurkan
embolisasi bersifat lebih-dulu, menekankan bahwa jika sebuah arteri yang
ditemukan pada angiografi transected, maka arteri tersebut harus diembolisasi
untuk mencegah resiko perdarahan tertunda yang dapat terjadi bersama
dengan lisis bekuan darah. Penulis lain menjelaskan embolisasi non-selektif
pada arteri iliaca interna bilateral untuk mengontrol lokasi perdarahan
multipel dan menyembunyikan cedera arteri yang disebabkan oleh
vasospasme.1
Angiografi dini dan embolisasi berikutnya telah diperlihatkan untuk
memperbaiki hasil akhir pasien. Agolini dkk menunjukkan bahwa embolisasi
dalam 3 jam sejak kedatangan menghasilkan angka ketahanan hidup yang
lebih besar secara signifikan. Studi lain menemukan bahwa angiografi pelvis
yang dilakukan dalam 90 menit izin masuk memperbaiki angka ketahanan
hidup. Namun, penggunaan angiografi secara agresif dapat menyebabkan
komplikasi iskemik. Angiografi dan embolisasi tidak efektif untuk
mengontrol perdarahan dari cedera vena dan lokasi pada tulang, dan
perdarahan vena menghadirkan sumber perdarahan dalam jumlah lebih besar
pada fraktur pelvis berkekuatan-tinggi. Waktu yang digunakan pada

23
rangkaian angiografi pada pasien hipotensif tanpa cedera arteri mungkin tidak
mendukung ketahanan hidup.
e. Balutan Pelvis
Balutan pelvis dikembangkan sebagai sebuah metode untuk mencapai
hemostasis langsung dan untuk mengontrol perdarahan vena yang disebabkan
fraktur pelvis. Selama lebih dari satu dekade, ahli bedah trauma di Eropa telah
menganjurkan laparotomi eksplorasi yang diikuti dengan balutan pelvis.
Teknik ini diyakini terutama berguna pada pasien yang parah. Ertel dkk
menunjukkan bahwa pasien cedera multipel dengan fraktur pelvis dapat
dengan aman ditangani menggunakan C-clamp dan balutan pelvis tanpa
embolisasi arteri. Balutan lokal juga efektif dalam mengontrol perdarahan
arteri. 1

Akhir-akhir ini, metode modifikasi balutan pelvis balutan


retroperitoneal telah diperkenalkan di Amerika Utara. Teknik ini
memfasilitasi kontrol perdarahan retroperitoneal melalui sebuah insisi kecil.
Rongga intraperitoneal tidak dimasuki, meninggalkan peritoneum tetap utuh
untuk membantu mengembangkan efek tamponade. Prosedurnya cepat dan
mudah untuk dilakukan, dengan kehilangan darah minimal. Balutan
retroperitoneal tepat untuk pasien dengan beragam berat ketidakstabilan
hemodinamik, dan hal ini dapat mengurangi angiografi yang kurang penting.
Cothren dkk melaporkan tidak adanya kematian sebagai akibat dari
kehilangan darah akut pada pasien yang tidak stabil secara hemodinamik
persisten ketika balutan langsung digunakan. Hanya 4 dari 24 yang bukan
responden pada studi ini membutuhkan embolisasi selanjutnya (16,7%), dan
penulis menyimpulkan bahwa balutan secara cepat mengontrol perdarahan
dan mengurangi kebutuhan angiografi emergensi.

24
Gambar 5. Ilustrasi yang mendemonstrasikan teknis pembalutan retroperitoneal. A,
dibuat sebuah insisi vertikal midline 8-cm. Kandung kemih ditarik ke satu sisi, dan
tiga bagian spons tak terlipat dibungkus kedalam pelvis (dibawah pinggir pelvis)
dengan sebuah forceps. Yang pertama diletakkan secara posterior, berbatasan
dengan persendian sacroiliaca. Yang kedua ditempatkan di anterior dari spons
pertama pada titik yang sesuai dengan pertengahan pinggiran pelvis. Spons ketiga
ditempatkan pada ruang retropubis kedalam dan lateral kandung kemih. Kandung
kemih kemudian ditarik kesisi lainnya, dan proses tersebut diulangi. B, Ilustrasi
yang mendemonstrasikan lokasi umum enam bagian spons yang mengikuti balutan
pelvis.
2.8.2 Penatalaksanaan Dislokasi Pelvis
A. Dislokasi posterior
Dislokasi harus direduksi secepat mungkin di bawah anestesi umum. Reduksi
harus dilakukan dalam waktu 12 jam sejak terjadinya Dislokasi. Pada
sebagian besar kasus dilakukan reduksi tertutup, namun jika reduksi tertutup
gagal sebanyak 2 kali maka harus dilakukan reduksi terbuka untuk mencegah
kerusakan caput femoris lebih lanjut.16 Sebelum melakukan reduksi,
sebaiknya dilakukan pemeriksaan neurovaskular.
Indikasi reduksi tertutup:
- Dislokasi dengan atau tanpa defisit neurologis jika tidak ada fraktur.
- Dislokasi yang disertai fraktur jika tidak terdapat defisit neurologis.
Kontraindikasi reduksi tertutup:
- Dislokasi panggul terbuka.

25
Berikut ini adalah beberapa teknik yang dapat digunakan untuk mereduksi
dislokasi panggul posterior sederhana (tipe I Epstein).17
Manuver Allis

Teknik Whistler
Panggul yang mengalami dislokasi direlokasikan menggunakan lengan
operator untuk mengangkat dan memanuver tungkai yang mengalami
dislokasi ketika bahu operator diangkat. Tangan operator bertumpu pada paha
kontralateral. Seorang asisten atau tangan lain operator melakukan
kontratraksi pada tibia atau fibula.

Traksi longitudinal

26
Pasien dibaringkan dalam posisi supine, kemudian seorang asisten melakukan
traksi lateral, sementara operator melakukan traksi longitudinal

Leg-crossing maneuver
Kadang-kadang dislokasi dapat direduksi dengan cara membujuk pasien
untuk perlahan-lahan menyilangkan tungkai yang mengalami dislokasi ke
arah tungkai sebelahnya (adduksi) dan kemudian lakukan traksi lembut ketika
asisten memandu caput femoris kembali ke posisi semula dengan melakukan
tekanan di sebelah anterior.

Teknik fulcrum
Pasien dibaringkan dalam posisi supine, lalu lutut operator diletakkan di
bawah lutut pasien di sisi yang mengalami dislokasi. Lutut operator
digunakan sebagai titik tumpu untuk mengungkit caput femoris agar kembali
masuk ke acetabulum.

Manuver East Baltimore Lift

27
Pasien dibaringkan dalam posisi supine. Operator berdiri di sisi panggul yang
mengalami dislokasi. Extremitas bawah pasien difleksikan hingga panggul
dan lutut membentuk sudut 90.

Kemudian operator menempatkan lengannya yang lebih dekat dengan kepala


pasien di bawah lutut pasien, menopang tungkai pasien dengan cara
menumpukan tangannya di bahu seorang asisten yang berdiri di seberangnya,
sedangkan tangan lain operator memegang pergelangan kaki pasien.
Kemudian asisten meletakkan tangannya di bahu operator dengan cara
melewati bagian bawah lutut pasien (serupa dengan yang dilakukan oleh
operator). Operator dan asisten kemudian berdiri dengan posisi lutut sedikit
fleksi dan secara bersama-sama berdiri tegak tanpa merubah posisi bahu
untuk memberikan traksi. Operator merotasikan tungkai bawah pasien di
bagian pergelangan kaki, sedangkan asisten yang kedua menstabilkan
pelvis.18
Pemeriksaan X-Ray sangat diperlukan untuk memastikan reduksi dan untuk
menyingkirkan fraktur. Bila terdapat sedikit kecurigaan saja bahwa fragmen
tulang telah terperangkap di dalam sendi, maka diperlukan pemeriksaan CT-
scan.17
Reduksi biasanya stabil, panggul yang telah mengalami cedera harus
diistirahatkan. Cara yang paling sederhana untuk mengistirahatkan panggul
adalah dengan memasang traksi dan mempertahankannya selama 3 minggu.
Gerakan dan latihan dimulai segera setelah nyeri mereda. Pada akhir minggu
ketiga pasien diperbolehkan berjalan dengan kruk penopang. 19
Jika pemeriksaan X-Ray atau CT-scan pasca reduksi memperlihatkan adanya
fragmen intra-articular, fragmen itu harus dibuang dan sendi dibilas melalui
posterior approach. Hal ini biasanya ditunda hingga keadaan pasien stabil. 15
Fraktur-dislokasi tipe II Epstein sering diterapi dengan reduksi terbuka segera
dan fiksasi anatomis pada fragmen yang terlepas. Namun, jika keadaan umum
pasien meragukan atau tidak tersedia ahli bedah yang terampil di bidang ini,
panggul direduksi tertutup seperti diuraikan di atas. Jika sendi tidak stabil atau

28
fragmen besar tetap tidak tereduksi, maka reduksi terbuka dan fiksasi internal
tetap diperlukan. Pada kasus tipe II, traksi dipertahankan selama 6 minggu.20
Fraktur-dislokasi tipe III diterapi secara tertutup, tetapi mungkin terdapat
fragmen yang bertahan dan fragmen-fragmen ini harus dibuang dengan
operasi terbuka. Traksi dipertahankan selama 6 minggu.20
Fraktur-dislokasi tipe IV dan V pada awalnya diterapi dengan reduksi
tertutup. Fragmen caput femoris dapat secara otomatis berada pada
tempatnya, dan ini dapat dipastikan dengan CT-scan pasca reduksi. Jika
fragmen tetap tidak tereduksi, terapi operasi diindikasikan: fragmen yang
kecil dibuang, namun fragmen yang besar harus diganti; sendi dibuka, caput
femoris didislokasikan dan fragmen diikat pada posisinya dengan
countersunk screw. Pasca operasi, traksi dipertahankan selama 4 minggu dan
pembebanan penuh ditunda selama 12 minggu. 20

Dislokasi Panggul yang Tidak Tereduksi


Kadang-kadang dislokasi panggul posterior tanpa fraktur acetabulum atau
caput femoris tidak dapat direduksi dengan metode reduksi tertutup.
Pada dislokasi posterior, caput femoris keluar ke arah posteroinferior dari
kapsul dan dapat menembus otot-otot exorotasi. Jaringan lunak yang
mengelilingi collum femoris dapat mencegah relokasi dari caput femoris.21
Sebagai contoh, labrum acetabulum dapat terlepas dari tempat melekatnya,
dengan atau tanpa fragmen tulang, ketika reduksi, labrum mungkin tertarik
masuk ke dalam sendi di depan caput femoris sehingga mencegah kembalinya
posisi caput secara konsentris ke dalam acetabulum.21

29
Tata laksana untuk dislokasi yang tidak tereduksi ini adalah dengan reduksi
operatif (terbuka).
B. Dislokasi Anterior
Dislokasi harus direduksi secepat mungkin di bawah anestesi umum. Reduksi
harus dilakukan dalam waktu 12 jam sejak terjadinya dislokasi. Sebelum
melakukan reduksi, sebaiknya dilakukan pemeriksaan neurovaskular.20
Manuver yang digunakan hampir sama dengan yang digunakan untuk
mereduksi dislokasi posterior, kecuali bahwa ketika paha yang berfleksi
ditarik ke atas, paha harus diadduksi. Tata laksana berikutnya mirip dengan
tata laksana pada dislokasi posterior. 17,20

Setelah reduksi, panggul diistirahatkan dengan pemasangan skin traction


selama tiga minggu. Beberapa hari setelah reduksi, gerakan aktif dan pasif
sendi panggul dapat dimulai. Pada akhir minggu ketiga, pasien diperbolehkan
jalan menggunakan kruk penopang tanpa bertumpu pada sisi yang mengalami
dislokasi. Selama periode ini dapat dilakukan latihan aktif terkontrol untuk
mengembalikan fungsi sendi dan perkembangan tonus dan kekuatan otot.
Kerja ringan dapat dilanjutkan pada minggu ke 14-16 dan aktivitas penuh
dapat dilakukan 6-10 bulan setelah cedera.20
Ikuti perkembangan pasien selama minimal 2 tahun, setiap pemeriksaan
rekam perkembangan range of motion dari sendi panggul dan lakukan

30
pemeriksaan X-ray setiap 4-6 bulan untuk mengetahui ada tidaknya nekrosis
avaskular dari caput femoris.20

Dislokasi Panggul yang Tidak Tereduksi


Pada kasus yang jarang, manuver reduksi tertutup dapat gagal dalam
mereduksi dislokasi panggul anterior. Jika hal ini terjadi, maka reduksi
tertutup tidak boleh dipaksakan dan hal ini merupakan indikasi untuk
dilakukannya reduksi terbuka. Kegagalan reduksi tertutup ini dapat
disebabkan oleh 1)Penetrasi caput femoris ke dalam otot iliopsoas dan 2)
ekstrusi caput femoris ke dalam lubang (buttonhole) di kapsul anterior.
C. Dislokasi Sentral
Pada kasus dislokasi panggul central tetap harus diusahakan untuk melakukan
reduksi dan memulihkan bentuk lazim panggul. Meskipun osteoartritis
sekunder tidak dapat dielakkan, paling tidak anatomi yang normal akan
memudahkan pembedahan rekonstruktif.16
Dislokasi central yang disertai dengan fraktur kominusi pada lantai
acetabulum kadang-kadang dapat direduksi dengan manipulasi di bawah
anestesi umum. Ahli bedah menarik paha dengan kuat dan kemudian
mencoba mengungkit keluar caput dengan mengadduksi paha, menggunakan
bantalan keras sebagai titik tumpu. Jika cara ini berhasil, traksi longitudinal
dipertahankan selama 4-6 minggu dengan pemeriksaan X-ray untuk
memastikan bahwa caput femoris tetap berada di bawah bagian acetabulum
yang menahan beban.
Jika manipulasi gagal, kombinasi traksi longitudinal dan lateral dapat
mereduksi dislokasi selama 2-3 minggu. Pada semua metode ini, gerakan
perlu dimulai secepat mungkin. Bila traksi dilepas, pasien diperbolehkan
bangun dengan kruk penopang. Penahanan beban diperbolehkan setelah 8
minggu. Hasilnya terhadap fungsi lebih baik daripada yang ditunjukkan pada
penampilan X-ray, tetapi semua gerakan kecuali fleksi dan ekstensi tetap
sangat terbatas, dan pada akhirnya terjadi artritis degeneratif, kecuali jika
pergeseran hanya terjadi sedikit.

31
a. Indikasi Operasi16
- Fraktur acetabulum dengan pergeseran > 2mm di dalam kubah
acetabulum.
- Fraktur dinding posterior dengan > 50% keterlibatan permukaan artikulasi
sendi pada dinding posterior.
- Ketidakstabilan klinis pada fleksi 90.
- Fragmen yang terjebak di dalam acetabulum setelah reduksi tertutup.
Beberapa penulis menganjurkan operasi dilakukan 2-3 hari setelah cedera
untuk menunggu kondisi pasien agar stabil. Idealnya reduksi terbuka dan
fiksasi internal fraktur acetabulum seharusnya dilakukan dalam 5-7 hari
setelah cedera. Reduksi anatomis akan menjadi lebih sulit setelah melewati
waktu tersebut karena pembentukan hematoma, kontraktur jaringan lunak,
dan pembentukan callus awal.

Setelah dilakukan reduksi terbuka, dilakukan pemasangan skeletal traction.


Pemasangan ini dilakukan dengan cara:
Masukkan threaded wire di bawah tibial tubercle.
Pasang bebat Thomas dengan Pearson attachment balanced dari rangka di
atas kepala.
Panggul dan lutut sedikit difleksikan
Berikan beban seberat 20-25 lbs.
2.9 Komplikasi
a. Nyeri sacroiliaca sering ditemukan setelah fraktur pelvis tak stabil dan
kadang memerlukan artrodesis pada sendi sacroiliaca. Cidera saraf skiatika
biasanya sembuh tetapi kadang memerlukan eksplorasi. Cidera uretra berat
bisa menimbulkan striktur uretra, inkontinensia dan impotensi (Apley,
1995)
b. Ruptur uretra posterior paling sering disebabkan oleh fraktur tulang pelvis.
Fraktur yang mengenai ramus atau simfisis pubis dan menimbulkan
kerusakan pada cincin pelvis dapat menyebabkan robekan uretra pars

32
prostate-membranacea. Fraktur pelvis dan robekan pembuluh darah yang
berada di kavum pelvis menyebabkan hematom yang luas di kavum retzius
sehingga jika ligamentum pubo-prostatikum ikut robek, prostat beserta buli-
buli akan terangkat ke cranial. (Purnomo, 2007)

Ruptur uretra anterior , cidera dari luar yang sering menyebabkan kerusakan
uretra anterior adalah straddle injury (cidera selangkangan) yaitu uretra
terjepit diantara tulang pelvis dan benda tumpul. Jenis kerusakan uretra yang
terjadi berupa kontusio dinding uretra, rupture parsial, atau rupture total
dinding uretra. Pada kontusio uretra pasien mengeluh adanya perdarahan
per-uretram atau hematuria. Jika terdapat robekan pada korpus spongiosum,
terlihat adanya hematom pada penis atau butterfly hematom. Pada keadaan
ini seringkali pasien tidak dapat miksi. (Purnomo, 2007)
c. Fraktur Acetabulum
Terjadi apabila kaput femoris terdorong ke dalam pelvis. Fraktur ini
menggabungkan antara kerumitan fraktur pelvis dengan kerusakan sendi.
Ada 4 tipe fraktur acetabulum yaitu fraktur kolumna anterior, fraktur
kolumna posterior, fraktur melintang, dan fraktur kompleks. Gambaran
klinis agak tersamarkan krena mungkin terdapat cidera lain yang lebih
jelas/mengalihkan perhatian dari cidera pelvis yang lebih mendesak.
Pemeriksaan foto sinar-X perlu dilakukan (Apley, 1995)
d. Cidera pada sacrum dan koksigis
Pukulan dari belakang atau jatuh pada tulang ekor dapat mematahkan
sacrum dan koksigis. Terjadi memar yang luas dan nyeri tekan muncul bila
scrum atau koksigis dipalpasi dari belakang atau melalui rectum. Sensasi
dapat hilang pada distribusi saraf sakralis. Sinar-X dapat memperlihatkan ;
1) fraktur yang melintang pada sacrum dapat disertai fragmen bawah yang
terdorong ke depan, 2) fraktur koksigis kadang disertai fragmen bagian
bawah yang menyudut ke depan, 3) suatu penampilan normal kalau cidera
hanya berupa strain pada sendi sacrokoksigeal.(Apley, 1995)
Kalau fraktur bergeser, sebaiknya docoba untuk melakukan reduksi.

33
Fragmen bagian bawah dapat terdesak ke belakang lewat rectum. Reduksi
bersifat stabil, suatu keadaan yang menguntungkan. Pasien dibiarkan untuk
melanjutkan aktifitas normal, tetapi dianjurkan untuk menggunakan suatu
cincin karet atau bantalan Sorbo bila duduk. Kadang disertai keluhan sulit
kencing.(Apley, 1995). Nyeri yang menetap, terutama saat duduk sering
ditemukan setelah cidera koksigis. Kalau nyeri tidak berkurang dengan
penggunaan bantalan Sorbo atau oleh injeksi anastetik lokal kedalam daerah
yang nyeri, dapat dipertimbangkan eksisi koksigis (Apley, 1995).
2.10 Prognosis
Setelah dislokasi panggul, fungsi panggul yang baik masih dapat kembali
asalkan tidak terjadi nekrosis avaskular atau artritis traumatik dari caput
femoris. Reduksi awal telah terbukti sebagai cara terbaik untuk mencegah
nekrosis avaskular dengan cara mempersingkat waktu terganggunya sirkulasi
caput femoris. Dalam tinjauan Stewart dan Milford dalam 128 kasus fraktur-
dislokasi, mereka tidak mendapatkan hasil yang baik pada kasus dislokasi
yang direduksi lebih dari 24 jam. Mereka melaporkan nekrosis avaskular pada
15,5% kasus yang diterapi dengan reduksi tertutup dan pada 40% kasus yang
diterapi dengan reduksi terbuka.36 Dalam laporannya mengenai 262 kasus
dislokasi dan fraktur-dislokasi, Brav menemukan kejadian nekrosis avaskular
sebesar 17,6% pada panggul yang direduksi dalam waktu 12 jam setelah
cedera dan 56,9% pada panggul yang direduksi setelah 12 jam. Hougard dan
thomsen melaporkan nekrosis avaskular sebesar 4% pada panggul yang
direduksi dalam waktu 6 jam dan 58% pada panggul yang tetap mengalami
dislokasi selama lebih dari 6 jam.
Penundaan weight bearing memberikan dampak yang kecil dalam
perkembangan nekrosis avaskular. Brav, dalam laporan mengenai 523 pasien,
menemukan insiden nekrosis avaskular sebesar 25,7% pada kelompok pasien
yang memulai menopang berat tubuh sebelum 12 minggu dan 26,6% pada
kelompok pasien memulai menopang berat tubuh setelah 12 minggu.

34

You might also like