You are on page 1of 18

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Meningitis bakteri merupakan infeksi sistem saraf pusat
(SSP), terutama menyerang anak usia < 2 tahun, dengan puncak angka
kejadian pada usia 6-18 bulan Penyakit ini diperkirakan mencapai 1,2
juta kasus tiap tahunnya dengan tingkat mortalitas pasien berkisar
antara 2% - 30% di seluruh dunia.
Kasus meningitis bakteri di Indonesia mencapai 158/100.000
kasus pertahun, dengan etiologi Haemophilus influenza tipe b (Hib)
16/100.000 dan bakteri lain 67/100.00). Pasien dengan meningitis
bakteri yang bertahan hidup berisiko mengalami komplikasi.
Komplikasi utama meningitis bakteri terjadi karena adanya kerusakan
pada area tertentu di otak. Secara umum, 30% - 50% pasien yang
bertahan hidup dari meningitis dapat mengalami gangguan saraf Oleh
karena itu, pasien meningitis bakteri khususnya pada anak perlu
mendapat terapi antibiotik yang optimal. Ketersediaan antibiotik saat
ini telah terjamin, namun meningitis bakteri tetap memiliki angka
morbiditas dan mortalitas yang tinggi
Angka mortalitas pada pasien yang diobati adalah sekitar 10%
dari jumlah kasus yang dilaporkan. Pada suatu studi klinik
memperlihatkan kejadian sekuel neurologis pada lebih dari 50% kasus
orang dewasa dan lebih 30% pada anakanak, 10% dari kasus anak-
anak tersebut mengalami gangguan pendengaran yang permanen.
Angka kematian pada kasus yang tidak diobati adalah 50-90% 2
(Japardi, 2002). Mengacu pada angka morbiditas dan mortalitas yang
cukup tinggi, maka diperlukan terapi yang tepat, efektif, rasional dan
cepat bagi pasien.

1
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Meningitis


Meningitis adalah infeksi cairan otak disertai radang yang
mengenai piameter (lapisan dalam selaput otak) dan arakhnoid serta
dalam derajat yang lebih ringan mengenai jaringan otak dan medula
spinalis yang superfisial.
Meningitis dibagi menjadi dua golongan berdasarkan
perubahan yang terjadi pada cairan otak yaitu meningitis serosa dan
meningitis purulenta. Meningitis serosa ditandai dengan jumlah sel
dan protein yang meninggi disertai cairan serebrospinal yang jernih.
Penyebab yang paling sering dijumpai adalah kuman Tuberculosis dan
virus. Meningitis purulenta atau meningitis bakteri adalah meningitis
yang bersifat akut dan menghasilkan eksudat berupa pus serta bukan
disebabkan oleh bakteri spesifik maupun virus. Meningitis
Meningococcus merupakan meningitis purulenta yang paling sering
terjadi.
Penularan kuman dapat terjadi secara kontak langsung dengan
penderita dan droplet infection yaitu terkena percikan ludah, dahak,
ingus, cairan bersin dan cairan tenggorok penderita. Saluran nafas
merupakan port dentree utama pada penularan penyakit ini. Bakteri-
bakteri ini disebarkan pada orang lain melalui pertukaran udara dari
pernafasan dan sekresi-sekresi tenggorokan yang masuk secara
hematogen (melalui aliran darah) ke dalam cairan serebrospinal dan
memperbanyak diri didalamnya sehingga menimbulkan peradangan
pada selaput otak dan otak.

2
2.2. Infectious Agent Meningitis
Meningitis dapat disebabkan oleh virus, bakteri, riketsia,
jamur, cacing dan protozoa. Penyebab paling sering adalah virus dan
bakteri. Meningitis yang disebabkan oleh bakteri berakibat lebih fatal
dibandingkan meningitis penyebab lain karena mekanisme kerusakan
dan gangguan otak yang disebabkan oleh bakteri maupun produk
bakteri lebih berat.
Infectious Agent meningitis purulenta mempunyai
kecenderungan pada golongan umur tertentu, yaitu golongan neonatus
paling banyak disebabkan oleh E.Coli, S.beta hemolitikus dan Listeria
monositogenes. Golongan umur dibawah 5 tahun (balita) disebabkan
oleh H.influenzae, Meningococcus dan Pneumococcus. Golongan
umur 5-20 tahun disebabkan oleh Haemophilus influenzae, Neisseria
meningitidis dan Streptococcus Pneumococcus, dan pada usia dewasa
(>20 tahun) disebabkan oleh Meningococcus, Pneumococcus,
Stafilocccus, Streptococcus dan Listeria.
Penyebab meningitis serosa yang paling banyak ditemukan
adalah kuman Tuberculosis dan virus. Meningitis yang disebabkan
oleh virus mempunyai prognosis yang lebih baik, cenderung jinak dan
bisa sembuh sendiri. Penyebab meningitis virus yang paling sering
ditemukan yaitu Mumpsvirus, Echovirus, dan Coxsackie virus ,
sedangkan Herpes simplex , Herpes zooster, dan enterovirus jarang
menjadi penyebab meningitis aseptik(viral).
2.3. Anatomi dan Fisiologi
Selaput Otak Otak dan sum-sum tulang belakang diselimuti
meningea yang melindungi struktur syaraf yang halus, membawa
pembuluh darah dan sekresi cairan serebrospinal. Meningea terdiri dari
tiga lapis, yaitu:
2.3.1. Lapisan Luar (Durameter)

3
Durameter merupakan tempat yang tidak kenyal yang
membungkus otak, sumsum tulang belakang, cairan serebrospinal dan
pembuluh darah. Durameter terbagi lagi atas durameter bagian luar
yang disebut selaput tulang tengkorak (periosteum) dan durameter
bagian dalam (meningeal) meliputi permukaan tengkorak untuk
membentuk falks serebrum, tentorium serebelum dan diafragma sella.
2.3.2. Lapisan Tengah (Arakhnoid)
Disebut juga selaput otak, merupakan selaput halus yang
memisahkan durameter dengan piameter, membentuk sebuah kantung
atau balon berisi cairan otak yang meliputi seluruh susunan saraf
pusat. Ruangan diantara durameter dan arakhnoid disebut ruangan
subdural yang berisi sedikit cairan jernih menyerupai getah bening.
Pada ruangan ini terdapat pembuluh darah arteri dan vena yang
menghubungkan sistem otak dengan meningen serta dipenuhi oleh
cairan serebrospinal.
2.3.3. Lapisan Dalam (Piameter)
Lapisan piameter merupakan selaput halus yang kaya akan
pembuluh darah kecil yang mensuplai darah ke otak dalam jumlah
yang banyak. Lapisan ini melekat erat dengan jaringan otak dan
mengikuti gyrus dari otak. Ruangan diantara arakhnoid dan piameter
disebut sub arakhnoid. Pada reaksi radang ruangan ini berisi sel
radang. Disini mengalir cairan serebrospinalis dari otak ke sumsum
tulang belakang.
2.4. Patofisiologi Meningitis
Meningitis pada umumnya sebagai akibat dari penyebaran
penyakit di organ atau jaringan tubuh yang lain. Virus / bakteri
menyebar secara hematogen sampai ke selaput otak, misalnya pada
penyakit Faringitis, Tonsilitis, Pneumonia, Bronchopneumonia dan
Endokarditis. Penyebaran bakteri/virus dapat pula secara
perkontinuitatum dari peradangan organ atau jaringan yang ada di

4
dekat selaput otak, misalnya Abses otak, Otitis Media, Mastoiditis,
Trombosis sinus kavernosus dan Sinusitis. Penyebaran kuman bisa
juga terjadi akibat trauma kepala dengan fraktur terbuka atau
komplikasi bedah otak.23 Invasi kuman-kuman ke dalam ruang
subaraknoid menyebabkan reaksi radang pada pia dan araknoid, CSS
(Cairan Serebrospinal) dan sistem ventrikulus.
Mula-mula pembuluh darah meningeal yang kecil dan sedang
mengalami hiperemi; dalam waktu yang sangat singkat terjadi
penyebaran sel-sel leukosit polimorfonuklear ke dalam ruang
subarakhnoid, kemudian terbentuk eksudat. Dalam beberapa hari
terjadi pembentukan limfosit dan histiosit dan dalam minggu kedua
selsel plasma. Eksudat yang terbentuk terdiri dari dua lapisan, bagian
luar mengandung leukosit polimorfonuklear dan fibrin sedangkan di
lapisaan dalam terdapat makrofag.
Proses radang selain pada arteri juga terjadi pada vena-vena di
korteks dan dapat menyebabkan trombosis, infark otak, edema otak
dan degenerasi neuronneuron. Trombosis serta organisasi eksudat
perineural yang fibrino-purulen menyebabkan kelainan kraniales. Pada
Meningitis yang disebabkan oleh virus, cairan serebrospinal tampak
jernih dibandingkan Meningitis yang disebabkan oleh bakteri.
2.5. Gejala Klinis Meningitis
Meningitis ditandai dengan adanya gejala-gejala seperti panas
mendadak, letargi, muntah dan kejang. Diagnosis pasti ditegakkan
dengan pemeriksaan cairan serebrospinal (CSS) melalui pungsi
lumbal. Meningitis karena virus ditandai dengan cairan serebrospinal
yang jernih serta rasa sakit penderita tidak terlalu berat. Pada
umumnya, meningitis yang disebabkan oleh Mumpsvirus ditandai
dengan gejala anoreksia dan malaise, kemudian diikuti oleh
pembesaran kelenjer parotid sebelum invasi kuman ke susunan saraf
pusat. Pada meningitis yang disebabkan oleh Echovirus ditandai

5
dengan keluhan sakit kepala, muntah, sakit tenggorok, nyeri otot,
demam, dan disertai dengan timbulnya ruam makopapular yang tidak
gatal di daerah wajah, leher, dada, badan, dan ekstremitas. Gejala yang
tampak pada meningitis Coxsackie virus yaitu tampak lesi vasikuler
pada palatum, uvula, tonsil, dan lidah dan pada tahap lanjut timbul
keluhan berupa sakit kepala, muntah, demam, kaku leher, dan nyeri
punggung.
Meningitis bakteri biasanya didahului oleh gejala gangguan
alat pernafasan dan gastrointestinal. Meningitis bakteri pada neonatus
terjadi secara akut dengan gejala panas tinggi, mual, muntah,
gangguan pernafasan, kejang, nafsu makan berkurang, dehidrasi dan
konstipasi, biasanya selalu ditandai dengan fontanella yang
mencembung. Kejang dialami lebih kurang 44 % anak dengan
penyebab Haemophilus influenzae, 25 % oleh Streptococcus
pneumoniae, 21 % oleh Streptococcus, dan 10 % oleh infeksi
Meningococcus. Pada anak-anak dan dewasa biasanya dimulai dengan
gangguan saluran pernafasan bagian atas, penyakit juga Universitas
Sumatera Utara bersifat akut dengan gejala panas tinggi, nyeri kepala
hebat, malaise, nyeri otot dan nyeri punggung. Cairan serebrospinal
tampak kabur, keruh atau purulen.
Meningitis Tuberkulosa terdiri dari tiga stadium, yaitu stadium
I atau stadium prodormal selama 2-3 minggu dengan gejala ringan dan
nampak seperti gejala infeksi biasa. Pada anak-anak, permulaan
penyakit bersifat subakut, sering tanpa demam, muntah-muntah, nafsu
makan berkurang, murung, berat badan turun, mudah tersinggung,
cengeng, opstipasi, pola tidur terganggu dan gangguan kesadaran
berupa apatis. Pada orang dewasa terdapat panas yang hilang timbul,
nyeri kepala, konstipasi, kurang nafsu makan, fotofobia, nyeri
punggung, halusinasi, dan sangat gelisah.

6
Stadium II atau stadium transisi berlangsung selama 1 3
minggu dengan gejala penyakit lebih berat dimana penderita
mengalami nyeri kepala yang hebat dan kadang disertai kejang
terutama pada bayi dan anak-anak. Tanda-tanda rangsangan meningeal
mulai nyata, seluruh tubuh dapat menjadi kaku, terdapat tanda-tanda
peningkatan intrakranial, ubun-ubun menonjol dan muntah lebih
hebat.
Stadium III atau stadium terminal ditandai dengan kelumpuhan
dan gangguan kesadaran sampai koma. Pada stadium ini penderita
dapat meninggal dunia dalam waktu tiga minggu bila tidak mendapat
pengobatan sebagaimana mestinya.
2.6. Pemeriksaan Rangsangan Meningeal
2.6.1. Pemeriksaan Kaku Kuduk
Pasien berbaring terlentang dan dilakukan pergerakan pasif
berupa fleksi dan rotasi kepala. Tanda kaku kuduk positif (+) bila
didapatkan kekakuan dan tahanan pada pergerakan fleksi kepala
disertai rasa nyeri dan spasme otot. Dagu tidak dapat disentuhkan ke
dada dan juga didapatkan tahanan pada hiperekstensi dan rotasi
kepala.
2.6.2. Pemeriksaan Tanda Kernig
Pasien berbaring terlentang, tangan diangkat dan dilakukan
fleksi pada sendi panggul kemudian ekstensi tungkai bawah pada
sendi lutut sejauh mengkin tanpa rasa nyeri. Tanda Kernig positif (+)
bila ekstensi sendi lutut tidak mencapai sudut 135 (kaki tidak dapat di
ekstensikan sempurna) disertai spasme otot paha biasanya diikuti rasa
nyeri.
2.6.3. Pemeriksaan Tanda Brudzinski I ( Brudzinski Leher)
Pasien berbaring terlentang dan pemeriksa meletakkan tangan
kirinya dibawah kepala dan tangan kanan diatas dada pasien kemudian
dilakukan fleksi kepala dengan cepat kearah dada sejauh mungkin.

7
Tanda Brudzinski I positif (+) bila pada pemeriksaan terjadi fleksi
involunter pada leher.
2.6.4. Pemeriksaan Tanda Brudzinski II ( Brudzinski Kontra Lateral
Tungkai)
Pasien berbaring terlentang dan dilakukan fleksi pasif paha
pada sendi panggul (seperti pada pemeriksaan Kernig). Tanda
Brudzinski II positif (+) bila pada pemeriksaan terjadi fleksi involunter
pada sendi panggul dan lutut kontralateral.

2.7. Pemeriksaan Penunjang Meningitis


2.7.1. Pemeriksaan Pungsi Lumbal
Lumbal pungsi biasanya dilakukan untuk menganalisa jumlah
sel dan protein cairan cerebrospinal, dengan syarat tidak ditemukan
adanya peningkatan tekanan intrakranial.
a. Pada Meningitis Serosa terdapat tekanan yang bervariasi,
cairan jernih, sel darah putih meningkat, glukosa dan protein normal,
kultur (-).
b. Pada Meningitis Purulenta terdapat tekanan meningkat,
cairan keruh, jumlah sel darah putih dan protein meningkat, glukosa
menurun, kultur (+) beberapa jenis bakteri.
2.7.2. Pemeriksaan darah
Dilakukan pemeriksaan kadar hemoglobin, jumlah leukosit,
Laju Endap Darah (LED), kadar glukosa, kadar ureum, elektrolit dan
kultur.
a. Pada Meningitis Serosa didapatkan peningkatan leukosit
saja. Disamping itu, pada Meningitis Tuberkulosa didapatkan juga
peningkatan LED.
b. Pada Meningitis Purulenta didapatkan peningkatan leukosit.
2.7.3. Pemeriksaan Radiologis

8
a. Pada Meningitis Serosa dilakukan foto dada, foto kepala,
bila mungkin dilakukan CT Scan.
b. Pada Meningitis Purulenta dilakukan foto kepala (periksa
mastoid, sinus paranasal, gigi geligi) dan foto dada.
2.8 Epidemilogi Meningitis
2.8.1. Distribusi Frekuensi Meningitis
a. Orang/ Manusia Umur dan daya tahan tubuh sangat mempengaruhi
terjadinya meningitis. Penyakit ini lebih banyak ditemukan pada laki-
laki dibandingkan perempuan dan distribusi terlihat lebih nyata pada
bayi. Meningitis purulenta lebih sering terjadi pada bayi dan anak-
anak karena sistem kekebalan tubuh belum terbentuk
sempurna.Puncak insidensi kasus meningitis karena Haemophilus
influenzae di negara berkembang adalah pada anak usia kurang dari 6
bulan, sedangkan di Amerika Serikat terjadi pada anak usia 6-12
bulan. Sebelum tahun 1990 atau sebelum adanya vaksin untuk
Haemophilus influenzae tipe b di Amerika Serikat, kira-kira 12.000
kasus meningitis Hib dilaporkan terjadi pada umur < 5 tahun.9
Insidens Rate pada usia < 5 tahun sebesar 40-100 per 100.000.7
Setelah 10 tahun penggunaan vaksin, Insidens Rate menjadi 2,2 per
100.000.9 Di Uganda (2001-2002) Insidens Rate meningitis Hib pada
usia < 5 tahun sebesar 88 per 100.000.28 b. Tempat Risiko penularan
meningitis umumnya terjadi pada keadaan sosio-ekonomi rendah,
lingkungan yang padat (seperti asrama, kamp-kamp tentara dan
jemaah haji), dan penyakit ISPA.
Penyakit meningitis banyak terjadi pada negara yang sedang
berkembang dibandingkan pada negara maju. 27 Insidensi tertinggi
terjadi di daerah yang disebut dengan the African Meningitis belt,
yang luas wilayahnya membentang dari Senegal sampai ke Ethiopia
meliputi 21 negara. Kejadian penyakit ini terjadi secara sporadis
dengan Insidens Universitas Sumatera Utara Rate 1-20 per 100.000

9
penduduk dan diselingi dengan KLB besar secara periodik.9 Di daerah
Malawi, Afrika pada tahun 2002 Insidens Rate meningitis yang
disebabkan oleh Haemophilus influenzae 20-40 per 100.000
penduduk.29 c. Waktu Kejadian meningitis lebih sering terjadi pada
musim panas dimana kasuskasus infeksi saluran pernafasan juga
meningkat. Di Eropa dan Amerika utara insidensi infeksi
Meningococcus lebih tinggi pada musim dingin dan musim semi
sedangkan di daerah Sub-Sahara puncaknya terjadi pada musim
kering. 10 Meningitis karena virus berhubungan dengan musim, di
Amerika sering terjadi selama musim panas karena pada saat itu orang
lebih sering terpapar agen pengantar virus. Di Amerika Serikat pada
tahun 1981 Insidens Rate meningitis virus sebesar 10,9 per 100.000
Penduduk dan sebagian besar kasus terjadi pada musim panas.
2.8.2. Determinan Meningitis
a. Host/ Pejamu Meningitis yang disebabkan oleh
Pneumococcus paling sering menyerang bayi di bawah usia dua
tahun.7 Meningitis yang disebabkan oleh bakteri Pneumokokus 3,4
kali lebih besar pada anak kulit hitam dibandingkan yang berkulit
putih.27 Meningitis Tuberkulosa dapat terjadi pada setiap kelompok
umur tetapi lebih sering terjadi pada anak-anak usia 6 bulan sampai 5
tahun dan jarang pada usia di bawah 6 bulan kecuali bila angka
kejadian Tuberkulosa paru sangat tinggi. Diagnosa pada anak-anak
ditandai dengan test Mantoux positif dan terjadinya gejala meningitis
setelah beberapa hari mendapat suntikan BCG.
Penelitian yang dilakukan oleh Nofareni(1997-2000) di RSUP
H.Adam Malik menemukan odds ratio anak yang sudah mendapat
imunisasi BCG untuk menderita meningitis Tuberculosis sebesar
0,2.32 Penelitian yang dilakukan oleh Ainur Rofiq (2000) di Rumah
Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) mengenai daya lindung vaksin
TBC terhadap meningitis Tuberculosis pada anak menunjukkan

10
penurunan resiko terjadinya meningitis Tb pada anak sebanyak 0,72
kali bila penderita diberi BCG dibanding dengan penderita yang tidak
pernah diberikan BCG. Meningitis serosa dengan penyebab virus
terutama menyerang anak-anak dan dewasa muda (12-18 tahun).
Meningitis virus dapat terjadi waktu orang menderita campak,
Gondongan (Mumps) atau penyakit infeksi virus lainnya. Meningitis
Mumpsvirus sering terjadi pada kelompok umur 5-15 tahun dan lebih
banyak menyerang laki-laki daripada perempuan. Penelitian yang
dilakukan di Korea (Lee,2005) , menunjukkan resiko laki-laki untuk
menderita meningitis dua kali lebih besar dibanding perempuan.30
b. Agent Penyebab meningitis secara umum adalah bakteri dan
virus. Meningitis purulenta paling sering disebabkan oleh
Meningococcus, Pneumococcus dan Haemophilus influenzae
sedangkan meningitis serosa disebabkan oleh Mycobacterium
tuberculosa dan virus. 3 Bakteri Pneumococcus adalah salah satu
penyebab meningitis terparah. Sebanyak 20-30 % pasien meninggal
akibat meningitis hanya dalam waktu 24 jam. Angka kematian
terbanyak pada bayi dan orang lanjut usia. Meningococcus yang sering
mewabah di kalangan jemaah haji dan dapat menyebabkan karier
disebabkan oleh Neisseria meningitidis serogrup A,B,C,X,Y,Z dan W
135. Grup A,B dan C sebagai penyebab 90% dari penderita.
Di Eropa dan Amerika Latin, grup B dan C sebagai penyebab
utama sedangkan di Afrika dan Asia penyebabnya adalah grup A.17
Wabah meningitis Meningococcus yang terjadi di Arab Saudi selama
ibadah haji tahun 2000 menunjukkan bahwa 64% merupakan
serogroup W135 dan 36% serogroup A. Hal ini merupakan wabah
meningitis Meningococcus terbesar pertama di dunia yang disebabkan
oleh serogroup W135. Secara epidemiologi serogrup A,B,dan C paling
banyak menimbulkan penyakit.20 Meningitis karena virus termasuk
penyakit yang ringan. Gejalanya mirip sakit flu biasa dan umumnya

11
penderita dapat sembuh sendiri. Pada waktu terjadi KLB Mumps,
virus ini diketahui sebagai penyebab dari 25 % kasus meningitis
aseptik pada orang yang tidak diimunisasi. Virus Coxsackie grup B
merupakan penyebab dari 33 % kasus meningitis aseptik, Echovirus
dan Enterovirus merupakan penyebab dari 50 % kasus. 9 Resiko untuk
terkena aseptik meningitis pada laki-laki 2 kali lebih sering dibanding
perempuan.30 c. Lingkungan Faktor Lingkungan (Environment) yang
mempengaruhi terjadinya meningitis bakteri yang disebabkan oleh
Haemophilus influenzae tipe b adalah lingkungan dengan kebersihan
yang buruk dan padat dimana terjadi kontak atau hidup serumah
dengan penderita infeksi saluran pernafasan.
Risiko penularan meningitis Meningococcus juga meningkat
pada lingkungan yang padat seperti asrama, kampkamp tentara dan
jemaah haji.17 Pada umumnya frekuensi Mycobacterium tuberculosa
selalu sebanding dengan frekuensi infeksi Tuberculosa paru. Jadi
dipengaruhi keadaan sosial ekonomi dan kesehatan masyarakat.
Penyakit ini kebanyakan terdapat pada penduduk dengan keadaan
sosial ekonomi rendah, lingkungan kumuh dan padat, serta tidak
mendapat imunisasi.
Meningitis karena virus berhubungan dengan musim, di
Amerika sering terjadi selama musim panas karena pada saat itu orang
lebih sering terpapar agen pengantar virus. Lebih sering dijumpai pada
anak-anak daripada orang dewasa. Kebanyakan kasus dijumpai setelah
infeksi saluran pernafasan bagian atas.
2.9. Prognosis
Meningitis Prognosis meningitis tergantung kepada umur,
mikroorganisme spesifik yang menimbulkan penyakit, banyaknya
organisme dalam selaput otak, jenis meningitis dan lama penyakit
sebelum diberikan antibiotik. Penderita usia neonatus, anak-anak dan

12
dewasa tua mempunyai prognosis yang semakin jelek, yaitu dapat
menimbulkan cacat berat dan kematian.
Pengobatan antibiotika yang adekuat dapat menurunkan
mortalitas meningitis purulenta, tetapi 50% dari penderita yang
selamat akan mengalami sequelle (akibat sisa). Lima puluh persen
meningitis purulenta mengakibatkan kecacatan seperti ketulian,
keterlambatan berbicara dan gangguan perkembangan mental, dan 5
10% penderita mengalami kematian.35 Universitas Sumatera Utara
Pada meningitis Tuberkulosa, angka kecacatan dan kematian pada
umumnya tinggi. Prognosa jelek pada bayi dan orang tua. Angka
kematian meningitis TBC dipengaruhi oleh umur dan pada stadium
berapa penderita mencari pengobatan. Penderita dapat meninggal
dalam waktu 6-8 minggu.3 Penderita meningitis karena virus biasanya
menunjukkan gejala klinis yang lebih ringan,penurunan kesadaran
jarang ditemukan. Meningitis viral memiliki prognosis yang jauh lebih
baik. Sebagian penderita sembuh dalam 1 2 minggu dan dengan
pengobatan yang tepat penyembuhan total bisa terjadi.
2.10. Pencegahan Meningitis
a. Pencegahan Primer Tujuan pencegahan primer adalah
mencegah timbulnya faktor resiko meningitis bagi individu yang
belum mempunyai faktor resiko dengan melaksanakan pola hidup
sehat. Pencegahan dapat dilakukan dengan memberikan imunisasi
meningitis pada bayi agar dapat membentuk kekebalan tubuh. Vaksin
yang dapat diberikan seperti Haemophilus influenzae type b (Hib),
Pneumococcal conjugate vaccine (PCV7), Pneumococcal
polysaccaharide vaccine (PPV), Meningococcal conjugate vaccine
(MCV4), dan MMR (Measles dan Rubella). Imunisasi Hib Conjugate
vaccine (HbOC atau PRP-OMP) dimulai sejak usia 2 bulan dan dapat
digunakan bersamaan dengan jadwal imunisasi lain seperti DPT, Polio
dan MMR.20 Vaksinasi Hib dapat melindungi bayi dari kemungkinan

13
terkena meningitis Hib hingga 97%. Pemberian imunisasi vaksin Hib
yang telah direkomendasikan oleh WHO, pada bayi 2-6 bulan
sebanyak 3 dosis dengan interval satu bulan, bayi 7-12 bulan di
berikan 2 dosis dengan interval waktu satu bulan, anak 1-5 tahun
cukup diberikan satu dosis. Jenis imunisasi ini tidak dianjurkan
diberikan pada bayi di bawah 2 bulan karena dinilai belum dapat
membentuk antibodi.5,37 Meningitis Meningococcus dapat dicegah
dengan pemberian kemoprofilaksis (antibiotik) kepada orang yang
kontak dekat atau hidup serumah dengan penderita.Vaksin yang
dianjurkan adalah jenis vaksin tetravalen A, C, W135 dan Y.35
meningitis TBC dapat dicegah dengan meningkatkan sistem kekebalan
tubuh dengan cara memenuhi kebutuhan gizi dan pemberian imunisasi
BCG. Hunian sebaiknya memenuhi syarat kesehatan, seperti tidak
over crowded (luas lantai > 4,5 m2 /orang), ventilasi 10 20% dari
luas lantai dan pencahayaan yang cukup.32 Pencegahan juga dapat
dilakukan dengan cara mengurangi kontak langsung dengan penderita
dan mengurangi tingkat kepadatan di lingkungan perumahan dan di
lingkungan seperti barak, sekolah, tenda dan kapal. Meningitis juga
dapat dicegah dengan cara meningkatkan personal hygiene seperti
mencuci tangan yang bersih sebelum makan dan setelah dari toilet.
b. Pencegahan Sekunder Pencegahan sekunder bertujuan
untuk menemukan penyakit sejak awal, saat masih tanpa gejala
(asimptomatik) dan saat pengobatan awal dapat menghentikan
perjalanan penyakit. Pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan
diagnosis dini dan pengobatan segera. Deteksi dini juga dapat
ditingkatan dengan mendidik petugas kesehatan serta keluarga untuk
mengenali gejala awal meningitis.
Dalam mendiagnosa penyakit dapat dilakukan dengan
pemeriksaan fisik, pemeriksaan cairan otak, pemeriksaan laboratorium
yang meliputi test darah dan pemeriksaan X-ray (rontgen) paru .23

14
Selain itu juga dapat dilakukan surveilans ketat terhadap anggota
keluarga penderita, rumah penitipan anak dan kontak dekat lainnya
untuk menemukan penderita secara dini.10 Penderita juga diberikan
pengobatan dengan memberikan antibiotik yang sesuai dengan jenis
penyebab meningitis yaitu : 23 b.1. Meningitis Purulenta b.1.1.
Haemophilus influenzae b : ampisilin, kloramfenikol, setofaksim,
seftriakson. b.1.2. Streptococcus pneumonia : kloramfenikol ,
sefuroksim, penisilin, seftriakson. b.1.3. Neisseria meningitidies :
penisilin, kloramfenikol, serufoksim dan seftriakson. b.2. Meningitis
Tuberkulosa (Meningitis Serosa) Kombinasi INH, rifampisin, dan
pyrazinamide dan pada kasus yang berat dapat ditambahkan etambutol
atau streptomisin. Kortikosteroid berupa prednison digunakan sebagai
anti inflamasi yang dapat menurunkan tekanan intrakranial dan
mengobati edema otak.
c. Pencegahan Tertier Pencegahan tertier merupakan aktifitas
klinik yang mencegah kerusakan lanjut atau mengurangi komplikasi
setelah penyakit berhenti. Pada tingkat pencegahan ini bertujuan untuk
menurunkan kelemahan dan kecacatan akibat meningitis, dan
membantu penderita untuk melakukan penyesuaian terhadap
kondisikondisi yang tidak diobati lagi, dan mengurangi kemungkinan
untuk mengalami dampak neurologis jangka panjang misalnya tuli
atau ketidakmampuan untuk Fisioterapi dan rehabilitasi juga diberikan
untuk mencegah dan mengurangi cacat.

15
BAB 3
KESIMPULAN

Meningitis bakteri merupakan infeksi sistem saraf pusat (SSP),


terutama menyerang anak usia < 2 tahun, dengan puncak angka
kejadian pada usia 6-18 bulan Penyakit ini diperkirakan mencapai 1,2
juta kasus tiap tahunnya dengan tingkat mortalitas pasien berkisar
antara 2% - 30% di seluruh dunia.
Meningitis adalah infeksi cairan otak disertai radang yang
mengenai piameter (lapisan dalam selaput otak) dan arakhnoid serta
dalam derajat yang lebih ringan mengenai jaringan otak dan medula
spinalis yang superficial
Meningitis dibagi menjadi dua golongan berdasarkan
perubahan yang terjadi pada cairan otak yaitu meningitis serosa dan
meningitis purulenta. Meningitis serosa ditandai dengan jumlah sel
dan protein yang meninggi disertai cairan serebrospinal yang jernih.
Penyebab yang paling sering dijumpai adalah kuman Tuberculosis dan
virus. Meningitis purulenta atau meningitis bakteri adalah meningitis
yang bersifat akut dan menghasilkan eksudat berupa pus serta bukan
disebabkan oleh bakteri spesifik maupun virus. Meningitis
Meningococcus merupakan meningitis purulenta yang paling sering
terjadi.
Penularan kuman dapat terjadi secara kontak langsung dengan
penderita dan droplet infection yaitu terkena percikan ludah, dahak,
ingus, cairan bersin dan cairan tenggorok penderita. Saluran nafas
merupakan port dentree utama pada penularan penyakit ini.

16
DAFTAR PUSTAKA
1. Ropper AH, Brown RH. Adam and Victors principles of
neurology. 8th ed. New York: McGraw-Hill; 2005.
2. Clarke C, Howard R, Rossor M, Shorvon S. Neurology: A queen
square textbook. London: Blackwell Publishing; 2009.
3. Shay K. Infectious complications of dental and periodontal diseases
in elderly populations. Clinical Infectious Diseases 2002;34:1215-23.
4. Van De Beek D, De Gans J, Tunkel AR, Wijdicks EFM.
Community-acquired bacterial meningitis in adults. N Eng J Med.
2006;354:44-53.
5. Brouwer M, Van De Beek D, Thwaites G. Dilemmas in the
diagnosis of bacterial meningitis. Lancet 2012;380:1684-92.
6. Tunkel AR, Hartman BJ, Kaplan SL, Kaufman BA, Roos KL.
Practice guidelines for management of bacterial meningitis. Clinical
Infectious Diseases 2004;39:1267-84.
7. Van De Beek D, Brouwer M, Thwaites G. Advances in treatment of
bacterial meningitis. Lancet 2012;380:1693-702.
8. Bhimraj A. Acute community-acquired bacterial meningitis in
adults: An evidence-based review. Clev Clin J of Med. 2012;79:393-
400.
9. Pokdi Neuroinfeksi Perdossi. Neuroinfeksi. Surabaya: Airlangga
University Press; 2012.
10. Van De Beek D, Farrar J, Gans J, Mai NTH, Tuan PQ,
Zwinderman AH. Adjunctive dexamethasone in bacterial meningitis:
A meta-analysis of individual patient data. Lancet Neurol. 2010;9:254-
63.
11. Fernandes D, Pereira J, Silvestre J, Bento L. Acute bacterial
meningitis in the intensive care unit and risk factors for clinical
outcomes: Retrospective study. J Crit Care 2014;29:347-50.

17
12. Singh N, Rieder MJ, Tucker MJ. Mechanisms of glucocorticoid-
mediated antiinfl ammatory and immunosuppresive action. Paed
Perinatal Drug Ther. 2004;6:107-15.
13. Brunton LL, Lazo JS, Parker KL. Goodman & Gilmans the
pharmacological basis of therapeutics. 11th ed. New York: McGraw-
Hill; 2006.
14. Liu D, Ahmet A, Ward L, Krishnamoorthy P, Mandelcorn ED,
Leigh R, et al. A practical guide to the monitoring and management of
the complications of systemic corticosteroid therapy. Allergy, Asthma
& Clinical Immunology 2013;9:1-25.
15. Hsu D, Katelaris C. Long-term management of patients taking
immunosuppresive drugs. Aust Prescr. 2009;32:68-71.
16. Saag KG, Teng GG, Patkar NM, Anuntiyo J, Finney C, Curtis JR.
American college of rheumatology 2008 recommendations for the use
of nonbiologic and biologic disease-modifying antirheumatic drugs in
rheumatoid arthritis. Arthritis Rheum. 2008;59:762-8

18

You might also like