You are on page 1of 98

DEVISI STROKE

STROKE ISKEMIK
DEFINISI
Stroke adalah suatu episode disfungsi neurologis akut yang diduga disebabkan oleh
iskemik atau hemoragik, menetap 24 jam atau sampai kematian, tetapi tanpa bukti yang
cukup untuk diklasifikasikan.
Stroke iskemik adalah suatu episode disfungsi neurologis akut yang disebabkan oleh
infark fokal dari serebral, spinal atau retinal.
Infark susunan saraf pusat adalah kematian sel dari otak, medula spinalis atau retina yang
disebabkan oleh iskemia, berdasarkan pada:
1. Patologik, imejing atau bukti objektif lainnya dari iskemik fokal serebral, medula
spinalis atau retina pada distribusi vaskular yang terbatas
2. Bukti klinis dari iskemik fokal serebral, medula spinalis atau retina berdasarkan gejala
yang menetap 24 jam atau sampai kematian dan penyebab lain telah dieksklusikan
(termasuk infark hemoragik)
Infark susunan saraf pusat terselubung (silent) adalah bukti imejing atau neuropatologik
dari infark susunan saraf pusat, tanpa riwayat disfungsi neurologis akut sesuai dengan
letak lesi.
Serangan iskemik sepintas (transient ischemic attack) adalah suatu episode disfungsi
neurologis sepintas yang disebabkan oleh iskemik fokal dari otak, medula spinalis atau
retina tanpa infark akut.

ANAMNESIS
Pada anamnesis ditanyakan apakah defisit neurologis yang terjadi secara tibatiba;
lamanya (onset serangan); terjadi saat aktifitas atau istirahat; adanya riwayat kesadaran
menurun/ terganggu, nyeri kepala, muntah proyektil atau kejang; adanya riwayat hipertensi
(faktor risiko stroke lainnya seperti merokok, diabetes melitus, sakit jantung, dislipidemia);
dan apakah merupakan serangan pertama atau ulangan.

PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum, kesadaran (Glasgow Coma Scale (GCS)/ kuantitas/ kualitas
kesadaran), tanda vital, status generalisata dan status neurologis (dijumpai defisit neurologis).
Alat bantu scoring (skala) :

1
Siriraj Stroke Score (SSS)
Algoritme Stroke Gajah Mada (ASGM)

KRITERIA DIAGNOSTIK
Anamnesis
Pemeriksaan fisik (neurologis dan umum)
Pemeriksaan penunjang: laboratorium, neuroimejing (CT Scan tanpa kontras (Gold
Standard), MRI, MRA, DSA) dan pemeriksaan penunjang lainnya
Diagnosa stroke iskemik dapat ditegakkan oleh seorang spesialis saraf dari anamnese dan
pemeriksaan fisik neurologis dengan atau tanpa kelainan pemeriksaan Head CT Scan.

DIAGNOSIS BANDING
1. Stroke hemoragik
2. Ensefalopati toksik atau metabolik
3. Kelainan non neurologis/ fungsional (contoh: kelainan jiwa )
4. Bangkitan epilepsi yang disertai paresis Todds
5. Migren hemiplegik
6. Lesi struktural intrakranial (hematoma subdural, tumor otak, AVM)
7. Infeksi: ensefalitis, abses otak.
8. Trauma kepala
9. Ensefalopati hipertensif
10. Sklerosis multipel.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan laboratorium:
Dilakukan pemeriksaan darah perifer lengkap (DPL), gula darah sewaktu (GDS),
fungsi ginjal (ureum, kreatinin dan asam urat), fungsi hati (SGOT dan SGPT), profil lipid
(kolesterol, trigliserida, HDL, LDL), faal hemostasis, dan pemeriksaan lainnya atas indikasi
seperti elektrolit, analisa gas darah, protein darah (albumin, globulin), dan lain-lain.

Radiologis
Pemeriksaan Rontgen dada
Brain CT-Scan tanpa kontras (Gold Standard):
Hasil dapat normal pada 72 jam pertama dari awitan (sehingga dapat dilakukan
pengulangan Head CT Scan setelah 72 jam awitan).

2
Jika pengulangan Head CT Scan setelah 72 jam awitan hasil tetap normal, hal ini
dapat dikarenakan infark lakunar (tidak terdeteksi oleh CT Scan), disarankan
dilakukan MRI Brain yang lebih sensitif.
Head CT Scan harus dilakukan sebelum 72 jam awitan (tidak menunggu setelah
72 jam awitan stroke) untuk penguat diagnosa dan menyingkirkan diagnosa stroke
hemoragik, sehingga dapat diberikan trombolisis (sesuai protokol) dan atau anti
platelet dan atau antikoagulan dengan aman.
Magnetic Resonance Imaging (MRI) kepala
Digital Substraction Angiography (DSA) ==> lihat protokol
Transcranial Doppler (TCD)
Carotid Doppler (USG Carotis)

Pemeriksaan penunjang lain :


Elektrokardiografi
Echocardiography (TTE dan atau TEE)

TERAPI
A. Penatalaksanaan umum
Ditujukan terhadap fungsi vital: paru paru, jantung, ginjal, keseimbangan cairan dan
elektrolit, gizi serta higiene.

B. Penatalaksanaan khusus
Anti agregasi platelet :
aspirin 325 mg dalam 24-48 jam setelah awitan stroke per oral atau rektal atau
melalui selang enteral jika disfagia.
aspirin 300 mg dalam 24 jam awitan dilanjutkan selama 2 minggu per oral atau
rektal atau selang enteral jika disfagia
pasien dengan riwayat dispespsia yang berkaitan dengan aspirin dapat diberikan
penghambat pompa proton seperti omeprazol, lansoprazol, esomesoprazol, dll
pasien yang alergi atau sama sekali tidak toleransi dengan aspirin harus
diberikan antiplatelet alternatif :
o klopidogrel 75 mg per oral sekali sehari
o silostazol 100 mg per oral dua kali sehari
kombinasi: (aspirin 325 mg + dipiridamol SR 200 mg) dua kali sehari atau
(aspirin 80 325 mg + klopidogrel 75 mg) dua kali sehari ==> pada pasien
dengan indikasi spesifik, misalnya angina pektoris tidak stabil, non Q wave
miocard infarct atau recent stenting, pengobatan harus diberikan sampai 9 bulan
setelah kejadian.

3
Trombolitik : rt-PA (harus memenuhi kriteria inklusi) ==> lihat protokol rtPA
Antikoagulan : heparin, LMWH, warfarin, debigatran (untuk stroke emboli) ==>
lihat pedoman pemberian antikoagulan pada stroke iskemik (karena emboli)
Neuroprotektan : pada stroke iskemik akut ==> citicholine 2 x 1000 mg IV 3 hari
dan dilanjutkan oral 2 x 1000 mg selama 3 minggu.
Pengendalian kejang :
Bila kejang: diazepam bolus lambat IV 5-20 mg dan diikuti fenitoin loading
dose 15-20 mg/kg bolus dengan kecepatan maksimum 50 mg/menit ==> jika
kejang belum teratasi maka perlu dirawat di instalasi perawatan intensif.
Pemberian antikonvulsan profilaksis pada penderita stroke iskemik tanpa kejang
tidak dianjurkan (AHA/ASA, Class III, Level of Evidence C).

C. Terapi komplikasi :
1. Penatalaksanaan peningkatan tekanan intrakranial
Tinggikan posisi kepala 20-300 dan hindarkan posisi pasien yang dapat menyebabkan
penekanan vena jugularis
Hindari pemberian cairan glukosa atau hipotonik, hipertermia dan jaga normovolemia
Pemberian osmoterapi:
Manitol 20% 0,25-0,5 gr/kgBB selama > 20 menit, diulangi setiap 4-6 jam dengan
target 310 mOsm/L. Osmolalitas sebaiknya diperiksa 2 kali dalam sehari selama
pemberian osmoterapi
Kalau perlu, berikan furosemid dengan dosis inisial 1 mg/kgBB IV.
Pemberian NaCl 3% dapat dipertimbangkan untuk pasien dengan kontraindikasi
pemberian Manitol 20%.
Kortikosteroid tidak direkomendasikan untuk mengatasi edema otak dan tekanan tinggi
intrakranial pada stroke iskemik tetapi dapat diberikan kalau diyakini tidak ada
kontraindikasi. (AHA/ASA, Class III, Level of evidence A)
Intubasi untuk menjaga normoventilasi (pCO2 35-40 mmHg). Hiperventilasi mungkin
diperlukan bila akan dilakukan tindakan operatif.
Paralisis neuromuskular yang dikombinasi dengan sedasi yang adekuat dapat
mengurangi naiknya tekanan intrakranial dengan cara mengurangi naiknya tekanan
intratorakal dan tekanan vena akibat batuk, suction, bucking ventilator (AHA/ASA,
Class III-V, Level of evidence C). Agen nondepolarized seperti vencuronium atau
pancuronium yang sedikit berefek pada histamin dan blok pada ganglion lebih baik
digunakan (AHA/ASA, Class III-V, Level of evidence C). Pasien dengan kenaikan kritis
tekanan intrakranial sebaiknya diberikan relaksan otot sebelum suctioning atau lidokain
sebagai alternatif.

4
Drainase ventrikular dianjurkan pada hidrosefalus akut akibat stroke iskemik serebelar.
(AHA/ASA, Class I, Level of evidence B)
Tindakan bedah dekompresif pada keadaan iskemik serebelar yang menimbulkan efek
massa, merupakan tindakan yang dapat menyelamatkan nyawa dan memberikan hasil
yang baik. (AHA/ASA, Class I, Level of evidence B)
2. Antibiotika, antidepresan: atas indikasi
3. Anti trombosis vena dalam dan emboli paru

D. Penatalaksanaan faktor risiko :


1. Antihipertensi : fase akut stroke dengan persyaratan tertentu ==> lihat pedoman
pengelolaan hipertensi pada stroke akut
2. Antidiabetika : fase akut stroke dengan persyaratan tertentu ==> lihat pedoman
hiperglikemi pada stroke akut
3. Antidislipidemia : atas indikasi ==> lihat pedoman pengendalian faktor risiko stroke

E. Terapi Nonfarmaka
1. Operatif. 3. Neurorestorasi (dalam fase akut) dan rehabilitasi medik.
2. Phlebotomi 4. Edukasi
EDUKASI
Memberikan penjelasan kepada pasien dan keluarga meliputi pengertian, faktor risiko,
tanda dan gejala, cara merawat pasien stroke di rumah, nutrisi, serta apa yang harus dilakukan
pasien dan keluarga untuk mencegah terulangnya stroke.

PROGNOSIS
Ad Vitam : tergantung berat stroke dan komplikasi yang timbul.
Ad Functionam : penelitian dengan parameter Activity Daily Living (Barthel Index) dan
NIH Stroke Scale (NIHSS)
Risiko kecacatan dan ketergantungan fisik/ kognitif setelah 1 tahun: 20 30 %

KEPUSTAKAAN
Guideline Stroke Tahun 2011. 2011. Jakarta. Kelompok Studi Stroke, Perhimpunan Dokter
Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI).
Jauch EC, Saver JL, Adams HP, Bruno A, Connors JJ, Demaerschalk BM, et al. 2013.
Guidelines for the Early Management of Patients With Acute Ischemic Stroke: A
Guideline for Healthcare Professionals From the American Heart
Association/American Stroke Association. Stroke;44:XXX-XXX.

5
Misbach J, Hamid AB, Mayza A, Saleh MK. Buku Pedoman Standar Pelayanan Medis (SPM)
dan Standar Prosedur Operasional (SPO) Neurologi, Koreksi Tahun 1999 dan 2005.
2006. Jakarta. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI).
Misbach J, Soertidewi L, Jannis J, Bustami M, Rasyid A, Lumempauw SF, dkk. 2011. Stroke.
Aspek Diagnostik, Patofisiologi, Manajemen. Badan Penerbit FKUI. Jakarta.
Modul Neurovaskular, Program Pendidikan Dokter Spesialis Neurologi. 2008. Jakarta.
Kolegium Neurologi Indonesia.
National Collaborating Centre for Chronic Conditions. Stroke: national clinical guideline for
diagnosis and initial management of acute stroke and transient ischaemic attack
(TIA).2008. London. Royal College of Physicians.
Sacco RL, Kasner SE, Broderick JP, Caplan LR, Connors JJ, Culebras A, et al. 2013. An
Updated Definition of Stroke for the 21st Century: A Statement for Healthcare
Professionals From the American Heart Association/American Stroke Association.
Stroke;44:2064-2089.

STROKE HEMORAGIK (PERDARAHAN)


DEFINISI
Stroke yang disebabkan oleh perdarahan intraserebral (PIS) adalah tanda klinis disfungsi
neurologis yang berkembang cepat, yang disebabkan oleh penumpukan fokal darah dalam
parenkim otak atau sistem ventrikel, yang bukan disebabkan oleh trauma.
Stroke yang disebabkan oleh perdarahan subarakhnoid (PSA) adalah tanda klinis disfungsi
neurologis dan atau nyeri kepala yang berkembang cepat, yang disebabkan oleh
perdarahan ke dalam rongga subarakhnoid (rongga di antara membran arakhnoid dengan
piamater dari otak dan medula spinalis), yang bukan disebabkan oleh trauma.

ANAMNESIS
Pada anamnesis ditanyakan apakah defisit neurologis yang terjadi secara tibatiba;
lamanya (onset serangan); terjadi saat aktifitas atau istirahat; adanya riwayat kesadaran
menurun/ terganggu, nyeri kepala, muntah proyektil atau kejang; adanya riwayat hipertensi
(faktor risiko stroke lainnya seperti merokok, diabetes melitus, sakit jantung, dislipidemia);
dan apakah merupakan serangan pertama atau ulangan.

6
Gejala PSA kadangkala tidak khas, keluhan nyeri kepala hebat (paling sakit yang
dirasakan sepanjang hidup) yang muncul tiba-tiba sebaiknya dicurigai sebagai suatu tanda
adanya PSA.

PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum, kesadaran (Glasgow Coma Scale (GCS)/ kuantitas/ kualitas
kesadaran), tanda vital, status generalisata dan status neurologis (dijumpai defisit neurologis).
Alat bantu scoring (skala) :
Siriraj Stroke Score (SSS)
Algoritme Stroke Gajah Mada (ASGM)

KRITERIA DIAGNOSTIK
Anamnesis
Pemeriksaan fisik (neurologis dan umum)
Pemeriksaan penunjang :
Laboratorium : Pungsi Lumbal (bila neuroimejing tidak tersedia atau pada pasien yang
secara klinis dicurigai PSA, tapi hasil CT Scan tidak menunjukkan tanda-tanda PSA)
Neuroimejing : CT Scan tanpa kontras (Gold Standard), MRI, MRA, DSA
Pemeriksaan penunjang lainnya
Diagnosa stroke hemoragik dapat ditegakkan oleh seorang spesialis saraf dari anamnese
dan pemeriksaan fisik neurologis ditambah dengan dijumpainya perdarahan pada Head CT
Scan tanpa kontras.

DIAGNOSIS BANDING
1. Stroke iskemik
2. Ensefalopati toksik atau metabolik
3. Kelainan non neurologis/ fungsional (contoh: kelainan jiwa )
4. Bangkitan epilepsi yang disertai paresis Todds
5. Migren hemiplegik
6. Lesi struktural intrakranial (hematoma subdural, tumor otak, AVM)
7. Infeksi: ensefalitis, abses otak.
8. Trauma kepala
9. Ensefalopati hipertensif
10. Sklerosis multipel.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan laboratorium:
Dilakukan pemeriksaan darah perifer lengkap (DPL), gula darah sewaktu (GDS),
fungsi ginjal (ureum, kreatinin dan asam urat), fungsi hati (SGOT dan SGPT), profil lipid

7
(kolesterol, trigliserida, HDL, LDL), faal hemostasis, dan pemeriksaan lainnya atas indikasi
seperti elektrolit, analisa gas darah, protein darah (albumin, globulin), dan lain-lain.

Radiologis
Pemeriksaan Rontgen dada
Brain CT-Scan tanpa kontras (Gold Standard)
Magnetic Resonance Imaging (MRI) kepala
Digital Substraction Angiography (DSA) ==> Lihat protokol
Transcranial Doppler (TCD)
Carotid Doppler (USG Carotis)

Pemeriksaan penunjang lain :


Elektrokardiografi
Echocardiography (TTE dan atau TEE)

TERAPI
A. Penatalaksanaan umum
Ditujukan terhadap fungsi vital: paru paru, jantung, ginjal, keseimbangan elektrolit
dan cairan, gizi dan higiene.

B. Penatalaksanaan khusus
Perdarahan Intraserebral
Memperbaiki faal hemostasis (bila ada gangguan):
Vitamin K 10 mg IV (kecepatan pemberian < 1 mg/menit untuk meminimalkan
risiko anafilaksis) pada penderita dengan peningkatan INR terkait dengan obat
antikoagulan oral (warfarin).
Efek heparin dapat diatasi dengan pemberian protamin sulfat 10-50 mg IV
dalam waktu 1-3 menit, dengan pengawasan ketat untuk melihat tanda-tanda
hipersensitif (AHA/ASA, Class I, Level of Evidence B).
Fresh frozen plasma (FFP) 2-6 unit diberikan untuk mengoreksi defisiensi
faktor pembekuan darah bila ditemukan sehingga dengan cepat memperbaiki
INR atau aPTT. Terapi FFP ini untuk mengganti pada kehilangan faktor
koagulasi
Untuk mencegah tromboemboli vena pada pasien dengan perdarahan intrakranial,
sebaiknya mendapat pneumatic intermitten compression selain dengan stocking
elastis (AHA/ASA, Class I, Level of Evidence B).

8
Setelah dokumentasi penghentian perdarahan, LMWH atau UFH subkutan dosis
rendah dapat dipertimbangkan untuk pencegahan tromboemboli vena pada pasien
dengan mobilitas yang kurang setelah satu hingga empat hari paska awitan
(AHA/ASA, Class IIb, Level of Evidence B)
Pengendalian kejang :
Bila kejang: diazepam bolus lambat IV 5-20 mg dan diikuti fenitoin loading
dose 15-20 mg/kg bolus dengan kecepatan maksimum 50 mg/menit ==> jika
kejang belum teratasi maka perlu dirawat di instalasi perawatan intensif.
Pemberian antikonvulsan profilaksis tidak direkomendasikan (AHA/ASA, Class
III, Level of Evidence B)
Operasi:
Drainase ventrikuler sebagai tata laksana hidrosefalus dapat dipertimbangkan
pada pasien dengan penurunan kesadaran (AHA/ASA, Class IIa, Level of
Evidence B).
Pada pasien dengan bekuan darah di lobus > 30 ml dan terdapat di 1 cm dari
permukaan, evakuasi perdarahan intrakranial supratentorial dengan kraniotomi
standar dapat dipertimbangkan (AHA/ASA, Class IIb, Level of Evidence B).
Pasien dengan perdarahan serebelar yang mengalami perburukan neurologis
atau yang terdapat kompresi batang otak dan atau hidrosefalus akibat
obstruksi ventrikel sebaiknya menjalani operasi evakuasi bekuan darah
secepatnya (AHA/ASA, Class I, Level of Evidence B). Tatalaksana awal pada
pasien tersebut dengan drainase ventrikuler saja tanpa evakuasi bekuan darah
tidak direkomendasikan (AHA/ASA, Class III, Level of Evidence C).

Perdarahan Subarakhnoid
Kontrol dan monitor tekanan darah ==> lihat protokol
Istirahat total di tempat tidur (AHA/ASA, Class IIb, Level of Evidence C).
Terapi antifibrinolitik: epsilon-aminocaproic acid loading 4 mg IV, kemudian
diikuti infus 1 gram/jam atau asam traneksamat 1 gram setiap 6 jam sampai
aneurisme tertutup atau biasanya disarankan selama 72 jam untuk mencegah
perdarahan ulang.
Pencegahan dan tatalaksanaan vasospasme:
Pemberian nimodipin dimulai dengan dosis 1-2 mg/jam IV pada hari ketiga atau
oral 60 mg setiap 6 jam selama 21 hari. Pemakaian nimodipin oral terbukti
memperbaiki defisit neurologi yang ditimbulkan oleh vasospasme. Kalsium
antagonis lainnya yang diberikan secara oral atau intravena tidak bermakna
(AHA/ASA, Class I, Level of Evidence A).
Cara lain:

9
oPencegahan vasospasme: Nimodipin 4 x 60 mg sehari atau NaCl 3% IV 50 ml
3 kali sehari (hati-hati komplikasi central pontine myelinolisis) dan jaga
keseimbangan elektrolit
oDelayed vasopasme: stop nimodipin, antihipertensi dan diuretika, berikan
albumin 5% 250 ml intravena, bila mungkin lakukan pemasangan Swan-ganz
(usahakan wedge pressure 12-14 mmHg), jaga cardiac index 4
L/menit/sg.meter, berikan dobutamin 2-15 ug/kg/menit.
Analgesik: asetaminofen - 1 gram/ 4-6 jam dengan dosis maksimal 4 gram/hari,
atau kodein fosfat 30-60 mg oral atau IM/ 4-6 jam atau kombinasi asetaminofen
dengan kodein ==> hindarkan asetosal.
Operasi:
Operasi clipping atau coiling sangat direkomendasikan untuk mengurangi
perdarahan ulang setelah ruptur aneurisme pada PSA (AHA/ASA, Class I, Level
of Evidence A). == > lihat pedoman coiling
Walaupun operasi yang dilakukan segera akan mengurangi risiko perdarahan
ulang setelah PSA, banyak penelitian yang memperlihatkan bahwa secara
keseluruhan hasil akhir tidak berbeda dengan operasim yang ditunda
(AHA/ASA, Class II-V, Level of Evidence B). Operasi segera (early dan ultra
early) dianjurkan pada pasien dengan derajat yang lebih baik serta lokasi
aneurisme yang tidak rumit. Untuk keadaan klinis lain, operasi yang segera atau
yang ditunda direkomendasikan tergantung pada situasi klinik khusus. Rujukan
dini ke pusat spesialisasi sangat dianjurkan. Penanganan dan pengobatan pasien
aneurisme lebih awal dianjurkan untuk sebagian besar kasus (AHA/ASA, Class
IIa, Level of Evidence B).

C. Terapi komplikasi :
1. Penatalaksanaan peningkatan tekanan intrakranial
Tinggikan posisi kepala 20-300 dan hindarkan posisi pasien yang dapat menyebabkan
penekanan vena jugularis
Hindari pemberian cairan glukosa atau hipotonik, hipertermia dan jaga normovolemia
Pemberian osmoterapi:
Manitol 20% 0,25-0,5 gr/kgBB selama > 20 menit, diulangi setiap 4-6 jam dengan
target 310 mOsm/L. Osmolalitas sebaiknya diperiksa 2 kali dalam sehari selama
pemberian osmoterapi
Kalau perlu, berikan furosemid dengan dosis inisial 1 mg/kgBB IV.
Pemberian NaCl 3% dapat dipertimbangkan untuk pasien dengan kontraindikasi
pemberian Manitol 20%.

10
Intubasi untuk menjaga normoventilasi (pCO2 35-40 mmHg). Hiperventilasi mungkin
diperlukan bila akan dilakukan tindakan operatif.
Paralisis neuromuskular yang dikombinasi dengan sedasi yang adekuat dapat
mengurangi naiknya tekanan intrakranial dengan cara mengurangi naiknya tekanan
intratorakal dan tekanan vena akibat batuk, suction, bucking ventilator (AHA/ASA,
Class III-V, Level of evidence C). Agen nondepolarized seperti vencuronium atau
pancuronium yang sedikit berefek pada histamin dan blok pada ganglion lebih baik
digunakan (AHA/ASA, Class III-V, Level of evidence C). Pasien dengan kenaikan kritis
tekanan intrakranial sebaiknya diberikan relaksan otot sebelum suctioning atau lidokain
sebagai alternatif.
2. Antibiotika, antidepresan: atas indikasi

D. Penatalaksanaan faktor risiko :


1. Antihipertensi : fase akut stroke dengan persyaratan tertentu ==> lihat pedoman
pengelolaan hipertensi pada stroke akut
2. Antidiabetika : fase akut stroke dengan persyaratan tertentu ==> lihat pedoman
hiperglikemi pada stroke akut
3. Antidislipidemia : atas indikasi ==> lihat pedoman pengendalian faktor risiko stroke

F. Terapi Nonfarmaka
1. Operatif
2. Phlebotomi
3. Neurorestorasi (dalam fase akut) dan rehabilitasi medik
4. Edukasi

EDUKASI
Memberikan penjelasan kepada pasien dan keluarga meliputi pengertian, faktor risiko,
tanda dan gejala, cara merawat pasien stroke di rumah, nutrisi, serta apa yang harus dilakukan
pasien dan keluarga untuk mencegah terulangnya stroke.

PROGNOSIS
Ad Vitam : tergantung berat stroke dan komplikasi yang timbul.
Ad Functionam : Penelitian dengan parameter Activity Daily Living (Barthel Index) dan
NIH Stroke Scale (NIHSS)
Risiko kecacatan dan ketergantungan fisik/ kognitif setelah 1 tahun: 20 30 %

11
KEPUSTAKAAN
Buku Pedoman Standar Pelayanan Medis (SPM) dan Standar Prosedur Operasional (SPO)
Neurologi, Koreksi Tahun 1999 dan 2005. 2006. Jakarta. Perhimpunan Dokter
Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI).
Guideline Stroke Tahun 2011. 2011. Jakarta. Kelompok Studi Stroke, Perhimpunan Dokter
Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI).
Jauch EC, Saver JL, Adams HP, Bruno A, Connors JJ, Demaerschalk BM, et al. 2013.
Guidelines for the Early Management of Patients With Acute Ischemic Stroke: A
Guideline for Healthcare Professionals From the American Heart
Association/American Stroke Association. Stroke;44:XXX-XXX.
Misbach J, Soertidewi L, Jannis J, Bustami M, Rasyid A, Lumempauw SF, dkk. 2011. Stroke.
Aspek Diagnostik, Patofisiologi, Manajemen. Jakarta. Badan Penerbit FKUI.
Modul Neurovaskular, Program Pendidikan Dokter Spesialis Neurologi. 2008. Jakarta.
Kolegium Neurologi Indonesia.
Sacco RL, Kasner SE, Broderick JP, Caplan LR, Connors JJ, Culebras A, et al. 2013. An
Updated Definition of Stroke for the 21st Century: A Statement for Healthcare
Professionals From the American Heart Association/American Stroke Association.
Stroke;44:2064-2089.

PEDOMAN DIGITAL SUBSTRACTION ANGIOGRAPHY (DSA):


1. Nama Prosedur : Cerebral/ Spinal Angiography
2. Tanggal update : 02 Juli 2013 hingga sampai ada penatalaksanaan baru sesuai
Evidence Base Medicine
3. Lingkup pengguna : dokter spesialis saraf sub saraf intervensi
4. Pengertian : suatu pemeriksaan pembuluh darah pada daerah
leher, intrakranial ataupun medula spinalis dengan
menggunakan kontras dan perangkat angiogram,

12
kateter dan guidewire guna mendapatkan gambaran
mengenai anatomi beserta seluruh sistem sirkulasi
pada daerah leher, kepala ataupun medula spinalis
5. Indikasi : gangguan/ keabnormalan pada pembuluh darah otak /
medula spinalis
6. Kontra indikasi : alergi terhadap kontras
7. Kebijakan : 7.1. cerebral/ spinal DSA adalah suatu pemeriksaan
invasif dengan tingkat keakuratan tertinggi
7.2. harus disertai lembar persetujuan dilakukannya
tindakan tersebut
8. Alat dan bahan :
a Femoral sheath 5 atau 6 Fr beserta kelengkapannya
b Jarum Puncture
c Kateter 5,6 Fr Vertebral, Head Hunter atau JR
d Guidewire
e Kontras
f Heparin 2500 3000 IU
g Mesin angiografi beserta perangkatnya
h Tensimeter air raksa
i EKG 12 lead
j Perangkat anestesi (bila diperlukan)
k Bloodset/ infuse set beserta threeway
l RL 1 kolf
m Sepasang sarung tangan steril
n Bodyguard, collarguard beserta google
o Baju operasi steril
p Kassa steril
q Bandage
r Betadine
s Spuit 5 cc 2 buah dan 10 cc 1 buah

13
9. Prosedur :
a. Pasien yang akan menjalani pemeriksaan angiografi sudah dilakukan pemeriksaan
status umum dan neurologis , darah rutin, ureum kreatinin, PT/aPTT, faal hati, tes
HIV, EKG dan foto toraks, cukur rambut pubis di kedua belah sisi
b. Pasien dibaringkan di atas meja prosedur, dicek persiapan prosedur yang telah
dilakukan, dilakukan tindakan antiseptic dengan betadine, dipersiapkan lapangan
prosedur
c. Heparin 2500 3000 IU di campur dengan 500 cc cairan salin
d. Puncture dilakukan pada arteri femoralis kanan atau kiri
e. Dilakukan pemasangan femoral sheath
f. Setelah femoral sheath terpasang, dilakukan pencitraan dengan mesin angiografi,
apakah kedudukan dan posisi sheath sudah benar dan stabil
g. Dengan bantuan guidewire maka dimasukkan catheter menuju pembuluh darah yang
akan diperiksa
h. Setelah mencapai posisi pembuluh darah yang diperiksa, kemudian guidewire pun
ditarik keluar, lalu dilakukan pemeriksaan aliran darah
i. Dilakukan pemberian kontras pada pembuluh darah yang akan diperiksa dan
pencitraan dengan mesin angiografi. Langkah tersebut dilakukan berulang ulang
dengan posisi pencitraan yang berbeda beda (AP, oblik kanan/ kiri, lateral)
j. Setelah semua pembuluh darah selesai dilakukan pemeriksaan, maka kateter pun
ditarik keluar
k. Femoral sheath dilepas
l. Dilakukan pemeriksaan status neurologi singkat dan periksa pedal pulse
m. Dilakukan penekanan pada bekas lapangan prosedur (misalnya a. femoralis kanan)
secara benar selama 15 30 menit untuk mencegah terjadinya hematoma
n. Bila setelah dilakukan tes batuk tidak terdapat darah yang keluar, maka tempat bekas
dilakukan prosedur ditutup dengan kassa dan diberi bandage

10. Instruksi paska prosedur :


a. Pasien diharuskan untuk istirahat total di tempat tidur minimal selama 6 jam diruang
HCU/ stroke unit/ post procedural ward
b. Selama istirahat tersebut, tungkai bawah yang ada bekas lapangan prosedur tidak
boleh ditekuk
c. Diet disesuaikan dengan kondisi penyakit pasien
d. Minimal setelah 6 jam, dilakukan pemeriksaan bekas lapangan prosedur
e. Dilakukan pemeriksaan status umum dan neurologi dan bila tidak ditemukan faktor
penyulit, maka pasien diperbolehkan pulang

11. Tingkat evidence : cerebral/ spinal angiography adalah pemeriksaan


penunjang untuk mengetahui keberadaan anatomi,
kolateral dan anastomosis dari pembuluh darah leher
dan otak ataupun medula spinalis
12. Indikator keberhasilan : prosedur dilakukan tanpa timbul defisit neurologis

14
PEDOMAN TROMBOLISIS rt-PA PADA STROKE ISKEMIK:

Trombolisis Intravena
1. Nama prosedur : Intravena thrombolysis/ trombolisis intravena
2. Tanggal update : 02 Juli 2013 hingga sampai ada penatalaksanaan baru sesuai
Evidence Base Medicine
3. Lingkup pengguna : Dokter spesialis saraf dan dokter spesialis saraf sub saraf
intervensi
4. Pengertian : Suatu prosedur terapi dengan menggunakan rtPA yang
diberikan secara intra vena pada pembuluh darah yang
mengalami sumbatan, yang bertujuan untuk melisiskan
sumbatan tersebut
5. Indikasi : stroke iskemik dengan onset 3 4,5 jam
6. Kontra indikasi absolut : 6.1. Stroke perdarahan
6.2. Perdarahan sub araknoid
6.3. Stroke lakunar
7. Kebijakan : 7.1.Tindakan trombolisis ini bergantung terhadap onset,
sehingga apabila diberikan di luar onset atau terdapat
kontra indikasi absolut maka manfaat pemberian
bukan saja tidak ada namun juga sangat berbahaya
7.2. Harus disertai lembar persetujuan dilakukannya
tindakan tersebut
8. Alat dan bahan : 8.1. Blood set/ infuse set beserta threeway
8.2. Larutan isotonis kecuali Dextrosa
8.3. rtPA 0,9 mg/kgBB
8.4. Tensi meter air raksa
8.5. Lembar observasi
9. Prosedur dan alur tata laksana :

Perihal Waktu EBM Keterangan


Saat pasien yang diduga menderita stroke datang
ke IGD , maka yang harus dilakukan adalah:

9.A.1 Anamnesa dan pemeriksaan fisik meliputi 9.A. 1 7 harus I/A


status umum dan neurologi. dilakukan dalam
Pasang IV line di kedua lengan, dan timbang maksimal 60 menit
berat badan pasien bila memungkinkan.
Dalam anamnesa sudah dapat diketahui berapa
lama onset telah terjadi, bila onset < 90 menit
maka lanjutkan hal - hal berikut:
2 Pemberian oksigen I/C
3 Pemeriksaan laboratorium darah I/B Darah rutin, gula
darah sewaktu,
elektrolit, PT, aPTT
4 EKG 12 sandapan I/B

15
5 Rontgen foto torak I/B
6 CT scan kepala tanpa kontras I/A
7 Kendalikan faktor faktor penyulit Hiper/hipotensi,
hiper/hipoglikemi
kejang, dll.
Setelah A1-7 dilakukan maka sudah dapat dibuat
suatu kesimpulan apakah pasien merupakan
kandidat IV trombolysis dengan menggunakan
rtPA atau tidak. Untuk lebih pastinya maka tabel
kriteria inklusi dan ekslusi trombolysis harus
selalu tersedia di UGD.
Bila pasien merupakan kandidat untuk intravena
trombolisis, maka lanjutkan perihal berikut :

9.B.1Pelaksanaan IV trombolysis (rtPA): rtPA 60 menit I/A


intravena dengan dosis 0,9 mg/ kg berat badan
(maksimum 90 mg); dimana 10% dari total dosis
diberikan bolus pada menit pertama dan sisanya
(90%) diberikan sebagai infus selama 60 menit
2 Pantau tekanan darah, frekuensi nadi, pernafasan 24 jam
dan status neurologi selama 24 jam pertama;
dengan ketentuan :
tiap 15 menit selama 2 jam sejak infus rtPA dimulai
tiap 30 menit selama 6 jam sejak infus rtPA dimulai
tiap 60 menit selama 16 jam sejak infus rtPAdimulai
3 Kejadian selama pemberian rtPA :
Bila pasien mengalami nyeri kepala, hipertensi
akut, mual dan muntah; maka pemberian rtPA
dihentikan dan langsung dilakukan pemeriksaan
CT scan kepala tanpa kontras
4 Penyulit yang timbul selama dan atau setelah
pemberian rtPA akan ditangani sesuai dengan
jenis penyulitnya
5 Observasi di ICU selama 24 jam paska
pemberian rtPA
6 Tunda pemasangan dauer kateter dan tub 24 jam
nasogastrik
7 Pengukuran vena sentralis dan pungsi arterial 24 jam
dibatasi

Pedoman Kriteria Inklusi Dan Ekslusi Pada Pemberian Trombolisis Intravena

16
No Kriteria Inklusi No Kriteria Ekslusi
1 Stroke iskemik akut dengan onset
1 Stroke perdarahan
kurang dari 3- 4.5 jam
2 Usia > 18 tahun dan < 75 tahun 2 Mengkonsumsi antikoagulan oral, atau
bila tidak mengkonsumsi maka INR
lebih dari 1,7 atau waktu protrombin
lebih dari 15 detik
3 Diagnosis stroke iskemik dibuat oleh 3 Penggunaan heparin dalam 48 jam
dokter spesialis saraf dan CT scan kepala sebelumnya, atau bila sudah
tanpa kontras dibaca oleh ahli yang menggunakan masa tromboplastin
paham tentang penafsiran hasil parsial memanjang
pemeriksaan neuro-imejing
4 Informed consent dan harus ada 4 Trombosit < 100.000 /mm
persetujuan tertulis dari penderita dan
atau keluarganya
5 Stroke atau cedera kepala berat dalam
5 Memenuhi kriteria eksklusi
waktu 3 bulan sebelumnya
6 Operasi besar dalam waktu 14 hari
7 Tekanan darah (TD) sistolik > 185
mmHg atau TD diastolik > 110 mmHg
8 Defisit neurologi yang cepat membaik
9 Defisit neurologi yang tunggal atau
ringan, seperti parese saja atau gangguan
sensorik saja atau disartria saja
10 Riwayat stroke perdarahan sebelumnya
atau curiga perdarahan subaraknoid
11 Glukosa darah sewaktu < 50 mg/dl atau
> 400 mg/dl
12 Kejang pada permulaan stroke
13 Riwayat perdarahan gastro intestinal
atau urogenital dalam waktu 21 hari
sebelumnya
14 Infark miokard baru
15 NIHSS > 22
16 Onset stroke tidak diketahui dengan jelas

11. Tingkat evidence : I level A


12. Indikator keberhasilan : Perbaikan pada defisit neurologis

Acute Ischaemic Stroke Thrombolysis Guideline :

Stroke Iskemik Akut < 4,5 jam


17
Clinical Conditions :

Usia 18 80 tahun
NIHSS 4 25
Trauma kepala atau stroke sebelumnya (-) 3 bulan
Fraktur dan perdarahan aktif pada pemeriksaan (-)
Perdarahan GIT/ UT (-) < 21 hari
Riwayat perdarahan intrakranial (-)
Kejang (-)
Major Surgery (-) 14 hari
Infark Miokard (-) 3 bulan
Penggunaan Aspirin, Heparin, dan Warfarin dalam 48 jam (-)
Arterial puncture sebelum 7 hari (-)
Pregnancy (-)

GCS > 8
TDS < 185 mm/Hg,
TDD < 110 mm/Hg

Laboratory Finding :
Trombosit > 100.000/L
INR < 1,7
aPTT Normal
PT < 15 detik
Glucose Level > 50 mg/dL (2,7 mmol/L)

Head CT-Scan: Tidak dijumpai infark


multilobular/ hipodensitas > 1/3 hemisfer)

Dosis: 0,9 mg/ kgBB maksimal 90 mg, diberikan 10% bolus 1-2 menit
dan 90% infus diberikan 1 jam

Prosedur pemindahan pasien ke stroke corner:


Monitor tekanan darah interval 15 menit saat pemberian infus, interval 1 jam untuk 6
jam dan kemudian 4 jam sampai 24 jam
Jika TDS > 185 mmHg atau TDD > 110 mmHg, pertimbangkan pemberian Nitrat atau
Labetolol intravena (2-8 mg/ menit sampai TD < 185/110 mmHg)

18
STOP pemberian infus rtPA jika:
Anaphylaxis ditandai dengan Hipotensi
Perburukan defisit neurologis:
- Level kesadaran (2 poin GCS)
- NIHSS 4 poin
TDS > 185/110 mmHg
Perdarahan sistemik massif

Perawatan post trombolisis pada pasien stroke:


Menghindari penggunaan kateter urin selama trombolisis dan 30 menit setelah tindakan
Menghindari venous atau arterial puncture selama trombolisis
Menghindari penggunaan NGT pada 24 jam pertama
Mulai pemberian anti platelet setelah 24 jam

Trombolisis Intraarterial

1. Nama Prosedur : Intra Arterial Trombolysis (Trombolisis Intra Arterial)


2. Tanggal update : 02 Juli 2013 hingga sampai ada penatalaksanaan baru

19
sesuai Evidence Base Medicine
3. Lingkup pengguna : Dokter spesialis saraf sub saraf intervensi
4. Pengertian : Suatu prosedur terapi dengan menggunakan rtPA yang
diberikan secara intra arterial pada pembuluh darah yang
mengalami sumbatan, bertujuan untuk melisiskan sumbatan
tersebut
5. Indikasi : stroke iskemik dengan onset 4,5 6 jam
6. Kontra indikasi absolut : 6.1. Alergi terhadap kontras
6.2. Stroke perdarahan
6.3. Perdarahan subaraknoid
6.4. Stroke lakunar
7. Kebijakan : 7.1. Tindakan trombolisis ini bergantung terhadap onset,
sehingga apabila diberikan di luar onset atau terdapat
kontraindikasi absolut maka manfaat pemberian
bukan saja tidak ada namun juga sangat berbahaya
7.2. Harus disertai lembar persetujuan dilakukannya
tindakan tersebut
8. Alat dan bahan : a. Femoral sheath 6 atau 7 Fr beserta kelengkapannya
b. Jarum Puncture
c. Kateter 6 , 7 Fr Head Hunter atau H1 dan kateter JR
d. Guidewire
e. Kontras
f. Heparin 2500-3000 iu
g. Mesin angiografi beserta perangkatnya
h. Tensi meter air raksa
i. EKG 12 lead
j. Perangkat anestesi ( bila diperlukan )
k. Bloodset / infuse set beserta threeway
l. RL 1 kolf
m. Sepasang sarung tangan steril
n. Bodyguard, collarguard beserta google
o. Baju operasi steril
p. Kassa steril
q. Bandage
r. Betadine
s. Spuit 5 cc 2 buah , 1 cc 1 buah dan 10 cc 1 buah
t. rTPA secukupnya
u. Mikrokateter
v. Mikro-guidewire

9. Prosedur :
a. Pasien yang akan menjalani prosedur ini sudah dilakukan pemeriksaan status umum
dan neurologis, darah rutin, EKG, ureum kreatinin, PT/aPTT dan rontgen foto toraks,
dan cukur rambut pubis di kedua belah sisi

20
b. Pasien dibaringkan di atas meja prosedur, dicek persiapan prosedur yang telah
dilakukan, dilakukan tindakan antiseptik dengan Betadine , dipersiapkan lapangan
prosedur
c. Puncture dilakukan pada arteri femoralis kanan
d. Dilakukan pemasangan femoral sheath
e. Setelah femoral sheath terpasang, dilakukan pencitraan dengan mesin angiografi,
apakah kedudukan dan posisi sheath sudah benar dan stabil
f. Heparin 2500 3000 IU dicampur dengan 500 cc cairan salin
g. Dengan bantuan guidewire maka dimasukkan catheter menuju pembuluh darah yang
akan diperiksa
h. Setelah mencapai posisi pembuluh darah yang dituju, maka dilakukan pemasangan
mikrokateter dengan bantuan mikro-guidewire
i. Dilakukan pemberian kontras pada pembuluh darah yang akan dilakukan thrombolisis
dan pencitraan dengan mesin angiografi, langkah tersebut dilakukan berulang ulang
dengan posisi pencitraan yang berbeda beda (AP, oblik kanan/ kiri, lateral)
j. Dengan posisi mikrokateter masih di dalam pembuluh darah, disuntikan rtPA secara
perlahan lahan dengan menggunakan spuit 1 cc. Setelah penyuntikan, tes lagi
dengan kontras. Langkah tersebut diulang ulang, hingga sumbatan yang ada lisis
ataupun hingga tercapai dosis maksimal sebesar 25 mg
k. Setelah semua tahapan, maka kateter pun ditarik keluar
l. Femoral sheath jangan dilepas selama 1 jam
m. Bila setelah 1 jam tidak didapatkan komplikasi ataupun perburukan neurologis maka
femoral sheath pun dilepas
n. Dilakukan pemeriksaan status neurologi singkat
o. Dilakukan penekanan pada bekas lapangan prosedur (misalnya a. femoralis kanan)
secara benar selama 15 30 menit untuk mencegah terjadinya hematoma
p. Bila setelah dilakukan tes batuk tidak terdapat darah yang keluar, maka tempat bekas
dilakukan prosedur ditutup dengan kassa dan diberi bandage

10. Instruksi paska prosedur :


a. Pasien diharuskan untuk istirahat total di tempat tidur minimal selama 6 jam di ruang
HCU/ Stroke Unit/ ICU
b. Selama istirahat tersebut, tungkai bawah yang ada bekas lapangan prosedur tidak
boleh ditekuk
c. Diet disesuaikan dengan kondisi penyakit pasien
d. Minimal setelah 6 jam, dilakukan pemeriksaan bekas lapangan prosedur
e. Dilakukan pemeriksaan status umum dan neurology dan bila tidak ditemukan faktor
penyulit, maka pasien diperbolehkan pulang 24 jam kemudian

11. Tingkat evidence : I level B


12. Indikator keberhasilan : apabila dapat terjadi rekanalisasi minimal 50%

PEDOMAN TROMBEKTOMI/ THROMBO ASPIRATION

1. Nama prosedur : thrombektomi / thrombo aspiration

21
2. Tanggal update : 02 Juli 2013 hingga sampai ada penatalaksanaan baru
sesuai Evidence Base Medicine
3. Lingkup pengguna : dokter spesialis saraf sub saraf intervensi
4. Pengertian : wuatu prosedur terapi dengan menggunakan perangkat
penghancur, penghisap thrombus, yang bertujuan untuk
menghilangkan thrombus yang menyebabkan stroke
iskemik
5. Indikasi : stroke iskemik dengan onset 6 8 jam
6. Kontra indikasi : 6.1. Alergi terhadap kontras
6.2. Stroke perdarahan
6.3. Perdarahan subaraknoid
6.4. Stroke lakunar
7. Kebijakan : 7.1. Tindakan trombolysis ini bergantung terhadap onset,
sehingga apabila diberikan diluar onset atau terdapat
kontra indikasi absolut maka manfaat pemberian
bukan saja tidak ada namun juga sangat berbahaya
7.2. Harus disertai lembar persetujuan dilakukannya
tindakan tersebut
8.Alat dan bahan : a. Femoral sheath 6 atau 7 Fr beserta kelengkapannya
b. Jarum Puncture
c. Kateter 6 , 7 Fr Vertebral, Head Hunter dan kateter JR
d. Guidewire
e. Kontras
f. Heparin 2500 3000 IU
g. Mesin angiografi beserta perangkatnya
h. Tensimeter air raksa
i. EKG 12 lead
j. Perangkat anestesi (bila diperlukan)
k. Bloodset/ infuse set beserta threeway
l. RL 1 kolf
m. Sepasang sarung tangan steril
n. Bodyguard, collarguard beserta google
o. Baju operasi steril
p. Kassa steril
q. Bandage
r. Betadine
s. Spuit 5 cc 2 buah dan 10 cc 1 buah
t. Thrombektomi/ thrombo aspiration
u. Mikro-guidwire

9. Prosedur :

22
a. Pasien yang akan menjalani prosedur ini sudah dilakukan pemeriksaan status umum
dan neurologis, darah rutin, EKG, ureum kreatinin, PT/ aPTT, faal hati, tes HIV dan
rontgen foto toraks, dan cukur rambut pubis di kedua belah sisi
b. Pasien dibaringkan di atas meja prosedur, dicek persiapan prosedur yang telah
dilakukan, dilakukan tindakan antisepsis dengan Betadine , dipersiapkan lapangan
prosedur
c. Puncture dilakukan pada arter femoralis kanan
d. Dilakukan pemasangan femoral sheath
e. Setelah femoral sheath terpasang, dilakukan pencitraan dengan mesin angiografi,
apakah kedudukan dan posisi sheath sudah benar dan stabil
f. Diberikan heparin 2000 IU
g. Dengan bantuan guidewire maka dimasukkan catheter menuju pembuluh darah yang
akan diperiksa
h. Setelah mencapai posisi pembuluh darah yang akan dilakukan thrombektomi/ thrombo
aspiration, kemudian guidewire pun ditarik keluar, lalu dilakukan pemeriksaan aliran
darah
i. Dilakukan pemberian kontras pada pembuluh darah yang akan dilakukan pemasangan
stent dan pencitraan dengan mesin angiografi . Langkah tersebut dilakukan berulang -
ulang dengan posisi pencitraan yang berbeda beda (AP, oblik kanan/kiri, lateral)
j. Dengan posisi kateter masih di dalam pembuluh darah, maka dengan bantuan mikro-
guidewire dilakukan pemasangan thrombektomi/ thrombo aspiration
k. Kemudian thrombektomi/ thrombo aspiration dioperasikan, hingga semua trombus
hancur
l. Setelah semua tahapan, maka kateter pun ditarik keluar
m. Femoral sheath jangan dilepas selama 1 jam
n. Bila setelah 1 jam tidak didapatkan komplikasi ataupun perburukan neurologis maka
femoral sheath pun dilepas
o. Dilakukan pemeriksaan status neurologi singkat
p. Dilakukan penekanan pada bekas lapangan prosedur (misalnya a. femoralis kanan)
secara benar selama 15 30 menit untuk mencegah terjadinya hematoma
q. Bila setelah dilakukan tes batuk tidak terdapat darah yang keluar, maka tempat bekas
dilakukan prosedur ditutup dengan kassa dan diberi bandage

10. Instruksi paska prosedur :


a. Pasien diharuskan untuk istirahat total di tempat tidur minimal selama 6 jam di ruang
HCU/ Stroke Unit/ ICU
b. Selama istirahat tersebut, tungkai bawah yang ada bekas lapangan prosedur tidak
boleh ditekuk
c. Diet disesuaikan dengan kondisi penyakit pasien
d. Minimal setelah 6 jam, dilakukan pemeriksaan bekas lapangan prosedur
e. Dilakukan pemeriksaan status umum dan neurologi dan bila tidak ditemukan faktor
penyulit, maka pasien diperbolehkan pulang 24 jam kemudian

11. Tingkat evidence : II B level B


12. Indikator keberhasilan : apabila minimal 80% klot dapat dipindahkan

PEDOMAN CAROTID/ INTRAKRANIAL DAN VERTEBROBASILER STENTING

23
1. Nama prosedur : carotid/ intrakranial dan vertebrobasiler stenting
2. Tanggal update : 02 Juli 2013 hingga sampai ada penatalaksanaan baru sesuai
Evidence Base Medicine
3. Lingkup pengguna : dokter spesialis saraf sub saraf intervensi
4. Pengertian : suatu prosedur terapi dengan menggunakan perangkat stent
dan balon angioplasty yang bertujuan untuk melebarkan
dinding pembuluh darah pada arteri karotis/ a. karotis interna /
intrakranial, a. vertebralis maupun a. basilaris
5. Indikasi : 5.1. Simptomatik: stenosis 60% pada pembuluh darah terkait
e.2. Asimptomatik: stenosis 70% pada pemb. darah terkait
6. Kontra indikasi : alergi terhadap kontras
7. Kebijakan : 1. tindakan pemasangan stent pada pembuluh darah arteri
karotis komunis/ a. karotis interna/ intrakranial, a.
vertebralis maupun a. basilaris bertujuan untuk
melebarkan pembuluh darah yang dimaksud agar aliran
darah yang menuju otak terjaga dan adekuat tindakan
ini bermaksud sebagai preventif terjadinya stroke atau
stroke berulang
2. harus disertai lembar persetujuan dilakukannya tindakan
8. Alat dan bahan : a. Femoral sheath 6 atau 7 Fr beserta kelengkapannya
b. Jarum Puncture
c. Kateter 6 , 7 Fr Vertebral, Head Hunter dan kateter JR
d. Guidewire
e. Kontras
f. Heparin 2500 3000 IU
g. Mesin angiografi beserta perangkatnya
h. Tensimeter air raksa
i. EKG 12 lead
j. Perangkat anestesi (bila diperlukan)
k. Bloodset/ infuse set beserta threeway
l. RL 1 kolf
m. Sepasang sarung tangan steril
n. Bodyguard, collarguard beserta google
o. Baju operasi steril
p. Kassa steril
q. Bandage
r. Betadine
s. Spuit 5 cc 2 buah dan 10 cc 1 buah
t. Stent dan balon angioplasty yang ukurannya
disesuaikan dengan kebutuhan
u. Mikro-guidwire
9. Prosedur :
a. Pasien yang akan menjalani prosedur sudah dilakukan pemeriksaan status umum

24
dan neurologis, darah rutin, EKG, ureum/ kreatinin, PT/ aPTT, faal hati, tes
HIVdan foto toraks, cukur rambut pubis di kedua belah sisi.
b. Pasien dibaringkan di atas meja prosedur, dicek persiapan prosedur yang telah
dilakukan, dilakukan tindakan antisepsis Betadine , dipersiapkan lap. prosedur
c. Heparin 2500 3000 IU dicampur dengan 500 cc cairan salin
d. Puncture dilakukan pada a. femoralis kanan
e. Dilakukan pemasangan femoral sheath
f. Setelah femoral sheath terpasang, dilakukan pencitraan dengan mesin angiografi,
apakah kedudukan dan posisi sheath sudah benar dan stabil
g. Dengan bantuan guidewire maka dimasukkan catheter menuju pembuluh darah yang
akan diperiksa
h. Setelah mencapai posisi pembuluh darah yang akan dilakukan pemasangan stent,
kemudian guidewire pun ditarik keluar, lalu dilakukan pemeriksaan aliran darah
i. Dilakukan pemberian kontras pada pembuluh darah yang akan dilakukan pemasangan
stent dan pencitraan dengan mesin angiografi . Langkah tersebut dilakukan berulang
ulang dengan posisi pencitraan yang berbeda beda (AP, oblik kanan/ kiri, lateral)
j. Dengan posisi kateter masih di dalam pembuluh darah, maka dengan bantuan mikro
guidwire dilakukan pemasangan stent. Stent dilepaskan bila sudah mencapai posisi
tempat pemasangan
k. Dengan bantuan mikro-guidewire, dilakukan pemasangan balon angioplasty pada
tempat dimana stent dipasang
l. Kemudian dilakukan penggelembungan balon, hingga stent membesar .
m. Kemudian balon dikempiskan, lalu ditarik keluar dan dilakukan pemberian kontras
untuk mengecek keberhasilan pemasangan stent
n. Setelah semua tahapan, maka kateter pun ditarik keluar
o. Femoral sheath jangan dilepas selama 1 jam
p. Bila setelah 1 jam tidak didapatkan komplikasi ataupun perburukan neurologis maka
femoral sheath pun dilepas
q. Dilakukan pemeriksaan status neurologis singkat
r. Dilakukan penekanan pada bekas lapangan prosedur (misalnya a. femoralis kanan)
secara benar selama 15 30 menit untuk mencegah terjadinya hematoma
s. Bila setelah dilakukan tes batuk tidak terdapat darah yang keluar, maka tempat bekas
dilakukan prosedur ditutup dengan kassa dan diberi bandage

10. Instruksi paska prosedur :


a. Pasien diharuskan untuk istirahat total di tempat tidur minimal selama 6 jam diruang
HCU/ stroke unit/ ICU
b. Selama istirahat tersebut, tungkai bawah yang ada bekas lapangan prosedur tidak
boleh ditekuk
c. Diet disesuaikan dengan kondisi penyakit pasien
d. Minimal setelah 6 jam, dilakukan pemeriksaan bekas lapangan prosedur
e. Dilakukan pemeriksaan status umum dan neurologis dan bila tidak ditemukan faktor
penyulit, maka pasien diperbolehkan pulang 24 jam kemudian

11. Tingkat evidence : II B level C


12. Indikator keberhasilan : derajat stenosis setelah pemasangan stent maksimal 20%
PEDOMAN ANEURISME COILING
1. Nama Prosedur : aneurisme coiling

25
2. Tanggal update : 02 Juli 2013 hingga sampai ada penatalaksanaan baru sesuai
Evidence Base Medicine
3. Lingkup pengguna : dokter spesialis saraf sub saraf intervensi
4. Pengertian : suatu prosedur terapi dengan menggunakan perangkat coiling
yang bertujuan untuk menutup ruang aneurisma untuk
mencegah masuknya aliran darah bertujuan untuk mencegah
terjadinya perdarahan ulang
5. Indikasi : ruptur aneurisme non traumatik
6. Kontra indikasi : 6.1. alergi terhadap kontras
6.2. vasospasme luas pada pembuluh darah intrakranial
7. Kebijakan : 7.1.Tindakan pemasangan coil pada ruptur non traumatic
aneurisme bertujuan untuk mencegah masuknya aliran
darah, tujuannya mencegah terjadinya perdarahan ulang
7.2. Harus disertai lembar persetujuan dilakukannya
tindakan tersebut
8. Alat dan bahan : a. Femoral sheath 5 atau 6 Fr beserta kelengkapannya
b. Jarum Puncture
c. Kateter 6 , 7 Fr Head Hunter atau H1 dan kateter JR
d. Guidewire
e. Kontras
f. Heparin 2500 - 5000 iu
g. Mesin angiografi beserta perangkatnya
h. Tensimeter air raksa
i. EKG 12 lead
j. Perangkat anestesi ( bila diperlukan )
k. Bloodset / infuse set beserta three way
l. RL 1 kolf
m. Sepasang sarung tangan steril
n. Bodyguard, collarguard beserta google
o. Baju operasi steril
p. Kassa steril
q. Bandage
r. Betadine
s. Spuit 5 cc 2 buah dan 10 cc 1 buah
t. Coil berbagai ukuran disesuaikan dengan kebutuhan
u. Mikrokateter
v. Mikro-guidewire

26
9. Prosedur :
a. Pasien yang akan menjalani prosedur sudah dilakukan pemeriksaan status umum
dan neurologis, darah rutin, EKG, ureum/ kreatinin, PT/ aPTT, faal hati, tes HIVdan
foto toraks, cukur rambut pubis di kedua belah sisi.
b. Pasien dibaringkan di atas meja prosedur, dicek persiapan prosedur yang telah
dilakukan, dilakukan tindakan antisepsis Betadine , dipersiapkan lap. prosedur
c. Heparin 2500 3000 IU dicampur dengan 500 cc cairan salin
d. Puncture dilakukan pada a. femoralis kanan
e. Dilakukan pemasangan femoral sheath
f. Setelah femoral sheath terpasang, dilakukan pencitraan dengan mesin angiografi,
apakah kedudukan dan posisi sheath sudah benar dan stabil
g. Dengan bantuan guidewire maka dimasukkan catheter menuju pembuluh darah yang
akan diperiksa
h. Setelah mencapai posisi pembuluh darah yang akan dilakukan pemasangan stent,
kemudian guidewire pun ditarik keluar, lalu dilakukan pemeriksaan aliran darah
i. Dilakukan pemberian kontras pada pembuluh darah yang akan dilakukan pemasangan
stent dan pencitraan dengan mesin angiografi . Langkah tersebut dilakukan berulang
ulang dengan posisi pencitraan yang berbeda beda (AP, oblik kanan/ kiri, lateral)
j. Dengan posisi mikrokateter masih di dalam pembuluh darah, maka dilakukan
pemasangan coil dan proses pelepasannya, hingga seluruh ruang aneurisme terisi
penuh oleh coil
k. Setelah semua tahapan, maka kateter pun ditarik keluar
l. Kemudian dilakukan penggelembungan balon, hingga stent membesar .
m. Kemudian balon dikempiskan, lalu ditarik keluar dan dilakukan pemberian kontras
untuk mengecek keberhasilan pemasangan stent
n. Setelah semua tahapan, maka kateter pun ditarik keluar
o. Femoral sheath jangan dilepas selama 1 jam
p. Bila setelah 1 jam tidak didapatkan komplikasi ataupun perburukan neurologis maka
femoral sheath pun dilepas
q. Dilakukan pemeriksaan status neurologis singkat
r. Dilakukan penekanan pada bekas lapangan prosedur (misalnya a. femoralis kanan)
secara benar selama 15 30 menit untuk mencegah terjadinya hematoma
s. Bila setelah dilakukan tes batuk tidak terdapat darah yang keluar, maka tempat bekas
dilakukan prosedur ditutup dengan kassa dan diberi bandage
10. Instruksi pasca prosedur :
a. Pasien diharuskan untuk istirahat total di tempat tidur minimal selama 6 jam diruang
HCU/ stroke unit/ ICU
b. Selama istirahat tersebut, tungkai bawah yang ada bekas lapangan prosedur tidak
boleh ditekuk
c. Diet disesuaikan dengan kondisi penyakit pasien
d. Minimal setelah 6 jam, dilakukan pemeriksaan bekas lapangan prosedur
e. Dilakukan pemeriksaan status umum dan neurologis dan bila tidak ditemukan faktor
penyulit, maka pasien diperbolehkan pulang 24 jam kemudian

11. Tingkat evidence : II A level B


12. Indikator keberhasilan : apabila coil mengisi seluruh ruang aneurisme, tanpa
adanya pigtail, proleferasi, dan menyumbat pembuluh
darah induk

27
PEDOMAN EMBOLISASI MALFORMASI PEMBULUH DARAH INTRAKRANIAL

1. Nama prosedur : embolisasi malformasi pembuluh darah intrakranial


2. Tanggal update : 02 Juli 2013 hingga sampai ada penatalaksanaan baru
sesuai Evidence Base Medicine
3. Lingkup pengguna : dokter spesialis saraf sub saraf intervensi
4. Pengertian : suatu prosedur terapi dengan menggunakan perangkat
lem N Butyl Cyano Acrilyc ataupun partikel PVA yang
bertujuan untuk menutup nidus ataupun fistula bertujuan
untuk mencegah terjadinya perdarahan ulang
5. Indikasi : malformasi pembuluh darah intrakranial baik yang terkait
dengan duramater atau tidak
6. Kontra indikasi : alergi terhadap kontras
7. Kebijakan : 7.1.Tindakan pemberian lem atau partikel pada malformasi
pembuluh darah intracanial untuk menutup nidus ataupun
fistula bertujuan untuk mencegah pecahnya malformasi
7.2. Harus disertai lembar persetujuan dilakukannya tindakan
8. Alat dan bahan : a. Femoral sheath 5 atau 6 Fr beserta kelengkapannya
b. Jarum Puncture
c. Kateter 6 , 7 Fr Head Hunter atau H1 dan kateter JR
d. Guidewire
e. Kontras
f. Heparin 2500 - 5000 iu
g. Mesin angiografi beserta perangkatnya
h. Tensimeter air raksa
i. EKG 12 lead
j. Perangkat anestesi ( bila diperlukan )
k. Bloodset / infuse set beserta three way
l. RL 1 kolf
m. Sepasang sarung tangan steril
n. Bodyguard, collarguard beserta google
o. Baju operasi steril
p. Kassa steril
q. Bandage
r. Betadine
s. Spuit 5 cc 2 buah dan 10 cc 1 buah
t. Lem NBCA ataupun partikel PVA
u. Mikrokateter
v. Mikro-guidewire

28
9. Prosedur :
a. Pasien yang akan menjalani prosedur sudah dilakukan pemeriksaan status umum
dan neurologis, darah rutin, EKG, ureum/ kreatinin, PT/ aPTT, faal hati, tes HIVdan
foto toraks, cukur rambut pubis di kedua belah sisi.
b. Pasien dibaringkan di atas meja prosedur, dicek persiapan prosedur yang telah
dilakukan, dilakukan tindakan antisepsis Betadine , dipersiapkan lap. prosedur
c. Heparin 2500 3000 IU dicampur dengan 500 cc cairan salin
d. Puncture dilakukan pada a. femoralis kanan
e. Dilakukan pemasangan femoral sheath
f. Setelah femoral sheath terpasang, dilakukan pencitraan dengan mesin angiografi,
apakah kedudukan dan posisi sheath sudah benar dan stabil
g. Dengan bantuan guidewire maka dimasukkan catheter menuju pembuluh darah yang
akan diperiksa
h. Setelah mencapai posisi pembuluh darah yang akan dilakukan pemasangan stent,
kemudian guidewire pun ditarik keluar, lalu dilakukan pemeriksaan aliran darah
i. Dilakukan pemberian kontras pada pembuluh darah yang akan dilakukan pemasangan
stent dan pencitraan dengan mesin angiografi . Langkah tersebut dilakukan berulang
ulang dengan posisi pencitraan yang berbeda beda (AP, oblik kanan/ kiri, lateral)
j. Dengan posisi mikrokateter masih didalam pembuluh darah, maka dilakukan
pemberian lem NBCA ataupun partikel PVA hingga seluruh nidus ataupun fistula
tertutup secara optimal
k. Setelah semua tahapan, maka kateter pun ditarik keluar
l. Kemudian dilakukan penggelembungan balon, hingga stent membesar .
m. Kemudian balon dikempiskan, lalu ditarik keluar dan dilakukan pemberian kontras
untuk mengecek keberhasilan pemasangan stent
n. Setelah semua tahapan, maka kateter pun ditarik keluar
o. Femoral sheath jangan dilepas selama 1 jam
p. Bila setelah 1 jam tidak didapatkan komplikasi ataupun perburukan neurologis maka
femoral sheath pun dilepas
q. Dilakukan pemeriksaan status neurologis singkat
r. Dilakukan penekanan pada bekas lapangan prosedur (misalnya a. femoralis kanan)
secara benar selama 15 30 menit untuk mencegah terjadinya hematoma
s. Bila setelah dilakukan tes batuk tidak terdapat darah yang keluar, maka tempat bekas
dilakukan prosedur ditutup dengan kassa dan diberi bandage

10. Instruksi pasca prosedur :


a. Pasien diharuskan untuk istirahat total di tempat tidur minimal selama 6 jam diruang
HCU/ stroke unit/ ICU
b. Selama istirahat tersebut, tungkai bawah yang ada bekas lapangan prosedur tidak
boleh ditekuk
c. Diet disesuaikan dengan kondisi penyakit pasien
d. Minimal setelah 6 jam, dilakukan pemeriksaan bekas lapangan prosedur
e. Dilakukan pemeriksaan status umum dan neurologis dan bila tidak ditemukan faktor
penyulit, maka pasien diperbolehkan pulang 24 jam kemudian

11. Tingkat evidence : II B level C


12. Indikator keberhasilan : apabila seluruh nidus dapat ditutup oleh material embolisasi

29
Referensi:
Jauch, EC; Saver, JL; Adams, HP; et al. 2013. Guidelines for the Early Management of
Patients with Acute Ischemic Stroke: A Stroke Association Guideline for Healthcare
Professionals from the American Heart Association. Stroke;44:870-947
AGWS Stroke Network. 2014. Acute Ischaemic Stroke Trombolysis Guideline. NHS
Foundation Trust.

PEDOMAN ANTIKOAGULAN PADA STROKE ISKEMIK

A. LATAR BELAKANG
Pemberian antikoagulan diindikasikan pada stroke iskemik akut yang disebabkan oleh
emboli otak dengan tujuan untuk mencegah stroke iskemik ulang.
Efektivitas dan keamanan penggunaan anti koagulan heparin IV untuk terapi stroke
iskemik akut belum cukup terbukti dan masih kontroversial maka tidak
direkomendasikan sampai ada data yang lebih sahih.

30
Low molecular weight heparin (LMWH) dan heparinoid memiliki aktivitas
antitrombotik selektif yang dapat meningkatkan keamanan dan mengurangi risiko
trombositopenia autoimun simptomatik yang berat.
Antikoagulan heparin/LMWH heparinoid dan dilanjutkan dengan warfarin dapat segera
diberikan dengan syarat-syarat ketat pada pasien TIA atau stroke kardioemboli yang
sembuh sempurna dalam 1-2 hari dengan fibrilasi atrium.
Heparin/LMWH/heparinoid dapat diberikan untuk mencegah trombosis vena dalam
pada penderita stroke iskemik dengan hemiplegia atau yang imobilisasi dalam jangka
lama.
Low molecular weight heparin yang diteruskan dengan antikoagulan oral memberikan
keluaran klinis yang lebih baik pada trombosis sinus serebral.
Antikoagulan oral diindikasikan pada kelompok risiko tinggi untuk emboli otak
berulang (fibrilasi atrium non valvuler, katup jantung buatan, trombus mural dalam
ventrikel, infark miokard baru).

B. INDIKASI
1. Prevensi
a. Penderita pasca TIA atau pasca stroke iskemik yang memiliki risiko tinggi untuk
emboli otak berulang yang terbukti bersumber dari jantung misalnya :
Fibrilasi atrium non valvuler Trombus pada lumen arteri karotis
Trombus mural dalam ventrikel Diseksi karotis
kiri
Infark miokard baru Hiperkoagulasi
Katup jantung buatan Sindrom fosfolipid
b. Penderita stroke iskemik dengan trombosis vena dalam, emboli paru, berbaring
lama dengan paresis berat.
2. Terapi
a.Trombosis vena serebral
b. Trombosis vena dalam pasca stroke
c.Stroke tromboemboli

C. KONTRAINDIKASI
Kontraindikasi Mutlak
a. Perdarahan intrakranial b. Ulkus peptikum aktif
c. Gangguan hemostasis d. Gangguan fungsi ginjal dan hati yang berat

31
Kontraindikasi Relatif
a.Infark luas dengan pergeseran garis tengah
b. Hipertensi berat tidak terkontrol (sistolik > 200 mmHg, diastolik > 120
mmHg)
c.Ulkus peptikum tidak aktif/ aktif
d. Riwayat perdarahan oleh karena pemberian antikoagulan
e.Riwayat idiosinkrasi dan hipersensitif terhadap antikoagulan karena potensial
terjadi perdarahan
f. Varises esofagus
g. Baru dilakukan tindakan operatif/biopsi
h. ITP atau trombositopenia dengan sebab selain DIC

D. PEMERIKSAAN PENDAHULUAN
Anamnesis
Riwayat keluarga : penyakit jantung,DM, stroke, stroke usia muda, hiperlipidemia,
penyakit perdarahan.
Riwayat pasien : penyakit jantung,DM, hiperlipidemia, obesitas, penyakit
hepar/ginjal, riwayat peradarahan.
Pemeriksaan fisik :
a.Status generalis dan status neurologis yang lengkap dengan perhatian pada
tekanan darah dan tanda-tanda perdarahan
b. Darah :
1. Awal : DPL, aPTT, PT/INR, Fibrinogen, D-dimer
2. Atas indikasi : AT III, protein C & S, homosistein
c.EKG : fibrilasi atrium, tanda-tanda insufisiensi koroner dan infark miokard
d. Ekokardiografi atas indikasi
1. TTE : untuk menentukan adanya trombus mural, kelainan katup dan miokard
2. TEE : hanya dilakukan bila hasil TTE negatif dan untuk menentukan adanya
trombus mural di atrium kiri
e.CT Scan : untuk menyingkirkan adanya perdarahan intrakranial

E. PROSEDUR TERAPI
Obat yang diberikan :

32
a.Unfractioned heparin
b. Low molecular weight heparin
Algoritme pemberian antikoagulan:

Stroke kardioembolik

Scan otak inisial


Tak ada gambaran hiperdensitas Ada gambaran hiperdensitas

Non valvular atrial fibrilasi


Trombus karotid/ jantung Tidak
Status hiperkoagulasi

Ya Indikasi kontra antikoagulan (+)

Indikasi kontra antikoagulan (-)

Antikoagulan SC + oral (warfarin)

INR tercapai/ heparin atau LMWH stop

Teruskan antikoagulan oral Penilaian ulang 6 minggu lagi

F. TATA CARA TERAPI


Untuk prevensi stroke berulang
a.Heparin
Dosis awal 10.000 u/ 24 jam

Cek aPTT (setelah 6 jam)

< 1,5 kali kontrol > 2,5 kali kontrol


33
Dosis 12.500 u Dosis 7.500 u

Cek aPTT Cek aPTT


(Setelah 6 jam) (Setelah 6 jam)

<1,5 kali kontrol >2,5 kali kontrol <1,5 kali kontrol >2,5 kali kontrol
Dosis 15.000 u Dosis 10.000 u Dosis 10.000 u Dosis5.000 u

Dan seterusnya Dan seterusnya Dan seterusnya Dan seterusnya

1,5-2,5 kali kontrol


Hari ke-3 tumpang tindih dengan antikoagulan oral
(sampai INR 2,0-3,0 atau trombotes (Owren) 10-20%)

NB : Perubahan dosis selama terapi dilakukan dengan perubahan kecepatan infus

b. Heparin berat molekul rendah (LMWH)


2 X 0.4cc subkutan selama 5-7 hari
Monitoring trombosit hari 1 & 3 (jika < 100.000 tidak diberikan)

c.Kumarin
i. Warfarin : (pemberian malam jam 17.00 19.00)
Hari I : 2 mg
Hari II : 2 mg
Hari III : periksa INR (jam 09.00-11.00) jika didapatkan :
INR 1,1 - 1,4 : dosis hari ke-3 (10-20% TDM)
cek ulang INR 1 minggu kemudian
INR 1,5 1,9 : dosis hari ke-3 (5-10% TDM)
cek ulang INR 2 minggu kemudian

34
INR 2,0 3,0 : tidak ada perubahan dosis
cek ulang INR 4 minggu kemudian
INR 3,1 3,9 : hari ke-3 dosis (5-10% TDM)
cek ulang INR 2 minggu kemudian
INR 4,0 5,0 : stop antikoagulan, monitor INR sampai 3,0
pasien kontrol tiap hari
(TDM = toral dosis mingguan)
ii. Dikumarol
Hari I : 1 mg
Hari II : 1 mg dst
Cara pemberian sama dengan warfarin
(1 mg dikumarol ~ 2 mg warfarin)
Untuk prevensi trombosis vena dalam
Heparin 2 X 5000 unit subkutan atau Low Weight Molecular Heparin 2 X 0,3 cc
subkutan selama 7-10 hari (tidak perlu pemantauan aPTT), disertai pemberian
antikoagulan oral sampai tercapai target INR, heparin atau LMWH dihentikan dan
oral antikoagulan diteruskan.
Untuk terapi trombosis vena serebral/ vena dalam == sama dengan algoritme
pemberian heparin.
Untuk pencegahan stroke dan emboli sistemik pada pasien atrial fibrilasi diberikan
debigatran 150 mg dua kali sehari. Untuk pasien dengan gangguan ginjal,
direkomendasikan dosis 75 mg dua kali sehari. Waktu permulaan pemberiannya
setelah stroke dan manfaat obat antitrombin lainnya belum jelas. Pemberian
rivaroksaban dapat dipertimbangkan jika diperlukan.
G. PEMANTAUAN
Efek terapeutik
a.aPTT : 1,5-2,5 kali kontrol (5-10 hari)
b. Fibrilasi atriumnonvalvuler : INR 2-3 (target 2,5) seumur hidup
c.Trombus ventrikel kiri : INR 2-3 (target 2,5) 6 bulan
d. Infark miokard baru : INR 2-3 (target 2,5) 6bulan
e.Katup jantung buatan : INR 3-4 (target 3,5) seumur hidup
Efek samping / komplikasi
a.Golongan heparin

35
1. Trombositopenia akibat induksi heparin
2. Osteoporosis
3. Perdarahan
4. Idiosinkrasi
b. Antikoagulan oral
1. Nekrosis kulit
2. Ruam kulit
3. Diare
4. Perdarahan ekimosis,hematom, epistaksis, perdarahan serebral

H. PENATALAKSANAAN KOMPLIKASI
Golongan heparin
a.Stop heparin
b. Perdarahan berat : protamin sulfat 10-20 mg
Golongan Kumarin
Perdarahan :
a.Perdarahan minor : lokal,dosis diturunkan
b. Perdarahan mayor : stop warfarin, Vitamin K 5-10 mg sub kutan, FFP (fresh
frozen plasma) bila terbukti adanya trombositopenia (<100.000)

I. INTERAKSI OBAT
Gangguan absoprsi : kolestiramin

Potensiasi :
a.Fenilbutazon
b. Metronidazol
c.Trimetoprim-sulfametoksazol
d. Eritromisin
e.Steroid anabolik
f. Klorfibrate
g. Simetidin
h. Flukonazol

36
i. Obat anti inflamasi non steroid
Inhibisi
a.Barbiturat
b. Rifampisisn
c.Penisilin
d. Griseofulvin

Dikutip dari:
Guideline Stroke 2007 (Edisi Revisi) . 2007. Jakarta. Kelompok Studi Stroke, Perhimpunan
Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI).
Jauch, EC; Saver, JL; Adams, HP; Bruno, A; Connors, JJ; Demaerschalk, BM; et al. 2013.
Guidelines for the Early Management of Patients With Acute Ischemic Stroke: A
Guideline for Healthcare Professionals From the American Heart
Association/American Stroke Association. Stroke;44:XXX-XXX.

PEDOMAN PENGELOLAAN HIPERTENSI PADA STROKE AKUT

Stroke Iskemik:
1. Beta blocker tidak seefektif obat antihipertensi lain dalam menurunkan rekurensi stroke
2. Penurunan dan peningkatan yang besar dari tekanan darah selama fase akut stroke
berkaitan dengan outcome yang buruk:
a. Tekanan darah sistolik (TDS) > 180 mmHg meningkatkan dua kali risiko outcome yang
jelek (kehilangan autoregulasi serebral, edema serebral)
b. Tekanan darah sistolik (TDD) < 136 meningkatkan risiko outcome yang jelek sampai
30% (penurunan tekanan perfusi)
3. Obat antihipertensi harus diberikan: TDD > 120 mmHg atau TDS > 220 mmHg dan
dibatasi penurunan tekanan darahnya dalam 24 jam pertama berkisar 15%

37
4. Terapi penurunan tekanan darah sesegera mungkin dalam 6-24 jam setelah stroke iskemik akut
5. Terapi trombolitik intravena: tekanan darah harus diturunkan jika sistolik > 185 mmHg
atau diastolik > 110 mmHg. Setelah terapi trombolitik, TDS harus tetap dijaga < 180
mmHg dan TDD < 105 mmHg
6. Terdapat obat anti hipertensi (diuretik tiazid, ACEI, ARB, beta blocker, CCB) tunggal atau
kombinasi, tetapi beberapa penelitian menyarankan ACEI dan ARB mungkin lebih efektif
dalam prevensi rekurensi stroke dibanding anti hipertensi yang lainnya.
7. Dua minggu setelah onset gejala stroke akut, target TDS harus < 140 mmHg dan TDD <
90 mmHg, berkaitan dengan risiko stroke dan kejadian kardiovaskular yang lebih rendah
(Class I, Level A). Diabetes melitus atau penyakit ginjal, target tekanan darah < 130/90
mmHg (Class I, Level A).

Stroke Hemoragik/ Perdarahan:


1. Tekanan darah sistolik > 150 mmHg, penurunan TDS akut sampai 140 mmHg mungkin
(probably) aman, target penurunan kurang dari 140/90 atau kurang dari 130/80 pada
diabetes atau penyakit ginjal adalah beralasan. Target tekanan darah, durasi terapi dan
apakah terapi demikian meningkatkan outcome klinis, masih belum jelas.
2. Tekanan darah sistolik > 140 mmHg dalam 12 jam perdarahan intraserebral berkaitan
dengan lebih dari dua kali risiko kematian dan ketergantungan.
3. Hipertensi dapat berkontribusi pada pelebaran hidrostatik dari hematom, edema peri
hematom dan perdarahan ulang. Tekanan darah yang tinggi selama stroke akut
memperburuk edema serebral.
4. Penurunan tekanan darah intensif sejak awal secara klinis memungkinkan, dapat
ditoleransi dan dapat mengurangi ekspansi hematom pada perdarahan intraserebral. Risiko
relatif dari ekspansi hematom 36% lebih rendah (95% confidence interval 0-59%, p = 0,05).

Dikutip dari:
Sjahrir, H. 2011. Pedoman Pengelolaan Hipertensi Pada Akut Stroke. Available from:
www.neurologi.usu.ac.id. Cited at: Januari 6th, 2011.

38
PEDOMAN HIPERGLIKEMIA PADA STROKE AKUT
A. LATAR BELAKANG
Banyak penelitian yang membuktikan bahwa hiperglikemia, baik reaktif maupun tidak,
selama iskemia otak akut menimbulkan efek yang berbahaya dan berdampak terhadap
keluaran klinis yang lebih buruk terutama pada stroke non lakuner
Selama stroke iskemik fase akut hiperglikemia dapat memperberat keluaran klinis pada
stroke non lakuner, tetapi tidak pada stroke lakuner, dan tidak berkaitan dengan
peningkatan transformasi infark hemoragik. Pada iskemia fokal, glukosa darah harus
dinormalkan dengan insulin, tetapi menghindari hipoglikemia, untuk memperkecil
daerah infark otak.
Batas kadar gula darah yang dianggap masih aman pada fase akut stroke iskemik non
lakuner adalah 100-200 mg%.
Batas tertinggi kadar gula darah paling optimal dengan keluaran terbaik pada fase akut
stroke non lakuner adalah 150 mg%.

39
B. PEDOMAN TATALAKSANA
1. Indikasi dan syarat-syarat pemberian insulin
Stroke hemoragik dan non hemoragik dengan IDDM atau NIDDM
Bukan stroke lakunar dengan diabetes melitus
2. Kontrol gula darah selama fase akut stroke
Insulin reguler diberikan secara sub kutan tiap 6 jam dengan skala luncur dengan
cara pemberian seperti tabel berikut ini:
Glukosa (mg/dl) Insulin tiap 6 jam subkutan
< 80 Tidak diberikan insulin
80-150 Tidak diberikan insulin
150-200 2 unit
201-250 4 unit
251-300 6 unit
301-350 8 unit
351-400 10 unit
> 400 12 unit
Bila kadar gula darah sulit dikendalikan dengan skala luncur, diperlukan infus
kontinyu dengan dosis dimulai 1 unit/jam, dan dapat dinaikkan sampai 10
unit/jam. Kadar gula darah harus dimonitor dengan ketat setiap 1-2 jam sehingga
kecepatan infus dapat disesuaikan (standar drip insulin 1 unit/ 1 ml).
Bila hiperglikemia hebat >500 mg/dL, diberikan bolus pertama 5-10 unit insulin
reguler tiap jam.
Setelah kadar gula darah stabil dengan insulin skala luncur atau infus kontinyu
maka dimulai pemberian insulin reguler sub kutan
3. Kontrol gula darah masa kesembuhan
Bila penderita stabil, makan biasa, dan motorik dan kognitif sudah pulih, mulai
berikan insulin basal (NPH atau lente insulin)
NPH insulin diberikan tiap 12 jam dengan dosis awal kira-kira 0,2-0,3
unit/kgBB/hari.
Insulin reguler tambahan sebelum makan dapat diteruskan untuk disesuaikan
tergantung pada kadar gula darah waktu puasa (sasaran kadar gula darah 100-200
mg/dl)
Bila kadar gula darah pada pemantauan stabil (< 200 mg%) dengan kebutuhan
insulin < 15 unit/hari, terapi dimulai dengan anti diabetika oral sebelumnya (pada
penderita DM tipe 2)

40
C. PENGOBATAN JIKA HIPOGLIKEMIA (GLUKOSA DARAH < 60 MG/DL)
Hentikan insulin drip
Berikan dekstrose 50% dalam air (D50W) intravena
o Bila penderita sadar: 25 ml (1/2 amp)
o Bila tak sadar: 50 ml (1 amp)
Periksa ulang gula darah tiap 20 menit dan beri ulang 25 ml D50W intravena bila
gula darah < 60 mg/dl. Mulai lagi dengan insulin drip bila gula 2 kali > 70 mg/dl
(periksa 2 kali). Mulai insulin drip dengan algoritme lebih rendah (moving down).

Dikutip dari:
Guideline Stroke Tahun 2011. 2011. Jakarta. Kelompok Studi Stroke Perhimpunan Dokter
Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI).
Guideline Stroke 2007 (Edisi Revisi). 2007. Jakarta. Kelompok Studi Stroke Perhimpunan
Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI).
Guideline Stroke 2004 (Edisi Ketiga). 2004. Jakarta. Kelompok Studi Stroke Perhimpunan
Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI).

PEDOMAN PENGENDALIAN FAKTOR RISIKO PADA PENCEGAHAN


SEKUNDER STROKE

A. LATAR BELAKANG
Risiko stroke meningkat seiring dengan beratnya dan banyaknya faktor risiko.
Data epidemiologi menyebutkan risiko untuk timbulnya serangan ulang stroke adalah
30% dan populasi yang pernah menderita stroke memiliki kemungkinan serangan
ulang adalah 9 kali dibandingkan populasi normal.
Upaya untuk mencegah serangan ulang stroke perlu mengenal dan mengontrol faktor
risiko dan kalau perlu mengubah faktor risiko tersebut.

B. PENGGOLONGAN FAKTOR RISIKO


1. Tidak dapat dimodifikasi
Usia
Jenis kelamin

41
Herediter
Ras/etnik
2. Dapat dimodifikasi
Riwayat stroke
Hipertensi
Penyakit jantung
Diabetes mellitus
Penyakit karotis asimptomatis (stenosis karotis)
Transient Ischemic Attack (TIA)
Hiperkolesterol
Penggunaan kontrasepsi oral
Obesitas
Merokok
Alkoholik
Penggunaan narkotik
Hiperhomosisteinemia
Antibodi anti fosfolipid
Hiperurisemia
Peninggian hematokrit
Peninggian kadar fibrinogen

C. PENGENDALIAN FAKTOR RISIKO


1. Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi
Tidak dapat diubah
Dapat dipakai sebagai petanda (marker) stroke pada seseorang
2. Faktor risiko yang dapat dimodifikasi
a. Hipertensi
Rekomendasi :
Mengupayakan tekanan darah sistolik < 140 mmHg; diastolik < 90 mmHg
Modifikasi gaya hidup : kontrol berat badan, aktivitas fisik, hindari minum
alkohol, dan diet mengandung natrium sedang (100 mmol/hari)

42
Bila setelah modifikasi gaya hidup tekanan darah masih tetap >140/90 mmHg
atau tekanan darah >180/100 tambahkan obat anti hipertensi
b. Fibrilasi Atrium
Karakteristik pasien Rekomendasi
Usia < 65 tahun, tidak ada faktor risiko* Aspirin
Usia < 65 tahun, dengan faktor risiko* Warfarin (INR 2,5; range 2.0-3.0)
Usia 65-75 tahun, tidak ada faktor risiko* Aspirin atau warfarin
Usia 65-75 tahun, dengan faktor risiko* Warfarin (INR 2,5; range 2.0-3.0)
Usia > 75 tahun dengan atau tanpa faktor risiko* Warfarin (INR 2,5; range 2.0-3.0)
*Faktor risiko AF : hipertensi, diabetes mellitus, fungsi ventrikel kiri jelek, penyakit katup
mitral rematik, riwayat TIA/stroke, emboli sistemik atau stroke, katup jantung buatan.
c. Diabetes Melitus
Rekomendasi:
Mengontrol dan mengendalikan kadar gula darah dengan cara diet, obat
antidiabetika oral dan atau insulin;
Mengobati hipertensi bila ada

d. Riwayat TIA atau Stroke


Karakteristik Pasien Rekomendasi
Tanpa antiplatelet Aspirin 75-150 mg/ hari, atau
sebelumnya Dipiridamol SR 200 mg + aspirin 25 mg 2x/ hari, atau
Tiklopidin 250 mg 2x/hari, atau Klopidogrel 75 mg/ hari
Dengan Aspirin Dipiridamol SR 200mg/aspirin 25 mg 2x/ hari, atau
sebelumnya Tiklopidin 250 mg 2x/ hari, atau Klopidogrel 75 mg/ hari
Dengan antiplatelet Warfarin, target 2.0-3.0 atau Tiklopidine atau Klopidogrel
monoterapi yang dikombinasikan dengan Aspirin
sebelumnya

e. Dislipidemia
Karakteristik Rekomendasi

Evaluasi awal (tidak ada PJK) :


CT < 200 mg% & HDL 35 mg% Ulangi pemeriksaan CT dan HDL dalam
6 bulan 1 tahun
CT < 200 mg% & HDL < 35 mg% Analisis lipoprotein
CT 200-239 mg% & HDL 35 mg% & Modifikasi diet, evaluasi ulang 3-6 bln
2 faktor risiko PJK **
CT 200-239 mg% & HDL < 35 mg% Analisis lipoprotein
atau 2 faktor risiko PJK **
CT 240 mg% Analisis lipoprotein

43
Evaluasi LDL
Tanpa PJK & < 2 faktor risiko PJK ** Turunkan LDL <160 mg%; modifikasi
diet selama 6 bulan, terapi obat-obatan
bila LDL >190 mg%
Tanpa PJK tapi 2 faktor risiko PJK ** Turunkan LDL <130 mg%; modifikasi
diet selama 6 bulan, terapi obat-obatan
bila LDL >160 mg%
Dgn PJK/ penyakit aterosklerotik lainnya Diet selama 6-12 minggu,bila LDL
>130 mg%, berikan obat-obatan

**faktor risiko PJK: laki-laki 45 tahun; wanita 55 tahun atau menopause dini
tanpa terapi hormonal, riwayat keluarga dengan PJK prematur, merokok, hipertensi,
HDL < 35 mg%, diabetes mellitus.
CT = Cholesterol total; HDL = High Density Lipoprotein; PJK = Penyakit Jantung Koroner

f. Faktor Risiko Lainnya


Faktor Risiko Rekomendasi
Obesitas Turunkan berat badan (BMI <30 kg/m2) Garis lingkar
pinggang usahakan < 35 inci (84 cm) untuk wanita dan <
40 inci (96 cm) untuk laki-laki
Kontrasepsi Oral Hentikan pemakaian kontrasepsi oral pada wanita yang
mempunyai faktor risiko tambahan lain (merokok atau
riwayat tromboemboli sebelumnya)
Merokok Anjurkan pasien dan keluarga untuk berhenti merokok
Pencandu alkohol Dianjurkan untuk menghindari dan berhenti minum alkohol
Kecanduan Obat Hentikan dan evaluasi kesehatan penderita
Hiperhomosisteinemia Turunkan sampai 16mol/L, beri asam folat 400g/hari, B6
1.7 mg/hari, B12 2.4 mg/hari, diutamakan dalam bentuk
sayuran, buah-buahan, tumbuhan polong, daging, ikan,
beras fortified dan biji-bijian
Sindroma antifosfolipid Kumarin (INR 2.5) jangka panjang
Pada keguguran berulang berikan Aspirin 75 mg/hari
dengan dosis rendah, 2x5000 unfractioned heparin SC
Sickle cell anemia Skrining TCD tiap 6 bulan
TCD = Transcranial Doppler
BMI = Body Mass Index

Dikutip dari:
Guideline Stroke Tahun 2011. 2011. Jakarta. Kelompok Studi Stroke Perhimpunan Dokter
Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI).

44
Guideline Stroke 2007 (Edisi Revisi). 2007. Jakarta. Kelompok Studi Stroke Perhimpunan
Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI).
Guideline Stroke 2004 (Edisi Ketiga). 2004. Jakarta. Kelompok Studi Stroke Perhimpunan
Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI).

DIVISI NEURO-ONKOLOGI

SOL (SPACE OCCUPYING LESSION) INTRAKRANIAL


DEFINISI
Massa intrakranial (baik primer maupun sekunder) yang memberikan gambaran klinis
proses desak ruang dan atau gejala fokal neurologis.

ANAMNESIS
Pada anamnesis didapati adanya riwayat nyeri kepala kronik yang tidak berkurang
dengan obat analgesik, muntah tanpa penyebab gastrointestinal, kejang yang berulang,
gangguan visus, perubahan mental (keluhan psikiatri) dan kesadaran yang menurun secara
perlahan-lahan.

45
PEMERIKSAAN FISIK
Ditemukan gejala peningkatan tekanan intrakranial yaitu nyeri kepala, muntah dan
kejang. Gejala fokal/ defisit neurologis fokal. Pada pemeriksaan funduskopi dijumpai adanya
papil edema.

KRITERIA DIAGNOSIS
Gejala tekanan intrakranial yang meningkat
Gejala fokal/ defisit neurologis fokal
Tidak ada tanda-tanda radang sebelumnya
Pemeriksaan neuroimejing menunjukkan adanya massa (space occupying lession)
Diagnosis SOL intrakranial dapat tegak dengan anamnesis dan pemeriksaan
neurologis, imejing dan biopsi berguna untuk menentukan jenis SOL intrakranial.

DIAGNOSA BANDING
Abses serebri
Subdural hematom
Tuberkuloma
Pseudotumor serebri

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Foto polos tengkorak
Neurofisiologi: EEG, BAEP
CT Scan/ MRI kepala dengan kontras: dilakukan 2 kali, sebelum dan setelah
pemberian kontras intravena.

TERAPI
Kausal: operatif, radioterapi dan kemoterapi
Obat-obat dan tindakan untuk menurunkan tekanan intrakranial: deksametason,
manitol dan posisi kepala ditinggikan 300
Simptomatik (bila diperlukan): antikonvulsan, analgetik/ antipiretik, sedatif,
antidepresan, dan lain-lain

46
Rehabilitasi medik

EDUKASI
Memberikan penjelasan kepada pasien dan keluarga meliputi pengertian, tanda dan
gejala, cara menegakkan diagnosa dan penatalaksanaan SOL intrakranial. Perawatan pasien
di rumah, nutrisi, serta serta indikasi rawat inap (yaitu telah terdapat keluhan dan kelainan
saraf yang berat dan dan gangguan hormonal dan metabolik).

PROGNOSIS
Tergantung jenis tumor, lokalisasi dan perjalanan penyakit

TUMOR MEDULA SPINALIS (SPINAL CORD TUMOR)


DEFINISI
Tumor medula spinalis adalah tumor yang berada pada intramedular (berasal dari medulla
spinalis) dan atau ekstramedular (berasal dari luar medulla spinalis). Tumor ekstramedular
dapat dapat berupa intradural (pada leptomeningens atau akar saraf/ radiks) dan atau
ekstradural (pada korpus vertebra atau ruang epidural). Tumor intra dan ekstramedular dapat
merupakan tumor primer ataupun metastase.

ANAMNESIS DAN PEMERIKSAAN FISIK


Pasien dengan tumor intraspinal biasanya menunjukkan salah satu dari tiga sindroma klinis
berikut:
1. Sindroma traktus sensorimotor
Gambaran ini terutama disebabkan oleh kompresi, invasi, dan destruksi traktus
medulla spinalis. Tanda-tanda kompresi antara lain
- Kelemahan spastik asimetris pada tungkai jika lesi di torakolumbal, lengan dan
tungkai jika lesi di servikal.
- Menurunnya sensibilitas nyeri dan suhu di bawah lesi
- Tanda-tanda kolumna posterior
- Spastic bladder
2. Sindroma radikuler

47
Bisa timbul bersamaan dengan sindroma kompresi, rasa nyeri seperti diiris, tumpul,
dan menjalar ke distal sesuai dengan daerah distribusi saraf, yang bertambah berat
jika batuk, bersin, atau mengedan.
3. Sindroma intramedularsiringomielik
Disebut juga sindroma substansia grisea. Gangguan berupa disosiasi sensorik, yaitu
hilangnya rasa nyeri dan suhu dengan kualitas sensorik lain masih baik.

KRITERIA DIAGNOSIS
Diagnosis dapat tegak secara klinis ditambah tes Queckenstedt (-) dan dijumpai sindroma
Froin (xanthocromia dan clotting (+) karena kadar protein yang tinggi) pada lumbal pungsi.

Intrameduler Intradural dan Ekstrameduler Ekstradural


Gejala: Nyeri (+), sensorik (-), Nyeri pada metastasis (+++), nyeri Nyeri (+++)
disfungsi spinkter segera pada tumor primer (+) radikular radikular atau lokal
atau lokal, sensorik (-)
Tanda: Penurunan tonus rektal, Kelemahan radikular atau -
spastisitas, tanda UMN segmental, sensorik (-), tanda UMN
Jenis Tumor: Ependimoma, Meningioma Metastasis
Astrositoma Skwanoma

Diagnosis jenis tumor dilakukan melalui MRI Brain Kontras dengan atau tanpa MR
Spektroskopi. Diagnosis pasti melalui biopsi jaringan tumor.
DIAGNOSIS BANDING
Abses medula spinalis
Trauma medula spinalis seperti subdural hematom, kontusio medula spinalis
Tuberkuloma medula spinalis

PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Computed Tomography (CT Scan) Vertebra
2. Magnetic Resonance Imaging (MRI) Vertebra
3. Mielografi ==> bila MRI tidak dapat dilakukan

PENATALAKSANAAN
1. Reseksi pembedahan merupakan terapi pilihan pada tumor medula spinalis.
2. Penderita dengan reseksi subtotal diterapi dengan radioterapi

48
3. Kemoterapi sangat terbatas dijadikan pilihan terapi pada high-grade glioma dan tumor
rekuren

EDUKASI
Memberikan penjelasan kepada pasien dan keluarga meliputi pengertian, tanda dan
gejala, cara menegakkan diagnosa dan penatalaksanaan tumor medula spinalis. Perawatan
pasien di rumah, nutrisi, serta serta indikasi rawat inap (yaitu telah terdapat keluhan dan
kelainan saraf yang berat dan dan gangguan hormonal dan metabolik).

PROGNOSIS
Tergantung jenis tumor, lokalisasi dan perjalanan penyakit

KEPUSTAKAAN
Misbach J, Hamid AB, Mayza A, Saleh MK. Buku Pedoman Standar Pelayanan Medis (SPM)
dan Standar Prosedur Operasional (SPO) Neurologi, Koreksi Tahun 1999 dan 2005.
2006. Jakarta. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI).
Modul Neuro-onkologi, Program Pendidikan Dokter Spesialis Neurologi. 2008. Jakarta.
Kolegium Neurologi Indonesia.
Ropper AH, Brown RH. 2009. Adams and Victors, Principles of Neurology. McGraw Hill,
New York. p. 1079-1083
DIVISI NEURO-INFEKSI

MENINGITIS TUBERKULOSA
DEFINISI
Meningitis tuberkulosa adalah reaksi peradangan yang mengenai selaput otak
yang disebabkan oleh kuman tuberkulosa.

ANAMNESIS
Didahului oleh gejala prodromal berupa nyeri kepala, anoreksi, mual/muntah,
demam subfebris, disertai dengan perubahan tingkah laku dan penurunan kesadaran,
onset subakut, riwayat penderita TB paru atau adanya fokus infeksi sangat mendukung.

PEMERIKSAAN FISIK

49
Tanda-tanda perangsangan meningeal: kaku kuduk, Laseque dan Kernig
Kelumpuhan saraf otak dapat sering dijumpai.

KRITERIA DIAGNOSIS
Kriteria diagnosis menurut Ogawa :
A. Kategori Definite :
Bila kultur Mycobacterium tuberculosa dari cairan serebro spinal (CSS) positif
atau diagnosis meningitis ditegakkan melalui otopsi atau terdapat keduanya.
B. Kategori Probable :
- Bila gambaran CSS pleositosis.
- Kultur bakteri lain atau jamur negative dan disertai salah satu dari :
a. Uji tuberkulin positif, b. terdapat tuberkulosis di luar SSP atau mempunyai
riwayat TB aktif sebelumnya, atau telah terjadi pemaparan TB yang
bermakna, c. Glukosa CSS kurang dari 40 mg/ dl dan d. Kadar protein CSS
lebih dari 60 mg/dl.

Stadium Klinis :
Stadium 1 (Early)
Gejala dan tanda yang nonspesifik, tidak ada kesadaran yang berkabut, tidak defisit
neurologis, letargi atau perubahan perilaku.
Stadium II (Intermediate) :
Iritasi meningeal, defisit neurologis minor (kelumpuhan saraf kranialis).
Stadium III (Late) :
Gerakan abnormal, konvulsi, stupor atau koma, defisit neurologis yang berat
(hemiplegi, paraplegi, deserebrasi).

DIAGNOSIS BANDING
Meningoensefalitis karena virus
Meningitis bakterial yang pengobatannya tidak sempurna
Meningitis oleh karena infeksi jamur/ parasit (Cryptococcus neoformans atau
Toxoplasma gondii), Sarkoid meningitis.
Tekanan selaput yang difus oleh sel ganas, termasuk karsinoma, limfoma,
leukemia, glioma, melanoma, dan meduloblastoma.
Pada parameningeal abses menimbulkan reaksi limfositik para cairan otak.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan laboratorium: pemeriksaan LCS (bila tidak ada tanda-tanda peninggian
tekanan intrakranial)

50
Pelikel (+)/ Cobweb Appearance (+)
Pleiositosis 50-500 /mm4, dominan sel mononuklear, protein meningkat 100 -
200 mg%, glukosa menurun < 50 - 60% dari GDS, kadar laktat, kadar asam
amino, bakteriologis Ziehl Nielsen (+), kultur BTA (+).
Pemeriksaan darah rutin, kimia, elektrolit
Pemeriksaan sputum BTA (+)
Pemeriksaan Radiologik
Foto polos paru
CT-Scan kepala atau MRI dibuat sebelum dilakukan fungsi lumbal bila dijumpai
peninggian tekanan intrakranial.
Pemeriksaan penunjang lain :
IgG anti TB (Untuk mendapatkan antigen bakteri diperiksa conter-
immunoclectrophoresis, radioimmunoassay atau tekhnik ELISA) dan PCR

TERAPI
Menurut WHO :
Initial (terapi permulaan) INH + Rifampisin + Pyrazinamide + Ethambutol atau
INH + Riampisin + Pyrazimanide + Streptomisin) selama 2 bulan.
Continuation (lanjutan) : INH + Rifampisin selama 7 bulan.
Kortikoseteroid
Dosis obat anti tuberkulosa (OAT)
1. Rifampisin : 10 mg/kgBB, maksimal 600 mg 203 x/minggu atau
BB > 60 kg : 600 mg
BB 40-60 kg : 450 mg
BB < 40 kg : 300 mg
Dosis intermiten 600 mg kali
2. INH 5 mg/kg BB, maksimal 300 mg, 10 mg/kg BB 3 x seminggu, 15 mg/kgBB 2
x seminggu atau 300 mg/hari untuk dewasa, intermiten : 600 mg/ kali.
3. Pirazinamid : fase intensif 25 mg/kgBB, 35 mg/kgBB 3 x seminggu, 50 mg/kgBB
2 x seminggu atau :
BB > 60 kg : 1500 mg
BB 40-60 kg : 1000 mg
BB < 40 kg : 750 mg
4. Etambutol fase intensif 20 mg/kgBB, fase lanjutan 15 mg/kgBB, 30mg/kgBB 3 x
seminggu, 45 mg/kgBB 2 x seminggu atau
BB > 60 mg : 1500 mg
BB 40-60 kg : 1000 mg
BB < 40 kg : 750 mg
Dosis intermiten 40 mg/kgBB/ kali
5. Streptomisin: 15 mg / kgBB atau
BB > 60 mg : 1000 mg
BB 40-60 kg : 750 mg
BB < 40 kg : sesuai BB

51
*Efek samping OAT :
Efek samping Penyebab Penanganan
Gatal dan kemerahan Semua jenis OAT Beri antihistamin &
pada kulit dievaluasi ketat
Tuli Streptomisin Streptomisin
dihentikan
Gangguan Streptomisin Streptomisin
keseimbangan dihentikan
Ikterik Hampir semua OAT Hentikan semua OAT
sampai ikterik
menghilang
Bingung dan muntah Hampir semua obat Hentikan semua OAT
& lakukan uji fungsi
hati
Gangguan penglihatan Ethambutol Hentikan etambutol

Purpura dan syok Rifampisin Hentikan Rifampisin

EDUKASI
Memberikan penjelasan kepada pasien dan keluarga pengobatan yang panjang
dari meningitis tuberkulosa dan dibutuhkan kepatuhan serta kerjasama pasien dan
keluarga demi keberhasilan terapi. Dijelaskan juga prognosis pasien ini.

PROGNOSIS
Meningitis tuberkulosa sembuh lambat dan umumnya meninggalkan sekuele
neurologis
Bervariasi dari sembuh sempurna, sembuh dengan cacat dan meninggal

KEPUSTAKAAN
Misbach J, Hamid AB, Mayza A, Saleh MK. Buku Pedoman Standar Pelayanan Medis (SPM)
dan Standar Prosedur Operasional (SPO) Neurologi, Koreksi Tahun 1999 dan 2005.
2006. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI). Jakarta.
Modul Neuroinfeksi, Program Pendidikan Dokter Spesialis Neurologi. 2008. Kolegium
Neurologi Indonesia. Jakarta.

52
Ropper AH, Brown RH. 2005. Adams and Victors, Principles of Neurology. McGraw Hill,
New York.
Sudewi AAR, Sugianto P, Ritarwan K. 2011. Infeksi Pada Sistem Saraf. Airlangga University
Press, Surabaya.

MENINGITIS BAKTERIAL
DEFINISI
Meningitis bakterial (disebut juga meningitis piogenik akut atau meningitis
purulenta) adalah suatu infeksi cairan likuor serebrospinalis dengan proses peradangan
yang melibatkan piameter, arakhnoid, ruangan subarakhnoid dan dapat meluas ke
permuikaan otak dan medula spinalis.

ANAMNESIS
Gejala timbul dalam 24 jam setelah onset, dapat juga akibat subakut antara 1-7
hari. Gejala berupa demam tinggi, menggigil, sakit kepala, fotofobia, mialgia, mual,
muntah, kejang, perubahan status mental sampai penurunan kesadaran.

PEMERIKSAAN FISIK
Tanda tanda rangsang meningeal
Papil edema biasanya tampak beberapa jam setelah onset
Gejala nourologis fokal berupa gangguan saraf kranialis
Gejala lain : infeksi ekstrakranial misalnya sinusitis, otitis media, mastoiditis,
pneumonia, infeksi saluran kemih, arthiritis (N. Meningitidis).

KRITERIA DIAGNOSIS
Gejala dan tanda klinis meningitis plus parameter liquor serebrospinal (LCS)
abnormal (predominasi PMN; rasio glukosa LSC dengan darah < 0,4) plus didapatkan
bakteri penyebab di LCS secara mikroskopis dan atau hasil kultur positif plus salah satu
dari: kultur darah positif dan atau tes antigen/ PCR dari LCS positif dengan atau tanpa
riwayat infeksi saluran nafas yang baru dan riwayat faktor predisposisi seperti
pneumonia, sinusitis, otitis media, gangguan imunologi tubuh, alkoholisme dan diabetes
melitus.

DIAGNOSIS BANDING
Meningitis virus
Perdarahan Subarakhnoid
Meningitis Khemikal
Meningitis TB
Meningitis Leptospira

53
Meningoensefalitis Fungal

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium
Lumbal pungsi : Mutlak dilakukan bila tidak ada kontraindikasi. Pemeriksaan
likuor : tekanan meningkat > 180 mmH 2O, Pleiositiosis > 1.000 / mm 3 dapat
sampai 10.000/mm3 terutama PMN, Protein meningkat > 150 mg/dl, dapat >
1.000mg/dl, Glukosa menurun < 40% dari GDS. Dan dapat ditemukan
mikroorganisme dengan pengecatan gram.
Pemeriksaan kultur likuor dan darah
Pemeriksaan darah rutin : Lekositosis, LED meningkat
Pemeriksaan kimia darah (gula darah, fungsi ginjal dan hati) dan elektrolit
Pemeriksaan Radiologik
Foto polos paru
CT Scan kepala : dilakukan bila perlu, pada pasien dengan perubahan status
mental disertai adanya tanda fokal atau lateralisasi atau kejang untuk melihat
adanya komplikasi dan untuk menyingkirkan proses patologis lain.
Pemeriksaan Penunjang Lain
Bila hasil analisis likuor serebrospinalis mendukung, tetapi pada pengecatan gram
negatif maka untuk menentukan bakteri penyenban dapat dipertimbangkan
pemeriksaan antigen bakteri spesifik seperti C Reactive Protein (CRP) atau PCR
(Polymerase Chain Reaction).

TERAPI
Umum : perawatan 5B
Kausal : lama pemberian 10-14 hari

Usia Bakteri penyebab Antibiotik


< 50 tahun S. Penuimonide Cefotaxime 2 g/6 jam max.12 g/hari atau
N. Meniongitidis ceftriaxone 2 gl/12 jam + ampicillin 2 g/4 jam/IV
L. Monocytogenes (200 mg/kg BB/IV/hari)
Chloramphenicol 1 g/6 jam + Trimetroprim/
sulfametoxazole 20 mg/kg BB/hari
Bila prevalensi S. Pneumoniae Resisten Cephalosporin
> 2% diberikan :
Cefotaxime / Ceftriaxone + vancomycin 1 g/ 12
jam / IV (max. 3 g/hari)

> 50 tahun S. penumoniace Cefotaxime 2 g/6 jam max.12 g/hari atau ceftriaxone

54
H. influenzae 2 gl/12 jam + ampicillin 2 g/4 jam/IV (200 mg/kg
Species Listeria BB/IV/hari)
Pseudomonas Bila prevalensi S. Pneumoniae Resisten Cephalosporin
aeroginosa > 2% diberikan :
N. meningitis Cefotaxime / Ceftriaxone + Vancomycin 1 g/ 12 jam
/ IV (max. 3 g/hari)
Ceftadizime 2 g/8 jam / IV

Bila bakteri penyebab tidak dapat diketahui, maka terapi antibiotik empiris sesuai
dengan kelompok umur, harus segera dimulai
Terapi tambahan : dianjurkan hanya pada penderita risiko tinggi, penderita dengan
status mental sangat terganggu, edema otak atau TIK meninggi yaitu dengan
Deksamentason 0,15 mg/kgBB/6 jam /IV selama 4 hari dan diberikan 20 menit
sebelum pemberian antibiotik.

Penanganan peningkatan TIK :


Meninggikan letak kepala 30o dari tempat tidur
Obat hiperosmoler: manitol atau gliserol
Hiperventilasi untuk mempertahankan pCO2 antara 27-30 mmHg

EDUKASI
Memberikan penjelasan kepada pasien dan keluarga meliputi pengertian, tanda dan
gejala, cara mendiagnosa dan pengobatan serta prognosis pasien.

PROGNOSIS
Bervariasi, dari sembuh sempurna, sembuh dengan cacat sampai meninggal.

KEPUSTAKAAN
Misbach J, Hamid AB, Mayza A, Saleh MK. Buku Pedoman Standar Pelayanan Medis (SPM)
dan Standar Prosedur Operasional (SPO) Neurologi, Koreksi Tahun 1999 dan 2005.
2006. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI). Jakarta.
Modul Neuroinfeksi, Program Pendidikan Dokter Spesialis Neurologi. 2008. Kolegium
Neurologi Indonesia, Jakarta.
Ropper AH, Brown RH. 2009. Adams and Victors, Principles of Neurology. McGraw Hill,
New York.

55
Sudewi AAR, Sugianto P, Ritarwan K. 2011. Infeksi Pada Sistem Saraf. Airlangga University
Press, Surabaya.

MIELITIS TRANSVERSA
DEFINISI
Mielitis transversa merupakan kelainan neurologis yang disebabkan oleh proses
inflamasi yang menyilang pada kedua sisi pada satu level atau segmen dari medula spinalis.
Pengertian mielitis merujuk pada proses inflamasi dari medula spinalis, sedangkan transversa
dideskripsikan pada posisi inflamasi yang bersilangan dari medula spinalis.
ANAMNESIS
Dalam anamnesis ditanyakan kelemahan ekstrimitas sejak kapan, proses terjadinya
akut (berkembang dalam beberapa jam hingga beberapa hari) atau subakut (berkembang
dalam 1 hingga 2 minggu). Kelainan sensorik seperti sensasi yang abnormal pada jemari kaki
dan tungkai, parestesi akut (rasa seperti terbakar, geli, tekan, atau kesemutan) pada kedua
tungkai, hipestesi, dan lain-lain. Gangguan otonom seperti retensi atau inkotinesia urin dan
alvi. Pada anamnesis nyeri harus ditanyakan lamanya sakit, sisi yang nyeri, lokasi dan luas
penyebaran, kualitas, derajat, frekuensi, lamanya, saat awitan, cara awitan, faktor-faktor
pencetus, yang memperberat, yang meringankan dan keadaan lain yang berhubungan.
Ditanyakan juga riwayat infeksi sebelumnya.

PEMERIKSAAN FISIK

56
Terdapat empat gejala klasik mielitis transversa : (1) kelemahan tungkai dan lengan,
(2) nyeri , (3) gangguan sensoris, (4) disfungsi saluran cerna dan kandung kemih.
Kelemahan tungkai dan lengan dapat terjadinya akut (berkembang dalam beberapa
jam hingga beberapa hari) atau subakut (berkembang dalam 1 hingga 2 minggu).
Hampir sepertiga hingga setengah pasien mengalami gejala nyeri. Biasanya lokasi di
bagian punggung bagian bawah berupa rasa nyeri tajam, sensasi seperti tersetrum yang
menjalar ke ujung distal ekstremitas.
Gangguan sensoris yang timbul dapat berupa rasa kebas, kesemutan, rasa dingin atau
terbakar. Hampir 80 % pasien dengan mielitis transversa mengalami hipersensitifitas terhadap
sentuhan, seperti saat berpakaian dan disentuh ringan dengan jari kulitnya pasien merasakan
tidak nyaman dan nyeri (alodinia). Sebagian lain juga mengalami hipersensitifitas terhadap
suhu atau keadaaan yang sangat dingin atau panas.
Masalah kandung kemih dan saluran cerna biasanya berupa urgensi untuk berkemih
atau pergerakan saluran cerna, inkontinensia, kesulitan berkemih, rasa seperti masih ada sisa
setelah berkemih, dan konstipasi.
KRITERIA DIAGNOSTIK
Anamnesis
Pemeriksaan fisik dan neurologis
Pemeriksaan penunjang
Diagnosis dapat tegak dari klinis, jika ditemukan gejala klasik dari anamnesis dan
pemeriksaan fisik neurologis, dengan foto polos vertebra PA/L normal serta hasil lumbal
pungsi didapati tes Queckenstedt (+), pleositosis dan peningkatan protein.

DIAGNOSIS BANDING
Infark medula spinalis
Abses epidural
Multipel sklerosis

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Neuroimejing:
Foto polos vertebra untuk evaluasi awal
MRI spine dengan kontras
Lumbal pungsi: pleositosis (50%), peningkatan leukosit sampai 300 / mm3, didominasi
monosit. Protein meningkat (40%).

57
Laboratorium: laju endap darah (LED), darah tepi lengkap, C raeactive protein (CRP), dan
lain-lain pemeriksaan darah dilakukan untuk menyingkirkan penyebab penyakit lain
seperti LES, infeksi HIV, dan defisiensi vitamin B 12.

TERAPI
Terapi diberikan pada awal gejala timbul. Kortikosteroid biasanya diberikan pada satu
minggu pertama untuk mengurangi efek inflamasi dan mengurangi aktivitas sistem imun.
Steroid yang diberikan yaitu metil prednisolon atau deksametason. Analgetik diberikan
untuk mengatasi nyeri.
Fisioterapi untuk menjaga fungsi dari anggota gerak tubuh dengan harapan terjadi
penyembuhan yang komplit ataupun parsial dari sistem saraf. Fisioterapi yang diberikan
akan menjaga otot tetap fleksibel dan kuat, dan untuk mengurangi terjadinya dekubitus
pada pasien yang imobilisasi. Pada kasus yang mengalami defisit neurologis yang
permanen, fisioterapi dengan tim termasuk pekerja sosial, psikiater, terapis fisik, terapis
okupasional, dan terapis vokasional tetap membantu rehabilitasi pasien agar pasien
tersebut dapat hidup setidaknya mandiri sehingga meningkat kualitas hidupnya.
Antibiotik diberikan jika ditemukan infeksi.

EDUKASI
Penjelasan pada pasien tentang penyakit yang dideritanya. Dijelaskan tentang
prognosis penyakit ini. Karena perbaikan dapat terjadi dalam waktu lama atau mungkin
terjadi kecacatan permanen diperlukan penjelasan tentang cara perawatan pasien di rumah
dan diperlukannya fisioterapi dengan tim terpadu untuk membantu rehabilitasi pasien agar
pasien tersebut dapat hidup setidaknya mandiri sehingga meningkat kualitas hidupnya.

PROGNOSIS
Pengurangan gejala yang timbul akibat mielitis transversa biasanya terjadi 2 12
minggu setelah onset gejala dan dapat terjadi hingga 2 tahun. Bila tidak terjadi perbaikan
gejala dalam 3 6 bulan pertama, kesembuhan biasanya tidak terjadi. Hampir sekitar
sepertiga pasien dengan mielitis transversa mengalami perbaikan atau kesembuhan gejala
yang timbul. Sepertiganya lagi mengalami perbaikan minimal dan mengalami defisit
neurologis yang nyata seperti spastic gait, disfungsi sensoris, urgensi atau inkontinensia.
Sepertiganya lagi tidak mengalami kesembuhan sama sekali, dimana tetap di kursi roda atau

58
berbaring di tempat tidur dan bergantung terhadap orang lain untuk aktivitas hidup sehari-
hari. Suatu penelitian mengatakan onset yang cepat suatu gejala secara umum menunjukkan
prognosis yang buruk.

KEPUSTAKAAN
Modul Neuroinfeksi, Program Pendidikan Dokter Spesialis Neurologi. 2008. Jakarta.
Kolegium Neurologi Indonesia.

DIVISI SEFALGIA

SEFALGIA/ HEADACHE/ NYERI KEPALA


DEFINISI
Nyeri kepala ialah rasa nyeri atau rasa tidak mengenakkan pada seluruh daerah kepala
dengan batas bawah dari dagu sampai ke daerah belakang kepala (area oksipital dan
sebahagian daerah tengkuk.

Klasifikasi: The International Classification of Headache Disorders 2nd Edition 1st revision
(May, 2005) (ICHD-IIR1):
The Primary Headaches
1. Migraine
2. Tension-type headache
3. Cluster headache and other trigeminal autonomic cephalalgias
4. Other primary headaches
The Secondary Headaches
5. Headache attributed to head and/or neck trauma
6. Headache attributed to cranial or cervical vascular disorder
7. Headache attributed to non-vascular intracranial disorder

59
8. Headache attributed to a substance or its withdrawal
9. Headache attributed to infection
10. Headache attributed to disorder of homeostasis
11. Headache or facial pain attributed to disorder of cranium, neck, eyes, ears, nose,
sinuses, teeth, mouth or other facial or cranial structures
12. Headache attributed to psychiatric disorder
Cranial Neuralgias Central and Primary Facial Pain, Other Headaches
13. Cranial neuralgias and central causes of facial pain
14. Other headache, cranial neuralgia, central or primary facial pain

ANAMNESIS
Penderita ditanyakan frekuensi serangan nyeri kepala, durasinya, karakteristik nyeri
(lokasi, kualitas, intensitas, bertambah berat dengan aktifitas atau tidak), gejala penyerta
(nausea, muntah, fotofobia, fonofobia) dan apakah ada kaitan dengan kelainan lain. Ada
tidaknya gejala prodromal, aura dan faktor pencetus. Riwayat tanda-tanda peningkatan
tekanan intrakranial dan tanda-tanda infeksi. Riwayat trauma, pemakaian obat, kelainan
psikiatrik dan penyakit lainnya seperti pada mata, gigi, dan lain-lain.

PEMERIKSAAN FISIK
Nyeri kepala primer tidak ditemukan kelainan neurologis fokal
Nyeri kepala sekunder dan lainnya dapat dijumpai kelainan neurologis fokal, tanda-
tanda peningkatan tekanan intrakranial dan tanda-tanda infeksi.

KRITERIA DIAGNOSTIK:
1. Tension Type Headache (TTH)
A. Sekurang kurangnya terdapat 10 episode serangan nyeri kepala
B. Nyeri kepala berlangsung dari 30 menit sampai 7 hari
C. Sedikitnya memiliki 2 karakteristik nyeri kepala berikut :
Lokasi bilateral
Menekan / mengikat (tidak berdenyut)
Intensitas ringan atau sedang
Tidak diperberat oleh aktivitas rutin seperti berjalan atau naik tangga
D. Tidak dijumpai :

60
Mual atau muntah (biasa anoreksia)
Lebih dari satu keluhan : fotofobia atau fonofobia
E. Tidak berkaitan dengan kelainan lain

2. Migren
1.1. Migren Tanpa Aura
A. Sekurang kurangnya terjadi 5 serangan yang memenuhi kriteria B D.
B. Serangan nyeri kepala berlangsung 4 -72 jam (tidak diobati/ tidak berhasil diobati)
C. Nyeri kepala mempunyai sedikitnya dua karakteristik berikut : lokasi unilateral,
kualitas berdenyut, intensitas nyeri sedang atau berat, keadaan bertambah berat
dengan aktivitas fisik atau penderita menghindari aktifitas fisik rutin (seperti berjalan
atau naik tangga)
D. Selama nyeri kepala disertai salah satu berikut : nausea dan atau muntah, fotofobia
dan fonobia
E. Serangan nyeri kepala tidak berkaitan dengan kelainan yang lain
1.2. Migren Dengan Aura
A. Sekurang kurangnya terjadi 2 serangan nyeri kepala berulang yang didahului gejala
neurologi fokal yang reversibel secara bertahap 5-20 menit dan berlangsung kurang
dari 60 menit
B. Terdapat sedikitnya satu aura berikut ini yang reversibel seperti : gangguan visual,
gangguan sensoris, gangguan bicara disfasia
C. Paling sedikit dua karakteristik berikut :
Gejala visual homonim dan atau gejala sensoris unilateral
Paling tidak timbul satu macam aura secara gradual 5 menit dan atau jenis aura
yang lainnya 5 menit
Tiap gejala berlangsung 5 menit dan 60 menit
D. Tidak berkaitan dengan kelainan lain

1.3. Nyeri Kepala Klaster


A. Sekurang kurangnya 5 serangan nyeri kepala hebat atau sangat hebat sekali di
orbita, supraorbita dan atau temporal yang unilateral berlangsung 15-180 menit
bila tak diobati
B. Nyeri kepala disertai setidak-tidaknya satu dari berikut :
Injeksi konjungtiva dan atau lakrimasi ipsilateral
61
Kongesti nasal dan atau rhinorrhea ipsilateral
Oedema palpebra ipsilateral
Dahi dan wajah berkeringat ipsilateral
Miosis dan atau ptosis ipsilateral
Perasaan kegelisahan atau agitasi
C. Frekuensi serangan : satu kali setiap dua hari sampai 8 kali per hari
D. Tidak berkaitan dengan gangguan lain

1.4. Nyeri Kepala Akut Paska Trauma


A. Nyeri kepala tidak khas
B. Terdapat trauma, dimana nyeri kepala terjadi dalam 2 hari setelah trauma kepala
atau sesudah kesadaran penderita pulih kembali
C. Terdapat satu atau lebih keadaan di bawah ini :
Nyeri kepala hilang dalam 3 bulan setelah trauma kepala
Nyeri kepala menetap, tetapi tidak lebih dari 3 bulan sejak trauma kepala
1.5. Nyeri Kepala Kronik Paska Trauma
A. Nyeri kepala, tidak khas
B. Terdapat trauma kepala, dimana nyeri kepala timbul dalam 7 hari sesudah trauma
atau sesudah penderita pulih kembali
C. Nyeri kepala berlangsung lebih dari 3 bulan setelah trauma kepala

DIAGNOSA BANDING
Nyeri kepala primer
Nyeri kepala sekunder: nyeri kepala karena SOL intrakanial, penyakit THT, gigi dan
mulut, gangguan metabolik/ elektrolit, dan lain-lain

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium : Darah rutin, elektrolit, kadar gula darah, dan lain-lain (atas indikasi untuk
menyingkirkan penyebab sekunder )
Radiologi : atas indikasi untuk menyingkirkan penyebab sekunder
Gold Standard : kriteria diagnosis nyeri kepala kelompok studi nyeri kepala PERDOSSI
2005 yang diadaptasi dari Internasional Headache Society

62
TERAPI
1. Tension Type Headache
1.1. Medikamentosa
1.1.1. Pada serangan akut (tidak boleh lebih dari 2 hari/ minggu)
Analgetik : Aspirin 1000 mg/hari, Acetaminophen 1000 mg/hari, NSAIDs
(Naproxen 660-750 mg/hari, Ketoprofen 25-50 mg/hari, Tolfenamic 200-400
mg/hari, Mefenamic, Fenoprofen, Ibuprofen 800 mg/hari, Diclofenac 50-100
mg/hari). Pemberian analgetik dalam waktu lama dapat menyebabkan iritasi
gastrointestinal, penyakit ginjal dan hepar serta gangguan fungsi platelet
Caffeine (analgetik adjuvan) 65 mg
Kombinasi : 325 Aspirin, Acetaminophen + 40 mg Caffein
1.1.2. Untuk akut dan kronik
Antidepressan, jenis trisiklik : amitriptilin, sebagai obat terapetik mapun sebagai
pencegahan tension type headache
1.1.3. Anti ansietas: golongan benzodiazepine dan butalbutal sering dipakai
1.2. Terapi Non Farmakologis
Kontrol diet
Hindari faktor pencetus
Hindari pemakaian harian obat analgetik, sedatif dan ergotamine
Behaviour Treatment
1.3. Pengobatan Fisik
Latihan postur dan posisi
Massage, ultrasound, manual terapi, kompres panas, dingin
Traksi
Akupunktur & TENS (Transkutaneus Electrical Stimulation)
Obat anestesi ataupun bahan lain pada trigger point

2. Migren
Hindari faktor pencetus
Terapi abortif :
Nonspesifik: analgetik/NSAID, narkotik analgetik, adjuntive therapy (mis :
metoklopramide)

63
Obat spesifik: triptans, DHE, obat kombinasi (mis : aspirin dengan
asetaminophen dan kafein), obat gol. ergotamin
Bila tidak respon: opiat dan analgetik yang mengandung butalbital

Tabel 1. Pengobatan Non Spesifik


Jenis Obat Dosis Obat
Analgetik/NSAIDs
Parasetamol Dosis : 500 1000 mg / 6-8 jam
Aspirin Dosis : 650 1000 mg / 4-6 jam, dosis maksimal 4 gr/hr
Ibuprofen Dosis : 400 800 mg / 6 jam, dosis maksimal 2 - 4 gr/hr
Naproksen sodium Dosis : 275 550 mg / 2 6 jam / hari, dosis maksimal 1,5 gr/hr
Ketorolak Dosis : 60 mg IM / 15 30 menit, maksimal 120 mg/hr, < 5 hari
Diklofenak potasium Dosis : 50 100 mg / hari single dose

Narkotik Analgesik
Meperidin Dosis : Dosis 50 150 mg IM / IV 3 4 jam
Butorfanol Dosis : spray (1 mg), sediaan nostril, dapat diulang 1 jam lagi, maksimal
4 spray/hr, penggunaan terbatas 2x seminggu
Adjuntive therapy
Metoklopramide Dosis : 10 mg IV atau oral 20 30 min sebelum atau bersamaan dengan
pemberian analgetik. NSAID atau ergotamine derivative
Prokhlorperazine Dosis : 25 mg oral atau suppose, dosis maksimal 3 dosis per 24 jam
Isometheptene, Dosis : Maksimal dosis inisial : 2 kapsul, diulang 1 kaps / jam sampai
asetaminofen, maksimal 5 kaps per 12 jam (20 kaps perbulan), penggunaan terbatas 2 x
diklorfenazone seminggu

Tabel 2. Pengobatan Spesifik


Jenis Obat Dosis Obat
Ergotamine Dosis : 1 2 mg oral/jam, maksimal 3
dosis sehari, gunakan dosis efektif terkecil
Suppos : 1 mg, dosis maks : 2 3 / hr dan
12 /bulan
Caffeine plus ergotamine Dosis : 2 tablet ( 100 mg caffeine/1 mg
ergot) pada saat onset, kemudian 1 tab tiap
30 menit, dapat naik sampai 6 tab (jangan
lebih 10 tab/minggu nya)
Suppos (2 mg ergot)/100 mg caff), 1 supp
saat onset, dapat diulang 1 lagi 1 jam

64
kemudian
Dihydroergotamine (DHE) Dosis : 1 mg IM, SC Dosis inisial
maksimal : 0,5 1 mg, dapat diulang tiap
jam sampai dosis maksimal 3 mg IM atau 2
mg IV per hari dan 6 mg per minggu
Intranasal : 0,5 mg spray pada tiap nostril
dosis maksimal 4 spray (2 mg) per hari

Triptans
Sumatriptan Dosis : 6 mg SC, dapat diulang dalam 1
jam, dosis maksimal 12 mg.hari, 25 100
mg oral/2 jam, dosis maks : 200 mg/hari
Inisial dosis maksimal : 100 mg, Intranasal:
5 - 10 mg ( 1-2 spray) pada satu nostril,
dpt diulang sesudah 2 jam, dosis maksimal
40 mg/hari
Naratriptan Dosis : 1,0 2,5 mg oral / 4 jam, dosis
maksimal 5 mg per hari
Rizatriptan Dosis : 5 20 mg oral / 2 jam, dosis maks
30 mg per hari
Zolmitriptan Dosis : 2,5 5,0 mg oral / 2 jam, dosis
maks 10 mg per hari

3. Kluster
Serangan Akut (Terapi Abortif)
1. Inhalasi Oksigen (masker muka) 100% 7 L/mnt selama 15 menit
2. Dihydroergotamin (DHE) 0,5-1,5 mg IV akan mengurangi nyeri < 10 mnt pemberian
intramuskular dan nasal lebih lama
3. Sumatriptan injeksi subkutan 6 mg akan mengurangi nyeri dalam waktu 5-15 menit
dapat diulang setelah 24 jam
4. Zolmitriptan 5 mg atau 10 mg per oral
5. Anestesi lokal : 1 ml lidokain intranasal 4%
6. Indometasin (rectal suppositoria)
7. Opioids (rectal, stadol nasal spray) hindari pemakaian jangka lama
8. Ergotamine aerosol 0,36-1,08 mg (1-3 inhalasi) efektif 80 %\

65
9. Gabapentin atau Topiramat
10. Methoxyflurane : 10-15 tetes pada saputangana atau inhale selama beberapa detik

4. Nyeri Kepala Paska Trauma


1.1. Terapi Farmakologis
Analgesik/NSAID
Antidepressan
Sedative/Minor Tranquilizer
Antikonvulsan
Suntikan lokal lidokain dan steroid
1.2. Terapi non farmakologis
TENS
Masase
Akupunktur
Biofeedback
Relaksasi
Psikoterapi
Rehabilitasi kognitif (RBT)

EDUKASI
Penjelasan kepada pasien dan keluarga tentang penyakit nyeri kepala primer dan
sekunder, pengobatannya dan prognosisnya. Merubah gaya hidup menjadi hidup sehat.

PROGNOSIS
Nyeri kepala primer : baik
Nyeri kepala sekunder: bergantung penyebabnya

KEPUSTAKAAN
Machfoed H, Suharjanti I. Konsensus Nasional III. 2010. Diagnostik dan Penatalaksanaan
Nyeri Kepala. Airlangga University Press, Surabaya.
Misbach J, Hamid AB, Mayza A, Saleh MK. Buku Pedoman Standar Pelayanan Medis (SPM)
dan Standar Prosedur Operasional (SPO) Neurologi, Koreksi Tahun 1999 dan 2005.
2006. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI). Jakarta.

66
Modul Nyeri, Program Pendidikan Dokter Spesialis Neurologi. 2008. Kolegium Neurologi
Indonesia, Jakarta.
Ropper AH, Brown RH. 2009. Adams and Victors, Principles of Neurology. McGraw Hill,
New York.
Sjahrir H. 2008. Nyeri Kepala dan Vertigo. Pustaka Cendikia Press, Yogyaka

DIVISI NEUROTRAUMA

TRAUMA KAPITIS ( CEDERA KEPALA )


DEFINISI
Trauma kapitis adalah trauma mekanik langsung terhadap kepala baik secara langsung
ataupun tidak langsung yang menyebabkan gangguan fungsi neurologis yaitu gangguan
fungsi fisik, kognitif, fungsi psikososial baik temporer maupun permanen.

ANAMNESIS
Trauma kapitis dengan/ tanpa gangguan kesadaran atau lucid interval
Perdarahan/ otorrhea/ rhinorrhea
Amnesia traumatika (retrograde/ anterograd)
PEMERIKSAAN FISIK
Skala Koma Glasgow (SKG) merupakan penilaian neurologis yang cepat pada trauma
kapitis yang akut
Pemeriksaan tanda tanda trauma luar, memar atau perdarahan di kepala dan scalp
dan darah di liang telinga atau di dekat membran timpani dapat sebagai petunjuk
kerusakan otak yang terselubung. Juga perlu diperhatikan cedera pada cervical dan
sistemik lainnya.
Pemeriksaan neurologis lainnya
Fungsi batang otak: besar dan reaksi pupil, respon okulosefalik (Dolls eye
phenomenon) dan respon okulovestibular/ okuloauditorik.
Pola pernafasan: Cheyne Stokes, Central neurogenic hyperventilation, Apneustic
breathing atau Ataxic breathing
Pemeriksaan fungsi motorik: kekuatan otot, reflex tendon dan tonus otot
Pemeriksaan funduskopi

67
KRITERIA DIAGNOSIS
KLINIS
1. Minimal (Simple Head Injury)
Nilai Skala Koma Glasgow (SKG) 15
Tidak ada penurunan kesadaran
Tidak ada amnesia paska trauma (APT)
Tidak ada defisit neurologi
2. Trauma Kapitis Ringan (Mild Head Injury)
Nilai Skala Koma Glasgow (SKG) 13-15
Pingsan < 30 menit
Amnesia paska trauma (APT) < 1 jam
3. Trauma Kapitis Sedang (Moderate Head Injury)
Nilai Skala Koma Glasgow (SKG) 9-12 dan dirawat >48 jam atau SKG >12
tetapi ada lesi operatif intrakranial atau abnormal CT Scan
Pingsan > 30 menit
Amnesia paska trauma (APT) 1-24 jam
4. Trauma Kapitis Berat (Severe Head Injury)
Nilai Skala Koma Glasgow (SKG) < 9 yang menetap 48 jam sesudah trauma
Pingsan > 24 jam
Amnesia paska trauma (APT) > 7 hari

Hematoma Epidural
Kriteria Diagnosis :
1. Lucid interval (+)
2. Kesadaran makin menurun
3. Late hemiparese kontralateral lesi
4. Pupil anisokor
5. Babinski (+) kontralateral lesi
6. Fraktur di daerah temporal

Hematoma Subdural
Kriteria Diagnosis :
1. Akut Interval Lucid 0-5 hari
2. Subakut Interval Lucid 5 Hari-beberapa minggu
68
3. Kronik Interval Lucid > 3 bulan

Fraktur Basis Kranii


Kriteria Diagnosis :
1. Anterior :
Keluarnya cairan likour melalui hidung / rhinorea, perdarahan bilateral periorbital
ecchymosis / raccoon eye dan anosmia
2. Media :
Keluarnya cairan likuor melalui telinga / otorrhea, gangguan N.VII dan VIII
3. Posterior
Bilateral mastoid ecchymosis / Battles sign

Perdarahan Subarakhnoid Traumatika


Kriteria Diagnosis :
Kaku Kuduk
Nyeri Kepala
Bisa didapati gangguan kesadaran

INDIKASI OPERASI PENDERITA TRAUMA KAPITIS :


1. Perdarahan Epidural
a. > 40 cc dengan midline shifting pada daerah temporal/frontal/parietal dengan
fungsi batang otak masih baik
b. > 30 cc pada daerah fossa posterior dengan tanda penekanan batang otak atau
hidrosefalus dengan fungsi batang otak masih baik
c. Perdarahan epidural progresif
2. Perdarahan Subdural
a. Perdarahan subdural (> 40 cc / > 5mm) dengan GCS > 6, fungsi batang otak
masih baik
b. Perdarahan subdural tipis dengan penurunan kesadaran bukan indikasi operasi

69
c. Perdarahan subdural dengan edema serebri / kontusio serebri disertai midline
shift dengan fungsi batang otak masih baik
3. Perdarahan Intraserebral
a. Penurunan kesadaran progresif
b. Hipertensi dan bradikardi, tanda tanda gangguan nafas
c. Perburukan defisit neurologi fokal

4. Fraktur impresi lebih satu diploe


5. Fraktur kranii dengan laserasi serebri
6. Fraktur kranii terbuka
7. Edema serebri berat yang disertai tanda peningkatan tekanan intrakranial,
dipertimbangkan operasi dekompresi

DIAGNOSA BANDING
Stroke hemoragik/iskemik
SOL intrakranial
Meningitis/ Ensefalitis

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium
Darah Lengkap
Gula darah sewaktu
Ureum / Kreatinin
Analisa Gas Darah
Elektrolit
Radiologi
Foto kepala polos, posisi AP, lateral, tangensial, foro sevikal (sesuai indikasi)
CT Scan Otak, untuk melihat kelainan yang mungkin terjadi, indikasi dilakukan CT
Scan otak adalah :
Indikasi Head CT Scan (Emergency) :
a. Trauma Kapitis Berat (GCS <8) dan trauma kapitis sedang (GCS 9-13)
b. Perburukan dari derajat kesadaran dan peningkatan dari tanda neurologis fokal
(hemiparesis dan pupil asimetris)

70
Indikasi Head CT Scan (Urgent dalam waktu 4 jam ) :
a. GCS 14, khususnya GCS tidak membaik setelah observasi selama 4 jam
b. GCS 15, dengan tanda-tanda adanya nyeri kepala yang berat dan peningkatan nyeri
kepala, muntah persisten, defisit neurologis fokal, iritabilitas dan gangguan tingkah
laku, kejang tanpa perbaikan.
c. Foto X Ray menunjukkan adanya fraktur atau fraktur pada basal

TERAPI
Tergantung derajat beratnya cedera :
1. Minimal
Tirah baring, kepala ditinggikan sekitar 30 derajat
Istirahat di rumah
Diberi nasehat agar kembali ke rumah sakit bila ada tanda tanda perdarahan
epidural, seperti orangnya mulai terlihat mengantuk (kesadaran mulai turun
gejalalucid interval)
2. Trauma Kapitis Ringan
Tirah baring, kepala ditinggikan sekitar 30 derajat, observasi di rumah sakit 2
hari
Keluhan hilang, mobilisasi
Simptomatis : anti vertigo, anti emetik, analgetika, antibiotika (atas indikasi)
3. Trauma Kapitis Sedang dan Berat
a. Terapi Umum
Untuk kesadaran menurun :
Lakukan resusitasi
Bebaskan jalan nafas (airway), jaga fungsi pernafasan (breathing), circulation
(tidak boleh terjadi hipotensi, sistolik sama dengan atau lebih dari 90 mmHg),
nadi, suhu (tidak boleh sampai terjadi pireksia)
Keseimbangan cairan dan elektrolit dan nutrisi yang cukup, dengan kalori
50% lebih dari normal
Jaga keseimbangan gas darah, jaga kebersihan kandung kemih kalau perlu
pasang kateter
Rubah posisi untuk mencegah dekubitus
Posisi kepala ditinggikan 30 derajat

71
Pasang selang nasogastrik pada hari ke-2, kecuali kontraindikasi yaitu pada
fraktur basis kranii
Infus cairan isotonis
Berikan oksigen sesuai indikasi
b. Terapi Khusus
1. Medikamentosa
a. Mengatasi tekanan tinggi intrakranial, berikan Mannitol 20%
b. Simptomatis : analgetik, anti emetik, antipiretik
c. Antiepiepsi diberikan bila terjadi bangkitan epilepsi paska cedera
d. Antibiotika diberikan atas indikasi
e. Anti stress ulcer diberikan bila ada perdarahan lambung
2. Operasi bila terdapat indikasi
c. Rehabilitasi
- Mobilisasi bertahap dilakukan secepatnya setelah keadaan klinik stabil
- Neurorestorasi dan neurorehabilitasi diberikan sesuai dengan kebutuhan

EDUKASI
Memberikan penjelasan kepada pasien dan keluarga meliputi pengertian, keadaan pasien
(gawat darurat atau tidak), langkah-langkah pengobatan (jika memerlukan operasi) dan
prognosis pasien.

PROGNOSIS
Terkadang penyembuhan tidak sempurna, ada gejala sisa dan membutuhkan
perawatan khusus karena kecacatan yang cukup berat.

KEPUSTAKAAN
Konsensus Nasional Penanganan Trauma Kapitis dan Trauma Spinal. 2006. Perhimpunan
Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI) Bagian Neurologi FKUI/ RSCM.
Jakarta.
Misbach J, Hamid AB, Mayza A, Saleh MK. Buku Pedoman Standar Pelayanan Medis (SPM)
dan Standar Prosedur Operasional (SPO) Neurologi, Koreksi Tahun 1999 dan 2005.
2006. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI). Jakarta.
Modul Neurotrauma, Program Pendidikan Dokter Spesialis Neurologi. 2008. Kolegium
Neurologi Indonesia. Jakarta.
72
Ropper AH, Brown RH. 2009. Adams and Victors, Principles of Neurology. McGraw Hill,
New York.

TRAUMA MEDULA SPINALIS ( CEDERA MEDULA SPINALIS)


DEFINISI
Trauma medula spinalis adalah trauma langsung atau tidak langsung terhadap medula spinalis
yang menyebabkan kerusakan medula spinalis.

KRITERIA DIAGNOSIS
Trauma medula spinalis mempunyai gambaran klinik yang berbeda tergantung letak dan luas
lesi, secara garis besar dapat dibedakan menjadi 6 kelompok, yaitu :

Tabel 1. Sindroma Trauma Spinalis


Sindroma Kausa Utama Gejala dan Tanda Klinis
Hemicord (Brown Sequard Trauma tembus, kompresi Paresis UMN ipsilateral di
Syndrome) ekstrinsik bawah lesi dan LMN
setinggi lesi, gangguan
eksteroseptif (nyeri & suhu)
kontralateral, gangguan
propioseptif (raba dan
tekan) ipsilateral
Sindroma Spinalis Anterior Cedera yang menyebabkan Paresis LMN setinggi lesi,
HNP pada T4-6 UMN dibawah lesi, disertai
dissosiasi sensibilitas,
gangguan eksteroseptif.
propioseptif normal,
disfungsi spinkter
Sindroma Spinalis Sentral Hematomielia, trauma Paresis lengan > tungkai,
Servikal medulla spinalis (fleksi- ggn sensorik

73
ekstensi) bervariasi(diesestesia/
hiperestesia) di ujung distal
tangan, dissosiasi
sensibilitas, disfungsi miksi,
defekasi dan seksual

Sindroma Spinalis Posterior Trauma; infark a. spinalis Paresis ringan, gangguan


posterior eksteroseptif
(nyeri/parestesia) pada
punggung, leher dan
bokong, gangguan
propioseptif bilateral
Sindroma Konus Medullaris Trauma lower sacral cord Gangguan motorik ringan,
simetris, (-) atrofi,
gangguan sensorik saddle
anestesi, muncul lebih awal,
bilateral, ada disosiasi
sensibilitas, nyeri jarang,
refleks patella (+), disfungsi
spinkter terjadi dini dan
berat, gangguan ereksi dan
ejakulasi
Sindroma Cauda Equina Cedera akar saraf Gangguan motorik sedang
lumbosakral sp berat, asimetris & atrofi,
gangguan sensibilitas saddle
anestesi, asimetris, timbul
lebih lambat, nyeri
menonjol hebat, timbul dini,
radikular, asimetris,
gangguan refleks bervariasi,
gangguan spinkter timbul
lambat, jarang berat,
disfungsi seksual jarang

74
Berdasarkan American Spinal Injury Association/International Medical Society of
Paraplegia (IMSOP), ditegakkan pada saat 72 jam sampai 7 hari :
Tabel 2. ASIA/IMSOP
Grade Tipe Gangguan Medula Spinalis
A Komplit Tidak ada fungsi motorik dan sensorik sampai
S4-S5
B Inkomplit Fungsi sensorik masih baik tapi motorik
terganggu sampai segmen sakral S4-S5
C Inkomplit Fungsi motorik terganggu di bawah level, tapi
otot - otot motorik utama masih punya kekuatan
<3
D Inkomplit Fungsi motorik terganggu di bawah level, otot-
otot motorik utama punya kekuatan >3
E Normal Fungsi motorik dan sensorik normal

PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Laboratorium : Darah lengkap, gula darah sewaktu, ureum dan kreatinin
2. Radiologi : Foto vertebra posisi AP/LAT dengan sentrasi sesuai dengan letak lesi, CT
Scan dan MRI jika diperlukan tindakan operasi
3. Neurofisiologi klinik : EMG, NCV

TERAPI
Umum
Jika ada fraktur atau dislokasi kolumna vertebralis sevikalis segera pasang kerah
fiksasi leher, jangan gerakkan kepala atau leher
Jika ada fraktur kolumna vertebralis thorakalis, angkat pasien dalam keadaan
tertelungkup, lakukan fiksasi torakal (pakai korset)
Fraktur daerah lumbal, fiksasi dengan korset lumbal
Kerusakan medula spinalis dapat menyebabkan tonus pembuluh darah menurun
karena paralisis fungsi sistem saraf ortosimpatik dengan akibat menurunnya tekanan
darah. Beri infus, bila mungkin plasma atau darah, dextran-40 atau ekspafusin.

75
Sebaiknya jangan diberi cairan isotonik seperti NaCl 0,9% atau glukosa 5%. Bila
perlu diberikan 0,2 mg adrenalin s.k, boleh diulang 1 jam kemudian. Bila denyut nadi
< 44 kali/menit, berikan sulfas atropin 0,25 mg iv
Gangguan pernafasan, kalau perlu beri bantuan dengan respirator atau cara lain. Jaga
jalan napas tetap lapang.
Jika lesi diatas C-8, termoregulasi tidak ada, mungkin terjadi hiperhidrosis, usahakan
suhu badan tetap normal
Jika ada gangguan miksi pasang kondom kateter atau dauer kateter dan jika ada
gangguan defekasi, berikan laksan/klisma
Medikamentosa
Berikan metil-prednisolon 30 mg/kgBB, i.v perlahan lahan selama 15 menit, 45
menit kemudian per infus 5 mg/kg BB selama 24 jam. Kortikosteroid mencegah
peroksidasi lipid dan peningkatan sekunder asam arakidonat
Bila terjadi spastisitas otot : Diazepam 3 x 5-10 mg / hari, Baklofen 3 x 5 mg hingga 3
x 20 mg / hari
Bila ada rasa nyeri dapat diberikan : analgetika, antidepresan dan antikonvulsan
Bila terjadi hipertensi akibat gangguan saraf otonom ( tensi > 180 / 100 mmHg),
pertimbangkan pemberian obat antihipertensi
Tindakan operasi dilakukan bila :
Ada fraktur, pecahan tulang menekan medula spinalis
Gambaran neurologis progresif memburuk
Fraktur, dislokasi yang labil
Terjadi herniasi diskus intervertebralis yang menekan medula spinalis

KEPUSTAKAAN
Konsensus Nasional Penanganan Trauma Kapitis dan Trauma Spinal. 2006. PERDOSSI
Bagian Neurologi FKUI/ RSCM. Jakarta.
Misbach J, Hamid AB, Mayza A, Saleh MK. Buku Pedoman Standar Pelayanan Medis (SPM)
dan Standar Prosedur Operasional (SPO) Neurologi, Koreksi Tahun 1999 dan 2005.
2006. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI). Jakarta.
Modul Neurotrauma, Program Pendidikan Dokter Spesialis Neurologi. 2008. Kolegium
Neurologi Indonesia. Jakarta.

76
Ropper AH, Brown RH. 2009. Adams and Victors, Principles of Neurology. McGraw Hill,
New York.
PEDOMAN PENUTUPAN CAROTID CAVERNOSUS FISTULA (CCF)
1. Nama prosedur : Penutupan Carotid Cavernosus Fistula ( CCF )
2. Tanggal update : 03 Juli 2013 hingga sampai ada penatalaksanaan baru
sesuai Evidence Base Medicine
3. Lingkup pengguna : dokter spesialis saraf sub saraf intervensi
4. Pengertian : Suatu prosedur terapi dengan menggunakan perangkat
balon oklusi atau material embolisasi yang bertujuan untuk
menutup fistula, tujuannya untuk mencegah perdarahan
5. Indikasi : carotid cavernosus fistula
6. Kontra indikasi : alergi terhadap kontras
7. Kebijakan : 7.1.Tindakan pemasangan balon oklusi pada CCF untuk
menutup fistula. Bertujuan untuk mencegah pecahnya
malformasi tersebut
7.2. Harus disertai lembar persetujuan dilakukannya
tindakan tersebut
8. Alat dan bahan : : a. Femoral sheath 5 atau 6 Fr beserta kelengkapannya
b. Jarum Puncture
c. Kateter 6 , 7 Fr Head Hunter atau H1 dan kateter JR
d. Guidewire
e. Kontras
f. Heparin 2500 - 5000 iu
g. Mesin angiografi beserta perangkatnya
h. Tensimeter air raksa
i. EKG 12 lead
j. Perangkat anestesi ( bila diperlukan )
k. Bloodset / infuse set beserta three way
l. RL 1 kolf
m. Sepasang sarung tangan steril
n. Bodyguard, collarguard beserta google
o. Baju operasi steril
p. Kassa steril
q. Bandage
r. Betadine
s. Spuit 5 cc 2 buah dan 10 cc 1 buah
t. Balon oklusi
u. Mikrokateter
v. Mikro-guidewire

77
9. Prosedur :
a. Pasien yang akan menjalani prosedur sudah dilakukan pemeriksaan status umum
dan neurologis, darah rutin, EKG, ureum/ kreatinin, PT/ aPTT, faal hati, tes HIVdan
foto toraks, cukur rambut pubis di kedua belah sisi.
b. Pasien dibaringkan di atas meja prosedur, dicek persiapan prosedur yang telah
dilakukan, dilakukan tindakan antisepsis Betadine , dipersiapkan lap. prosedur
c. Heparin 2500 3000 IU dicampur dengan 500 cc cairan salin
d. Puncture dilakukan pada a. femoralis kanan
e. Dilakukan pemasangan femoral sheath
f. Setelah femoral sheath terpasang, dilakukan pencitraan dengan mesin angiografi,
apakah kedudukan dan posisi sheath sudah benar dan stabil
k. Dengan bantuan guidewire maka dimasukkan catheter menuju pembuluh darah yang
akan diperiksa
l. Setelah mencapai posisi pembuluh darah yang akan dilakukan pemasangan stent,
kemudian guidewire pun ditarik keluar, lalu dilakukan pemeriksaan aliran darah
m. Dilakukan pemberian kontras pada pembuluh darah yang akan dilakukan pemasangan
stent dan pencitraan dengan mesin angiografi . Langkah tersebut dilakukan berulang
ulang dengan posisi pencitraan yang berbeda beda (AP, oblik kanan/ kiri, lateral)
n. Dengan posisi mikrokateter masih didalam pembuluh darah , maka dilakukan
pemasangan dan penggelembungan balon oklusi hingga seluruh fistula tertutup secara
optimal
o. Setelah semua tahapan, maka kateter pun ditarik keluar
p. Femoral sheath jangan dilepas selama 1 jam
q. Bila setelah 1 jam tidak didapatkan komplikasi ataupun perburukan neurologis maka
femoral sheath pun dilepas
r. Dilakukan pemeriksaan status neurologis singkat
s. Dilakukan penekanan pada bekas lapangan prosedur (misalnya a. femoralis kanan)
secara benar selama 15 30 menit untuk mencegah terjadinya hematoma
t. Bila setelah dilakukan tes batuk tidak terdapat darah yang keluar, maka tempat bekas
dilakukan prosedur ditutup dengan kassa dan diberi bandage

10. Instruksi pasca prosedur :


f. Pasien diharuskan untuk istirahat total di tempat tidur minimal selama 6 jam diruang
HCU/ stroke unit/ ICU
g. Selama istirahat tersebut, tungkai bawah yang ada bekas lapangan prosedur tidak
boleh ditekuk
h. Diet disesuaikan dengan kondisi penyakit pasien
i. Minimal setelah 6 jam, dilakukan pemeriksaan bekas lapangan prosedur
j. Dilakukan pemeriksaan status umum dan neurologis dan bila tidak ditemukan faktor
penyulit, maka pasien diperbolehkan pulang 24 jam kemudian

11. Tingkat evidence : II B level C


12. Indikator keberhasilan : apabila seluruh fistula dapat ditutup oleh balon oklusi
ataupun coil

78
DIVISI EPILEPSI

EPILEPSI
DEFINISI
Bangkitan epilepsi: manifestasi klinis yang disebabkan oleh aktifitas listrik otak yang
abnormal dan berlebihan dari sekelompok neuron, yang terjadi secara tiba-tiba dan
sementara, berupa:
perubahan prilaku yang stereotipik
dapat menimbulkan gangguan kesadaran
gangguan motorik, otonom ataupun psikik

Epilepsi: suatu keadaan yang ditandai oleh:


bangkitan epilepsi berulang (minimal 2 kali), berselang > 24 jam, yang timbul tanpa
provokasi
satu bangkitan tanpa provokasi atau 1 bangkitan refleks dengan kemungkinan berulang
dalam 10 tahun ke depan minimal 60%
dua bangkitan refleks epilepsy
sudah ditegakkan diagnosis sindroma epilepsi
(NB: Refleks epilepsi: bangkitan yang muncul akibat induksi oleh faktor pencetus
spesifik, seperti stimulasi visual, auditorik, somatosensitif dan somatomotor)

Sindroma epilepsi:
kumpulan gejala & tanda klinik yg unik untuk suatu epilepsi
mencakup tipe bangkitan, etiologi, anatomi, faktor presipitasi, usia awitan, berat dan
kronisitas, siklus diurnal dan sirkadian bahkan kadang-kadang prognosis

Penyakit epilepsi
suatu keadaan patologik dengan satu etiologi yang spesifik seperti: epilepsi miklonik
progresif pada penyakit Unverricht-Ludborg

Klasifikasi Bangkitan Epilepsi : (menurut ILAE tahun 1981)


I. Bangkitan Parsial (fokal)
A. Parsiap sederhana
1. Disertai gejala motorik
2. Disertai gejala somato-sensorik
3. Disertai gejala psikis
4. Disertai gejala autonomik

79
B. Parsial kompleks
1. Disertai dengan gangguan kesadaran sejak awitan dengan atau tanpa automatism
2. Parsial sederhana yang diikuti gangguan kesadaran dengan atau tanpa atomatism.
C. Parsial sederhana yang berkembang menjadi umum sekunder
1. Parsial sederhana menjadi umum tonik klonik
2. Parsial kompleks menjadi umum tonik klonik.
3. Parsial sederhana menjadi parsial kompleks menjadi umum tonik klonik.
II. Bangkitan Umum
A. Bangkitan Lena (absence) & atypical absence
B. Bangkitan Mioklonik
C. Bangkitan Klonik
D. Bangkitan Tonik
E. Bangkitan Tonik-Klonik
F. Bangkitan Atonik
III. Bangkitan yang tidak terklasifikasikan

Klasifikasi Epilepsi : (menurut ILAE tahun 1989)


I. Berhubungan dengan lokasi
A. Idiopatik (berhubungan dengan usia awitan)
1. Benign childhood epilepsy with centro-temporal spikes
2. Childhood epilepsy with occipital paroxysmal
3. Primary reading epilepsy
B. Simptomatik (dengan etiologi yang spesifik atau nonspesifik)
1. Chronic progressive epilepsia partialis continua of childhood (Kojewnikows syndrome)
2. Syndromes characterized by seizures with specific modes of precipitation.
3. Epilepsi lobus Temporal/Frontal/Parietal/Ocipital
C. Kriptogenik

II. Umum
A. Idiopatik (berhubungan dengan usia awitan)
1. Benign neonatal familial convulsions
2. Benign neonatal convulsions Benign myoclonic epilepsy in infancy
3. Childhood absence epilepsy (pyknolepsy)
4. Juvenile absence epilepsy

80
5. Juvenile myoclonic epilepsy (impulsive petit mal)
6. Epilepsies with grand mal (GTCS) seizures on awakening
7. Others generalized idiopathic epilepsies not defined above
8. Epilepsies with seizures precipitated by specific moes of activation

B. Kriptogenik/Simptomatik
1. West syndrome (infantile spasms, blitz Nick-Salaam Krampfe)
2. Lennox-Gastaut syndrome
3. Epilepsy with myoclonic-astatic seizures
4. epilepsy with myoclonic absence
C. Simptomatik (dengan etiologi yang spesifik atau nonspesifik)
1. Dengan etiologi yang Nonspesifik
a. Early myoclonic encephalopathy
b. Early infantile epileptic encephalopathy with suppression burst
c. Other symptomatic generalized epilepsies not defined above
2. Sindroma spesifik
a. Bangkitan epilepsi yang disebabkan oleh penyakit lain.

III. Tidak dapat ditentukan apakah fokal atau umum


1. Campuran bangkitan umum dan fokal
a. Neonatal seizures
b. Severe myoclonic epilepsy in infancy
c. Epilepsy with continuous spike wave during slow-wave sleep
d. Acquired epileptic aphasia (Landau-Kleffner syndrome)
e. Other undetermined epilepsies
2. Campuran bangkitan umum atau fokal (sama banyak).
IV. Sindrom Khusus
1. Bangkitan yang berhubungan dengan situasi
a. Febrile convulsion
b. Isolated seizures atau isolated status epilepticus
c. Seizures occurring only when there is an acute metabolic or toxic event, due to
factors such as alcohol, drugs, eclampsia, nonketotic hyperglycemia.

81
ANAMNESIS
1. Gejala sebelum, selama (iktus) dan paska bengkitan
a. Sebelum bangkitan: gejala awitan (aura, gerakan/ sensasi awal/ speech arrest)
b. Selama bangkitan (iktus)
Keadaan saat bangkitan: duduk/ berdiri/ baring/ tidur/ berkemih
Yang tampak saat bangkitan:
o pola/bentuk bangkitan (klasifikasi ILAE 1981): usia awitan, durasi, frekuensi,
interval terpanjang antar bangkitan, apakah terdapat lebih dari satu pola atau
perubahan pola bangkitan
o vokalisasi, otomatisme, inkontinesia, lidah tergigit, pucat, berkeringat, deviasi
mata
Faktor pencetus: alkohol, kurang tidur, alkohol
c. Keadaan paska bangkitan: bingung, terjaga, nyeri kepala, tidur, gaduh gelisah,
paresis Todd
2. Riwayat-riwayat:
a. Pemakaian OAE: dosis, kombinasi terapi, respons terapi, kadar OAE
b. Epilepsi pada keluarga
c. Saat dalam kandungan, kelahiran, perkembangan anak dan bangkitan
neonatal/kejang demam
d. Penyakit yang diderita: neurologik (trauma kepala, infeksi SSP, dll), psikiatrik
maupun sistemik yang kemungkinan jadi penyebab
e. Penyakit dalam keluarga: penyakit neurologik, psikiatrik dan sistemik

PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum, kesadaran (Glasgow coma scale (GCS)/ kuantitas/ kualitas), tanda
vital, status generalisata dan status neurologis {kejang: frekwensi, durasi, jenis (tonik, klonik,
tonik klonik, absans), status kesadaran saat dan setelah kejang, ada tidaknya paralisis setelah
kejang}. Tanda-tanda gangguan yang berhubungan dengan epilepsi: trauma kepala, infeksi
telinga/ sinus, gangguan kongenital, kecanduan alkohol/ obat terlarang, kelainan pada kulit
(neurofakomatosis), kanker.

KRITERIA DIAGNOSTIK
Diagnosa ditegakkan atas dasar:
82
1. Adanya bangkitan epilepsi:
bangkitan epilepsi berulang (minimal 2 kali), berselang > 24 jam, yang timbul tanpa
provokasi
satu bangkitan tanpa provokasi atau 1 bangkitan refleks dengan kemungkinan
berulang dalam 10 tahun ke depan minimal 60%
dua bangkitan refleks epilepsi
2. Dengan atau tanpa adanya gambaran epileptiform pada EEG

Langkah menuju diagnosis:


1. Memastikan bangkitan merupakan bangkitan epilepsi == melalui anamnese
2. Menentukan tipe/ jenis bangkitan epilepsinya == klasifikasi ILAE 1981
3. Menentukan sindroma/ penyakit epilepsinya (etiologi) == klasifikasi ILAE 1989
(penting untuk prognosis dan respons terhadap OAE)

DIAGNOSA BANDING
1. Bangkitan Psikogenik
2. Gerak Involunter (Tics, headnodding, paroxysmalchoreaothethosis/ dystonia, benign
sleep myoclonus, paroxysmal torticolis, startle response, jitterness, dan lain - lain.)
3. Hilangnya tonus atau kesadaran (sinkop, drop attacks, TIA, TGA, narkolepsi, attention
deficit).
4. Gangguan respirasi (apnea, breath holding, hiperventilasi)
5. Gangguan perilaku (night terrors, sleepwalking, nightmares, confusion, sindroma psikotik
akut)
6. Gangguan persepsi (vertigo, nyeri kepala, nyeri abdomen)
7. Keadaan episodik dari penyakit tertentu (tetralogy speels, hydrocephalic spells, cardiac
arrhythmia, hipoglikemi, hipokalsemi, periodic paralysis, migren, dll)

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium (atas indikasi)
A. Untuk penapisan dini metabolik
Perlu selalu diperiksa :
1. Kadar glukosa darah
2. Pemeriksaan elektrolit termasuk kalsium dan magnesium
Atas indikasi
1. Penapisan dini racun/toksik

83
2. Pemeriksaan serologis
3. Kadar vitamin dan nutrient lainnya
Perlu diperiksa pada sindroma tertentu
1. Asam Amino
2. Asam Organik
3. NH3
4. Enzim Lysosomal
5. Serum laktat
6. Serum piruvat
B. Pada kecurigaan infeksi SSP akut
Lumbal Pungsi

Radiologi
1. Computed Tomography (CT) Scan kepala dengan kontras.
2. Magnetic Resonance Imaging (MRI) kepala
3. Magnetic Resonance Spectroscopy (MRS) : merupakan pilihan utama untuk epilepsi.
4. Functional Magnetic Resonance Imaging
5. Positron Emission Tomography (PET)
6. Single Photon Emission Computed Tomography (SPECT)

Gold standard
1. EEG iktal dengan subdural atau depth EEG
2. Long term video EEG monitoring

Patologi Anatomi
Hanya khas pada keadaan tertentu seperti hypocampal sclerosis dan mesial temporal
sclerosis.

TERAPI
Pemilihan obat anti epilepsi (OAE) sangat tergantung pada bentuk bangkitan dan
sindroma epilepsi, selain itu juga perlu dipikirkan kemudahan pemakaiannya. Penggunaan
terapi tunggal dan dosis tunggal menjadi pilihan utama. Kepatuhan pasien juga ditentukan
oleh harga dan efek samping OAE yang timbul.
Antikonvulsion Utama
84
1. Fenobarbital : dosis 2 4 mg/kg BB/hari
2. Phenitoin : 5-8 mg/kg BB/hari
3. Karbamazepin : 20 mg/kg BB/hari
4. Valproate : 30-80 mg/kg BB/hari
Keputusan pemberian pengobatan setelah bangkitan pertama dibagi dalam 3 kategori :
1. Definitely treat (pengobatan perlu dilakukan segera)
Bila terdapat lesi struktural, seperti :
a. Tumor otak
b. AVM
c. Infeksi : seperti abses, ensefalitis herpes
Tanpa lesi struktural :
a. Terdapatnya riwayat epilepsi pada saudara sekandung (bukan orang tua).
b. EEG dengan gambaran epileptik yang jelas.
c. Riwayat bangkitan simpomatik
d. Riwayat trauma kepala, stroke, infeksi SSP.
e. Status epilepstikus pada awitan kejang
2. Possibly treat (kemungkinan harus dilakukan pengobatan)
Pada bangkitan yang tidak dicetuskan (diprovokasi) atau tanpa disertai faktor risiko di
atas.
3. Probably not treat (walaupun pengobatan jangka pendek mungkin diperlukan)
a. Kecanduan alkohol
b. Ketergantungan obat-obatan
c. Bangkitan dengan penyakit akut (demam tinggi, dehidrasi, hipoglikemia).
d. Bangkitan segera setelah benturan di kepala.
e. Sindroma epilepsi spesifik yang ringan, seperti kejang demam, BECT.
f. Bangkitan yang diprovokasi oleh kurang tidur.

PEMILIHAN OAE BERDASARKAN TIPE BANGKITAN EPILEPSI


Tipe Bangkitan OAE lini pertama OAE lini kedua
Bangkitan parsial Fenitoin, Acetazolamide, clobazam,

85
(sederhana atau karbamazepin clonazepam, ethosuximide,
kompleks) (terutama untuk CPS), felbamate, gabapentin, lamotrigine,
asam valproat levetiracetam, oxcarbazepine,
tiagabin, topiramate, vigabatrin,
phenobarbital, pirimidone

Bangkitan umum Karbamasepin, Idem di atas


sekunder phenitoin, asam
valproat

Bangkitan umum tonik Karbamazepin, Acetazolamide, clobazam,


klonik phenytoin, asam clonazepam, ethosuximide,
valproat, phenobarbital felbamate, gabapentin, lamotrigine,
levetiracetam, oxcarbazepine,
tiagabin, topiramate, vigabatrin,
pirimidone.

Bangkitan lena Asam valproat Acetazolamide, clobazam,


ethosuximide (tidak clonazepam, lamotrigine,
tersedia di Indonesia) phenobarbital, pirimidone.

Bangkitan mioklonik Asam valproat Clobazam, clonazepam,


ethosuximide, lamotrigine,
phenobarbital, pirimidone,
piracetam.

Penghentian OAE : dilakukan secara bertahap setelah 2-5 tahun pasien bebas kejang,
tergantung dari bentuk bangkitan dan sindroma epilepsi yang diderita pasien (Dam, 1997).
Penghentian OAE dilakukan secara perlahan dalam beberapa bulan.

PENANGANAN STATUS EPILEPTIKUS


Stadium Penatalaksanaan
Stadium I (0 10 menit) Memperbaiki fungsi kardio-respiratorik
Memperbaiki jalan nafas, pemberian oksigen,

86
resusitasi.
Stadium II (0 60 menit) Memasang infus pada pembuluh darah besar.
Mengambil 50 100 cc darah untuk pemeriksaan
laboratorium.
Pemberian OAE emergensi : Diazepam 10 20
mg IV (kecepatan pemberian 2 5 mg/menit
atau rektal dapat diulang 15 menit kemudian.
Memasukkan 50 cc glukosa 40 % dengan atau
tanpa thiamin 250 mg intravena.
Menangani asidosis.

Stadium III Menentukan etiologi


(0 60 90 menit) Bila kejang berlangsung terus 30 menit setelah
pemberian diazepam pertama, beri phenytoin IV
15 18 mg/kgBB dengan kecepatan 50 mg/menit.
Memulai terapi dengan vasopresor bila
diperlukan.
Mengoreksi komplikasi.

Stadium IV (30 90 menit) Bila kejang tetap tidak teratasi selama 30-60
menit, transfer pasien ke ICU, beri Propofol
(2mg/kgBB bolus IV, diulang bila perlu) atau
Thiopentone (100 250 mg bolus IVpemberian
dalam 20 menit, dilanjutkan dengan bolus 50 mg
setiap 2 3 menit), dilanjutkan sampai 12 24
jam setelah bangkitan klinis atau bangkitan EEG
terakhir, lalu dilakukan tapering off.
Memonitor bangkitan dan EEG, tekanan
intracranial, memulai pemberian OAE dosis
maintenance.

EDUKASI
Memberikan penjelasan kepada pasien dan keluarga meliputi hubungan pasien dengan
teman dan lingkungan sekitar, pilihan pekerjaan, pilihan jenis olah raga, aspek mengemudi
serta kepatuhan terhadap terapi yang dilakukan (konsumsi obat anti epilepsi, efek samping
obat, dan lain-lain)

87
PROGNOSIS
Bergantung jenis epilepsi yang diderita

KEPUSTAKAAN
Harsono; Kusumastuti, K; Gunadharma, S. (Ed.). Pedoman Tata Laksana Epilepsi. 2011.
PERDOSSI Bagian Neurologi FK UI/ RSCM. Jakarta.
Kusumastuti, K; Gunadharma, S; Kustiowati, E. (Ed.). Pedoman Tatalaksana Epilepsi.
Kelompok Studi Epilepsi Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia
(PERDOSSI). 2014. Airlangga University Press. Surabaya.
Misbach, J; Hamid, AB; Mayza, A; Saleh, MK. Buku Pedoman Standar Pelayanan Medis
(SPM) dan Standar Prosedur Operasional (SPO) Neurologi, Koreksi Tahun 1999 dan
2005. 2006. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI). Jakarta.

DIVISI NYERI

NYERI PUNGGUNG BAWAH (NPB)


DEFINISI

88
Nyeri punggung bawah (NPB) adalah nyeri yang dirasakan di daerah punggung
bawah, di antara sudut iga paling bawah dan sakrum, dapat merupakan nyeri lokal maupun
nyeri radikuler atau keduanya.

ANAMNESIS
Dalam anamnesis harus ditanyakan mengenai keluhan utama, anamnesis keluarga,
penyakit-penyakit sebelumnya, keadaan sosial, penilaian dari sistem/ alat-alat tubuh dan
penyakit pada saat ini. Pada anamnesis nyeri harus ditanyakan lamanya sakit, sisi yang nyeri,
lokasi dan luas penyebaran, kualitas, derajat, frekuensi, lamanya, saat awitan, cara awitan,
faktor-faktor pencetus, yang memperberat, yang meringankan dan keadaan lain yang
berhubungan.

PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan kolumna vertebralis lumbosakral dapat dilakukan pada saat diam atau
bergerak pada berbagai posisi. Inspeksi sudah dapat dimulai pada saat penderita jalan masuk
ke ruang pemeriksaan (cara berjalan, berdiri dan duduk). Palpasi untuk mencari spasme otot,
nyeri tekan, adanya skoliosis, gibus dan deformitas yang lain. Pemeriksaan neurologis
meliputi pemeriksaan sensorik, motorik, refleks, tes untuk meregangkan saraf iskiadikus (tes
Laseque, Laseque silang, Bragard dan Sicard) dan tes untuk menaikkan tekanan intratekal
(tes Naffziger dan Valsalva).

KRITERIA DIAGNOSTIK
Anamnesis
Pemeriksaan fisik dan neurologis
Pemeriksaan penunjang

DIAGNOSIS BANDING
Strain lumbal
Hernia nukleus pulposus (HNP)
Tumor
Rematik

89
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Neuroimejing:
Foto polos vertebra untuk evaluasi awal
MRI atau CT Scan dilakukan pada pasien dengan gejala defisit neurologis progresif
atau dicurigai menderita penyakit spinal yang serius, MRI lebih unggul dari CT Scan.
Neurofisiologi: atas indikasi, terutama pada kasus NPB dengan sindroma radikuler dan
mungkin NPB dengan tanda bahaya.
Laboratorium: laju endap darah (LED), darah tepi lengkap, C raeactive protein (CRP),
faktor rematoid, alkali fosfatase, kalsium dilakukan sesuai dengan indikasi.

TERAPI
Farmakologis
o NPB Akut
Parasetamol, obat anti inflamasi non steroid (OAINS) selektif (misal celecoxib) dan
non selektif (misal diklofenak), relaksan otot, opioid (untuk nyeri hebat), injeksi titik
picu (steroid + lidokain) dan epidural untuk nyeri radikuler).
o NPB Kronis
Pilihan analgesik dan relaksan otot seperti pada NPB akut. Antikonvulsan
(pregabalin, gabapentin, karbamazepin, okskarbamazepin, fenitoin), anti depresan
(amitriptilin, duloksetin, venlafaxin), penyekat alfa (klonidin, prazosin), opioid
(kalau sangat diperlukan), kortikosteroid (masih kontraversial).

Non Farmakologis
o NPB Akut
Terapi latihan, manipulasi spinal (khiropraktik), tirah baring (< 3 hari), korset lumbal,
kompres hangat dan traksi (tidak cukup bukti bermanfaat pada NPB).

o NPB Kronik
Terapi latihan, akupuntur, manipulasi spinal, cognitive behavioural therapy (CBT),
transcutaneus electrical nerve stimulation (TENS) dan korset lumbal.

Terapi Bedah
Terapi bedah memerlukan indikasi yang ketat untuk mencegah terjadinya failed back
syndrome (kegagalan dan kekambuhan setelah operasi). Dipertimbangkan pada keadaan:
o Setelah 1 bulan dirawat konservatif tidak ada kemajuan
o Iskialgia berat sehingga pasien tidak mampu menahan sakitnya
o Iskialgia menetap atau bertambah berat
o Adanya gangguan miksi atau defekasi atau seksual
o Ada bukti klinis terganggunya radiks

90
o Ada kelemahan otot tungkai bawah

EDUKASI
Penjelasan pada pasien tentang penyakit yang dideritanya. penjelasan yang berisi
aktifitas yang harus dihindari dan petunjuk latihan untuk memperkuat otot punggung
membantu pasien untuk mencegah kekambuhan.

PROGNOSIS
Bergantung dari penyebab yang mendasari NPB. Kebanyakan penyebab NPB adalah
benigna sehingga prognosisnya secara keseluruhan cukup baik.

KEPUSTAKAAN
Meliala, KRTL; Suryamiharja, A; Purba, JS; Sadeli, HA. 2003. Nyeri Punggung Bawah.
Kelompok Studi Nyeri PERDOSSI, Jakarta.
Meliala, KRTL; Suroto; Suryamiharja, A; Purwata, TE; Leksmono, RP; Suharjanti, I; dkk.
2011. Dalam: Suryamiharja, A; Purwata, TE; Suharjanti, I; Yudyanta (Ed.). Kelompok
studi nyeri PERDOSSI, konsensus nasional 1, diagnostik dan penatalaksanaan nyeri
neuropatik. Airlangga University Press. Jakarta.
Misbach, J; Hamid, AB; Mayza, A; Saleh, MK. Buku Pedoman Standar Pelayanan Medis
(SPM) dan Standar Prosedur Operasional (SPO) Neurologi, Koreksi Tahun 1999 dan
2005. 2006. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI). Jakarta.
DIVISI NEUROFISIOLOGI

NEUROPATI
DEFINISI
Proses patologi yang mengenai susunan saraf perifer, berupa proses demielinisasi atau
degenerasi aksonal atau kedua-duanya. Sususan saraf perifer mencakup saraf otak, saraf
spinal dengan akar saraf serta cabang-cabangnya, saraf tepi dan bagian-bagian tepi dari
susunan saraf otonom.

ANAMNESIS
Keluhan berupa keluhan nyeri, rasa terbakar, ditusuk, disayat, hentakan, kesetrum,
parastesia, hilang rasa, kurang rasa, disestesia, hiperlagesia, alodinia, hiperpatia, nyeri
pantom, penurunan rasa vibrasi dan posisi, kelemahan motorik dan keluhan
91
vasomotor/sudomotor/atrofi jaringan subkutan. Ditanyakan awitan, perjalanan penyakit,
mencari penyakit dasar (diabetes melitus, trauma, neuralgia trigeminal, neuroma dan herpes
zoster), riwayat pengobatan, kualitas nyeri, lokasi, distribusi/penjalaran, faktor yang
meringankan/memperberat. Anamnesis psikologis/pain triad (kecemasan, depresi,
gangguan tidur).

PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan neurologis meliputi pemeriksaan sensorik (parestesia, nyeri, terbakar,
penurunan rasa raba, vibrasi dan posisi), pemeriksaan motorik (kelemahan otot-otot), reflek
tendon menurun dan fasikulasi.
Metabolik:
o Neuropati diabetik:
Polineuropati: komplikasi diabetes melitus yang paling sering terjadi dengan gejala
dan tanda berupa gangguan motorik tungkai lebih sering terkena daripada tangan,
gangguan sensorik kaos kaki dan sarung tangan berupa gangguan rasa nyeri dan suhu,
vibrasi serta posisi.
Otonom neuropati: gejala dan tanda berupa keringat berkurang, hipotensi ortostatik,
nokturnal diare, inkontinensi alvi, konstipasi, inkontinensi atau retensio urin,
gastroparesis dan impotensi.
Mononeuropati dengan gejala dan tanda terutama mengenai nervi kranialis (terutama
untuk pergerakan bola mata) dan saraf tepi besar dengan gejala nyeri.
o Polineuropati uremikum: terjadi pada pasien uremia kronis (gagal ginjal kronis),
dengan gejala dan tanda berupa gangguan sensorimotor simetris pada tungkai dan
tangan, rasa gatal, geli atau rasa merayap pada tungkai dan paha yang memberat pada
malam hari dan membaik bila kaki digerakkan (restless leg syndrome).
Nutrisional
o Polineuropati defisiensi :
Piridoksin: pada penggunaan Izoniazid (INH) dengan gejala dan tanda berupa
neuropati sensorimotor dan neuropati optika
Asam folat: sering pada penggunaan fenitoin dan intake asam folat yang kurang
Niasin: pada pasien defisiensi multipel

92
o Polineuropati alkoholik: neuropati karena defisiensi multivitamin dan tiamin dengan
gejala dan tanda berupa gangguan sensorimotor simetris terutama tungkai tahap lanjut
mengenai tangan.
Toksik:
o Arsenik: keracunan arsen secara kronik (akumulasi kronik) dengan gejala dan tanda
berupa gangguan sensoris berupa nyeri dan gangguan motorik yang berkembang
lambat, gangguan gastrointestinal mendahului ganggauan neuropati oleh karena intake
arsen.
o Merkuri: dengan gejala dan tanda menyerupai keracunan arsen.
Drug induced
o Obat antineoplasma (cisplastin, carboplastin, vincristin) dengan gejala dan tanda
banyak sebagai gangguan sensorik polineuropati setelah beberapa minggu terapi
seperti parastesia; gangguan propriseptif, vibrasi sering terganggu sampai kolum
posterior dan gangguan motorik terutama tungkai bawah.
o Antimikrobial
INH: simetrikal polineuropati
Kloramfenikol dan metronodazole: gangguan sensoris ringan/ akral parestesia,
kadang optik neuropati.

Keganasan / paraneoplastic polyneuropathy


Gejala dan tanda: banyak dalam bentuk distal simetrikal sensorimotor polineuropati
akibat remote effect keganasan (seperti mieloma multipel, limfoma) dan gejala motorik
seperti ataksia, atrofi tingkat lanjut kelumpuhan.
Trauma: neuropati jebakan.

KRITERIA DIAGNOSTIK
Klinis: gangguan sensorik (parestesia, nyeri, terbakar, penurunan rasa raba, vibrasi dan
posisi), gangguan motorik (kelemahan otot-otot), reflek tendon menurun dan fasikulasi
Laboratorium: gula darah puasa, fungsi ginjal, kadar vitamin B1, B6, B12 darah, kadar
logam berat, fungi hormon tiroid, lumbal pungsi (sesuai indikasi)

93
Gold Standard: Elektroneuromiografi/ ENMG (degenerasi aksonal dan demielinisasi) dan
biopsi saraf

DIAGNOSIS BANDING
Miopati
Motor neuron disease
Multiple sclerosis

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium
Elektroneuromiografi (ENMG)
Biopsi saraf

TERAPI
Terapi kausa
Simptomatis : analgetik, antiepileptik
Neurotropik vitamin : B1, B6, B12, asam folat
Fisioterapi

EDUKASI
Memberikan informasi yang mudah dipahami pasien tentang penyakitnya, pengobatan
dan hal-hal yang diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan. Memberikan edukasi
mengenai aktifitas fisik sehari-hari, kepatuhan mengkonsumsi obat dan sebagainya.

PROGNOSIS
Bergantung penyakit dasar, progresifitas dan komplikasinya. Perawatan dan
fisioterapi yang kurang cermat menimbulkan atrofi, dekubitus, infeksi saluran kencing dan
kontraktur. Perawatan umumnya 2 minggu sampai 1 bulan, kadang-kadang penyembuhan
tidak sempurna.

KEPUSTAKAAN

94
Meliala, KRTL; Suroto; Suryamiharja, A; Purwata, TE; Leksmono, RP; Suharjanti, I; dkk.
2011. Dalam: Suryamiharja, A; Purwata, TE; Suharjanti, I; Yudyanta (Ed.). Kelompok
studi nyeri PERDOSSI, konsensus nasional 1, diagnostik dan penatalaksanaan nyeri
neuropatik. Airlangga University Press. Jakarta.
Misbach, J; Hamid, AB; Mayza, A; Saleh, MK. Buku Pedoman Standar Pelayanan Medis
(SPM) dan Standar Prosedur Operasional (SPO) Neurologi, Koreksi Tahun 1999 dan
2005. 2006. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI). Jakarta.

DIVISI NEURO-OTOLOGI

BENIGN PAROXYSMAL POSITIONAL VERTIGO (BPPV)


DEFINISI
Benign paroxysmal positional vertigo (BPPV) adalah gangguan klinis yang sring
terjadi dengan karakteristik serangan vertigo tipe perifer, berulang dan singkat, sering
berkaitan dengan perubahan posisi kepala dari tidur melihat ke atas kemudian memutar
kepala.

ANAMNESIS
Keluhan berupa sensasi berputar (gangguan vestibuler) atau rasa goyang, melayang,
mengambang (gangguan sistem propriseptif atau visual). Tempo serangan episodik atau terus
95
menerus/konstan. Disertai mual/muntah atau tidak, gangguan otonom (berkeringat) atau
tidak. Ada gangguan pendengaran atau tidak (tinnitus atau tuli). Dicetuskan gerakan kepala
atau gerakan objek visual. Pemakaian obat-obatan yang menimbulkan vertigo (streptomisin,
gentamisin, kemoterapi, dll). Tindakan tertentu seperti temporal bone surgery, trans-
tympanal treatment. Penyakit yang diderita misal diabetes melitus, hipertensi, kelainan
jantung. Defisit neurologis: hemihipestesi, baal wajah sesisi, perioral numbness, disfagia,
hemiparesis, penglihatan ganda, ataksia serebelaris.

PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan neurologis tidak didapati tanda fokal otak. Tes Dix Hallpike (+). Tes
Romberg dan Romberg dipertajam, pada saat mata tertutup pasien cenderung jatuh ke satu
sisi. Tes Tandem didapati pasien akan mengalami deviasi ke sisi lesi. Tes Fukuda akan
didapati deviasi > 30 derajat ke sisi lesi. Tes past pointing, ketika mata tertutup maka jari
pasien akan deviasi ke arah lesi. Head thrust test dijumpai adanya sakadik. Supine roll test
(+) pada BPPV kanalis horizontal.

KRITERIA DIAGNOSTIK
Anamnesis
Pemeriksaan fisik (neurologis dan umum)
Pemeriksaan penunjang

DIAGNOSIS BANDING
Gangguan otologi: penyakit Meniere, neuritis vestibularis, labirinitis, superior canal
dehiscence syndrome dan vertigo paska trauma.
Gangguan neurologi: migraine associated dizziness, insufisiensi vertebrobasiler,
penyakit demielinisasi dan lesi susunan saraf pusat.
Keadaan lain: kecemasan, gangguan panik, vertigoservikogenik, efek samping obat
dan hipotensi postural.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Elektronistagmografi
Tes Kalori

TERAPI

96
Medikamentosa
Obat antivertigo seringkali tidak diperlukan, namun apabila terjadi disequilibrium paska
BPPV, pemberian betahistin akan berguna untuk mempercepat kompensasi.
Terapi Rehabilitasi Vestibular
o Latihan keseimbangan, stabilisasi pandangan, ketergantungan visual, kondisi fisik
o Manuver Epley dan Semont
o Latihan Brandt-Daroff
o Manuver Lampert Roll untuk BPPV kanal horizontal
Terapi Bedah
Pada sebagian kecil penderita BPPV yang berkepanjangan dan tidak sembuh dengan
terapi konservatif bisa dilakukan operasi neurektomi atau canal plugging. Tindakan
operatif tersebut bisa menimbulkan komplikasi berupa tuli sensorineural pada 10% kasus.

EDUKASI
Pada BPPV gejala yang timbul hebat sehingga pasien menjadi cemas akan penyakit
yang berat seperti stroke atau tumor otak. Dengan demikian perlu diberikan penjelasan bahwa
BPPV bukan sesuatu yang berbahaya dan prognosisnya baik, dapat hilang spontan setelah
beberapa waktu, walaupun kadang-kadang dapat berlangsung lama dan sewaktu-waktu dapat
kambuh kembali.

PROGNOSIS
Secara umum kekambuhan BPPV setelah keberhasilan terapi berkisar 40-50% dalam
pengawasan 5 tahun.

KEPUSTAKAAN
Tamboimbela, M; Nurimaba, N; Cahyani, A; Bintoro, AC; Amar, A; Suharyanti, I; dkk.
2011. Benign Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV). Dalam: Amar, A;
Suryamihardja, A; Dewati, E; Sitorus, F; Nurimaba, N; Sutarni, S; dkk. (Ed.).
Pedoman Tatalaksana Vertigo. Kelompok Studi Vertigo PERDOSSI. Jakarta.

97
98

You might also like