You are on page 1of 14

Sistem Administrasi Negara pada Masa Pemerintahan Kolonial

Belanda

Sistem pemerintahan kolonial


Kedatangan Belanda ke Indonesia yang pada awalnya hanya mencari rempah-
rempah ternyata berubah menjadi menyusun kekuatan untuk mendirikan kekuasaan di
Indonesia. Melalui lembaga dagang VOC, terbentuklah cita-cita mencari kekayaan di
Indonesia, serta memengaruhi berbagai hal di Indonesia, antara lain, lembaga dagang VOC
memiliki pengurus terdiri dari tujuh belas orang yang disebut De Heeren Zeventien (Dewan
Tujuh Belas) yang berpusat di negeri Belanda. Sebagai pelaksana harian di Indonesia, Dewan
Tujuh Belas mengangkat gubernur jenderal yang didampingi Dewan Hindia. Dewan Hindia
(Ideler) ini beranggotakan sembilan orang yang sebagian menjabat gubernur di daerah
seperti Banten, Cirebon, dan Surabaya. Gubernur jenderal bersama Dewan Hindia
mengemudikan pemerintahan VOC di Indonesia yang kekuasaannya tidak terbatas. Selain
gubernur jenderal, diangkat pula seorang direktur jenderal yang bertugas mengurusi
perniagaan serta mengurus perkapalan.
Setelah VOC runtuh, Indonesia diperintah oleh Daendels, seorang yang pandai tetapi
diktator. Ia membagi Pulau Jawa menjadi sembilan karesidenan yang dikepalai oleh seorang
perfect. Ia juga mendirikan Pengawas Keuangan (Algemene Rekenkamer). Sikap otoriter
Daendels menyebabkan banyak peperangan dengan raja-raja daerah serta keburukan
pemerintahannya sehingga ia ditarik kembali pulang ke negeri Belanda.
Tujuan dikirimnya Gubernur Jenderal Daendels ke Jawa adalah untuk memperkuat
pertahanan Jawa sebagai basis melawan Inggris di Samudera Hindia. Daendels adalah
seorang pemuja prinsip-prinsip revolusioner ala Revolusi Prancis. Napoleon Bonaparte
adalah idolanya. Usahanya dalam membangun Pulau Jawa salah satunya adalah dengan
jalan memberantas ketidakefisienan, penyelewengan, dan korupsi yang menyelimuti
administrasi di pulau tersebut.
Dalam rangka mempertahankan Jawa dari serangan Inggris, Daendles membuat
beberapa kebijakan, di antaranya :
(a) Membuat Grote Postweg (Jalan Raya Pos) dari Anyer (Banten) sampai Panarukan (Jawa
Timur); jalan ini didirikan agar di setiap kota/kabupaten yang dilaluinya terdapat kantor-
kantor pos; dengan adanya pos-pos ini maka penyampaian berita akan lebih cepat sehingga
berita apa pun akan lebih cepat diterima.
(b) Mendirikan benteng-benteng pertahanan sebagai antisipasi terhadap serangan dari
tentara Inggris yang juga ingin menguasai Jawa.
(c) Membangun pangkalan angkatan laut di Merak dan Ujung Kulon.
(d) Menambah jumlah pasukan dari 4.000 orang menjadi 18000 orang, yang sebagian besar
orang-orang Indonesia (dari Maluku, Jawa).
(e) Mendirikan pabrik senjata di Semarang dan Surabaya.
Selain itu, Daendels juga mengubah sistem pemerintahan tradisional dengan sistem
pemerintahan Eropa. Pulau Jawa di bagi menjadi sembilan prefektur (keresidenan), yang
dikepalai oleh seorang residen yang membawahkan beberapa bupati (kabupaten). Para
bupati ini diberi gaji tetap dan tidak diperkenanan meminta upeti kepada rakyat.
Dampaknya kewibawaan para bupati dihadapan rakyatnya menjadi merosot, karena bupati
adalah pegawai pemerintah yang harus tunduk kepada keinginan pemerintah. Rakyat
Indonesia mengalami penderitaan yang sangat hebat. Selain dituntut untuk membayar
pajak-pajak pemerintah, mereka juga diharuskan terlibat dalam kerja paksa (rodi)
pelaksanaan pembangunan Jalan Raya Pos. Untuk menutupi biaya pembangunan, tanah-
tanah rakyat dijual kepada orang-orang partikelir Belanda dan Tionghoa. Penjualan tanah
juga termasuk penduduk yang mendiami wilayah tersebut, sehingga penderitaan rakyat
kecil semakin bertambah akibat dari tindakan sewenangwenang para pemilik tanah. Ribuan
rakyat Indonesia meninggal dalam pembuatan Jalan Raya Pos dikarenakan kerja yang sangat
berat sedangkan mereka tidak dibayar dan diberi makan dengan layak.
Daendels membagi wilayah pemerintahanya dalam perfectur yang bisa di
samakan dengan gewes dan dikepalai oleh seorang perfect. Istilah perfect adalah suatu
istilah prancis nama itu dipakai, karna deandels terkenal sebagai seorang pengagum
perancis.
Jalan pemerintah pada masa itu sangat sentralistis, ia lah dari gubernur jendral kepada
perfect, perfect kepada bupati, dan bupati kepada pegawai bawahannya
2. Masa Sistem Tanam Paksa (Cultuur Stelsel)
Pada masa awal ke-19 pemerintahan Belanda mengeluarkan dana yang sangat besar
untuk membiayai peperangan di Eropa maupun di Indonesia, sehingga kerajaan Belanda
harus menanggung hutang yang sangat besar. Kesulitan ekonomi semakin parah dengan
terjadinya pemisahan Belgia (1830) dari Belanda, yang berakibat Belanda banyak kehilangan
bisnis industrinya. Maka dari itu, muncul pemikiran Van den Bosch dalam rangka
menyelamatkan negerinya. Ia menyatakan bahwa daerah jajahan merupakan tempat
mengambil keuntungan bagi negeri induknya (atau seperti dikatakan Baud gabus tempat
Belanda mengapung), artinya bahwa Jawa dianggap sebagai sapi perahan. Antara tahun
1830-1870 giliran kaum konservatif Belanda yang mendominasi Indonesia yang
memberlakukan sistem tanam paksa atau cultuur stelsel. Sistem tanam paksa didasarkan
atas prinsip wajib atau paksa dan prinsip monopoli. Cultuur stelsel diberlakukan oleh
Gubernur Jenderal van den Bosch dengan tujuan memperoleh pendapatan sebanyak
mungkin dalam waktu singkat. Pemerintah kolonial mengerahkan tenaga rakyat tanah
jajahan untuk mengusahakan tanaman-tanaman komoditas dunia.
Berikut ini beberapa pokok kebijakan cultuur stelsel yaitu :
(1) Rakyat wajib menyediakan seperlima lahan garapannya untuk ditanami tanaman wajib
(tanaman berkualitas ekspor).
(2) Lahan yang disediakan untuk tanaman wajib dibebaskan dari pembayaran pajak tanah.
(3) Hasil panen diserahkan kepada pemerintah kolonial.
Kelebihan hasil panen dibayarkan kembali kepada rakyat;
(4) Tenaga dan waktu yang diperlukan untuk menggarap tanaman wajib tidak boleh
melebihi tenaga dan waktu yang diperlukan untuk menanam padi.
(5) Mereka yang tidak memiliki tanah wajib bekerja selama 66 hari setahun di perkebunan
milik pemerintah.
(6) Penggarapan tanaman wajib di bawah pengawasan langsung penguasa pribumi.
Pegawai-pegawai Belanda mengawasi jalannya penggarapan dan pengangkutan.
Menurut ketentuan dalam pasal 62 ayat (2) Undang-Undang Dasar Nederland,
pemerintahan umum di hindia belanda dilakukan oleh gubernur jendral atas nama raja.
Pemerintahan itu diselenggarakan sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam indise
Staatsregeling dengan memperhatikan petunjuk-petunjuk raja. Gubernur jendral diangkat
dan diberhentikan oleh raja dan pelakasanaan tugasnya ia yang bertanggung jawab kepada
raja, sedangkan kepada mentri urusan daerah jajahan ia member segala keterangan yang
diminta tentang pemerintahan tersebut, dan ia haruslah seorang belanda yang minimal
berusia 30 tahun.

Sistem Administrasi Keuangan pada masa orde baru dan reformasi

Perbedaan
Sistem Penganggaran
Orde baru : Menggunakan anggaran berimbang dimana diusahakan agar
penerimaan dan pengeluaran seimbang
Reformasi : Menggunakan anggaran berbasis kinerja

Tahun anggaran
Orde baru : dimulai tanggal 1 April 31 Maret
Reformasi : dimula tanggal 1 Januari 31 Desember

Persamaan
Siklus Anggaran (tidak berubah)
1. Penyusunan RAPBN
2. Pembahasan RUU APBN
3. Pelaksanaan UU APBN
4. Pengawasan UU APBN
5. Pertanggungjawaban Anggaran Negara

Sumber APBN (tidak berubah)


Pendapatan Daerah
Pendapatan Asli Daerah (Pajak Daerah, dan Retribusi Daerah)
Dana Perimbangan
Perusahaan daerah
Dinas daerah
Pendapatan daerah lainnya
Perbedaan Pengelolaan Keuangan Negara Orde Baru dengan Pasca-Orde
Baru
Mekanisme Penyusunan Anggaran
Sistem keuangan masa Orde Baru adalah merupakan sistem kuno, warisan dari
kolonial yang menggunakan single entry dimana tidak ada suatu standar
pencatatan transaksi Pemerintah untuk keperluan anggaran. Didasarkan atas
pengeluaran tunai (berbasis kas) selama tahun anggaran, kewajiban konjensi
Pemerintah tidak tercermin dalam APBN Pemerintah dalam hal ini Menteri
Keuangan membuat Laporan pertanggungjawaban Pelaksanaan APBN dan
melaporkannya dalam bentuk Rancangan Perhitungan Anggaran Negara (RUU
PAN) yang paling lambat lima belas bulan setelah berakhirnya pelaksanaan
APBN tahun anggaran bersangkutan.
Sejak disahkannya UU No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU No.
1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan UU No.15 Tahun 2004
tentang Pemeriksaan atas Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara,
pengelolaan APBN mengalami perubahan dalam proses penganggaran dari
sejak perencanaan hingga ke pelaksanaan anggaran. Perubahan tersebut
dilakukan karena dalam proses penganggaran yang selama ini berlaku
mempunyai banyak kelemahan.
Transparansi dan akuntabilitas fiskal
Perbaikan transparansi dan akuntabilitas fiskal merupakan salah satu kunci
bagi keberhasilan perombakan sistem sosial yang dilakukan selama era
reformasi. Dalam era Orde baru transparansi dan akuntabilitas pemerintahan
terpuruk. tidak adanya informasi tentang aset dan hutang negara, dan
pengungkapan laporan keuangan pemerintah yang tidak konsisten dan tidak
memadai.
Untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan
negara, pemerintah era reformasi telah melakukan koreksi secara menyeluruh.
Salah satu upaya yang dilakukan menyusun paket undang-undang keuangan
negara yaitu: Undang-undang (UU) nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan
Negara, UU nomor 01 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan UU
nomor 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab
Keuangan Negara.
Berdasarkan aspek pendapatan Negara
Sumber pendapatan Negara diperoleh dari berbagai sumber yaitu :
Penerimaan dalam negeri.
Penerimaan perpajakan adalah semua penerimaan yang terdiri dari pajak
dalam negeri dan pajak perdagangan internasional.
Pajak dalam negeri :
o Pajak Penghasilan (PPh),
o Pajak Pertambahan Nilai (PPN),
o Pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM),
o Pajak Bumi dan Bangunan(PBB),
o Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) &Cukai,
Pajak perdagangan internasional :
o bea masuk dan pajak/pungutan ekspor

Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) meliputi


o Penerimaan dari sumber daya alam,
o Setoran laba BUMN,
o Penerimaan bukan pajak lainnya,
Hibah adalah semua penerimaan Negara yang berasal dari sumbangan swasta
dalam negeri, sumbangan swasta dan pemerintah luar negeri.

b. Pembiayaan keuangan dalam system nasional


Pembiayaan meliputi:
Pembiayaan Dalam Negeri, semua pembiayaan yang berasal dari perbankan
dan nonperbankan dalam negeri yang meliputi hasil privatisasi, penjualan aset
perbankan dalam rangka program restrukturisasi, surat utang negara, dan
dukungan infrastruktur,
Pembiayaan luar negeri bersih adalah semua pembiayaan yang berasal dari
penarikan utang/pinjaman luar negeri yang terdiri dari pinjaman program dan
pinjaman proyek, dikurangi dengan pembayaran cicilan pokok utang/pinjaman
luar negeri.
Pinjaman Luar Negeri
o Penarikan Pinjaman Luar Negeri, terdiri atas Pinjaman Program dan Pinjaman
Proyek
o Pembayaran Cicilan Pokok Utang Luar Negeri, terdiri atas Jatuh Tempo dan
Moratorium.
Sebelum Kemerdekaan

Pengusiran Portugis oleh Belanda menjadikan Belanda mempunyai tempat untuk


menancapkan kukunya di Hindia Belanda, dengan melimpahkan wewenang kepada VOC
(Vereenigde Oost-Indische Compagnie). VOC, yang pada saat itu dipimpin oleh Gubernur
Jenderal Jan Pieterzoon Coen (1619-1623 dan 1627-1629), diberi hak octrooi yang salah
satunya adalah mencetak uang dan melakukan kebijakan perekonomian. Sejak tahun 1600-
an, VOC mengeluarkan kebijakan untuk menambah isi kas negara dengan menetapkan
peraturan verplichte leverentie (kewajiban menyerahkan hasil bumi pada VOC),
contingenten (pajak hasil bumi, pembatasan jumlah tanaman rempah-rempah agar
harganya tinggi, dan preangerstelsel (kewajiban menanam pohon kopi).

Pada bulan maret 1809, setelah menjual tanah weltevreden, pemerintahan Daendels
memutuskan membangun sebuah istana yang berhadapan dengan lapangan parade
Waterlooplein. Istana ini rencananya digunakan sebagai pusat pemerintahan dan dipakai
untuk kepentingan gubernur jenderal, dalam rangka pemberian kebijakan. Selain itu, gedung
ini juga difungsikan sebagai tempat tahanan.

Sebagai pengganti Daendels, Gubernur Jansen kurang menaruh perhatian pada


pembangunan gedung, sehingga selama masa jabatannya pembangunan gedung itu
terlantar.

Kemudian, pembangunan istana ini dilanjutkan oleh Letnan Kolonel J.C Schultze, perwira
yang berpengalaman membangun gedung Societet Harmonie di Batavia. Namun,
pembangunan istana sempat terhenti karena Hindia Belanda beralih kekuasan ke Inggris.

Pemerintahan Inggris melalui Thomas Stamford Raffles (1811-1816) mengeluarkan


kebijakan baru dengan nama Landrent (pajak tanah), dengan mengubah pola pajak bumi
yang diterapkan Belanda sebelumnya. Harapan Raffles mengeluarkan kebijakan tersebut,
agar masyarakat Hindia Belanda memiliki uang untuk membeli produk Inggris. Pada intinya
adalah memperluas pasar bagi produk yang dihasilkan dan menyerap hasil produksi oleh
penduduk. Kebijakan yang dilakukan Raffles mengalami kegagalan karena tidak adanya
dukungan dari raja dan bangsawan setempat, dan penduduk kurang mengerti mengenai
uang dan perhitungan pajak.

Hindia Belanda kemudian dikuasai kembali oleh Belanda setelah melalui kesepakatan
Inggris- Belanda. Pada periode ini, perbaikan perekonomian mulai dilaksanakan. Jenderal
Du Bus (1826), sebagai Gubernur Jenderal pada masa itu, melanjutkan pembangunan
istana tersebut dengan bantuan Ir. Tromp, yang selesai pada 1828. Bangunan tersebut
digunakan sebagai kantor pemerintahan Hindia Belanda, yang diresmikan sendiri oleh
Gubernur Du Bus. Di tahun yang sama, Du Bus juga mendirikan De Javasche Bank dengan
alasan kondisi keuangan di Hindia Belanda dianggap memerlukan penertiban dan
pengaturan sistem pembayaran.

Pada tahun 1836, atas inisiatifnya, van Den Bosch mulai memberlakukan cultuurstelsel
(sistem tanam paksa) yang bertujuan untuk memproduksi berbagai komoditi yang memiliki
permintaan di pasar dunia. Sistem ini merupakan pengganti sistem landrent dalam rangka
mengenalkan penggunaan uang di masyarakat Hindia Belanda. Cultuurstelsel dan kerja rodi
(kerja paksa) mampu mengenalkan ekonomi uang pada masyarakat pedesaan. Hal ini
dilihat dengan meningkatnya jumlah penduduk yang melakukan kegiatan ekonomi.
Kebijakan selanjutnya yang dilakukan pemeritahan Belanda di Hindia Belanda adalah
Laissez faire laissez passer, yaitu perekonomian diserahkan pada pihak swasta (kaum
kapitalis). Kebijakan ini dilakukan atas desakan kaum Humanis Belanda yang menginginkan
perubahan nasib warga agar lebih baik. Peraturan agraria baru ini bukannya mengubah
menjadi lebih baik melainkan menimbulkan penderitaan yang tidak layak. Pada masa ini
Departement van Financien dibentuk dan bertempat di istana Daendels karena pusat
pemerintahan berpindah ke tempat lain. Gedung ini dijadikan sebagai tempat
pengkoordinasian pelaksanaan tugas, pembinaan, dan pemberian dukungan administrasif
keuangan ke tempat lain.

Kekurangan tenaga ahli keuangan membuat pemerintah Belanda menyelenggarakan


berbagai kursus bagi orang Belanda dan orang Pribumi yang dipandang mampu. Kursus
yang diikuti adalah kursus ajun kontrolir dan treasury / perbendaharaan. Terpusatnya tempat
pengelolaan keuangan dimaksudkan untuk memudahkan pengontrolan pemasukan dan
pengeluaran negara. Terjadinya keadaan ekonomi yang memprihatinkan adalah alasan
utama dibentuknya departement of financien.

Pecahnya perang dunia II di Eropa yang terus menjalar hingga ke wilayah Asia Pasifik,
membuat kedudukan Indonesia sebagai jajahan Belanda sangat sulit, ditambah dengan
terjepitnya pemerintah Belanda akibat serbuan Jepang. Menjelang kedatangan Jepang di
Pulau jawa, Presiden DJB, Dr. G.G. van Buttingha Wichers berhasil memindahkan semua
cadangan emas ke Australia dan Afrika Selatan melalui pelabuhan Cilacap.

Selama menduduki Indonesia, Jepang menjadikan kota Jakarta sebagai pusat


pemerintahan. Gedung Departement of Finance dijadikan tempat untuk melakukan aktivitas
keuangan sehari-hari. Gedung ini dijadikan sebagai tempat pengolahan keuangan dan
pemutusan kebijakan ekonomi oleh Jepang. Pada 7 Maret 1943, patung Jan Pieterzoon
Coen yang berada di depan gedung Department of Financien dihancurkan Jepang karena
dianggap sebagai lambang penguasa Batavia.

Banyak dari tenaga ahli keuangan Belanda ditawan oleh Jepang, dan beberapa orang yang
ahli dan berpengalaman dijadikan sebagai tenaga pengajar keuangan pada putra-putri
Indonesia. Kekurangan tenaga keuangan menjadikan Jepang mendidik rakyat Hindia
Belanda untuk mengikuti pendidikan keuangan. Selama 1942-1945, Jepang menerapkan
beberapa kebijakan seperti, memaksa penyerahan seluruh aset bank, melakukan ordonansi
berupa perintah likuidasi untuk seluruh Bank Belanda, Inggris, dan Cina. Selain itu, Jepang
juga melakukan invasion money senilai 2,4 milyar gulden di pulau Jawa hingga 8 milyar
gulden (pada tahun 1946). Tujuan invasion money yang dilakukan oleh Jepang adalah
menghancurkan nilai mata uang Belanda yang sudah terlanjur beredar di Hindia Belanda.

Fokus pendudukan Jepang di Hindia Belanda terhadap perang pasifik menyebabkan


Jepang melakukan kebijakan yang membuat terjadinya krisis keuangan. Jepang melakukan
perombakan besar-besaran dalam struktur ekonomi masyarakat. Kesejahteraan rakyat
merosot tajam dan terjadi bencana kekurangan pangan karena produksi minyak jarak.
Jepang melakukan pengurasan kekayaan alam dan hasil bumi, dan menjadikan para tenaga
produktif sebagai romusha. Hiper inflasi yang terjadi pasa masa ini menyebabkan
pengeluaran bertambah besar, sedangkan pemasukan pajak dan bea masuk turun drastis.
Kebijakan ala tentara Dai Nippon merugikan penduduk Indonesia.

.
Masa Kemerdekaan

Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia merupakan titik puncak perlawanan bangsa


Indonesia terhadap penjajahan dan juga ungkapan tekad untuk mengubah sistem hukum
kolonial menjadi sistem hukum nasional. Meskipun demikian, untuk membuat satu sistem
hukum yang bersifat nasional tentu saja bukan perkara mudah dan membutuhkan waktu yang
tidak sebentar. Oleh karena itu, untuk mengisi kekosongan hukum, Undang-Undang Dasar
1945 kemudian memberikan kelonggaran melalui Ketentuan Peralihan Pasal II UUD 1945
dengan menyatakan: Segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku
selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini. Ketentuan
tersebutlah yang kemudian menjadi dasar hukum pemberlakuan semua peraturan perundang-
undangan pada masa kolonial di masa kemerdekaan.

Untuk melaksanakan dalam tataran praktis, Presiden Soekarno mengeluarkan Peraturan


Presiden No. 2 Tahun 1945 tanggal 10 Oktober 1945 yang terdiri dari dua pasal, yaitu:

Pasal 1 : Segala Badan-Badan Negara dan Peraturan-Peraturan yang ada sampai berdirinya
Negara Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, selama belum diadakan yang baru
menurut Undang-Undang Dasar masih berlaku asal saja tidak bertentangan dengan Undang-
Undang Dasar tersebut.

Pasal 2 : Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal 17 Agustus 1945.

Dengan adanya Peraturan Presiden tersebut tentu saja makin memperjelas dan mempertegas
pemberlakuan semua peraturan perundang-undangan yang pernah ada pada masa kolonial
sampai dengan adanya peraturan baru yang dapat menggantikannya. Demikian pula halnya
dengan ketentuan yang mengatur tentang hukum pidana -juga diberlakukan.

Untuk menegaskan kembali pemberlakuan hukum pidana pada masa kolonial tersebut, pada
tanggal 26 Februari 1946, pemerintah kemudian mengeluarkan Undang-Undang No. 1 tahun
1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Undang-undang inilah yang kemudian dijadikan
dasar hukum perubahan Wetboek van Strafrecht voor Netherlands Indie menjadi Wetboek van
Strafrecht (WvS), yang kemudian dikenal dengan nama Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana. Sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 1 -nya yang menyatakan, Dengan
menyimpang seperlunya dari Peraturan Presiden Republik Indonesia tertanggal 10 Oktober
1945 No. 2, menetapkan bahwa peraturan-peraturan hukum pidana yang sekarang berlaku
ialah peraturan-peraturan hukum pidana yang ada pada tanggal 8 maret 1942.

Meskipun demikian, dalam Pasal XVII UU No. 2 Tahun 1946 juga terdapat ketentuan yang
menyatakan bahwa Undang-undang ini mulai berlaku buat pulau Jawa dan Madura pada hari
diumumkannya dan buat daerah lain pada hari yang akan ditetapkan oleh Presiden. Dengan
demikian, pemberlakuan Wetboek van Strafrecht voor Netherlands Indie menjadi Wetboek
van Strafrecht hanya terbatas pada wilayah jawa dan Madura.
UNDANG-UNDANG TENTANG ADMINISTRASI KEUNGAN NEGARA
Keuangan Negara merupakan hal terpenting dalam suatu Negara yang berdaulat,
tanpa adanya keuangan Negara tidak mungkin suatu Negara yang berdaulat dapat
menjalankan fungsi dan tugasnya sebagai badan hukum yang bersifat publik dan
semua alat dan kelengkapan Negara dapat berjalan dengan baik.

Awal perkembangan keuangan Negara di mulai pada akhir abad ke dua puluh ketika
Negara mulai ikut campur dalam kepentingan negaranya ini yang dapat di sebut
dengan Negara modern (welfare state modern).

Munculnya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara


sangatlah di sambut gembira karena diharapakan dapat mengatur dan mengelola
segala pertanggungjawaban Negara dengan baik dan bijaksana serta dapat
mengakhiri silang pendapat yang sering terjadi selama ini.

Adapun pengertian dari keuangan Negara menurut Undang-Undang Nomor 17


tahun 2003 tentang Keuangan Negara (UUKN) menyatakan bahwa semua hak dan
kewajiban Negara yang dapat di nilai dengan uang, serta segala sesuatu yang dapat
di nilai dengan barang yang dapat di jadikan milik Negara yang berkaitan dengan
pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.

Selama ini pengertian keuangan Negara hanya bersumber pada APBN saja,
walaupun pada prinsipnya pengelolaan tersebut juga selain bersumber pada Negara
juga bersumber pada daerah yang menggunakannya tidak hanya Negara sebagai
badan hukum publik tetepi juga badan-badan hukum lain yang pengelolaan dan
penggunaanya serta pertanggungjawabannya dari setiap badan hukum berbeda.

Oleh sebab itu pengertian keuangan keuangan Negara dapat memiliki substansi
yang dapat di tinjau dalam arti luas dan arti sempit. Menurut Dr Muhammad Djafar
Saidi SH MH keuangan Negara dalam arti luas mencakup, anggaran pendapatan
dan belanja Negara, anggaran pendapatan dan belanja daerah, keuangan Negara
pada badan usaha milik Negara/badan usaha milik daerah.

Dari pengertian tersebut sangat jelas bahwa sumber keuangan Negara bersumber
pada APBN, APBD, tetapi hal tersebut juga dapat meliputi pengertian keuangan
yang bersumber pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) maupun milik daerah
(BUMD) atau Badan Hukum Milik Negara (BHMH).

Berdasarkan dari kedudukan serta fungsi dari sumber keuangan Negara maka
masing masing sangat berbeda, menurut literatur hukum dan ekonomi Anglo Saxon
keuangan tidak hanya meliputi dari APBN atau APBD saja tetapi state owned
company yang sering disebut dengan public finance (Otto Eickstein, 1979;
Musgrave, Richard A.,1959; Roger Douglas & Melinda Jones, 1996) yang juga
membicarakan APBN, APBD, dan BUMN serta BUMD maka sebaiknya istilah
keuangan Negara di rubah menjadi Keuangan Publik. Dikarenakan fungsi keuangan
publik sangatlah penting maka perlulah di ketahui bagaimana tata cara
pengelolaannya yang tepat dan dapat dipertanggung jawabkan secara baik dalam
masing masing keuangan tersebut.

Perlu arif dan bijaksana dalam pengelolaan keuangan negara, karena merupakan
bagian dari tata cara pelaksanaan pemerintahan dalam suatu Negara. Pengelolaan
keuangan Negara merupakan kegiatan pejabat dari suatu pengelolaan yang harus
sesuai dengan kewenangan dan kedudukan yang dapat diliputi oleh perencanaan,
pengawasan, serta adanya pertanggungjawaban. Menurut UUKN, terdapat asas-
asas tentang pengelolaan keuangan Negara antara lain, pertama, asas akuntabilitas
yang berorientasi pada hasil adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan
dan hasil akhir dari kegiatan pengelolaan keuangan Negara harus dapat di
pertanggungjawabkan kepada rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi
Negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Kedua, Asas proporsional adalah asas yang mengemukakan keseimbangan antar


hak dan kewajiban pengelola keuangan Negara. Ketiga, asas profesionalitas adalah
asas yang mengutamakan keahlian berdasarkan kode etik dan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Keempat, asas keterbukaan dan pengelolaan
keuangan Negara adalah asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk
memperoleh informasi yang benar, jujur, tidak diskriminatif tentang pengelolaan
keuangan Negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi,
golongan dan rahasia Negara.

Kelima, asas pemeriksaan keuangan oleh badan pemeriksa yang bebas dan mandiri
adalah asas yang memberikan kebebasan bagi badan pemeriksa keuangan untuk
melakukan pemeriksaan keuangan Negara dengan tidak boleh dipengaruhi oleh
siapapun dan oleh apappun.Menyikapi tentang pengawasan dalam pengelolaan
keuangan Negara tentu saja tidak semua lembaga pemeriksa dan pengawas baik di
tingkat pusat maupun daerah dapat menjalankan fungsi dan tugasnya secara
prosedural terhadap masing masing-keuangan badan hukum tersebut.

Hal tersebut di karenakan pengelolaan badan hukum publik dan dan badan hukum
privat sangat berbeda cara pengelolaanya mengingat untuk meningkatkan
akuntabilitas dalam keuangan harus jelas batasan batasannya, sehingga jangan
sampai terjadi keuangan BUMN atau BUMD mempertanggungjawabkan oleh
pemerintah pusat atau pemerintah daerah yang mewakili masing-masing badan
hukum publik tersebut.

Merujuk pada konstitusi Undang Undang Dasar 1945, juga harus memperhatikan
fungsi keuangan publik sebagai lembaga atau badan hukum yang mengelola dan
bertanggungjawab danal keuangan publik. Menurut Undang-Undang Nomor 17
tahun 2003 tentang Keuangan Negara justru menghindari tentang rumusan
keuangan Negara,padahal sebagai mana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar
1945 amandemen ketiga Pasal 23 ayat (4) tidak memberikan definisi yang jelas
tentang pertanggungjawaban secara yuridis tentang keuangan Negara hal ini
dikarenakan Undang-Undang No 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara
mencantumkan pasal 23; 23A; 23B; 23C; 23D; dan 23E UUD1945 sebagai acuan
dasar dalam konstitusinya sehingga tidak memmiliki batasan yang jelas tentang
substansi mengenai keuangan Negara baik secara akademik maupun secara syarat
dalam rumusan sebuah undang undang yang berlaku di masyarakat yang harus
memiliki landasan filsafat dan harus bersifat mutlak sebagai suatu syarat berlakunya
undang undang yang baik. Dikarenakan masih sangat lemahnya pengawasan dan
perencanaan dalam pengelolaan keuangan Negara maka sebaiknya masyarakat
lebih berperan aktif dalam pengawasan dan sebagai kontrol sosial demi tegaknya
supremasi hukum dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.***
MAKALAH EKONOMI
SISTEM ADMINISTRASI KEUANGAN NEGARA

DI
S
U
S
U
N
OLEH: SRI MUTIARA
KELAS: XI.IIS 1

SMA NEGERI 2 MASAMBA

You might also like