You are on page 1of 7

PEDOMAN PENEGAKAN DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN ASMA DI INDONESIA

Oleh: dr. Grace Setiawan

Definisi Asma

Asma merupakan sebuah penyakit kronik pada saluran napas yang terdapat di seluruh
dunia dengan angka kejadian bervariasi. Asma diyakini berhubungan dengan peningkatan
kepekaan saluran napas sehingga memicu episode mengi berulang (wheezing), sesak napas
(breathlessness), dada rasa tertekan (chest tightness), dyspneu, dan batuk (cough) yang
terutama terjadi pada malam atau dini hari.1,2

Menurut National Heart, Lung, and Blood Institute, pada individu yang rentan, gejala
asma berhubungan dengan inflamasi yang kemudian akan menyebabkan obstruksi dan
hiperesponsivitas dari saluran pernapasan dengan derajat keparahan yang bervariasi.3

Epidemiologi

Asma dapat ditemukan pada laki-laki dan perempuan di segala usia, terutama pada usia
dini. Perbandingan angka kejadian pada laki-laki dan perempuan di usia dini adalah 2:1 dan
pada usia remaja perbandingan berubah menjadi 1:1. Prevalensi asma lebih besar pada wanita
dewasa. Laki-laki lebih memungkinkan mengalami penurunan gejala di akhir usia remaja
dibandingkan dengan perempuan.4,5

Berdasarkan data WHO hingga saat ini jumlah penderita asma di dunia diperkirakan
mencapai 300 juta orang dan diperkirakan angka ini akan terus meningkat hingga 400 juta
penderita pada tahun 2025. Hasil penelitian International Study on Asthma and Allergies in
Chilhood (ISAAC) pada tahun 2005 menunjukkan bahwa di Indonesia, prevalensi penyakit asma
meningkat dari 4,2% menjadi 5,4%. Saat ini diperkirakan prevalensi asma di Indonesia
berjumlah sekitar 5% dari seluruh penduduk Indonesia, artinya ada sekitar 12,5 juta pasien
asma di Indonesia.4,5

Patofisiologi

Alergen akan menyebabkan eksaserbasi asma dengan cara menginflamasi saluran


napas atau menyebabkan bronkospasme akut atau keduanya. Alergen pemicu asma tersebut
sangat bervariasi antara satu individu dengan individu yang lain dan dari satu waktu ke waktu
yang lain.1

Alergen akan memicu terjadinya bronkokonstriksi akibat dari pelepasan IgE dependent
dari sel mast pada saluran pernapasan melalui mediator, termasuk di antaranya histamin,
prostaglandin, leukotrien, sehingga akan terjadi kontraksi otot polos.1,2,6
Pada pasien yang menderita asma kronis, saluran pernapasan akan berusaha untuk
mengganti jaringan yang rusak dengan sel-sel baru. Proses ini nantinya akan menghasilkan
perubahan struktur saluran pernapasan, yang dikenal juga dengan istilah airway remodeling.2,6

Konsekuensi dari airway remodeling ini adalah terjadinya peningkatan gejala dan tanda
asma, seperti hiperaktivitas saluran napas, penurunan kelenturan saluran napas, serta obstruksi
jalan napas.1

Obstruksi aliran udara merupakan gangguan fisiologis terpenting pada asma akut.
Gangguan ini akan menghambat aliran udara selama inspirasi dan ekspirasi dan dapat dinilai
dengan tes fungsi paru yang sederhana seperti peak expiratory flow rate (PEFR) dan FEV1
(Forced expiration volume). Ketika pasien asimptomatis, FEV1 cenderung menjadi sekurang-
kurangnya 40-50% dari perkiraan. Ketika tanda-tanda fisik menghilang FEV1 berkisar antara
60-70% dari perkiraan atau bisa lebih tinggi lagi.1,2

Faktor Resiko

Adapun faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian asma adalah 1,2,4 :

1. Imunitas dasar

Mekanisme imunitas terhadap kejadian inflamasi pada asma kemungkinan terjadi ekspresi
sel Th2 yang berlebihan. Gen ORMDL3 mempunyai hubungan kuat sebagai faktor
predisposisi asma.

2. Umur

Data Riskesdas pada tahun 2013 menunjukkan bahwa usia 25-44 merupakan kelompok
umur dengan prevalensi asma tertinggi yang melakukan rawat jalan, yakni sebesar 24.05%,
sedangkan prevalensi terendah adalah pada usia 0-6 hari, yakni sebesar 0.13%.

3. Jenis Kelamin

Jenis kelamin laki-laki merupakan sebuah faktor resiko terjadinya asma pada anak-anak.
Akan tetapi, pada masa pubertas, rasio prevalensi bergeser dan menjadi lebih sering terjadi
pada perempuan. Pada manusia dewasa tidak didapati perbedaan angka kejadian asma di
antara dua jenis kelamin.

4. Faktor Pencetus

Paparan terhadap alergen merupakan faktor pencetus asma yang paling penting.
Alergen-alergen ini dapat berupa kutu debu, kecoak, binatang peliharaan, dan polen/tepung
sari. Kutu debu umumnya ditemukan pada lantai rumah, karpet, dan tempat tidur yang kotor.

Iritan-iritan berupa paparan terhadap rokok dan bahan kimia juga telah dikaitkan dengan
kejadian asma. Dimana rokok diasosiasikan dengan penurunan fungsi paru pada penderita
asma, meningkatkan derajat keparahan asma, dan mengurangi responsivitas terhadap
pengobatan asma, dan pengontrolan asma.
Kegiatan fisik yang berat tanpa diselingi istirahat yang adekuat juga dapat memicu
terjadinya serangan asma. Riwayat penyakit infeksi saluran pernapasan juga telah
dihubungkan dengan kejadian asma.

5. Status Sosioekonomik

Prevalensi derajat asma berat paling banyak terjadi pada penderita dengan status
sosioekonomik yang rendah, yaitu 40%.

Diagnosis

Asma akut merupakan kegawatdaruratan medis yang harus segera di diagnosis dan diobati.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang.

Riwayat Penyakit

Tujuannya untuk menentukan waktu timbulnya serangan dan beratnya gejala, terutama untuk
membandingkan dengan eksaserbasi sebelumnya, semua obat yang digunakan selama ini,
riwayat di RS sebelumnya, kunjungan ke gawat darurat, riwayat episode gagal napas
sebelumnya (intubasi, penggunaan ventilator), gangguan psikiatrik atau psikologis. Jika tidak
terdapat riwayat asma sebelumnya terutama pada pasien dewasa, harus dipertimbangkan
diagnosis banding lain seperti gagal jantung kongestif, PPOK, dan lainnya.1,2,4

Pemeriksaan Fisik

Perhatian terutama ditujukan kepada keadaan umum pasien. Pasien dengan gejala sangat berat
akan duduk tegak. Penggunaan otot-otot tambahan untuk membantu bernapas juga harus
menjadi perhatian, sebagai indikator adanya obstruksi yang berat. Adanya retraksi otot
sternokleidomastoideus dan suprasternal menunjukkan adanya kelemahan fungsi paru.1,2

Frekuensi pernapasan >30x/menit, takikardi >120x/menit atau pulsus paradoksus >12 mmHg
merupakan tanda vital adanya serangan asma akut berat. Lebih dari 50% pasien dengan asma
akut berat, frekuensi jantungnya berkisar antara 90-120x/menit. Umumnya keberhasilan
pengobatan terhadap obstruksi saluran pernapasan dihubungkan dengan penurunan frekuensi
denyut jantung, meskipun beberapa pasien tetap mengalami takikardi oleh karena efek
bronkotropik dari bronkodilator.1,4,5

Pengukuran saturasi oksigen dengan pulse oximetry perlu dilakukan pada seluruh pasien
dengan asma akut untuk mengekslusi hipoksemia. Pengukuran Sp02 hanya diindikasikan saat
kemungkinan pasien berisiko berada dalam kondisi gagal napas dan memerlukan
penatalaksanaan yang lebih intensif. Target pengobatan ditentukan agar saturasi oksigen 92%
tetap terjaga.1,7

Analisa Gas Darah

Keputusan untuk dilakukan pemeriksaan AGD jarang diperlukan pada awal penatalaksanaan.
Karena ketepatan dan kegunaan pulse oximetry bisa dianggap sudah cukup adekuat. Hanya
pasien dengan terapi oksigen yang SpO2 tak mencapai angka >90%, perlu dilakukan
pemeriksaan AGD. Kondisi oksigenasi yang tetap tidak adekuat meskipun sudah diberikan
terapi oksigen, perlu dipikirkan kondisi lain yang memperberat seperti adanya pneumonia.2,3

Foto Toraks

Foto toraks hanya dilakukan pada pasien dengan tanda dan gejala adanya pneumothoraks
(nyeri dada pleuritik, emfisema sub kutis, instabilitas kardiovaskular, atau suara napas yang
asimetris), pada pasien yang secara klinis dicurigai adanya pneumonia atau pasien asma yang
setelah 6-12 jam dilakukan pengobatan secara intensif tetapi tidak respon terhadap terapi.1,2

Monitor Irama Jantung

EKG tidak diperlukan secara rutin, tetapi monitoring secara terus menerus sangat tepat untuk
dilakukan pada pasien lansia dan pada pasien yang juga menderita penyakit jantung. Irama
jantung yang biasanya ditemukan adalah sinus takikardi dan supraventrikular takikardi. Jika
gangguan irama jantung ini hanya disebabkan oleh penyakit asmanya saja, diharapkan
gangguan irama tadi akan segera kembali normal dalam hitungan jam setelah munculnya
respon terapi.1,6

Klasifikasi

Klasifikasi derajat asma berdasarkan frekuensi serangan dan obat yang digunakan sehari-hari,
asma juga dapat dinilai berdasarkan berat-ringannya serangan. Global Initiative for Asthma
(GINA) membuat pembagian derajat serangan asma berdasarkan gejala dan tanda klinis, uji
fungsi paru, dan pemeriksaan laboratorium.2

Tabel 1. Klasifikasi derajat berat asma berdasarkan gambaran klinis (sebelum pengobatan) 1
Tabel 2. Klasifikasi berat serangan asma akut 1

Penatalaksanaan

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia menyusun suatu pedoman penatalaksanaan kasus asma
berdasarkan derajat keparahan serangan asma, manajemen penanganan asma di rumah sakit,
serta algoritma penatalaksanaan asma di rumah.

Tabel 3. Pengobatan sesuai derajat keparahan asma.1


Daftar Pustaka

1. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), 2006. Asma: Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan di Indonesia.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.
2. Global Initiative for Asthma (GINA), 2016. Global Burden of Asthma-Global Initiative for Asthma (Revised).
Available from: http://ginasthma.org/2017-pocket-guide-for-asthma-management-and-prevention/
3. National Institute of Health. 2011. Asthma Guidelines. National Heart, Lung, and Blood Institute.
4. Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI. 2014. You Can Control Your Asthma. ISSN 2442-7659.
Availabe from: http://www.depkes.go.id/resources/download/pusdatin/infodatin/infodatin-asma.pdf
5. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2009. Pedoman Pengendalian Penyakit Asma. Available from:
http://perpustakaan.depkes.go.id:8180/bitstream/123456789/756/4/BK2009-G127.pdf
6. Asthma and Allergy Foundation of America, 2015. Asthma Facts and Figures. Available from:
http://www.aafa.org/page/asthma-facts.aspx
7. Landover: Australian Institute of Health and Welfare. Available from:
http://www.aafa.org/display.cfm?id=9&sub=42#_ftn4

You might also like