Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
JAKARTA (Media): ISFI menilai apoteker masih menjadi pedagang obat, bukan
profesi. Sementara itu, Badan POM meminta para apoteker memungut keuntungan dari
jasa profesi, bukan harga obat. Ketua Umum Badan Pimpinan Pusat Ikatan Sarjana Farmasi
Indonesia (BPP ISFI) Ahaditomo melihat dari perspektif sekarang, apoteker hanya sebagai
penjual obat.
Kesimpulan yang didapat dalam berbagai forum internasional, baik forum WHO
seperti Nairobi Conference, International Conference on DrugRegulatory Authorities
(ICDRA) maupun forum profesi seperti World Conference onClinical Pharmacology &
Therepeutics, yang mengakui bahwa pelayanan informasi obat merupakan salah satu
kebutuhan kritis yang saat ini belum dipenuhi. Hal ini memberikan kesan dan citra
yang kurang baik bagi apoteker. Masyarakat tentunya merasa sekali kekuranghadiran
apoteker dalam setiap melayani langsung kepada pasien. Di mata mereka, sosok apoteker
semakin tidak jelas kedudukan spesifiknya. Dan dampak lanjutannya, sedikit banyak masyarakat
akan meremehkan peran dan fungsi apoteker di apotek.
Terkait dengan hal hal yang telah dituliskan, melalui makalah ini penulis berharap para tenaga
kesehatan khususnya para tenaga farmasi dapat meningkatkan mutu pelayanan di beberapa
bidang, diantaranya pelayanan rumah sakit, apotek, pemasaran farmasi, industri, dan sosial.
Dengan meningkatnya mutu pelayanan maka citra farmasi pun dapat terangkat.
1
Farmasis terfokus kepada pertanyaan yang sama mengenai bagaimana citra
suatu profesional farmasi.
Didasari temuan dalam penelitian ini, ada perbedaan yang jelas antara citra ideal seorang
farmasis dibandingkan kelompok yang lain.
Pada tahun 1970-an, satu dari peneliti besar tentang citra farmasi tercantum dalam
laporan yang disusun oleh Dichter. Objek dari penelitian ini, diberi judul Pembahasan Nilai -
Nilai Keseluruhan Pelayanan Farmasetika Kepada Konsumen, menentukan bagaimana nilai
keseluruhan farmasetika sangat efektif jika disosialisasikan kepada publik untuk mendorong
permintaan akan pelayanan ini.
Hasil dari penelitian ini mengungkap bahwa banyak orang yang diwawancarai
oleh psikologis Institut Dichter untuk Penelitian Motivasi tidak menganggap bahwa rata-rata
farmasis adalah seorang profesional yang membayangkan bagaimana diri mereka seharusnya.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
Selintas Sejarah Kefarmasian Indonesia
1. Periode Zaman Penjajahan sampai Perang Kemerdekaaan
Tonggak sejarah kefarmasian di Indonesia pada umumnya diawali dengan pendidikan asisten
apoteker semasa pemerintahan Hindia Belanda
2. Periode Setelah Perang Kemerdekaan Sampai dengan Tahun 1958
Pada periode ini jumlah tenaga farmasi, terutama tenaga asisten apoteker mulai
bertambah jumlah yang relatif lebih besar. Pada tahun 1950 di Jakarta dibuka sekolah asisten
apoteker Negeri (Republik) yang pertama , dengan jangka waktu pendidikan selama dua tahun.
Lulusan angkatan pertama sekolah asisten apoteker ini tercatat sekitar 30 orang, sementara itu
jumlah apoteker juga mengalami peningkatan, baik yang berasal dari pendidikan di
luar negeri maupun lulusan dari dalam negeri.
3. Periode Tahun 1958 sampai dengan 1967
Pada periode ini meskipun untuk memproduksi obat telah banyak dirintis, dalam kenyataannya
industri-industri farmasi menghadapi hambatan dan kesulitan yang cukup berat, antara lain
kekurangan devisa dan terjadinya sistem penjatahan bahan baku obat sehingga industri yang
dapat bertahan hanyalah industri yang memperoleh bagian jatah atau mereka yang mempunyai
relasi dengan luar negeri. Pada periode ini, terutama antara tahun 1960 1965, karena kesulitan
devisa dan keadaan ekonomi yang suram, industry farmasi dalam negeri hanya dapat berproduksi
sekitar 30% dari kapasitas produksinya. Oleh karena itu, penyediaan obat menjadi sangat terbatas
dan sebagian besar berasal dari impor. Sementara itu karena pengawasan belum dapat dilakukan
dengan baik banyak terjadi kasus bahan baku maupun obat jadi yang tidak memenuhi
persyaratan standar.Sekitar tahun 1960-1965, beberapa peraturan perundang-undangan yang
penting dan berkaitan dengan kefarmasian yang dikeluarkan oleh pemerintah antara lain :
(1) Undang-undang Nomor 9 tahun 1960 tentang Pokok-pokok Kesehatan
(2) Undang-undang Nomor 10 tahun 1961 tentang barang
(3) Undang-undang Nomor 7 tahun 1963 tentang Tenaga Kesehatan, dan
(4) Peraturan Pemerintah Nomor 26 tahun 1965 tentang Apotek. Pada periode ini pula ada hal
penting yang patut dicatat dalam sejarah kefarmasian di Indonesia, yakni berakhirnya apotek
dokter dan apotek darurat.
4
Ada beberapa jenis citra menurut Frank Jefkins yaitu:
a. Mirror image (Citra bayangan ). Citra ini melekat pada orang dalam atau anggota-
anggota organisasi biasanya adalah pemimpinnya mengenai anggapan pihak luar
tentang organisasinya. Citra ini seringkali tidak tepat, bahkan hanya sekedar ilusi, sebagai akibat
dari tidak memadainya informasi, pengetahuan ataupun pemahaman yang dimiliki oleh
kalangan dalam organisasi itu mengenai pendapat atau pandangan pihak-pihak luar
b. Current image (Citra yang berlaku).Citra yang berlaku adalah suatu citra atau pandangan yang
dianut oleh pihak-pihak luar mengenai suatu organisasi. Citra ini sepenuhnya ditentukan oleh
banyak-sedikitnya informasi yang dimiliki oleh mereka yang mempercayainya.
c. -macam
c. Multiple image (Citra majemuk).Yaitu adanya image yang bermacam-macam dari publiknya
terhadap organisasi tertentu yang ditimbulkan oleh mereka yang mewakili organisasi kita dengan
tingkah laku yang berbeda-beda atau tidak seirama dengan tujuan atau asas organisasi kita.
d. tra
d. Corporate image (Citra perusahaan).Apa yang dimaksud dengan citra perusahaan
adalah citra dari suatu organisasi secara keseluruhan, jadi bukan sekedar citra atas produk dan
pelayanannya.
e. Wish i
e. Wish image (Citra yang diharapkan).Citra harapan adalah suatu citra yang diinginkan oleh
pihak manajemen atau suatu organisasi. Citra yang diharapkn biasanya dirumuskan dan
diterapkan untuk sesuatu yang relatif baru, ketika khalayak belum memiliki informasi yang
memadai mengenainya.
CITRA FARMASI.
2.3. Kerangka Konsep
Komponen citra farmasi :
CORPORATE MARKET
PROFESIONAL
5
Konsep citra terbentuk dari beberapa sisi :
1. Citra perusahaan farmasi ditentukan oleh pengalaman, media massa dan sumber lainnya.
2.
2. Ketika pasien bertukar informasi mengenai pengalamannya dengan pihak lain, maka akan
terbentuk citra pasien yang konsisten berdasarkan penilaian pasien terhadap produk dan
perbandingan di antara beberapa pesaing.
3. Profesionalisme akan ditunjukkan melalui perilaku, sikap dan kepercayaan kepada
organisasi untuk memenuhi harapan pasien terhadap pelayanan.
6
ekonomi pekerjaan. Sedangkan sisi sikap profesionalisme terpusat pada bagaimana
tenaga kesehatan memandang pekerjaannya dan bagaimana hal ini tergabung ke
dalam kerangka kognitif profesioanlisme. Secara umum, seperti yang disebutkan pada
penelitian sebelumnya, ada hubungan terbalik antara profesionalisme dengan birokrasi. Selain
itu, penelitian yang dilakukan pada tahu 1960 dan tahun 1970 itu mengungkapkan
keinginan umum farmasis untuk memperbaiki citra mereka dan mengembangkan
pelayanan terhadap pasien. tahun, perayaan tahunan atau peristiwa spesial lainnya.
Peluang lainnya untuk meningkatkan citra perusahaan yaitu dengan mengirimkan tulisan pada
koran lokal.
7
BAB III
CITRA FARMASI
9
sesuai dan bertanggung jawab secara profesional dan kemanusiaan.Kalau ternyata dalam
realisasinya peran apoteker ini belum memenuhi tugas dan fungsinya, hal ini dapat disebabkan
oleh beberapa faktor:
1. Umumnya sebagian besar apoteker bukanlah sebagai Pemilik Sarana apotek ( PSA ).
Mereka bekerja hanya sebagai penanggungjawab, selebihnya yang berperan aktif adalah PSA.
Sehingga bekerja di apotek bukan sebagai pekerjaan pokok tetapi pekerjaansambilan.
Waktu kerja mereka lebih difokuskan dan dicurahkan untuk pekerjaan pokoknya. Maka tak
heran bila seorang apoteker bisa bekerja di beberapa tempat atau berwiraswasta. Jam kerja di
apotek biasa mereka lakukan setelah waktu kerja pokok mereka selesai, itu pun hanya
beberapa jam.Alasan ini sebenarnya sangat manusiawi sekali, karena gaji bekerja di apotek
dirasa belum mampu memenuhi kebutuhan hidup mereka. Walaupun gaji ini
sebenarnya sudah sebanding dengan pekerjaan mereka, pada saat peran apoteker belum
optimal, merekamenjalankan sesuai dengan fungsi dan tugasnya.
2. Terjadinya pergeseran fungsi apotek yang orientasinya semakin dominan ke Bisnis dibanding
orientasi sosial. Pergeseran ini mengakibatkan peran social apoteker sebagai pemberi
informasi obat kepada pasien tidaklah menjadi penting sepanjang usaha apotek yang
dikelolanya tetap survive. Pelayanan cepat dan harga obat yang murah menjadi titik
yang strategis. Sehingga kegiatan bisnis disini hampir tak ada bedanya dengan usaha bentuk
lain, yang penting untung sebesar-besarnya. Masyarakat sendiri ternyata tidak
mempedulikan, yang penting dapat obat murah dan pelayanan cepat.
3. Kurang siapnya apoteker, terutama apoteker lulusan baru, dalam mempersiapkan
bekal pengetahuan untuk bekerja di apotek. Cita-cita mereka selama kuliah, inginnya bekerja di
industri karena gajinya lebih besar dan jenjang karier menjanjikan. Selain itu pemikiran mereka
sudah terpola bahwa kerja di apotek terkesan santai dan tidak membutuhkan jam kerja yang
banyak. Bahkan kadang-kadang jadwal kunjungannyatidak tentu.
10
c. Mempunyai klasifikasi teknis dan moral yang tinggi dengan ketaatan dan
pengamalan sumpah profesi, kode etik dan standar profesi.
Dapat ditarik kesimpulan bahwa seorang apoteker yang profesional memiliki 3 unsur utama :
keahlian, tanggung jawab, dan norma-norma yang mengatur kegiatan profesi. Farmasis
profesional harus mampu mengaplikasikan asuhan kefarmasian di apotik tempat dia bekerja.
Asuhan kefarmasian yang dimaksud :
a. Kemampuan menyediakan dan memberikan pelayanan yang baik, mengambil keputusan yang
tepat, kemampuan berkomunikasi antar profesi, menempatkan diri sebagai pimpinan dalam
situasi multidisipliner, kemampuan mengelola SDM secarac efektif, selalu belajar sepanjang
karir dan membantu pendidikan dan memberi peluang untuk meningkatkan pengetahuan.
b. Dapat mengelola persediaan farmasi dan perbekalan kesehatan lainya yang meliputi
perencanaan, pengadaan, penyimpanan dan pelayanan sesuai dengan ketentuan perundang-
undangan yang berlaku.
11
b. Decision- maker.
Penggunaan sumber daya yang tepat, bermanfaat, aman dan tepat guna seperti SMD, obat-
obatan, bahan kimia, perlengkapan, prosedur dan pelayanan harus merupakan dasar kerja dari
apoteker.
c. Communicator.
Apoteker adalah merupakan posisi ideal untuk mendukung hubungan antara dokter dan pasien
dan untuk memberikan informasi kesehatan dan obat-obatan pada masyarakat. Apoteker harus
memiliki ilmu pengetahuan dan rasa percaya diri dalam berintegrasi dengan profesi lain dan
masyarakat. Komunikasi ini dapat dilakukan secara verbal (langsung), non verbal,
mendengarkan dan kemampuan menulis.
d. Manager.
Apoteker harus dapat mengelola sumber daya (SDM, fisik, dan keuangan), dan informasi secara
efektif
e. Life- long learner
Adalah tak mungkin memperoleh semua ilmu pengetahuan di sekolah farmasi dan masih
dibutuhkan pengalaman seseorang apoteker dalam karir yang lama. Konsep-konsep, prinsip-
prinsip, komitmen untuk pelajaran jangka panjang harus dimulai disamping yang
diperoleh di sekolah dan selama bekerja. Apoteker harus belajar bagaimana menjaga
ilmu pengetahbuan dan ketrampilan mereka tetap up to date.
f. Teacher
Apoteker mempunyai tanggung jawab untuk membantu pendidikan dan pelatihan
generasi berikutnya dan masyarakat.
g. Leader.
Dalam situasi pelayanan multi disiplin atau dalam wilayah dimana pemberi pelayanan kesehatan
lainya ada dalam jumlah yang sedikit, apoteker diberi tanggung jawab untuk menjadi pemimpin
dalam semua hal yang menyangkut kesejahteraan pasien dan masyarakat. Seorang
apoteker yang memegang peranan sebagai pemimpin harus mempunyai visi dan kemampuan
memimpin.
12
c. Memahami kewajiban apoteker terhadap penderita, teman sejawat, sejawat petugas kesehatan
lainya sesuai dengan kode etik profesi secara benar.
13
Berdasarkan hasil penelitian, perhatian akan lebih ditunjukkan pada pelayanan
profesional dan pelayanan apotik profesional yang disediakan perusahaan daripada harga resep
obat dokter. Promosi lain dapat pula melalui radio atau pengiriman brosur lewat pos. Banyak
pasien merasa senang dengan perkenalan pribadi saat hari ulang tahun, perayaan tahunan
atau peristiwa spesial lainnya. Peluang lainnya untuk meningkatkan citra perusahaan
yaitu dengan mengirimkan tulisan pada koran lokal.
Dengan menggunakan rangka ini, farmasis independen yang terdiri dari empat atau beberapa
toko obat, dan jenis toko obat yang ada dibedakan dari ukuran toko, harga, lokasi, pelayanan, dan
bermacam-macam hadiah yang diberikan. Pelayanan dari profesional yang biasanya adalah
penting untuk mengontrol farmasi. Kemampuan farmasi untuk menyediakan pelayanan yang
profesional, juga menjadi penting untuk kesuksesan retail. Kemampuan atau kesediaan farmasis
untuk menyediakan berbagai macam pelayanan berhubungan dengan citra profesional
farmasi.Tidak seperti beberapa industri lainnya, ada banyak pokok persoalan dalam industri
farmasi. Distribusi dari resep produk obat dikontrol oleh badan federal atau aturan local tertentu.
Misalnya profesi tenaga kesehatan, farmasi memiliki beberapa jenis pelatihan, kode etik, asosiasi
profesional farmasi, kesamaan derajat dan aturan yang dibuat secara pribadi. Di sisi lain,
farmasis tidak dapat menyelesaikan seluruh hal yang harus dikontrolnya karena butuh
pengetahuan dan pemahaman yang melebihi tenaga medis professional lain. Kontrol yang kurang
ini dalam distirbusi obat dikombinasikan dengan baik dengan tekanan yang berasal dari farmasis
sendiri dimana tugas yang hars diembannya terlalu berat sehingga berpotensi merusak citra
farmasi itu sendiri. Implementasi dari Omnibus Budget Reconciliation Act of 1990 (OBRA 90)
menghasilkan suatu standar yang baru dalam praktik farmasi. Dibawah aturan OBRA
90,farmasis dibutuhkan untuk memonitor rekam medis pasien untuk memaksimalkan proses.
14
3.3.5 Strategi Meningkatkan Citra
a. Pendidikan pasien
Ada banyak cara yang bisa digunakan untuk mengenalkan pasien pada aspek profesional
pelayanan perawatan jangka panjang. Pelatihan atau seminar dapat diselenggarakan agar
pasien memahami pengobatan yang mereka jalani. Seminar seminar ini juga dapat
memberikan dorongan bagi staff perawatan di rumah dan fasilitas perawatan jangka panjang
lainnya untuk menjamin pemenuhan keperluan pasien dan penyembuhannya. Cara manual juga
dapat dikembangkan dan disebarkan pada staff administrasi mengenai ketersediaan pelayanan
pendidikan. Cara lain untuk meningkatkan citra yaitu dengan iklan yang memberikan informasi
medis seperti informasi mengenai pengobatan.
b. Pelayanan masyarakat
Keterlibatan dalam masyarakat dapat meningkatkan citra perusahaan misalnya dalam bentuk
sponsor kegiatan atletik, organisasi kemasyarakatan di kegiatan keagamaan. Program program
yang menggunakan obat dapat dilaksanakan dengan menghadirkan dokter, apoteker, atau
perawat dengan target penduduk dewasa. Selain itu, dukungan keuangan untuk program
program liburan, kegiatan amal atau sosial, dan program untuk penderita cacat dapat
meningkatkan citra positif perusahaan. Dukungan waktu dan keuangan akan dihargai warga
masyarakat dan kehadiran di tengah mereka akan menarik pasien pada bisnis.
15
BAB VI
PEMBAHASAN
Seperti yang kita ketahui, pencitraan dalam sebuah keprofesian merupakan salah satu
tolak ukur keberhasilan profesi tersebut dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Citra
sebuah profesi di mata masyarakat memberikan gambaran tentang sejauh mana masyarakat
mengenal dan merasa terbantu oleh pelayanan profesi tersebut. Ketika masyarakat merasa puas
dan terbantu serta profesi tersebut dapat memberikan manfaat yang nyata bagi masyarakat, maka
citra profesi tersebut dapat dikatakan baik atau tinggi.
Di luar negeri, terutama di negara-negara maju, apoteker sebagai salah satu profesi
kesehatan telah memiliki citra yang sangat tinggi di mata masyarakatnya. Apoteker memiliki
andil yang sangat besar dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Apoteker
bersama dengan dokter, perawat dan tenaga kesehatan lainnya merupakan mitra sejajar yang
saling bekerja sama dalam meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan masyarakat.
Pada kenyataannya, profesi apoteker di Indonesia kurang dikenal oleh masyarakat. Jika
ditanya kepada mereka Apa itu apoteker dan apa tugasnya?, yang terlintas di pikiran mereka
ialah tukang obat. Sebuah paradigma yang sangat memilukan bukan ? Hanya sebatas itu
pemahaman masyarakat tentang peran apoteker/farmasis. Masyarakat hanya mengetahui bahwa
apoteker itu ialah orang yang bertugas di apotek tanpa tahu apa tugas mereka sebenarnya.
Apoteker selalu identik dengan apotek, bahkan masyarakat awam tidak mengetahui bahwa
prospek kerja apoteker atau farmasis itu sangatlah luas. Padahal segala produk sehari-hari yang
mereka pakai itu merupakan produk farmasis.
Buruknya citra profesi apoteker di masyarakat pada dasarnya merupakan akibat dari
kelalaian dan ke-tidakprofesional-an para apoteker-apoteker kita sendiri. Kita sebagai
farmasis/apoteker mungkin geram melihat pihak-pihak lain yang seenaknya menggarap lahan
kerja apoteker/farmasis seperti dokter yang melakukan dispensing, bahkan masyarakat awam
pun dengan beraninya menggantikan peran apoteker di apotek yang seharusnya merupakan
wewenang dan tanggungjawab seorang apoteker. Tidak jarang kita menyalahkan pihak-pihak
16
tersebut atas tergesernya peran apoteker di masyarakat. Tapi, pada dasarnya hal ini merupakan
kesalahan para apoteker yang tidak dapat menjaga citranya dan menjalankan tugas yang menjadi
tanggungjawabnya.
Fokus profesi apoteker pada era kini telah beralih dari drug oriented (pelayanan obat)
menjadi pharmaceutical care (pelayanan pasien). Pada prinsip drug oriented, apoteker
cenderung kerja di balik layar, yakni meracik dan menyuplai sediaan farmasi. Namun, pada
prinsip pharmaceutical care, apoteker bukan hanya terfokus kepada obat, namun lebih terarah
yakni pemberian pelayanan, informasi, dan kepedulian terhadap pasien. Dengan sistem seperti
ini diharapkan masyarakat da[at lebih mengenal peran apoteker dalam meningkatkan kesehatan
masyarakat. Namun, pada kenyataan di lapangan, apoteker masih banyak yang belum
menjalankan sistem ini dengan sepenuhnya. Hal ini membuat citra apoteker di masyarakat masih
kurang dikenal.
Beberapa tujuan dari hubungan ini adalah untuk menetapkan titik distribusi untuk
mempertahankan kelangsungan perawatan pasien, untuk mempromosikan bidang kepentingan
bersama, untuk mendapatkan bersama-sama dan mengalokasikan
sejumlah besar sumber daya daripada yang mungkin oleh masing-masing organisasi secara
independen, dan untuk menyelesaikan daerah - daerah konflik atau persaingan.
Oleh karena itu, tujuannya adalah untuk mendapatkan sumber daya yang biasanya akan
tersedia jika organisasi bersikap independen. Pengaturan ini mungkin memerlukan pelepasan
beberapa otonomi; Namun, citra korporasi dapat meningkatkan melalui hubungan
dengan perusahaan lain yang gambarnya sudah baik - diakui dan baik - dihormati. Salah satu
tujuan dari reformasi perawatan kesehatan adalah untuk
menciptakan jaringan sistem pemberian perawatan terorganisir.
Peran profesional ini meningkat untuk apoteker dapat berfungsi sebagai dasar untuk
membangun citra positif di pasar. Apoteker juga harus memiliki kontak yang lebih besar pribadi
dengan pasien, peningkatan ketersediaan layanan farmasi yang komprehensif, peningkatan akses
ke informasi pasien, dan lebih banyak interaksi dengan profesional kesehatan lainnya. Ada
beberapa kekhawatiran bahwa jika apoteker tidak mempromosikan kualitas profesional mereka
17
sebagai strategi untuk peningkatan citra, persepsi publik apoteker akan menurun sebagai apotek
rantai terus tumbuh dalam ukuran dan praktik farmasi menjadi lebih perusahaan.
18
BAB IV
KESIMPULAN
Dari hasil diskusi yang telah dilakukan oleh kelompok kami, maka diperoleh kesimpulan
sebagai berikut :
a.Citra Farmasi adalah kesan, perasaan, gambaran dari masyarakat terhadap farmasis kesan yang
sengaja diciptakan dari farmasis.
b. Komponen citra farmasi:
citra perusahaan
citra pasar
citra profesional
b. Faktor - faktor pengembangan profesionalisme farmasi terdiri dari :
Care Giver
Life Long Learner
Teacher
Decision Maker
Leader
Manager
Comunicator
c. Strategi yang dapat meningkatkan citra farmasi terdiri dari :
Pendidikan pasien
Pelayanan masyarakat
Jaringan Pelayanan terpadu
19
DAFTAR PUSTAKA
1. www.wikipedia.com
2. http://docslide.us/documents/new-farsoscitra-farmasi.html
3. http://www.kompasiana.com/nurindahsari/perbaikan-wajah-apoteker-di-masyarakat-
indonesia_54f3c1497455137c2b6c7f2a
4. http://sobatfarmasis.blogspot.co.id/2013/07/citra-profesi-apoteker-di-
indonesia_9130.html
5. Anshar Saud, Farmasi Sosial Dan Administratif Di Negara Berkembang
20