You are on page 1of 20

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Dari segi kata, Farmasi didefinisikan sebagai ilmu penyediaan bahan obat, dari sumber
alam atau sintetik yang sesuai, untuk disalurkan dan digunakan pada pengobatan dan
pencegahan penyakit. Farmasi mencakup pengetahuan mengenai identifikasi, pemilahan
(selection), aksi farmakologis, pengawetan, penggabungan, analisis, dan pembakuan bahan obat
(drugs) dan sediaan obat (medicine). Pengetahuan kefarmasian mencakup pula penyaluran dan
penggunaan obat yang sesuai dan aman, baik melalui resep (prsecription) dokter berizin,
dokter gigi, dan dokter hewan, maupun melalui cara lain yang sah, misalnya dengan cara
menyalurkan atau menjual langsung kepada pemakai. Paradigma yang berkembang
dimasyarakat, Apoteker atau Farmasis sebagai seseorang yang ahli dibidang farmasi lebih
dikenal sebagai pembuat obat di pabrik, atau penjual obat di apotek. Di Indonesia, profesi
farmasis mulai menggeliat, walau masih perlu meniti jalan panjang.

JAKARTA (Media): ISFI menilai apoteker masih menjadi pedagang obat, bukan
profesi. Sementara itu, Badan POM meminta para apoteker memungut keuntungan dari
jasa profesi, bukan harga obat. Ketua Umum Badan Pimpinan Pusat Ikatan Sarjana Farmasi
Indonesia (BPP ISFI) Ahaditomo melihat dari perspektif sekarang, apoteker hanya sebagai
penjual obat.
Kesimpulan yang didapat dalam berbagai forum internasional, baik forum WHO
seperti Nairobi Conference, International Conference on DrugRegulatory Authorities
(ICDRA) maupun forum profesi seperti World Conference onClinical Pharmacology &
Therepeutics, yang mengakui bahwa pelayanan informasi obat merupakan salah satu
kebutuhan kritis yang saat ini belum dipenuhi. Hal ini memberikan kesan dan citra
yang kurang baik bagi apoteker. Masyarakat tentunya merasa sekali kekuranghadiran
apoteker dalam setiap melayani langsung kepada pasien. Di mata mereka, sosok apoteker
semakin tidak jelas kedudukan spesifiknya. Dan dampak lanjutannya, sedikit banyak masyarakat
akan meremehkan peran dan fungsi apoteker di apotek.
Terkait dengan hal hal yang telah dituliskan, melalui makalah ini penulis berharap para tenaga
kesehatan khususnya para tenaga farmasi dapat meningkatkan mutu pelayanan di beberapa
bidang, diantaranya pelayanan rumah sakit, apotek, pemasaran farmasi, industri, dan sosial.
Dengan meningkatnya mutu pelayanan maka citra farmasi pun dapat terangkat.

1
Farmasis terfokus kepada pertanyaan yang sama mengenai bagaimana citra
suatu profesional farmasi.

Beberapa penelitian mengenai kemampuan farmasis dalam menyediakan informasi


pengobatan, cara komunikasi dengan pasien, citra, dan pelatihan formal sudah mulai dilakukan
sejak tahun 1960-an. Beberapa temuan besar dari penelitian ini antara lain:

1) Farmasis dianggap tidak benar-benar memaksimalkan potensi kemampuannya,


2) Farmasis terbiasa fokus kepada konsep teknis ketimbang konsep profesional,
3) Farmasis tidak terlalu memakai segenap pengetahuan dan kemampuan professional
mereka dalam pekerjaannya, dan
4) Farmasis seharusnya memberikan edukasi kepada pasien tentang latar belakang
pendidikan mereka dan keinginan untuk memberikan pelayanan kepada pasien.

Didasari temuan dalam penelitian ini, ada perbedaan yang jelas antara citra ideal seorang
farmasis dibandingkan kelompok yang lain.

Pada tahun 1970-an, satu dari peneliti besar tentang citra farmasi tercantum dalam
laporan yang disusun oleh Dichter. Objek dari penelitian ini, diberi judul Pembahasan Nilai -
Nilai Keseluruhan Pelayanan Farmasetika Kepada Konsumen, menentukan bagaimana nilai
keseluruhan farmasetika sangat efektif jika disosialisasikan kepada publik untuk mendorong
permintaan akan pelayanan ini.

Dua pertanyaan besar yang dialamatkan untuk penelitian ini yaitu :

1) Apakah konsumen tahu bahwa pelayanan itu benar-benar ada?


2) Apakah konsumen tahu tentang nilai-nilai yang ada dari pelayanan ini?

Hasil dari penelitian ini mengungkap bahwa banyak orang yang diwawancarai
oleh psikologis Institut Dichter untuk Penelitian Motivasi tidak menganggap bahwa rata-rata
farmasis adalah seorang profesional yang membayangkan bagaimana diri mereka seharusnya.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian Farmasis


Farmasis adalah suatu profesi dibidang kesehatan yang meliputi kegiatan- kegiatan di
bidang penemuan, pengembangan, produksi, pengolahan, peracikan dan distribusi obat.
Farmasis adalah tenaga ahli yang mempunyai kewenangan dibidang kefarmasian
melalui keahlian yang diperolehnya selama pendidikan tinggi kefarmasian. Sifat
kewenangan yang berlandaskan ilmu pengetahuan ini memberinya semacam otoritas dalam
berbagai aspek obat atau proses kefarmasian yang tidak dimiliki oleh tenaga kesehatan
lainnya. Farmasi sebagai tenaga kesehatan yang dikelompokkan profesi, telah diakui
secara universal. Lingkup pekerjaannya meliputi semua aspek tentang obat, mulai
penyediaan bahan baku obat dalam arti luas, membuat sediaan jadinya sampai dengan
pelayanan kepada pemakai obat atau pasien (ISFI, Standar Kompetensi Farmasi Indonesia,
2004).
Jika kita berbicara tentang spesifikasi ilmu, bidang ilmu farmasi dapat
dikelompokkan menjadi 4, yaitu: farmasi komunitas, farmasi klinik, farmasi industry dan farmasi
regulatori (pendidikan dll). Farmasi komunitas yang dimaksud sering kita identikkan dengan
kata apoteker. Perannya yang spesifik adalah bersentuhan langsung dengan pasien
untuk menyerahkan obat (dispending) dan memberikan informasi dan edukasi yang benar
tentang obat. Posisinya adalah sebagai rekan kerja dokter. Namun, baru-baru ini seperti kita tahu
bahwa dokter sedang berusaha untuk mereformasi sistem dispensing (penyerahan) obat. Tak bisa
kita sangkal juga bahwa pelayanan apoteker memang sangat kurang. Dalam hal ini yang
patut mendapat sorotan utama bukanlah sistemnya, namun orang-orang yang berada dalam
system tersebut.
Bidang farmasi industri dan regulatori bergerak pada pengembangan ilmu pengetahuan dan
tehnologi di bidang kefarmasian. Sepintas memang bidang ini seolah-olah hampir sama
dengan bidang yang ditekuni oleh para ahli kimia. Namun tetap saja peran farmasi industri tidak
dapat digantikan oleh para ahli kimia, karena dalam penelitian dan pengembangan obat
dibutuhkan juga ilmu yang spesifik (misalnya farmakokinetik dll) dan ilmu ini tidak
dipelajari oleh sarjana yang lain.
Spesifikasi dari farmasi klinik berkaitan dengan analisis dan penegakan diagnosa
suatu penyakit serta cara penanganannya. Pemahaman yang mendalam terhadap ilmu
biokimia dan anatomi fisiologi manusia merupakan ilmu dasar yang sangat diperlukan pada
bidang farmasi ini, namun diperlukan juga pengetahuan yang mendalam mengenai pengobatan
dan obat (termasuk sampai pada tingkat molekuler), inilah salah satu hal yan membedakan
sarjana farmasi dengan sarjana biokimia maupun biologi.

3
Selintas Sejarah Kefarmasian Indonesia
1. Periode Zaman Penjajahan sampai Perang Kemerdekaaan
Tonggak sejarah kefarmasian di Indonesia pada umumnya diawali dengan pendidikan asisten
apoteker semasa pemerintahan Hindia Belanda
2. Periode Setelah Perang Kemerdekaan Sampai dengan Tahun 1958

Pada periode ini jumlah tenaga farmasi, terutama tenaga asisten apoteker mulai
bertambah jumlah yang relatif lebih besar. Pada tahun 1950 di Jakarta dibuka sekolah asisten
apoteker Negeri (Republik) yang pertama , dengan jangka waktu pendidikan selama dua tahun.
Lulusan angkatan pertama sekolah asisten apoteker ini tercatat sekitar 30 orang, sementara itu
jumlah apoteker juga mengalami peningkatan, baik yang berasal dari pendidikan di
luar negeri maupun lulusan dari dalam negeri.
3. Periode Tahun 1958 sampai dengan 1967
Pada periode ini meskipun untuk memproduksi obat telah banyak dirintis, dalam kenyataannya
industri-industri farmasi menghadapi hambatan dan kesulitan yang cukup berat, antara lain
kekurangan devisa dan terjadinya sistem penjatahan bahan baku obat sehingga industri yang
dapat bertahan hanyalah industri yang memperoleh bagian jatah atau mereka yang mempunyai
relasi dengan luar negeri. Pada periode ini, terutama antara tahun 1960 1965, karena kesulitan
devisa dan keadaan ekonomi yang suram, industry farmasi dalam negeri hanya dapat berproduksi
sekitar 30% dari kapasitas produksinya. Oleh karena itu, penyediaan obat menjadi sangat terbatas
dan sebagian besar berasal dari impor. Sementara itu karena pengawasan belum dapat dilakukan
dengan baik banyak terjadi kasus bahan baku maupun obat jadi yang tidak memenuhi
persyaratan standar.Sekitar tahun 1960-1965, beberapa peraturan perundang-undangan yang
penting dan berkaitan dengan kefarmasian yang dikeluarkan oleh pemerintah antara lain :
(1) Undang-undang Nomor 9 tahun 1960 tentang Pokok-pokok Kesehatan
(2) Undang-undang Nomor 10 tahun 1961 tentang barang
(3) Undang-undang Nomor 7 tahun 1963 tentang Tenaga Kesehatan, dan
(4) Peraturan Pemerintah Nomor 26 tahun 1965 tentang Apotek. Pada periode ini pula ada hal
penting yang patut dicatat dalam sejarah kefarmasian di Indonesia, yakni berakhirnya apotek
dokter dan apotek darurat.

2.2. Pengertian Citra


Image atau Citra didefinisikan sebagai a picture of mind, yaitu suatu gambaran yang ada
di dalam benak seseorang. Citra dapat berubah menjadi buruk atau negatif, apabila kemudian
ternyata tidak didukung oleh kemampuan atau keadaan yang sebenarny. Bentuk citra
berhubungan dengan cara dimana farmasi didefinisikan dalam pikiran masyarakat terdiri dari sisi
fungsi dan sisi aura sifat psikologis. farmasis harus berusaha keras untuk membangun citra yang
akan menarik para pelanggan. Analisa yang cermat mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi
pembangunan citra akan membantu seorang farmasis berstrategi pada pasar pelayanan kesehatan
yang berdaya sains tinggi ini.

4
Ada beberapa jenis citra menurut Frank Jefkins yaitu:
a. Mirror image (Citra bayangan ). Citra ini melekat pada orang dalam atau anggota-
anggota organisasi biasanya adalah pemimpinnya mengenai anggapan pihak luar
tentang organisasinya. Citra ini seringkali tidak tepat, bahkan hanya sekedar ilusi, sebagai akibat
dari tidak memadainya informasi, pengetahuan ataupun pemahaman yang dimiliki oleh
kalangan dalam organisasi itu mengenai pendapat atau pandangan pihak-pihak luar

b. Current image (Citra yang berlaku).Citra yang berlaku adalah suatu citra atau pandangan yang
dianut oleh pihak-pihak luar mengenai suatu organisasi. Citra ini sepenuhnya ditentukan oleh
banyak-sedikitnya informasi yang dimiliki oleh mereka yang mempercayainya.
c. -macam
c. Multiple image (Citra majemuk).Yaitu adanya image yang bermacam-macam dari publiknya
terhadap organisasi tertentu yang ditimbulkan oleh mereka yang mewakili organisasi kita dengan
tingkah laku yang berbeda-beda atau tidak seirama dengan tujuan atau asas organisasi kita.
d. tra
d. Corporate image (Citra perusahaan).Apa yang dimaksud dengan citra perusahaan
adalah citra dari suatu organisasi secara keseluruhan, jadi bukan sekedar citra atas produk dan
pelayanannya.
e. Wish i
e. Wish image (Citra yang diharapkan).Citra harapan adalah suatu citra yang diinginkan oleh
pihak manajemen atau suatu organisasi. Citra yang diharapkn biasanya dirumuskan dan
diterapkan untuk sesuatu yang relatif baru, ketika khalayak belum memiliki informasi yang
memadai mengenainya.

CITRA FARMASI.
2.3. Kerangka Konsep
Komponen citra farmasi :

CORPORATE MARKET

PROFESIONAL

5
Konsep citra terbentuk dari beberapa sisi :
1. Citra perusahaan farmasi ditentukan oleh pengalaman, media massa dan sumber lainnya.
2.
2. Ketika pasien bertukar informasi mengenai pengalamannya dengan pihak lain, maka akan
terbentuk citra pasien yang konsisten berdasarkan penilaian pasien terhadap produk dan
perbandingan di antara beberapa pesaing.
3. Profesionalisme akan ditunjukkan melalui perilaku, sikap dan kepercayaan kepada
organisasi untuk memenuhi harapan pasien terhadap pelayanan.

2.3.1 Citra Perusahaan


Citra perusahaan adalah pandangan pasien mengenai kebijakan perusahaan terhadap
lingkungan sosial, karyawan, pasien dan individu lainnya. Kepercayaan, ketahanan dan
tanggung jawab adalah faktor penting dalam pendistribusian produk farmasi maupun dalam
pelayanan. Tanpa memperhatikan jenis produk yang disalurkan, pasien ingin tahu produk
atau pelayanan yang mereka dapatkan di saat yang tepat. Jika dibutuhkan, mereka dapat bertanya
lebih lanjut kepada para ahli. Selain itu, jika ada masalah mereka ingin tahu bahwa masalah itu
akan terselesaikan dengan cepat.

2.3.2 Citra Pasar


Perhatian utama produk dan pelayanan adalah citra pasar. Citra pasar adalah bagaimana
pasien dan penyedia pelayanan kesehatan menilai harga produk dan pelayanan
dibandingkan dengan para pesaing. Jika pasien percaya bahwa mereka mendapatkan harga yang
pantas dari produk atau pelayanan, maka mereka akan terus membeli produk atau pelayanan itu.
Pasien berharap harga yang masuk akal, konsisten dan adil. Banyak perusahaan
menggunakan sistem komputer yang canggih, mesin penyalur otomatis dan proses klaim
elektronik untuk mengontrol harga dan untuk menjamin kebijakan harga yang konsisten.
Jaminan informasi, pelayanan kesehatan di rumah dan konsultasi professional adalah pelayanan
yang dapat digunakan untuk membentuk citra pasar yang diinginkan perusahaan. Pasien
menyerahkan jaminan pelayanan berkelanjutan dan menunggu komitmen agen terhadap
pelayanan pasien. Kemudian, pasien akan mendapatkan keuntungan lebih bila menjadi
anggota dan akan terfasilitasi atas pengembangan hubungan pasien dan kepercayaan.

2.3.3 Citra Professional


Citra profesional terfokus pada komitmen terhadap kualitas pelayanan kesehatan
dan kebutuhan pendidikan publik terkait penggunaan obat. Sebuah model konsep citra
profesional dikemukakan oleh Hall menyatakan bahwa ada penyesuaian antara
sisi struktural dan sisi sikap dalam profesionalisme. Aspek struktural akan
menghubungkan pelatihan profesional, pengetahuan, kode etik, komitmen pelayanan dan

6
ekonomi pekerjaan. Sedangkan sisi sikap profesionalisme terpusat pada bagaimana
tenaga kesehatan memandang pekerjaannya dan bagaimana hal ini tergabung ke
dalam kerangka kognitif profesioanlisme. Secara umum, seperti yang disebutkan pada
penelitian sebelumnya, ada hubungan terbalik antara profesionalisme dengan birokrasi. Selain
itu, penelitian yang dilakukan pada tahu 1960 dan tahun 1970 itu mengungkapkan
keinginan umum farmasis untuk memperbaiki citra mereka dan mengembangkan
pelayanan terhadap pasien. tahun, perayaan tahunan atau peristiwa spesial lainnya.
Peluang lainnya untuk meningkatkan citra perusahaan yaitu dengan mengirimkan tulisan pada
koran lokal.

7
BAB III
CITRA FARMASI

3.1. Sejarah Farmasis


Sejak masa Hipocrates (460-370 SM) yang dikenal sebagai Bapak Ilmu Kedokteran,
belum dikenal adanya istilah farmasis. Seorang dokter yang mendiagnosis penyakit sekaligus
berperan sebagai Apoteker yang menyiapkan obat. Pada tahun 1240 M, Raja Jerman
Frederick II memerintahkan pemisahan secara resmi antara Farmasi dan Kedokteran dalam
dekritnya yang terkenal Two Silices. Dari sejarah ini, satu hal yang perlu direnungkan adalah
bahwa akar ilmu farmasi dan ilmu kedokteran adalah sama. Walaupun kedua bidang ilmu ini
memiliki akar yang sama, tapi pastilah terdapat perbedaan diantara keduanya sehingga Frederick
II mengeluarkan kebijakan tersebut.
Dalam sejarah, profesi dokter dibedakan dengan apoteker. Pada awal abad ke-13 Belum dikenal
istilah Apoteker atau Pharmacist. Yang ada hanya seorang Penyembuh (healer,shaman, dukun,
tabib, sinshe dsb.) yang memeriksa penyakit pasien kemudian memberikan pula obat
yang diperlukan. Praktek seperti ini saya kira bukan asing dinegara kita malahan masih sangat
banyak. Di Eropa praktek seperti ini diikuti dengancermat sehingga ditemukan bahwa ini banyak
merugikan pasien karena tidak ada " check and balance". Karena perkembangan di bidang obat
kemudian sangat pesat, disadari bahwa satu orang tidak dapat menguasai semua ilmu. Maka pada
tahun 1240 di negaraKerajaan Sicilia untuk pertama kalinya dikeluarkan undang-undang
yang memisahkan pekerjaan Dokter dan Apoteker. Dokter hanya boleh memeriksa pasien dan
menulis reseptetapi obat dibuat dan diserahkan oleh Apoteker.
Farmasi sebagai profesi di Indonesia sebenarnya relatif masih muda dan baru dapat berkembang
secara berarti setelah masa kemerdekaan. Pada zaman penjajahan, baik pada masa
pemerintahan Hindia Belanda maupun masa pendudukan Jepang, kefarmasian di
Indonesia pertumbuhannya sangat lambat, dan profesi ini belum dikenal secara luas oleh
masyarakat. Sampai proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, para tenaga farmasi Indonesia
pada umumnya masih terdiri dari asisten apoteker dengan jumlah yang sangat sedikit. Tenaga
apoteker pada masa penjajahan umumnya berasal dari Denmark, Austria, Jerman dan Belanda.
Namun, semasa perang kemerdekaan, kefarmasian di Indonesia mencatat sejarah yang sangat
berarti.

3.2. Farmasis di Mata Masyarakat


JAKARTA (Media): ISFI menilai apoteker masih menjadi pedagang obat, bukan profesi.
Sementara itu, Badan POM meminta para apoteker memungut keuntungan dari jasa profesi,
bukan harga obat. Ketua Umum Badan Pimpinan Pusat Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia (BPP
ISFI) Ahaditomo melihat dari perspektif sekarang, apoteker hanya sebagai penjual obat.
Kesimpulan yang didapat dalam berbagai forum internasional, baik forum WHO seperti Nairobi
Conference, International Conference on DrugRegulatory Authorities (ICDRA) maupun forum
profesi seperti World Conference onClinical Pharmacology & Therepeutics, yang mengakui
bahwa pelayanan informasi obatmerupakan salah satu kebutuhan kritis yang saat ini belum
dipenuhi.Kesenjangan ini memberikan kesan dan citra yang kurang baik bagi profesi
8
apoteker.Masyarakat tentunya merasa sekali kekuranghadiran apoteker dalam setiap
melayanilangsung kepada pasien. Di mata mereka, sosok apoteker semakin tidak jelas
kedudukanspesifiknya. Dan dampak lanjutannya, sedikit banyak masyarakat akan
meremehkan peran dan fungsi apoteker di apotek.
Jika mencermati realita yang ada tentang peran, fungsi, dan posisi farmasis sebagai
profesi kesehatan yang kini tampak belum menunjukkan tajinya di masyarakat, maka dapat
ditarik suatu benang merah tentang penyebab terjadinya hal ini, yaitu lack of self confidence.
Kelemahan terbesar profesi farmasis adalah bahwasanya farmasis masih belum pe-de dalam
berinteraksi dengan profesi kesehatan lainnya. Sumber ketidak pe-dean ini ditengarai
dari maha luasnya ilmu farmasis yang jika tidak dimonovalenkan makaakan
mengakibatkan farmasis hanya akan menguasai outer skin dari multi disiplin ilmukefarmasian.
Tapi satu hal yang pasti adalah farmasis di bumi Indonesia ini sedang berevolusi menuju suatu
gerbang transformasi ke arah perbaikan.
Selain itu merosotnya profesi apoteker di mata masyarakat bukanlah semata kesalahan
APA saja, tapi merupakan bagian dari rusaknya sistem yang ada di Negara kita, termasuk sistem
kesehatan secara umum, contoh yang nyata: sistem perasuransian kesehatan yang tidak jalan.
Faktor lain adalah organisasi profesi dibuat bukan untuk menegakkan peraturan tapi malah
melindungi anggotanya demi menegakkan harkat dan martabat profesinya. Paradigma farmasis
Indonesia saat ini dikenal dengan akronim SI-ADI yang merupakan kependekan dari Simpan,
Ambil dan Distribusi. Terkesan hanya dari sisi managerialnya saja, lalu apa gunanya ilmu-
ilmu yang lain? Kalau begitu, sarjana ekonomi lebih cocok daripada farmasis itu sendiri
karena mereka yang lebih patut dijuluki MANAGEMENT EXPERTS. Terapi pengobatan
pasien tidaklah sesederhana berobat ke dokter, ambil obat ke apotek lalu pulang. Obat, pada
hakekatnya adalah racun bagi tubuh, yang bila tidak digunakan secara tepat akan membahayakan
bagi pasien. Disinilah peran penting farmasis dibutuhkan. Karena pasien hanya mempunyai
sedikit pengetahuan tentang obat atau bahkan tidak sama sekali. Dengan tidak
mengurangi rasa hormat, sesungguhnya tugas farmasis lebih banyak dibandingkan
dokter. Dokter hanyalah sebagai inisiator mulainya terapi. Namun dalam proses sampai akhir
terapi adalah bagian farmasis. Selama ini farmasis hanya bekerja di belakang layar yang kurang
mendapatkan perhatian langsung dari masyarakat umum. Keberhasilan terapi sering dikaitkan
dengan jasa dokter tanpa melibatkan jasa farmasis. Jika kita mau belajar dari negara tetangga
kita, Malaysia, farmasis sangatlah dihargai karena farmasis mempunyai peranan dan manfaat
yang penting bagi pasien. Professional Fee farmasis di Malaysia tidak hanya diperoleh dari
jasa managerialnya saja, namun juga dari jasa konsultasi. Hampir sama dengan dokter, untuk
mengeluarkan resep, dokter memperoleh Professional Fee.
Dalam Undang-Undang (UU) Kesehatan Nomor 23 Tahun 1992 telah diatur tentang peranan
profesi apoteker, yakni pembuatan, termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi,
pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan distribusi obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas
resep dokter, pelayanan informasi obat serta pengem- bangan obat dan obat
tradisional.Sejalan dengan itu, pemerintahpun secara spesifik telah mengeluarkan
PeraturanPemerintah Nomor 25 tentang tugas dan fungsi apoteker di apotek, yaitu sebagai
tempat pengabdian profesi apoteker yang paling sering berhubungan langsung dengan
masyarakat dan tempat pelayanan kefarmasian yang dilakukan secara profesional. Keberadaan
ini juga diakui dan tertuang dalam Etika Profesi Apoteker, yaitu, Apoteker akan
menyampaikan kebenaran informasi obat yang diberikan berdasarkan ilmu pengetahuan yang

9
sesuai dan bertanggung jawab secara profesional dan kemanusiaan.Kalau ternyata dalam
realisasinya peran apoteker ini belum memenuhi tugas dan fungsinya, hal ini dapat disebabkan
oleh beberapa faktor:
1. Umumnya sebagian besar apoteker bukanlah sebagai Pemilik Sarana apotek ( PSA ).
Mereka bekerja hanya sebagai penanggungjawab, selebihnya yang berperan aktif adalah PSA.
Sehingga bekerja di apotek bukan sebagai pekerjaan pokok tetapi pekerjaansambilan.
Waktu kerja mereka lebih difokuskan dan dicurahkan untuk pekerjaan pokoknya. Maka tak
heran bila seorang apoteker bisa bekerja di beberapa tempat atau berwiraswasta. Jam kerja di
apotek biasa mereka lakukan setelah waktu kerja pokok mereka selesai, itu pun hanya
beberapa jam.Alasan ini sebenarnya sangat manusiawi sekali, karena gaji bekerja di apotek
dirasa belum mampu memenuhi kebutuhan hidup mereka. Walaupun gaji ini
sebenarnya sudah sebanding dengan pekerjaan mereka, pada saat peran apoteker belum
optimal, merekamenjalankan sesuai dengan fungsi dan tugasnya.
2. Terjadinya pergeseran fungsi apotek yang orientasinya semakin dominan ke Bisnis dibanding
orientasi sosial. Pergeseran ini mengakibatkan peran social apoteker sebagai pemberi
informasi obat kepada pasien tidaklah menjadi penting sepanjang usaha apotek yang
dikelolanya tetap survive. Pelayanan cepat dan harga obat yang murah menjadi titik
yang strategis. Sehingga kegiatan bisnis disini hampir tak ada bedanya dengan usaha bentuk
lain, yang penting untung sebesar-besarnya. Masyarakat sendiri ternyata tidak
mempedulikan, yang penting dapat obat murah dan pelayanan cepat.
3. Kurang siapnya apoteker, terutama apoteker lulusan baru, dalam mempersiapkan
bekal pengetahuan untuk bekerja di apotek. Cita-cita mereka selama kuliah, inginnya bekerja di
industri karena gajinya lebih besar dan jenjang karier menjanjikan. Selain itu pemikiran mereka
sudah terpola bahwa kerja di apotek terkesan santai dan tidak membutuhkan jam kerja yang
banyak. Bahkan kadang-kadang jadwal kunjungannyatidak tentu.

3.3. Pengembangan Citra Farmasi


3.3.1.Farmasis yang Professional
Dengan berupaya mengembalikan kembali keberadaan profesi apoteker di Indonesia yang
ditunjang pengetahuan, ketrampilan dan keahlian dalam pelayanan kefarmasian, di masa depan
akan memberikan justifikasi yang kuat karena fungsi dan peran apoteker ini semakin jelas.
Keberadaan ini pada akhirnya menjadi kunci kemajuan usaha apotek, yang tentunya
akan berdampak menaikan kesejahteraan apoteker dan menjadikan apotek sebagai
pekerjaan pokok. Sikap perilaku profesionalisme yang didukung keinginan selalu berbuat
benar, merupakan wujud realisasi yang menopang sistem dan aturan yang di tentukan mulus
berjalan. Sikap profesionalisme yang dicirikan oleh seorang apoteker akan tercermin pada :
a. Selalu berniat melaksanakan kebajikan dengan tidak mementingkan keuntungan materi
semata, sehingga terpancar dalam bentuk sikap objektif, menjaga diri dan independen.
b. Bekerja berdasarkan keahlian dan kompeten sehingga mampu menjalankan profesi
secara bebas dan otonom.

10
c. Mempunyai klasifikasi teknis dan moral yang tinggi dengan ketaatan dan
pengamalan sumpah profesi, kode etik dan standar profesi.
Dapat ditarik kesimpulan bahwa seorang apoteker yang profesional memiliki 3 unsur utama :
keahlian, tanggung jawab, dan norma-norma yang mengatur kegiatan profesi. Farmasis
profesional harus mampu mengaplikasikan asuhan kefarmasian di apotik tempat dia bekerja.
Asuhan kefarmasian yang dimaksud :
a. Kemampuan menyediakan dan memberikan pelayanan yang baik, mengambil keputusan yang
tepat, kemampuan berkomunikasi antar profesi, menempatkan diri sebagai pimpinan dalam
situasi multidisipliner, kemampuan mengelola SDM secarac efektif, selalu belajar sepanjang
karir dan membantu pendidikan dan memberi peluang untuk meningkatkan pengetahuan.
b. Dapat mengelola persediaan farmasi dan perbekalan kesehatan lainya yang meliputi
perencanaan, pengadaan, penyimpanan dan pelayanan sesuai dengan ketentuan perundang-
undangan yang berlaku.

c. Menyelenggarakan kegiatan pelayanan profesional berdasarkan prosedur kefarmasian


dan etika profesi.
d. Mampu melaksanakan KIE (Komunikasi, Informasi dan Edukasi) mengenai obat.
e. Memberikan konseling kepada pasien yang akan meningkatkan kepatuhan pasien pada
terapi obat.
f. Dapat melakukan pelayanan residensial (Home Care).
g. Apoteker dapat memberikan nasehat, memilih obat dan keamananya serta keefektifan
penggunaan pada pengobatan sendiripengobatan sendiri.
h. Dapat bekomunikasi antar profesi dalam pemakaian obat dan sebagai bagian dari pembuat
keputusan klinis bersama spesialis yang lain. Sebagai seorang yang ahli dalam hal obat-obatan
kerena pendidikannya, apoteker harus selalu dikenal dan dapat dihubungi sebagai sumber
nasehat yang benar tentang obat-obatan dan masaalah pengobatan.

3.3.2 Pengembangan dan Professionalisme Farmasis


Sebagai anggota tim pelayanan kesehatan yang terdiri dari pasien dan profesi kesehatan yang
bertanggung jawab untuk kepedulian kesehatan pasien, apoteker harus memiliki kompetensi
guna melakukan fungsi-fungsi yang berbeda-beda di apotik. Konsep the seven-star pharmacist
diperkenalkan aleh WHO dan diambil oleh FIP (ISFI Dunia) pada tahun 2000 sebagai
kebijaksanaan tentang praktek pendidikan farmasi yang baik (Good Pharmacy Education
Practice) meliputi sikap apoteker sebagai pemberi pelayanan (care giver), pembuat
keputusan (decision-maker), communicator, manager, pembelajaran jangka panjang (life-
long learner), guru (teacher) dan pimpinan (leader).
a. Care-giver.
Dalam memberikan pelayanan mereka harus memandang pekerjaan mereka sebagai bagian
dan terintegrasi dengan sistem pelayanan kesehatan dan profesi lainya. Pelayanan harus
dengan mutu yang tinggi.

11
b. Decision- maker.
Penggunaan sumber daya yang tepat, bermanfaat, aman dan tepat guna seperti SMD, obat-
obatan, bahan kimia, perlengkapan, prosedur dan pelayanan harus merupakan dasar kerja dari
apoteker.

c. Communicator.
Apoteker adalah merupakan posisi ideal untuk mendukung hubungan antara dokter dan pasien
dan untuk memberikan informasi kesehatan dan obat-obatan pada masyarakat. Apoteker harus
memiliki ilmu pengetahuan dan rasa percaya diri dalam berintegrasi dengan profesi lain dan
masyarakat. Komunikasi ini dapat dilakukan secara verbal (langsung), non verbal,
mendengarkan dan kemampuan menulis.
d. Manager.
Apoteker harus dapat mengelola sumber daya (SDM, fisik, dan keuangan), dan informasi secara
efektif
e. Life- long learner
Adalah tak mungkin memperoleh semua ilmu pengetahuan di sekolah farmasi dan masih
dibutuhkan pengalaman seseorang apoteker dalam karir yang lama. Konsep-konsep, prinsip-
prinsip, komitmen untuk pelajaran jangka panjang harus dimulai disamping yang
diperoleh di sekolah dan selama bekerja. Apoteker harus belajar bagaimana menjaga
ilmu pengetahbuan dan ketrampilan mereka tetap up to date.
f. Teacher
Apoteker mempunyai tanggung jawab untuk membantu pendidikan dan pelatihan
generasi berikutnya dan masyarakat.
g. Leader.
Dalam situasi pelayanan multi disiplin atau dalam wilayah dimana pemberi pelayanan kesehatan
lainya ada dalam jumlah yang sedikit, apoteker diberi tanggung jawab untuk menjadi pemimpin
dalam semua hal yang menyangkut kesejahteraan pasien dan masyarakat. Seorang
apoteker yang memegang peranan sebagai pemimpin harus mempunyai visi dan kemampuan
memimpin.

Untuk menerapkan konsep the seven-star pharmacist , seorang apoteker dapat


mengembangkan kompetensi dengan meningkatkan pengetahuan, ketrampilan dan perilaku
untuk dapat melaksanakan interaksi langsung dengan pasien. Kemampuan tersebut dapat
diperoleh dengan :
a. Mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam pelayanan kefarmasian.
b. Mengikuti penataran dan uji kompetensi yang diselengarakan oleh Perguruan Tinggi bekerja
sama dengan Organisasi Profesi (ISFI).

12
c. Memahami kewajiban apoteker terhadap penderita, teman sejawat, sejawat petugas kesehatan
lainya sesuai dengan kode etik profesi secara benar.

3.3.3 Penelitian Terbaru Mengenai Professionalisme dan Citra Farmasis


Dengan adanya perubahan pada dunia pemeliharaan kesehatan, kemajuan pemeliharaan
kesehatan diri dan keinginan farmasi untuk lebih terlibat dalam pemeliharaan
kesehatan pasien, maka citra farmasi harus ditingkatkan kembali. Seperti selera orang terhadap
pakaian, hobi, atau makanan yang berubah ubah, image farmasi juga berubah sejak
penelitian di tahun 1960 dan 1970 dilakukan. Beberapa pertanyaan pada penelitian terkini
memasukkan masalah identifikasi profesional citra farmasi dan sikap farmasi terhadap
profesinya.
Di tahun 1984, sebuah penelitian dilakukan untuk melihat apakah pasien dapat mengenal
farmasis saat berada di apotek, mengidentifikasi kartu pengenal dan membedakan farmasis dari
staff lain. Peneliti menyarankan agar masing masing berada pada tempatnya saat pasien datang
untuk pertama kalinya ke apotek.
Hasil penelitian menyatakan bahwa farmasis dapat dikenali dari pakaiannya sebanyak 69
(65,1%). Hasil pengolahan data mengungkapkan bahwa kemampuan mengenali farmasis berbeda
untuk tiap jenis apotik. Apotik berantai memperoleh nilai tertinggi yaitu 88% sedangkan
kemampuan membedakan farmasis dari staff lain diperoleh angka 52 (62,7%).
Kesimpulannya, identitas profesi adalah penting bagi farmasis karena memudahkan pasien untuk
mencarinya saat akan konsultasi. Ketika farmasis tampil berbeda, maka dia harus memikirkan
cara untuk menciptakan citra profesionalnya. Karena farmasis memainkan peran utama dalam
memonitor terapi obat untuk pengobatan pasien jangka panjang, maka farmasis berada pada
posisi yang paling terlihat dan dapat membuat sebuah kontribusi penting dalam membangun citra
profesional perusahaan. Pelayanan konsultasi, opini publik, keterlibatan komunitas, kode etik,
iklan pelayanan farmasi dan pelayanan farmasetika memiliki pengaruh positif kuat terhadap citra
profesional farmasi. Farmasis harus memiliki perhatian terhadap lingkungan kerjanya dan
kemungkinan hilangnya otonomi dalam penyaluran obat, sedangkan yang memiliki penilaian
negatif oleh farmasis adalah iklan harga obat resep dokter dan pelayanan pesan antar. Direktur
apotik dan staff administrasi harus terlibat dalam mempersiapkan pelayanan jangka panjang
dengan mendiskusikan bagaimana informasi ini dapat digunakan untuk meningkatkan citra
profesional farmasi. Hal lain yang terungkap pada penelitian ini adalah bahwa
kesopanan profesional merupakan hal terpenting dalam membangun citra positif perusahaan.
Farmasis harus menarik, berpengetahuan luas dan mau mendengar kebutuhan
pasiennya. Semua unsur ini dapat dihimpun ke dalam kebijakan apotik. Pasien akan memilih
apotik yang memiliki lingkungan kerja yang positif dan memiliki tingkat kebersamaan yang baik
antar staffnya. Iklan dapat digunakan untuk meningkatkan aspek profesional perusahaan.
Selain bentuk iklan standar juga dapat melalui jurnal profesi, pusat pelayanan umum, rumah
sakit, perawatan di rumah, fasilitas perawatan jangka panjang dan apotik.

13
Berdasarkan hasil penelitian, perhatian akan lebih ditunjukkan pada pelayanan
profesional dan pelayanan apotik profesional yang disediakan perusahaan daripada harga resep
obat dokter. Promosi lain dapat pula melalui radio atau pengiriman brosur lewat pos. Banyak
pasien merasa senang dengan perkenalan pribadi saat hari ulang tahun, perayaan tahunan
atau peristiwa spesial lainnya. Peluang lainnya untuk meningkatkan citra perusahaan
yaitu dengan mengirimkan tulisan pada koran lokal.

3.3.4 Perubahan yang Mempengaruhi Farmasi

Retail farmasi berpengalaman dalam mengganti pandangan orang tentang pelayanan


kesehatan. Ketika membayar resep obat, konsumen memiliki pilihan untuk berbelanja melalui
hypermarket, megastore, surat pesanan, rantai diskon, toko besar atau kecil, apotek independen,
atau apotek biasa.

Dengan menggunakan rangka ini, farmasis independen yang terdiri dari empat atau beberapa
toko obat, dan jenis toko obat yang ada dibedakan dari ukuran toko, harga, lokasi, pelayanan, dan
bermacam-macam hadiah yang diberikan. Pelayanan dari profesional yang biasanya adalah
penting untuk mengontrol farmasi. Kemampuan farmasi untuk menyediakan pelayanan yang
profesional, juga menjadi penting untuk kesuksesan retail. Kemampuan atau kesediaan farmasis
untuk menyediakan berbagai macam pelayanan berhubungan dengan citra profesional
farmasi.Tidak seperti beberapa industri lainnya, ada banyak pokok persoalan dalam industri
farmasi. Distribusi dari resep produk obat dikontrol oleh badan federal atau aturan local tertentu.
Misalnya profesi tenaga kesehatan, farmasi memiliki beberapa jenis pelatihan, kode etik, asosiasi
profesional farmasi, kesamaan derajat dan aturan yang dibuat secara pribadi. Di sisi lain,
farmasis tidak dapat menyelesaikan seluruh hal yang harus dikontrolnya karena butuh
pengetahuan dan pemahaman yang melebihi tenaga medis professional lain. Kontrol yang kurang
ini dalam distirbusi obat dikombinasikan dengan baik dengan tekanan yang berasal dari farmasis
sendiri dimana tugas yang hars diembannya terlalu berat sehingga berpotensi merusak citra
farmasi itu sendiri. Implementasi dari Omnibus Budget Reconciliation Act of 1990 (OBRA 90)
menghasilkan suatu standar yang baru dalam praktik farmasi. Dibawah aturan OBRA
90,farmasis dibutuhkan untuk memonitor rekam medis pasien untuk memaksimalkan proses.

14
3.3.5 Strategi Meningkatkan Citra
a. Pendidikan pasien
Ada banyak cara yang bisa digunakan untuk mengenalkan pasien pada aspek profesional
pelayanan perawatan jangka panjang. Pelatihan atau seminar dapat diselenggarakan agar
pasien memahami pengobatan yang mereka jalani. Seminar seminar ini juga dapat
memberikan dorongan bagi staff perawatan di rumah dan fasilitas perawatan jangka panjang
lainnya untuk menjamin pemenuhan keperluan pasien dan penyembuhannya. Cara manual juga
dapat dikembangkan dan disebarkan pada staff administrasi mengenai ketersediaan pelayanan
pendidikan. Cara lain untuk meningkatkan citra yaitu dengan iklan yang memberikan informasi
medis seperti informasi mengenai pengobatan.

b. Pelayanan masyarakat
Keterlibatan dalam masyarakat dapat meningkatkan citra perusahaan misalnya dalam bentuk
sponsor kegiatan atletik, organisasi kemasyarakatan di kegiatan keagamaan. Program program
yang menggunakan obat dapat dilaksanakan dengan menghadirkan dokter, apoteker, atau
perawat dengan target penduduk dewasa. Selain itu, dukungan keuangan untuk program
program liburan, kegiatan amal atau sosial, dan program untuk penderita cacat dapat
meningkatkan citra positif perusahaan. Dukungan waktu dan keuangan akan dihargai warga
masyarakat dan kehadiran di tengah mereka akan menarik pasien pada bisnis.

c. Jaringan pelayanan terpadu


Hubungan interorganisasi tercipta saat dua atau lebih organisasi saling bertukar sumber daya
berupa uang, fasilitas fisik dan material, pasien, rujukan, atau staff pelayanan teknis. Jaringan
interorganisasi dapat bertindak sebagai sebuah unit dan membuat keputusan, melakukan
tindakan, dan mengejar tujuan serupa pada sebuah organisasi berotonomi. Beberapa tujuan dari
hubungan ini adalah untuk mendirikan sebuah titik distribusi untuk menjaga
keberlangsungan pelayanan pasien .Oleh karena itu, tujuan untuk memperoleh sumber daya yang
normal tidak akan tersedia apabila sebuah organisasi bertindak sendirian. Citra perusahaan akan
meningkat melalui sebuah hubungan dengan perusahaan lain yang telah memiliki citra terkenal
dan dihormati. Salah satu tujuan merubah bentuk pelayanan kesehatan adalah untuk membentuk
sebuah jaringan sistem pelayanan terorganisir. Sistem ini menyediakan pelayanan terpadu
yang terkoordinasi dengan pelayanan klinis maupun sistem keuangan yang dapat dipertanggung
jawabkan. Selain memperbanyak kontak dengan pasien, farmasis juga harus menambah
pelayanan farmasetik terpadu, menambah akses informasi bagi pasien dan lebih
banyak berinteraksi dengan tenaga kesehatan lain. Jika farmasis tidak mempromosikan kualitas
profesional mereka sebagai strategi untuk meningkatkan citra, maka persepsi publik terhadap
farmasis akan mengalami kemunduran

15
BAB VI

PEMBAHASAN

Seperti yang kita ketahui, pencitraan dalam sebuah keprofesian merupakan salah satu
tolak ukur keberhasilan profesi tersebut dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Citra
sebuah profesi di mata masyarakat memberikan gambaran tentang sejauh mana masyarakat
mengenal dan merasa terbantu oleh pelayanan profesi tersebut. Ketika masyarakat merasa puas
dan terbantu serta profesi tersebut dapat memberikan manfaat yang nyata bagi masyarakat, maka
citra profesi tersebut dapat dikatakan baik atau tinggi.

Di luar negeri, terutama di negara-negara maju, apoteker sebagai salah satu profesi
kesehatan telah memiliki citra yang sangat tinggi di mata masyarakatnya. Apoteker memiliki
andil yang sangat besar dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Apoteker
bersama dengan dokter, perawat dan tenaga kesehatan lainnya merupakan mitra sejajar yang
saling bekerja sama dalam meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan masyarakat.

Nah, bagaimana dengan citra apoteker di mata masyarakat Indonesia ?

Pada kenyataannya, profesi apoteker di Indonesia kurang dikenal oleh masyarakat. Jika
ditanya kepada mereka Apa itu apoteker dan apa tugasnya?, yang terlintas di pikiran mereka
ialah tukang obat. Sebuah paradigma yang sangat memilukan bukan ? Hanya sebatas itu
pemahaman masyarakat tentang peran apoteker/farmasis. Masyarakat hanya mengetahui bahwa
apoteker itu ialah orang yang bertugas di apotek tanpa tahu apa tugas mereka sebenarnya.
Apoteker selalu identik dengan apotek, bahkan masyarakat awam tidak mengetahui bahwa
prospek kerja apoteker atau farmasis itu sangatlah luas. Padahal segala produk sehari-hari yang
mereka pakai itu merupakan produk farmasis.

Buruknya citra profesi apoteker di masyarakat pada dasarnya merupakan akibat dari
kelalaian dan ke-tidakprofesional-an para apoteker-apoteker kita sendiri. Kita sebagai
farmasis/apoteker mungkin geram melihat pihak-pihak lain yang seenaknya menggarap lahan
kerja apoteker/farmasis seperti dokter yang melakukan dispensing, bahkan masyarakat awam
pun dengan beraninya menggantikan peran apoteker di apotek yang seharusnya merupakan
wewenang dan tanggungjawab seorang apoteker. Tidak jarang kita menyalahkan pihak-pihak

16
tersebut atas tergesernya peran apoteker di masyarakat. Tapi, pada dasarnya hal ini merupakan
kesalahan para apoteker yang tidak dapat menjaga citranya dan menjalankan tugas yang menjadi
tanggungjawabnya.

Fokus profesi apoteker pada era kini telah beralih dari drug oriented (pelayanan obat)
menjadi pharmaceutical care (pelayanan pasien). Pada prinsip drug oriented, apoteker
cenderung kerja di balik layar, yakni meracik dan menyuplai sediaan farmasi. Namun, pada
prinsip pharmaceutical care, apoteker bukan hanya terfokus kepada obat, namun lebih terarah
yakni pemberian pelayanan, informasi, dan kepedulian terhadap pasien. Dengan sistem seperti
ini diharapkan masyarakat da[at lebih mengenal peran apoteker dalam meningkatkan kesehatan
masyarakat. Namun, pada kenyataan di lapangan, apoteker masih banyak yang belum
menjalankan sistem ini dengan sepenuhnya. Hal ini membuat citra apoteker di masyarakat masih
kurang dikenal.

Beberapa tujuan dari hubungan ini adalah untuk menetapkan titik distribusi untuk
mempertahankan kelangsungan perawatan pasien, untuk mempromosikan bidang kepentingan
bersama, untuk mendapatkan bersama-sama dan mengalokasikan
sejumlah besar sumber daya daripada yang mungkin oleh masing-masing organisasi secara
independen, dan untuk menyelesaikan daerah - daerah konflik atau persaingan.

Oleh karena itu, tujuannya adalah untuk mendapatkan sumber daya yang biasanya akan
tersedia jika organisasi bersikap independen. Pengaturan ini mungkin memerlukan pelepasan
beberapa otonomi; Namun, citra korporasi dapat meningkatkan melalui hubungan
dengan perusahaan lain yang gambarnya sudah baik - diakui dan baik - dihormati. Salah satu
tujuan dari reformasi perawatan kesehatan adalah untuk
menciptakan jaringan sistem pemberian perawatan terorganisir.

Peran profesional ini meningkat untuk apoteker dapat berfungsi sebagai dasar untuk
membangun citra positif di pasar. Apoteker juga harus memiliki kontak yang lebih besar pribadi
dengan pasien, peningkatan ketersediaan layanan farmasi yang komprehensif, peningkatan akses
ke informasi pasien, dan lebih banyak interaksi dengan profesional kesehatan lainnya. Ada
beberapa kekhawatiran bahwa jika apoteker tidak mempromosikan kualitas profesional mereka

17
sebagai strategi untuk peningkatan citra, persepsi publik apoteker akan menurun sebagai apotek
rantai terus tumbuh dalam ukuran dan praktik farmasi menjadi lebih perusahaan.

18
BAB IV
KESIMPULAN

Dari hasil diskusi yang telah dilakukan oleh kelompok kami, maka diperoleh kesimpulan
sebagai berikut :
a.Citra Farmasi adalah kesan, perasaan, gambaran dari masyarakat terhadap farmasis kesan yang
sengaja diciptakan dari farmasis.
b. Komponen citra farmasi:
citra perusahaan
citra pasar
citra profesional
b. Faktor - faktor pengembangan profesionalisme farmasi terdiri dari :
Care Giver
Life Long Learner
Teacher
Decision Maker
Leader
Manager
Comunicator
c. Strategi yang dapat meningkatkan citra farmasi terdiri dari :
Pendidikan pasien
Pelayanan masyarakat
Jaringan Pelayanan terpadu

19
DAFTAR PUSTAKA

1. www.wikipedia.com
2. http://docslide.us/documents/new-farsoscitra-farmasi.html
3. http://www.kompasiana.com/nurindahsari/perbaikan-wajah-apoteker-di-masyarakat-
indonesia_54f3c1497455137c2b6c7f2a
4. http://sobatfarmasis.blogspot.co.id/2013/07/citra-profesi-apoteker-di-
indonesia_9130.html
5. Anshar Saud, Farmasi Sosial Dan Administratif Di Negara Berkembang

20

You might also like