You are on page 1of 8

Peran Akuntansi Forensik Dalam Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi
A. PENDAHULUAN

Korupsi di Indonesia merupakan suatu hal yang banyak menarik perhatian baik

media, masyarakat, akademisi sampai praktisi. Hampir di setiap lini pemerintahan selalu

diwarnai dengan korupsi, terakhir saya mendengar adanya dugaan korupsi pengadaan Al-

Quran pada Departemen Agama. Korupsi menjelma menjadi budaya dan menjadi praktek

yang dilakukan secara bersama-sama.

Beruntung negeri ini memiliki Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang

merupakan salah satu upaya pemerintah dalam memberantas Korupsi. Namun begitu

banyaknya kasus Korupsi di negeri ini membuat KPK layaknya sebilah pisau yang mencoba

menebang pohon.

Komisi pemberantasan korupsi adalah lembaga Negara yang dalam melaksanakan

tugas dan kewenangannya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan

manapun. Kekuasaan manapun yang dimaksud disini adalah kekuatan yang dapat

mempengaruhi tugas dan wewenang KPK atau anggota komisi secara individual dari pihak

eksekutif, yudikatif, legislative, pihak-pihak lain yang terkait dengan perkara tindak pidana

korupsi, atau keadaan dan situasi ataupun dengan alasan apapun. KPK dientk dengan

tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak

pidana korupsi.

Untuk menjadi bangsa yang benar-benar merdeka dari korupsi, kita harus tetap

semangat dalam memberantas korupsi, diperlukan cara yang efektif agar penyelesaian
tindak pidana korupsi tidak memakan banyak biaya, tenaga, dan waktu. Pemberantasan

tindak pidana korupsi yang dijalankan KPK merupakan serangkaian tindakan untuk

mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi melalui upaya koordinasi, supervise,

monitor, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di siding pengadilan,

dengan peran serta masyarakat berdasarkan perundang-undangan yang berlaku.

Akuntansi Forensik merupakan salah satu solusi yang dapat membantu KPK dalam

memberantas tindak pidana korupsi.

B. PEMBAHASAN

1. Pengertian Korupsi

Menurut Shleifer dan Vishny (1993) korupsi adalah penjualan barang-barang milik

pemerintah oleh pegawai negeri untuk keuntungan pribadi. Sebagai contoh, pegawai

negeri sering menarik pungutan liar dari perijinan, lisensi, bea cukai, atau pelarangan

masuk bagi pesaing. Para pegawai negeri itu memungut bayaran untuk tugas pokoknya

atau untuk pemakaian barang-barang milik pemerintah untuk kepentingan pribadinya.

Untuk kasus seperti ini, korupsi menyebabkan biaya ekonomi tinggi, dan oleh karena itu

korupsi tidak baik bagi pertumbuhan.

Menurut Adji (1996) berdasarkan pemahaman dan dimensi baru mengenai

kejahatan yang memiliki konteks pembangunan, pengertian korupsi tidak lagi hanya

diasosiasikan dengan penggelapan keuangan Negara saja. Tindakan bribery (penyuapan)

dan kickbacks (penerimaan komisi secara tidak sah) juga dinilai sebagai sebuah kejahatan.

Penilaian yang sama juga diberikan pada tindakan tercela dari oknum pemerintah seperti
bureaucratic corruption atau tindak pidana korupsi, yang dikategorikan sebagai bentuk

dari offences beyond the reach of the law (kejahatan-kejahatan yang tidak terjangkau oleh

hukum). Banyak contoh diberikan untuk kejahatan-kejahatan semacam itu, misalnya tax

evasion (pelanggaran pajak), credit fraud (penipuan di bidang kredit), embezzlement and

misapropriation of public funds (penggelapan dan penyalahgunaan dana masyarakat), dan

berbagai tipologi kejahatan lainnya yang disebut sebagai invisible crime (kejahatan yang tak

terlihat). Istilah invisble crime banyak ditujukan untuk menunjuk pada kejahatan yang sulit

dibuktikan maupun tingkat profesionalitas yang tinggi dari pelakunya.

Dapat disimpulkan bahwa korupsi adalah tindakan menyimpang dari aturan

maupun hukum yang berlaku dengan maksud dan tujuan untuk keuntungan pribadi dan

memberikan kerugian pada negara.

2. Tindak Pidana Korupsi

Sesuai dengan UU No. 31/1999 jo UU No. 20/2001 (Pasal 2) yang dimaksud dengan

tindak pidana korupsi adalah setiap orang yang secara melawan hukum melakukan

perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat

merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara.

Secara singkat tindak pidana korupsi mencakup :

Melawan hukum, memperkaya diri orang/badan lain yang merugikan


keuangan/perekonomian Negara (Pasal 2)
Menyalahgunakan kewenangan karena jabatan/kedudukan yang dapat merugikan
keuangan/perekonomian Negara (Pasal 3)
Kelompok delik penyuapan (Pasal 5, 6, dan 11)
Kelompok delik penggelapan dalam jabatan (Pasal 8, 9, dan 10)
Delik pemerasan dalam jabatan (Pasal 12)
Delik yang berkaitan dengan pemborongan (Pasal 7)
Delik gratifikasi (Pasal 12B dan 12C)

Pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia menjadi tugas dan tanggung

jawab KPK, pemberantasan tindak pidana korupsi adalah serangkaian tindakan untuk

mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi melalui upaya koordinasi, supervisi,

monitor, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan,

dengan peran serta masyarakat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang

berlaku. Komisi pemberantasan korupsi dibentuk dengan tujuan meningkatkan daya guna

dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi.

Sesuai dengan pasal 11 UU No. 30/2002, KPK berwenang melakukan penyelidikan,

penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi yang :

Melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara Negara, dan orang lain yang ada
kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak huku
atau penyelenggara Negara.
Mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat. Menyangkut kerugian Negara
paling sedikit Rp. 1.000.000.000 (satu miliar rupiah)

Dalam menjalankan upaya penyelidikan tersebut KPK dibantu Akuntan Forensik

yang menjalankan fungsi Audit Investigatif untuk menemukan adanya kerugian Negara,

selanjutnya dilakukan penyidikan jika terbukti adanya kerugian Negara.

3. Akuntansi Forensik

Akuntansi forensik pada mulanya digunakan di Amerika Serikat untuk menentukan

pembagian warisan atau mengungkap motif pembunuhan, penerapan akuntansi forensik


untuk menyelesaikan atau memecahkan persoalan hukum. Di Amerika profesi ini disebut

auditor forensic atau pemeriksa kecurangan bersertifikasi (Certified Fraud Examiners/CFE)

yang tergabung dalam Association of Certified Fraud Examiners (ACFE).

Akuntansi forensik adalah bentuk penerapan disiplin akuntansi yang memberikan

perpaduan akuntansi, audit, dan hukum guna memecahkan persoalan-persoalan di sektor

pemerintaha maupun swasta.

Tuanakotta (2010) menjelaskan, istilah akutansi forensik lebih tepat digunakan

apabila telah bersinggungan dengan hukum. Mengingat akuntansi forensik selalu

bersinggunga dengan hukum, dalam pengumpulan bukti audit seorang akuntan forensik

harus memahami masalah hukum pembuktian. Bukti yang dikumpulkan harus dapat

diterima di pengadilan. Cara perolehan bukti pun tidak boleh melanggar hukum, karena

dapat berakibat ditolaknya alat bukti tersebut. Beban pembuktian dalam kasus kecurangan

(fraud) haruslah melampaui keraguan yang layak atau beyond reasonable doubt.

Perbedaan akuntansi forensik dengan akuntansi maupun audit konvensioal lebih

terletak pada mindset (kerangka pikir). Metodologi kedua akuntansi tersebut tidak jauh

berbeda, Akuntansi forensik lebih menekankan pada keanehan (exceptions, oddities,

irregularities) dan pola tindakan daripada kesalahan atau keteledoran seperti pada audit

umum, prosedur utama dalam akuntansi forensik menekankan pada analytical review dan

teknik wawancara mendalam dengan tetap menggunakan teknik audit umum seperti

pengecekan fisik, rekonsiliasi, konfirmasi dan lain sebagainya.


Perbedaan lainnya adalah akuntansi forensik lebih menekankan pada penyangkalan

atau penguatan atas suatu dugaan dan menyediakan bukti untuk mendukung suatu

tindakan hukum. Jadi bisa disimpulkan bahwa akuntnsi forensik bertujuan untuk

membuktikan suatu dugaan. Beberapa tujuan akhir dari ssuatu proses akuntansi forensik

atau audit investigatif adalah tuntutan kriminal, ganti rugi perdata, pembersihan tuduhan,

dan peningkatan pengendalian internal.

Akuntansi forensik mulai digunakan di Indonesia setelah terjadi krisis keuangan

pada tahun 1997, hingga saat ini pendekatan akuntansi forensik banyak digunakan oleh

Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Pemberantasan Korupsi, Pusat Pelaporan dan Analisis

Transaksi Keuangan, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, Bank Dunia, dan

Kantor-kantor Akuntan Publik di Indonesia

Perkembangan akuntansi forensik di Indonesia cukup maju, namun jika

dibandingkan dengan beberapa Negara lain maka Indonesia masih dibilang tertinggal.

Australia saat ini sedang menyusun Standar Akuntansi Forensik, sementara Kanada dan

Amerika Serikat sudah memiliki standar yang baku, sedangkan Indonesia sama sekali

belum memiliki standar yang memadai. Sejauh ini belum banyak kasus-kasus korupsi yang

terkuak berkat kemampuan akuntan forensik, namun akuntansi forensik merupakan suatu

pengembangan disiplin ilmu akuntansi yang masih tergolong muda dan memiliki prospek

yang sangat bagus dalam pemecahan tindak pidana korupsi di Indonesia.

4. Peran Akuntan Forensik dalam Upaya Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi


Dalam memainkan perannya dalam mengungkap dan memberantas tindak pidana

korupsi, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa akuntansi forensik merupakan

perpaduan antara akuntansi, audit dan hukum, maka seorang akuntan forensik dituntut

untuk memiliki pengetahuan dan pemahaman yang mendalam mengenai ketiga ilmu

tersebut, selain itu seorang akuntan forensik juga perlu dibekali dengan kemampuan dan

pemahaman mengenai perilaku manusia dan organisasi, pengetahuan tentang aspek yang

mendorong dilakukannya kecurangan (rationalization), pengeahuan mengenai alat bukti,

pengetahuan mengenai kriminologi serta viktimologi, dan yang terpenting seorang

akuntan forensik harus memiliki kemampuan untuk berpikir seperti pencuri (think as a

theft).

Kasus korupsi di Indonesia sudah mengakar sampai begitu dalamnya sehingga

menjadi budaya, hal ini seharusnya menjadi peluang bagi profesi akuntan forensik untuk

menjadi lebih maju, dan memberikan manfaat bagi pemberantasan tindak pidana korupsi.

Akuntansi forensik bisa menjadi senjata atau alat untuk mempercepat

pemberantasan korupsi, namun ruang gerak akuntansi forensik begitu terbatasi dengan

peralatan dan kebebasan dalam mengungkap suatu tindak korupsi.

Begitu cepatnya pertumbuhan korupsi tidak sebanding dengan pemberantasan yang

dilakukan, oleh karena itu pemerintah harus membuka ruang gerak bagi akuntan forensik

untuk masuk lebih jauh dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. Dengan

terbukanya ruang gerak bagi akuntan forensik, perlahan tapi pasti dapat menurunkan

tingkat korupsi yang terjadi di Indonesia, bahkan tidak mustahil untuk memberantas

sampai ke akar dan mengubah budaya korupsi yang sudah terpatri tersebut.
C. PENUTUP

Akuntansi forensik merupakan salah satu disiplin ilmu yang dapat membantu upaya

pemberantasan tindak pidana korupsi, namun pemerintah perlu membuka ruang gerak

bagi akuntan forensik untuk masuk lebih jauh sehingga tidak sekedar api dipermukaan tapi

harus membakar hingga tuntas.

You might also like