You are on page 1of 29

BAB I

PENDAHULUAN

Aborsi menimbulkan banyak persepsi dan bermacam interpretasi, tidak saja dari

sudut pandang kesehatan, tetapi juga dari sudut pandang hukum dan agama.Aborsi

merupakan masalah kesehatan masyarakat karena memberi dampak pada kesakitan dan

kematian ibu. Sebagaimana diketahui penyebab kematian ibu yang utama adalah

perdarahan, infeksi dan eklampsia serta pre-eklamsia.(9,10)

Pendarahan selama kehamilan dapat dianggap sebagai keadaan akut yang dapat

membahayakan ibu dan anak, dan sampai dapat menimbulkan kematian. Sebanyak

20% wanita hamil pernah mengalami pendarahan pada awal kehamilan dan sebagian

mengalami abortus.

Rata-rata terjadi 114 kasus abortus perjam. Sebagian besar studi mengatakan

kasus abortus spontan antara 15-20 % dari semua kehamilan. Jika dikaji lebih jauh

kejadian abortus sebenarnya bisa mendekati 50 %.

Kejadian abortus habitualis sekitar 3-5%. Data dari beberapa studi

menunjukkan bahwa setelah satu kali abortus spontan, pasangan punya risiko 15 %

untuk mengalami keguguran lagi, sedangkan bila pernah 2 kali, risikonya meningkat

25 %. Beberapa studi meramalkan bahwa risiko abortus setelah 3 kali abortus berurutan

adalah sekita 30-45 %.

Diperkirakan diseluruh dunia setiap tahun terjadi 20 juta kasus aborsi tidak aman,

70 ribu perempuan meninggal akibat aborsi tidak aman dan 1 dari 8 kematian ibu

1
2

disebabkan oleh aborsi tidak aman. 95% (19 dari 20 kasus aborsi tidak aman)

dintaranya bahkan terjadi di negara berkembang. (9,10)

Di Indonesia setiap tahunnya terjadi kurang lebih 2 juta kasus aborsi, artinya

43 kasus/100 kelahiran hidup (sensus 2000). Angka tersebut memberikan gambaran

bahwa masalah aborsi di Indonesia masih cukup besar (Wijono 2000).Suatu hal yang

dapat kita tengarai, kematian akibat infeksi aborsi ini justru banyak terjadi di negara-

negara dimana aborsi dilarang keras oleh undang-undang. (9,10)


3

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Abortus adalah berakhirnya kehamilan sebelum janin dapat hidup di luar

kandungan dengan batasan kehamilan kurang dari 20 minggu atau berat janin kurang

dari 500 gram.1

Abortus dapat dibagi atas dua golongan yaitu menurut terjadinya abortus dan

menurut gambaran klinis. Menurut terjadinya dibedakan atas abortus spontan yaitu

abortus yang terjadi dengan sendirinya tanpa disengaja dan tanpa menggunakan

tindakan apa-apa sedangkan abortus provokatus adalah abortus yang disengaja, baik

dengan memakai obat-obatan maupun dengan alat-alat.6

Abortus provokatus dibagikan lagi menjadi abortus medisinalis atau abortus

therapeutica dan abortus kriminalis. Pada abortus medisinalis, abortus yang terjadi

adalah karena tindakan kita sendiri, dengan alasan bila kehamilan dilanjutkan, dapat

membahayakan jiwa ibu (berdasarkan indikasi medis). Abortus kriminalis adalah

abortus yang terjadi oleh karena tindakan-tindakan yang tidak legal atau tidak

berdasarkan indikasi medis dan biasanya dilakukan secara sembunyi-sembunyi.6

Menurut gambaran klinis abortus dapat dibedakan menjadi:3

a) Abortus imminens yaitu abortus tingkat permulaan (threatened abortion)

dimana terjadi perdarahan pervaginam, ostium uteri masih tertutup dan hasil

konsepsi masih baik dalam kandungan.


4

b) Abortus insipiens (inevitable abortion) yaitu abortus yang sedang mengancam

dimana serviks telah mendatar dan ostium uteri telah membuka, akan tetapi

hasil konsepsi masih dalam kavum uteri.

c) Abortus inkomplit (incomplete abortion) yaitu jika hanya sebagian hasil

konsepsi yang dikeluarkan, yang tertinggal adalah desidua atau plasenta.

d) Abortus komplit (complete abortion) artinya seluruh hasil konsepsi telah keluar

(desidua atau fetus), sehingga rongga rahim kosong.

e) Missed abortion adalah abortus dimana fetus atau embrio telah meninggal

dalam kandungan sebelum kehamilan 20 minggu, akan tetapi hasil konsepsi

seluruhnya masih tertahan dalam kandungan selama 6 minggu atau lebih.

f) Abortus habitualis (recurrent abortion) adalah keadaan terjadinya abortus tiga

kali berturut-turut atau lebih.

g) Abortus infeksius (infectious abortion) adalah abortus yang disertai infeksi

genital.

h) Abortus septik (septic abortion) adalah abortus yang disertai infeksi berat

dengan penyebaran kuman ataupun toksinnya kedalam peredaran darah atau

peritonium.

2.2 Epidemiologi

Rata-rata terjadi 114 kasus abortus perjam. Sebagian besar studi mengatakan

kasus abortus spontan antara 15-20 % dari semua kehamilan. Jika dikaji lebih jauh

kejadian abortus sebenarnya bisa mendekati 50 %. Kejadian abortus habitualis sekitar

3-5%. Data dari beberapa studi menunjukkan bahwa setelah satu kali abortus spontan,

pasangan punya risiko 15 % untuk mengalami keguguran lagi, sedangkan bila pernah
5

2 kali, risikonya meningkat 25 %. Beberapa studi meramalkan bahwa risiko abortus

setelah 3 kali abortus berurutan adalah sekita 30-45 %.

Diperkirakan diseluruh dunia setiap tahun terjadi 20 juta kasus aborsi tidak aman, 70

ribu perempuan meninggal akibat aborsi tidak aman dan 1 dari 8 kematian ibu

disebabkan oleh aborsi tidak aman. 95% (19 dari 20 kasus aborsi tidak aman)

dintaranya bahkan terjadi di negara berkembang. (9,10)

Di Indonesia setiap tahunnya terjadi kurang lebih 2 juta kasus aborsi, artinya

43 kasus/100 kelahiran hidup (sensus 2000). Angka tersebut memberikan gambaran

bahwa masalah aborsi di Indonesia masih cukup besar (Wijono 2000).Suatu hal yang

dapat kita tengarai, kematian akibat infeksi aborsi ini justru banyak terjadi di negara-

negara dimana aborsi dilarang keras oleh undang-undang. (9,10)

2.3 Etiologi

Ada beberapa faktor penyebab terjadinya abortus yaitu:

1. Faktor genetic

Ada banyak sebab genetik yang berhubungan dengan abortus. Sebagian besar

abortus spontan disebabkan oleh kelainan kariotip dari embrio.3Data ini

berdasarkan pada 50% kejadian abortus pada trimester pertama merupakan

kelainan sitogenetik yang berupa aneuploidi yang bisa disebabkan oleh

kejadian nondisjuction meiosis atau poliploidi dari fertilas abnormal dan

separuh dari abortus kerana kelainan sitogenetik pada trimester pertama berupa

trisomi autosom.3 Triplodi ditemukan pada 16% kejadian abortus di mana

terjadi fertilisasi ovum normal oleh 2 sperma (dispermi).3 Insiden trisomi

meningkat dengan bertambahnya usia. Trisomi (30% dari seluruh trisomi)


6

adalah penyebab terbanyak abortus spontan diikuti dengan sindroma Turner

(20-25%) dan Sindroma Down atau trisomi 21 yang sepertiganya bisa bertahan

sehingga lahir.3 Selain kelainan sitogenetik, kelainan lain seperti fertilisasi

abnormal iaitu dalam bentuk tetraploidi dan triploid dapat dihubungkan dengan

abortus absolut.3

Kelainan dari struktur kromosom juga adalah salah satu penyebab

kelainan sitogenetik yang berakibat aborsi dan kelainan ini sering diturunkan

oleh ibu memandangkan kelainan struktur kromoson pada pria berdampak pada

rendahnya konsentrasi sperma, infertelitas dan faktor lainnya yang bisa

mengurangi peluang kehamilan.3

Selain itu, gen yang abnormal akibat mutasi gen bisa mengganggu

proses impantasi dan mengakibatkan abortus seperti mytotic dystrophy yg

berakibat pada kombinasi gen yang abnormal dan gangguan fungsi uterus.3

Gangguan genetik seperti Sindroma Marfan, Sindroma Ehlers-Danlos,

hemosistenuri dan pseusoxantoma elasticum merupakan gangguan jaringan

ikat yang bisa berakibat abortus.3 Kelainan hematologik seperti pada penderita

sickle cell anemia, disfibronogemi, defisiensi faktor XIII mengakibatkan

abortus dengan mengakibatkan mikroinfak pada plasenta.

2. Faktor Anatomi

Defek anatomi diketahui dapat menjadi penyebab komplikasi obstetrik

terutamanya abortus. Pada perempuan dengan riwayat abortus, ditemukan

anomali uterus pada 27% pasien.3 Penyebab terbanyak abortus kerana kelainan

anatomik uterus adalah septum uterus akibat daripada kelainan duktus Mulleri
7

(40-80%), dan uterus bicornis atau uterus unicornis (10-30%).3 Mioma uteri

juga bisa mengakibatkan abortus berulang dan infertilitas akibat dari gangguan

passage dan kontraktilitas uterus.3 Sindroma Asherman bisa mengakibatkan

abortus dengan mengganggu tempat impalntasi serta pasokan darah pada

permukaan endometrium.3 Kelainan kogenital arteri uterina yang

membahayakan aliran darah endometrium dapat juga berpengaruh.3 Selain itu,

kelainan yang didapat misalnya adhesi intrauterin (synechia), leimioma, dan

endometriosis mengakibatkan komplikasi anomali pada uterus dan dapat

mengakibatkan abortus.6

Selain kelainan yang disebut di atas, serviks inkompeten juga telah

terbukti dapat meyebabkan abortus terutama pada kasus abortus spontan.1 Pada

kelainan ini, dilatasi serviks yang silent dapat terjadi antara minggu gestasi

16-28 minggu.1 Wanita dengan serviks inkompeten selalu memiliki dilatasi

serviks yang signifikan yaitu 2cm atau lebih dengan memperlihatkan gejala

yang minimal.1 Apabila dilatasi mencapai 4 cm atau lebih, maka kontraksi

uterus yang aktif dan pecahnya membran amnion akan terjadi dan

mengakibatkan ekspulsi konsepsi dalam rahim.1 faktor-faktor yang

mengakibatkan serviks inkompeten adalah kehamilan berulang, operasi serviks

sebelumnya, riwayat cedera serviks, pajanan pada dietilstilbestrol, dan

abnormalitas anatomi pada serviks.1

Sebelum kehamilan atau pada kehamilan trimester pertama, tidak ada

metoda yang bisa digunakan untuk mengetahui bila serviks akan inkompeten

namun, setelah 14-16 minggu, USG baru dapat digunakan untuk menilai
8

anatomi segmen uterus bahagian bawah dan serviks untuk melihat pendataran

dan pemendekan abnormal serviks yang sesuai dengan inkompeten serviks.1

3. Faktor endokrin

Ovulasi, implantasi dan kehamilan dini sangat bergantung pada koordinasi

sistem pengaturan hormonal martenal yang baik. Perhatian langsung pada

sistem humoral secara keseluruhan, fase luteal, dan gambaran hormon setelah

konsepsi terutamanya kadar progesteron sangat penting dalam mengantisipasi

abortus.3

Pada diabetes mellitus, perempuan dengan kadar HbA1c yang tinggi

pada trimester yang pertama akan berisiko untuk mengalami abortus dan

malformasi janin. IDDM dengan kontrol yang tidak adekuat berisiko 2-3 kali

lipat untuk abortus.3

Kadar progesteron yang rendah juga mempengaruhi resptivitas

endometrium terhadap implantasi embrio. Kadar progenteron yang rendah

diketahui dapat mengakibatkan abortus terutamanya pada kehamilan 7 minggu

di mana trofoblast harus menghasilkan cukup steroid untuk menunjang

kehamilan. Pengangkatan korpus luteum pada usia 7 minggu akan berakibat

abortus dan jika diberikan progesteron pada pada pasien ini, maka kehamilan

dapat diselamatkan.3

Penelitian pada perempuan yang mengalami abortus berulang,

didapatkan 17% kejadian defek luteal iaitu kurangnya progesteron pada fase

luteal. Namum pada saat ini, masih blum ada metode yang bisa terpercaya untuk

mendiagnosa kelainan ini.3


9

Faktor humoral terhadap imunitas desidua juga berperan pada

kelangsungan kehamilan. Perubahan endometrium menjadi desidua mengubah

semua sel pada mukosa uterus.3 Perubahan morfologi dan fungsional ini

mendukung proses implantasi, proses migrasi trofoblas, dan mencegah invasi

yang berlebihan pada jaringan ibu.3 Di sini interaksi antara trofoblas

ekstravillus dan infiltrasi leukosit pada mukosa uterus berperan penting di mana

sebahagian besar leukosit adalah large granular cell, dan makrofag dengan

sedikit sel T dan sel B.3 Sel NK dijumpai dalam jumlah yang banyak terutama

pada endometrium yang terpapar progesteron.3 Perannya adalah pada trimester

1 adalah akan terjadi peningkatan sel NK untuk membunuh sel target dengan

sedikit atau tiada ekspresi HLA.3 Trofoblast ekstravillous tidak bisa

dihancurkan oleh sel NK kerana sifatnya yang cepat menghasilkan HLA1

sehingga terjadinya invasi optimal untuk plasentasi yang optimal oleh trofoblas

extravillous.3 Maka, gangguan pada sistem ini akan berpengaruh pada

kelangsungan kehamilan.

Selain itu, hipotiroidisme, hipoprolaktinemia, dan sindrom polikistik

ovarium dapat merupakan faktor kontribusi pada keguguran dengan

menggangu balans humoral yang penting pada kelangsungan kehamilan.6

4. Faktor infeksi

Ada pelbagai teori untuk menjelaskan keterkaitan infeksi dengan kejadian

abortus. Antaranya adalah adanya metabolik toksik, endotoksin, eksotoksin,

dan sitokin yang berdampak langsung pada janin dan unit fetoplasenta.3 Infeksi
10

janin yang bisa berakibat kematian janin dan cacat berat sehingga janin sulit

untuk bertahan hidup.3

Infeksi plasenta akan berakibat insufisiensi plasenta dan bisa berlanjut

kematian janin.3 Infeksi kronis endometrium dari penyebaran kuman genetalia

bawah yang bisa mengganggu proses implantasi. Amnionitis oleh kuman gram

positif dan gram negatif juga bisa mengakibatkan abortus.3 Infeki virus pada

kehamilan awal dapat mengakibatkan perubahan genetik dan anatomik embrio

misalnya pada infeksi rubela, parvovirus, CMV, HSV, koksakie virus, dan

varisella zoster.3

Di sini adalah beberapa jenis organisme yang bisa berdampak pada

kejadian abortus

- Bakteria: listeria monositogenes, klamidia trakomatis, ureaplasma

urealitikum, mikoplasma hominis, bakterial vaginosis.3

- Virus: CMV, HSV, HIV dan parvovirus.3

- Parasit: toksoplasma gondii, plasmodium falsifarum.3

- Spirokaeta: treponema pallidum.3

5. Faktor imunologi

Beberapa penyakit berhubungan erat dengan kejadian abortus. Antaranya

adalah SLE dan Antiphospholipid Antibodies (aPA).3 ApA adalah antibodi

spesifik yang ditemukan pada ibu yang menderita SLE.3 Peluang terjadinya

pengakhiran kehamilan pada trimester 2 dan 3 pada SLE adalah 75%.3 Menurut

penelitian, sebagian besar abortus berhubungan dengan adanya aPA yang

merupakan antibodi yang akan berikatan dengan sisi negatif dari phosfolipid.3
11

Selain SLE, antiphosfolipid syndrome (APS) dapat ditemukan pada

preemklamsia, IUGR, dan prematuritas.3 Dari international consensus

workshop pada tahun 1998, klasifikasi APS adalah:3

- trombosis vaskular (satu atau lebih episode trombosis arteri, venosa atau

kapiler yang dibuktikan dengan gambaran Doppler, dan histopatologi)3

- komplikasi kehamilan (3 atau lebih abortus dengan sebab yang tidak jelas,

tanpa kelainan anatomik, genetik atau hurmonal/ satu atau lebih kematian

janin di mana gambaran sonografi normal/ satu atau lebih persalinan

prematur dengan gambaran janin normal dan berhubungan dengan

preeklamsia berat,atau insufisiensi plasenta yang berat)3

- kriteria laboratorium (IgG dan atau IgM dengan kadar yang sedang atau

tinggi pada 2 kali atau lebih dengan pemeriksaan jarak lebih dari 1 atau

sama dengan 6 minggu)3

- antobodi fosfolipid (pemanjangan koagulasi fospholipid, aPTT, PT, dan

CT, kegagalan untuk memperbaikinya dengan pertambahan dengan plasma

platlet normal dan adanya perbaikan nilai tes dengan pertambahan

fosfolipid)3

aPA ditemukan 20% pada perempuan yang mengalami abortus dan lebih

dari 33% pada perempuan yang mengalami SLE. Pada kejadian abotus

berulang, ditemukan infark plasenta yang luas akibat adanya atherosis dan

oklusi vaskular.3
12

6. Faktor trauma

Trauma abdominal yang berat dapat menyebabkan terjadinya abortus yang

yang diakibatkan karena adanya perdarahan, gangguan sirkulasi

maternoplasental, dan infeksi.1 Namun secara statistik, hanya sedikit insiden

abortus yang disebabkan karena trauma .1

7. Faktor nutrisi dan lingkungan

Diperkirakan 1-10% malformasi janin adalah akibat dari paparan obat, bahan

kimia atau radiasi yang umumnya akan berakhir dengan abortus.6 faktor-faktor

yang terbukti berhubungan dengan peningkatan insiden abortus adalah

merokok, alkohol dan kafein. Merokok telah dipastikan dapat meningkatkan

risiko abortus euploid.1 Pada wanita yang merokok lebih dari 14 batang per

hari, risiko abortus adalah 2 kali lipat dari risiko pada wanita yang tidak

merokok.1 Rokok mengandung ratusan unsur toksik antara lain nikotin yang

mempunyai sifat vasoaktif sehingga menghambat sirkulasi uteroplasenta.6

Karbon monoksida juga menurukan pasokan oksigen ibu dan janin dan dapat

mamacu neurotoksin.6 Meminum alkohol pada 8 minggu pertama kehamilan

dapat meningkatkan risiko abortus spontan dan anomali fetus.1 Kadar abortus

meningkat 2 kali lipat pada wanita yang mengkonsumsi alkohol 2 kali

seminggu dan 3 kali lipat pada konsumsi tiap-tiap hari dibandingkan dengan

wanita yang tidak minum.1 Mengkonsumsi kafein sekurangnya 5 gelas kopi

perhari atau 500mg caffiene satu hari dapat sedikit menambah risiko abortus

dan pada mereka yang meminum lebih dari ini, risikonya meningkat secara

linier dengan tiap jumlah tambahan gelas kopi.1 Pada penelitian lain, wanita
13

hamil yang mempunyai level paraxantine (metabolit kafine), risiko abortus

spontan adalah 2 kali lipat daripada kontrol.1

8. Faktor kontrasepsi berencana

Kontrasepsi oral atau agen spermicidal yang digunakan pada salep dan jeli

kontrasepsi tidak berhubungan dengan risiko abortus.1 Namun, jika pada

kontrasepsi yang menggunakan IUD, intrauterine device gagal untuk mencegah

kehamilan, risiko aborsi khususnya aborsi septik akan meningkat dengan

signifikan.1

2.4 Patogenesis

Pada permulaan, terjadi perdarahan dalam desidua basalis, diikuti oleh

nekrosis jaringan sekitar, jika terjadi lebih awal, maka ovum akan tertinggal dan

mengakibatkan kontraksi uterin yang akan berakir dengan ekpulsi karena dianggap

sebagai benda asing oleh tubuh.1 Apabila kandung gestasi dibuka, biasanya

ditemukan fetus maserasi yang kecil atau tidak adanya fetus sama sekali dan hal ini

disebut blighted ovum.1 Pada kehamilan dibawah 8 minggu hasil konsepsi

dikeluarkan seluruhnya, karena vili korealis belum menembus desidua terlalu

dalam sedangkan pada kehamilan 8-14 minngu telah masuk agak dalam sehingga

sebagian keluar dan sebagian lagi akan tertingga karena itu akan terjadi banyak

perdarahan.8

Pada abortus yang terjadi lama, beberapa kemungkinan boleh terjadi. Jika

fetus yang tertinggal mengalami maserasi, yang mana tulang kranial kolaps,

abdomen dipenuhi dengan cairan yang mengandung darah, dan degenarasi organ

internal.1 Kulit akan tertanggal di dalam uterus atau dengan sentuhan yang sangat
14

minimal.1 Bisa juga apabila cairan amniotik diserap, fetus akan dikompress dan

mengalami desikasi, yang akan membentuk fetus compressus.1 Kadang-kadang,

fetus boleh juga menjadi sangat kering dan dikompres sehingga menyerupai kertas

yang disebut fetus papyraceous.1

2.5 Manifestasi Klinis

Gejala abortus berupa amenorea, sakit perut kram, dan mules-mules.1,2,3,4

Perdarahan pervaginam bisa sedikit atau banyak dilihat dari pads atau tampon yang

telah dipakai, dan biasanya berupa darah beku tanpa atau desertai dengan keluarnya

fetus atau jaringan.6 Ini penting untuk melihat progress abortus.8 Pada abortus yang

sudah lama terjadi atau pada abortus provokatus sering terjadi infeksi yang dilihat

dari demam, nadi cepat, perdarahan, berbau, uterus membesar dan lembek, nyeri

tekan,dan luekositosis.8 Pada pemeriksaan dalam untuk abortus yang baru saja

terjadi didapati serviks terbuka, kadang-kadang dapat diraba sisa-sisa jaringan

dalam kanalis servikalis atau kavum uteri, serta uterus berukuran kecil dari

seharusnya.8 Pada pemeriksaan USG, ditemukan kantung gestasional yang tidak

utuh lagi dan tiada tanda-tanda kehidupan dari janin.8

2.6 Diagnosis

2.6.1 Anamnesa5, 8

Tiga gejala utama (postabortion triad) pada abortus adalah nyeri di perut

bagian bawah terutamanya di bagian suprapubik yang bisa menjalar ke

punggung,bokong dan perineum, perdarahan pervaginam dan demam yang tidak

tinggi. Gejala ini terutamanya khas pada abortus dengan hasil konsepsi yang masih

tertingal di dalam rahim. Selain itu, ditanyakan adanya amenore pada masa
15

reproduksi kurang 20 minggu dari HPHT. Perdarahan pervaginam dapat tanpa atau

disertai jaringan hasil konsepsi. Bentuk jaringan yang keluar juga ditanya apakah

berupa jaringan yang lengkap seperti janin atau tidak atau seperti anggur. Rasa sakit

atau keram bawah perut biasanya di daerah atas simpisis.

Riwayat penyakit sekarang seperti IDDM yang tidak terkontrol, tekanan

darah tinggi yang tidak terkontrol, trauma, merokok, mengambil alkohol dan

riwayat infeksi traktus genitalis harus diperhatikan. Riwayat kepergian ke tempat

endemik malaria dan pengambilan narkoba malalui jarum suntik dan seks bebas

dapat menambah curiga abortus akibat infeksi.

2.6.2 Pemeriksaan Fisik2

Bercak darah diperhatikan banyak, sedang atau sedikit. Palpasi abdomen

dapat memberikan idea keberadaan hasil konsepsi dalam abdomen dengan

pemeriksaan bimanual. Yang dinilai adalah uterus membesar sesuai usia gestasi,

dan konsistensinya. Pada pemeriksaan pelvis, dengan menggunakan spekulum

keadaan serviks dapat dinilai samaada terbuka atau tertutup , ditemukan atau tidak

sisa hasil konsepsi di dalam uterus yang dapat menonjol keluar, atau didapatkan di

liang vagina.

Pemeriksaan fisik pada kehamilan muda dapat dilihat dari table di bawah

ini:
16

Perdarahan Serviks Uterus Gejala dan Diagnosis


tanda
Bercak Tertutup Sesuai Kram perut Abortus
sedikit hingga dengan usia bawah, uterus
sedang gestasi lunak imminens

Tertutup/terbuka Lebih kecil Sedikit/tanpa Abortus


dari usia nyeri perut
gestasi bawah,riwayat komplit
ekspulsi hasil
konsepsi
Sedang Terbuka Sesuai Kram atau nyeri Abortus
sehingga dengan usia perut bawah,
masif kehamilan belum terjadi insipien
ekspulsi hasil
konsepsi
Kram atau nyeri Abortus
perut bawah,
ekspulsi incomplit
sebahagian
hasil konsepsi
Terbuka Lunak dan Mual/muntah, Abortus
lebih besar kram perut
dari usia bawah, mola
gestasi sindroma mirip
PEB, tidak ada
janin, keluar
jaringan seperti
anggur

2.6.3 Pemeriksaan Penunjang2,5,6

Pemeriksaan laboratorium berupa tes kehamilan, hemoglobin, leukosit, waktu

bekuan, waktu perdarahan, trombosit, GDS dan USG.

1. Abortus Imminens

a) Pemeriksaan hormon hCG pada urin dengan cara melakukan tes urin

kehamilan menggunakan urin tanpa pengenceran dan pengenceran 1/10. Bila


17

hasil tes urin masih positif keduanya maka prognosisnya adalah baik, bila

pengenceran 1/10 hasilnya negative maka prognosisnya dubia ad malam.

b) USG: untuk mengetahui pertumbuhan janin yang ada dan mengetahui

keadaan plasenta apakah sudah terjadi pelepasan atau belum. Diperhatikan

juga ukuran biometri janin/kantong gestasi apakah sesuai dengan umur

kehamilan berdasarkan HPHT. Denyut jantung janin dan gerakan janin

diperhatikan disamping ada atau tidaknya pembukaan kanalis servikalis.

2. Abortus Insipiens

a) tes urin kehamilan masih positif

b) USG: pembesaran uterus yang masih sesuai dengan umur kehamilan, gerak

janin dan gerak jantung janin masih jelas walau mungkin sudah mulai tidak

normal. Biasanya terlihat penipisan serviks uteri atau pembukaannya.

Perhatikan pula ada tidaknya pelepasan plasenta dari dinding uterus.

3. Abortus Inkomplit

a) USG: hanya dilakukan bila ragu dengan diagnosis secara klinis. Yang

didapatkan dalam USG adalah besar uterus sudah lebih kecil dari umur

kehamilan dan kantong gestasi sudah sulit dikenali, di kavum uteri tampak

massa hiperekoik yang bentuknya tidak beraturan.

4. Abortus Komplit

a) tes urin kehamilan masih positif sampai 7-10 hari setelah abortus

b) USG: biasanya tidak diperlukan bila pemeriksaan klinis sudah memadai.

5. Missed Abortion
18

a) Tes urin kehamilan biasanya negative setelah satu minggu dari terhentinya

pertumbuhan kehamilan.

b) USG: didapatkan uterus yang mengecil, kantong gestasi yang mengecil, dan

bentuknya tidak beraturan disertai gambaran fetus yang tidak ada tanda-

tanda kehidupan.

c) Pemeriksaan koagulasi perlu dilakuakan sebelum tindakan evakuasi dan

kuretase bila missed abortion berlangsung lebih dari 4 minggu karena

kemungkinan akan terjadi gangguan pembekuan darah.

6. Abortus Habitualis

a. Histerosalfingografi, untuk mengetahui adanya mioma uterus submukosa

atau anomali congenital.

b. BMR dan kadar yodium darah diukur untuk mengetahui apakah ada atau

tidak gangguan glandula thyroidea

c. Psiko analisis

2.7 Diagnosis Banding

1. KET : nyeri lebih hebat dibandingkan abortus.

2. Mola Hidantidosa : uterus biasanya lebih besar daripada lamanya anmenore

dan muntah lebih sering.

3. Kehamilan dengan kelainan serviks seperti karsinoma servisi uteri, polipus

uteri, dsb.

2.8 Penatalaksanaan

1. Abortus Imminens.2
19

Pada abortus imminens, tidak perlu pengobatan khusus atau tirah baring

total dan pasien dilarang dari melakukan aktivitas fisik berlebihan ataupun

hubungan seksual. Jika terjadi perdarahan berhenti, asuhan antenatal diteruskan

seperti biasa dan penilaian lanjutan dilakukan jika perdarahan terjadi lagi. Pada

kasus yang perdarahan terus berlansung, kondisi janin dinilai dan konfirmasi

kemungkinan adanya penyebab lain dilakukan dengan segera. Pada perdarahan

berlanjut khususnya pada uterus yang lebih besar dari yang diharapkan, harus

dicurigai kehamilan ganda atau mola.

2. Abortus insipiens.2

Jika usia kehamilan kurang dari 16 minggu, evakuasi uterus dilakukan

dengan aspirasi vakum manual. Jika evakuasi tidak dapat segera dilakukan

maka, Ergometrin 0,2 mg IM atau Misopristol 400mcg per oral dapat diberikan.

Kemudian persediaan untuk pengeluaran hasil konsepsi dari uterus dilakukan

dengan segera.

Jika usia kehamilan lebih dari 16 minggu, ekpulsi spontan hasil konsepsi

ditunggu, kemudian sisa-sisa hasil konsepsi dievakuasi. Jika perlu, infus 20 unit

oxytoxin dalam 500cc cairan IV (garam fisiologik atau larutan Ringer Laktat)

dengan kecepatan 40 tetes per menit diberikan untuk membantu ekspulsi hasil

konsepsi. Setelah penanganan, kondisi ibu tetap dipantau.

3. Abortus inkomplit.2
20

Jika perdarahan tidak beberapa banyak dan kehamilan kurang dari 16

minggu, evakuasi dapat dilakukan secara digital atau dengan cunam ovum

untuk mengeluarkan hasil konsepsi yang keluar melalui serviks. Jika

perdarahan berhenti, Ergometrin 0,2 mg IV atau misoprostol 400mcg per oral

diberikan.

Jika perdarahan banyak atau terus berlangsung, dan usia kehamilan

kurang dari 16 minggu, hasil konsepsi dievakuasi dengan aspirasi vakum

manual. Evakuasi vakum tajam hanya digunakan jika tidak tersedia aspirasi

vakum manual (AVM). Jika evakuasi belum dapat dilakukan dengan segera,

Ergometrin 0,2mg IM atau Misoprostol 400mcg per oral dapat diberikan.

Jika kehamilan lebih dari 16 minggu, infus oksitosin 20 unit diberikan

dalam 500ml cairan IV (garam fisiologik atau RL) dengan kecepatan 40 tetes

per menit sampai terjadi ekspulsi hasil konsepsi. Jika perlu Misoprostol 200mcg

pervaginam diberikan setiap 4 jam sampai terjadi ekspulsi hasil konsepsi. Hasil

konsepsi yang tertinggal dalam uterus segera dievakuasi.

4. Abortus komplit.2

Pada kasus ini, evakuasi tidak perlu dilakukan lagi. Observasi untuk

melihat adanya perdarahan yang banyak perlu diteruskan dan kondisi ibu

setelah penanganan tetap dibuat. Apabila terdapat anemia sedang, tablet sulfas

ferrosus 600mg/hari selama 2 minggu diberikan, jika anemia berat diberikan


21

transfusi darah. Seterusnya lanjutkan dengan konseling asuhan pascakeguguran

dan pemantauan lanjut jika perlu.

5. Abortus septik/infeksius.1

Pengelolaan pasien pada abortus septik harus mempertimbangkan

keseimbangan cairan tubuh dan perlunya pemberian antibiotika yang

mencukupi sesuai dengan hasil kultur dan sensitivitas kuman yang diambil dari

darah dan cairan flour yang keluar pervaginam. Untuk tahap pertama dapat

diberikan Penisillin 4x 1juta unit atau ampicillin 4x 1gram ditambah gentamisin

2x80mg dan metronidazol 2x1gram. Selanjutnya, antibiotik dilanjutkan dengan

hasil kultur.

Tindakan kuretase dilaksanakan bila tubuh dalam keadaan membaik

minimal 6 jam setelah antibiotika adekuat telah diberikan. Pada saat tindakan,

uterus harus dilindungi dengan uterotonik untuk mengelakkan komplikasi.

Antibiotik harus dilanjutkan sampai 2 hari bebas demam dan bila dalam waktu

2 hari pemberian tidak memberikan respons harus diganti dengan antibiotik

yang lebih sesuai dah kuat. Apabila ditakutkan terjadi tetanus, injeksi ATS

harus diberikan dan irigasi kanalis vagina/uterus dibuat dengan larutan

peroksida H2O2. Histerektomi harus dibuat secepatnya jika indikasi.


22

Gambar. Algorithm for the management of spontaneous pregnancy loss. (hCG =


human chorionic gonadotropin.)
2.9 Pemantauan Pasca Abortus4

Sebelum ibu diperbolehkan pulang, diberitahu bahwa abortus spontan

hal yang biasa terjadi dan terjadi pada paling sedikit 15% dari seluruh kehamilan

yang diketahui secara klinis. Kemungkinan keberhasilan untuk kehamilan

berikutnya adalah cerah kecuali jika terdapat sepsis atau adanya penyebab abortus

yang dapat mempunyai efek samping pada kehamilan berikut.

Semua pasien abortus disuntik vaksin serap tetanus 0,5 cc IM.

Umumnya setelah tindakan kuretase pasien abortus dapat segera pulang ke

rumah.Kecuali bila ada komplikasi seperti perdarahan banyak yang menyebabkan


23

anemia berat atau infeksi.Pasien dianjurkan istirahat selama 1 sampai 2 hari.Pasien

dianjurkan kembali ke dokter bila pasien mengalami kram demam yang memburuk

atau nyeri setelah perdarahan baru yang ringan atau gejala yang lebih berat. Tujuan

perawatan untuk mengatasi anemia dan infeksi. Sebelum dilakukan kuretase

keluarga terdekat pasien menandatangani surat persetujuan tindakan.

2.10 Komplikasi

1) Perdarahan.7

Perdarahan dapat diatasi dengan pengosongan uterus dari sisa-sisa hasil

konsepsi dan jika perlu pemberian transfusi darah.Kematian karena

perdarahan dapat terjadi apabila pertolongan tidak diberikan.Perdarahan

yang berlebihan sewaktu atau sesudah abortus bisa disebabkan oleh atoni

uterus, laserasi cervikal, perforasi uterus, kehamilan serviks, dan juga

koagulopati.

2) Perforasi.7

Perforasi uterus pada kerokan dapat terjadi terutama pada uterus dalam

posisi hiperretrofleksi.Terjadi robekan pada rahim, misalnya abortus

provokatus kriminalis. Dengan adanya dugaan atau kepastian terjadinya

perforasi, laparatomi harus segera dilakukan untuk menentukan luasnya

perlukaan pada uterus dan apakah ada perlukan alat-alat lain. Pasien

biasanya datang dengan syok hemoragik.

3) Syok.7
24

Syok pada abortus bisa terjadi karena perdarahan (syok hemoragik) dan

karena infeksi berat.Vasovagal syncope yang diakibatkan stimulasi canalis

sevikalis sewaktu dilatasi juga boleh terjadi namum pasien sembuh dengan

segera.

4) Infeksi.7

Sebenarnya pada genitalia eksterna dan vagina dihuni oleh bakteri yang

merupakan flora normal. Khususnya pada genitalia eksterna yaitu

staphylococci, streptococci, Gram negatif enteric bacilli, Mycoplasma,

Treponema (selain T. paliidum), Leptospira, jamur, Trichomonas vaginalis,

sedangkan pada vagina ada lactobacili,streptococci, staphylococci, Gram

negatif enteric bacilli, Clostridium sp., Bacteroides sp, Listeria dan jamur.

Umumnya pada abortus infeksiosa, infeksi terbatas padsa desidua.Pada

abortus septik virulensi bakteri tinggi dan infeksi menyebar ke perimetrium,

tuba, parametrium, dan peritonium.

Organisme-organisme yang paling sering bertanggung jawab terhadap

infeksi paska abortus adalah E.coli, Streptococcus non hemolitikus,

Streptococci anaerob, Staphylococcus aureus, Streptococcus hemolitikus,

dan Clostridium perfringens. Bakteri lain yang kadang dijumpai adalah

Neisseria gonorrhoeae, Pneumococcus dan Clostridium tetani.

Streptococcus pyogenes potensial berbahaya oleh karena dapat membentuk

gas.

5) Efek anesthesia.7
25

Pada penggunaan general anestesia, komplikasi atoni uterus bisa terjadi yang

berakibatkan perdarahan. Pada kasus therapeutic abortus, paracervical blok

sering digunakan sebagai metode anestesia. Sering suntikan intravaskular

yang tidak disengaja pada paraservikal blok akan mengakibatkan komplikasi

fatal seperti konvulsi, cardiopulmonary arrest dan kematian.

6) Disseminated Intravascular Coagulopathy (DIC).7

Pasien dengan postabortus yang berat terutamanya setelah midtrimester

perlu curiga DIC.Insidens adalah lebih dari 200 kasus per 100,000 aborsi.

2.11 Prognosis6

Prognosis keberhasilan kehamilan tergantung dari etiologi aborsi spontan

sebelumnya. Perbaikan endokrin yang abnormal pada wanita dengan abortus yang

rekuren mempunyai prognosis yang baik sekitar >90 %. Pada wanita keguguran

dengan etiologi yang tidak diketahui, kemungkinan keberhasilan kehamilan sekitar

40-80 %. Sekitar 77 % angka kelahiran hidup setelah pemeriksaan aktivitas jantung

janin pada kehamilan 5 sampai 6 minggu pada wanita dengan 2 atau lebih aborsi

spontan yang tidak jelas.

Blighted Ovum

Blighted ovum adalah keadaan dimana seorang wanita merasa hamil tetapi

tidak ada bayi di dalam kandungan. Seorang wanita yang mengalaminya juga

merasakan gejala-gejala kehamilan seperti terlambat menstruasi, mual dan muntah

pada awal kehamilan (morning sickness), payudara mengeras, serta terjadi pembesaran
26

perut, bahkan saat dilakukan tes kehamilan baik test pack maupun laboratorium

hasilnya pun positif.

Pada saat konsepsi, sel telur (ovum) yang matang bertemu sperma.Namun

akibat berbagai faktor maka sel telur yang telah dibuahi sperma tidak dapat

berkembang sempurna, dan hanya terbentuk plasenta yang berisi cairan. Meskipun

demikian plasenta tersebut tetap tertanam di dalam rahim. Plasenta menghasilkan

hormon HCG (human chorionic gonadotropin) dimana hormon ini akan memberikan

sinyal pada indung telur (ovarium) dan otak sebagai pemberitahuan bahwa sudah

terdapat hasil konsepsi di dalam rahim. Hormon HCG yang menyebabkan munculnya

gejala-gejala kehamilan seperti mual, muntah, ngidam dan menyebabkan tes kehamilan

menjadi positif

Hingga saat ini belum ada cara untuk mendeteksi dini kehamilan blighted

ovum. Seorang wanita baru dapat diindikasikan mengalami blighted ovum bila telah

melakukan pemeriksaan USG transvaginal. Namun tindakan tersebut baru bisa

dilakukan saat kehamilan memasuki usia 6-7 minggu. Sebab saat itu diameter kantung

kehamilan sudah lebih besar dari 16 milimeter sehingga bisa terlihat lebih jelas. Dari

situ juga akan tampak, adanya kantung kehamilan yang kosong dan tidak berisi janin.

Karena gejalanya yang tidak spesifik, maka biasanya blighted ovum baru

ditemukan setelah akan tejadi keguguran spontan dimana muncul keluhan perdarahan.

Selain blighted ovum, perut yang membesar seperti hamil, dapat disebabkan hamil

anggur (mola hidatidosa), tumor rahim atau penyakit usus.

Sekitar 60% blighted ovum disebabkan kelainan kromosom dalam proses

pembuahan sel telur dan sperma. Infeksi TORCH, rubella dan streptokokus, penyakit
27

kencing manis (diabetes mellitus) yang tidak terkontrol, rendahnya kadar beta HCG

serta faktor imunologis seperti adanya antibodi terhadap janin juga dapat menyebabkan

blighted ovum. Risiko juga meningkat bila usia suami atau istri semakin tua karena

kualitas sperma atau ovum menjadi turun.

Jika telah didiagnosis blighted ovum, maka tindakan selanjutnya adalah

mengeluarkan hasil konsepsi dari rahim (kuretase). Hasil kuretase akan dianalisa untuk

memastikan apa penyebab blighted ovum lalu mengatasi penyebabnya. Jika karena

infeksi maka dapat diobati sehingga kejadian ini tidak berulang.Jika penyebabnya

antibodi maka dapat dilakukan program imunoterapi sehingga kelak dapat hamil

sungguhan.
28

BAB III

KESIMPULAN

Penyebab utama kematian maternal adalah disebabkan oleh 3 hal, yaitu

perdarahan dalam kehamilan, pre-eklampsia/eklampsia dan infeksi.

Perdarahan selama kehamilan dapat dianggap sebagai keadaan akut yang dapat

membahayakan ibu dan anak, dan sampai dapat menimbulkan kematian. Sebanyak

20% wanita hamil pernah mengalami perdarahan pada awal kehamilan dan sebagian

mengalami abortus.

Pada kasus perdarahan pada masa kehamilan, dengan usia kehamilan dibawah 20

minggu selain dicurigai sebagai abortus tapi perlu juga dipikirkan diagnosa banding

lainnya seperti adanya KET dan mola hidatidosa.

Pada abortus diperlukan penanganan yang segera, untuk mengatasi perdarahan,

maupun untuk mencegah terjadinya syok dan komplikasi lainnya.


29

1. Hadijanto B. Perdarahan pada kehamilan muda. Dalam: Sarwono Prawirohardjo.


Ilmu Kandungan. Edisi ke-4. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo;
2009 : 460-73.
2. Saifuddin A. Perdarahan pada kehamilan muda dalam Buku Panduan Praktis
Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal,Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo, Jakarta,2006 Hal M9-M17
3. Standard Pelayanan Medis Ilmu Kebidanan dan Kandungan, RS Efarina Etaham,
2008, ms 33-35
4. F. G Cunningham, KJ. Leveno, SL. Bloom. Abortion in William Obstetrics, 22nd
edition. Mc-Graw Hill, 2005
5. McPhee S, Obsterics and obstretrics disoders,Current medical diagnosis and
treatment, 2009 edition, Mc Graw Hill, 2008
6. Mansjoer A, TORCH. Editor Mansjoer A, Triyanti K, Savitri R, Wardhani WI,
Setiowulan W, dalam Kapita Selekta Kedokteran edisi ketiga, Jilid pertama, Media
Auesculapius FKUI, Jakarta, 2001.
7. Gaufberg VS, 2016, Abortion Complications, Medscape, US, Available at
http://emedicine.medscape.com/article/795001-overview. Accessed on July 18st
2017.
8. Slava VG. 2017. Early Pregnancy Loss in Emergency Medicine. Medscape.
Available at http://emedicine.medscape.com/article/795085-overview. Accessed
on July 18st 2017.
9. Trupin SR. Abortion. Emedicine Health. Editor: Stoppler MC. Available at
http://www.emedicinehealth.com/abortion/article_em.htm. Accessed on July 18st
2017.
10. Griebel CP, et all. Management of Spontaneous Abortion. University of Illinois
College of Medicine. Peoria.
11. Ware Branch, M.D. Recurrent Miscarriage. N Engl J Med 2010; 363: 1740-1747.
Available at http://www.nejm.org/doi/full/10.1056/NEJMcp1005330. Accessed
on July 18st 2017.

You might also like