You are on page 1of 22

BAGIAN KARDIOLOGI LAPORAN KASUS

FAKULTAS KEDOKTERAN 25 MARET 2017


UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

CONGESTIVE HEART FAILURE

DISUSUN OLEH :

Moh. Shohibul F, S. Ked

111 2016 2107

Pembimbing : Prof. Dr. dr. H. Ali Aspar Mappahya Sp.PD, Sp.JP

DIBAWAKAN DALAM RANGKA KEPANITERAAN KLINIK

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

MAKASSAR

2017

1
PENDAHULUAN

Gagal jantung kongestif (Congestive Heart Failure) adalah


ketidakmampuan jantung untuk mempertahankan curah jantung
(cardiac output = CO) dalam memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh.
Penurunan CO mengakibatkan volume darah yang efektif berkurang.
Untuk mempertahankan fungsi sirkulasi yang adekuat, maka di dalam
tubuh terjadi suatu refleks hemeostatsis atau mekanisme kompensasi
melalui perubahan-perubahan neurohormonal, dilatasi ventrikel dan
mekanisme Frank-Starling. Dengan demikian, manifestasi klinis gagal
jantung terdiri dari berbagai respon hemodinamik, renal, neural, dan
hormonal yang tidak normal.1

Gagal jantung merupakan tahap akhir dari seluruh penyakit


jantung dan merupakan penyebab peningkatan morbiditas dan
mortalitas pasien jantung. Diperkirakan hampir lima persen dari pasien
yang dirawat di rumah sakit, 4,7 % wanita dan 5,1 % laki-laki. Insiden
gagal jantung dalam setahun diperkirakan 2,3-3,7 perseribu penderita
pertahun. Kejadian gagal jantung akan semakin meningkat di masa
depan karena semakin bertambahnya usia harapan hidup dan
berkembangnya terapi penanganan infark miokard mengakibatkan
perbaikan harapan hidup penderita dengan penurunan fungsi jantung.

2
LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. H. M
Umur : 62 Tahun
Jenis Kelamin : Laki - laki
Nomor RM : 136548
Alamat : Jl. Rappocini Raya No. 276
Tgl masuk RS : 23 Maret 2017
Dokter jaga : dr. V
Ruangan : P1

B. ANAMNESIS
Anamnesis : Heteroanamnesis
Keluhan Utama : Sesak nafas
Anamnesis terpimpin :
Dialami sejak lama dan memberat 2 minggu yang lalu sebelum masuk
rumah sakit. Sesak bertambah saat melakukan aktivitas. Pasien merasa
sesak berkurang dengan posisi duduk dan bertambah jika pasien berbaring
dan beraktivitas. Pasien berbaring dengan menggunakan 3 bantal. Pasien
sering terbangun di malam hari karena sesaknya.
Lemas (+),Pusing (-), sakit kepala (-)
Demam (-), riwayat demam (-)
Batuk (+), dialami pada malam hari sejak 1 minggu, lendir (-), darah (-).
Bengkak kedua kaki dialami sejak 1 bulan yang lalu
Merokok (+) sejak 30 tahun yang lalu, 10 batang/hari. Berhenti di usia 50
tahun.
BAB : biasa, warna kuning,
BAK : lancar 4-5 kali/hari, warna kuning

3
RPS :
Pasien sebelumnya pernah dirawat di Rumah Sakit karena keluhan sesak
Riwayat tekanan darah tinggi berobat tidak teratur.
Riwayat penyakit gula (-)
Riwayat penyakit jantung (-)
C. STATUS PRESENT

- Sakit Sedang

- Status Gizi

BB :70 Kg, BB koreksi: 59,5 kg

TB : 158 cm

IMT :23,83 Kg/mm2(overweight)

- Composmentis

D. TANDA VITAL
Tekanan darah : 160/90 mmH20
Nadi (arteri radialis) : 122 x/menit, reguler
Pernapasan : 30 x/menit, tipe abdominothoracal
Suhu axilla : 36,50C

E. PEMERIKSAAN FISIS
- Kepala
Ekspresi : meringis
Simetris muka : simetris ki = ka
Deformitas : (-)
Rambut : putih, sukar dicabut
- Mata
Eksoptalmus/Enoptalmus : (-)
gerakan : ke segala arah
Tekanan bola mata : TN normal

4
Kelopak mata : dalam batas normal
Konjungtiva : Anemis (-/-)
Sklera : Ikterus (-/-)
Kornea : Refleks (+)
Pupil : isokor, reflex cahaya (+)
- Telinga
Tophi : (-)
Nyeri tekan di processus mastoideus : (-)
Liang telinga : otore (-)
- Hidung
Perdarahan : (-)
Sekret : (-)
- Mulut
Bibir : kering (-), sianosis (-)
Gigi geligi : tidak dilakukan pemeriksaan,
Gusi : perdarahan (-)
Tonsil : hiperemis (-), pembesaran (-)
Farings : hiperemis (-)
Lidah : kotor (-)
- Leher
DVS : R+3 cm H2O
Kelenjar getah bening : tidak ada pembesaran
Kelenjar gondok : tidak ada pembesaran
Pembuluh darah : bruit (-)
Kaku kuduk : (-)
Tumor : (-)
- Thorax
Inspeksi : Simetris ki = ka
Palpasi : NT (-), MT (-), VF : ki = ka
Perkusi : Sonor ki = ka

5
Auskultasi : BP : vesikuler
BT : Rh : + + Wh : - -
+ + - -
+ -

Cor
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis teraba
Perkusi : Pekak
Batas Atas :ICS III Linea Parasternalis Dextra
Ba.Kiri : ICS V Linea Axilaris Anterior sinistra
Ba.Kanan : ICS IV linea sternalis dextra
Auskultasi : Bunyi jantung I/II murni reguler, bising (-)

Abdomen
Inspeksi : Cembung, ikut gerak nafas
Auskultasi : Peristaltik (+), kesan normal
Palpasi : MT (-), NT (-), H/L : tidak teraba
Perkusi : Undulasi (+)
- Genitalia : tidak dilakukan pemeriksaan
- Anus dan Rectum : tidak dilakukan pemeriksaan
- Ekstremitas :
Edema pretibia (+/+)
Edema dorsum pedis (+/+)

F. DIAGNOSIS SEMENTARA

Congestive Heart Failure NYHA IVe.c susp CAD


Hipertensi Stage II JNC 7

6
G. DIAGNOSIS BANDING
Edema Paru
CHF susp. Hipertensi Heart Disease
H. PENATALAKSANAAN AWAL
Posisi Setengah Duduk
Diet rendah garam
O24 liter/menit via Nasal Kanul
Pemasangan kateter urin
IVFD RL 10 tpm
Lasix (Furosemid)2 amp/12 jam/IV
Farsorbid (ISDN) 10 mg 3 dd 1/PO
Captopryl 6,25 mg 2 dd 1/PO
Balance cairan

I. RENCANA PEMERIKSAAN
- Pemeriksaan laboratorium: darah rutin
SGOT
HDL
LDL
Trigliserida
- EKG
- Foto X-ray PA
J. PROGNOSIS
Dubia ad malam

7
RESUME

Seorang 62 tahun MRS dengan keluhan dyspneu yang dialami sejak lama
dan memberat 2 minggu terakhir sebelum masuk rumah sakit. Dypsnea
bertambah saat beraktivitas dan berbaring. Keluhan membaik jika pasien dengan
posisi duduk. Pasien berbaring dengan menggunakan 3 bantal dan sering terbangun
pada malam hari karena dypsnea. Pasien juga mengeluh batuk pada malam hari
sejak seminggu yang lalu tanpa dahak dan darah. Edem kaki dialami sejak 1 bulan
yang lalu, tidak nyeri, BAB: biasa, warna kuning, BAK: lancar 4-5 kali/hari, warna
kuning.
Riwayat masuk rumah sakit dengan keluhan yang sama. Riwayat DM (-),
dan HTN diketahui berobat tidak teratur. Riwayat merokok (+) sejak 30 tahun yang
lalu, jumlah 10 batang/hari. Berhenti merokok di usia 50 tahun.

Pada pemeriksaan fisis didapatkan sakit sedang, gizi lebih, composmentis.


Tekanan darah: 150/90 mmH20, nadi (arteri radialis): 100 x/menit, reguler
Pernapasan : 26 x/menit, tipe abdominothoracal, suhu axilla : 36,70C. Kepala, mata,
telinga, hidung, dan bibir dalam batas normal. Pada pemeriksaan thoraks secara
auskultasi didapatkan BP: vesikuler, BT: Rh: +/+ (basal dan medial pulmo), Wh: (-
/-). Pada pemeriksaan cor secara perkusi didapatkan, Batas Atas : ICS III Linea
Parasternalis Dextra, Batas Kiri : ICS V Linea Axilaris Anterior sinistra. Batas
Kanan : ICS IV linea sternalis dextra. Bunyi jantung I/II murni reguler, sedangkan
abdomen ditemukan undulasi (+).Pemeriksaan genital, anus dan rectum tidak
dilakukan sementara pada ekstremitas diperoleh edema dorsum pedis.Berdasarkan
anamnesis dan pemeriksaan fisis yang telah dilakukan, maka pasien ini kami
diagnosis Congestive Heart Failure NYHA IV e.c suspect CAD.

8
DISKUSI

Penegakan Diagnosis

Pasien masuk rumah sakit dengan keluhan utama sesak napas.Sesak napas
mengindikasikan adanya penyakit mendasar berupa kelainan kardiovaskuler,
pulmoner ataupun neuromuskuler.Namun berdasarkan anamnesis, ditemukan
bahwa sesak napas yang dialami pasien berlangsung secara gradual sejak lama dan
memberat 2 minggu SMRS.Diketahui pula bahwa sesak napas yang dialami
bertambah ketika pasien beraktivitas (dyspnea deffort) dan saat berbaring, Pasien
juga sering terbangun tengah malam karena sesak napas ini (paroxysmal nocturnal
dyspne).Gejala tersebut di atas (PND) merupakan gejala khas kelainan jantung,
khususnya gagal jantung kongestif. Pemeriksaan fisis ditemukan batas jantung
melebar, ronkhi paru, edema kaki
Berdasarkan kriteria Framingham, diagnosis gagal jantung kongestif dapat
ditegakkan pada pasien di atas apabila terdapat paling sedikit 1 kriteri mayor dan 2
kriteria minor. Dari anamnesis dan pemeriksaan fisis sudah bisa ditegakkan
diagnosis gagal jantung kongestif karena sudah ditemukan 3 kriteri mayor yaitu
(PND), kardiomegali, rokhi paru dan 2 kriteria minor dyspnea deffort dan edema
kaki.
Untuk menentukan derajat beratnya suatu gagal jantung kongestif
(congestive heart failure) pada pasien dalam kasus dengan pengaruhnya terhadap
aktivitas, dimana saat ini pasien sama sekali tidak bisa melakukan aktivitas apapun
dan harus tirah baring maka digunakan kriteria menurut The New York Heart
Association (NYHA) dan dari kriteria tersebut pasien didiagnosa CHF NYHA IV.

Pengobatan

Dalam terapi pada kasus di atas diperlukan beberapa jenis penanganan.


Pertama adalah penanganan secara umum untuk mengurangi gejala (penanganan
symtomatis) kemudian diikuti penanganan secara khusus terhadap penyebab dasar

9
yang menyebabkan gagal jantung (penanganan causatif), dalam hal ini Hypertensi
grade II yang lama.
Terapi utama gagal jantung, kita dapat berpatokan pada standar AHA/ACC
2005 (The 2005 American Heart Association/American College of Cardiology
Guidelines for The Evaluation ang Managemen of Chronic Hert Failure in The
Adult). Berdasarkan guidline tersebut, pasien ini dapat dikategorikan dalam gagal
jantung stage C karena mengalami serangan gagal jantung sebagai akibat strktural
pada jantung. Obat yang diberikan berupa ACE-Inhibitor, beta blocker dan
digitalis.
Terapi pada pasien tersebut terdiri atas terapi farmakologis dan non-farmakologis:
1. Terapi Non-Farmakologis
- Oksigen 2 4 liter permenit untuk mempertahankan saturasi oksigen 95%-
98%.
- Pemasangan kateter urin untuk memantau keseimbangan cairan karena
pasien ini diberikan diuretic kuat.
- Diet rendah garam untuk retriksi Na* yang dikonsumsi.
2. Terapi Farmakologis
- Lasix (diuretik) IV dengan tujuan mengurangi kongestif secara cepat
melalui mekanisme penurunan preload.
- Farsorbid merupakan golongan nitrat. Golongan ini menimbulkan
vasodilatasi semua sistem cardiovaskuler. Dosis rendah obat ini
menimbulkan venodilatasi sehingga terjadi pengumpalan darah pada vena
perifer yang menyebabkan preload menurun. Dengan cara ini, golongan
nitrat mengurangi kebutuhan oksigen miokard yang dapat mencegah
bertambah luasnya daerah iskemik di miokard sedangkan pada dosis tinggi,
golongan obat ini menyebabkan dilatasi dari arteriol perifer sehingga dapat
juga menurunkan afterload yang pada akhirnya mengurangi beban kerja
jantung.
- Obat anti hipertensi yang diberikan adalah captopryl 6,25 mg 2 dd 1/PO

A. GAGAL JANTUNG KONGESTIF (CONGESTIVE HEART FAILURE)

10
Definisi Gagal Jantung
Gagal jantung merupakan suatu keadaan patofisiologis dimana jantung
gagal mempertahankan sirkulasi adekuat untuk kebutuhan tubuh meskipun
tekanan pengisisan cukup.(Paul Wood, 1958).Menurut pendapat yang lain,
gagal jantung adalah suatu sindrom dimana disfungsi jantung berhubungan
dengan penurunan toleransi latihan, insidensi aritmia yang tinggi, dan
penurunan harapan hidup. (Jay Cohn, 1988)1.
Gagal jantung kongestif (Congestive Heart Failure; CHF) adalah
gambaran sindrom klinik dengan kelainan struktur atau fungsi dari jantung
sehingga tidak mampu untuk memompa darah ke seluruh tubuh dalam jumlah
yang cukup untuk memenuhi metabolisme tubuh. Berdasarkan The New york
Heart Association (NYHA) gagal jantung (CHF) dibagi atas:2,3
Kelas I

Penderita dengan gagal jantung tanpa adanya pembatasan aktivitas


fisik, dimana aktivitas biasa tidak menimbulkan rasa lelah dan
sesak napas.

Kelas II

Penderita dengan gagal jantung yang memperlihatkan adanya


pembatasan aktivitas fisik yang ringan, merasa lega jika
beristirahat.

Kelas III

Penderita dengan gagal jantung yang memperlihatkan adanya


pembatasan aktivitas fisik yang ringan, kegiatan fisik yang lebih
ringan dari kegiatan biasa sudah memberi gejala lelah, sesak napas.

Kelas IV

11
Penderita dengan gagal jantung yang tidak sanggup melakukan
kegiatan apapun tanpa keluhan, gejala sesak napas tetap ada
walaupun saat beristirahat.

Klasifikasi berdasarkan Killip digunakan pada penderita infark miokard


akut, dengan pembagian:

Derajat I : tanpa gagal jantung


Derajat II : gagal jantung dengan ronkhi basah halus di basal paru, S3
gallop dan peningkatan tekanan vena pulmonalis
Derajat III : gagal jantung berat dengan edema paru seluruh lapangan
paru
Derajat IV : syok kardiogenik dengan hipotensi (tekanan darah sistolik
<= 90 mmHg) dan vasokonstriksi perifer (oliguria, sianosis dan diaphoresis)

Klasifikasi Stevenson menggunakan tampilan klinis dengan melihat tanda


Kongesti dan kecukupan perfusi. Kongesti didasarkan adanya ortopnea, distensi
vena juguler, ronkhi basah, refluks hepatojugular, edema perifer, suara jantung
pulmonal yang berdeviasi ke kiri, atau square wave blood pressure pada maneuver
valsava. Status perfusi ditetapkan berdasarkan adanya tekanan nadi yang sempit,
pulsus alternans, hipotensi simptomatik, ekstremitas dingin dan penurunan
kesadaran.Pasien yang mengalami kongesti disebut basah (wet) yang tidak disebut
kering (dry).Pasien dengan gangguan perfusi disebut dingin (cold) dan yang tidak
disebut panas (warm). Berdasar hal tersebut penderita dibagi menjadi empat kelas,
yaitu:
Kelas I (A) : kering dan hangat (dry warm)
Kelas II (B) : basah dan hangat (wet warm)
Kelas III (C) : kering dan dingin (dry cold)
Kelas IV (D) : basah dan dingin (wet cold)

Etiologi

12
Gagal jantung kongestif dapat disebabkan oleh banyak hal. Secara
epidemiologi cukup penting untuk mengetahui penyebab dari gagal jantung, di
Negara berkembang penyakit arteri coroner dan hipertensi merupakan
penyebab terbanyak sedangkan di Negara berkembang yang menjadi penyebab
terbanyak adalah penyakit jantung katup dan penyakit jantung akibat
malnutrisi. Pada beberapa keadaan sangat sulit untuk menentukan penyebab
dari gagal jantung bersamaan pada penderita.

Penyakit jantung coroner pada Framingham Study dikatakan sebagai


penyebab gagal jantung pada 46% laki-laki dan 27% pada wanita. Factor risiko
coroner seperti diabetes dan merokok juga merupakan factor yang dapat
berpengaruh pada perkembangan dari gagal jantung. Selain itu berat badan
serta tingginya rasio kolesterol total dengan kolesterol HDL juga dikatakan
sebagai factor risiko independen perkembangan gagal jantung.

Hipertensi telah dibuktikan meningkatkan risiko terjadinya gagal


jantung pada beberapa penelitian.Hipertensi dapat menyebabkan gagal jantung
melalui beberapa mekanisme, termasuk hipertrofi ventrikel kiri.Hipertensi
ventrikel kiri dikaitkan dengan disfungsi ventrikel kiri sistolik dan diastolic dan
meningkatkan risiko terjadinya aritmia baik itu aritmia atrial maupun aritmia
ventrikel.Ekokardiografi yang menunjukkan hipertrofi ventrikel kiri
berhubungan kuat dengan perkembangan gagal jantung.

Kardiomiopati didefinisikan sebagi penyakit pada otot jantung yang


bukan disebabkan oleh penyakit coroner, hipertensi, maupun penyakit jantung
kongenital, katup ataupun penyakit pada pericardial. Kardiomiopati dibedakan
menjadi empat kategori fungsional: dilatasi (kongestif), hipertrofik, restriktif
dan obliterasi. Kardiomiopati dilatasi merupakan penyakit otot jantung dimana
terjadi dilatasi abnormal pada ventrikel kiri dengan atau tanpa dilatasi ventrikel
kanan. Penyebabnya antara lain miokarditis virus, penyakit pada jaringan ikat
seperti SLE, sindrom Churg-Strauss dan poliarteritis nodosa. Kardiomiopati
hipertropik dapat merupakan penyakit keturunan (autosomal dominan) meski

13
secara sporadic masih memungkinkan.Ditandai dengan adanya kelainan pada
serabut miokard dengan gambaran khas hipertrofi septum yang asimetris yang
berhubungan dengan obstruksi outflow aorta (kardiomiopati hipertropik
obstruktif).Kardiomiopati restriktif ditandai dengan kekakuan serta
compliance ventrikel yang buruk, tidak membesar dan dihubungkan dengan
kelainan fungsi diastolic (relaksasi) yang menghambat pengisian ventrikel.

Penyakit katup sering disebabkan oleh penyakit jantung rematik,


walaupun saat ini sudah mulai berkurang kejadiannya di negara maju.Penyebab
utama terjadinya gagal jantung adalah regurgitasi mitral dan stenosis
aorta.Regurgitasi mitral (dan regurgitasi aorta) menyebabkan kelebihan beban
volume (peningkatan preload) sedangkan stenosis aorta menimbulkan beban
tekanan (peningkatan afterload).

Aritmia sering ditemukan pada pasien dengan gagal jantung dan


dihubungkan dengan kelainan structural termasuk hipertrofi ventrikel kiri pada
penderita hipertensi.Atrial fibrilasi dan gagal jantung seringkali timbul
bersamaan.

Alcohol dapat berefek secara langsung pada jantung, menimbulkan


gagal jantung akut maupun gagal jantung akibat aritmia (tersering atrial
fibrilasi).Konsumsi alcohol yang berlebihan dapat menyebabkan
kardiomiopati dilatasi (penyakit otot jantung alcoholic).Alcohol menyebabkan
gagal jantung 2-3% dari kasus.Alcohol juga dapat menyebabkan gangguan
nutrisi dan defisiensi tiamin.obat-obatan juga dapat menyebabkan gagal
jantung.Obat kemoterapi seperti doxorubicin dan obat antivirus seperti
zidofudin juga dapat menyebabkan gagal jantung akibat efek toksik langsung
terhadap otot jantung.

14
Patofisiologi

Mekanisme dasar dari gagal jantung adalah kontraktilitas ventrikel kiri


yang menurun menyebabkan berkurangnya volume sekuncup, dan
bertambahnya volume residu ventrikel. Dengan meningkatnya End Diastolic
Volume (EDV) ventrikel, terjadi peningkatan tekanan akhir diastolik ventrikel
kiri, kemudian terjadi pula peningkatan tekanan atrium kiri, tekanan yang
tinggi ini diteruskan ke belakang ke pembuluh darah paru-paru, sehingga
tekanan di kapiler paru dan vena paru meningkat. Apabila terjadi peningkatan
tekanan hidrostatik anyaman kapiler paru-paru, akan terjadi transudasi cairan
ke dalam ruang interstisial paru dan masuk ke alveoli mengakibatkan edema
paru, yang pada akhirnya menyebabkan hipertensi pulmonal yang
mengakibatkan peningkatan tahanan terhadap ejeksi ventrikel kanan, yang
akhirnya mengakibatkan bendungan sistemik dan terjadilah edema yang
dimulai pada ekstremitas bawah (edema pretibial dan dorsum pedis) karena
pengaruh gravitasi.2,3

Menurunnya volume sekuncup pada gagal jantung akan


menimbulkan respon simpatis, denyut dan kontraktilitas jantung akan
meningkat, terjadi vasokontriksi arteri perifer untuk menambah curah jantung.
Aktivitas renin-angiotensin-aldosteron menyebabkan retensi natrium dan air
oleh ginjal, meningkatkan volume ventrikel dan menambah
kontraktilitas.Respon kompensantorik terakhir pada gagal jantung adalah
hipertrofi miokardium atau bertambah tebalnya dinding jantung.Hipertrofi
mengakibatkan peningkatan jumlah sarkomer dalam sel-sel mikokardium.3,5

Pada awalnya, semua respon kompensantorik pada gagal jantung


menguntungkan, tapi pada akhirnya mekanisme ini dapat menimbulkan gejala,
yaitu retensi cairan yang bertujuan yang bertujuan meningktkan kontraktilitas
jantung menyebabkan edema dan kongestif paru. Vasokontriksi arteri dan
redistribusi aliran darah mengganggu perfusi jaringan pada anyaman vaskuler
yang terkena, serta menimbulkan gejala kurangnya output urine. Vasokontriksi

15
arteri juga meningkatkan beban akhir dengan memperbesar resistensi terhadap
ejeksi ventrikel, beban akhir juga meningkat karena adanya dilatasi jantung,
akibatnya kerja jantung dan kebutuhan oksigen miokardium juga meningkat.
Hipertropi miokardium dan rangsangan simpatis lebih lanjut akan
meningkatkan kebutuhan oksigen miokardium. Jika peningkatan kebutuhan
oksigen ini tidak dapat dipenuhi dengan peningkatan suplai oksigen
miokardium, maka akan terjadi iskemia miokardium dan gangguan
miokardium lainnya. Hasil akhir peristiwa yang saling berkaitan ini adalah
meningkatkan beban miokardium dan terus berlangsungnya gagal jantung. 3,5

Hipertropi ventrikel kiri merupakan kompensasi jantung menghadapi


tekanan darah tinggi ditambah dengan factor neurohormonal yang ditandai oleh
penebalan konsentrik otot jantung. Fungsi diastolik akan mulai terganggu
akibat gangguan relaksasi ventrikel kiri kemudian disusul oleh dilatasi
ventrikel kiri (hipertropi eksentrik). Rangsangan simpatis dan aktivitas system
RAA memacu mekanisme Frank starling melalui peningkatan volume diastolik
ventrikel sampai tahap tertentu dan pada akhirnya akan terjadi gangguan
kontraksi miokard. 3,5

Penegakan Diagnosis

16
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis, foto toraks,
USG abdomen, elektrokardiografi, dan ekokardiografi.

Kriteria Framingham dapat juga digunakan untuk diagnosis gagal jantung


kongestif.2,3,4,5

KRITERIA MAYOR KRITERIA MINOR


Paroxysmal nocturnal dyspnea Edema ekstremitas
Distensi vena-vena leher Batuk malam
Peningkatan vena jugularis Dyspnea deffort
Ronki Hepatomegali
Kardiomegali Efusi pleura
Edema paru akut Kapasitas vital berkurang 1/3
Gallop S3 dari normal
Refluks hepatojugular Takikardia (>120 denyut/menit)
Mayor atau Minor: Penurunan BB > 4.5 kg dalam 5 hari terapi

Pengobatan Gagal Jantung Kongestif

Usaha pertama dalam penanggulangan gagal jantung kongestif ialah


mengatasi sindrom gagal jantung. Kemudian mengobati faktor presipitasi
seperti aritmia, anemia, tirotoksikosis, stress, infeksi, dan lain-lain, dan
memperbaiki penyakit penyebab serta mencegah komplikasi seperti trombo-
emboli.1
Pada kasus kronis pengobatan nonfarmakologik seperti memperbaiki
oksigenasi jaringan, membatasi kegiatan fisik sesuai beratnya keluhan, dan diet
rendah garam, cukup kalori dan protein. Kesemuanya ini memegang peranan
penting dalam penanggulangan gagal jantung kongestif kronis atau yang tidak
akut.1
Dalam penentuan terapi CHF, ACC/AHA (American College of
Cardiology/.American Heart Associatiom) membuat guideline dimana stadium
gagal jantung diklasifikasikan menjadi Stage A-D berdasarkan ada tidaknya

17
gejala dan kelainan struktural. Terapi pada setiap stadium berbeda seperti yang
dapat dilihat pada bagan berikut ini:
Guideline ACC/AHA Mengenai Tahap-Tahap Perkembangan Gagal Jantung dan
Terapinya4

Berdasarkan patofisiologis yanag telah diuraikan sebelumnya,


konsep terapi faramakologis saat ini ditujukan terutama pada ;1
1. Menurunkan afterload dengan ACE-Inhibitor, atau antagonis kalsium
(yang tidak memiliki efek inotropik dan kronotropik negatif).
2. Meningkatkan kontraktilitas jantung melalui pemberian digitalis atau
ibopamin.
3. Menurunkan preload melalui pemberian nitrat atau diuretik. Diuretik
juga dipakai sebagai obat untuk mengatasi retensi cairan tubuh.

B. PENYAKIT JANTUNG KORONER

Istilah Penyakit Jantung Koroner (PJK) menggambarkan gangguan


pada aliran darah koroner. Pada kebanyakan kasus PJK disebabkan oleh

18
aterosklesoris. Penyakit arteri koroner dapat menyebabkan angina, infark
miokard atau serangan jantung, dan mati mendadak (sudden death).4

Faktor-faktor yang mempengaruhi aliran koroner:

Anatomi dan mekanis

Arteri koroner bermuara di pangkal aorta pada sinus valsava, yang berada di
belakang katup aorta.arus darah yang keluar dari bilik kiri bersifat turbulen
yang menyebabkan terhambatnya aliran koroner.5

Faktor mekanis akibat tekanan pada arteri koroner

Arteri koroner tidak seluruhnya berada di permukaan jantung, tetapi


sebagian besar berada di miokard, sehingga sewaktu jantung berkontraksi atau
sistol tekanan intramiokard meningkat, hal iniakan menghambat aliran darah
koroner. karena itu dapat dipahami aliran darah koroner 80% terjadi pada saat
diastole dan hanya 20% saat sistol.5

Sistem otoregulasi

Otot polos arteriol mampu melakukan adaptasi, berkontraksi


(vasokonstriksi) maupun berdilatasi (vasodilatasi) baik oleh rangsangan
metabolis maupun adanya zat-zat lain seperti adenine, ion K, prostaglandin,
dan kinin.demikian pula oleh karena adanya regulasi saraf, baik yang bersifat
alfa dan beta adrenergic maupun yang bersifat tekanan (baroresptor).5

Tekanan Perfusi

Meskipun aliran darah dalam arteri koroner dapat terjadi, tetapi


perfusi ke dalam jaringan memerlukan tekanan tertentu.tekana perfusi
dipengaruhi oleh tekanan cairan dalam rongga jantung, khusunya tekanan
ventrikel kiri, yang secara umum diketahui melaui pengukuran tekanan darah.
Tekanan perfusi normal antara 70-130 mmHg.5

19
Pada tekanan perfusi normal tersebut sisitim otoregulasi di atas dapat
berjalan dengan baik. Bila tekanan perfusi menurun di bawah 60 mmHg, maka
sistim regulasi aliran darah koroner tidak bekerja, sehingga aliran darah
koroner hanya ditentukan oleh tekanan perfusi itu sendiri. Hal ini menyebabkan
kebutuhan jaringan tidak tercukupi.Dalam klinis keadaan ini menunjukkan
suatu fase hipotensif yang mengarah gagal jantung.Artinya kerja jantung tidak
mencukupi kebutuhan dirinya sendiri, karena sisitim otoregulasi lumpuh.5

Ketidakseimbangan Pasok dan Kebutuhan

Berbagai keadaan akan mempengaruhi antara pasok dan kebutuhan,


yang pada dasarnya melalui mekanisme sederhana, yaitu: 1) pasok berkurang
meskipun kebutuhan tak bertambah, dan 2) kebutuhan meningkat, sedangkan
pasok tetap.5

Bila arteri koroner mengalami gangguan penyempitan (stenosis) atau


penciutan (spasme), pasok arteri koroner tidak mencukupi kebutuhan, secara
populer terjadi ketidakseimbangan antara pasok (supply) dan kebutuhan
(demand), hal mana akan memberikan gangguan. manifestasi gangguan dapat
bervariasi tergantung berat ringannya stenosis atau spasme, kebutuhan jaringan
(saat istirahat atau aktif), dan luasnya daerah yang terkena.5

Dalam keadaan istirahat, meskipun arteri koroner mengalami stenosis


lumen sampai 60% belum menimbulkan gejala, sebab aliran darah koroner
masih mendukupi kebutuhan jaringan, antara lain dengan mekanisme
pelebaran pembuluh darah (vasodilatasi) pasca stenosis. Stenosis koroner pada
keadaan ini tidak memberi keluhan, sering disebut penyakit jantung koroner
laten atau silent ischemia.5

Sistem kolateral

Tidak dapat dipungkiri mekanisme pertahan tubuh selalu berupaya


agar keseimbangan selalui tercapai, salah satu adalah dengan pembentukan
sistim kolateral.suatu proses stenosis maupun infark kadang kala tidak

20
memberikan gejala, meskipun stenosis yang terjadi sangat kritis. Ternyata
stenosis kritis merangsang pembentukan kolateral, dan hal ini akan membantu
memberikan pasok ke daerah yang tadinya mengalami kekurangan aliran darah
akibat proses stenosis atau infark. Latihan fisik yang teratur diketahui pula
mampu merangsang pembentukan kolateral, salah satu kemungkinan saat
melakukan aktivitas fisik terjadi peningkatan kebutuhan miokard. Dalam
keadaan pasok tidak mencukupi namun tidak sampai menimbulkan proses yang
kritis, sudah cukup untuk merangsang terbukanya kolateral yang memang telah
ada. 5

21
DAFTAR PUSTAKA

1. Gray, Huon H, dkk, Gagal Jantung; Penyakit Jantung Koroner


Elektrrofisiologi, Lecture Notes: Kardiologi, Edisi Keempat, Erlangga,
Jakarta, 2005, h81-97, 107-150, 169-170
2. Pangabean, Marlim, Gagal Jantung, Nasution, Sally Aman dan Ismail,
Dasman, Ilmu Penyakit Dalam Jilid III, Jakarta : Balai Penerbit FK-UI,
2006; 1503-1514.
3. Braunwald, Eugene, Heart Failure and Cor Pulmonale, Harisson
Principle 16th, NewYork : Mc Graw Hill : 1367-1377
4. Hunt,et.al.2001. ACC/AHA Guidlines for Management and Evaluation
of Heart Failure in Adults. [Online] [Accessed : 10 Maret 2017]
http://www.acc.org/clinical/guidlines/failure/hf_index.htm
5. Sitompul, Barita, dan sugeng, J. Irawan, Gagal Jantung, Kusmana, Dede,
dan Hanafi, Mochtar, Patofisiologi Penyakit Jantung Koroner, Irmalita,
Infark Miokard, Editor Rilantono, Lily Ismudiati, dkk, Buku Ajar
Kardiologi, Jakarta: Gaya Baru, 1998, h.115-126, 159-165, 173-181

22

You might also like