You are on page 1of 54

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep diare


2.1.1. Definisi Diare
Diare menurut definisi Hippocrates adalah buang air besar dengan frekuensi yang tidak
normal meningkat), konsistensi tinja menjadi lebih lembek atau cair. (Bagian ilmu kesehatan anak
FK UI, 1998).Diare merupakan suatu keadaan pengeluaran tinja yang tidak normal atau tidak
seperti biasanya ditandai dengan peningkatan volume, keenceran serta frekuensi lebih dari 3 kali
sehari dan pada neonates lebih dari 4 kali sehari dengan tanpa lender darah. (Aziz, 2006). Diare
dapat juga didefinisikan sebagai suatu kondisi dimana terjadi perubahan dalam kepadatan dan
karakter tinja, atau tinja cair dikeluarkan tiga kali atau lebih perhari. (Ramaiah,2002). Diare
merupakan salah satu gejala dari penyakit pada sistem gastrointestinal atau penyakit lain diluar
saluran pencernaan. (Ngastiyah, 2003). Jadi diare adalah buang air besar yang frekuensinya lebih
dari 3 kali sehari dengan konsistensi tinja yang encer.

2.1.2. Klasifikasi Diare


Klasifikasi diare berdasarkan lama waktu diare terdiri dari :
a. Diare akut
Diare akut yaitu buang air besar dengan frekuensi yang meningkat dan konsistensi tinja
yang lembek atau cair dan bersifat mendadak datangnya dan berlangsung dalam waktu kurang
dari 2 minggu. Menurut Depkes (2002), diare akut yaitu diare yang berlangsung kurang dari 14
hari tanpa diselang-seling berhenti lebih dari 2 hari. Berdasarkan banyaknya cairan yang
hilang dari tubuh penderita, gradasi penyakit diare akut dapat dibedakan dalam empat kategori,
yaitu: (1) Diare tanpa dehidrasi, (2) Diare dengan dehidrasi ringan, apabila cairan yang hilang
2-5% dari berat badan, (3) Diare dengan dehidrasi sedang, apabila cairan yang hilang berkisar
5-8% dari berat badan, (4) Diare dengan dehidrasi berat, apabila cairan yang hilang lebih dari
8-10%.
b. Diare persisten
Diare persisten adalah diare yang berlangsung 15-30 hari, merupakan kelanjutan dari
diare akut atau peralihan antara diare akut dan kronik.
c. Diare kronik
Diare kronis adalah diare hilang-timbul, atau berlangsung lama dengan penyebab non-
infeksi, seperti penyakit sensitif terhadap gluten atau gangguan metabolisme yang menurun.
Lama diare kronik lebih dari 30 hari. Menurut (Suharyono, 2008), diare kronik adalah diare
yang bersifat menahun atau persisten dan berlangsung 2 minggu lebih.
2.1.3. Etiologi
Etiologi diare dapat dibagi dalam beberapa faktor, yaitu :
a. Faktor Infeksi
1. Infeksi enteral
Infeksi enteral yaitu infeksi saluran pencernaan yang merupakan penyebab utama diare
pada anak. Infeksi parenteral ini meliputi:
(a) Infeksi bakteri: Vibrio, E.coli, Salmonella, Shigella, Campylobacter, Yersinia,
Aeromonas dan sebagainya.
(b) Infeksi virus: Enteroovirus (Virus ECHO, Coxsackie, Poliomyelitis), Adenovirus,
Rotavirus, Astrovirus dan lain-lain.
(c) Infestasi parasite : Cacing (Ascaris, Trichiuris, Oxyuris, Strongyloides), protozoa
(Entamoeba histolytica, Giardia lamblia, Trichomonas hominis), jamur
(candida albicans).
2. Infeksi parenteral
Infeksi parenteral yaitu infeksi dibagian tubuh lain diluar alat pencernaan, seperti Otitis
Media akut (OMA), Tonsilofaringitis, Bronkopneumonia, Ensefalitis dan sebagainya.
Keadaan ini terutama terdapat pada bayi dan anak berumur dibawah 2 tahun.

b. Faktor Malabsorbsi
1. Malabsorbsi karbohidrat
Disakarida (intoleransi laktosa, maltose dan sukrosa), monosakarida (intoleransi
glukosa, fruktosa dan galaktosa). Pada bayi dan anak yang terpenting dan tersering ialah
intoleransi laktrosa.
2. Malabsorbsi lemak
3. Malabsorbsi protein

c. Faktor makanan
Makanan basi, beracun, alergi terhadap makanan.

d. Faktor psikologis
Rasa takut dan cemas. Walaupun jarang dapat menimbulkan diare terutama pada anak
yang lebih besar.

e. Faktor Pendidikan
Menurut penelitian, ditemukan bahwa kelompok ibu dengan status pendidikan SLTP ke
atas mempunyai kemungkinan 1,25 kali memberikan cairan rehidrasi oral dengan baik pada
balita dibanding dengan kelompok ibu dengan status pendidikan SD ke bawah. Diketahui juga
bahwa pendidikan merupakan faktor yang berpengaruh terhadap morbiditas anak balita.
Semakin tinggi tingkat pendidikan orang tua, semakin baik tingkat kesehatan yang diperoleh si
anak.

f. Faktor pekerjaan
Ayah dan ibu yang bekerja Pegawai negeri atau Swasta rata-rata mempunyai pendidikan
yang lebih tinggi dibandingkan ayah dan ibu yang bekerja sebagai buruh atau petani. Jenis
pekerjaan umumnya berkaitan dengan tingkat pendidikan dan pendapatan. Tetapi ibu yang
bekerja harus membiarkan anaknya diasuh oleh orang lain, sehingga mempunyai risiko lebih
besar untuk terpapar dengan penyakit.

g. Faktor umur balita


Sebagian besar diare terjadi pada anak dibawah usia 2 tahun. Balita yang berumur 12-24
bulan mempunyai resiko terjadi diare 2,23 kali dibanding anak umur 25-59 bulan.

h. Faktor lingkungan
Penyakit diare merupakan merupakan salah satu penyakit yang berbasisi lingkungan.
Dua faktor yang dominan yaitu sarana air bersih dan pembuangan tinja. Kedua faktor ini akan
berinteraksi bersama dengan perilaku manusia. Apabila faktor lingkungan tidak sehat karena
tercemar kuman diare serta berakumulasi dengan perilaku manusia yang tidak sehat pula, yaitu
melalui makanan dan minuman, maka dapat menimbulkan kejadian penyakit diare.

i. Faktor Gizi
Diare menyebabkan gizi kurang dan memperberat diarenya. Oleh karena itu,
pengobatan dengan makanan baik merupakan komponen utama penyembuhan diare tersebut.
Bayi dan balita yang gizinya kurang sebagian besar meninggal karena diare. Hal ini
disebabkan karena dehidrasi dan malnutrisi. Faktor gizi dilihat berdasarkan status gizi yaitu
baik = 100-90, kurang = <90-70, buruk = <70 dengan BB per TB.

j. Faktor sosial ekonomi masyarakat


Sosial ekonomi mempunyai pengaruh langsung terhadap faktor-faktor penyebab diare.
Kebanyakan anak mudah menderita diare berasal dari keluarga besar dengan daya beli yang
rendah, kondisi rumah yang buruk, tidak mempunyai penyediaan air bersih yang memenuhi
persyaratan kesehatan.
k. Faktor makanan dan minuman yang dikonsumsi
Kontak antara sumber dan host dapat terjadi melalui air, terutama air minum yang tidak
dimasak dapat juga terjadi secara sewaktu mandi dan berkumur. Kontak kuman pada kotoran
dapat berlangsung ditularkan pada orang lain apabila melekat pada tangan dan kemudian
dimasukkan kemulut dipakai untuk memegang makanan. Kontaminasi alat-alat makan dan
dapur. Bakteri yang terdapat pada saluran pencernaan adalah bakteri Etamoeba colli,
salmonella, sigella. Dan virusnya yaitu Enterovirus, rota virus, serta parasite yaitu cacing
(Ascaris, Trichuris), dan jamur (Candida albikan).

l. Faktor terhadap Laktosa (susu kalemg)


Tidak memberikan ASI secara penuh 4-6 bulan pada pertama kehidupan. Pada bayi
yang tidak diberi ASI resiko untuk menderita diare lebih besar daripada bayi yang diberi ASI
penuh dan kemungkinan menderita dehidrasi berat juga lebih besar. Menggunakan botol susu
ini memudahkan pencemaran oleh kuman sehingga menyebabkan diare. Dalam ASI
mengandung antibody yang dapat melindungi kita terhadap berbagai kuman penyebab diare
seperti Sigella dan V. Cholerae.

2.1.4. Patogenesis
Mekanisme dasar yang menyebabkan timbulnya diare ialah:
a. Gangguan osmotik
Akibat terdapatnya makanan atau zat yang tidak dapat diserap akan menyebabkan
tekanan osmotic dalam rongga usus meninggi, sehingga terjadi pergeseran air dan elektrolit
kedalam rongga usus. Isi rongga usus yang berlebihan ini akan merangsang usus untuk
mengeluarkannya sehingga timbul diare.
Mukosa usus halus adalah epitel berpori, yang dapat dilewati air dan elektrolit dengan
cepat untuk mempertahankan tekanan osmotik antara isi usus dengan cairan ekstraseluler.
Diare terjadi jika bahan yang secara osmotic dan sulit diserap. Bahan tersebut berupa larutan
isotonik dan hipertonik. Larutan isotonik, air dan bahan yang larut didalamnya akan lewat
tanpa diabsorbsi sehingga terjadi diare. Bila substansi yang diabsorbsi berupa larutan
hipertonik, air, dan elektronik akan pindah dari cairan ekstraseluler kedalam lumen usus
sampai osmolaritas dari usus sama dengan cairan ekstraseluler dan darah,sehingga terjadi pula
diare.

b. Gangguan sekresi
Akibat rangsangan tertentu (misal oleh toksin) pada dinding usus akan terjadi
peningkatan sekresi air dan elektrolit kedalam rongga usus dan selanjutnya diare timbul
karena terdapat peningkatan isi rongga usus. Akibat rangsangan mediator abnormal misalnya
enterotoksin, menyebabkan villi gagal mengabsorbsi natrium, sedangkan sekresi klorida
disel epitel berlangsung terus atau meningkat. Hal ini menyebabkan peningkatan sekresi air
dan elektrolit kedalam rongga usus. Isi rongga usus yang berlebihan akan merangsang usus
mengeluarkannya sehingga timbul diare.
Diare mengakibatkan terjadinya:
(1) Kehilangan air dan elektrolit serta gangguan asam basa yang menyebabkan
dehidrasi, asidosis metabolik dan hypokalemia.
(2) Gangguan sirkulasi darah dapat berupa renjatan hipovolemik atau prarenjatan
sebagai akibat diare dengan atau tanpa disertai dengan muntah, perpusi jaringan
berkurang sehingga hipoksia dan asidosismetabolik bertambah berat, kesadaran
menurun dan bila tak cepat diobati penderita dapat meninggal.
(3) Gangguan gizi yang terjadi akibat keluarnya cairan yang berlebihan karena diare
dan muntah. Kadang-kadang orang tuanya menghentikan pemberian makanan
karena takut bertambahnya muntah dan diare pada anak atau bila makanan tetap
diberikan dalam bentuk diencerkan. Hipoglikemia akan sering terjadi pada anak
yang sebelumnya telah menderita malnutrisi atau bayi dengan gagal bertambah
berat badan, sehingga akibat hipoglikemia dapat terjadi edema otak yang dapat
menyebabkan kejang dan koma (Suharyono, 2008).

c. Gangguan motilitas usus


Hiperperistaltik akan mengakibatkan berkurangnya kesempatan usus untuk menyerap
makanan, sehingga timbul diare. Sebaliknya bila peristaltic usus menurun akan
mengakibatkan bakteri tumbuh berlebihan yang selanjutnya dapat menimbulkan diare pula.
Patogenesis diare akut adalah:
(a) Masuknya jasad renik yang msih hidup kedalam usus halus setelah berhasil
melewati rintangan asam lambung.
(b) Jasad renik tersebut berkembang biak (multiplikasi) didalam usus halus.
(c) Oleh jasad renik dikeluarkan toksin (toksin Diaregenik).
(d) Akibat toksin tersebut terjadi hipersekresi yang selanjutnya akan menimbulkan
diare.
Patogenesis Diare kronis: Lebih kompleks dan faktor-faktor yang menimbulkannya ialah
infeksi bakteri, parasit, malabsorbsi, malnutrisi dan lain-lain.
2.1.5. Patofisiologi
Gastroenteritis akut (Diare) adalah masuknya Virus (Rotavirus, Adenovirus enteritis),
bakteri atau toksin (Salmonella. E. colli), dan parasit (Biardia, Lambia). Beberapa
mikroorganisme pathogen ini me nyebabkan infeksi pada sel-sel, memproduksi enterotoksin
atau cytotoksin Penyebab dimana merusak sel-sel, atau melekat pada dinding usus pada
gastroenteritis akut. Penularan gastroenteritis bisa melalui fekal oral dari satu klien ke klien
lainnya. Beberapa kasus ditemui penyebaran pathogen dikarenakan makanan dan minuman yang
terkontaminasi.
Mekanisme dasar penyebab timbulnya diare adalah gangguan osmotik (makanan yang
tidak dapat diserap akan menyebabkan tekanan osmotik dalam rongga usus meningkat sehingga
terjadi pergeseran air dan elektrolit kedalam rongga usus, isi rongga usus berlebihan sehingga
timbul diare). Selain itu menimbulkan gangguan sekresi akibat toksin di dinding usus, sehingga
sekresi air dan elektrolit meningkat kemudian terjadi diare. Gangguan motilitas usus yang
mengakibatkan hiperperistaltik dan hipoperistaltik. Akibat dari diare itu sendiri adalah
kehilangan air dan elektrolit (dehidrasi) yang mengakibatkan gangguan asam basa (asidosis
metabolik dan hypokalemia), gangguan gizi (intake kurang, output berlebih), hipoglikemia dan
gangguan sirkulasi.
Sebagai akibat diare baik akut maupun kronis akan terjadi:
(a) Kehilangan air dan elektrolit (dehidrasi) yang mengakibatkan terjadinya gangguan
keseimbangan asam-basa (asidosis metabolik, hypokalemia dan sebagainya).
(b) Gangguan gizi sebagai akibat kelaparan (masukan makanan kurang, pengeluaran
bertambah).
(c) Hipoglikemia,
(d) Gangguan sirkulasi darah.

2.1.6. Manifestasi Klinis


Mula-mula bayi dan anak menjadi cengeng, gelisah, suhu tubuh biasanya meningkat,
nafsu makan berkurang atau tidak ada, kemudian timbul diare. Tinja cair dan mungkin disertai
lendir dan atau darah. Warna tinja makin lama berubah menjadi kehijau-hijauan karena
tercampur dengan empedu. Anus dan daerah sekitarnya lecet karena seringnya defekasi dan tinja
makin lama makin asam sebagai akibat makin banyaknya asam laktat yang berasal dari laktosa
yang tidak dapat diabsorbsi usus selama diare. Gejala muntah dapat terjadi sebelum atau
sesudah diare dan dapat disebabkan oleh lambung yang turut meradang atau akibat gangguan
keseimbangan asam-basa dan elektrolit. Bila penderita telah banyak kehilangan cairan dan
elektrolit, maka gejala dehidrasi makin tampak. Berat badan menurun, turgor kulit berkurang,
mata dan ubun-ubun membesar menjadi cekung, selaput lendir bibir dan mulut serta kulit
tampak kering. Berdasarkan banyaknya cairan yang hilang dapat dibagi menjadi dehidrasi
ringan, sedang, dan berat, sedangkan berdasarkan tonisitas plasma dapat dibagi menjadi dehidrasi
hipotonik, isotonik, dan hipertonik. (Mansjoer, 2009)

Table 2.1

Penentuan Derajat Dehidrasi WHO

No

Tanda
dan
Gejala

Dehidrasi
Ringan

Dehidrasi
Sedang

Dehidrasi Berat

Keadaan
Umum

Sadar,
gelisah, haus

Gelisah,
mengantuk

Mengantuk, lemas,
anggota gerak dingin,
berkeringat, kebiruan,
mungkin koma, tidak
sadar.

Denyut
nadi

Normal
kurang dari
120/menit

Cepat dan
lemah 120-
140/menit

Cepat, haus, kadang-


kadang tak teraba,
kurang dari 140/menit

Pernafasan

Normal

Dalam,
mungkin cepat

Dalam dan cepat

Ubun-
ubun besar

Normal
Cekung

Sangat cekung
No

Tanda
dan
Gejala

Dehidrasi
Ringan

Dehidrasi
Sedang

Dehidrasi Berat

Kelopak
mata

Normal

Cekung

Sangat cekung

Air mata

Ada

Tidak ada

Sangat kering

7
Selaput
lendir

Lembab

Kering

Sangat kering

Elastisitas
kulit

Pada
pencubitan
kulit secara
elastis
kembali
secara normal

Lambat

Sangat lambat (lebih


dari 2 detik)

Air seni
warnanya
tua

Normal

Berkurang

Tidak kencing
2.1.7. Epidemiologi

Penyebab diare ditinjau dari host, agent dan environment, yang diuraikan
sebagai berikut:

a. Host

Menurut Widjaja (2004), bahwa host yaitu diare lebih banyak terjadi
pada balita, dimana daya tahan tubuh yang lemah/menurun system
pencernaan dalam hal ini adalah lambung tidak dapat menghancurkan
makanan dengan baik dan kuman tidak dapat dilumpuhkan dan betah
tinggal di dalam lambung, sehingga mudah bagi kuman untuk
menginfeksi saluran pencernaan. Jika terjadi hal demikian, akan timbul
berbagai macam penyakit termasuk diare.
b. Agent

Agent merupakan penyebab terjadinya diare, sangatlah jelas yang


disebabkan oleh faktor infeksi karena faktor kuman, malabsorbsi dan
faktor makanan. Aspek yang paling banyak terjadi diare pada balita yaitu
infeksi kuman e.colli, salmonella, vibrio chorela (kolera) dan serangan
bakteri lain yang jumlahnya berlebih dan patogenik (memanfaatkan
kesempatan ketika kondisi lemah) pseudomonas. (Widjaja, 2004).

c. Environment

Faktor lingkungan sangat menentukan dalam hubungan interaksi


antara penjamu (host) dengan faktor agent. Lingkungan dapat dibagi
menjadi dua bagian utama yaitu lingkungan biologis (flora dan fauna
disekitar manusia) yang bersifat biotik: mikroorganisme penyebab
penyakit, reservoir penyakit infeksi (binatang, tumbuhan), vector
pembawa penyakit, tumbuhan dan binatang pembawa sumber bahan
makanan, obat, dan lainnya. Dan juga lingkungan fisik, yang bersifat
abiotic: yaitu udara, keadaan tanah, geografi, air dan zat kimia. Keadaaan
lingkungan yang sehat dapat ditunjang oleh sanitasi lingkungan yang
memenuhi syarat kesehatan dan kebiasaan masyarakat untuk Perilaku
Hidup Bersih dan Sehat (PHBS). Pencemaran lingkungan sangat
mempengaruhi perkembangan agent yang berdampak pada host
(penjamu) sehingga mudah untuk timbul berbagai macam penyakit,
termasuk diare.
2.1.8. Cara Penularan

Menurut junadi, purnawan dkk, (2002), bahwa penularan penyakit diare


pada balita biasanya melalui jalur fecal oral terutama karena: (1) Menelan
makanan yang terkontaminasi (makanan sapihan dan air). (2) Beberapa faktor
yang berkaitan dengan peningkatan kuman perut : (a) Tidak memadainya
penyediaan air bersih, (b) kekurangan sarana kebersihan dan pencemaran air oleh
tinja, (c) penyiapan dan penyimpanan makanan tidak secara semestinya.Cara
penularan penyakit diare adalah Air (water borne disease), makanan (food borne
disease), dan susu (milk borne disease). Menurut Budiarto (2002) bahwa secara
umum faktor resiko diare pada dewasa yang sangat berpengaruh terjadinya
penyakit diare yaitu faktor lingkungan (tersedianya air bersih, jamban keluarga,
pembuangan sampah, pembuangan air limbah), perilaku hidup bersih dan sehat,
kekebalan tubuh, infeksi saluran pencernaan, alergi, malabsorbsi, keracunan,
imunodefisiensi, serta sebab-sebab lain. Sedangkan menurut Sutono (2008)
bahwa pada balita faktor resiko terjadinya diare selain faktor intrinsic dan
ekstrinsik juga sangat dipengaruhi oleh perilaku ibu dan pengasuh balita karena
balita masih belum bisa menjaga dirinya sendiri dan sangat bergantung pada
lingkungannya. Dengan demikian apabila ibu balita atau ibu pengasuh balita
tidak bisa mengasuh balita dengan baik dan sehat maka kejadian diare pada balita
tidak dapat dihindari. Diakui bahwa faktor-faktor penyebab timbulnya diare tidak
berdiri sendiri, tetapi sangat kompleks dan sangat dipengaruhi oleh berbagai
faktor yang berkaitan satu sama lain, misalnya faktor gizi, sanitasi lingkungan,
keadaan social ekonomi, keadaan social budaya, serta faktor lainnya. Untuk
terjadinya diare sangat dipengaruhi oleh kerentanan tubuh, pemaparan terhadap
air yang tercemar, system pencernaan serta faktor infeksi itu sendiri. Kerentanan
tubuh sangat dipengaruhi oleh faktor genetik, status gizi, perumahan padat dan
kemiskinan.

2.1.9. Pencegahan Diare

Pengobatan diare dengan upaya rehidrasi oral, angka kesakitan bayi dan
anak balita yang disebabkan diare makin lama makin menurun. Menurut Suharti
(2007), bahwa kesakitan diare masih tetap tinggi ialah sekitar 400 per 1000
kelahiran hidup. Salah satu jalan pintas yang sangat ampuh untuk menurunkan
angka kesakitan suatu penyakit infeksi baik oleh virus maupun bakteri. Untuk
dapat membuat vaksin secara baik, efisien, dan efektif diperlukan pengetahuan
mengenai mekanisme kekebalan tubuh pada umumnya terutama kekebalan
saluran pencernaan makanan.

1. Pemberian ASI

ASI adalah makanan paling baik untuk bayi, komponen zat makanan
tersedia dalam bentuk yang ideal dan seimbang untuk dicerna dan diserap
secara optimal oleh bayi. ASI saja sudah cukup untuk menjaga
pertumbuhan sampai umur 4-6 bulan, tidak ada makanan lain yang
dibutuhkan selama masa ini. Menurut Supariasa dkk (2002), bahwa ASI
adalah makanan bayi yang paling alamiah, sesuai dengan kebutuhan gizi
bayi dan mempunyai nilai proteksi yang tidak bisa ditiru oleh pabrik susu
manapun. Tetapi pada pertengahan abad ke-18 berbagai pernyataan
penggunaan air susu binatang belum mengalami berbagai modifikasi.
Pada permulaan abad ke-20 sudah dimulai produksi secara masal susu
kaleng yang berasal dari air susu sapi sebagai pengganti ASI. ASI steril
berbeda dengan sumber susu lain, susu formula, atau cairan lain disiapkan
dengan air atau bahan-bahan yang terkontaminasi dalam botol yang kotor.
Pemberian ASI saja tanpa cairan atau makanan lain dan tanpa
menggunakan botol, menghindarkan anak dari bahaya bakteri dan
organisme lain yang akan menyebabkan diare. Keadaan ini disebut
disusui secara penuh. Menurut Sulastri (2009), bahwa bayi-bayi harus
disusui secara penuh sampai mereka berumur 4-6 bulan, setelah 6 bulan
dari kehidupannya, pemberian ASI harus diteruskan sambil ditambahkan
dengan makanan lain (proses menyapih). ASI mempunyai khasiat
preventif secara imunologik dengan adanya antibody dan zat-zat lain
yang dikandungnya, ASI turut memberikan perlindungan terhadap diare.
Pada bayi yang baru lahir, pemberian ASI secara penuh mempunyai daya
lindung 4x lebih besar terhadap diare daripada pemberian ASI yang
disertai dengan susu botol.

2. Makanan pendamping ASI

Pemberian makanan pendamping ASI adalah saat bayi secara bertahap


mulai dibiasakan dengan makanan orang dewasa. Menurut Supariasa dkk
(2002) bahwa pda masa tersebut merupakan masa yang berbahaya bagi
bayi sebab perilaku pemberian makanan pendamping ASI dapat
menyebabkan meningkatnya resiko terjadinya diare ataupun penyakit lain
yang menyebabkan kematian. Perilaku pemberian makanan pendamping
ASI yang baik meliputi perhatian terhadap kapan, apa, dan bagaimana
makanan pendamping ASI diberikan. Untuk itu menurut Shulman dkk
(2004) bahwa ada beberapa saran yang dapat meningkatkan cara
pemberian makanan pendamping ASI yang lebih baik, yaitu (1)
perkenalkan makanan lunak, ketika anak berumur 4-6 bulan tetapi
teruskan pemberian ASI. Tambahkan macam makanan sewaktu anak
berumur 6 bulan atau lebih. Berikan makanan lebih sering (4x sehari),
setelah anak berumur 1 tahun, berikan semua makanan yang dimasak
dengan baik, 4 - 6x sehari, teruskan pemberian ASI bila mungkin. (2)
Tambahkan minyak, lemak, gula, kedalam nasi/bubur dan biji-bijian
untuk energy. Tambahkan hasil olahan susu, telur, ikan, daging, kacang-
kacangan, buah-buahan dan sayuran berwarna hijau kedalam
makanannya. (3) Cuci tangan sebelum menyiapkan makanan dan
menyuapi anak, suapi anak dengan sendok yang bersih. (4) Masak atau
rebus makanan dengan benar, simpan sisanya pada tempat yang dingin
dan panaskan dengan benar sebelum diberikan kepada anak.

3. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat

Menurut Departemen Kesehatan RI (2002) bahwa untuk melakukan


pola perilaku hidup bersih dan sehat dilakukan beberapa penilaian antara
lain adalah (1) penimbangan balita. Apabila ada balita pertanyaannya
adalah apakah sudah ditimbang secara teratur keposyandu minimal 8 kali
setahun, (2) Gizi, anggota keluarga makan dengan gizi seimbang, (3) Air
bersih, keluarga menggunakan air bersih (PAM, sumur) untuk keperluan
sehari-hari, (4) Jamban keluarga, keluarga buang air besar dijamban/WC
yang memenuhi syarat kesehatan, (5) Air yang diminum dimasak terlebih
dahulu, (6) Mandi menggunakan sabun mandi, (7) Selalu cuci tangan
sebelum makan dengan menggunakan sabun, (8) Pencucian peralatan
menggunakan sabun, (9) Limbah, (10) Terhadap faktor bibit penyakit
yaitu (a) Membrantas sumber penularan penyakit, baik dengan mengobati
penderita maupun carrier atau dengan meniadakan reservoir penyakit, (b)
Mencegah terjadinya penyebaran kuman, baik ditempat umum maupun
dilingkungan rumah, (c) Meningkatkan taraf hidup rakyat, sehingga dapat
memperbaiki dan memelihara kesehatan, (d) Terhadap faktor lingkungan,
mengubah atau mempengaruhi faktor lingkungan hidup sehingga faktor-
faktor yang tidak baik dapat diawasi sedemikian rupa sehingga tidak
membahayakan kesehatan manusia.

2.1.10. Penatalaksaan

Prinsip penatalaksanaan diare menurut RI antara lain dengan rehidrasi,


nutrisi, medikamentosa, (a) Dehidrasi, diare cair membutuhkan pengganti cairan
dan elektrolit tanpa melihat etiologinya. Jumlah cairan yang diberi harus sama
dengan jumlah yang telah hilang melalui diare dan atau muntah, ditambah
dengan banyaknya cairan yang hilang melalui keringat, urin, pernafasan, dan
ditambah dengan banyaknya cairan yang hilang melalui tinja dan muntah yang
masih terus berlangsung. Jumlah ini tergantung pada derajat dehidrasi serta berat
masing-masing anak atau golongan umur, (b) Nutrisi. Makanan harus diteruskan
bahkan ditingkatkan selama diare untuk menghindari efek buruk pada status gizi.
Agar pemberian diet pada anak dengan diare akut dapat memenuhi tujuannya,
serta memperhatikan faktor yang mempengaruhi gizi anak, maka diperlukan
persyaratan diet sebagai berikut yakni pasien segera diberikan makanan oral
setelah rehidrasi yakni 24 jam pertama, makanan cukup energy dan protein,
makanan tidak merangsang, makanan diberikan bertahap mulai dengan yang
mudah dicerna, makanan diberikan dalam porsi kecil dengan frekuensi sering.
Pemberian ASI diutamakan pada bayi, pemberian cairan dan elektrolit sesuai
kebutuhan, pemberian vitamin dan mineral dalam jumlah yang cukup, (c)
Medikamentosa. Antobiotik dan antiparasit tidak boleh digunakan secara rutin,
obat-obat anti diare meliputi antimotilitas seperti loperamid, difenoksilat, kodein,
opium, adsorben seperti norit, kaolin, attapulgit, anti muntah termasuk
prometazin dan kloropomazin.

Berdasarkan derajat dehidrasi maka terapi pada penderita diare dibagi


menjadi tiga yaitu rencana pengobatan A, B, dan C yang diuraikan sebagai
berikut:
a. Rencana pengobatan A

Rencana pengobatan A digunakan untuk mengatasi diare tanpa


dehidrasi, meneruskan terapi diare dirumah, memberikan terapi awal bila
anak terkena diare lagi. Cairan rumah tangga yang dianjurkan seperti
oralit, makanan cair, air matang. Gunakanlah larutan untuk anak seperti
dijelaskan dalam tabel berikut:

Tabel 2.2

kebutuhan Oralit Per Kelompok Umur

Umur
(Tahun)

3 jam pertama atau tidak haus


atau sampai tidak gelisah lagi

Selanjutnya tiap kali


mencret

<1

1 gelas

gelas

1-5

3 gelas

1 gelas

>5

6 Gelas
4 Gelas

b. Rencana pengobatan B

Digunakan untuk mengatasi diare dengan derajat dehidrasi ringan dan


sedang dengan cara 3 jam pertama diberikan 75ml/kg BB, berat badan
anak tidak diketahui, berikan oralit paling sedikit sesuai tabel berikut:

Tabel 2.3

Jumlah Oralit yang diberikan pada 3 jam pertama

Umur

<1 Tahun

1 5 Tahun

>5 tahun

Jumlah oralit

300

600

1200
Berikan anak yang menginginkan lebih banyak oralit, dorong juga ibu
untuk meneruskan ASI. Bayi kurang dari 6 bulan yang tidak mendapatkan
ASI, berikan juga 100-200ml air masak. Setelah 3-4 jam, nilai kembali
anak menggunakan bagan penilaian, kemudian pilih rencana A, B, dan C
untuk melanjutkan.

c. Rencana pengobatan C

Rencana pengobatan C digunakan untuk mengatasi diare dengan


derajat berat. Pertama-tama berikan cairan intravena, nilai setelah 3 jam.
Jika keadaan anak sudah cukup baik maka berikan oralit. Setelah 1-3 jam
berikutnya nilai ulang anak dan pilihlah rencana pengobatan yang sesuai.

2.1.11. Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium dari diare adalah:

a. Pemeriksaan tinja
b. Makroskopis dan mikroskopis
c. pH dan kadar gula dalam tinja dengan kertas lakmus dan tablet clinitest,
bila diduga terdapat intoleransi gula.
d. Bila perlu dilakukan pemeriksaan biakan dan uji resistensi.
e. Pemeriksaan gangguan keseimbangan asam-basa dalam darah, dengan
menentukan pH dan cadangan alkali atau lebih tepat lagi dengan
pemeriksaan analisa gas darah menurut ASTRUP (bila memungkinkan).
f. Pemeriksaan kadar ureum dan kreatinin untuk mengetahui faal ginjal.
g. Pemeriksaan elektrolit terutama kadar natrium, kalium, kalsium dan
fosfor dalam serum (terutama pada penderita diare yang disertai kejang).
h. Pemeriksaan intubasi duodenum untuk mengetahui jenis jasad renik atau
parasite secara kualitatif dan kuantitatif, terutama dilakukan pada
penderita diare kronik.
2.1.12. Penanganan Diare

Hal pertama yang harus diperhatikan dalam penanggulangan diare adalah


masalah kehilangan cairan yang berlebihan (dehidrasi). Dehidrasi ini bila tidak
segera diatasi dapat membawa bahaya terutama bagi balita dan anak-anak. Bagi
penderita diare ringan diberikan oralit, tetapi bila dehidrasi berat maka perlu
dibantu dengan cairan intravena atau infus. Hal yang tidak kalah penting dalam
menanggulangi kehilangan cairan tubuh adalah pemberian makanan kembali
(refeeding) sebab selama diare pemasukan makanan akan sangat kurang karena
akan kehilangan nafsu makan dan kehilangan makanan secara langsung melalui
tinja atau muntah dan peningkatan metabolisme selama sakit. (sitorus, 2008).

2.1.13. Komplikasi

Sebagai akibat kehilangan cairan dan elektrolit secara mendadak, dapat


terjadi berbagai macam komplikasi seperti:

a. Dehidrasi (ringan, sedang, berat, hipotonik, isotonic atau hipertonik).


b. Renjatan hipovolemik
c. Hypokalemia (dengan gejala meteorismus, hipotoni otot, lemah,
bradikardia, perubahan pada elektrokardiogram).
d. Hipoglikemia.
e. Intoleransi laktosa sekunder, sebagai akibat defisiensi enzim lactase
karena kerusakan vili mukosa usus halus.
f. Kejang, terutama pada dehidrasi hipertonik.
g. Malnutrisi energy protein, karena selain diare dan muntah penderita juga
mengalami kelaparan.
2.2. Konsep Balita

Balita adalah anak dengan usia dibawah 5 tahun dengan karakteristik


pertumbuhan yakni pertumbuhan cepat pada usia 0-1 tahun dimana umur 5 bulan
BB naik 2x BB lahir dan 3x BB lahir pada umur 1 tahun dan menjadi 4x pada
umur 2 tahun. Pertumbuhan mulai lambat pada masa pra sekolah kenaikan BB
kurang lebih 2 kg/ tahun, kemudian pertumbuhan konstan mulai berakhir.
(Soetjiningsih, 2001).

Balita merupakan istilah yang berasal dari kependekan kata bawah lima
tahun. Istilah ini cukup populer dalam program kesehatan. Balita merupakan
kelompok usia tersendiri yang menjadi sasaran program KIA (Kesehatan Ibu dan
Anak) di lingkup Dinas Kesehatan. Balita merupakan masa pertumbuhan tubuh
dan otak yang sangat pesat dalam pencapaian keoptimalan fungsinya. Periode
tumbuh kembang anak adalah masa balita, karena pada masa ini pertumbuhan
dasar yang akan mempengaruhi dan menentukan perkembangan kemampuan
berbahasa, kreatifitas, kesadaran sosial, emosional dan intelegensia berjalan
sangat cepat dan merupakan landasan perkembangan berikutnya (supartini,
2004).
Bawah Lima Tahun atau sering disingkat sebagai balita, merupakan salah
satu periode usia manusia setelah bayi sebelum anak awal. Rentang usia balita
dimulai dari satu sampai dengan lima tahun, atau bisa digunakan perhitungan
bulan yaitu usia 12-60 bulan. Periode usia ini disebut juga sebagai usia
prasekolah (Wikipedia, 2009). sebagai berikut:

a. Perkembangan fisik

Di awal balita, pertambahan berat badan Balita merupakan singkatan


bawah lima tahun, satu periode usia manusia dengan rentang usia dua
hingga lima tahun, ada juga yang menyebut dengan periode usia
prasekolah. Pada fase ini anak berkembang dengan sangat pesat
(Choirunisa, 2009 : 10). Pada periode ini, balita memiliki ciri khas
perkembangan menurun disebabkan banyaknya energi untuk bergerak.

b. Perkembangan Psikologi

Dari sisi psikomotor, balita mulai terampil dalam pergerakannya


(lokomotion), seperti berlari, memanjat, melompat, berguling, berjinjit,
menggenggam, melempar yang berguna untuk mengelola keseimbangan
tubuh dan mempertahankan rentang atensi. Pada akhir periode balita
kemampuan motorik halus anak juga mulai terlatih seperti meronce,
menulis, menggambar, menggunakan gerakan pincer yaitu memegang
benda dengan hanya menggunakan jari telunjuk dan ibu jari seperti
memegang alat tulis atau mencubit serta memegang sendok dan
menyuapkan makanan kemulutnya, mengikat tali sepatu. Dari sisi
kognitif, pemahaman terhadap obyek telah lebih ajeg. Kemampuan
bahasa balita tumbuh dengan pesat. Pada periode awal balita yaitu usia
dua tahun kosa kata rata-rata balita adalah 50 kata, pada usia lima tahun
telah menjadi diatas 1000 kosa kata. Pada usia tiga tahun balita mulai
berbicara dengan kalimat sederhana berisi tiga kata dan mulai
mempelajari tata bahasa dari bahasa ibunya (Choirunisa, 2009 : 10).

c. Komunikasi pada balita

Karakteristik anak usia balita (terutama anak usia dibawah 3 tahun atau
todler) sangat egosentris. Selain itu, anak juga mempunyai perasaan takut
pada ketidaktahuannya sehingga anak perlu diberi tahu tentang apa yang
akan terjadi pada dirinya.

Aspek bahasa, anak belum mampu berbicara secara fasih, oleh karena
itu, saat menjelaskan, gunakan kata yang sederhana, singkat, dan gunakan
istilah yang dikenalnya. Posisi tubuh yang baik saat berbicara pada anak
adalah jongkok, duduk di kursi kecil, atau berlutut sehingga pandangan
mata kita akan sejajar dengannya. Satu hal yang akan mendorong anak
untuk meningkatkan kemampuan dalam berkomunikasi adalah dengan
memberikan pujian atas apa yang telah dicapainya atau ditunjukkannya
terhadap orang tuanya (Supartini, 2004).
2.3. Tinjauan Umum Tentang Faktor-faktor Yang Berhubungan Dengan
Kejadian Diare Akut Pada Balita

Faktor-faktor yang berhubungan yaitu

a. Faktor lingkungan

Sejak pertengahan abad ke-15 para ahli kedokteran telah menyebutkan


bahwa tingkat kesehatan masyarakat dipengaruhi oleh beberapa faktor.
Menurut model segitiga epidemiologi, suatu penyakit timbul akibat
beroperasinya faktor agen, host dan lingkungan. Menurut model roda
timbulnya penyakit sangat tergantung dari lingkungan (Mukono, 1995).
Faktor lingkungan merupakan faktor yang sangat penting terhadap
timbulnya berbagai penyakit tertentu, sehingga untuk memberantas
penyakit menular diperlukan upaya perbaikan lingkungan (Trisnanta,
1995). Melalui faktor lingkungan, seseorang yang keadaan fisik atau daya
tahannya terhadap penyakit kurang, akan mudah terserang penyakit
(Slamet, 1994). Penyakit-penyakit tersebut seperti diare, kholera, campak,
demam berdarah dengue, difteri, pertusis, malaria, influenza, hepatitis,
tifus dan lain-lain yang dapat ditelusuri determinan-determinan
lingkungannya (Noerolandra, 1999).

Salah satu penyebab diare adalah faktor lingkungan dimana


terdapatnya air dan makanan yang tidak sehat sehingga menimbulkan
diare. Sumber dari pencemaran air biasanya kotoran dalam air bekas
cucian atau bekas mandi atau kurangnya kakus yang baik. Air yang
diperoleh dari perusahaan air minum negara maupun air bersih karena
diawasi terus menerus. Tetapi jika sumber air milik kita sendiri misalnya
sumur dilingkungan rumah atau aliran air yang lewat didekat rumah
biasanya mudah tercemar. Penyebab melalui air atau makanan dari orang
keorang atau kontak langsung dari tinja dapat menyebabkan timbulnya
diare selain faktor-faktor yang mempengaruhi terjadi penularan
diantaranya air bersih, fasilitas sanitasi dan kebiasaan yang tidak sehat.

Pada faktor lingkungan ini meliputi:

a. Sumber air

Air adalah salah satu kebutuhan pokok hidup manusia, bahkan


hampir 70% tubuh manusia mengandung air. Air dipakai untuk
keperluan makan, minum, mandi, dan pemenuhan kebutuhan yang
lain, maka untuk keperluan tersebut WHO menetapkan kebutuhan
per orang per hari untuk hidup sehat 60 liter. Selain dari peranan air
sebagai kebutuhan pokok manusia, juga dapat berperan besar dalam
penularan beberapa penyakit menular termasuk diare.

Sumber air yang digunakan masyarakat adalah air permukaaan


yang merupakan air sungai, dan danau. Air tanah yang tergantung
kedalamannya bisa disebut air tanah dangkal atau air tanah dalam.
Syarat air minum ditentukan oleh syarat fisik, kimia dan
bakteriologis. Syarat fisik yakni, air tidak berwarna, tidak berasa,
tidak berbau, jernih dengan suhu sebaiknya di bawah suhu udara
sehingga terasa nyaman. Syarat kimia yakni, air tidak mengandung
zat kimia atau mineral yang berbahaya bagi kesehatan misalnya
CO2, H2S, NH4. Syarat bakteriologis yakni, air tidak mengandung
bakteri E. coli yang melampaui batas yang ditentukan, kurang dari
setiap 100 cc air. Pada prinsipnya semua air dapat diproses menjadi
air minum. Sumber-sumber air ini antara lain : air hujan, mata air,
air sumur dangkal, air sumur dalam, air sungai & danau.

Untuk mencegah terjadinya diare maka air bersih harus diambil


dari sumber yang terlindungi atau tidak terkontaminasi. Sumber air
bersih harus jauh dari kandang ternak dan kakus paling sedikit 10
meter dari sumber air. Air harus ditampung dalam wadah yang
bersih dan untuk minum harus dimasak. Masyarakat yang
terjangkau oleh penyediaan air bersih mempunyai resiko menderita
diare lebih kecil bila dibandingkan dengan masyarakat yang tidak
mendapatkan air bersih.

b. Tempat pembuangan kotoran manusia (tinja)

Kotoran manusia / tinja adalah semua benda atau zat yang tidak
dipakai lagi oleh tubuh dan harus dikeluarkan dari dalam tubuh
seperti tinja, air seni dan CO2. Pembuangan tinja merupakan bagian
penting dari kesehatan lingkungan. pembuangan tinja yang tidak
tepat dapat berpengaruh langsung terhadap insiden penyakit tertentu
yang penularannya melalui tinja antara lain penyakit diare. Masalah
pembuangan kotoran manusia merupakan masalah pokok karena
kotoran manusia adalah sumber penyebaran penyakit yang
multikompleks. Beberapa penyakit yang dapat disebarkan oleh tinja
manusia antara lain : tipus, diare, disentri, kolera, bermacam-
macam cacing seperti cacing gelang, kremi, tambang, pita,
schistosomiasis.

Keluarga yang tidak memiliki jamban harus membuat jamban


dan keluarga harus membuang air besar dijamban. Jamban harus
dijaga dengan mencucinya dengan teratur, jika tidak ada jamban
maka anggota keluarga harus membuang air besar jauh dari rumah,
jalan, dan daerah anak bermain dan paling kurang 10 meter dari air
bersih. Untuk menjaga kontaminasi tinja terhadap lingkungan, maka
pembuangan kotoran manusia harus dikelola dengan baik. Suatu
jamban memenuhi syarat kesehatan apabila memenuhi syarat
kesehatan tidak mengotori permukaan tanah, tidak mengotori air
permukaan, tidak mengotori air tanah, kotoran tidak boleh terbuka
sehingga dapat dipergunakan oleh lalat untuk bertelur atau
berkembang biak, kakus harus terlindung atau tertutup,
pembuatannya mudah dan murah (Notoatmodjo, 2003). Tempat
pembuangan tinja yang tidak memenuhi syarat sanitasi akan
meningkatkan resiko terjadinya diare berdarah pada anak balita
sebesar dua kali lipat dibandingkan keluarga yang mempunyai
kebiasaan membuang tinjanya yang memenuhi syarat sanitasi
(Wibowo, 2003). Menurut hasil penelitian Irianto, bahwa anak
balita berasal dari keluarga yang menggunakan jamban (kasus)
yang dilengkapi dengan tangki septik, prevalensi diare 7,4% terjadi
dikota dan 7,2% didesa. Sedangkan keluarga yang menggunakan
kakus tanpa tangki septik 12,1% diare terjadi dikota dan 8,9%
didesa. Kejadian diare tertinggi terdapat pada keluarga yang
mempergunakan sungai sebagai tempat pembuangan tinja, yaitu
17,0% dikota dan 12,7% didesa. Bangunan kakus yang memenuhi
syarat kesehatan terdiri dari : rumah kakus, lantai kakus, sebaiknya
semen, slab, closet tempat feses masuk, pit sumur penampungan
feses atau cubluk, bidang resapan, bangunan jamban ditempatkan
pada lokasi yang tidak mengganggu pandangan, tidak menimbulkan
bau, disediakan alat pembersih seperti air atau kertas pembersih.

Jenis kakus antara lain (Notoatmodjo, 2003) : (a) Pit privy


(cubluk), Lubang dengan diameter 80-120 cm sedalam 2,5-8 m.
Dinding diperkuat dengan batu-bata, hanya dapat dibuat di tanah
atau dengan air tanah dalam. (b) Angsatrine, Closetnya berbentuk
leher angsa sehingga selalu terisi air. Fungsinya sebagai sumbat
sehingga bau busuk tidak keluar. (c) Bored hole latrine, Seperti
cubluk, hanya ukurannya kecil, karena untuk sementara. Jika penuh
dapat meluap sehingga mengotori air permukaan. (d) Overhung
latrine, Rumah kakusnya dibuat di atas kolam, selokan, kali, rawa
dan lain-lain. Feses dapat mengotori air permukaan. (e) Jamban
cempung, kakus ( Pit Latrine ), Jamban cemplung kurang sempurna
karena tanpa rumah jamban dan tanpa tutup. Sehingga serangga
mudah masuk dan berbau, dan jika musim hujan tiba maka jamban
akan penuh oleh air. Dalamnya kakus 1,5-3 meter, jarak dari
sumber air minum sekurang-kurangnya 15 meter. (f) Jamban
empang ikan (fishpond latrine), Jamban ini dibangun di atas
empang ikan. Di dalam sistem ini terjadi daur ulang, yakni tinja
dapat dimakan ikan, ikan dimakan orang dan selanjutnya orang
mengeluarkan tinja yang dimakan, demikian seterusnya.

c. Pembuangan sampah

Sampah adalah semua zat atau benda yang sudah tidak terpakai
baik yang berasal dari rumah tangga atau hasil proses industri.
Jenis- jenis sampah antara lain, yakni sampah an-organik, adalah
sampah yang umumnya tidak dapat membusuk, misalnya:
logam/besi, pecahan gelas, plastik. Sampah organik, adalah sampah
yang pada umumnya dapat membusuk, misalnya : sisa makanan,
daun-daunan, buah-buahan. Cara pengolahan sampah antara lain
sebagai berikut: (Notoatmodjo, 2003).
1. Pengumpulan dan pengangkutan sampah

Pengumpulan sampah diperlukan tempat sampah yang


terbuat dari bahan yang mudah dibersihkan, tidak mudah
rusak, harus tertutup rapat, ditempatkan di luar rumah.
Pengangkutan dilakukan oleh dinas pengelola sampah ke
tempat pembuangan akhir (TPA).

2. Pemusnahan dan pengelolaan sampah

Dilakukan dengan berbagai cara yakni, ditanam (Landfill),


dibakar (Inceneration), dijadikan pupuk (Composting).

d. Lingkungan Perumahan

Keadaan perumahan adalah salah satu faktor yang menentukan


keadaan higiene dan sanitasi lingkungan. Adapun syarat-syarat
rumah yang sehat ditinjau dari ventilasi, cahaya, luas bangunan
rumah, Fasilitas-fasilitas di dalam rumah sehat sebagai berikut :
(Notoatmodjo, 2003). (1) Ventilasi, Fungsi ventilasi adalah untuk
menjaga agar aliran udara di dalam rumah tersebut tetap segar dan
untuk membebaskan udara ruangan dari bakteri-bakteri, terutama
bakteri patogen.. Luas ventilasi kurang lebih 15-20 % dari luas
lantai rumah. (2) Cahaya, Rumah yang sehat memerlukan cahaya
yang cukup, kurangnya cahaya yang masuk ke dalam ruangan
rumah, terutama cahaya matahari disamping kurang nyaman, juga
merupakan media atau tempat baik untuk hidup dan
berkembangnya bibit penyakit. Penerangan yang cukup baik siang
maupun malam 100-200 lux. (3) Luas bangun rumah, Luas
bangunan yang optimum adalah apabila dapat menyediakan 2,5-3
m2 untuk tiap orang. Jika luas bangunan tidak sebanding dengan
jumlah penghuni maka menyebabkan kurangnya konsumsi O2,
sehingga jika salah satu penghuni menderita penyakit infeksi maka
akan mempermudah penularan kepada anggota keluarga lain. (4)
Fasilitas-fasilitas dalam rumah sehat, Rumah yang sehat harus
memiliki fasilitas seperti penyediaan air bersih yang cukup,
pembuangan tinja, pembuangan sampah, pembuangan air limbah,
fasilitas dapur, ruang berkumpul keluarga, gudang, kandang ternak.

e. Air Limbah

Air limbah adalah sisa air yang dibuang yang berasal dari rumah
tangga, industri dan pada umumnya mengandung bahan atau zat
yang membahayakan. Sesuai dengan zat yang terkandung di dalam
air limbah, maka limbah yang tidak diolah terlebih dahulu akan
menyebabkan gangguan kesehatan masyarakat dan lingkungan
hidup antara lain limbah sebagai media penyebaran berbagai
penyakit terutama kolera, diare, typus, media berkembangbiaknya
mikroorganisme patogen, tempat berkembangbiaknya nyamuk,
menimbulkan bau yang tidak enak serta pemandangan yang tidak
sedap, sebagai sumber pencemaran air permukaan tanah dan
lingkungan hidup lainnya, mengurangi produktivitas manusia,
karena bekerja tidak nyaman (Notoatmodjo, 2003).

Usaha untuk mencegah atau mengurangi akibat buruk tersebut


diperlukan kondisi, persyaratan dan upaya sehingga air limbah
tersebut tidak mengkontaminasi sumber air minum, tidak
mencemari permukaan tanah, tidak mencemari air mandi, air
sungai, tidak dihinggapi serangga, tikus dan tidak menjadi tempat
berkembangbiaknya bibit penyakit dan vektor, tidak terbuka kena
udara luar sehingga baunya tidak mengganggu.

b. Faktor pengetahuan ibu

Pengalaman atau pengetahuan yang dimiliki seorang ibu merupakan


faktor yang sangat berperan dalam menginterpretasikan suatu rangsangan
yang diperoleh. Pengalaman masa lalu akan menyebabkan terjadinya
perbedaan dalam interpretasi, sebelum seseorang mengadobsi perilaku
baru, harus tahu terlebih dahulu apa arti atau manfaat perilaku tersebut
bagi dirinya atau keluarganya (Notoatmodjo, 2005).

Pengetahuan dan sikap ibu sangat berpengaruh dalam terjadinya diare


pada anak balita. Bila pengetahuan ibu baik, ibu akan mengetahui cara
merawat anak yang menderita diare dirumah dan berobat atau merujuk
kesarana kesehatan. Pengetahuan merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi perilaku seseorang. Pengetahuan berpengaruh terhadap
praktik, baik secara langsung maupun tidak langsung, melalui perantara
sikap. Praktik seseorang dibentuk oleh interaksi individu dengan
lingkungan, khususnya yang menyangkut pengetahuan dan sikap terhadap
objek. Dengan demikian, ibu yang kurang baik sikapnya dalam
penatalaksanaan diare tidak mendukung praktik ibu dalam
penatalaksanaan diare.

Pada faktor Pengetahuan ibu ini meliputi:

a. Umur

Semakin lanjut usia seseorang semakin meningkat pula


kedewasaan tehnisnya, demikian pula psikologis serta menunjukan
kematangan jiwa. Usia yang semakin meningkat akan meningkat
pula kebijaksanaan kemampuan seseorang dalam mengambil
keputusan, berfikir rasional, mengendalikan emosi, dan bertoleransi
terhadap pandangan orang lain, sehingga berpengaruh terhadap
peningkatan motivasinya.

b. Pendidikan

Pendidikan adalah proses dimana seseorang mengembangkan


kemampuan sikap dan bentuk-bentuk tingkah laku lainnya didalam
masyarakat dimana ia hidup, proses sosial dimana orang
dihadapkan pada pengaruh lingkungan yang terpilih dan terkontrol
(khususnya yang datang dari sekolah), sehingga ia dapat
memperoleh atau mengalami perkembangan kemampuan sosial dan
kemampuan individu yang optimum (Ihsan, 1997). Tingginya angka
kesakitan dan kematian karena diare di Indonesia disebabkan oleh
faktor kesehatan lingkungan yang belum memadai, keadaan gizi,
kependudukan, pendidikan, keadaan sosial ekonomi, dan perilaku
masyarakat yang secara langsung ataupun tidak langsung
mempengaruhi keadaan penyakit diare (Depkes RI, 1995).

Hasil penelitian didapatkan bahwa kelompok ibu dengan tingkat


pendidikan SLTP keatas, mempunyai kemungkinan 1,6 kali lebih
baik dalam memberikan cairan rehidrasi pada balita, bila
dibandingkan dengan kelompok ibu yang tingkat pendidikannya SD
kebawah. Penelitian Wibowo dkk (2002), menunjukan bahwa
23,8% kejadian diare pada anak balita yang ibunya memiliki tingkat
pengetahuan tentang diare dengan kategori kurang. Berdasarkan
tingkat pendidikan ibu, balita yang memiliki ibu dengan pendidikan
rendah (SLTA bawah) lebih berisiko menderita diare daripada
balita dengan ibu berpendidikan tinggi.

c. Kebiasaan ibu mencuci tangan

Diare merupakan salah satu penyakit yang penularannya


berkaitan dengan penerapan peilaku hidup bersih dan sehat.
Sebagian besar kuman infeksius penyebab diare ditularkan melalui
jalur oral . kuman-kuman tersebut ditularkan dengan perantara air
atau bahan yang tercemar tinja yang mengandung mikroorganisme
patogen dengan melalui air minum. Pada penularan seperti ini,
tangan memegang peranan penting, karena lewat tangan yang tidak
bersih makanan atau minuman tercemar kuman penyakit masuk
ketubuh manusia.

Pemutusan rantai penularan penyakit seperti ini sangat


berhubungan dengan penyediaan fasilitas yang dapat menghalangi
pencemaran sumber perantara oleh tinja serta menghalangi
masuknya sumber perantara tersebut kedalam tubuh melalui mulut.
Kebiasaan mencuci tangan pakai sabun adalah perilaku sangat
penting bagi upaya mencegah diare. Kebiasaan mencuci tangan
diterapakan setelah buang air besar, setelah menangani tinja anak,
sebelum makan atau memberi makan anak dan sebelum
menyiapkan makanan. Kejadian diare makanan terutama yang
berhubungan langsung dengan makanan anak seperti botol susu,
cara menyimpan makanan serta tempat keluarga membuang tinja
anak. Hubungan kebiasaan mencuci tangan dengan kejadian diare
dikemukakan oleh Bozkurt et al (2003) diturki, orang tua yang tidak
mempunyai kebiasaan mencuci tangan sebelum merawat anak, anak
mempunyai risiko lebih besar terkena diare dan juga mendapatkan
adanya hubungan antara kebiasaan mencuci tangan ibu dengan
kejadian diare pada balita dan anak.
c. Faktor sosial ekonomi masyarakat

Kemiskinan didefinisikan sebagai suatu tingkat kekurangan materi


pada sejumlah orang dibandingkan dengan standar kehidupan yang umum
berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Kemiskinan bukan semata-
mata kekurangan dalam ukuran ekonomi, tapi juga melibatkan
kekurangan dalam ukuran kebudayaan dan kejiwaan (Suburratno, 2004).
Kemiskinan bertanggung jawab atas penyakit yang ditemukan pada anak.
Hal ini karena kemiskinan mengurangi kapasitas orang tua untuk
mendukung perawatan kesehatan yang memadai pada anak, cenderung
memiliki higiene yang kurang, miskin diet, miskin pendidikan. Sehingga
anak yang miskin memiliki angka kematian dan kesakitan yang lebih
tinggi untuk hampir semua penyakit. Frekuensi relatif anak dari orang tua
yang berpenghasilan rendah 2 kali lebih besar menyebabkan berat badan
lahir rendah (BBLR), 3 kali lebih tinggi resiko imunisasi terlambat dan 4
kali lebih tinggi menyebabkan kematian anak karena penyakit dibanding
anak yang orang tuanya berpenghasilan cukup. (Behrman, 1999). Untuk
mengatasi permasalahan tersebut, pemerintah harus memiliki informasi
atau peta kemiskinan agar dapat membuat kebijakan-kebijakan yang tepat
dalam pengentasan kemiskinan ini, menentukan target penduduk miskin
sehingga dapat memperbaiki posisi mereka, dan dapat mengevaluasi
program-program yang berkenan dengan penanggulangan kemiskinan.
Sosial ekonomi mempunyai pengaruh langsung terhadap faktor-faktor
penyebab diare. Kebanyakan anak mudah menderita diare berasal dari
keluarga besar dengan daya beli yang rendah, kondisi rumah yang buruk,
tidak mempunyai penyediaan air bersih yang memenuhi persyaratan
kesehatan.

Faktor sosial ekonomi masyarakat pada kejadian diare ini di pengaruhi


oleh:

a. Pekerjaan

Menurut Khomsan (2004), permasalahan penyakit diawali


masalah kesehatan berakar dari kemiskinan yang disebabkan oleh
krisis ekonomi yang belum membaik. Permasalahan kesehatan
dapat dikendalikan apabila angka kemiskinan dikurangi serta
perlakuan yang adil pada perempuan bisa menjadi salah satu kunci
pemecahan masalah kesehatan. Status sosial perempuan akan
meningkat apabila mereka mempunyai posisi ekonomi yang baik.
Hal ini juga disertai dengan mendapatkan pendidikan, dan
kesehatan yang lebih baik bagi anak-anaknya. Pekerjaan ayah dan
ibu dapat dikategorikan sebagai pegawai negeri dan pegawai swasta
memiliki tingkat pendidikan lebih tinggi dibandingkan dengan ayah
dan ibu yang bekerja sebagai buruh atau petani. Kondisi ini
mempengaruhi ibu dalam mengasuh anaknya, ibu yang bekerja
harus membiarkan anaknya diasuh oleh orang lain, sehingga
mempunyai resiko lebih besar untuk terjadi diare (Giyantini, 2000).

d. Faktor makanan dan minuman yang dikonsumsi

Kontak antara sumber dan host dapat terjadi melalui air, terutama air
minum yang tidak dimasak dapat juga terjadi sewaktu mandi dan
berkumur. Kontak kuman pada kotoran dapat langsung ditularkan pada
orang lain apabila melekat pada tangan dan kemudian dimasukkan ke
mulut dipakai untuk memegang makanan. Kontaminasi alat-alat makan
dan dapur.

Faktor susunan makanan berpengaruh terhadap terjadinya diare


disebabkan karena kemampuan usus untuk menghadapi kendala yang
berupa:

a. Antigen

Susunan makanan mengandung protein yang tidak homolog,


sehingga dapat berlaku sebagai antigen. Lebih-lebih pada bayi
dimana kondisi kesehatan local usus belum sempurna sehingga
terjadi molekul makro.

b. Osmolaritas

Susunan makanan baik berupa formula susu maupun makanan


padat yang memberikan osmolaritas yang tinggi sehingga dapat
menimbulkan diare.
c. Malabsorbsi

Kandungan nutrient makanan yang berupa karbohidrat, lemak,


maupun protein dapat menimbulkan intoleransi, malabsorbsi,
maupun alergi sehingga terjadi diare pada balita maupun pada anak.

d. Mekanik

Kandungan serat yang berlebihan dalam susunan makanan secara


mekanik dapat merusak fungsi mukosa usus sehingga timbul diare.
(Notoatmodjo, 2003)
Faktor Infeksi :
-Infeksi enteral
(bakteri, virus,
parasite).
-Infeksi parenteral
-Malabsorbsi
(karbohidrat,
lemak, dan
protein).
Faktor makanan :
-Makanan
basi.
-Makanan
beracun.
-Alergi
terhadap
makanan.
Faktor lingkungan :
-Sumber air.
-Tempat
pembuangan
tinja.
-Pembuangan
sampah.
-Lingkungan
perumahan.
-Air limbah.
Faktor
pengetahuan ibu :
-Umur
-Pendidikan
-Kebiasaan
ibu
mencuci
tangan
Faktor social
ekonomi
masyarakat :
-Pekerjaan
Faktor makanan dan
minuman yang
dikonsumsi :
-Antigen
-Osmolaritas
-Malabsorbsi
-Mekanik
Diare balita
2.4. Kerangka Berfikir
2.4.1. Kerangka Toeritis
LINGKUNGAN
UMUR BALITA
LAKTOSA (SUSU KALENG)
PENGETAHUAN IBU
STATUZ GIZI
MAKANAN DAN
MINUMAN YANG
DIKONSUMSI
SOSIAL EKONOMI
MASYARAKAT
KEJADIAN
DIARE
2.4.2. Kerangka Konsep

Bagan Kerangka konsep

VARIEBEL INDEPENDEN VARIABEL DEPENDEN


Keterangan :

= Variabel Independen

= Variabel Dependen

= Yang diteliti

= Tidak diteliti
2.5. Hipotesis Penelitian

Hipotesis dalam penelitian ini adalah Ha:

a. Lingkungan berhubungan dengan kejadian diare akut pada balita.


b. Tingkat Pengetahuan ibu berhubungan dengan kejadian diare akut pada
balita.
c. Sosial ekonomi masyarakat berhubungan dengan kejadian diare akut pada
balita.
d. Makanan dan minuman yang dikonsumsi berhubungan dengan kejadian
diare akut pada balita.

You might also like