You are on page 1of 29

BAB I

PENDAHULUAN

Darah memegang peranan inti dalam kehidupan manusia. Darah beredar


dalam pembuluh darah membentuk suatu sistem sirkulasi, dengan jantung sebagai
pompanya. Darah mengalir membawa oksigen untuk metabolisme sel dan berbagai
zat lain yang dibutuhkan oleh tubuh. Gangguan pada darah atau sirkulasinya tentu
membawa dampak yang sangat serius bagi tubuh. Salah satu jenis gangguan
hematologi yang diturunkan secara genetik adalah talasemia.

Thalasemia adalah penyakit kelainan darah yaitu anemia hemolitik herediter


yang diturunkan secara autosomal resesif dengan disebabkan oleh defek genetik pada
pembentukan rantai globin. Penyakit ini baru muncul pada seseorang apabila ia
memiliki dua gen talasemia yang berasal dari kedua orang tuanya yaitu satu dari ayah
dan satu dari ibu.

Thalasemia tersebar diseluruh ras di mediterania, Timur tengah, India sampai


Asia tenggara dan presentasi klinisnya bervariasi dari asimptomatik sampai berat
hingga mengancam jiwa, tetapi tidak menutup kemungkinan penyakit ini dapat
ditemukan dimana saja diseluruh dunia.

Saat ini, penyakit thalasemia merupakan penyakit genetika yang cukup


banyak di Indonesia. Frekuensinya terus meningkat per tahun. Walupun begitu,
masyarakat tidak menaruh perhatian yang cukup besar terhadap penyakit yang sudah
menjadi salah satu penyakit genetika terbanyak ini. Hal ini disebabkan karena gejala
awal dari penyakit sangat umum. Padahal gejala akhir yang ditimbulkan akan sangat
fatal jika tidak ditangani secara akurat, cepat, dan tepat.

Melihat kenyataan ini, maka sebaiknya kita harus mewaspadai dengan cara
mengetahui dengan benar informasi tentang penyakit ini, sehingga penyakit ini dapat
diidentifikasi dan penanganannya pun dapat dilakukan secara dini dengan cara yang
tepat.
BAB II

HEMOPOIESIS DAN HEMOGLOBIN

Proses pembentukkan sel darah yaitu hemopoiesis. Proses pembentukkan


darah pertama kali terjadi pada fase prenatal yaitu di yolk sac (kantung kuning telur)
pada janin usia 0-2 bulan, kemudian fase selanjutnya pada hepar dan lien pada janin
usia 2-7 bulan, dan pada fase lanjut di sumsum tulang mulai janin usia 5-9 bulan.
Pada post natal, pembentukan utama terjadi di sumsum tulang. Pada bayi dan anak,
hematopoisis yang aktif terutama pada sumsum tulang termasuk bagian distal tulang
panjang, hal ini berbeda dengan dewasa dimana hematopoisis terbatas pada vertebra,
costae, sternum, pelvis, scapula, dan jarang berlokasi pada humerus dan femur. Pada
keadaan patologis (sumsum tulang sudah tidak berfungsi atau adanya kebutuhan yang
meningkat), pembentukan dapat terjadi di nodus limfatikus, lien, timus, hepar.
Pembentukan darah di luar sumsum tulang ini disebut hemopoisis ekstra meduler.
Proses pembentukkan darah dimulai dari sel induk pluripoten yang
berdiferensiasi menjadi sel induk limfoid dan sel progenitor myeloid campuran yang
kemudian berdiferensiasi lagi.
Darah terdiri dari berbagai komponen yang penting, antara lain sel darah
merah (eritosit), sel darah putih (leukosit), keping darah (trombosit) serta plasma.
Fungsi leukosit adalah untuk melindungi tubuh terhadap infeksi. Fungsi dari
trombosit adalah untuk mekanisme pembekuan darah sedangkan eritrosit membawa
satu protein yaitu hemoglobin yang berfungsi dalam mengikat O2 di paru,
membawanya ke peredaran darah dan melepaskannya ke sel dan jaringan tubuh.
Hemoglobin (Hb) tersusun atas heme yang merupakan cincin porfirin dalam
ikatan dengan Fe dan globulin yang merupakan protein pendukung. Satu molekul
hemoglobin mengandung 4 sub-unit. Masing-masing sub-unit tersusun atas satu
molekul globin dan satu molekul heme.

Globulin terdiri atas 2 pasang rantai polipeptida, yaitu sepasang rantai dan
sepasang rantai non alpha (,,). Kombinasi rantai polipeptida tersebut akan
menentukan jenis hemoglobin. Hb A1(22) merupakan lebih dari 96 % Hb total, Hb
F (22) kurang dari 2% dan Hb A2 (22) kurang dari 3%.

Rantai polipeptida tersusun atas 141 asam amino, sedangkan rantai non
tersusun atas 146 asam amino. Sintesis rantai disandi oleh gen 1 dan gen 2 di
kromosom 16, sedangkan gen yang mensintesis rantai , rantai dan rantai terletak
di kromosom 11.
Pada orang normal sintesis rantai sama dengan rantai non alpha.
Sejak masa embrio, janin, anak hingga dewasa, sel darah merah memiliki 6
hemoglobin, antara lain :

Hemoglobin embrional (Hb Gower1, Hb Gower2, Hb Portland)

Hemoglobin fetal (Hb-F)

Hemoglobin dewasa (Hb-A1, Hb-A2)

Hemoglobin embrional :

Selama masa gestasi 2 minggu pertama, eritoblas primitif dalam yolc sack
membentuk rantai globin epsilon () dan zeta (Z) yang membentuk Hb primitif yaitu
Hb Gower1 (Z22). Selanjutnya mulailah sintesis rantai menggantikan rantai Z dan
rantai menggantikan rantai sehingga membentuk Hb Gower2, Hb Portland. Pada
masa gestasi 4-8 minggu yang ditemukan adalah Hb Gower 1 dan Hb Gower 2 dan
menghilang pada masa gestasi 3 bulan.

Hemoglobin Fetal

Migrasi sel pruripoten stem sel dari yolc sack ke hati diikuti sintesi Hb fetal
yang merupakan awal sintesis rantai Hb . Setelah masa gestasi 8 minggu, muncul
Hb-F yang paling dominan dan setelah janin berusia 6 bulan merupakan 90% Hb
terdiri dari Hb-F dan kemudian menurun menjelang kelahiran, setelah bayi lahir dan
setelah usia 6-12 bulan, HbF tetap ada tapi hanya ditemukan sedikit.

Hemoglobin Dewasa

Pada masa embrio, telah dideteksi HbA karena telah terjadi proses perubahan
sintesis rantai menjadi rantai dan selanjutnya globin meningkat dan pada masa
gestasi 6 bulan ditemukan HbA 5-10% dan waktu lahir 30%. Menginjak usia 6-12
bulan Hb sudah memperlihatkan gambaran Hb dewasa yaitu HbA1 dan HbA2 dan
sedikit HbF
Lokus

Genotip / / / /

Polipetida

yang terbentuk

Hb yang

terbentuk 22 22 22

(HbA1) (HbF) (HbA2)

Struktur kimia hemoglobin memungkinkan molekul hemoglobin memiliki


kemampuan untuk mengikat oksigen secara reversible. Zat besi dalam molekul heme
secara langsung berfungsi sebagai pengikat oksigen. Hemoglobin memiilki struktur
kuartener empat rantai polipeptida, masing-masing dengan satu tempat pegikatan
oksigen. Sehingga satu molekul hemoglobin dapat mengikat 4 molekul oksigen.
BAB III

THALASEMIA

Thalasemia adalah salah satu dari penyakit genetik yang diwariskan dari
orang tua kepada anaknya dimana terjadi kelainan sintesis hemoglobin yang
heterogen akibat pengurangan produksi satu atau lebih rantai globin yang
menyebabkan ketidakseimbangan produksi rantai globin.

A. SEJARAH

Sejarah thalasemia dimulai di eropa, dimana seorang peneliti bernama


Riettedan Wintrobe mendeskripsikan mengenai adanya anemia mikrositik hipokrom
yang tak terjelaskan pada anak-anak keturunan itali dan dilaporkan adanya anemia
ringan pada kedua orangtua dari anak-anak yang mengidap anemia tersebut. Pada saat
yang bersamaan, seorang dokter spesialis anak, Thomas Cooley juga
mendeskripsikan suatu tipe anemia berat pada anak-anak yang berasal dari italia
dimana beliau menemukan adanya nukleasi sel darah merah yang masif pada sapuan
apus darah tepi yang semula diduga anemia eritroblastik. Namun tak lama, Cooley
menyadari bahwa eritoblastik tidak spesifik pada temuan ini dan temuan ini sangat
mirip dengan kelainan darah yang ditemukan oleh Riettedan. Sehingga kelainan darah
ini dinyatakan sebagai bentuk homozigot dari anemia hipokrom mikrositik yang
kemudian diberi labelisasi sebagai thalassemia mayor sedangkan bentuk ringannya
dinamakan thalassemia minor. Kata thalassemia berasal dari bahasa yunani yaitu
thalassa yang berarti laut dan emia yang berarti berhubungan dengan darah.

B. EPIDEMIOLOGI

WHO (2006) meneliti kira-kira 5% penduduk dunia adalah carrier dari 300-
400 ribu bayi thalassemia yang baru lahir pertahunnya. Frekuensi gen thalassemia di
Indonesia berkisar 3-10%. Berdasarkan angka ini, diperkirakan lebih 2000 penderita
baru dilahirkan setiap tahunnya di Indonesia. Salah satu RS di Jakarta, sampai dengan
akhir tahun 2003 terdapat 1060 pasien thalassemia mayor yang berobat jalan di Pusat
Thalassemia Departemen Anak FKUI-RSCM yang terdiri dari 52,5 % pasien
thalassemia homozigot, 46,2 % pasien thalassemia HbE, serta thalassemia 1,3%.
Sekitar 70-80 pasien baru, datang tiap tahunnya. Fakta ini mendukung thalasemia
sebagai salah satu penyakit turunan yang terbanyak dan menyerang hampir semua
golongan etnik dan terdapat di seluruh negara di dunia termasuk Indonesia.

C. PATOFISIOLOGI

Talasemia merupakan salah satu bentuk kelainan genetik hemoglobin yang


ditandai dengan kurangnya atau tidak adanya sintesis satu rantai globin atau lebih,
sehingga terjadi ketidak seimbangan jumlah rantai globin yang terbentuk. Mutasi gen
pada globin alfa akan menyebabkan penyakit alfa- thalassemia dan jika itu terjadi
pada globin beta maka akan menyebabkan penyakit beta-thalassemia

Secara genetik, gangguan pembentukan protein globin dapat disebabkan karena


kerusakan gen yang terdapat pada kromosom 11 atau 16 yang ditempati lokus gen
globin. Kerusakan pada salah satu kromosom homolog menimbulkan terjadinya
keadaan heterozigot, sedangkan kerusakan pada kedua kromosom homolog
menimbulkan keadaan homozigot (-/-).

Pada thalassemia homozigot, sintesis rantai menurun atau tidak ada sintesis
sama sekali. Ketidakseimbangan sintesis rantai alpha atau rantai non alpha,
khususnya kekurangan sintesis rantai akan menyebabkan kurangnya pembentukan
Hb. Ketidakseimbangan dalam rantai protein globin alfa dan beta disebabkan oleh
sebuah gen cacat yang diturunkan. Untuk menderita penyakit ini, seseorang harus
memiliki 2 gen dari kedua orang tuanya. Jika hanya 1 gen yang diturunkan, maka
orang tersebut hanya menjadi pembawa/carier.
C.I. Thalasemia beta

Secara biokimia kelainan yang paling mendasar adalah menurunnya biosintesis


dari unit globin pada Hb A. Pada thalasemia heterozigot, sintesis globin kurang
lebih separuh dari nilai normalnya. Pada thalasemia homozigot, sintesis globin
dapat mencapai nol.

Karena adanya defisiensi yang berat pada rantai , sintesis Hb A total menurun
dengan sangat jelas atau bahkan tidak ada, sehingga pasien dengan thalasemia
homozigot mengalami anemia berat. Sebagai respon kompensasi, maka sintesis rantai
menjadi teraktifasi sehingga hemoglobin pasien mengandung proporsi Hb F yang
meningkat. Namun sintesis rantai ini tidak efektif dan secara kuantitas tidak
mencukupi.

Pada thalasemia homozigot, sintesis rantai tidak mengalami perubahan dan


tidak mampu membentuk Hb tetramer. Ketidak-seimbangan sintesis dari rantai
polipeptida ini mengakibatkan kelebihan adanya rantai bebas di dalam sel darah
merah yang berinti dan retikulosit. Rantai bebas ini mudah teroksidasi. Mereka
dapat beragregasi menjadi suatu inklusi protein (haeinz bodys), menyebabkan
kerusakan membran pada sel darah merah dan destruksi dari sel darah merah imatur
dalam sumsum tulang sehingga jumlah sel darah merah matur yang diproduksi
menjadi berkurang sehingga sel darah merah yang beredar menjadi kecil, terdistorsi,
dipenuhi oleh inklusi globin, dan mengandung komplemen hemoglobin yang
menurun dan memberikan gambaran dari Anemia Cooley/anemia mikrositik
hipokrom yaitu hipokromik, mikrosisitk dan poikilositik.

Sel darah merah yang sudah rusak tersebut akan dihancurkan oleh limpa, hepar,
dan sumsum tulang, menggambarkan komponen hemolitik dari penyakit ini. Sel
darah merah yang mengandung jumlah Hb F yang lebih tinggi mempunyai umur yang
lebih panjang.
Anemia yang berat terjadi akibat adanya penurunan oksigen carrying capacity
dari setiap eritrosit dan tendensi dari sel darah merah matur (yang jumlahnya sedikit)
mengalami hemolisa secara prematur.

Eritropoetin meningkat sebagai respon adanya anemia, sehingga sumsum-


sumsum tulang dipacu untuk memproduksi eritroid prekusor yang lebih banyak.
Namun mekanisme kompensasi ini tidak efektif karena adanya kematian yang
prematur dari eritroblas. Hasilnya adalah suatu ekspansi sumsum tulang yang masif
yang memproduksi sel darah merah baru.

Sumsum tulang mengalami ekspansi secara masif, menginvasi bagian kortikal


dari tulang, menghabiskan sumber kalori yang sangat besar pada umur-umur yang
kritis pada pertumbuhan dan perkembangan, mengalihkan sumber-sumber biokimia
yang vital dari tempat-tempat yang membutuhkannya dan menempatkan suatu stress
yang sangat besar pada jantung. Secara klinis terlihat sebagai kegalan dari
pertumbuhan dan perkembangan, kegagalan jantung high output, kerentanan terhadap
infeksi, deformitas dari tulang, fraktur patologis, dan kematian di usia muda tanpa
adanya terapi transfusi.
Jika seseorang memiliki 1 gen beta globin normal, dan satu lagi gen yang
sudah termutasi, maka orang itu disebut carier/trait.

Gambar diatas menunjukkan bahwa kedua orangtua merupakan carier/trait.


Maka anaknya 25% normal, 50% carier/trait, 25% mewarisi 2 gen yang termutasi
(thalasemia mayor).

C.II. Thalasemia alpha

Rantai globin yang berlebihan pada thalasemia adalah rantai dan yang
kurang atau hilang sintesisnya dalah rantai . Rantai bersifat larut sehingga mampu
membentuk hemotetramer yang meskipun relatif tidak stabil, mampu bertahan dan
memproduksi molekul Hb yang lain seperti Hb Bart (4) dan Hb H (4). Perbedaan
dasar inilah yang mempengaruhi lebih ringannya manisfestasi klinis dan tingkat
keparahan penyakitnya dibandingkan dengan thalasemia beta.

Patofisiologi thalasemia sebanding dengan jumlah gen yang terkena. Pada


thalasemia homozigot (-/-) tidak ada rantai yang diproduksi. Pasiennya hanya
memiliki Hb Barts yang tinggi dengan Hb embrionik. Meskipun kadar Hb nya tinggi
tapi hampir semuanya adalah Hb Barts sehingga sangat hipoksik yang menyebabkan
sebagian besar pasien lahir mati dengan tanda hipoksia intrauterin.

Bentuk thalasemia heterozigot (0 dan -+) menghasilkan


ketidakseimbangan jumlah rantainya tetapi pasiennya dapat mampu bertahan dengan
HbH dimana kelainan ini ditandai dengan adanya anemia hemolitik karena HbH tidak
bisa berfungsi sebagai pembawa oksigen.

Mutasi yang terjadi pada gen alpha globin disebut delesi.

D. KLASIFIKASI THALASEMIA DAN PRESENTASI KLINISNYA

Thalassemia / minor

Penghapusan 4 gen- hydrops fetalis

Penghapusan 3 gen- penyakit Hb H

Penghapusan 2 gen ( trait thalasemia )

Penghapusan 1 gen ( trait thalasemia + )


Thalassemia

Homozigot thalassemia mayor

Heterzigot- trait thalassemia

Thalassemia intermediate

Sindroma klinik yang disebabkan oleh sejenis lesi genetik

D.I. Thalasemia

D.I.1. Thalasemia homozigot (0)

Sindrom hidrops Hb Barts biasanya terjadi dalam rahim. Bila hidup hanya
dalam waktu pendek. Gambaran klinisnya adalah hidrops fetalis dengan edema
permagna dan hepatosplenomegali. Kadar Hb 6-8 g/dl dengan eritrosit hipokromik
dan beberapa berinti. Kadar Hb Barts 80% dan sisanya Hb portland. Biasanya
keadaan ini disertai toksemia gravidarum, perdarahan post partum dan masalah
karena hipertrofi plasenta. Pada pemeriksaan otopsi memperlihatkan adanya
peningkatan kelainan bawaan. Beberapa bayi berhasil diselamatkan dengan transfusi
tukar dan berulang serta pertumbuhannya bisa mencapai normal.
Gambar Hidrops fetalis :

D.I.2. HbH disease

Ditandai anemia mikrositik hipokrom yang cukup berat (7-11 g/dL) dan
splenomegali sedang dimana Hb H (4) dapat dideteksi dalam sel darah merah
dengan elektroforesis atau pada sediaan retikulosit. Pada kehidupan janin ditemukan
Hb Bart (4). HbH bisa diketahui dengan bantuan brilian cresil blue yang akan
menyebabkan pengendapan dan pembentukkan badan inklusi. Setelah splenektomi,
umumnya bentukkan ini makin banyak di eritrosit. Pada beberapa kasus, penderita
bisa tergantung transfusi sedangkan sebagian besar kasus umumnya penderita bisa
tumbuh normal tanpa transfusi.

D.I.3. Karier thalasemia

Bisa berasal dari thalasemia 0 (-/) atau thalasemia (-/-). Biasanya


asimptomatis, didapatkan anemia mikrositik hipokrom ringan dengan penurunan
MCH dan MCV yang bermakna. Hb elektroforesisn normal dan pasien hanya bisa
didiagnosis dengan analisa DNA. Pada masa neonatus, Hb Barts 5-10 % tapi tidak
didapatkan HbH pada masa dewasa dan kadang bisa didapatkan inklusi pada eritrosit
karier thalasemia .

D.I.4. Karier thalasemia silent

Bentuk heterozigot karier thalasemia + (/). Memiliki gambaran darah


yang abnormal tetapi dengan elektroforesis normal. Saat lahir 50% kasus memiliki
Hb Barts 1-3% tapi tidak adanya Hb Barts tidak menyingkirkan diagnosa kasus ini.

D.II. Thalasemia

Hampir semua anak dengan thalasemia homozigot dan heterozigot


memperlihatkan gejala klinis sejak lahir yaitu gagal tumbuh, infeksi berulang,
kesulitan makan, kelemahan umum. Bayi tampak pucat dan terdapat splenomegali.
Bila menerima transfusi berulang, pertumbuhannya bisa normal hingga pubertas.

Pada anak yang mendapat transfusi dan terapi chelasi (pengikat besi), anak
bisa mencapai pubertas dan terus mencapai usia dewasa dengan normal. Bila terapi
chelasi tidak adekuat, secara bertahap akan terjadi penumpukkan besi yang efeknya
mulai nampak pada dekade pertama. Adolscent growth spurt tidak akan tercapai,
komplikasi ke hati, endokrin, dan jantung.

Gambaran klinis pada pasien yang tidak mendapat terapi adekuat yaitu :

Facies cooley

Terjadi keaktifan sumsum tulang yang luar biasa pada tulang muka
dan tulang tengkorak hingga nengakibatkan perubahan perkembangan tulang
tersebut dan umumnya terjadi pada anak usia lebih dari 2 tahun

Pucat yang berlangsung lama


Merupakan gejala umum pada penderita thalassemia, yang berkaitan dengan
anemia berat. Penyebab anemia pada thalassemia bersifat primer dan
sekunder. Primer adalah berkurangnya sintesis Hb A dan eritropoesis yang
tidak efektif disertai penghancuran sel-sel eritrosit intramedular. Sedangkan
yang sekunder mengakibatkan hemodilusi, dan destruksi eritrosit oleh sistem
retikuloendotelial dalam limpa dan hati.

Perut membuncit
Pada anak yang besar tampak perut yang membuncit akibat pembesaran hati
dan limpa. Hati dan limpa membesar akibat dari hemopoisis ekstrameduler
dan hemosiderosis. Dan akibat dari penghancuran eritrosit yang berlebihan itu
dapat menyebabkan terjadinya peningkatan biliribin indirek, sehingga
menimbulkan kuning pada penderita thalassemia dan kadang ditemui
trombositopenia.

Gagal tumbuh dan mudah terkena infeksi

Karena pendeknya umur eritrosit menyebabkan hiperurikemi dan gout


sekunder sering timbul

Sering terjadi gangguan perdarahan akibat rombositopenia maupun kegagalan


hati akibat penimbunan besi, infeksi dan hemapoiesis ekstramedular.
Bila pasien ini mencapai pubertas, akan timbul komplikasi akibat penimbunan
besi yaitu Keterlambatan menarke (pada anak perempuan) dan gangguan
perkembangan sifat seks sekunder akibat dari hemosiderosis yang terjadi pada
kelenjar endokrin. Selain pada kelenjar endokrin, hemosiderosis pada
pankreas dapat menyebabkan diabetes mellitus. Siderosis miokardium
menyebabkan komplikasi ke jantung.

Temuan Laboratorium

Kelainan morfologi eritrosit pada penderita thalassemia- yang tidak


ditransfusi adalah ekstrem. Disamping hipokromia dan mikrositosis berat,
banyak ditemukan poikilositosit yang terfragmentasi, aneh (bizarre) dan sel
target. Sejumlah besar eritrosit yang berinti ada di darah tepi, terutama setelah
splenektomi. Inklusi intraeritrosit, yang merupakan presipitasi dari kelebihan
rantai , juga terlihat pasca splenectomi. Kadar Hb turun secara cepat menjadi
kurang dari 5 g/dL kecuali jika transfusi diberikan. Kadar bilirubin serum
tidak terkonjugasi meningkat. Kadar serum besi tinggi, dengan saturasi
kapasitas pengikat besi. Gambaran biokimiawi yang nyata adalah adanya
kadar Hb F yang sangat tinggi dalam eritrosit. Senyawa dipiridol
menyebabkan urin berwarna coklat gelap, terutama pasca splenektomi.

D.II. Karier thalasemia

Hampir tanpa gejala, umumnya dengan anemia ringan dan jarang didapatkan
splenomegali. Adanya penurunan ringan kadar Hb dengan penurunan MCV dan
MCH yang bermakna.

D.III. Intermedia thalasemia

Sindroma klinik yang disebabkan oleh sejenis lesi genetik. Anemia hipokrom
mikrositik ( Hb 7-10 gr/dl ), hepatomegali dan splenomegali, deformitas menurun,
kelebihan beban besi ( iron over load ).
E. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan laboratorium yang perlu untuk menegakkan diagnosis thalasemia ialah:

1. Darah

Pemeriksaan darah yang dilakukan pada pasien yang dicurigai menderita


thalasemia adalah

Darah rutin
Kadar hemoglobin menurun. Dapat ditemukan peningkatan jumlah
lekosit, ditemukan pula peningkatan dari sel PMN. Bila terjadi
hipersplenisme akan terjadi penurunan dari jumlah trombosit.

Hitung retikulosit
Hitung retikulosit meningkat antara 2-8 %.

Gambaran darah tepi


Anemia pada thalassemia mayor mempunyai sifat mikrositik hipokrom.
Pada gambaran sediaan darah tepi akan ditemukan retikulosit,
poikilositosis, tear drops sel dan target sel.
Serum Iron & Total Iron Binding Capacity
Kedua pemeriksaan ini dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan
anemia terjadi karena defisiensi besi. Pada anemia defisiensi besi SI
akan menurun, sedangkan TIBC akan meningkat.

LFT
Kadar unconjugated bilirubin akan meningkat sampai 2-4 mg%. bila
angka tersebut sudah terlampaui maka harus dipikir adanya
kemungkinan hepatitis, obstruksi batu empedu dan cholangitis. Serum
SGOT dan SGPT akan meningkat dan menandakan adanya kerusakan
hepar. Akibat dari kerusakan ini akan berakibat juga terjadi kelainan
dalam faktor pembekuan darah.

2. Elektroforesis Hb

Diagnosis definitif ditegakkan dengan pemeriksaan eleltroforesis


hemoglobin. Pemeriksaan ini tidak hanya ditujukan pada penderita thalassemia saja,
namun juga pada orang tua, dan saudara sekandung jika ada. Pemeriksaan ini untuk
melihat jenis hemoglobin dan kadar Hb A2. petunjuk adanya thalassemia adalah
ditemukannya Hb Barts dan Hb H. Pada thalassemia kadar Hb F bervariasi antara
10-90%, sedangkan dalam keadaan normal kadarnya tidak melebihi 1%.
3. Pemeriksaan sumsum tulang

Pada sumsum tulang akan tampak suatu proses eritropoesis yang sangat aktif
sekali. Ratio rata-rata antara myeloid dan eritroid adalah 0,8. pada keadaan normal
biasanya nilai perbandingannya 10 : 3.

4. Pemeriksaan roentgen

Ada hubungan erat antara metabolisme tulang dan eritropoesis. Bila tidak
mendapat tranfusi dijumpai osteopeni, resorbsi tulang meningkat, mineralisasi
berkurang, dan dapat diperbaiki dengan pemberian tranfusi darah secara berkala.
Apabila tranfusi tidak optimal terjadi ekspansi rongga sumsum dan penipisan dari
korteknya. Trabekulasi memberi gambaran mozaik pada tulang. Tulang terngkorak
memberikan gambaran yang khas, disebut dengan hair on end yaitu menyerupai
rambut berdiri potongan pendek pada anak besar.
F. DIAGNOSIS BANDING

Thalassemia sering kali didiagnosis salah sebagai anemia defisiensi Fe, hal ini
disebabkan oleh karena kemiripan gejala yang ditimbulkan, dan gambaran eritrosit
mikrositik hipokrom. Namun kedua penyakit ini dapat dibedakan, karena pada
anemia defisiensi Fe didapatkan :

Pucat tanpa organomegali


Tidak tedapat besi dalam sumsum tulang
Bereaksi baik dengan pengobatan dengan preparat besi

G. PENGOBATAN
Prinsip pengobatan pada pasien talasemia adalah :

terapi tranfusi darah untuk mencegah komplikasi dari anemia kronis


pencegahan dari resiko kelebihan besi akibat terapi transfusi
penatalaksanaan splenomegali
Pada anak dengan thalassemia mayor beta membutuhkan pelayanan kesehatan
yang terus menerus seumur hidupnya.

A. Tranfusi darah

Pemberian tranfusi darah ditujukan untuk mempertahankan dan memperpanjang


umur atau masa hidup pasien dengan cara mengatasi komplikasi anemia, memberi
kesempatan pada anak untuk proses tumbuh kembang, memperpanjang umur pasien.
Terapi tranfusi darah dimulai pada usia dini ketika ia mulai menunjukkan gejala
simtomatik. Transfusi darah dilakukan melalui pembuluh vena dan memberikan sel
darah merah dengan hemoglobin normal. Untuk mempertahankan keadaan tersebut,
transfusi darah harus dilakukan secara rutin karena dalam waktu 120 hari sel darah
merah akan mati. Khusus untuk penderita beta thalassemia intermedia, transfuse
darah hanya dilakukan sesekali saja, tidak secara rutin. Sedangkan untuk beta
thalssemia mayor (Cooleys Anemia) harus dilakukan secara teratur

Tranfusi darah diberikan bila Hb anak < 7 gr/dl dyang diperiksa 2x berturut
dengan jarak 2 mingg dan bila kadar Hb > 7 gr/dl tetapi disertai gejala klinis seperti
Facies Cooley, gangguan tumbuh kembang, fraktur tulang curiga adanya hemopoisis
ekstrameduler. Pada penanganan selanjutnya, transfusi darah diberikan Hb 8 gr/dl
sampai kadar Hb 11-12 gr/dl. Darah diberikan dalam bentuk PRC, 3 ml/kgBB untuk
setiap kenaikan Hb 1 g/dL.

B. Kelasi Besi

Pasien thalasemia dengan terapi tranfusi biasanya meninggal bukan karena


penyakitnya tapi karena komplikasi dari tranfusi darah tersebut. Komplikasi tersebut
adalah penumpukan besi diberbagai organ.

Desferoxamine diberikan setelah kadar feritin serum sudah mencapai 1000


mg/L atau saturasi transferin sudah mencapai 50 %, atau sekitar setelah 10 -20 kali
transfusi. Pemberian dilakukan secara subkutan melalui pompa infus dalam waktu 8-
12 jam dengan dosis 25-35 mg/kg BB/hari, minimal selama 5 hari berturut-turut
setiap selesai transfusi darah. Dosis desferoxamine tidak boleh melebihi 50
mg/kg/hari. Evaluasi teratur terhadap toksisitas desferoxamin direkomendasikan pada
semua pasien yang mendapat terapi ini.

Saat ini sudah tersedia kelasi besi oral, namun penggunaannya di Indonesia
belum dilakukan.

C. Suplemen Asam Folat

Asam folat adalah vitamin B yang dapat membantu pembangunan sel-sel darah
merah yang sehat. Suplemen ini harus tetap diminum di samping melakukan transfusi
darah ataupun terapi khelasi besi.. Asam Folat 2x1 mg/hari untuk memenuhi
kebutuhan yang meningkat.

D. Splenektomi

Indikasi :

limpa yang terlalu besar sehingga membatasi gerak pasien, menimbulkan


peningkatan tekanan intra-abdominal dan bahaya terjadinya ruptur
meningkatnya kebutuhan tranfusi yang melebihi 250ml/kgBB dalam 1
tahun terakhir
D. Transplantasi sumsum tulang

Transplantasi sumsum tulang untuk talasemia pertama kali dilakukan tahun


1982. Transplantasi sumsum tulang merupakan satu-satunya terapi definitive untuk
talasemia. Jarang dilakukan karena mahal dan sulit.

H. SKRINING DAN PENCEGAHAN

H.1 SKRINING

Bila populasi tersebut hendak memiliki pasangan, dilakukan skrining


premarital. Penting sekali menyediakan program konselin verbal dan tertulis
mengenai hasil skring.

Alternatif lain, memeriksakan setiap wanita hamil muda berdasarkan ras.


Skrining yang efektif adalah melalui eritrosit. Bila MCV dan MCH sesuai gambaran
thalasemia, perkiraan kadar HbA harus diukur. Bila kadarnya normal, pasien dikirim
ke pusat yang menganalisis gen. Penting untuk memeriksa Hb elektroforesa pada
kasus-kasus ini untuk mencari kemungkinan variasi struktural Hb.

H.2 PENCEGAHAN

Ada 2 pendekatan untuk menghindari thalasemia, yaitu :

Karena karier thalasemia bisa diketahui dengan mudah, skrining populasi


dan konseling tentang pasangan bisa dilakukan. Bila heterozigot menikah, 1
dari 4 anak mereka bisa menjadi homozigot atau gabungan heterozigot

Bila ibu heterozigot sudah diketahui sebelum lahir, pasangan bisa diperiksa
dan bila termasuk karier, pasangan tersebut ditawari diagnosis prenatal dan
terminasi kehamilan pada fetus dengan thalasemia berat
BAB IV

PENUTUP

KESIMPULAN

Thalassemia merupakan penyakit genetik yang disebabkan oleh


ketidaknormalan pada protein globin yang terdapat di gen. Dapat menyerang siapa aja
dengan berbagai etnik ras di seluruh dunia dan termasuk salah satu penyakit genetik
kelainan darah yang terbanyak di Indonesia. Jika globin alfa yang rusak maka
penyakit itu dinamakan beta-thalassemia dan jika globin beta yang rusak maka
penyakit itu dinamakan alfa thalassemia. Gejala yang terjadi dimulai dari anemia
hingga gangguan tumbuh kembang. Pemeriksaan thalasemia bisa dilakukan melalui
pemeriksaan darah, Hb elektroforesa, pemeriksaan sumsum tulang dan roentgen.
Thalassemia harus sudah diobati sejak dini agar tidak berdampak fatal. Pengobatan
yang dilakukan adalah dengan melakukan transfusi darah, meminum beberapa
suplemen asam folat, terapi kelasi besi, splenektomi, hingga transplantasi sumsum
tulang. Thalasemia bisa diketahui sedini mungkin dengan proses skrining.
DAFTAR PUSTAKA

1. Berhman, RE; Kliegman, RM ; Arvin: Nelson Ilmu Kesehatan Anak, volume


2, edisi 15. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta : 2015, hal1708-1712
2. Berhman, RE; Kliegman, RM and Jensen, HB: Nelson Text Book of
Pediatrics, 16th edition. WB Saunders company, Philadelphia: 2000, page
1630-1634
3. Permono, H. BAmbang; Sutaryo; Windiastuti, Endang; Abdulsalam, Maria;
IDG Ugrasena: Buku Ajar Hematologi-Onkologi Anak, Cetakan ketiga.
Penerbit Badan Penerbit IDAI, Jakarta : 2010, hlm 64-84
4. A.V. Hoffbrand and J.E. Pettit; alih bahasa oleh Iyan Darmawan : Kapita
Selekta Haematologi, edisi ke 2. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta :
2006, hal 66-85
5. Children's Hospital & Research Center Oakland. 2015. What is Thalassemia
and Treating Thalassemia.
6. Hay WW, Levin MJ. Current Diagnosis and Treatment in Pediatrics. 18th
Edition. New York : Lange Medical Books/ McGraw Hill Publishing Division
; 2007

7. Markum : Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak jilid 1. FKUI, Jakarta : 1991, hal
331
8. Paediatrica Indonesiana, The Indonesian Journal of pediatrics and Perinatal
Medicine, volume 46, No.5-6. Indonesian Pediatric Society, Jakarta: 2006,
page 134-138
9. Permono B, Sutaryo, dkk. Buku Ajar Hemotologi-Onkologi Anak Cetakan

Kedua. Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia ; 2006

10. Slyvia A. Price, Lorraine M.Wilson. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-


Proses Penyakit. Edisi 6, Volume 2. Jakarta : EGC. 2006.

You might also like