You are on page 1of 20

ANALISIS MASALAH & LEARNING ISSUES

Scenario A Blok 29
Yudistira Wardana 04011381419192

ANALISIS MASALAH
1. Apa fungsi dokter keluarga?

2. Apa saja prinsip pelayanan dokter keluarga menurut WHO?


Prinsip-prinsip pelayanan dokter keluarga di Indonesia mengikuti anjuran WHO dan WONCA
yang mencantumkan prinsip-prinsip ini dalam banyak terbitannya. Prinsip-prinsip ini juga
merupakan simpulan untuk dapat meningkatkan kualitas layanan dokter primer dalam
melaksanakan pelayanan kedokteran. Prinsip-prinsip pelayanan/pendekatan kedokteran
keluarga adalah memberikan/mewujudkan:
a. Pelayanan yang holistic dan komprehensif
b. Pelayanan yang kontinu
c. Pelayanan yang mengutamakan pencegahan
d. Pelayanan yang koordinatif dan kolaboratif
e. Penanganan personal bagi setiap pasien sebagai bagian integral dari keluarganya
f. Pelayanan yang mempertimbangkan keluarga, lingkungan kerja, dan lingkungan
tempat tinggalnya
g. Pelayanan yang menjunjung tinggi etika dan hukum
h. Pelayanan yang dapat diaudit dan dapat dipertanggungjawabkan
i. Pelayanan yang sadar biaya dan sadar mutu

3. Apa saja isi SDGs?


SDGs memiliki 17 Goals dan 169 Target. Adapun 17 Goals SDGs adalah sebagai berikut:
1. Mengakhiri segala bentuk kemiskinan di manapun [7 target]
2. Mengakhiri kelaparan, mencapai ketahanan pangan dan meningkatkan gizi, serta mendorong
pertanian yang berkelanjutan [8 target]
3. Menjamin kehidupan yang sehat dan mendorong kesejahteraan bagi semua orang di segala
usia [13 target]
3.1. Pada 2030, mengurangi angka kematian ibu hingga di bawah 70 per 100.000 kelahiran
hidup;

3.2. Pada 2030, mengakhiri kematian bayi dan balita yang dapat dicegah, dengan seluruh
negara berusaha menurunkan Angka Kematian Neonatal setidaknya hingga 12 per 1.000 KH
dan Angka Kematian Balita 25 per 1.000 KH;

3.3. Pada 2030, mengakhiri epidemi AIDS, tuberkulosis, malaria dan penyakit tropis yang
terabaikan, serta memerangi hepatitis, penyakit bersumber air dan penyakit menular lainnya;

3.4. Pada 2030, mengurangi sepertiga kematian prematur akibat penyakit tidak menular
melalui pencegahan dan perawatan, serta mendorong kesehatan dan kesejahteraan mental;

3.5. Memperkuat pencegahan dan perawatan penyalahgunaan zat, termasuk penyalahgunaan


narkotika dan alkohol yang membahayakan;

3.6. Pada 2020, mengurangi setengah jumlah global kematian dan cedera akibat kecelakaan
lalu lintas;

3.7. Pada 2030, menjamin akses semesta kepada pelayanan kesehatan seksual dan
reproduksi, termasuk Keluarga Berencana (KB), informasi dan edukasi, serta integrasi
kesehatan reproduksi ke dalam strategi dan program nasional;

3.8. Mencapai universal health coverage, termasuk perlindungan risiko keuangan, akses
kepada pelayanan kesehatan dasar berkualitas dan akses kepada obat-obatan dan vaksin dasar
yang aman, efektif, dan berkualitas bagi semua orang;

3.9 Pada 2030, mengurangi secara substansial kematian dan kesakitan akibat senyawa
berbahaya serta kontaminasi dan polusi udara, air, dan tanah.

4. Menjamin pendidikan yang inklusif dan berkeadilan serta mendorong kesempatan belajar
seumur hidup bagi semua orang [10 target]
5. Menjamin kesetaraan gender serta memberdayakan seluruh wanita dan perempuan [9 target]
6. Menjamin ketersediaan dan pengelolaan air serta sanitasi yang berkelanjutan bagi semua
orang [8 target]
7. Menjamin akses energi yang terjangkau, terjamin, berkelanjutan dan modern bagi semua
orang [5 target]
8. Mendorong pertumbuhan ekonomi yang terus-menerus, inklusif, dan berkelanjutan, serta
kesempatan kerja penuh dan produktif dan pekerjaan yang layak bagi semua orang [11 target]
9. Membangun infrastruktur yang berketahanan, mendorong industrialisasi yang inklusif dan
berkelanjutan serta membina inovasi [8 target]
10. Mengurangi kesenjangan di dalam dan antar negara [10 target]
11. Menjadikan kota dan pemukiman manusia inklusif, aman, berketahanan dan berkelanjutan
[10 target]
12. Menjamin pola produksi dan konsumsi yang berkelanjutan [11 target]
13. Mengambil tindakan segera untuk memerangi perubahan iklim dan dampaknya [5 target]
14. Melestarikan dan menggunakan samudera, lautan serta sumber daya laut secara
berkelanjutan untuk pembangunan berkelanjutan [10 target]
15. Melindungi, memperbarui, serta mendorong penggunaan ekosistem daratan yang
berkelanjutan, mengelola hutan secara berkelanjutan, memerangi penggurunan,
menghentikan dan memulihkan degradasi tanah, serta menghentikan kerugian
keanekaragaman hayati [12 target]
16. Mendorong masyarakat yang damai dan inklusif untuk pembangunan berkelanjutan,
menyediakan akses keadilan bagi semua orang, serta membangun institusi yang efektif,
akuntabel, dan inklusif di seluruh tingkatan [12 target]
17. Memperkuat perangkat-perangkat implementasi (means of implementation) dan
merevitalisasi kemitraan global untuk pembangunan berkelanjutan [19 target]

4. Bagaimana sistem rujukan di era JKN?


Sistem Rujukan pelayanan kesehatan adalah penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang mengatur
pelimpahan tugas dan tanggung jawab pelayanan kesehatan secara timbal balik baik vertikal maupun
horizontal yang wajib dilaksanakan oleh peserta jaminan kesehatan atau asuransi kesehatan sosial,
dan seluruh fasilitas kesehatan.

Ketentuan Umum

1. Pelayanan kesehatan perorangan terdiri dari 3 (tiga) tingkatan yaitu:


a. Pelayanan kesehatan tingkat pertama;
b. Pelayanan kesehatan tingkat kedua; dan
c. Pelayanan kesehatan tingkat ketiga.
2. Pelayanan kesehatan tingkat pertama merupakan pelayanan kesehatan dasar yang
diberikan oleh fasilitas kesehatan tingkat pertama.
3. Pelayanan kesehatan tingkat kedua merupakan pelayanan kesehatan spesialistik yang
dilakukan oleh dokter spesialis atau dokter gigi spesialis yang menggunakan pengetahuan
dan teknologi kesehatan spesialistik.
4. Pelayanan kesehatan tingkat ketiga merupakan pelayanan kesehatan sub spesialistik yang
dilakukan oleh dokter sub spesialis atau dokter gigi sub spesialis yang menggunakan
pengetahuan dan teknologi kesehatan sub spesialistik.
5. Dalam menjalankan pelayanan kesehatan, fasilitas kesehatan tingkat pertama dan tingkat
lanjutan wajib melakukan sistem rujukan dengan mengacu pada peraturan
perundangundangan yang berlaku.
6. Peserta yang ingin mendapatkan pelayanan yang tidak sesuai dengan sistem rujukan dapat
dimasukkan dalam kategori pelayanan yang tidak sesuai dengan prosedur sehingga tidak
dapat dibayarkan oleh BPJS Kesehatan.
7. Fasilitas Kesehatan yang tidak menerapkan sistem rujukan maka BPJS Kesehatan akan
melakukan recredentialing terhadap kinerja fasilitas kesehatan tersebut dan dapat
berdampak pada kelanjutan kerjasama.
8. Pelayanan rujukan dapat dilakukan secara horizontal maupun vertikal.
9. Rujukan horizontal adalah rujukan yang dilakukan antar pelayanan kesehatan dalam satu
tingkatan apabila perujuk tidak dapat memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan
kebutuhan pasien karena keterbatasan fasilitas, peralatan dan/atau ketenagaan yang
sifatnya sementara atau menetap.
10.Rujukan vertikal adalah rujukan yang dilakukan antar pelayanan kesehatan yang berbeda
tingkatan, dapat dilakukan dari tingkat pelayanan yang lebih rendah ke tingkat pelayanan
yang lebih tinggi atau sebaliknya.
11.Rujukan vertikal dari tingkatan pelayanan yang lebih rendah ke tingkatan pelayanan yang
lebih tinggi dilakukan apabila:
a. pasien membutuhkan pelayanan kesehatan spesialistik atau subspesialistik;
b. perujuk tidak dapat memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan
pasien karena keterbatasan fasilitas, peralatan dan/ atau ketenagaan.
12.Rujukan vertikal dari tingkatan pelayanan yang lebih tinggi ke tingkatan pelayanan yang
lebih rendah dilakukan apabila:
a. permasalahan kesehatan pasien dapat ditangani oleh tingkatan pelayanan kesehatan
yang lebih rendah sesuai dengan kompetensi dan kewenangannya;
b. kompetensi dan kewenangan pelayanan tingkat pertama atau kedua lebih baik dalam
menangani pasien tersebut;
c. pasien membutuhkan pelayanan lanjutan yang dapat ditangani oleh tingkatan
pelayanan kesehatan yang lebih rendah dan untuk alasan kemudahan, efisiensi dan
pelayanan jangka panjang; dan/atau
d. perujuk tidak dapat memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan
pasien karena keterbatasan sarana, prasarana, peralatan dan/atau ketenagaan.
Tata Cara Pelaksanaan Sistem Rujukan Berjenjang

1. Sistem rujukan pelayanan kesehatan dilaksanakan secara berjenjang sesuai kebutuhan


medis, yaitu:
a. Dimulai dari pelayanan kesehatan tingkat pertama oleh fasilitas kesehatan tingkat
pertama
b. Jika diperlukan pelayanan lanjutan oleh spesialis, maka pasien dapat dirujuk ke
fasilitas kesehatan tingkat kedua
c. Pelayanan kesehatan tingkat kedua di faskes sekunder hanya dapat diberikan atas
rujukan dari faskes primer.
d. Pelayanan kesehatan tingkat ketiga di faskes tersier hanya dapat diberikan atas
rujukan dari faskes sekunder dan faskes primer.
2. Pelayanan kesehatan di faskes primer yang dapat dirujuk langsung ke faskes tersier hanya
untuk kasus yang sudah ditegakkan diagnosis dan rencana terapinya, merupakan
pelayanan berulang dan hanya tersedia di faskes tersier.
3. Ketentuan pelayanan rujukan berjenjang dapat dikecualikan dalam kondisi:
a. terjadi keadaan gawat darurat; Kondisi kegawatdaruratan mengikuti ketentuan yang
berlaku
b. bencana; Kriteria bencana ditetapkan oleh Pemerintah Pusat dan atau Pemerintah
Daerah.
c. kekhususan permasalahan kesehatan pasien; untuk kasus yang sudah ditegakkan
rencana terapinya dan terapi tersebut hanya dapat dilakukan di fasilitas kesehatan
lanjutan
d. pertimbangan geografis; dan
e. pertimbangan ketersediaan fasilitas
4. Pelayanan oleh bidan dan perawat
a. Dalam keadaan tertentu, bidan atau perawat dapat memberikan pelayanan kesehatan
tingkat pertama sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
b. Bidan dan perawat hanya dapat melakukan rujukan ke dokter dan/atau dokter gigi
pemberi pelayanan kesehatan tingkat pertama kecuali dalam kondisi gawat darurat dan
kekhususan permasalahan kesehatan pasien, yaitu kondisi di luar kompetensi dokter
dan/atau dokter gigi pemberipelayanan kesehatan tingkat pertama
5. Rujukan Parsial
a. Rujukan parsial adalah pengiriman pasien atau spesimen ke pemberi pelayanan
kesehatan lain dalam rangka menegakkan diagnosis atau pemberian terapi, yang
merupakan satu rangkaian perawatan pasien di Faskes tersebut.
b. Rujukan parsial dapat berupa:
1) pengiriman pasien untuk dilakukan pemeriksaan penunjang atau tindakan
2) pengiriman spesimen untuk pemeriksaan penunjang
c. Apabila pasien tersebut adalah pasien rujukan parsial, maka penjaminan pasien
dilakukan oleh fasilitas kesehatan perujuk.

5. Bagaimana isi konsep Bloom?


Konsep hidup sehat H.L.Bloom sampai saat ini masih relevan untuk diterapkan. Kondisi sehat
secara holistik bukan saja kondisi sehat secara fisik melainkan juga spiritual dan sosial dalam
bermasyarakat. Untuk menciptakan kondisi sehat seperti ini diperlukan suatu keharmonisan
dalam menjaga kesehatan tubuh. H.L Blum menjelaskan ada empat faktor utama yang
mempengaruhi derajat kesehatan masyarakat. Keempat faktor tersebut merupakan faktor
determinan timbulnya masalah kesehatan.

Keempat faktor tersebut terdiri dari faktor perilaku/gaya hidup (life style), faktor lingkungan
(sosial, ekonomi, politik, budaya), faktor pelayanan kesehatan (jenis cakupan dan kualitasnya)
dan faktor genetik (keturunan). Keempat faktor tersebut saling berinteraksi yang
mempengaruhi kesehatan perorangan dan derajat kesehatan masyarakat. Diantara faktor
tersebut faktor perilaku manusia merupakan faktor determinan yang paling besar dan paling
sukar ditanggulangi, disusul dengan faktor lingkungan. Hal ini disebabkan karena faktor
perilaku yang lebih dominan dibandingkan dengan faktor lingkungan karena lingkungan
hidup manusia juga sangat dipengaruhi oleh perilaku masyarakat.

Kaitan teori H.L Bloom dengan status kesehatan seseorang dapat dilihat dari keempat factor
tersebut yang pertama adalah lingkungan: orang yang bermukim di tempat yang bisa
dikatakan kumuh tentu akan berbeda status kesehatannya dengan yang tinggal dikompleks elit
dan asri. hal ini dikarenakan kebersihan udara dan daerah sekitar tempat tinggal memiliki
keadaan yang sangat berbeda. anak-anak yang tinggal dikompleks elit atau bersih maka akan
lebih terjaga kesehatannya di bandingakan anak-anak yang tinggal didaerah kumuh.
Kemudian yang kedua adalah perilaku: perilaku yang sehat akan menunjang meningkatnya
derajat kesehatan di masyarakat. Hal ini juga berpengaruh terhadap status kesehatan seseorang
karena berkaitan dengan gaya hidup & kebiasaan pola makan seseorang. Pola makan yang
sehat dapat menghindarkan diri kita dari banyak penyakit, diantaranya penyakit jantung, darah
tinggi, stroke, kegemukan, diabetes mellitus dan lain-lain. Perilaku atau kebiasaan mencuci
tangan sebelum makan juga dapat menghindarkan kita dari penyakit saluran cerna. Yang
ketiga adalah pelayanan kesehatan: Masyarakat yang belum atau tidak pernah mendapat
arahan tentang kesehatan ataupun pengobatan yang tepat akan berbeda status kesehatannya
dengan mereka yang sudah mendapatkan arahan, pengobatan, dan sosialisasi kesehatan. Hal
ini dikarenakan kesadaran mereka yang akan semakin meningkat tentang pentingnya
kesehatan. Dalam hal ini dibutuhkan peran aktif dari tenaga medis untuk memberikan
sosialisasi dan pelayanan kesehatan yang baik bagi masyarakat agar status kesehatan
masyarakat dapat meningkat. Yang kempat adalah keturunan: Keturunan (genetik) merupakan
faktor yang telah ada dalam diri manusia yang dibawa sejak lahir, hal ini juga dapat dikait kan
dengan status kesehatan seseorang, misalnya dari golongan penyakit keturunan seperti
diabetes melitus dan asma bronchial.
Hendrik L Bloom juga menyebutkan 12 indikator yang berhubungan dengan derajat
kesehatan, yaitu:

1. Life spam: yaitu lamanya usia harapan untuk hidup dari masyarakat, atau dapat juga
dipandang sebagai derajat kematian masyarakat yang bukan karena mati tua.
2. Disease or infirmity: yaitu keadaan sakit atau cacat secara fisiologis dan anatomis dari
masyarakat.
3. Discomfort or ilness: yaitu keluhan sakit dari masyarakat tentang keadaan somatik,
kejiwaan maupun sosial dari dirinya.
4. Disability or incapacity: yaitu ketidakmampuan seseorang dalam masyarakat untuk
melakukan pekerjaan dan menjalankan peranan sosialnya karena sakit.
5. Participation in health care: yaitu kemampuan dan kemauan masyarakat untuk
berpartisipasi dalam menjaga dirinya untuk selalu dalam keadaan sehat.
6. Health behaviour: yaitu perilaku manusia yang nyata dari anggota masyarakat secara
langsung berkaitan dengan masalah kesehatan.
7. Ecologic behaviour: yaitu perilaku masyarakat terhadap lingkungan, spesies lain,
sumber daya alam, dan ekosistem.
8. Social behaviour: yaitu perilaku anggota masyarakat terhadap sesamanya, keluarga,
komunitas dan bangsanya.

6. Bagaimana isi dari APGAR?


APGAR score adalah skor yang digunakan untuk menilai fungsi keluarga
ditinjau dari sudut pandang setiap anggota keluarga terhadap hubungannya
dengan anggota keluarga yang lain. APGAR score meliputi :
1) Adaptation : kemampuan anggota keluarga tersebut beradapatasi
dengan anggota keluarga yang lain, serta penerimaan, dukungan dan
saran dari anggota keluarga yang lain.
2) Partnership : menggambarkan komunikasi, saling membagi saling mengisi
antara anggota keluarga dalam segala masalah yang dialami oleh keluarga
tersebut.
3) Growth : menggambarkan dukungan keluarga terhadap hal hal baru
yang dilakukan anggota keluarga tersebut.
4) Affection : menggambarkan hubungan kasih sayang dan interaksi antar
anggota keluarga.
5) Resolve : menggambarkan kepuasan anggota keluarga tentang
kebersamaan dan waktu yang dihabiskan bersama anggota keluarga yang
lain.

LEARNING ISSUES
1. Sifat dokter keluarga dengan pendekatan holistik dalam prakteknya

Bersifat holistic artinya tidak dibatasi pada masalah biomedis pasien saja, tetapi juga dengan
melihat latar belakang pada sosial-budaya pasien yang mungkin berkaitan dengan
penyakitnya. Misalnya, banyak penyakit didapat dari pekerjaannya seperti nyeri otot dan
tulang, randang saluran napas, radang kulit atau kelelahan. Jika penyakit tersebut tidak
ditangani secara holistik dan hanya terfokus pada gejala atau penyakitnya saja, maka tidak
akan benar-benar disembuhkan.

Pelayanan yang disediakan dokter keluarga bersifat menyeluruh, yaitu peduli bahwa pasien
adalah seorang manusia seutuhnya yang terdiri dari fisik, metal, sosial dan spiritual, serta
berkehidupan di tengah lingkungan fisik dan sosialnya.

1) Pasien adalah manusia seutuhnya


Pelayanan dokter keluarga memiliki sistim untuk memandang pasien sebagai manusia
yang seutuhnya.
2) Pasien adalah bagian dari keluarga dan lingkungannya
Pelayanan dokter keluarga memiliki sistim untuk memandang pasien sebagai bagian dari
keluarga pasien, dan memperhatikan bahwa keluarga pasien dapat mempengaruhi
dan/atau dipengaruhi oleh situasi dan kondisi kesehatan pasien.
3) Pelayanan menggunakan segala sumber disekitarnya
Pelayanan dokter keluarga mendayagunakan segala sumber di sekitar kehidupan pasien
untuk meningkatkan keadaan kesehatan pasien dan keluarganya.

2. Komunikasi dengan pasien dan keluarga


Komunikasi efektif diharapkan dapat mengatasi kendala yang ditimbulkan oleh kedua pihak,
pasien dan dokter. Opini yang menyatakan bahwa mengembangkan komunikasi dengan
pasien hanya akan menyita waktu dokter, tampaknya harus diluruskan. Sebenarnya bila dokter
dapat membangun hubungan komunikasi yang efektif dengan pasiennya, banyak hal-hal
negatif dapat dihindari. Dokter dapat mengetahui dengan baik kondisi pasien dan keluarganya
dan pasien pun percaya sepenuhnya kepada dokter. Kondisi ini amat berpengaruh pada proses
penyembuhan pasien selanjutnya. Pasien merasa tenang dan aman ditangani oleh dokter
sehingga akan patuh menjalankan petunjuk dan nasihat dokter karena yakin bahwa semua
yang dilakukan adalah untuk kepentingan dirinya. Pasien percaya bahwa dokter tersebut dapat
membantu menyelesaikan masalah kesehatannya.

Kurtz (1998) menyatakan bahwa komunikasi efektif justru tidak memerlukan waktu lama.
Komunikasi efektif terbukti memerlukan lebih sedikit waktu karena dokter terampil
mengenali kebutuhan pasien (tidak hanya ingin sembuh). Dalam pemberian pelayanan medis,
adanya komunikasi yang efektif antara dokter dan pasien merupakan kondisi yang diharapkan
sehingga dokter dapat melakukan manajemen pengelolaan masalah kesehatan bersama pasien,
berdasarkan kebutuhan pasien.

Namun disadari bahwa dokter dan dokter gigi di Indonesia belum disiapkan untuk
melakukannya. Dalam kurikulum kedokteran dan kedokteran gigi, membangun komunikasi
efektif dokter-pasien belum menjadi prioritas. Untuk itu dirasakan perlunya memberikan
pedoman (guidance) untuk dokter guna memudahkan berkomunikasi dengan pasien dan atau
keluarganya. Melalui pemahaman tentang hal-hal penting dalam pengembangan komunikasi
dokter-pasien diharapkan terjadi perubahan sikap dalam hubungan dokter-pasien.
Tujuan dari komunikasi efektif antara dokter dan pasiennya adalah untuk mengarahkan proses
penggalian riwayat penyakit lebih akurat untuk dokter, lebih memberikan dukungan pada
pasien, dengan demikian lebih efektif dan efisien bagi keduanya (Kurtz, 1998).

Menurut Kurzt (1998), dalam dunia kedokteran ada dua pendekatan komunikasi yang
digunakan:
Disease centered communication style atau doctor centered communication style.
Komunikasi berdasarkan kepentingan dokter dalam usaha menegakkan diagnosis,
termasuk penyelidikan dan penalaran klinik mengenai tanda dan gejala-gejala.
Illness centered communication style atau patient centered communication style.
Komunikasi berdasarkan apa yang dirasakan pasien tentang penyakitnya yang secara
individu merupakan pengalaman unik. Di sini termasuk pendapat pasien,
kekhawatirannya, harapannya, apa yang menjadi kepentingannya serta apa yang
dipikirkannya.

Dengan kemampuan dokter memahami harapan, kepentingan, kecemasan, serta kebutuhan


pasien, patient centered communication style sebenarnya tidak memerlukan waktu lebih lama
dari pada doctor centered communication style.

Keberhasilan komunikasi antara dokter dan pasien pada umumnya akan melahirkan
kenyamanan dan kepuasan bagi kedua belah pihak, khususnya menciptakan satu kata
tambahan bagi pasien yaitu empati. Empati itu sendiri dapat dikembangkan apabila dokter
memiliki ketrampilan mendengar dan berbicara yang keduanya dapat dipelajari dan dilatih.

Carma L. Bylund & Gregory Makoul dalam tulisannya tentang Emphatic Communication in
Physician-Patient Encounter (2002), menyatakan betapa pentingnya empati ini
dikomunikasikan. Dalam konteks ini empati disusun dalam batasan definisi berikut:

1) kemampuan kognitif seorang dokter dalam mengerti kebutuhan pasien (a


physician cognitive capacity to understand patients needs),
2) menunjukkan afektifitas/sensitifitas dokter terhadap perasaan pasien (an
affective sensitivity to patients feelings),
3) kemampuan perilaku dokter dalam memperlihatkan/menyampaikan
empatinya kepada pasien (a behavioral ability to convey empathy to
patient).

Sementara, Bylund & Makoul (2002) mengembangkan 6 tingkat empati yang dikodekan
dalam suatu sistem (The Empathy Communication Coding System (ECCS) Levels). Berikut
adalah contoh aplikasi empati tersebut:

Level 0: Dokter menolak sudut pandang pasien

Mengacuhkan pendapat pasien

Membuat pernyataan yang tidak menyetujui pendapat pasien


seperti Kalau stress ya, mengapa datang ke sini? Atau Ya, lebih
baik operasi saja sekarang.

Level 1: Dokter mengenali sudut pandang pasien secara sambil lalu

A ha, tapi dokter mengerjakan hal lain: menulis, membalikkan


badan, menyiapkan alat, dan lain-lain

Level 2: Dokter mengenali sudut pandang pasien secara implisit

Pasien, Pusing saya ini membuat saya sulit bekerja

Dokter, Ya...? Bagaimana bisnis Anda akhir-akhir ini?

Level 3: Dokter menghargai pendapat pasien

Anda bilang Anda sangat stres datang ke sini? Apa Anda mau
menceritakan lebih jauh apa yang membuat Anda stres?

Level 4: Dokter mengkonfirmasi kepada pasien

Anda sepertinya sangat sibuk, saya mengerti seberapa besar usaha


Anda untuk menyempatkan berolah raga

Level 5: Dokter berbagi perasaan dan pengalaman (sharing feelings and


experience) dengan pasien.
Ya, saya mengerti hal ini dapat mengkhawatirkan Anda berdua.
Beberapa pasien pernah mengalami aborsi spontan, kemudian
setelah kehamilan berikutnya mereka sangat, sangat, khawatir

Tujuan

Dari sekian banyak tujuan komunikasi maka yang relevan dengan profesi dokter adalah:

1. Memfasilitasi terciptanya pencapaian tujuan kedua pihak (dokter dan pasien).


2. Membantu pengembangan rencana perawatan pasien bersama pasien, untuk
kepentingan pasien dan atas dasar kemampuan pasien, termasuk kemampuan finansial.
3. Membantu memberikan pilihan dalam upaya penyelesaian masalah kesehatan pasien.
4. Membimbing pasien sampai pada pengertian yang sebenarnya tentang
penyakit/masalah yang dihadapinya.
5. Membantu mengendalikan kinerja dokter dengan acuan langkah-langkah atau halhal
yang telah disetujui pasien.

Manfaat

Berdasarkan hari penelitian, manfaat komunikasi efektif dokter-pasien di antaranya:

1. Meningkatkan kepuasan pasien dalam menerima pelayanan medis dari dokter atau
institusi pelayanan medis.
2. Meningkatkan kepercayaan pasien kepada dokter yang merupakan dasar hubungan
dokter-pasien yang baik.
3. Meningkatkan keberhasilan diagnosis terapi dan tindakan medis.
4. Meningkatkan kepercayaan diri dan ketegaran pada pasien fase terminal dalam
menghadapi penyakitnya.

Sikap Profesional Dokter

Sikap profesional seorang dokter ditunjukkan ketika dokter berhadapan dengan tugasnya
(dealing with task), yang berarti mampu menyelesaikan tugas-tugasnya sesuai peran dan
fungsinya; mampu mengatur diri sendiri seperti ketepatan waktu, pembagian tugas profesi
dengan tugas-tugas pribadi yang lain (dealing with one-self); dan mampu menghadapi
berbagai macam tipe pasien serta mampu bekerja sama dengan profesi kesehatan yang lain
(dealing with others). Di dalam proses komunikasi dokter-pasien, sikap profesional ini penting
untuk membangun rasa nyaman, aman, dan percaya pada dokter, yang merupakan landasan
bagi berlangsungnya komunikasi secara efektif (Silverman, 1998). Sikap profesional ini
hendaknya dijalin terus-menerus sejak awal konsultasi, selama proses konsultasi berlangsung,
dan di akhir konsultasi.

Contoh sikap dokter ketika menerima pasien:

Menyilakan masuk dan mengucapkan salam.


Memanggil/menyapa pasien dengan namanya.
Menciptakan suasana yang nyaman (isyarat bahwa punya cukup waktu, menganggap
penting informasi yang akan diberikan, menghindari tampak lelah).
Memperkenalkan diri, menjelaskan tugas/perannya (apakah dokter umum, spesialis,
dokter keluarga, dokter paliatif, konsultan gizi, konsultan tumbuh kembang, dan
lainlain).
Menilai suasana hati lawan bicara
Memperhatikan sikap non-verbal (raut wajah/mimik, gerak/bahasa tubuh) pasien
Menatap mata pasien secara profesional yang lebih terkait dengan makna
menunjukkan perhatian dan kesungguhan mendengarkan.
Memperhatikan keluhan yang disampaikan tanpa melakukan interupsi yang tidak
perlu.
Apabila pasien marah, menangis, takut, dan sebagainya maka dokter tetap
menunjukkan raut wajah dan sikap yang tenang.
Melibatkan pasien dalam rencana tindakan medis selanjutnya atau pengambilan
keputusan.
Memeriksa ulang segala sesuatu yang belum jelas bagi kedua belah pihak.
Melakukan negosiasi atas segala sesuatu berdasarkan kepentingan kedua belah pihak.
Membukakan pintu, atau berdiri ketika pasien hendak pulang.
Sesi Pengumpulan Informasi
Di dalam komunikasi dokter-pasien, ada dua sesi yang penting, yaitu sesi pengumpulan
informasi yang di dalamnya terdapat proses anamnesis, dan sesi penyampaian informasi.
Tanpa penggalian informasi yang akurat, dokter dapat terjerumus ke dalam sesi penyampaian
informasi (termasuk nasihat, sugesti atau motivasi dan konseling) secara prematur. Akibatnya
pasien tidak melakukan sesuai anjuran dokter.

Dalam dunia kedokteran, model proses komunikasi pada sesi penggalian informasi telah
dikembangkan oleh Van Dalen (2005) dan digambarkan dalam sebuah model yang sangat
sederhana dan aplikatif.

Kotak 1 : Pasien memimpin pembicaraan melalui pertanyaan terbuka yang


dikemukakan oleh dokter (Patient takes the lead through open ended question by the
doctor)
Kotak 2 : Dokter memimpin pembicaraan melalui pertanyaan tertutup/terstruktur yang
telah disusunnya sendiri (Doctors takes the lead through closed question by the
doctor).
Kotak 3 : Kesepakatan apa yang harus dan akan dilakukan berdasarkan negosiasi
kedua belah pihak (Negotiating agenda by both).

Sesi penggalian informasi terdiri dari:


1. Mengenali alasan kedatangan pasien, dimana belum tentu keluhan utama secara medis
(Silverman, 1998). Inilah yang disebut dalam kotak pertama model Van Dalen (2005).
Pasien menceritakan keluhan atau apa yang dirasakan sesuai sudut pandangnya (illness
perspective). Pasien berada pada posisi sebagai orang yang paling tahu tentang dirinya
karena mengalaminya sendiri. Sesi ini akan berhasil apabila dokter mampu menjadi
pendengar yang aktif (active listerner). Pendengar yang aktif adalah fasilitator yang baik
sehingga pasien dapat mengungkapkan kepentingan, harapan, kecemasannya secara
terbuka dan jujur. Hal ini akan membantu dokter dalam menggali riwayat kesehatannya
yang merupakan data-data penting untuk menegakkan diagnosis.
2. Penggalian riwayat penyakit (Van Thiel, 2000)
Penggalian riwayat penyakit (anamnesis) dapat dilakukan melalui pertanyaanpertanyaan
terbuka dahulu, yang kemudian diikuti pertanyaan tertutup yang membutuhkan jawaban
ya atau tidak. Inilah yang dimaksud dalam kotak kedua dalam model Van Dalen
(2005). Dokter sebagai seorang yang ahli, akan menggali riwayat kesehatan pasien sesuai
kepentingan medis (disease perspective).

Selama proses ini, fasilitasi terus dilakukan agar pasien mengungkapkan keluhannya
dengan terbuka, serta proses negosiasi saat dokter hendak melakukan komunikasi satu
arah maupun rencana tindakan medis.

Pertanyaan-pertanyaan terbuka yang dapat ditanyakan: Bagaimana pusing tersebut Anda


rasakan, dapat diceritakan lebih jauh? Menurut Anda pusing tersebut reda bila Anda
melakukan sesuatu, meminum obat tertentu, atau bagaimana menurut Anda? Sedangkan
pertanyaan tertutup yang merupakan inti dari anamnesis meliputi: Eksplorasi terhadap
riwayat penyakit dahulu Eksplorasi terhadap riwayat penyakit keluarga Eksplorasi
terhadap riwayat penyakit sekarang, contoh menggunakan pedoman Macleods clinical
examination seperti disebutkan dalam Kurtz (1998).

Sesi Penyampaian Informasi


Setelah sesi sebelumnya dilakukan dengan akurat, maka dokter dapat sampai kepada sesi
memberikan penjelasan. Tanpa informasi yang akurat di sesi sebelumnya, dokter dapat
terjebak kedalam kecurigaan yang tidak beralasan.

Secara ringkas ada 6 (enam) hal yang penting diperhatikan agar efektif dalam berkomunikasi
dengan pasien, yaitu:
1. Materi Informasi apa yang disampaikan
a. Tujuan anamnesis dan pemeriksaan fisik (kemungkinan rasa tidak nyaman/sakit saat
pemeriksaan).
b. Kondisi saat ini dan berbagai kemungkinan diagnosis.
c. Berbagai tindakan medis yang akan dilakukan untuk menentukan diagnosis, termasuk
manfaat, risiko, serta kemungkinan efek samping/komplikasi.
d. Hasil dan interpretasi dari tindakan medis yang telah dilakukan untuk menegakkan
diagnosis.
e. Diagnosis, jenis atau tipe.
f. Pilihan tindakan medis untuk tujuan terapi (kekurangan dan kelebihan masingmasing
cara).
g. Prognosis.
h. Dukungan (support) yang tersedia.

2. Siapa yang diberi informasi


a. Pasien, apabila dia menghendaki dan kondisinya memungkinkan.
b. Keluarganya atau orang lain yang ditunjuk oleh pasien.
c. Keluarganya atau pihak lain yang menjadi wali/pengampu dan bertanggung jawab atas
pasien kalau kondisi pasien tidak memungkinkan untuk berkomunikasi sendiri secara
langsung

3. Berapa banyak atau sejauh mana


a. Untuk pasien: sebanyak yang pasien kehendaki, yang dokter merasa perlu untuk
disampaikan, dengan memerhatikan kesiapan mental pasien.
b. Untuk keluarga: sebanyak yang pasien/keluarga kehendaki dan sebanyak yang dokter
perlukan agar dapat menentukan tindakan selanjutnya.
c.
4. Kapan menyampaikan informasi Segera, jika kondisi dan situasinya memungkinkan.
5. Di mana menyampaikannya
a. Di ruang praktik dokter.
b. Di bangsal, ruangan tempat pasien dirawat.
c. Di ruang diskusi.
d. Di tempat lain yang pantas, atas persetujuan bersama, pasien/keluarga dan dokter.
6. Bagaimana menyampaikannya
a. Informasi penting sebaiknya dikomunikasikan secara langsung, tidak melalui telpon,
juga tidak diberikan dalam bentuk tulisan yang dikirim melalui pos, faksimile, sms,
internet.
b. Persiapan meliputi:
materi yang akan disampaikan (bila diagnosis, tindakan medis, prognosis sudah
disepakati oleh tim);
ruangan yang nyaman, memperhatikan privasi, tidak terganggu orang lalu lalang,
suara gaduh dari tv/radio, telepon;
waktu yang cukup;
mengetahui orang yang akan hadir (sebaiknya pasien ditemani oleh
keluarga/orang yang ditunjuk; bila hanya keluarga yang hadir sebaiknya lebih dari
satu orang).
c. Jajaki sejauh mana pengertian pasien/keluarga tentang hal yang akan dibicarakan.
d. Tanyakan kepada pasien/keluarga, sejauh mana informasi yang diinginkan dan amati
kesiapan pasien/keluarga menerima informasi yang akan diberikan.

Ada empat langkah yang terangkum dalam satu kata untuk melakukan komunikasi, yaitu SAJI
(Poernomo, Ieda SS, Program Family Health Nutrition, Depkes RI, 1999).

S = Salam

A = Ajak Bicara

J = Jelaskan

I = Ingatkan

Salam:

Beri salam, sapa dia, tunjukkan bahwa Anda bersedia meluangkan waktu untuk berbicara dengannya.

Ajak Bicara:
Usahakan berkomunikasi secara dua arah. Jangan bicara sendiri. Dorong agar pasien mau dan
dapat mengemukakan pikiran dan perasaannya. Tunjukkan bahwa dokter menghargai
pendapatnya, dapat memahami kecemasannya, serta mengerti perasaannya. Dokter dapat
menggunakan pertanyaan terbuka maupun tertutup dalam usaha menggali informasi.

Jelaskan:

Beri penjelasan mengenai hal-hal yang menjadi perhatiannya, yang ingin diketahuinya, dan
yang akan dijalani/dihadapinya agar ia tidak terjebak oleh pikirannya sendiri. Luruskan
persepsi yang keliru. Berikan penjelasan mengenai penyakit, terapi, atau apapun secara jelas
dan detil.

Ingatkan:

Percakapan yang dokter lakukan bersama pasien mungkin memasukkan berbagai materi
secara luas, yang tidak mudah diingatnya kembali. Di bagian akhir percakapan, ingatkan dia
untuk hal-hal yang penting dan koreksi untuk persepsi yang keliru. Selalu melakukan
klarifikasi apakah pasien telah mengerti benar, maupun klarifikasi terhadap hal-hal yang
masih belum jelas bagi kedua belah pihak serta mengulang kembali akan pesan-pesan
kesehatan yang penting.

You might also like