You are on page 1of 30

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb

Segala puji kita panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan

kesehatan kepada penulis, sehingga penulis dapat menyusun referat dengan judul

Otomikosis. Referat ini disusun untuk memenuhi syarat dalam mengikuti

kepaniteraan klinik bagian THT di RSUD dr. Slamet Garut. Dalam kesempatan ini

penlis ingin menyampaikan rasa terima kasih kepada:

1. Dr. H. W. Gunawan Kurnaedi Sp. THT-KL selaku pembimbing

2. Para perawat dibagian poli THT RSUD dr. Slamet Garut

3. Teman-teman sejawat dokter muda di stase THT RSUD dr. Slamet Garut

Penulis menyadari bahwa referat yang penulis kerjakan masih jauh dari

sempurna, oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis

harapkan untuk perbaikan dalam pembuatan referat selanjutnya. Akhirkata, penulis

mengharapkan referat ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca khususnya penulis.

Garut, Oktober 2017

Penyusun

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................... 1

DAFTAR ISI................................................................................................... 2

BAB I PENDAHULUAN ......................................................................... 3

BAB II Anatomi Telinga ................................................................... 5

BAB III Otomikosis .................................................................. 13

3.1 Penyakit Telinga Luar .............................................................. 13

3.2 Definisi ............................................................................ 14

3.3 Epidemiologi ............................................................................ 15

3.4 Etiologi ................................................................................ 15

3.5 Faktor Presdiposisi ................................................................... 16

3.6 Patofisiologi ............................................................................. 17

3.7 Gambaran Klinis ...................................................................... 19

3.8 Pemeriksaan Penunjang .......................................................... 21

3.9 Pemeriksaan Laboratorium ...................................................... 22

3.10 Diagnosis ................................................................................ 22

3.11 Diagnosis Banding .................................................................... 23

3.12 Penatalaksanaan ....................................................................... 24

3.13 Komplikasi ............................................................................... 26

3.14 Prognosis ................................................................................ 27

BAB IV KESIMPULAN . 28

DAFTAR PUSTAKA. 29

2
BAB I

PENDAHULUAN

Infeksi pada telinga bagian luar atau yang sering disebut sebagai otitis eksterna

memiliki beberapa penyebab seperti bakteri dan juga jamur. Dua penyebab ini

terkadang sulit dibedakan karena memiliki keluhan yang hampir sama dan tidak

spesifik. Hal ini menyebabkan pengobatan dari infeksi itu sendiri sering tidak tepat

sasaran.

Otomikosis atau otitis eksterna fungi sering disalah diagnosis sebagai otitis

eksterna bakteri. Padahal pengobatan dari OE oleh bakteri adalah antibiotik yang justru

tidak boleh diberikan pada infeksi oleh jamur karena dapat menyebabkan bertambah

banyaknya jamur penyebab infeksi.

Otomikosis sebenarnya kebanyakan disebabkan oleh organisme komensal

normal dari kulit liang telinga dimana pada kondisi normal tidak bersifat patogen.

Namun beberapa keadaan dapat menggeser keseimbangan antara bakteri dan jamur di

liang telinga. Banyak faktor predisposisi yang dapat mencetuskan terjadinya

otomikosis, antara lain kebiasaan penggunaan alat pembersih telinga, dermatitis,

kurangnya kebersihan, individu dengan immunocompromised, penyakit telinga

sebelumnya, penggunaan berkepanjangan dari obat antibiotik tetes telinga, antibiotik

spektrum luas, steroid, dan terpapar dengan kemoterapi.

Diagnosis dari otomikosis sendiri dapat ditegakan dari gejala klinis, otoskopi,

mikrobiologi, tes KOH, dan kultur. Untuk pengobatannya sendiri sekarang sudah

banyak tersedia preparat dengan tingkat efektifitas yang cukup tinggi mencapai 50-
3
100%. Namun penyakit ini sering menjadi tantangan bagi para klinisi karena angka

rekurensi yang tinggi, menyebaban penyakit ini sulit diatasi. Karena banyak sekali

faktor penyebab dari kondisi ini, maka dari itu harus diatasi terlebih dahulu sehingga

kekambuhan dapat dihindari.

4
BAB II

ANATOMI TELINGA

2.1 Anatomi Telinga

Telinga terdiri atas telinga luar, telinga tengah (kavum timpani), dan telinga

dalam (labyrinth). Telinga dalam berisi organ perdengaran dan keseimbangan (Snell

RS et al, 2006).

Gambar 1. Anatomi Telinga Luar, Tengah, dan Dalam

TELINGA LUAR

Telinga luar terdiri atas auricula dan meatus acusticus externus. Auricula

mempunyai bentuk yang khas dan berfungsi mengumpulkan getaran udara. Auricula

terdiri atas lempeng tulang rawan elastis tipis yang ditutupi kulit. Auricula mempunyai

otot intrinsik dan ekstrinsik, keduanya disarafi oleh N. facialis (Snell RS et al, 2006).

5
Meatus acusticus externus adalah tabung berkelok yang menghubungkan

auricula dengan membrana tympani. Tabung ini berfungsi menghantarkan gelombang

suara dari auricula ke membrana tympani. Pada orang dewasa panjangnya lebih kurang

1 inci (2,5cm), dan dapat diluruskan untuk memasukkan otoskop dengan cara menarik

auricula ke atas dan belakang. Pada anak-anak kecil, auricula ditarik lurus ke belakang,

atau ke bawah dan belakang. Bagian meatus yang paling sempit adalah kira-kira 5 mm

dari membrana tympani (Snell RS et al, 2006).

Rangka sepertiga bagian luar meatus adalah cartilago elastis, dan dua pertiga

bagian dalam adalah tulang, yang dibentuk oleh timpani. Meatus dilapisi oleh kulit,

dan sepertiga bagian luarnya mempunyai rambut, kelenjar sebacea, dan glandula

ceruminosa. Glandula ini adalah modifikasi kelenjar keringat yang menghasilkan

sekret lilin berwarna coklat kekuningan. Rambut dan lilin ini merupakan barier yang

lengket, untuk mencegah masuknya benda asing (Snell RS et al, 2006).

MAE dilapisi oleh epitel kubus bertingkat. Kulit yang melapisi kanal tulang lebih

tipis dibandingkan kanal kartilago, ketebalan sekitar 0,1 hingga 0,2 mm dan merupakan

lanjutan dari kulit yang melapisi bagian permukaan lateral membran timpani dan

aurikula. Sebagai hasilnya, tidak terdapat glandula atau folikel rambut pada kanal

tulang (Snell RS et al, 2006).

6
Gambar 2. Perbedaan Tebal Kulit Antara Kanal Kartilago dan Tulang, Diikuti dengan Perbedaan Struktur

Gambar 3. Lapisan Kulit pada Kanal Kartilago

Telinga mendapatkan suplai darah dari arteri aurikula posterior (lanjutan dari

arteri karotid eksterna) dan cabang kecil aurikuler dari arteri temporalis superfisial.

Dari arteri temporal superfisial, cabang aurikuler didistribusikan ke lobus, bagian

anterior aurikula dan meatus auditorius eksterna. Meatus sebagian disuplai oleh

pembuluh darah yang sama dengan aurikula tetapi bagian lebih dalam, termasuk

permukaan luar dari membran timpani, disuplai oleh arteri aurikuler dalam, cabang

pertama (mandibula) dari arteri maksilaris eksternus. Sementara vena mengikuti nama

dan perjalanan arteri sampai mereka meninggalkan regio telinga (Snell RS et al, 2006).

7
Gambar 4. Ilustrasi Inervasi Saraf Telinga

Inervasi sensoris dari aurikula dan kanalis telinga disuplai oleh cabang nervus

kranialis V dan X, dan dari pleksus servikalis, tetapi juga menerima cabang dari nervus

kranialis VII dan IX. Saraf sensorik yang melapisi kulit pelapis meatus berasal dari n.

auticulotemporalis dan ramus auricularis n. vagus (Snell RS et al, 2006).

Aliran limfe menuju nodi paridei superficiales, mastoidei, dan cervicales

superficiales (Snell RS et al, 2006).

TELINGA TENGAH (CAVUM TYMPANI)

Telinga tengah adalah ruang berisi udara di dalam pars petrosa ossis temporalis

yang dilapisi oleh membrana mucosa. Ruang ini berisi tulang-tulang pendengaran yang

berfungsi meneruskan getaran membrana timpani (gendang telinga) ke perilympha

telinga dalam. Cavum tympani (gendang telinga) berbentuk celah sempit yang miring,

dengan sumbu panjang terletak lebih kurang sejajar dengan bidang membran tympani.

Di depan, ruang ini berhubungan dengan nasopharynx melalui tuba auditiva dan di

belakang dengan antrum mastoideum (Snell RS et al, 2006).

8
Telinga tengah mempunyai atap, lantai, dinding anterior, dinding posterior,

dinding lateral, dan dinding medial. Atap dibentuk oleh lempeng tipis tulang, yang

disebut tegmen tympani, yang merupakan bagian dari pars petrosa ossis temporalis.

Lempeng ini memisahkan cavum tympani dari meningens dan lobus temporalis otak di

dalam fossa cranii media. Lantai dibentuk di bawah oleh lempeng tipis tulang, yang

mungkin tidak lengkap dan mungkin sebagian diganti oleh jaringan fibrosa. Lempeng

ini memisahkan cavum tympani dari bulbus superior V. jugularis interna (Snell RS et

al, 2006).

Bagian bawah dinding anterior dibentuk oleh lempeng tipis tulang yang

memisahkan cavum tympani dari a. carotis interna. Pada bagian atas dinding anterior

terdapat muara dari dua buah saluran. Saluran yang lebih besar dan terletak lebih bawah

menuju tuba auditiva, dan yang terletak lebih atas dan lebih kecil masuk ke dalam

saluran untuk m. tensor tympani. Septum tulang tipis, yang memisahkan saluran-

saluran ini diperpanjang ke belakang pada dinding medial, yang akan membentuk

tonjolan mirip selat. Di bagian atas dinding posterior terdapat sebuah lubang besar

yang tidak beraturan, yaitu aditus ad antrum. Di bawah ini terdapat penonjolan yang

berbentuk kerucut, sempit, kecil, disebut pyramis. Dari puncak pyramis ini keluar

tendo m.stapedius (Snell RS et al, 2006).

Sebagian besar dinding lateral dibentuk oleh membrana tympanica. Membrana

tympani adalah membrana fibrosa tipis yang berwarna kelabu mutiara. Membrana ini

terletak miring, menghadap ke bawah, depan, dan lateral. Permukaannya konkaf ke

lateral. Pada dasar cekungannya terdapat lekukan kecil, yaitu umbo, yang terbentuk

oleh ujung manubrium mallei. Bila membran terkena cahaya otoskop, bagian cekung

9
ini menghasilkan kerucut cahaya, yang memancar ke anterior dan inferior dari umbo

(Snell RS et al, 2006).

Membrana tympani berbentuk bulat dengan diameter lebih-kurang 1 cm.

pinggirnya tebal dan melekat di dalam alur pada tulang. Alur itu, yaitu sulcus

tympanicus, di bagian atasnya berbentuk incisura. Dari sisi-sisi incisura ini berjalan

dua plica, yaitu plica mallearis anterior dan posterior, yang menuju ke processus

lateralis mallei. Daerah segitiga kecil pada membrana tympani yang dibatasi oleh plica-

plica tersebut lemas dan disebut pars flaccida. Bagian lainnya tegang disebut pars

tensa. Manubrium mallei dilekatkan di bawah pada permukaan dalam membrana

tympani oleh membrana mucosa (Snell RS et al, 2006).

Membrana tympani sangat peka terhadap nyeri dan permukaan luarnya

dipersarafi oleh n. auriculotemporalis dan ramus auricularis n. vagus (Snell RS et

al, 2006).

Dinding medial dibentuk oleh dinding lateral telinga dalam. Bagian terbesar dari

dinding memperlihatkan penonjolan bulat, disebut promontorium, yang disebabkan

oleh lengkung pertama cochlea yang ada di bawahnya. Di atas dan belakang

promontorium terdapat fenestra vestibuli, yang berbentuk lonjong dan ditutupi oleh

basis stapedis. Pada sisi medial fenestra terdapat perilympha scala vestibuli telinga

dalam. Di bawah ujung posterior promontorium terdapat fenestra cochlea, yang

berbentuk bulat dan ditutupi oleh membrana tympani secundaria. Pada sisi medial

dari fenestra ini terdapat perilympha ujung buntu scala timpani (Snell RS et al, 2006).

10
Sebuah rigi bulat berjalan secara horizontal ke belakang, di atas promontorium

dan fenestra vestibuli dan dikenal sebagai prominentia canalis nervi faciali.

Sesampainya di dinding posterior, prominentia ini melengkung ke bawah di belakang

pyramis (Snell RS et al, 2006).

TELINGA DALAM (LABIRINTH)

Telinga dalam terdiri dari koklea (rumah siput) yang berupa dua setengah

lingkaran dan vestibuler yang terdiri dari 3 buah kanalis semisirkularis. Ujung atau

puncak koklea disebut helikotrema, meghubungkan perilimfa skala timpani dengan

skala vestibuli (Snell RS et al, 2006).

Kanalis semisirkularis saling berhubungan secara tidak lengkap dan membentuk

lingkaran yang tidak lengkap. Pada irisan melintang koklea tampak skala vestibuli

sebelah atas, skala timpani di sebelah bawah dan skala media (duktus koklearis)

diantaranya. Skala vestibuli dan skala timpani berisi perilimfa, sedangkan skala media

berisi endolimfa. Ion dan garam yang terdapat di perilimfa berbeda dengan endolimfa.

Hal ini penting untuk pendengaran. Dasar skala vestibuli disebut sebagai membran

vestibuli (Reissners membrane) sedangkan dasar skala media adalah membran basalis.

Pada membran ini terletak organ corti (Snell RS et al, 2006).

Pada skala media terdapat bagian yang berbentuk lidah yang disebut membran

tektoria, dan pada membran basal melekat sel rambut yang terdiri dari sel rambut

dalam, sel rambut luar dan kanalis Corti, yang membentuk organ corti (Snell RS et al,

2006).

11
2.2 Fisiologi Telinga

Proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh daun telinga

dalam bentuk gelombang yang dialirkan melalu udara atau tulang ke koklea. Getaran

tersebut menggetarkan membran timpani diteruskan ke telinga tengah melalui

rangkaian tulang pendengaran yang akan mengamplifikasi getaran melalui daya ungkit

tulang pendengaran dan perkalian perbandingan luas membran timpani dan tingkap

lonjong. Energi getar yang telah di amplifikasi ini akan diteruskan ke stapes yang

menggerakkan tingkap lonjong sehingga perilimfa pada skala vestibuli bergerak

(Soepardi EA et al, 2012).

Getaran diteruskan melalui membrana Reissner yang mendorong endolimfa,

sehingga akan menimbulkan gerak relatif antara membran basilaris dan membran

tektoria. Proses ini merupakan rangsang mekanik yang menyebabkan terjadinya

defleksi stereosilia sel-sel rambut, sehingga kanal ion terbuka dan terjadi penglepasan

ion bermuatan listrik dari badan sel. Keadaan ini menimbulkan proses depolarisasi sel

rambut, sehingga melepaskan neurotransmitter ke dalam sinapsis yang akan

menimbulkan potensial aksi pada saraf auditorius, lalu dilanjutkan ke nukleus

auditorius sampai korteks pendengaran (area 39-40) di lobus temporalis (Soepardi EA

et al, 2012).

12
BAB III

OTOMIKOSIS

3.1 Penyakit Telinga Luar

Telinga luar dipisahkan dengan telinga dalam oleh membrana timpani. Telinga

luar berfungsi mengumpulkan dan menghantarkan gelombang bunyi ke struktur-

struktur telinga tengah. Karena keunikan anatomi aurikula serta konfigurasi liang

telinga yang melengkung atau seperti spiral, maka telinga luar mampu melindungi

membran timpani dari trauma, benda asing dan efek termal (Soepardi EA et al, 2012).

Panjang liang teliga kira-kira 2,5cm, membentang dari bibir depan konka

hingga membrana timpani. Sepertiga bagian luar adalah bagian kartilaginosa

sedangkan duapertiga dalam adalah bagian tulang. Bagian yang sempit dari liang

telinga adalah dekat perbatasan tulang dan tulang rawan. Hanya sepertiga bagian luar

atau bagian kartilaginosa dari liang telinga yang dapat bergerak saat ditarik. Liang

telinga membentuk suatu kantung berlapis epitel yang dapat memerangkapkan

kelembaban, sehingga daerah ini menjadi rentan infeksi pada keadaan tertentu

(Soepardi EA et al, 2012).

Kulit yang melapisi bagian kartilaginosa lebih tebal daripada kulit bagian

tulang, selain itu juga mengandung folikel rambut yang banyaknya bervariasi antar

individu namun ikut membantu menciptakan suatu sawar dalam liang telinga. Anatomi

liang telinga bagian tulang sangat unik karena merupakan satu-satunya tempat dalam

tubuh di mana kulit langsung terletak di atas tulang tanpa adanya jaringan subkutan.

Dengan demikian daerah ini sangat peka, dan tiap pembengkakan akan sangat nyeri

karena tidak terdapat ruang untuk ekspansi (Soepardi EA et al, 2012).

13
Salah satu cara perlindungan yang diberikan telinga luar adalah dengan

pembentukkan serumen atau kotoran telinga. Sebagian besar struktur kelenjar

sebasea dan apokrin yang menghasilkan serumen terletak pada bagian kartilaginosa.

Eksfoliasi sel-sel stratum korneum ikut pula berperan dalam pembetukan materi yang

membentuk suatu lapisan pelindung penolak air pada dinding kanalis ini. pH gabungan

berbagai bahan tersebut adalah sekitar 6, suatu faktor tambahan yang berfungsi

mencegah infeksi. Lagipula, migrasi sel-sel epitel yang terlepas membentuk suatu

mekanisme pembersihan sendiri dari membran timpani ke arah luar (Soepardi EA et

al, 2012).

Infeksi dan radang liang telinga merupakan salah satu masalah THT yang paling

sering, khususya pada cuaca panas dan lembab. Pasien dengan gangguan aurikula atau

liang telinga seringkali datang dengan keluhan berikut nyeri (otalgia), gatal,

pembengkakan, perdarahan dan perasaan tersumbat (Soepardi EA et al, 2012).

3.2 Definisi Otomikosis

Otomikosis dideskripsikan sebagai infeksi mikotik superfisial pada kanal akustikus

externa (CAE) dengan komplikasi jarang yang melibatkan telinga tengah. Infeksi ini

dapat akut atau subakut, dan ditandai dengan rasa gatal, sakit telinga, telinga terasa

penuh dan merasa tidak nyaman. Infeksi jamur menyebabkan peradangan,

pengelupasan kulit, akumulasi massa debris yang mengandung elemen jamur, supurasi

(nanah), dan nyeri. Infeksi ini terjadi di seluruh dunia, tetapi lebih sering terjadi di

daerah tropis dan subtropis. Otomikosis merupakan sporadis dan disebabkan oleh

berbagai macam jamur, yang sebagian besar adalah saprobes yang terjadi dalam

beragam jenis material lingkungan (Carney AS et al, 2008).

14
3.3 Epidemiologi

Dalam 80% kasus, agen penyebab otomikosis adalah Aspergillus, sedangkan

Candida adalah penyebab berikutnya jamur yang paling sering terisolasi. Jamur

patogen lain yag lebih jarang terdiri dari Phycomycetes, Rhizopus, Actinomyces, dan

Penicillium. Aspergillus niger adalah patogen yang biasanya dominan meskipun

A.flavus, A.fumigatus, A.terreus (jamur berserabut), Candida albicans dan

C.parapsilosis (mirip ragi) juga sering ditemukan. Kumar (2005) mempelajari pasien

otomikosis dan didapatkan isolasi Aspergillus niger (52,43%), Aspergillus fumigates

(34,14%), C. albicans (11%), C.pseudotropicalis (1,21%) dan Mucor sp (1,21%).

Ahmad et al (1989) melakukan studi prospektif pada 53 pasien di Departemen THT

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dan mengisolasi jenis Aspergillus lebih

sering muncul daripada jenis Candida (Ahmad et al, 1989).

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Ali Zarei (2006), Otomikosis dijumpai

lebih banyak pada wanita (terutama ibu rumah tangga) daripada pria. Otomikosis

biasanya terjadi pada dewasa, dan jarang pada anak-anak. Pada penelitian tersebut,

dijumpai otomikosis sering pada remaja laki-laki, yang juga sesuai dengan yang

dilaporkan oleh peneliti lainnya. Tetapi berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh

Hueso et al dari 102 kasus ditemukan 55,8 % terjadi pada laki-laki, sedangkan 44,2%

pada wanita (Ali Zarei et al, 2006).

3.4 Etiologi

Infeksi jamur di liang telinga dipermudah oleh kelembaban yang tinggi di suatu

daerah. Jamur yang menyebabkan otomikosis pada umumnya adalah spesies jamur

15
saprofit yang berlimpah di alam dan bentuk itu adalah bagian dari flora komensalis dari

EAC yang sehat. Jenis jamur yang paling sering adalah Pityrosporum dan Aspergillus

(A. niger, A. flavus, A. funigatus, A. terreus), Candida albikans, dan C. parapsilosis

(yeast-like fungi) juga sering. Kadang-kadang juga ditemukan Phycomycetes,

Rhizopus, Actinomyces, dan Penicillium (Jadhav VJ et al, 2003).

Pada penelitian pasien otomikosis Kumar (2005) didapatkan prevalensi

penyebabnya Aspergillus fumigates (34,14%), Candida Albicans (11%), Candida

pseudotropicalis (1,21%) dan Mucor sp (1,21%). Beberapa peneliti melaporkan adanya

organisme penyebab lainnya seperti Penicillium sp dan spesies lain seperti Candida

seperti C.parapsilosis, C.gulliermondi dengan berbagai persentasi (Jadhav VJ et al,

2003).

3.5 Faktor Predisposisi

Faktor predisposisi otomikosis adalah kebiasaan penggunaan alat pembersih

telinga, dermatitis, kurangnya kebersihan, individu dengan immunocompromised,

penyakit telinga sebelumnya, penggunaan berkepanjangan dari obat antibiotik tetes

telinga, antibiotik spektrum luas, steroid, dan terpapar dengan kemoterapi. Selain itu,

sering juga menyerang pasien yang melakukan mastoidektomi open cavity dan mereka

yang menggunakan alat bantu dengar (Jackman A et al, 2005).

Otomikosis dapat terjadi karena hilangnya proteksi lipid atau asam dari telinga.

Kegagalan dari mekanisme pertahanan dari telinga (perubahan pada lapisan epitel,

perubahan PH, perubahan kualitas dan kuantitas serumen, infeksi bakteri, alat bantu

16
dengan atau prosthesis hearing, trauma yang ditimbulkan sendiri (membersihkan

telinga menggunakan Q-tips, berenang, atau neoplasma) (Jackman A et al, 2005).

Host dengan immunocompromised lebih rentan menderita otomikosis. Pasien

dengan diabetes, lymphoma atau AIDS dan pasien yang menjalani atau mendapatkan

kemoterapi atau terapi radiasi memiliki resiko tinggi untuk terjadinya komplikasi dari

otomikosis (Jackman A et al, 2005).

3.6 Patofisiologi

Serumen memiliki bahan antimikotik, bakteriostatik, dan perangkap serangga.

Serumen terdiri dari lipid (46-73%), protein, asam amino bebas, dan ion mineral yang

juga mengandung lisozim, imunoglobulin dan asam lemak. Asam lemak rantai panjang

terdapat pada kulit yang tidak rusak dapat mencegah pertumbuhan bakteri. Karena ia

memiliki komposisi hidrofobik, serumen memiliki kemampuan menghambat air,

membuat permukaan kanal tidak permeabel dan mencegah maserasi dan kerusakan

epitel (Viswanatha. B et al, 2012).

Pada hasil penelitian didapatkan C. Albicans dan C. parapsilosis dan jamur

mycelia yang lainnya adalah bagian dari flora normal dari EAC dan terkadang bergeser

ke status patogen dibawah pengaruh beberapa factor (Viswanatha. B et al, 2012).

Mikroorganime normal ditemukan pada EAC seperti Staphylococcus epidermis,

Corrynebacterium sp, Bacillus sp, Gram-positive cocci (Staphylococcus aureus,

Streptococcus sp, non-patogen micrococci), Gram negative bacilli (Pseudomonas

aeruginosa, Escheria coli, Haemophilus influenza, Moraxella catharalis, dll) dan jamur

mycelia dari genus Aspergillus dan Candida sp. Mikroorganisme komensal ini tidak

17
patogen hingga keseimbangan antara bakteri dan jamur terjaga (Viswanatha. B et al,

2012).

Beberapa faktor yang menyebabkan transformasi jamur saprofit menjadi patogen

antara lain: (Jackman A, 2005).

Faktor lingkungan (panas, kelembaban) biasa didapatkan pasien pada saat

musim panas dan gugur.

Perubahan pada epitel yang menutupi (penyakit dermatologi, mikro trauma)

Peningkatan PH pada EAC (mandi). Ozcan et al (2003) mendapati perenang

memiliki faktor predisposisi untuk otomikosis.

Pergeseran kualitas dan kuantitas serumen.

Faktor sistemik (perubahan imunitas, penyakit yang melemahkan,

kortikosteroid, antibiotik, sitostatik, neoplasia). Jackman et al (2005)

mendapati ofloxacin berkontribusi dalam perkembangan otomikosis.

Riwayat otitis bakterialis, otitis media supuratif kronis (OMSK) dan post

bedah mastoid. Kontaminasi bakteri dari kulit EAC awalnya terjadi pada

OMSK atau otitis media eksternus. Kerusakan pada permukaan epitel adalah

media yang baik bagi pertumbuhan mikroorganisme. Kerusakan epitel juga

menyebabkan penurunan sekresi apokrin dan glandula serumen dimana

mengubah lingkunga EAC menjadi cocok untuk pertumbuhan

mikroorganisme (pH normal 3-4).

Dermatomikosis dapat menjadi faktor resiko untuk rekurensi karena

autoinokulasi menjadi mungkin di antara bagian-bagian dari tubuh.

18
Kondisi dan kebiasaan sosial. Penutup kepala tradisional contohnya dapat

meningkatkan kelembaban dari kanal telinga dan menciptakan lingkungan

yang ideal untuk pertumbuhan jamur.

Jamur melimpah pada tanah atau pasir yang mengandung bahan organik yang

membusuk. Materi ini cepat mengering pada kondisi tropis dan tertiup oleh angin

sebagai partikel debu yang kecil. Spora jamur yang menyebar melalui udara terbawa

oleh uap air, suatu fakta bahwa adanya hubungan antara tingginya jumlah infeksi

dengan monsoon, dimana terjadi peningkatan kelembapan relatif hingga 80%

(Viswanatha. B et al, 2012).

Jamur mengakibatkan inflamasi, eksfoliasi epitel superfisial, massa debris yang

mengandung hifa, supurasi, dan nyeri. Karakteristik yang paling banyak ditemukan

pada pemeriksaan telinga adalah munculnya debris tebal berwarna putih keabu-abuan

yang sering dikenal sebagai wet blotting paper (Viswanatha. B et al, 2012).

Jamur tidak pernah menonjol keluar dari EAC, bahkan pada kasus kronis

sekalipun. Hal ini dikarenakan jamur tidak menemukan kebutuhan nutrisinya di luar

EAC. Hasil penelitian terbaru didapatkan pertumbuhan Aspergillus ditemukan paling

banyak pada temperatur 370C, sebuah fakta bahwa kondisi klinis ini didukung oleh

predileksi dari jamur untuk tumbuh di sepertiga dalam dari EAC (Viswanatha. B et al,

2012).

3.7 Gambaran Klinis

Gejala dari otitis eksterna bakteri dan otomikosis sering sulit dibedakan.

Bagaimanapun pruritus merupakan karakteristik paling sering dari infeksi mikosis dan

19
juga tidak nyaman di telinga, otalgia (nyeri telinga), rasa penuh di liang telinga, rasa

terbakar pada telinga, ottorhoea, hilangnya pendengaran, tinnitus, tetapi sering juga

tanpa keluhan (Ahmed Z et al, 2010).

Pytirosporum menyebabkan terbentuknya sisik yang menyerupai ketombe dan

merupakan perdisposisi otitis eksterna bakterialis maupun furunkel. Demikian pula

dengan jamur Aspergillus. Jamur ini terkadang didapatkan di liang telinga tanpa

adanya gejala apapun kecuali rasa tersumbat dalam telinga, atau dapat berupa

peradangan yang menyerang epitel kanalis atau gendang telinga dan menimbulkan

gejala-gejala akut. Kadang-kadang didapatkan pula Candida albicans (Ahmed Z et al,

2010).

Pada otoskopi sering ditemukan mycelia yang dapat menegakkan diagnosis.

EAC menjadi eritem dan debris jamur tampak putih, abu-abu, atau hitam. Pasien

biasanya tidak ada perbaikan signifikan dengan pengobatan antibiotik. Diagnosis dapat

dikonfirmasi dengan preparasi KOH atau positifnya kultur jamur (Ahmed Z et al,

2010).

Karakteristik pemeriksaan fisik dari infeksi jamur pada umumnya terlihat hifa

halus dan spora (conidiophores) tampak pada Aspergillus Candida, ragi, mycelia

dengan karakteristik putih ketika bercampur dengan serumen menjadi kekuningan

(Ahmed Z et al, 2010).

Infeksi kandida dapat lebih sulit dideteksi secara klinis karena kurangnya

penampakan karakteristik layaknya Aspergillus seperti otorrhea dan tidak respon

20
terhadap antimikroba. Otomikosis oleh kandida biasanya diidentifikasi oleh data kultur

(Ahmed Z et al, 2010).

3.8 Pemeriksaan Penunjang

Jamur yang menghasilkan otomikosis adalah spesies jamur yang pada umumnya

saprofit yang sering dijumpai dan bentuk yang merupakan bagian dari flora komensal

dari CAE sehat. Jamur ini umumnya Aspergillus dan Candida. Aspergillus niger

biasanya dominan ditemui meskipun A. flavus, A. fumigatus, A. terreus (jamur

filamentosa), C. albicans dan C. parapsilosis (ragi - seperti jamur) juga sering dijumpai

(Viswanatha. B et al, 2012).

Gambar 6. Penampakan klinis otomikosis

Otoskopi sering menunjukkan adanya miselia, menegakkan diagnosis. CAE

mungkin tampak eritem dan debris jamur dapat tampak putih, abu-abu, atau hitam.

Pasien biasanya mencoba obat-obatan antibakteri topikal, tetapi tidak ada respon yang

signifikan. Diagnosis dapat dikonfirmasi dengan mengidentifikasi jamur pada sediaan

KOH atau dengan kultur jamur positif (Viswanatha. B et al, 2012).

Karakteristik pemeriksaan fisik pada infeksi jamur ini menyerupai jamur pada

umumnya, dengan terlihatnya hifa halus dan spora (konidiofor) di Aspergillus. Candida

sering membentuk hamparan miselia dengan berwarna putih dan ketika bercampur

21
dengan serumen akan muncul kekuningan. Infeksi Candida dapat lebih sulit dideteksi

secara klinis karena kurangnya penampilan karakteristik seperti pada Aspergillus,

misalnya otorrhea yang tidak respon terhadap antimikroba aural (Viswanatha. B et al,

2012).

Morfologi koloni memungkinkan kita untuk membedakan antara jamur mirip

ragi dan filamen. Berwarna krem putih, koloni ragi yang halus atau kasar, atau jamur

dimorfik fase yang mirip ragi (meskipun sangat jarang). Jamur filamen cenderung

tumbuh berbentuk seperti debu, berbulu, tampak seprti wol, beludru atau koloni yang

berlipat akan akan menampakkan berbagai macam warna seperti putih, kuning, hijau,

biru kehijauan, atau hitam (Viswanatha. B et al, 2012).

Ahmad et al (1989) dalam penelitiannya membandingkan diagnosis otomikosis

berdasarkan pemeriksaan klinis dan pemeriksaan laboratorium. Mereka tidak

menemukan perbedaan signifikan antara pemeriksaan tersebut dan menyimpulkan

umumnya otomikosis yang dapat didiagnosis hanya dari pemeriksaan klinis.

3.9 Pemeriksaan Laboratorium

Morfologi dari koloni dapat membedakan antara yeast-like dan filamentous

fungi. Mayoritas koloni dengan krim putih, halus, dan kasar adalah ragi atau, sangat

jarang, yeast-like colonies dari jamur dimorfik. Filamentous fungi cenderung tumbuh

membentuk debu, helaian, untaian, berudu, atau lipatan yang terlihat dengan rentang

berbagai warna seperti putih, kuning, hijau, biru kehijauan, hitam, dll (Viswanatha. B

et al, 2012).

22
3.10 Diagnosis

Diagnosa didasarkan pada anamnesis, gejala klinis, dan pemeriksaan penunjang.

Adanya keluhan nyeri di dalam telinga, rasa gatal, adanya sekret yang keluar dari

telinga. Yang paling penting adalah kecenderungan beraktifitas yang berhubungan

dengan air, misalnya berenang, menyelam, dan sebagainya (Paparella MM et al, 2012).

Gejala klinik khas yang ditemukan adalah terasa gatal atau sakit di liang telinga

dan daun telinga menjadi merah, skuamous dan dapat meluas ke dalam liang telinga

sampai 2/3 bagian luar. Didapati adanya akumulasi debris fibrin yang tebal,

pertumbuhan hifa berfilamen yang berwana putih dan panjang dari permukaan kulit

(Paparella MM et al, 2012).

Berdasarkan pemeriksaan laboratorium pada preparat langsung, yaitu skuama dari

kerokan kulit liang telinga yang diperiksa dengan KOH 10% maka akan tampak hifa-

hifa lebar, berseptum, dan kadang-kadang dapat ditemukan spora-spora kecil dengan

diameter 2-3 mm. Skuama dibiakkan pada media Agar Saboraud, dan dieramkan pada

suhu kamar. Koloni akan tumbuh dalam satu minggu berupa koloni filamen berwarna

putih. Dengan mikroskop tampak hifa-hifa lebar dan pada ujung-ujung hifa dapat

ditemukan sterigma dan spora berjejer melekat pada permukaannya (Paparella MM et

al, 2012).

3.11 Diagnosis Banding

Otomikosis terkadang sulit dibedakan dari otitis eksterna terutama otitis eksterna

difusa. Infeksi campuran kadang terjadi. Biasanya isolasi bakteri terdiri dari negative

coagulase staphylococci, pseudomonas sp., Staphylococcus aureus, E. coli, dan

23
Klebsialla sp. Infeksi jamur dapat juga berkembang dari OMSK (Paparella MM et al,

2012).

3.12 Penatalaksanaan

Pengobatannya adalah dengan membersihkan liang telinga. Larutan asam asetat

2% dalam alkohol, larutan iodium povidon 5% atau tetes telinga yang mengandung

campuran antibiotik dan steroid yang diteteskan ke liang telinga biasanya dapat

menyembuhkan. Kadang-kadang diperlukan juga obat anti jamur yang dibagi menjadi

tipe non-spesifik dan spesifik (Ahmed Z et al, 2010).

1. Non-spesifik

Boric acid adalah medium asam dan sering digunakan sebagai antiseptik dan

insektisida. Dapat diberikan bila penyebabnya adalah Candida Albicans.

Gentian Violet

Castellanis paint (acetone, alkohol, fenol, fuchsin, resocinol)

Cresylate (merthiolate, M-cresyl acetate, propyleneglycol, bric acid, dan

alkohol)

Nystatin adalah antibiotik makrolid polyene yang dapat menghambat sintesis

sterol di membran sitoplasma. Keuntungan dari nistatin adalah tidak diserap

oleh kulit yang intak. Dapat diresepkan dalam bentuk krim, salep, atau bedak.

Efektif hingga 50-80%.

Azole adalah agen sintetis yang mengurangi konsentrasi ergosterol, sterol

esensial pada membran sitoplasma normal.

24
2. Spesifik

Clotrimoxazole digunakan secara luas sebagai topikal azole. Efektif hingga

95-100%. Clotrimoxazole memiliki efek bakterial dan ini adalah keuntungan

untuk mengobati infeksi campuran bakteri-jamur. Clotrimazole tersedia

dalam bentuk bubuk, lotion, dan solusio dan telah dinyatakan bebas dari efek

ototoksik.

Ketokonazole dan fluconazole memiliki spektrum luas. Ketokonazole (2%

krim) efektif hingga 95-100% melawan Aspergillus dan C. Albicans.

Fluconazole topikal efektif hingga 90% kasus.

Miconazole (2% krim) adalah imidazole yang telah dipercaya kegunaannya

selama lebih dari 30 tahun untuk pengobatan penyakit superfisial dan kulit.

Agen ini dibedakan dari azole yang lainnya dengan memiliki dua mekanisme

dalam aksinya. Mekanisme pertama adalah inhibisi dari sintesis ergosterol.

Mekanisme kedua dengan inhibisi dari peroksida, dimana dihasilkan oleh

akumulasi peroksida pada sel dan menyebabkan kematian sel. Efektif hingga

90%.

Bifonazole. Solusio 1% memiliki potensi sama dengan klotrimazol dan

miconazole. Efektif hingga 100%.

Itraconazole memiliki efek in vitro dan in vivo melawan spesies Aspergillus.

Bentuk salep lebih memiliki beberapa keuntungan dibandingkan dengan formula

tetes telinga karena dapat bertahan di kulit untuk waktu yang lama. Salep lebih aman

pada kasus perforasi membran timpani karena akses ke telinga tengah sedikit

diakibatkan tingginya viskositas. Penggunaan cresylate dan gentian violet harus

25
dihindari pada pasien dengan perforasi MT karena memiliki efek iritasi pada mukosa

telinga tengah (Ahmed Z et al, 2010).

Serta menghentikan penggunaan antibiotik topikal bila dicurigai sebagai

penyebabnya. Pada pasien immunocompromised, pengobatan otomikosis harus lebih

kuat untuk mencegah komplikasi seperti hilangnya pendengaran dan infeksi invasif ke

tulang temporal. Otomikosis terkadang sulit diatasi walaupun telah diobati dengan

pengobatan yang sesuai. Maka dari itu perlu ditentukan apakah kondisi ini akibat

penyakit otomikosis itu sendiri atau berhubungan dengan gangguan sistemik lainnya

atau hasil dari gangguan immunodefisiensi yang mendasari. Pengobatan lain selain

medikamentosa yaitu menjaga telinga tetap kering dan mengarahkan pada kembalinya

kondisi fisiologis dengan mencegah gangguan pada EAC (Ahmed Z et al, 2010).

3.13 Komplikasi

Perforasi membran dapat terjadi sebagai komplikasi dari otomikosis yang

bermula pada telinga dengan membran timpani intak. Insidens perforasi timpani pada

mikosis ditemukan menjadi 11%. Perforasi lebih sering terjadi pada otomikosis yang

disebabkan oleh Candida Albicans. Kebanyakan perforasi terjadi bagian malleus yang

melekat pada membran timpani. Mekanisme dari perforasi dihubungkan dengan

trombosis mikotik dari pembuluh darah membran timpani, menyebabkan nekrosis

avaskuler dari membran timpani. Enam pasien pada grup immunocompromised

mengalami perforasi timpani. Perforasi kecil dan terjadi pada kuadran posterior dari

membran timpani. Biasanya akan sembuh secara spontan dengan pengobatan medis.

Jarang namun jamur dapat menyebabkan otitis eksterna invasif , terutama pada pasien

26
immunocompromised. Terapi antifungal sistemik yang adekuat sangat diperlukan pada

pasien ini (Paparella MM et al, 2012).

3.14 Prognosis

Umumnya baik bila diobati dengan pengobatan yang adekuat. Pada saat terapi

dengan anti jamur dimulai, maka akan dimulai suatu proses resolusi (penyembuhan)

yang baik secara imunologi. Bagaimanapun juga, resiko kekambuhan sangat tinggi,

jika faktor yang menyebabkan infeksi sebenarnya tidak dikoreksi, dan fisiologi

lingkungan normal dari kanalis auditorius eksternus masih terganggu (Paparella MM

et al, 2012).

27
BAB IV

KESIMPULAN

Otomikosis adalah infeksi yang disebabkan oleh jamur baik bersifat akut, sub

akut, maupun kronik yang terjadi pada liang telinga luar (kanalis auditorius eksternus).

Gejala dari otomikosis dapat berupa nyeri pada telinga, keluarnya secret (otorrhea),

gatal, sampai berkurangnya pendengaran.

Faktor predisposisi yang menyebabkannya meliputi ketiadaan serumen,

kelembaban yang tinggi karena sering beraktifitas dalam air seperti berenang, dan

penggunaan kortikosteroid, dan anti mikroba pada infeksi sebelumnya. Spesies yang

paling terbanyak menyebabkan infeksi ini adalah dari genus Aspergillum dan Candida.

Pengobatan dengan menjaga kebersihan telinga, mengurangi kelembaban dan faktor-

faktor predisposisinya, dan pemakaian anti fungal baik secara lokal maupun sistemik.

28
DAFTAR PUSTAKA

Ahmed Z, Hafeez A, Zahid T, Jawaid MA, Mutiullah S, Marfani MS. Otomycosis:


clinical presentation and management. Pak J Otolaryngol 2010;26:78-80.

Carney AS. Otitis externa and otomycosis. In: Gleeson MJj Jones NS, Clarke R, et al.
(eds). Scott-Browns Otolaryngology, Head and Surgery, vol 3, 7th edn. London:
Hodder Arnold Publishers; 2008:3351-7

Egami T, Noguchi M, Ueda S. Mycosis in the ear, nose, and throat. Nippon Ishinkin
Gakkai Zasshi 2003; 44(4):277-83.

Fothergill AW. Miconazole: a hisrorical perspective. Expert Rev Anti Infect Ther
2006;4(2):171

Jackman A, Ward R, April M, Bent J. Topical antibiotik induced otomycosis. Int J Ped
Otorhinolaringol 2005; 69: 857-60.

Jadhav VJ, Pal M, Mishra GS. Etiological significance of Candida Albicans in otitis
externa. Mycopathologia 2003;156(4):313-15.

Kaur R, Mittal N, Kakkar M, Aggarwal AK, Mathur MD. Otomycosis a


clinicomycologic study. ENT J 2000;79:606-9.

Kumar A. Funal spectrum in Otomycosis patients. JK science 2005;7:152-5.

Lawani AK. External & middle ear: Diseases of the external ear. In: Lawani AK ed.
Current diagnosis & treatment, Head & Neck Surgery. 2nd ed. Mc Graw Hills-
Lange. Chapter 47.

Munguia R, Daniel Sj. Ototpical antifungals and Otomycosis: A review. Int J Ped
Otorhinolaryngol 2008; 72:453-9

Ozcan K, Ozcan M, Karaarsian A, Karaarsian F. Otomycosis in Turkey; Predisposing


Factors, Etiology and Therapy. J Laryngol & Otol 2003; 117:39-42.

Paparella MM, Adams GL, Levine SC. Penyakit Telinga Tengah dan Mastoid. Dalam:
Effendi H, Santoso K, Ed. BOEIS buku ajar penyakit THT. Edisi 6. Jakarta: ECG.
2012. P. 88-118

Romsaithonng S. Long-term follow-up of otomycosis and its treatment with


bifonazole. International short course training in research methodology &
biostatistics 2011:18

29
Rutt AL, Sataloff RT. Aspergillus otomycosis in immunocompromised patient. ENT J
2008;87(II):622-3

Satish HS, Viswanatha B, Manjuladevi M. A Clinical Study of Otomycosis. IOSR


Journal of Dental and Medical Sciences 2013; 5 (2):57-62.

Snell RS. Anatomi Telinga. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi 6.
Jakarta: ECG. 2006. P 782-5

Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Kelainan Telinga Tengah.


Dalam: Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, dll. Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi 7. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI. 2012. P 66-8.

Viswanatha. B et al. Otomycosis in immunocompetent and immunocompromised


patients: comparative study and literature review, ENT Journal 2012 Mar;
91(3):114-21.

30

You might also like