You are on page 1of 19

ASUHAN KEPERAWATAN CEDERA KEPALA

Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah III
Dosen Pembimbing : Ns. Faridah Aini, S.Kep., M.Kep., Sp.KMB

Nama Kelompok:
Ade Ila Wahyu Nuraini (010115A003)
Farah Mahdiyyah M. (010115A040)
Habibatuzzakiyah (010115A048)
Idia Indar Anggraeni (010115A056)

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS NGUDI WALUYO UNGARAN
2017
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Cedera kepala merupakan gangguan pada otak yang bukan
diakibatkan oleh suatu proses degeneratif maupun kongenital melainkan
akibat dari interaksi antara seorang individu dengan agen eksternal seperti
kekuatan mekanis yang dapat menyebabkan kelainan pada aspek kognitif,
fisik, dan fungsi psikososial seseorang secara sementara maupun permanen
serta berasosiasi dengan hilangnya status kesadaran seorang individu (Reilly
dan Bullock, 2005 dan Dawodu, 2013). Cedera kepala diperkirakan akan
melampaui penyakit-penyakit lain sebagai penyebab utama kematian dan
kecacatan pada tahun 2020 oleh World Health Organization (WHO).
Sebanyak 10 juta orang mengalami cedera kepala dalam setahun. Beban
mortalitas dan morbiditas yang ditimbulkan mengakibatkan masalah
kesehatan publik yang memprihatinkan (Hyder, 2007).
Di Amerika, 235.000 orang dirawat karena cedera kepala yang tidak
fatal dan 1,1 juta dirawat di instalasi gawat darurat. Lima puluh ribu orang di
antaranya meninggal (Corrigan, 2010). Di Eropa, cedera merupakan
penyebab kematian nomor satu pada orang dengan usia 15 hingga 44 tahun.
Di antaranya, cedera kepala merupakan penyebab utama kematian
(Tagliaferri, 2005).Di Rumah Sakit Umum Daerah dr. Pirngadi Medan,
dijumpai 1.095 kasus cedera kepala pada tahun 2002 dengan jumlah kematian
sebanyak 92 orang (Nasution, 2010).
Menurut Thornhill (2000), kasus cedera kepala terbanyak merupakan
cedera kepala derajat ringan. Secara kesuluruhan angka kematian pada
pasien-pasien cedera kepala ringan adalah sekitar 0,1%. Penyebab kematian
pada pasien cedera kepala ringan yang paling sering adalah disebabkan oleh
perdarahan intrakranial yang tidak terdiagnosa. Walaupun banyak pasien
cedera kepala ringan yang dapat kembali bekerja, namun sekitar 50% dari
pasien ini memiliki disabilitas sedang sampai berat bila diukur dengan
Glasgow Outcome Scale(GOS) atau Disability Outcome Scale (DOS). Hal ini
menunjukkan bahwa cedera kepala ringan juga mampu menyebabkan
morbiditas yang signifikan pada penderitanya (Moppett, 2007).

B. TUJUAN
1. Tujuan Umum
Tujuan umum dari laporan pendahuluan ini adalah untuk
mengetahui dan menjelaskan materi tentang cedera kepala.
2. Tujuan Khusus
Tujuan disusunnya pendahuluan ini agar mahasiswa mampu
mengetahui:
a. Pengertian dari cedera kepala.
b. Etiologi dari cedera kepala.
c. Manifestasi klinik cedera kepala.
d. Patofisiologi cedera kepala.
e. Komplikasi dari cedera kepala.
f. Penatalaksanaan dari cedera kepala.
g. Asuhan keperawatan dari cedera kepala.

C. MANFAAT
Dengan dibuatnya laporan pendahuluan dan asuhan keperawatan
cedera kepala diharapkan mahasiswa mampu mengaplikasikan tindakan
keperawatan pada cedera kepala.
BAB II
PEMBAHASAN
A. DEFINISI
Menurut Brunner dan Suddart (2001), cedera kepala adalah cedera yang
terjadi pada kulit kepala, tengkorak dan otak, sedangkan Doenges, (1999)
cedera kepala adalah cedera kepala terbuka dan tertutup yang terjadi karena,
fraktur tengkorak, kombusio gegar serebri, kontusio memar, leserasi dan
perdarahan serebral subarakhnoid, subdural, epidural, intraserebral, batang
otak. Cedera kepala merupakan proses dimana terjadi trauma langsung atatu
deselerasi terhadap kepala yang menyebabkan kerusakan tengkorak dan otak
(Pierce & Neil.2006). adapun menurut Brain Injury Assosiation of America
(2009), cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat
kogenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan atau benturan
fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana
menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik.
Beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan, bahwa cedera kepala
adalah trauma pada kulit kepala, tengkorak, dan otak yang terjadi baik secara
langsung ataupun tidak langsung pada kepala yang dapat mengakibatkan
terjadinya penurunan kesadaran bahkan dapat menyebabkan kematian.
Macam-macam cedera kepala :
Menurut, Brunner dan Suddarth, (2001) cedera kepala ada 2 macam yaitu :
a. Cedera kepala terbuka
Luka kepala terbuka akibat cedera kepala dengan pecahnya tengkorak atau
luka penetrasi, besarnya cedera kepala pada tipe ini ditentukan oleh massa
dan bentuk dari benturan, kerusakan otak juga dapat terjadi jika tulang
tengkorak menusuk dan masuk kedalam jaringan otak dan melukai
durameter saraf otak, jaringan sel otak akibat benda tajam/tembakan,
cedera kepala terbuka memungkinkan kuman patogen memiliki abses
langsung ke otak.
b. Cedera kepala tertutup
Benturan kranial pada jaringan otak didalam tengkorak ialah goncangan
yang mendadak. Dampaknya mirip dengan sesuatu yang bergerak cepat,
kemudian serentak berhenti dan bila ada cairan akan tumpah. Cedera
kepela tertutup meliputi: kombusio gagar otak, kontusio memar, laserasi.
Klasifikasi cedera kepala :
Rosjidi (2007), trauma kepala diklasifikasikan menjadi derajat berdasarkan
nilai dari Glasgow Coma Scale (GCS) nya, yaitu :
a. Ringan
1) GCS = 13-15
2) Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang dari 30
menit
3) Tidak ada kontusio tengkorak, tidak ada fraktur cerebral, hematoma.
b. Sedang
1). GCS = 9-12
2). Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam
3). Dapat mengalami fraktur tengkorak.
c. Berat
1). GCS = 3-8
2). Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam.
3). Juga meliputi kontusio serebral, laserasi, atau hemtoma intrakranial.

B. ETIOLOGI
Rosjidi (2007), penyebab cedera kepala antara lain:
1. Kecelakaan, jatuh, kecelakaan kendaraan bermotor atau sepeda, dan mobil.
2. Kecelakaan pada saat olahraga, anak dengan ketergantungan.
3. Cedera akibat kekerasan.
4. Benda tumpul, kerusakan terjadi hanya terbatas pada daerah dimana dapat
merobek otak.
5. Kerusakan menyebar karena kekuatan benturan, bisanya lebih berat
sifatnya.
6. Benda tajam, kerusakan terjadi hanya terbatas pada daerah dimana dapat
merobek otak, misalnya tertembak peluru atau benda tajam.

C. MANIFESTASI KLINIS
Gejala-gejala yang muncul pada cedera lokal bergantung pada jumlah
dan distribusi cedera otak. Nyeri yang menetap atau setempat, biasanya
menunjukkan adanya fraktur.
Fraktur kubah kranial menyebabkan bengkak pada sekitar fraktur,
dan karena alasan ini diagnosis yang akurat tidak dapat ditetapkan tanpa
pemeriksaan dengan sinar-x.
Fraktur dasar tengkorak cenderung melintas sinus paranasal pada
tulang frontal atau lokasi tengah telinga di tulang temporal, juga sering
menimbulkan hemorogi dari hidung, faring, atau teling dan darah terlihat di
bawah konjungtiva. Suatu area ekimosis, atau memar, mungkin terlihat di atas
mastoid (tanda Battle). Fraktur dasar tengkorak dicurigai ketika CSS keluar
dari telinga (otorea cairan serebrospinal) dan hidung (rinorea
serebrospinal). Keluarnya cairan serebrospinal merupakan masalah serius
karena dapat menyebabkan infeksi seperti meningitis, jika organisme masuk
ke dalam isi kranial melalui hidung, telinga atau sinus melalui robekan pada
dura.Laserasi atau kontusio otak ditunjukkan oleh cairan spinal berdarah.

D. PATOFISIOLOGI
Cedera memang peranan yang sangat besar dalam menentukan berat
ringannya konsekuensi patofisologi dari suatu kepala. Cedera percepatan
aselerasi terjadi jika benda yang sedang bergerak membentur kepala yang
diam, seperti trauma akibat pukulan benda tumpul, atau karena kena lemparan
benda tumpul. Cedera perlambatan deselerasi adalah bila kepala
membenturobjek yang secara relatif tidak bergerak, seperti badan mobil atau
tanah.
Kedua kekuatan ini mungkin terjadi secara bersamaan bila terdapat
gerakan kepala tiba-tiba tanpa kontak langsung, seperti yang terjadi bila
posisi badan diubah secara kasar dan cepat. Kekuatan ini bisa dikombinasi
dengan pengubahan posisi rotasi pada kepala, yang menyebabkan trauma
regangan dan robekan pada substansi alba dan batang otak.
Berdasarkan patofisiologinya, kita mengenal dua macam cedera otak,
yaitu cedera otak primer dan cedera otak sekunder. Cedera otak primer adalah
cedera yang terjadi saat atau bersamaan dengan kejadian trauma, dan
merupakan suatu fenomena mekanik. Umumnya menimbulkan lesi permanen.
Tidak banyak yang bisa kita lakukan kecuali membuat fungsi stabil, sehingga
sel-sel yang sedang sakit bisa mengalami proses penyembuhan yang optimal.
Cedera primer, yang terjadi pada waktu benturan, mungkin karena
memar pada permukaan otak, laserasi substansi alba, cedera robekan atau
hemoragi karena terjatuh, dipukul, kecelakaan dan trauma saat lahir yang bisa
mengakibatkan terjadinya gangguan pada seluruh sistem dalam tubuh.
Sedangkan cedera otak sekunder merupakan hasil dari proses yang
berkelanjutan sesudah atau berkaitan dengan cedera primer dan lebih
merupakan fenomena metabolik sebagai akibat, cedera sekunder dapat terjadi
sebagai kemampuan autoregulasi serebral dikurangi atau tak ada pada area
cedera. Cidera kepala terjadi karena beberapa hal diantanya, bila trauma
ekstrakranial akan dapat menyebabkan adanya leserasi pada kulit kepala
selanjutnya bisa perdarahan karena mengenai pembuluh darah. Karena
perdarahan yang terjadi terus- menerus dapat menyebabkan hipoksia,
hiperemi peningkatan volume darah pada area peningkatan permeabilitas
kapiler, serta vasodilatasi arterial, semua menimbulkan peningkatan isi
intrakranial, dan akhirnya peningkatan tekanan intrakranial (TIK), adapun,
hipotensi (Soetomo, 2002).
Namun bila trauma mengenai tulang kepala akan menyebabkan
robekan dan terjadi perdarahan juga. Cidera kepala intra kranial dapa
tmengakibatkan laserasi, perdarahan dan kerusakan jaringan otak bahkan bisa
terjadi kerusakan susunan syaraf kranial tertama motorik yang mengakibatkan
terjadinya gangguan dalam mobilitas (Brain, 2009).
E. KOMPLIKASI
Rosjidi (2007), kemunduran pada kondisi klien diakibatkan dari
perluasan hematoma intrakranial edema serebral progresif dan herniasi
otak, komplikasi dari cedera kepala adalah:
1. Edema pulmonal
Komplikasi yang serius adalah terjadinya edema paru, etiologi
mungkin berasal dari gangguan neurologis atau akibat sindrom distress
pernafasan dewasa. Edema paru terjadi akibat refleks cushing/
perlindungan yang berusaha mempertahankan tekanan perfusi dalam
keadaan konstan. Saat tekanan intrakranial meningkat tekanan darah
sistematik meningkat untuk memcoba mempertahankan aliran darah
keotak, bila keadaan semakin kritis, denyut nadi menurun bradikardi dan
bahkan frekuensi respirasi berkurang, tekanan darah semakin meningkat.
Hipotensi akan memburuk dan, harus dipertahankan tekanan perfusi
paling sedikit 70 mmHg, yang membutuhkan tekanan sistol 100-110
mmHg, pada penderita kepala.
Peningkatan vasokonstriksi tubuh secara umum menyebabkan
lebih banya darah dialirkan ke paru, perubahan permiabilitas pembuluh
darah paru berperan pada proses berpindahnya cairan ke alveolus.
Kerusakan difusi oksigen akan karbondioksida dari darah akan
menimbulkan peningkatan TIK (tekanan intrakranial) lebih lanjut.
2. Peningkatan TIK
Tekanan intrakranial dinilai berbahaya jika peningkatan hingga
15 mmHg, dan herniasi dapat terjadi pada tekanan diatas 25 mmHg.
Tekanan darah yang mengalir dalam otak disebut sebagai tekan perfusi
rerebral. Yang merupakan komplikasi serius dengan akibat herniasi
dengan gagal pernafasan dan gagal jantung serta kematian.
3. Kejang
Kejang terjadi kira-kira 10% dari klien cedera otak akut selama
fase akut. Perawat harus membuat persiapan terhadap kemungkinan
kejang dengan menyediakan spatel lidah yang diberi bantalan atau jalan
nafas oral di samping tempat tidur klien, juga peralatan penghisap.
Selama kejang, perawat harus memfokuskan pada upaya
mempertahankan, jalan nafas paten dan mencegah cedera lanjut. Salah
satunya tindakan medis untuk mengatasi kejang adalah pemberian obat,
diazepam merupakan obat yang paling banyak digunakan dan diberikan
secara perlahan secara intavena. Hati-hati terhadap efek pada system
pernafasan, pantau selama pemberian diazepam, frekuensi dan irama
pernafasan.
4. Kebocoran cairan serebrospinalis
Adanya fraktur di daerah fossa anterior dekat sinus frontal atau
dari fraktur tengkorak basilar bagian petrosus dari tulangan temporal
akan merobek meninges, sehingga CSS akan keluar. Area drainase tidak
boleh dibersihkan, diirigasi atau dihisap, cukup diberi bantalan steril di
bawah hidung atau telinga. Instruksikan klien untuk tidak memanipulasi
hidung atau telinga.
5. Infeksi

F. PENATALAKSANAAN
Fraktur tulang impresi, umumnya tidak memerlukan tindakan
pembedahan, tetapi memerlukan observasi pasien yang ketat. Fraktur tulang
tanpa impresi memerlukan intervensi pembedahan. Kulit kepala dicukur dan
dibersihkan dengan banyak cairan salin untuk menghilangkan semua jaringan
mati, dan fraktur dipajankan. Fragmen- fragmen tulang tengkorak dievaluasi
dan di daerah ini dibersihkan. Penutupan dura dilakukan bila memungkinkan
dan luka ditutup. Kerusakan yang luas pada tengkorak dapat diperbaiki
selanjutnya dengan lempeng logam atau plastik bila diperlukan. Pada sat
membersihkan luka dan dura utuh, fragmen yang terangkat dapat
dikembalikan posisinya pada saat pembedahan pertama, yang tidak perlu lagi
melakukan kranioplastik. Luka penetrasi membutuhkan pembedahan
debridemen untuk mengeluarkan benda-benda asing dan memperbaiki
keadaan vital jaringan otak dan untuk mengontrol hemoragi. Pengobatan
antibiotik direncanakan segera, dan terapi komponen darah diberikan bila
diindikasikan.
Fraktur dasar tengkorak merupakan keadaan serius karena biasanya
terbuka (mengenai sinus paranasal atau telinga bagian tengah atau eksternal)
dan dapat menyebabkan bocornya cairan serebrospinal. Tanda hallo, yang
merupakan kombinasi darah yang dikelilingi oleh noda berwarna kekuning-
kuningan, yang terlihat pada linen tempat tidur atau balutan kepala dan ini
merupakan kesan yang pasti adanya kebocoran cairan serebrospinal.
Nasofaring dan telinga eksternal harus dipertahankan bersih dan selalu
menutup telinga dengan gumpalan kapas steril atau bantalan kapas steril
dapat ditempel menutup lubang hidung atau pada telinga untuk
mengumpulkan cairan yang keluar. Pasien yang sadar dianjurkan menahan
bersin dan menekan hidung. Kepala biasanya ditinggikan 300 untuk
menurunkan TIK dan meningkatan keluarnya cairan yang bocor secara
spontan (beberapa ahli bedah saraf lebih suka tempat tidur dalam keadaan
datar). Rinorea atau otorea cairan spinal menetap biasanya memerlukan
intervensi pembedahan.
1. Dexamethason/ kalmetason sebagai pengobatan anti edema serebral, dosis
sesuai dengan berat ringannya trauma.
2. Therapi hiperventilasi (trauma kepala berat) untuk mengurangi
vasodilatasi.
3. Pemberian analgetik.
4. Pengobatan anti edema dengan larutan hipertonis yaitu; manitol 20%,
glukosa 40% atau gliserol.
5. Antibiotik yang mengandung barier darah otak (pinicilin) atau untuk
infeksi anaerob diberikan metronidazole.
6. Makanan atau caioran infus dextrose 5%, aminousin, aminofel (18 jam
pertama dari terjadinya kecelakaan) 2-3 hari kemudian diberikan makanan
lunak.
7. Pembedahan.
(Smelzer,2001)
G. ASUHAN KEPERAWATAN CEDERA KEPALA
1. Pengkajian
a. Identitas : nama, umur, jenis kelamin, tempat/ tanggal lahir, golongan
darah, pendidikan terakhir, agama, suku, status perkawinan, pekerjaan,
TB/ BB, alamat.
b. Identitas penanggung jawab : nama, umur, jenis kelamin, agama, suku,
hubungan dengan klien, pendidikan terakhir, pekerjaan, alamat.
c. Riwayat kesehatan : tingkat kesadara/ GCS (<15), konvulsi, muntah,
dispnea/ takipnea, sakit kepala, wajah simetris/ tidak, lemah, luka di
kepala, paralise, akumulasi sekret pada saluran napas, adanya liquor
dari hidung dan telinga, dan kejang.
d. Riwayat penyakit dahulu meliputi penyakit yang berhubungan dengan
sistem pernapasan maupun penyakit sistemik lainnya.
e. Riwayat penyakit keluarga.
f. Pengkajian persisten :
- Keadaan umum
- Tingkat kesadaran : komposmentis, apatis, somnolen, sopor, koma.
- Tanda- tanda vital
- Sistem pernapasan : perubahan pola napas (irama, kedalaman,
frekuensi), napas bunyi ronkhi.
- Sistem kardiovaskuler : peningkatan TIK, tekanan darah
meningkat, denyut nadi bradikardi kemudian takikardi.
- Sistem perkemihan : inkontinensia, distensi kandung kemih.
- Sistem gastrointestinal : usus mengalami gangguan fungsi, mual
atau muntah, dan mengalami perubahan selera.
- Sitem musculoskeletal : kelemahan otot, deformasi.
- Sistem persarafan : kehilangan kesadaran, amnesia, vertigo,
syncope, tinnitus, kehilangan pendengaran, perubahan penglihatan,
gangguan pengecapan. Ditandai dengan perubahan kesadaran
sampai koma, perubahan status mental, perubahan pupil,
kehilangan penginderaan, kejang, kehilangan sensasi sebagian
tubuh.
1. Nervus kranial
N.I : penurunan daya penciuman.
N.II : trauma frontalis terjadi penurunan
penglihatan
N.III, N.IV, N.VI : penurunan lapang pandang, refleks
cahaya menurun, perubahan ukuran pupil,
bola mata tidak dapat mengikuti perintah,
ansiokor.
N.V : gangguan mengunyah
N.VII, N.XII : lemahnya penutupan kelopak mata,
hilangnya rasa pada 2/3 anterior lidah.
N.VIII : penurunan pendengaran dan
keseimbangan tubuh
N.IX, N.X, N.XI : (jarang ditemukan)
2. Skala koma Glasgow (GCS)
NO KOMPONEN NILAI HASIL
1 Tidak berespon
2 Suara tidak dapat dimengerti, rintihan
Bicara kacau/ kata-kata tidak tepat/tidak
1 VERBAL 3
nyambung dengan pertanyaan
4 Bicara membingungkan, jawaban tidak tepat
5 Orientasi baik
1 Tidak berespon
2 Ekstensi abnormal
3 Fleksi abnormal
2 MOTORIK
4 Menarik area nyeri
5 Melokalisasi nyeri
6 Dengan perintah
1 Tidak berespon
Reaksi
2 Rangsang nyeri
3 membuka mata
3 Dengan perintah (rangsang suara/sentuh)
(EYE)
4 Spontan

3. Fungsi motorik
Setiap ekstremitas diperiksa dan dinilai dengan skala :
RESPON SKALA
Kekuatan normal 5
Kelemahan sedang 4
Kelemahan berat (antigravity) 3
Kelemahan berat (not antigravity) 2
Gerakan trace 1
Tak ada gerakan 0

e. Pemeriksaan Penunjang
1. Scan CT (tanpa/denga kontras)
Mengidentifikasi adanya sol, hemoragik, menentukan ukuran
ventrikuler, pergeseran jaringan otak.
2. MRI
Sama dengan scan CT dengan atau tanpa kontras.
3. Angiografi serebral
Menunjukan kelainan sirkulasi serebral, seperti pengeseran
jaringan otak akibat edema, perdarahan, trauma
4. EEG
Untuk memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya
gelombangpatologis.
5. Sinar X
Mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (fraktur), pergeseran
struktur dari garis tengah (karena perdarahan, edema), adanya
fragmen tulang.
6. BAER (Brain Auditory Evoked Respons)
Menentukan fungsi korteks dan batang otak.
7. PET (Positron Emission Tomography)
Menunjukan perubahan aktifitas metabolisme pada otak.
8. Fungsi lumbal, CSS
Dapat menduka kemungkinan adanya perdarahan subarachnoid.
9. GDA (Gas Darah Artery)
Mengetahui adanya masalah ventilasi atau oksigenasi yang akan
dapat meningkatkan TIK.
10. Kimia /elektrolit darah
Mengetahui ketidak seimbangan yang berperan dalam peningkatan
TIK/perubahan mental.
11. Pemeriksaan toksikologi
Mendeteksi obat yang mungkin bertanggung jawab terhadap
penurunan kesadaran.
12. Kadar antikonvulsan darah
Dapat dilakukan untuk mengetahui tingkat terapi yang cukup fektif
untuk mengatasi kejang.

2. Diagnosa Keperawatan
a. Ketidakefektifan bersihan jalan napas
b. Penurunan kapasitas adaptif intracranial
c. Intoleransi aktivitas
No. Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
1. (00031) ketidakefektifan bersihan Setelah dilakukan tindakan keperawaatan (3140) Manajemen jalan nafas
jalan napas. selama 3x24 jam diharapkan pasien Definisi : fasilitasi kepatenan jalan nafas.
Definisi : ketidakmampuan mampu: Aktivitas- aktivitas :
membersihkan sekresi atau Kepatenan jalan nafas (0410) (02) posisikan pasien untuk
obstruksi dari saluran napas untuk Definisi : saluran trakeobronkial yang memaksimalkan ventilasi.
mempertahankan bersihan jalan terbuka dan lancar untuk pertukaran (11) auskultasi suara nafas, catat ventilasi
napas. udara. yang menurun atau tidak ada dan adanya
Kriteria hasil : suara tambahan.
Batasan karakteristik : (041004) frekuensi pernafasan (17) kelola udara atau oksigen yang
- - Perubahan frekuensi napas ditingkatkan dari skala 2 ke 4 dilembabkan sebagaimana mestinya.
(041007) suara nafas tambahan (21) monitor status pernapasan dan
Faktor yang berhubungan : ditingkatkan dari skala 3 ke 4 oksigenasi sebagaimana mestinya.
- Cedera otak (mis., Tanda tanda vital (0802)
kerusakan serebrovaskular, definisi : tingkat suhu, denyut nadi, (6680) Monitor tanda- tanda vital.
penyakit neurologis, trauma, respirasi, dan tekanan darah berada dalam Definisi : pengumpulan dan analisis data
tumor) kisaran normal. kardiovaskuler, pernapasaan, dan suhu
Kriteria hasil : tubuh untuk menentukan dan mencegah
(080201) suhu tubuh ditingkatkan dari komplikasi.
skala 2 ke 4 Aktivitas- aktivitas :
(080203) denyut nadi radial ditingkatkan (01)Monitor tekanan darah, nadi, suhu, dan
dari skala 2 ke 4 status pernapasan dengan tepat.
(080205) tekanan darah sistolik (14)monitor irama dan tekanan jantung.
ditingkatkan dari skala 2 ke 4 (19) monitor pola pernapasan abnormal
(080206) tekanan darah diastolik (misalnya, Cheyne- Stokes, Kusmaul, Biot,
ditingkatkan dari skala 2 ke 4 apneustic, ataksia, dan bernapas
berlebihan).
(24) identifikasi kemungkinan penyebab
perubahan tanda- tanda vital.

2. (00049) penurunan kapasitas adaptif Setelah dilakukan tindakan keperawatan (2540) manajemen edema serebral.
intrakranial. selama 3x24 jam diharapkan pasien Definisi : keterbatasan injuri serebral
Definisi:mekanisme dinamika mampu : sekunder akibat dari pembengkakan
cairan intracranial yang normalnya Status neurologi : kesadaran jaringan otak.
melakukan kompensasi untuk (0912) Aktivitas- aktivitas :
meningkatkan volume intracranial, Definisi : minat, orientasi, dan perhatian (02)monitor status neurologi dengan ketat
mengalami gangguan yang terhadpa lingkungan dan bandingkan dengan nilai normal.
menyebabkan peningkatan tekanan Kriteia hasil : (04)monitor karakteristik cairan
intracranial (TIK) secara tidak (091212) tidak sadarkan diri serebrospinal : warna kejernihan,
proporsional dalam berespons ditingkatkan dari skala 2 ke 4 konsistensi.
terhadap berbagai stimuli yang (091214) koma ditingkatkan dari skala 2 (07) monitor TIK.
berbahaya dan tidak berbahaya. ke 4 (11) monitor TIK pasien dan respon
Batasan karakteristik : Perfusi jaringan : serebral (0406) neurologi terhadap aktivitas perawatan.
- Peningkatan tekanan intracranial Definisi : kecukupan aliran darah (15) catat perubahan pasien dalam
(TIK) tidak proporsional setelah melalui pembuluh darah otak untuk merespon terhadap stimulus.
terjadi stimulus. mempertahankan fungsi otak.
Faktor yang berhubungan : Kriteria hasil : (2550) peningkatan perfusi
- Cedera otak (mis., kerusakan (040602) tekanan intrakranial serebral.
serebrovaskular, penyakit ditingkatkan dari skala 2 ke 4 Definisi : peningkatan perfusi adekuat dan
neurologis, trauma, tumor). (040619) penurunan tingkat kesadaran pembatasan terjadinya komplikasi pada
ditingkatkan dari skala 2 ke 4 pasien yang mengalami atau berisiko
mengalami perfusi serebral yang adekuat.
Aktivitas- aktivitas :
(04) berikan agen untuk meningkatkan
volume intravaskuler, sesuai kebutuhan
(misalnya, koloid, produk- produk darah,
dan kristaloid).
(11) konsultasikan dengan dokter untuk
menentukan tinggi kepala tempat tidur
yang optimal (misalnya, 0.15 atau 30
derajat) dan monitor respon pasien
terhadap pengaturan posisi kepala.
(12) hindari fleksi leher atau fleksi panggul
yang ekstrem.
(23) monitor tanda- tanda perdarahan
(sebagai contoh pada pemeriksaan feses
dan darah pada saluran nasogastrik)
(24) monitor status neurologi.
3. (00092) Intoleran aktivitas Setelah dilakukan tindakan keperawatan (7110) peningkatan keterlibatan
Definisi : ketidakcukupan energi selama 3x24 jam diharapkan pasien keluarga.
psikologis atau fisiologis untuk mampu : Definisi : memfasilitasi partisipasi anggota
mempertahankan atau Status Kesehatan Pribadi (2006) keluarga dalam perawatan fisik dan
menyelesaikan aktivitas kehidupan Definisi : keseluruhan fungsi fisik, emosional pasien.
sehari-hari yang harus atau yang psikologis, sosial, dan spiritual . Aktivitas- aktivitas :
ingin dilakukan. Kriteria hasil : (02) identifikasi kemampuan anggota
Batasan karakteristik: (200602) tingkat mobilitas ditingkatkan keluarga untuk terlibat dalam perawatan
- Perubahan eletrokardiogram dari skala 2 ke skala 3. pasien.
(EKG) (mis, aritmia) (200608) penyembuhan jaringan (04) tentukan sumber daya fisik,
- Respon frekuensi jantung ditingkatkan dari skala 2 ke skala 4. emosional, dan edukasi dari pemberi
abnormal terhadap aktivitas (200612) perfusi jaringan perifer perawatan utama.
Faktor yang berhubungan : ditingkatkan dari skala 2 ke skala 4. (05) identifikasi defisit perawatan diri
- Imobilitas pasien.
- Ketidakseimbangan antara suplai (06) identifikasi preferensi anggota
dan kebutuhan oksigen keluarga untuk keterlibatan dengan pasien.
(09) dorong anggota keluarga untuk
membantu dalam mengembangkan rencana
perawatan, termasuk hasil yang diharapkan
dan pelaksanaan rencana keperawatan.
(10) dorong anggota keluarga dan pasien
untuk bersikap asertif dalam berinteraksi
dengan pemberi layanan kesehatan
profesional.

You might also like