You are on page 1of 122

BUKU PANDUAN SKILLAB

SEMESTER III

TIM SKILLAB :
1. dr. Mustofa, MSc.
2. dr. Mohamad Fakih, MM
3. dr. Ismiralda Oke P,SpKK

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2015

1
DAFTAR ISI Hal
I. Pemeriksaan saraf cranialis 3
II. Pemeriksaan refleks fisologis dan patologis 12
III. Pemeriksaan keseimbangan dan koordinasi 21
IV. Pemeriksaan meningeal sign dan tanda iritasi pada radix vertebra 28
V. Pemeriksaa mata 33
VI. Pemeriksaan THT ( Hidung Tenggorok ) 41
VII. Pemeriksaan kepala dan leher 45
VIII. Pemeriksaan kulit 47
IX. Pemeriksaan motorik 68
X. Pembalutan, pembidaianj dan transportasi 84
XI. Perawatan luka dan hecting 95
XII. Injeksi 109

2
1. PEMERIKSAAN SARAF CRANIALIS

LEARNING OUTCOME

Mahasiswa mampu melakukan pemeriksaan saraf kranialis.

TINJAUAN PUSTAKA

Saraf kranialis dibagi menjadi 12 jenis, yaitu :

1. Saraf I (N. Olfaktorius)


Pemeriksaan dapat secara subyektif dan obyektif. Subyektif hanya ditanyakan apakah
penderita masih dapat membaui bermacam-macam bau dengan betul.
Obyektif dengan beberapa bahan yang biasanya sudah dikenal oleh penderita dan biasanya
bersifat aromatik dan tidak merangsang seperti : golongan minyak wangi, sabun, tembakau, kopi,
vanili, dan sebagainya (3 atau 4 macam). Bahan yang merangsang mukosa hidung (alkohol,
amonia) tidak dipakai karena akan merangsang saraf V. Yang penting adalah memeriksa kiri, kanan
dan yang diperiksa dari yang normal. Ini untuk pegangan, sebab tiap orang tidak sama. Kemudian
abnormal dibandingkan dengan yang normal. Tetapi dalam pembuatan status dilaporkan yang
abnormal dahulu.

Cara Pemeriksaan :
Kedua mata ditutup
Lubang hidung ditutup salah satu
Dilihat apakah tidak ada gangguan pengaliran udara, mahasiswa melihat lubang hidung
pasien dengan senter
Kemudian bahan satu persatu didekatkan pada lubang hidung yang terbuka dan penderita
diminta menarik nafas panjang, kemudian diminta mengidentifikasi bahan tersebut.

Yang harus diperhatikan pada pemeriksaan adalah :


Penyakit pada mukosa hidung, baik yang obstruktif (rinitis) atau atropik (ozaena) akan
menimbulkan positif palsu.
Pada orangtua fungsi pembauan bisa menurun (hiposmia).
Yang penting adalah gangguan pembauan yang sesisi (unilateral) tanpa kelainan intranasal dan
kurang disadari penderita (kronik), perlu dipikirkan suatu glioma lobus frontalis, meningioma
pada crista sphenoidalis dan tumor parasellar. Fungsi pembauan juga bisa hilang pada trauma
kapitis (mengenai lamina cribosa yang tipis) dan meningitis basalis (sifilis, tuberkulosa).
Untuk membedakan hambatan pembauan karena penyebab psychic dengan organik,
pemeriksaan tidak hanya memakai zat yang merangsang N II, tapi juga yang merangsang N V

3
(seperti amoniak). Meskipun N I tidak dapat membau karena rusak, tetapi N V tetap dapat
menerima rangsangan amoniak. Bila dengan amoniak tetap tidak membau apa-apa maka
kemungkinan kelainan psycis.

2. Saraf II (N. Opticus)


Pemeriksaan meliputi :
2.1. Penglihatan sentral
Untuk keperluan praktis, membedakan kelainan refraksi dengan retina digunakan PIN HOLE
(apabila penglihatan menjadi lebih jelasmaka berarti gangguan visus akibat kelainan refraksi).
Lebih tepat lagi dengan optotype Snellen. Yang lebih sederhana lagi memakai jari-jari tangan
dimana secara normal dapat dilihat pada jarak 60 m dan gerakan tangan dimana secara normal
dapat dilihat pada jarak 300 m
2.2. Penglihatan Perifer
diperiksa dengan :
a. Tes Konfrontasi.
Pasien diminta untuk menutup satu mata, kemudian menatap mata pemeriksa sisi lain.
Mata pemeriksa juga ditutup pada sisi yang lain, agar sesuai denganlapang pandang pasien.
Letakkan jari tangan pemeriksa atau benda kecil pada lapang pandang pasien dari 8 arah.
Pasien diminta untuk menyatakan bila melihat benda tersebut. Bandingkan lapang pandang
pasien dengan lapang pandang pemeriksa.
Syarat pemeriksaan tentunya lapang pandang pemeriksa harus normal
b. Perimetri/Kampimetri
Biasanya terdapat di bagian mata dan hasilnya lebih teliti daripada tes konfrontasi.

2.3.Melihat warna
Persepsi warna dengan gambar stilling Ishihara. Untuk mengetahui adanya polineuropati pada
N II.

2.4.Pemeriksaan Fundus Occuli


Pemeriksaan ini menggunakan alat oftalmoskop. Pemeriksaan ini dilakukan untuk melihat
apakah pada papilla N II terdapat :
1. Stuwing papil atau protusio N II
Kalau ada stuwing papil yang dilihat adalah papilla tersebut mencembung atau menonjol
oleh karena adanya tekanan intra cranial yang meninggi dan disekitarnya tampak pembuluh
darah yang berkelok-kelok dan adanya bendungan.
2. Neuritis N II
Pada neuritis N II stadium pertama akan tampak adanya udema tetapi papilla tidak
menyembung dan bial neuritis tidak acut lagi akan terlihat pucat.
Dengan oftalmoskop yang perlu diperhatikan adalah :
Papilla N II, apakah mencembung batas-batasnya.
Warnanya
Pembuluh darah
Keadaan Retina

4
3. Saraf III (N. Oculo-Motorius)
Pemeriksaan meliputi :
1. Retraksi kelopak mata atas, dilakukan dengan inspeksi pada kelopak mata atas
Bisa didapatkan pada keadaan :
Hidrosefalus (tanda matahari terbit)
Dilatasi ventrikel III/aquaductus Sylvii
Hipertiroidisme
Cara pemeriksaan :

2. Ptosis
Pada keadaan normal bila seseorang melihat kedepan, maka batas kelopak mata atas akan
memotong iris pada titik yang sama secara bilateral. Bila salah satu kelopak mata atas
memotong iris lebih rendah daripada mata yang lain, atau bila pasien mendongakkan kepala
ke belakang/ ke atas (untuk kompensasi) secara kronik atau mengangkat alis mata secara
kronik dapat dicurigai sebagai ptosis.
Penyebab Ptosis adalah:
False Ptosis : enophtalmos (pthisis bulbi), pembengkakan kelopak mata (chalazion).
Disfungsi simpatis (sindroma horner).
Kelumpuhan N. III
Pseudo-ptosis (Bells palsy, blepharospasm)
Miopati (miastenia gravis).
Cara pemeriksaan :
Inspeksi :
Melihat apakah kelopak mata atas memotong iris pada titik yang sama secara bilateral
atau tidak.
Melihat apakah pasien mendongakkan kepala ke atas untuk melihat objek yang berada
di depan pasien
Melihat apakah pasien cenderung mengangkat alis untuk melihat objek yang berada di
depan
Palpasi (untuk menilai ptosis karena kelumpuhan M.levator palpebrae akibat kelumpuhan N
III):
Meminta pasien memejamkan mata, kemudian disuruh membukanya
Saat pasien membuka mata, lakukan fiksasi dengan cara memegang palpebra superior
serta dengan menekan alis mata dengan tangan yang lain

3. Pupil
Pemeriksaan pupil meliputi :
Bentuk dan ukuran pupil.
Bentuk yang normal adalah bulat, jika tidak maka ada kemungkinan bekas operasi mata.
Pada sifilis bentuknya menjadi tidak teratur atau lonjong/segitiga. Ukuran pupil yang
normal kira-kira 2-3 mm (garis tengah). Pupil yang mengecil disebut Meiosis, yang biasanya
terdapat pada Sindroma Horner, pupil Argyl Robertson( sifilis, DM, multiple sclerosis).
Sedangkan pupil yang melebar disebut mydriasis, yang biasanya terdapat pada parese/
paralisa m. sphincter dan kelainan psikis yaitu histeris

5
Perbandingan pupil kanan dengan kiri
Perbedaan diameter pupil sebesar 1 mm masih dianggal normal. Bila antara pupil kanan
dengan kiri sama besarnya maka disebut isokor. Bila tidak sama besar disebut anisokor.
Pada penderita tidak sadar maka harus dibedakanapakah anisokor akibat lesi non
neurologis(kelainan iris, penurunan visus) ataukah neurologis (akibat lesi batang otak,
saraf perifer N. III, herniasi tentorium.
Refleks pupil
Terdiri atas :
- Reflek cahaya
Diperiksa mata kanan dan kiri sendiri-sendiri. Satu mata ditutup dan penderita disuruh
melihat jauh supaya tidak ada akomodasi dan supaya otot sphincter relaksasi. Kemudian
diberi cahaya dari samping mata. Pemeriksa tidak boleh berada ditempat yang cahayanya
langsung mengenai mata. Dalam keadaan normal maka pupil akan kontriksi. Kalau tidak
maka ada kerusakan pada arcus reflex (mata---N. Opticus---pusat---N. Oculomotorius)
- Reflek akomodasi
Penderita disuruh melihat benda yang dipegang pemeriksa dan disuruh mengikuti gerak
benda tersebut dimana benda tersebut digerakkan pemeriksa menuju bagian tengah dari
kedua mata penderita. Maka reflektoris pupil akan kontriksi.
Reflek cahaya dan akomodasi penting untuk melihat pupil Argyl Robetson dimana reflek
cahayanya negatif namun reflek akomodasi positif.

- Reflek konsensual
Adalah reflek cahaya disalah satu mata, dimana reaksi juga akan terjadi pada mata yang
lain. Mata tidak boleh langsung terkena cahaya, diantara kedua mata diletakkan selembar
kertas. Mata sebelah diberi cahaya, maka normal mata yang lain akan kontriksi juga.

4. Gerakan bola mata (bersama-sama dengan N. IV dan VI)


Gerakan bola mata yang diperiksa adalah yang diinervasi oleh nervus III, IV dan VI. Dimana
N III menginervasi m. Obliq inferior (yang menarik bala mata keatas), m. rectus superior, m.
rectus media, m. rectus inferior. N IV menginervasi m. Obliq Superior dan N VI menginervasi
m. rectus lateralis.
N III selain menginervasi otot-otot mata luar diatas juga menginervasi otot sphincter pupil.
Pemeriksaan dimulai dari otot-otot luar yaitu penderita disuruh mengikuti suatu benda
kedelapan jurusan.
Yang harus diperhatikan ialah melihat apakah ada salah satu otot yang lumpuh. Bila
pada 1 atau 2 gerakan mata ke segala jurusan dari otot-otot yang disarafi N III berkurang
atau tidak bisa sama sekali, maka disebut opthalmoplegic externa. Kalau yang parese otot
bagian dalam (otot sphincter pupil) maka disebut opthalmoplegic interna. Jika hanya ada
salah satu gangguan maka disebut opthalmoplegic partialis, sedangkan kalau ada gangguan
kedua macam otot luar dan dalam disebut opthalmoplegic totalis

Cara pemeriksaan : meminta penderita untuk menggerakkan bola mata ke berbagai arah
(superior, inferior, medial, temporal, superolateral, superomedial, inferiomedial dan
inferolateral)

6
5. Sikap Bola Mata
Sikap bola mata yaitu kedudukan mata pada waktu istirahat. Kelainan kelaian yang tampak
diantaranya adalah :
- Exopthalmus, dimana mata terdorong kemuka karena proses mekanis retroorbital, dan
celah mata tampak lebih besar.
- Strabismus yang dapat divergen atau convergen.Secara subyektif ditanyakan apakah ada
diplopia. Pemeriksaan subyektif ini penting karena kadang-kadang strabismus yang ringan
tak kelihatan pada pemeriksaan obyektif. Perhatikan apakah terdapat kontraksi/tarikan
yang berlebihan dari otot antagonisnya.
- Nystagmus atau gerakan bola mata yang spontan. Dalam hal ini tidak hanya memeriksa
otot-otot yang menggerakkan bola mata sja, tetapi sekaligus melihat adanya kelainan
dalam keseimbangan atau N VIII.
Cara pemeriksaan : penderita diminta melirik ke satu arah selama 5 atau 6 detik.
Interpretasi hasil : terdapat gerakan bola mata spontan selama jangka waktu tersebut
- Deviasi conjugae, adalah sikap bola mata yang dalam keadaan istirahat menuju kesatu
jurusan tanpa dapat dipengaruhi oleh kesadaran, dengan sumbu kedua mata tetap sejajar
secara terus-menerus. Lesi penyebab bisa di lobus frontalis atau di batang otak, bisa lesi
destruktif (infark) atau irirtatif (jaringan sikatriks post trauma/ epilepsi fokal & perdarahan)

4. Saraf V (N. Trigeminus)


Pemeriksaan meliputi :
1. Sensibilitas
Sensibilitas N V ini dapat dibagi 3 yaitu :
- bagian dahi, cabang keluar dari foramen supraorbitalis
- bagian pipi, keluar dari foramen infraorbitalis
- bagian dagu, keluar dari foramen mentale.
Pemeriksaan dilakukan pada tiap cabang dan dibandingkan kanan dengan kiri

2. Motorik
Penderita disuruh menggigit yang keras dan kedua tangan pemeriksa ditruh kira-kira didaerah
otot maseter. Jika kedua otot masseter berkontraksi maka akan terasa pada tangan pemeriksa.
Kalau ada parese maka dirasakan salah satu otot lebih keras

3. Reflek
Penderita diminta melirik kearah laterosuperior, posisi penderita dalam keadaan tidur
terlentang, posisi pemeriksa dari atas pasien. Kemudian dari arah lain limbus (tepi) kornea
disentuhkan dengan kapas agak basah. Bila reflek kornea mata positif, maka mata akan
menutup.

5. Saraf VII (N. Facialis)


A. Dalam keadaan diam, perhatikan :
- asimetri muka (lipatan nasolabial)

7
- gerakan-gerakan abnormal (tic fasialis, grimacing, kejang tetanus/rhesus sardonicus, tremor,
dsb)
B. Atas perintah pemeriksa
1. Mengangkat alis, bandingkan kanan dengan kiri.
2. Menutup mata sekuatnya (perhatikan asimetri), kemudian pemeriksa mencoba membuka
kedua mata tersebut (bandingkan kekuatan kanan dan kiri).
3. Memperlihatkan gigi (asimetri).
4. Bersiul dan mencucu (asimetri/deviasi ujung bibir).
5. Meniup sekuatnya (bandingkan kekuatan udara dari pipi masing-masing).
6. Menarik sudut mulut ke bawah (bandingkan konsistensi otot platisma kanan dan kiri). Pada
kelemahan ringan, kadang-kadang tes ini dapat untuk mendeteksi kelemahan saraf fasialis
pada stadium dini.

C. Sensorik khusus (pengecapan 2/3 depan lidah)


Melalui chorda tympani. Pemeriksaan ini membutuhkan zat-zat yang mempunyai rasa :
- manis, dipakai gula
- pahit, dipakai kinine
- asin, dipakai garam
- asam, dipakai cuka
Paling sedikit menggunakan 3 macam. Sebelumnya lidah pasien dibersihkan/dilap terlebih
dahulu untuk mengurangi air liur. Penderita tidak boleh menutup mulut dan mengatakan
perasaannya dengan menggunakan kode-kode yang telah disetujui bersama antara pemeriksa
dan penderita. Penderita diminta membuka mulut dan lidah dikeluarkan. Zat-zat diletakkan di
2/3 bagian depan lidah. Kanan dan kiri diperiksa sendiri-sendiri, mula-mula diperiksa yang
normal. Biasanya menggunakan gula, garam, klorampenicol

6. Saraf VIII (N. Acusticus)


Pemeriksaan pendengaran
1. Detik arloji
Arloji ditempelkan ditelinga, kemudian dijauhkan sedikit demi sedikit, sampai tak
mendengar lagi, dibandingkan kanan dan kiri.

2. Gesekan jari

3. Tes Weber
Garpu tala yang bergetar ditempelkan dipertengahan dahi. Dibandingkan mana yang lebih
keras, kanan/ kiri.
4. Tes Rinne
Garpu tala yang bergetar ditempelkan pada Processus mastoideus. Sesudah tak mendengar
lagi dipindahkan ke telinga maka terdengar lagi. Ini karena penghantaran udara lebih baik
daripada tulang.

8
Pemeriksaan dengan garpu tala penting dalam menentukan nervus deafness atau
tranmission deafness. Pemeriksaan pendengaran lebih baik kalau penderita ditutup
matanya untuk menghindari kebohongan.

7. Saraf IX-X (N. Glossopharyngeus-N. Vagus)


Pemeriksaan saraf IX dan X terbatas pada sensasi bagian belakang rongga mulut atau 1/3
belakang lidah dan faring, otot-otot faring dan pita suara serta reflek muntah/menelan/batuk.
a. Gerakan Palatum
Penderita diminta mengucapkan huruf a atau ah dengan panjang, sementara itu pemeriksa
melihat gerakan uvula dan arcus pharyngeus. Uvula akan berdeviasi kearah yang normal
(berlawanan dengan gerakan menjulurkan lidah pada waktu pemeriksaan N XII).
b. Reflek Muntah dan pemeriksaan sensorik
Pemeriksa meraba dinding belakang pharynx dan bandingkan refleks muntah kanan dengan
kiri. Refleks ini mungkin menghilang pada pasien lanjut usia.
c. Kecepatan menelan dan kekuatan batuk

8. Saraf XI (N. Accesssorius)


Hanya mempunyai komponen motorik.
Pemeriksaan :
a. Kekuatan otot sternocleidomastoideus diperiksa dengan menahan gerakan fleksi lateral
dari kepala/leher penderita atau sebaliknya (pemeriksa yang melawan/ mendorong
sedangkan penderita yang menahan pada posisi lateral fleksi)
b. Kekuatan m. Trapezius bagian atas diperiksa dengan menekan kedua bahu penderita
kebawah, sementara itu penderita berusaha mempertahankan posisi kedua bahu
terangkat (sebaliknya posisi penderita duduk dan pemeriksa berada dibelakang penderita)

9. Saraf XII (N. Hypoglossus)


Pada lesi LMN, maka akan tamapk adanya atrofi lidah dan fasikulasi (tanda dini berupa perubahan
pada pinggiran lidah dan hilangnya papil lidah)

Pemeriksaan :
a. Menjulurkan lidah
Pada lesi unilateral, lidah akan berdeviasi kearah lesi. Pada Bell,s palsy (kelumpuhan saraf VII)
bisa menimbulkan positif palsu.
b. Menggerakkan lidah kelateral
Pada kelumpuhan bilateral dan berat, lidah tidak bisa digerkkan kearah samping kanan dan
kiri.
c. Tremor lidah
Diperhatikan apakah ada tremor lidah dan atropi. Pada lesi perifer maka tremor dan atropi
papil positip
d. Articulasi
Diperhatikan bicara dari penderita. Penderita disuruh mengikuti kalimat yang diucapkan oleh
pemeriksa, yaitu: ular melingkar-lingkar di atas pagar. Bila terdapat parese maka didapatkan
dysarthria.

9
DAFTAR PUSTAKA

1. Juwono T, Pemeriksaan klinik neurologik dalam praktek, Jakarta, EGC, 1996


2. http://endeavor.med.nyu.edu/neurosurgery/cranials.html
3. Lumbantobing, Neurologi Klinik Pemeriksaan Fisik dan Mental, Jakarta, FKUI, 2008
4. Wirawan, Pemeriksaan Neurologi, Semarang, Senat Mahasiswa Universitas Diponegoro

10
KETRAMPILAN PEMERIKSAAN SARAF KRANIAL
Nama :
NIM :
No Aspek Yang Dinilai Nilai
0 1 2
1. Menjelaskan maksud dan tujuan pemeriksaan
2. Menyiapkan penderita dan meminta kerjasama penderita
dalam pelaksanaan Pemeriksaan
Melakukan pemeriksaan N. I
3. Kedua mata pasien ditutup
4. Lubang hidung pasien ditutup salah satu
5. Melihat kedua lubang hidung pasien dengan
menggunakan senter, apakah ada gangguan pengaliran
udara
6. Satu persatu bahan didekatkan pada lubang hidung yang
terbuka
7. Meminta pasien menarik napas panjang, kemudian
mengidentifikasi bahan tersebut
Melakukan pemeriksaan N III
8. Melakukan pemeriksaan retraksi
Melakukan pemeriksaan ptosis
9. Inspeksi palpebra superior
10. Meminta pasien menutup mata, kemudian membukanya
11. Memfiksasi ringan palpebra superior dan alis mata
Melakukan pemeriksaan pupil
12. Melihat ukuran pupil : isokor/anisokhor
13. Melihat bentuk dan diameter pupil
14. Meminta penderita menutup salah satu mata.
Mengarahkan senter dari samping untuk menilai reflex
cahaya
15. Melakukan pemeriksaan pada mata kontralateral
Melakukan pemeriksaan gerakan bola mata N.III, N. IV,
N VI
16 Memfiksasi kepala pasien lurus ke depan
17 Meminta penderita menggerakkan bola mata ke berbagai
arah
18 Melakukan pemeriksaan sikap bola mata
19 Melakukan pemeriksaan N. V sensibilitas
20 Melakukan pemeriksaan N.V motorik
21 Melakukan pemeriksaan N.V reflek
22 Melakukan pemeriksaan N. VII atas perintah pemeriksa
23 Melakukan pemeriksaan N. VII sensorik khusus
24 Melakukan pemeriksaan N. IX-X gerakan palatum
25 Melakukan pemeriksaan N. IX-X reflek muntah dan
sensorik
26 Melakukan pemeriksaan N. XI m. Sternocleidomastoid
27 Melakukan pemeriksaan N. XI M. Trapezius
28 Melakukan pemeriksaan N. XII
TOTAL NILAI
Keterangan:
0 = tidak dilakukan/disebut sama sekali
1 =dilakukan tapi kurang sempurna
2 =disebut/ dilakukan dengan sempurna
Nilai = Total skor (.) x 100 %
56
Purwokerto, 2015
Evaluator

11
II. REFLEK FISIOLOGI DAN PATOLOGIS

Pemeriksaan Reflek Fisiologis

A. Tujuan Pembelajaran

Pada akhir sesi, mahasiswa mampu :


1. Mengetahui definisi pemeriksaan reflek fisiologis.
2. Indikasi pemeriksaan reflek fisiologis.
3. melakukan prosedur pemerikdaan reflek fisiologis dengan baik dan benar.
4. menjelaskan parameter normal hasil pemeriksaan reflek fisiologis
5. melakukan interpretasi hasil pemeriksaan reflek fisiologis.

B. Tinjauan Pustaka

Reflek adalah jawaban terhadap suatu rangsang. Sedangkan reflek fisiologis adalah mucle
stretch reflexes sebagai jawaban atas perangsangan tendo, periosteum, tulang, sendi, fasia,
aponeurosis, kulit, semua impuls perseptif termasuk panca indera dimana respon tersebut muncul
pada orang normal. Semua gerakan yang bersifat reflektorik merupakan suatu usaha tubuh untuk
menyesuaikan diri bahkan membela diri. Gerakan reflektorik dapat dilakukan oleh semua otot
seran lintang.
Pemeriksaan reflek fisiologis merupakan satu kesatuan dengan pemeriksaan neurologi
lainnya, dan terutama dilakukan pada kasus-kasus mudah lelah, sulit berjalan,
kelemahan/kelumpuhan, kesemutan, nyeri otot anggota gerak, gangguan trofi otot anggota
gerak, nyeri punggung/pinggang gangguan fungsi otonom.
Interpretasi pemeriksaan reflek fisiologis tidak hanya menentukan ada/tidaknya tapi juga
tingkatannya. Adapun kriteria penilaian hasil pemeriksaan reflek fisiologis adalah sebagai berikut
:
1. Positif Normal
2. Positif Meningkat
3. Positif Menurun
Suatu reflek dikatakan meningkat bila daerah perangsangan meluas, dan respon gerak
reflektorik meningkat dari keadaan normal.
Rangsangan yang diberikan harus cepat dan langsung, kerasnya rangsangan tidak boleh
melebihi batas sehinggajustru melukai pasien. Sifat reaksi setelah perangsangan tergantung tonus
otot sehingga otot yang diperiksa sebaiknya dalam keadaan sedikit kontraksi, dan bila hendak
dibandingkan dengan sisi kontralateralnya maka posisi keduanya harus simetris.

12
C. Alat dan Bahan

Palu reflek terbuat dari karet

D. Prosedur Tindakan Pelaksanaan:

-
- Penentuan lokasi pengetukan yaitu tendon, periosteum, dan kulit
- Anggota gerak yang akan diketuk harus dalam keadaan santai
- Dibandingkan dengan sisi lainnyha dalam posisi yang simetris

REFLEK FISIOLOGIS DI EKSTREMITAS ATAS :


1. Reflek bisep :
a. Pasien duduk santai
b. Lengan rileks, posisi antara fleksi dan ekstensi dan sedikit pronasi, lengan diletakkan di atas
lengan pemeriksa
c. Ibu jari pemeriksa diletakkan diatas tendo bisep, lalu pukullah ibu jari tadi dengan palu reflek
d. Respon : fleksi ringan di siku.
2. Reflek trisep
a. Pasien duduk rileks
b. lengan pasien diletakkan di atas lengan pemeriksa
c. Pukullah tendo trisep melalui fosa olekrani
d. Respon : ekstensi lengan bawah di siku.

3. Reflek brakhioradialis :
a. Posisi pasien sama dengan pemeriksaan reflek bisep
b. Pukullah tendo brakhioradialis pada radius distal dengan palu reflek
c. Respon : muncul terakan menyentak pada lengan
4. Reflek periosteum radialis :
a. Lengan bawah sedikit di fleksikan pada sendi siku dan tangan sedikit di pronasikan
b. Ketuk periosteum ujung distal os. Radialis
c. Respon : fleksi lengan bawah dan supinasi lengan
5. Reflek periosteum ulnaris :
a. Lengan bawah sedikit di fleksikan pada siku, sikap tangan antara supinasi dan pronasi
b. Ketukan pada periosteum os. Ulnaris.
c. Respon : pronasi tangan.
REFLEK FISIOLOGIS DINDING PERUT
Reflek dinding perut:
a. Kulit dinding perut digores dengan bagian tumpul palu reflek dengan arah dari samping
ke garis tengah
b. Respon : kontraksi dinding perut

13
REFLEK FISIOLOGIS EKSTREMITAS BAWAH :
1. Reflek patella :
a. Pasien duduk santai dengan tungkai menjuntai
b. Raba daerah kanan-kiri tendo untuk menentukan daerah yang tepat
c. Tangan pemeriksa memegang paha pasien
d. Ketuk tendo patela dengan palu reflek menggunakan tangan yang lain.
e. Respon : pemeriksa akan merasakan kontraksi otot kuadrisep, ekstensi tungkai bawah.
2. Reflek Achilles
a. Penderita berbaring terlentang
b. Kaki yang akan diperiksa ditumpangkan pada os. Tibia kaki lainnya
c. 1 tangan pemeriksa memegang jari-jari kaki yang akan diperiksa, sedangkan tangan yang
lain mengetuk tendo achilles
d. Respon : plantarfleksi kaki
3. Reflek Plantar :
a. Telapak kaki pasien digores dengan ujung tumpul palu reflek.
b. Respon : plantar fleksi kaki dan fleksi semua jari kaki.

E. Daftar Pustaka :

1. Sidharta P. Tata Pemeriksaan Klinis dalan Neurologi. 4th ed. Jakarta : Dian Rakyat. 1999; 429-
40.
2. Laboratorium Ketrampilan Keperawatan Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas
Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Skills Lab pendidikan ketrampilan keperawatan
program B semester I. Yogyakarta : Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran
Universitas Gadjah Mada. 2002; 28-38.
3. Neurologie examination Available at :
http://medinfo.ufl.edu/year1/bes/clist/neuro.html.Accessed 19th May, 2005.

14
Penilaian Ketrampilan Pemeriksaan Reflek Fisiologis
Nama :
NIM :
No. Aspek Yang Dinilai nilai
0 1 2
1. Beri salam pada pasien *
2. Memperkenalkan diri pada pasien
3. Menjelaskan pada pasien pemeriksaan yang akan
dilakukan dan tujuannya.*
4. Pemeriksaan bisep:
a. Pasien duduk santai
b. Lengan rileks, posisi antara fleksi dan
ekstensi dan sedikit pronasi, lengan
diletakkan diatas lengan pemeriksa
c. Ibu jari pemeriksa diletakkan di atas tendo
bisep, lalu pukullah ibu jari tadi dengan palu
reflek.*
d. Respon : fleksi ringan disiku
5. Pemeriksaan Reflek Trisep :
a. Pasien duduk rileks
b. Lengan pasien diletakkan diatas lengan
pemeriksa
c. Pukullah tendo trisep melalui fosa olekrani
*
d. Respon : ekstensi lengan bawah di siku *
6. Pemeriksaan Reflek brachioradialis:
a. Posisi pasien sama dengan pemeriksaan reflek
bisep
b. Pukullah tendo brakhioradialis pada radius
distal dengan palu reflek *
c. Respon : muncul gerakan menyentak pada
tangan *
7. Pemeriksaan Reflek ulnaris :
a. Lengan bawah sedikit di fleksikan pada sikap
tangan antara supinasi dan pronasi
b. Ketukan pada periosteum os. Ulnaris *
c. Respon : pronasi tangan *
8. Pemeriksaan Reflek radialis :
a. Lengan bawah sedikit di fleksikan pada sendi
siku dan tangan sedikit di pronasikan
b. Ketuk periosteum ujung distal os. Radialis *

c.
Respon : fleksi lengan bawah dan supinasi
lengan *
9. Pemeriksaan Reflek patella:
a. Pasien duduk santai dengan tungkai menjuntai
b. Raba daerah kanan-kiri tendo untuk
menentukan daerah yang tepat
c. Tangan pemeriksa memegang paha pasien
d. Ketuk tendo patela dengan palu reflek
menggunakan tangan yang lain *

15
e. Respon : pemeriksa akan merasakan kontraksi
otot kuadrisep, ekstensi tungkai bawah.*
10. Pemeriksaan Reflek Achilles :
a. Penderita berbaring terlentang
b. Kaki yang akan diperiksa ditumpangkan pada os.
Tibia kaki lainnya
c. 1 tangan pemeriksa memegang jari-jari kaki
yang akan diperiksa, sedangkan tangan yang lain
mengetuk tendo achilles
d. Respon : plantarfleksi kaki *
11. Pemeriksaan Reflek dinding perut:

a. Kulit dinding perut digores dengan bagian tumpul


palu reflek dengan arah dari samping ke garis tengah
b. Respon : kontraksi dinding perut *
12 Pemeriksaan Reflek Plantar :
a. Telapak kaki pasien digores dengan ujung tumpul
palu reflek

b. Respon : plantar fleksi kaki dan fleksi semua jari kaki.


*
Total Nilai

Keterangan:
0 = tidak dilakukan/disebut sama sekali
1 =dilakukan tapi kurang sempurna
2 =disebut/ dilakukan dengan sempurna

Nilai = Total skor (.) x 100 %


64
Purwokerto, 2015
Evaluator

16
III. REFLEK PATOLOGIS

TUJUAN PEMBELAJARAN

Mahasiswa mampu melakukan pemeriksaan reflek patologis.

TINJAUAN PUSTAKA

Secara umum reflek adalah respon motorik spesifik akibat rangsang sensorik spesifik. Ada 3 unsur
yang berperan yaitu jaras aferen, bussur sentral, dan jaras eferen.
Perubahan ketiga komponen tersebut akan mengakibatkan perubahan dalam kualitas
maupun kuantitas dari reflek. Intergritas dari arcus reflek akan terganggu jika trdapat malfungsi
dari organ reseptor,nercus sensorik, ganglion radiks posteior, gray matter medula spinal, radik
anterior, motor end plate, atau organ efektor.
Pengetahuan tentang reflek dapat dugunakan untuk menentukan jenis kerusakan yang
terjadi pada sistem persyarafan. Ada beberapa pembagian tentang reflek :
1. Brainstem reflek
2. Deep reflek / reflek tendon
3. Superficial reflek /skin reflek
4. Abnormal reflek / patologis
ada juga yang menambahkan reflek-reflek primitif.

Ada 5 gradasi dari kekuatan reflek :


0 : absent
1 : minimal tetapi ada
2 : normal
3 : hiperativity
4 : hiperactivity with clonus

Ada beberapa prinsip umum mengenai reflek :


1. Lesi UMN cenderung akan mengakibatkan peningkatan reflek, kecuali :
a. stadium akut
b. reflek abdominal / dinding perut dan reflek kremaster akan menurun baik lesi UMN atau
LMN
2. Reflek tidak akan dipengaruhi pada lesi CNS yang mengenai sistem sensorik, cerebelar, atau
ganglia basalis
3. Setelah stadium akut umumnya lesi cereblar lebih cepat menimbulkan reflek yang meningkat
dari pada lesi sppinal.
4. Sdanya asimetri reflek bila disertai tanda-tanda lain berupa defisit mototrik dan sensorik
pada satu sisi, maka pada satu sisi yang mengalami defisit motorik atau sensorik tersebut
adalah abnormal /patologi
5. Reflek kornea tidak dipengaruhi oleh lesi UMN

17
Pembagian reflek
1. reflek braistem / reflek saraf otak
- reflek pupil
- refelk konsensual pupil
- cornela reflek
- jaw reflek
- gag reflek, dll
2. deep reflek / tendon
- biceps
- triceps
- patela
- ankle jerk
- dll
3. reflek superficial
- dinding perut
- cremaster
- anal
- dll
4. reflek primitif
- snouting
- palmo mental
- glabela
- dll
5. reflek abnormal/ patologi /
- babinsky
- hoffmann
- gordon
- dll

Berikut akan disampaikan reflek yang terkait dengan reflek patologik dan reflek primitif.
1. Reflek hoffmann tromer
Tangan pasien ditumpu oleh tangan pemeriksa, kemusian ujung jari tangan pemeriksa yang
lain disentilkan ke ujung jari tengah tangan penderita. Kita lihat respon jari tangan penderita,
yaitu fleksi jari-jari yang lain, aduksi dari ibu jari.
Reflek positif bilateral bisa dijumpai pada 25 % orang normal, sedangkan unilateral
hoffmann indikasi untuk suatu lesi UMN .
2. Grasping reflek
Gores palmar penderita dengan telunjuk jari pemeriksa diantara ibujari dan telunjuk
penderita. Maka timbul genggaman dari jari pendeirta, menjepit jari pemeriksa. Jika reflek ini
ada maka penderuta tidak dapat membebaskan jari pemeriksa.
Normal masih terdapat pada anak kecil. jika positif ada pada dewasa, maka kemungkinan
terdapat lesi di area premotorik cortex.

18
3. Reflek palmomental
Garukan pada telapak tangan pasien menyebabkan kontraksi muskulus mentali ipsilateral.
Reflek patologis ini timbul akibat kerusakan lesi UMN di atas inti saraf VII kontralateral.
4. Reflek snouting / menyusu
o Ketukan hammer pada tendo insertio m. Orbicularis oris, maka akan menimbulkan reflek
menyusu.
o Menggaruk bi bir dengan tingue spatel maka akn timbul reflek menyusu.
Normal pada bayi, jika positif pada dewasa menandakan lesi UMN bilateral.
5. Reflek Glabella
Ketukkan tangan pemeriksa ke daerah glabella pasien. Hasil positif jika pasien berkedip
beberapa kali.
6. Reflek Babinski
Lakukan goresan pada telapak kaki dari arah tumit ke arah jari melalui sisi lateral menuju
medial (arah ibu jari kaki), orang noramla akan memberikan respon fleksi jari-jari kaki, abduksi
jempol kaki dan penarikan tungkai. Pada lesi UMN maka akan timbul respon jempol kaki akan
dorsofleksi, sedangkan jari-jari lain akan menyebar atau membuka.
Normal pada bayi masih ada.
7. Reflek Oppenheim
Lakukan goresan pada sepanjang tepi depan tuilang tibia dari atas ke bawah, dengan
kedua jari telunjuk dan tengah., jika posistidf maka akan timbul reflek seperti babinski
8. Reflek gordon
Lakukan goresan / memencet otot gastrocnemius . jika posistif maka akan timbul reflek
seperti babinski
9. Reflek schaefer
Lakukan pemencetan pada tendo achiles. Jika positif maka akan timbul reflek seperti
babinski
10. Reflek chaddock
Lakukan goresan sepanjang tepi lateral punggung kaki di luar telapak kaki, dari tumit ke
depan. Jika posistif maka akan timbul reflek seperti babinski
11. Reflek Rossolimo
Pukulkan hammer reflek pada dorsal kaki pada tulang cuboid. Reflek akan terjadi fleksi
jari-jari kaki.
12. Reflek Mendel-Bacctrerew
Pukulan telapak kaki bagian depan akan memberikan respon fleksi jari-jari kaki

19
PENILAIAN KETRAMPILAN PEMERIKSAAN REFLEK PATOLOGIS
Nama :
NIM:
No Aspek yang dinilai Skor
0 1 2
1 Siapkan alat
2 Jelaskan tujuan
3 Melakukan pemeriksaan Reflek hoffmann
tromner
4 Melakukan pemeriksaan Grasping reflek
5 Melakukan pemeriksaan Reflek
palmomental
6 Melakukan pemeriksaan Reflek snouting /
menyusu
7 Melakukan pemeriksaan Reflek glabella

8 Melakukan pemeriksaan Reflek Babinski


9 Melakukan pemeriksaan Reflek Oppenheim
10 Melakukan pemeriksaan Reflek gordon
11 Melakukan pemeriksaanReflek schaefer
12 Melakukan pemeriksaan Reflek chaddock
13 Melakukan pemeriksaan Reflek Rossolimo
14 Melakukan pemeriksaan Reflek Mendel-
Bacctrerew
15 Rapikan alat
16 Cuci tangan
17 Dokumentasikan
TOTAL NILAI

Keterangan:
0 = tidak dilakukan/disebut sama sekali
1 =dilakukan tapi kurang sempurna
2 =disebut/ dilakukan dengan sempurna

Nilai = Total skor (.) x 100 %


34
Purwokerto, 2015
Evaluator

20
IV. Pemeriksaan Keseimbangan & Koordinasi
LEARNING OBJECTIVE

Mahasiswa mampu melakukan pemeriksaan keseimbangan dan koordinasi

TINJAUAN PUSTAKA

PEMERIKSAAN KOORDINASI DAN KESEIMBANGAN

Koordinasi adalah penggunaan normal dari faktor-faktor motorik, sensorik dan sinergik dalam
melakukan gerakan. Pusat koordinasi adalah cerebellum.
Gangguan koordinasi dibagi menjadi:
A. Gangguan equlibratory coordination (mempertahankan keseimbangan, khususnya pada
posisi berdiri), diperiksa dengan:
a. Tes Romberg
Penderita diminta berdiri dengan kedua tumit saling merapat. Pertama kali dengan
mata terbuka kemudian penderita diminta menutup matanya. Pemeriksa menjaga
jangan sampai penderita jatuh tanpa menyentuh penderita. Hasil positif didapatkan
apabila penderita jatuh pada satu sisi.
b. Tes tandem walking
Penderita diminta berjaln pada satu garis lurus di atas lantai, dengan cara
menempatkan satu tumit langsung di depan ujung jari kaki yang berlawanan, baik
dengan mata terbuka atau tertutup. (Gambar 5)

Gambar 5

Gambar 6

21
B. Gangguan non equilibratory coordination (pergerakan yang disengaja dari anggota gerak,
terutama gerakan halus), diperiksa dengan:
a. Finger-to-nose test.
Bisa dilakukan dengan posisi pasien berbaring, duduk atau berdiri. Dengan posisi
abduksi dan ektensi secara komplit, mintalah pada pasien untuk menyentuh ujung
hidungnya sendiri dengan ujung jari telunjuknya. Mula-mula dengan gerakan perlahan
kemudian dengan gerakan cepat, baik dengan mata terbuka dan tertutup.
b. Nose-finger-nose-test
Serupa dengan finger to nose test, tetapi setelah menyentuh hidungnya, pasien diminta
menyentuh ujung jari pemeriksa dan kembali menyentuh ujung hidungnya. Jari
pemeriksa dapat diubah-ubah baik dalam jarak maupun bidang gerakan. (Gambar 6)
c. Finger-to-finger test
Penderita diminta mengabduksikan lengan pada bidang horizontal dan diminta untuk
menggerakkan kedua ujung jari telunjuknya saling bertemu tepat ditengah-tengah
bidang horizontal tersebut. Pertama dengan gerakan perlahan kemudian dengan
gerakan cepat, dengan mata ditutup dan dibuka.
d. Diadokokinesis
Penderita diminta untuk menggerakan kedua tangannya bergantian pronasi dan
supinasi dengan posisi siku diam, mintalah gerakan tersebut secepat mungkin dengan
mata terbuka atau mata tertutup. Diadokokinesis pada lidh dapat dikerjakan dengan
meminta penderita menjulurkan dan menarik lidah atau menggerakkan ke sisi kanan
dan kiri secepat mungkin. (Gambar 7)
Tapping test merupakan variasi test diadokokinesis, dilakukan dengan menepuk
pinggiran meja/paha dengan telapak tangan secara berselingan bagian volar dan dorsal
tangan dengan cepat atau dengan tepukan cepat jari-jari tangan ke jempol. (Gambar 8)

Gambar 7

Gambar 8
22
e. Heel-to-knee-to-toe test
Penderita diminta untuk menggerakkan tumit kakinya ke lutut kontralateral, kemudian
diteruskan dengan mendorong tumit tersebut lurus ke jari-jari kakinya. (Gambar 9)
Variasi dari test ini adalah toe-finger test, yaitu penderita diminta untuk menunjuk jari
penderita dengan jari-jari kakinya atau dengan cara membuat lingkaran di udara dengan
kakinya. (Gambar 10)

Gambar 9

Gambar 10

f. Rebound test
Penderita diminta adduksi pada bahu, fleksi pada siku dan supinasi lengan bawah,
siku difiksasi/diletakkan pada meja periksa/alas lain, kemudian pemeriksa menarik
lengan bawah tersebut dan penderita diminta menahannya, kemudian dengan
mendadak pemeriksa melepaskan tarikan tersebut tetapi sebelumnya lengan lain
harus menjaga muka dan badan pemeriksa supaya tidak terpukul oleh lengan
penderita sendiri bila ada lesi cerebellum.

23
DAFTAR PUSTAKA

1. Duss P, Diagnosis Topik Neurologi. Edisi 2. Jakarta: Penerbit Buku Kepokteran EGC; 1996.
2. Juwono T, Pemeriksaan Klinik Neurologik dalam Praktek. Jakarta: Penerbit Buku kedokteran
EGC; 1987.
3. Laboratorium Ketrampilan Medik FK UGM. Skills Lab Semester 2 Tahun kademik 1998-1999.
Yogyakarta: Fakultas Kedokteran UGM. 1999
4. Sidharta P. Pemeriksaan Neurologis Dasar. PT. Dian Rakyat . 1999
5. Weiner H dan Levitt L. Buku Saku Neurologi. Edisi 5. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC;
2001

24
Penilaian Keterampilan Keseimbangan dan Koordinasi
Nama :
NIM :
Nilai
No Aspek yang dinilai
0 1 2
1 Memberi salam dan
memperkenalkan diri
2 Melakukan anamnesis seperlunya
3 Menjelaskan prosedur dan tujuan
pemeriksaan
Tes Romberg
4 Meminta penderita untuk berdiri
dengan kedua tumit saling merapat
5 Meminta penderita melakukan hal
tersebut pada mata terbuka
kemudian mata tertutup.
6 Melaporkan hasil pemeriksaan.
Tes Tandem Walking
7 Meminta penderita berjalan pada
satu garis lurus di lantai, dengan
menempatkan satu tumit langsung di
depan ujung jari kaki yang
berlawanan.
8 Meminta penderita melakukan hal
tersebut pada mata terbuka dan mata
tertutup.
9 Melaporkan hasil pemeriksaan
Finger-to-nose test
10 Meminta penderita menyentuh ujung
hidungnya dengan ujung jari
telunjuknya dengan gerakan abduksi
dan ekstensi lengan secara komplit.
11 Meminta penderita melakukan mula-
mula dengan perlahan kemudian
cepat.
12 Meminta penderita melakukan hal
tersebut dengan mata terbuka dan
mata tertutup.

25
13 Melaporkan hasil pemeriksaan
Nose-finger-nose test
14 Meminta penderita menyentuh ujung
hidungnya dengan ujung jari
telunjuknya dengan gerakan abduksi
dan ekstensi lengan secara komplit
kemudian menyentuh ujung jari
pemeriksa dan kembali menyentuh
ujung hidungnya
15 Meminta penderita melakukan mula-
mula dengan perlahan kemudian
cepat.
16 Meminta penderita melakukan hal
tersebut dengan mata terbuka dan
mata tertutup.
17 Mengubah-ubah jari pemeriksa baik
dalam jarak maupun bidang gerakan
18 Melaporkan hasil pemeriksaan
Finger-to-finger test
19 Meminta penderita mengabduksikan
lengan pada bidang horizontal dan
diminta untuk menggerakkan kedua
ujung jari telunjuknya saling bertemu
tepat ditengah-tengah bidang
horizontal tersebut.
20 Meminta penderita melakukan mula-
mula dengan perlahan kemudian
cepat.
21 Meminta penderita melakukan hal
tersebut dengan mata terbuka dan
mata tertutup.
22 Melaporkan hasil pemeriksaan
Diadokokinesis
23 Penderita diminta untuk
menggerakan kedua tangannya
bergantian pronasi dan supinasi
dengan posisi siku diam.

26
24 Meminta penderita melakukan
gerakan tersebut secepat mungkin.
25 Meminta penderita melakukan hal
tersebut dengan mata terbuka dan
mata tertutup.
26 Melaporkan hasil pemeriksaan
Heel-to-knee-to-toe test
27 Meminta penderita untuk
menggerakkan tumit kakinya ke lutut
kontralateral, kemudian diteruskan
dengan mendorong tumit tersebut
lurus ke jari-jari kakinya.
28 Melaporkan hasil pemeriksaan
Rebound test
29 Penderita diminta adduksi pada bahu,
fleksi pada siku dan supinasi lengan
bawah, siku difiksasi/diletakkan pada
meja periksa/alas lain.
30 Menarik lengan bawah penderita dan
penderita diminta menahannya
31 Dengan mendadak melepaskan
tarikan tersebut
32 Sebelumnya lengan lain harus
menjaga muka dan badan pemeriksa
supaya tidak terpukul oleh lengan
penderita sendiri
33 Melaporkan hasil pemeriksaan
Keterangan:
0 = tidak dilakukan/disebut sama sekali
1 =dilakukan tapi kurang sempurna
2 =disebut/ dilakukan dengan sempurna

Nilai = Total skor (.) x 100 %


66
Purwokerto, 2015
Evaluator

27
V. PEMERIKSAAAN MENGINGEAL SIGN & PEMERIKSAAN TANDA
IRITASI RADIX PADA DAERAH VERTEBRALIS
TUJUAN PEMBELAJARAN

Mahasiswa mampu :
1. Melakukan pemeriksaan meningeal sign dan pemeriksaan tanda iritasi radix pada daerah
vertebralis
2. Menginterpretasikan hasil pemeriksaan meningeal sign dan pemeriksaan neurologis pada
kasus low back pain

TINJAUAN PUSTAKA

Meningitis adalah infeksi cairan otak disertai radang yang mengenai piameter (lapisan dalam
selaput otak) dan arakhnoid serta dalam derajat yang lebih ringan mengenai jaringan otak dan
medula spinalis yang superfisial. Saluran nafas merupakan port dentree utama pada penularan
penyakit ini. Bakteri-bakteri ini disebarkan pada orang lain melalui pertukaran udara dari
pernafasan dan sekresi-sekresi tenggorokan yang masuk secara hematogen (melalui aliran darah)
ke dalam cairan serebrospinal dan memperbanyak diri didalamnya sehingga menimbulkan
peradangan pada selaput otak dan otak.
Tanda-tanda perangsangan selaput otak:
1. Kaku kuduk
Pastikan bahwa penderita tidak ada cedera servikal kemudian letakkan tangan kiri dibawah
kepala pasien. Menggoyangkan kepala pasien ke kanan dan ke kiri. Memfleksikan maksimal
kepala ke anterior, sampai dagu menyentuh dada. Hasil positif apabila dagu tidak dapat
menyentuh dada.
2. Brudzinskis sign
a. Neck sign
Memfleksikan kepala secara pasif hingga dagu menyentuh sternum. Hasil positif bila
gerakan fleksi pasif tersebut disusul dengan gerakan fleksi reflektoris di sendi lutut dan
panggul kedua tungkai.
b. Leg sign
Penderita terlentang dan dilakukan fleksi pasif pada salah satu panggul (salah satu
tungkainya dapat diangkat pada sikap lurus di sendi lutut dan ditekukkan di sendi panggul.
Hasil positif jika tungkai kontralateral timbul fleksi reflektoris di sendi lutut dan sendi
panggul
c. Cheek sign
Penekanan pada pipi kedua sisi tepat dibawah os zigomatikum akan disusul gerakan fleksi
reflektoris keatas sejenak dari kedua lengan
d. Symphisis sign

28
Penekanan pada simfisis pubis akan disusul dengan timbulnya gerakan fleksi reflektoris pada
kedua tungkai di sendi lutut dan panggul. Syarat dilakukan tes ini adalah kandung kemih
kosong dan tidak ada fraktur pada os.coxae
3. Kernig sign
Penderita terlentang, pemeriksa menekuk tungkai atas penderita sehingga paha penderita
tegak lurus terhadap tubuh kemudian tungkai bawah penderita diluruskan di sendi lutut.
Gerakan ini akan mendapat tahanan dan sekaligus membangkitkan nyeri pada otot biseps
femoris. Hasil positif apabila ekstensi lutut tidak mencapai 135 oleh karena nyeri dan spasme
otot paha sedangkan tungkai sisi kontralateral fleksi di lutut dan panggul secara reflektoris.

Cervical syndrome adalah sindrome atau keadaan yang ditimbulkan oleh adanya iritasi atau
kompresi pada radiks saraf servikal ditandai dengan adanya rasa nyeri pada leher yang dijalarkan
ke bahu dan lengan sesuai dengan radiks yang terganggu. Rasa nyeri yang dijalarkan tersebut
disebut nyeri radikuler artinya bahwa rasa nyeri tersebut berpangkal pada tempat perangsangan
dan menjalar ke daerah persarafan radiks yang terkena. Daerah ini sesuai dengan kawasan suatu
dermatom. Untuk mengetahui adanya nyeri di tengkuk yang mungkin bersifat radikuler dapat
dikerjakan tes-tes sebagai berikut:
4. Tes Kompresi Lhermitte
Pada pasien yang duduk dilakukan kompresi pada kepalanya dalam berbagai posisi : miring
kanan, miring kiri, tengadah dan menunduk. Hasil tes dinyatakan positif bila pada penekanan
tersebut dirasakan adanya nyeri yang dijalarkan
5. Tes Valsava
Pada pasien yang duduk, penderita disuruh mengejan dengan epiglottis menutup (penderita
disuruh menahan napas). Hasil tes positif bila timbul rasa nyeri yang ditimbulkan
6. Tes Naffziger
Kedua vena jugularis ditekan dan penderita diuruh mengejan. Dengan ini tekanan intrakranial
ditingkatkan yang akan diteruskan ke sepanjang rongga arakhnoidal medula spinalis. Jika
terdapat proses desak ruang di kanalis vertebralis maka radiks yang terbentang atau teregang
mendapat perangsangan pada saat tes dikerjakan. Oleh karena itu akan timbul rasa nyeri yang
dijalarkan melintasi kawasan dermatomnya.

Low back pain (LBP) / nyeri punggung bawah merupakan keluhan yang cukup sering muncul di
pelayanan kesehatan. Low back pain disebabkan oleh berbagai hal. Sebab terbanyak kasus low
back pain meliputi trauma muskuloskeletal, penyakit degeneratif, hernia nukleus pulposus (HNP),
dan stenosis spinalis. Penyebab lain yang dapat mengakibatkan low back pain yaitu keganasan,
infeksi tulang belakang, spondilitis dan nyeri alih dari organ-organ viseral. Penegakan diagnosis
pada kasus LBP memerlukan pemeriksaan yang sistematis. Anamnesis dan pemeriksaan fisik
merupakan langkah awal yang sangat menentukan ketepatan penegakan diagnosis pada pasien
LBP.
Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pemeriksaan fisik untuk menegakkan diagnosis LBP
antara lain :
1. inspeksi tulang belakang : mengamati ada/tidaknya ketidaknormalan kurvatura vertebrae.
2. observasi cara berjalan pasien : diamati pada saat berjalan
3. Observasi posisi duduk pasien

29
4. palpasi / perkusi vertebra
5. range of motion
Setelah melakukan beberapa pemeriksaan fisik diatas, dapat dilakukan beberapa tes yang dapat
membantu mengarahkan diagnosis nyeri punggung bawah
1. Tes Patrick
Penderita posisi terlentang, tumit atau maleolus externus tungkai yang sakit diletakkan diatas
lutut tungkai yang lain ( fleksi, abduki, eksorotasi) kemudian dilakukan penekanan pada lutut
yang difleksikan tersebut. Hasil positif apabila nyeri pada sendi panggul yang terkena penyakit
2. Tes Kontra Patrick
Penderita terlentang, tungkai yang sakit dilipat, endorotasi dan adduksi kemudian dilakukan
penekanan pada lutut tungkai tersebut sejenak. Hasil positif apabila nyeri pada sendi
sacroiliaka
3. Tes Laseque
Angkat tungkai pasien dalam keadaan lurus. Untuk menjamin lurusnya tungkai maka tangan si
pemeriksa yang satu mengangkat tungkai dengan memegang pada tumit pasien, sedangkan
tangan lain pemeriksa memegang serta menekan pada lutut pasien. Fleksi pasif tungkai dalam
keadaan lurus di sendi panggul menimbulkan peregangan nervus ischiadikus. Apabila salah
satu radiks yang menyususn nervus ischiadikus mengalami penekanan, pembentangan dan
sebagainya karena HNP atau tumor kanalis vertebralis maka tes laseque membangkitkan nyeri
yang berpangkal pada radiks yang terkena dan menjalar sepanjang perjalanan perifer
ischiadikus

DAFTAR PUSTAKA

1. Lumbantobing, S.M. dr. DR. Prof. Neurologi Klinik Pemeriksaan Fisik dan Mental. FK UI.
2008
2. Sidharta P. Pemeriksaan Neurologis Dasar. PT. Dian Rakyat . 1999

ALAT DAN BAHAN

1.Bed Periksa
2.Lampu/penerangan yang cukup

30
PEMERIKSAAN MENINGEAL SIGN & PEMERIKSAAN TANDA IRITASI RADIX PADA DAERAH VERTEBRALIS

Pemeriksaan Meningeal sign


Nilai
No Aspek yang dinilai
0 1 2
1 Memberi salam dan memperkenalkan diri
2 Melakukan anamnesis seperlunya
3 Menjelaskan prosedur dan tujuan pemeriksaan
4 Meminta penderita untuk posisi tiduran
Kaku kuduk
5 Pastikan tidak ada cedera servikal
6 Letakkan tangan kiri dibawah kepala pasien
7 Menggoyangkan kepala pasien ke kanan dan ke kiri
8 Memfleksikan maksimal kepala ke anterior, sampai dagu
menyentuh dada
9 Melaporkan hasil pemeriksaan
Brudzinskis Sign
Neck Sign
10 Memfleksikan kepala secara pasif hingga dagu menyentuh
sternum
11 Melaporkan hasil pemeriksaan
Leg Sign
12 Mengangkat salah satu tungkai dalam sikap lurus pada sendi
lutut dan kemudian ditekukkan pada sendi panggul
13 Melaporkan hasil pemeriksaan
Cheek Sign
14 Menekan pipi kedua sisi tepat di bawah os.zigomatikum
15 Melaporkan hasil pemeriksaan
Symphisis Sign
16 Pastikan kandung kemih kosong dan tidak ada fraktur pada
os.coxae
17 Menekan pada simfisis pubis
18 Melaporkan hasil pemeriksaan
Kernigs Sign
19 Memfleksikan sendi panggul 90
20 Mengekstensikan sendi lutut
21 Melaporkan hasil pemeriksaan
TOTAL NILAI

Keterangan:
0 = tidak dilakukan/disebut sama sekali
1 =dilakukan tapi kurang sempurna
2 =disebut/ dilakukan dengan sempurna

Nilai = Total skor (.) x 100 %


42
Purwokerto, 2015
Evaluator

31
Pemeriksaan Tanda Iritasi Radix Pada Daerah Vertebralis
Nilai
No Aspek yang dinilai
0 1 2
1 Memberi salam dan memperkenalkan diri
2 Melakukan anamnesis seperlunya
3 Menjelaskan prosedur dan tujuan pemeriksaan
4 Meminta penderita untuk posisi tiduran
Tes Patrick
5 Meletakkan maleolus eksterna tungkai yang sakit pada lutut
tungkai lainnya
6 Melakukan penekanan pada lutut yang difleksikan
7 Melaporkan hasil pemeriksaan
Tes Kontrapatrick
8 Mengendorotasikan & mengaduksikan tungkai yang sakit
9 Menekan sejenak sendi lutut tungkai yang sakit
10 Melaporkan hasil pemeriksaan
Tes Laseque
11 Mengangkat tungkai pasien dalam keadaan lurus dengan
cara tangan kanan pemeriksa memegang tumit pasien
12 Memfiksasi lutut pasien dengan tangan kiri
13 Melaporkan hasil pemeriksaan
Tes Naffziger
14 Menekan kedua vena jugularis dan penderita disuruh
mengejan
15 Melaporkan hasil pemeriksaan
Tes Valsava
16 Meminta penderita posisi duduk
17 Meminta pasien untuk mengejan sewaktu pasien menahan
napas
18 Melaporkan hasil pemeriksaan
Tes Kompresi Lhermitte
19 Melakukan kompresi pada kepala penderita dalam berbagai
posisi miring kanan, miring kiri, tengadah, menunduk
20 Melaporkan hasil pemeriksaan
TOTAL NILAI

Keterangan:
0 = tidak dilakukan/disebut sama sekali
1 =dilakukan tapi kurang sempurna
2 =disebut/ dilakukan dengan sempurna

Nilai = Total skor (.) x 100 %


40
Purwokerto, 2015
Evaluator

32
VI. PEMERIKSAAN MATA

A. TUJUAN PEMBELAJARAN

Setelah menyelesaikan modul pemeriksaan fisik mata, mahasiswa diharapkan mampu :


1. Melakukan pemeriksaan tajam penglihatan (visus)
2. Melakukan pemeriksaan lapang pandang
3. Melakukan oftalmoskopi
4. Melakukan pemeriksaan buta warna
5. Melakukan pemeriksaan papan placido (astigmatisma)
6. Melakukan pemeriksaan sistem lakrimalis
7. Melakukan pemeriksaan tonometri
8. Melakukan pemeriksaan otot penggerak bola mata

B. TINJAUAN PUSTAKA

Sistem Visual
Cahaya masuk melalui media refrakta (berurutan dari kornea, COA, lensa dan corpus
vitreum). Alat penangkap rangsang cahaya ialah sel batang dan kerucut yang terletak di retina.
Impuls kemudian dihantarkan melalui serabut saraf yang membentuk nervus optikus. Sebagian
dari serabut ini, yaitu serabut yang menghantarkan rangsang yang datang dari bagian medial
retina menyimpang ke sisi lainnya di khiasma optic. Dari khiasma, serabut melanjutkan diri
dengan membentuk traktus optic ke korpus genikulatum lateral, dan setelah bersinaps disini,
rangsang diteruskan melalui traktus genikulokalkarina ke korteks optic. Daerah berakhirnya
serabut ini di korteks disebut korteks striatum (area 17) yang merupakan pusat persepsi cahaya.
Disekitar area 17, terdapat daerah yang berfungsi untuk asosiasi rangsang visual, yaitu area
18 dan 19. Area 18 yang disebut juga area parastriatum atau parareseptif, menerima dan
menginterpretasi impuls dari area 17. Area 19 yaitu korteks peristriatum atau perireseptif,
mempunyai hubungan dengan area 17 dan 18 dan dengan bagian-bagian lain dari korteks. Ia
berfungsi untuk pengenalan dan persepsi visual kompleks, asosiasi visual, revisualisasi,
diskriminasi ukuran dan bentuk, orientasi ruangan serta peenglihatan warna.
Serabut yang mengurus refleks optic pupil setelah melalui khiasma optic dan traktus optic
menyimpang di anterior korpus genikulatum lateral, dan menuju serta bersinaps di nucleus
pretektalis di batang otak (setinggi kolikuli superior). Disini ia bersinaps dengan neuron berikutnya
yang mengirim serabut ke nucleus Edinger Westphal sisi yang sama dan sisi kontralateral. Dari
sini rangsang kemudian diteruskan melalui nervus okulomotorius (N.III) ke sfingter pupil.
Serabut yang mengurusi refleks somatovisual, yaitu refleks pergerakan bola mata dan
kepala sebagai jawaban terhadap rangsang visual, menuju kolikulus superior dan kemudian
melalui fasikulus medial longitudinal menuju nucleus nervus okulomotorius dan melalui traktus

33
tektospinalis untuk kemudian menginervasi otot-otot skelet. Selain itu kita juga mengenal traktus
kortikotektal internus yang datang dari area 18 dan 19 di korteks oksipital melalui radiasi optic
dan menuju ke kolikulus superior. Traktus ini juga ikut mengatur refleks dengan jalan
berhubungan dengan otot-otot penggerak bola mata dan struktur lainnya.
Keluhan yang berhubungan dengan sistem visual berupa ketajaman penglihatan
berkurang, lapang pandang berkurang, ada bercak di dalam lapang pandang yang tidak dapat
dilihat (skotoma). Selain itu, fotofobi, yaitu mata mudah silau, takut akan cahaya, yang dapat
dijumpai pada penderita meningitis.
Sistem non visual
Sistem non visual terdiri dari kelopak mata, sistem lakrimal, konjungtiva dan otot-otot
penggerak bola mata. Kelopak mata atau palpebra mempunyai fungsi melindungi bola mata, serta
mengeluarkan sekresi kelenjarnya yang membentuk film air mata di depan kornea. Palpebra
merupakan alat penutup mata yang berguna untuk melindungi bola mata dari trauma sinar dan
pengeringan bola mata. Gangguan penutupan kelopak akan mengakibatkan keringnya
permukaan mata yang dapat menyebabkan keratitis et lagoftalmus.
Sistem lakrimal terdiri atas 2 bagian yaitu, sistem produksi atau glandula lakrimal yang
terletak di temporoanterosuperior rongga orbita dan sistem ekskresi yang terdiri atas pungtum
lakrimal, kanalikuli lakrimal, sakus lakrimal, dan duktus nasolakrimal. Film air mata sangat berguna
untuk kesehatan mata. Untuk melihat adanya sumbatan pada duktus nasolakrimal, maka
sebaiknya dilakukan penekanan pada sakus lakrimal. Bila terdapat penyumbatan yang disertai
dakriosistitis, maka cairan berlendir kental akan keluar melalui pungtum lakrimal.
Konjungtiva merupakan membrane yang menutupi sclera dan kelopak mata bagian
belakang. Konjungtiva mengandung kelenjar musin yang dihasilkan oleh sel goblet. Musin bersifat
membasahi bola mata terutama kornea.
Gerak bola mata yang normal ialah gerak terkonjugasi, yaitu gerak bola mata kiri dan kanan
selau bersama-sama, dengan sumbu mata yang sejajar. Disamping itu mata juga melakukan
konvergensi yaitu sumbu mata saling berdekatan dan menyilang pada objek fiksasi. Otot-otot
penggerak bola mata melakukan fungsi ganda tergantung letak dan sumbu penglihatan sewaktu
aksi otot.
Terdapat enam otot penggerak bola mata, yaitu :
1. m. Oblikus inferior
Dipersarafi N.III, bekerja menggerakkan mata keatas, abduksi dan eksiklotorsi
2. m. Oblikus superior
Dipersarafi N.IV, berfungsi menggerakkan bola mata untuk depresi terutama bila mata melihat
ke nasal, abduksi dan insiklorotasi.
3. m. Rektus inferior
Dipersarafi oleh N.III, berfungsi menggerakkan bola mata depresi, eksiklorotasi dan aduksi.
4. m. Rektus lateral
Dipersarafi oleh N.VI, dengan fungsi abduksi bola mata.
5. m. Rektus medius
Dipersarafi oleh N.III, berfungsi untuk aduksi bola mata
6. m. Rektus superior
Dipersarafi oleh N.III, berfungsi pada elevasi, aduksi dan insiklorotasi bola mata.

34
C. ALAT DAN BAHAN

1. Optotype snellen
2. Oftalmoskop
3. Tonometer
4. Loupe dengan slitlamp
5. Kampimeter
6. Fluorescein
7. Ishihara book
8. Papan placido
9. Senter
10. Kasa dan kapas

D. PROSEDUR TINDAKAN/PELAKSANAAN

I. Inspeksi
Pemeriksa duduk berhadapan dengan pasien.
Perhatikan :
Posisi kedua mata (simetris atau tidak)
Apakah mata sembab
Bagaimana keadaan sekitar orbita
Perhatikan alis mata : apakah bagian lateral menipis/rontok
Perhatikan apakah kelopak mata dapat menutup dan membuka dengan sempurna
Perhatikan konjungtiva palpebra. (membuka mata, menarik palpebra inferior, menekan
canthus medialis.) Perhatikan :
1. Adakah ikterus
2. Bagaimanakah warna ikterus , kuning kejinggaan atau kehijauan
3. Apakah pucat (anemia)
4. Apakah kebiruan (sianosis)
5. Adakah pigmentasi lain
6. Adakah petechie bercak perdarahan atau/white centered spot.
7. Apakah ada obstruksi ductus nasolacrimalis.
Pemeriksa duduk di lateral pasien, perhatikan :
Adakah exopthalmos (Dengan penggaris, dibandingkan kanan dan kiri. normal sampai 16
mm dan pasti patologis apabila > 20 mm.)
Simetriskah exopthalmus ini
II. Pemeriksaan visus
1. Penderita dan pemeriksa berhadapan.
2. Penderita duduk pada jarak 6 m dari Optotype Snellen, mata yang satu ditutup.

35
3. Penderita dipersilahkan untuk membaca huruf/gambar yang terdapat pada Optotype, dari
yang paling besar sampai pada huruf/gambar yang dapat terlihat oleh mata normal.
4. Apabila penderita tak dapat melihat gambar yang terdapat pada Optotype, maka kita
mempergunakan jari kita.
5. Penderita diminta untuk menghitung jari pemeriksa, pada jarak 1 m, 2 m, sampai dengan
6 m.
6. Dalam hal demikian maka visus dari penderita dinyatakan dalam per-60
7. Apabila penderita tak dapat menghitung jari, maka dipergunakan lambaian tangan
pemeriksa pada jarak 1m sampai 6 m
8. Dalam hal ini, maka visus penderita dinyatakan dalam per 300.
9. Apabila lambaian tangan tak terlihat oleh penderita, maka kita periksa visusnya dengan
cahaya (sinar baterai).
10. Untuk ini maka visus dinyatakan dalam per tak terhingga.

III. Pemeriksaan Obligue Illuminasi.


1. Penderita duduk di kursi dalam kamar gelap
2. Pemeriksa berdiri di depan penderita.
3. Dengan condensing lens, pemeriksa mengarahkan sinar yang datang dari lampu
pijar kearah mata penderita.
4. Pemeriksa memakai loupe, memperhatikan :
Conjunctiva, selera, cornea, COA, iris, lensa, pupil
adakah Tyndall effect.

IV. Fundus refleks :


1. Mata penderita ditetesi dulu dengan midriatikum dan dibiarkan selama 5 menit didalam
kamar gelap.
2. Pemeriksa dan penderita didalam kamar gelap di samping meja dan lampu pijar pada jarak
kurang lebih 50 cm.
3. Sinar yang datang dari lampu dipantulan oleh cermin datar atau cekung, masuk ke pupil
penderita.
4. Pemeriksa menilai kejernihan : cornea, COA, lensa dan corpus vitreum (media -refrakta ).
Apabila media refrakta jernih, maka dari jauh saja pemeriksa dapat melihat refleksi fundus
yang berwarna merah jingga cemerlang.
V. Pemeriksaan funduscopi :
1. Penderita duduk dalam kamar gelap.
2. Pemeriksa dengan Oftalmoskop berdiri disamping penderita
3. Bila kita akan memeriksa fundus secara ideal maka sebaiknya pupil dilebarkan dulu.
4. Bila mata kanan yang penderita akan diperiksa, maka pemeriksa memegang
opthalmoscope dengan tangan kanan dan melihat fundus mata dengan mata kanan pula.
5. Pemeriksa memperhatikan :
papila N II : adakah papil oedema, papil atrofi
macula lutea
pembuluh darah retina

36
VI. Pemeriksaan Lapangan Pandang.
A. Metode konfrontasi
1. Pemeriksa dan penderita saling berhadapan.
2. Satu mata penderita yang akan diperiksa memandang lurus kedepan (kearah mata
pemeriksa).
3. Mata yang lain ditutup
4. Bila yang akan diperiksa mata kanan, maka mata kanan pemeriksa juga dipejamkan.
5. Tangan pemeriksa direntangkan, salah satu tangan pemeriksa atau kedua tangan
pemeriksa digerak-gerakkan dan penderita diminta untuk menunjuk ke arah tangan
yang bergerak (dari belakang penderita).
B. Metode Kampimeter
1. Dalam ruang, penderita duduk menghadap kampimeter.
2. Pemeriksa berdiri disamping penderita.
3. Mata penderita yang tak diperiksa ditutup.
4. Mata yang diperiksa berada pada posisi lurus dengan titik tengah kampimeter.
Pandangan lurus ke depan (titik tengah kampimeter).
5. Pemeriksa menggerakkan obyek dari perifer menuju ketitik tengah kampimeter.
6. Bila penderita telah melihat obyek tersebut, maka pemeriksa memberi tanda pada
kampimeter.
7. Demikian dilakukan sampai 360 derajat sehingga dapat digambarkan lapangan
pandang dari mata yang diperiksa.

VII. Pemeriksaan tonometri :


A. Pemeriksaan secara kasar (metode digital)
1. Penderita diminta untuk melirik kebawah.
2. Kedua jari telunjuk kita gunakan untuk pemeriksaan fluktuasi pada bola mata
penderita
B. Menggunakan Tonometer dari Schiotz.
1. Persiapan : Mata penderita terlebih dulu ditetesi dengan larutan anestesi lokal.
2. Tonometer didesinfeksi dengan dicuci alkohol atau dibakar dengan api spiritus.
Penderita tidur telentang, mata yang akan diperiksa melihat lurus keatas tanpa
berkedip.
3. Tonometer diletakkan dengan perlahan-lahan dan hati-hati diatas cornea
penderita.
4. Pemeriksa membaca angka yang ditunjuk oleh jarum tonometer.
5. Kemudian pemeriksa melihat pada tabel, dimana terdapat daftar tekanan bola
mata.

VIII. Pemeriksaan keseimbangan otot


1. Penderita berhadap-hadapan dengan pemeriksa.
2. Corneal refleks : pada orang normal refleksi cahaya pada kornea sama
tinggi pada kedua mata.
3. Cover test : pada orang normal tak akan ada gerak dari mata, sedang pada
penderita strabisnius akan ada gerak dari mata kearah posisi primer.

37
4. Tes konvergensi : dengan meminta penderita untuk mengikuti ujung
vulpen yang kita bawa kearah ujung hidung, normal terlihat kedua
kornea bergerak ke nasal dan pupil menyempit (aksi N. III).
5. Gerak-gerak bola mata menuju ke temporal, nasal, kiri atas, kiri bawah,
kanan atas dan kanan bawah menunjukkan aksi dari N. III, N.IV dan N.
VI.

IX. Pemeriksaan sistem lakrimalis.


A. Menggunakan larutan Fluorescein 3 %
1. Penderita duduk di kursi, pemeriksa disamping penderita
2. Mata yang diperiksa ditetesi dengan larutan Fluorescein 3 %.
3. Lubang hidung yang sesuai dengan mata tersebut ditutup dengan kapas putih yang
basah.
4. Penderita diminta untuk bersin atau sisi. Bila sistem lakrimalis lancar, maka akan
terlihat kapas menjadi berwarna hijau.
B. Menggunakan larutan garam fisiologis
1. Penderita dipersiapkan dulu dengan obat anestesi lokal (Pantocain 0,5%), ditunggu 1-
2 menit.
2. Kita ambil larutan garam fisiologis kedalam spuit, lalu dengan jarum tumpul kita
masukkan larutan garam tadi kedalam canalis lacrimalis.
3. Bila lancar, berarti tak ada sumbatan pada sistema lacrimalis.

X. Pemeriksaan dengan Fluorescein untuk Cornea


1. Mata yang diperiksa ditetesi dengan larutan Fluorescein 3%
2. Penderita diminta untuk berkedip-kedip sebentar.
3. Kemudian mata tersebut dicuci dengan boorwater sampai bersih.
4. Dengan Oblique Illumination dilihat apakah ada warna hijau yang
tertinggal pada kornea.
5. Bila ada defek epitel kornea, maka akan terlihat warna hijau
menempel pada kornea.

XI. Pemeriksaan sensibilitas kornea ( N.V )


Di bagian mata biasanya tes ini dilakukan bila kita curiga adanya Keratitis Herpetika, dimana
sensibilitas korneanya menurun.
1. Penderita dan pemeriksa saling berhadapan
2. Penderita diminta untuk melihat jauh
3. Pemeriksa memegang kapas yang dipilih ujungnya dan menyentuh
kornea (yang jernih).
4. Perhatikan apakah penderita mengedipkan mata atau mengeluarkan
air mata.
5. Bila demikian berarti sensibilitas kornea baik.

38
XII. Tes Buta Warna
Dengan menggunakan buku ishihara, lakukan tes buta warna dengan cara meminta penderita
membaca dan menyebutkan angka yang tampak pada setiap halaman buku. Hasil bacaan
penderita dikonfirmasikan dengan jawaban yang tersedia untuk menentukan diagnosis.

E. DAFTAR PUSTAKA

1. DeGowin RL, Donald D Brown.2000.Diagnostic Examination. McGraw-Hill.USA.


2. Ilyas S.1999.Ilmu Penyakit Mata.Balai Penerbit FKUI.Jakarta
3. Lumbantobing SM.2000.Neurologi Klinik: Pemeriksaan Fisik dan Mental. Balai Penerbit FKUI.
Jakarta.

39
Penilaian Keterampilan Pemeriksaan Fisik Mata

Nama :
NIM :

Nilai
No Aspek Yang Dinilai
0 1 2
1. Menyapa pasien dengan ramah
2. Menjelaskan dan meminta persetujuan
kepada pasien tentang tindakan yang akan
dilakukan
3. Inspeksi orbita dan daerah sekitarnya
4. Melakukan pemeriksaan visus
menggunakan optotype snellen
5. Melakukan pemeriksaan lapangan
pandang menggunakan tes konfrontasi
6. Melakukan pemeriksaan papan placido
7. Melakukan pemeriksaan tonometri digital
Pemeriksaan oftalmoskopi
8. Melakukan pemeriksaan fundus reflek
9. Melakukan pemeriksaan funduskopi
10. Melakukan pemeriksan otot penggerak
bola mata
11. Melakukan pemeriksaan tes buta warna
TOTAL NILAI

Keterangan:
0 = tidak dilakukan/disebut sama sekali
1 =dilakukan tapi kurang sempurna
2 =disebut/ dilakukan dengan sempurna

Nilai = Total skor (.) x 100 %


22
Purwokerto, 2015
Evaluator

40
VII. PEMERIKSAAN THT ( Hidung Tenggorok )

A. TUJUAN PEMBELAJARAN

Untuk dapat menegakkan diagnosis suatu kelainan atau penyakit Hidung Tenggorok, diperlukan
kemampuan dan keterampilan melakukan anamnesis dan pemeriksaan organ-organ tersebut.

Hidung
Hidung memiliki fungsi yang penting sebagai jalan nafas, pengatur kondisi udara,
penyaring udara, indra penghidu, resonansi suara, turut membantu proses bicara dan refleks nasal.
Keluhan utama penyakit atau kelainan hidung dapat berupa sumbatan hidung, secret hidung dan
tenggorok, bersin, rasa nyeri di daerah muka dan kepala, perdarahan hidung dan gangguan
penghidu. Gangguan penghidu dapat berupa hilangnya penciuman (anosmia) atau berkurang
(hiposmia), disebabkan karena adanya kerusakan pada saraf penghidu ataupun karena sumbatan
pada hidung.
Sinusitis adalah radang mukosa sinus paranasal, sering dijumpai dengan tanda dan gejala
nyeri di daerah dahi, pangkal hidung, pipi dan tengah kepala. Rasa nyeri dapat bertambah bila
menundukkan kepala dan dapat berlangsung sampai beberapa hari. Sinusitis yang paling sering
ditemukan ialah sinusitis maksilaris, kemudian sinusitis etmoidalis, sinusitis frontalis dan sinusitis
sfenoidalis.

Tenggorok
Tenggorok dibagi menjadi faring dan laring. Berdasarkan letaknya faring dibagi atas:
1. Nasofaring
2. Orofaring
Dinding posterior faring
Fossa tonsil
Tonsil
3. Laringofaring (Hipofaring)
Sedangkan fungsi faring terutama untuk respirasi, proses menelan, resonansi suara dan
artikulasi. Keluhan di daerah faring umumnya berupa nyeri tenggorok (odinofagi), rasa penuh
dahak di tenggorok, rasa ada sumbatan dan sulit menelan (disfagi). Kelainan yang sering
dijumpai pada faring yaitu tonsillitis, faringitis, tonsilofaringitis dan karsinoma nasofaring.
Laring merupakan bagian terbawah dari saluran nafas bagian atas. Bentuknya menyerupai
limas segitiga terpancung, dengan bagian atas lebih besar daripada bagian bawah. Laring
berfungsi untuk proteksi, batuk, respirasi, sirkulasi, menelan, emosi serta fonasi. Fungsi laring
untuk proteksi ialah mencegah makanan dan benda asing masuk ke dalam trakea dengan jalan
menutup aditus laring dan rima glottis secara bersamaan. Selain itu dengan refleks batuk,
benda asing yang telah masuk ke dalam trakea dapat dibatukkan keluar.
Suara parau merupakan gejala penyakit yang khas untuk kelainan tenggorok khususnya laring
terkait dengan fungsi fonasi dari laring. Sedangkan lainnya dapat berupa batuk, disfagi, dan
rasa ada sesuatu di tenggorok. Kelainan yang sering dijumpai pada laring yaitu laryngitis,
paralisa otot laring dan tumor laring.

41
B. ALAT DAN BAHAN
1. Lampu Kepala
2. Spatel lidah
3. Spekulum hidung
4. Kaca laring
5. Sumber cahaya khusus unttuk pemeriksaan Sinus (transiluminasi)

C. PROSEDUR TINDAKAN/PELAKSANAAN

1. Memakai lampu kepala


Lampu kepala ditengah-tengah antara kedua mata kanan-kiri 20 25 cm (sekilan tangan) di
depan objek. Fokus jatuh tepat pada organ/bagian yang ingin diperiksa.
2. Duduk berhadapan dengan penderita
Kedua kaki penderita rapat, demikian juga kaki pemeriksa : kaki-kaki pemeriksa sejajar dengan
kaki-kaki penderita. Kaki kanan pemeriksa bersebelahan dengan kaki kanan penderita, begitu
juga sebaliknya. Jangan menjepit kaki penderita diantara kaki pemeriksa
Inspeksi muka
Lihat muka penderita dari depan, kalau dipandang perlu juga dari samping kanan dan kiri.
Perhatikan bentuk muka dan hidung.
Palpasi sinus para nasal
Pegang kepala penderita dengan kedua tangan di kanan dan kiri kepala penderita; ibu jari
di depan, jari-jari lain di belakang kepala. Tekan dengan ibu jari kanan dan kiri.
Bandingkan nyeri tekan kanan dengan kiri
3. Memangku penderita (anak kecil)
Anak dipangku, tangan kiri memegang/menahan kepala (dagu) anak; tangan kanan memegang
kedua tangan anak. Kedua kaki anak dijepit kaki pemangku. Teknik ini untuk melihat bagian
depan dan bagian samping kanan. Untuk melihat bagian samping kiri, tangan kanan
memegang dahi (sebaliknya).
4. Memeriksa faring
Tangan kanan memegang spatel, tangan kiri memegang/menahan tengkuk/belakang kepala
penderita. Spatel diletakkan untuk menahan lidah (jangan menekan keras). Memeriksa : cavum
oris dan gigi, orofaring : tonsil, palatum molle, dinding belakang faring. Perhatikan warna,
bengkak, tumor, gerakan.
5. Memeriksa hidung
Pemeriksaan Hidung Luar dilakukan dengan cara inspeksi dan palpasi. Kelainan-kelainan
yang mungkin didapat adalah
Kelainan kongenital seperti agenesis hidung, hidung bifida, atresia nares anterior.
Radang, misal selulitis, infeksi spesifik

42
Kelainan bentuk, misal saddle nose, hidung betet (hump).
Kelainan akibat trauma
Tumor
Rinoskopi Anterior adalah pemeriksaan rongga hidung dari depan dengan memakai spekulum
hidung. Tangan kiri memegang speculum dengan ibu jari (di atas/depan) dan jari telunjuk
(dibawah/belakang) pada engsel speculum. Jari tengah diletakan dekat hidung, sebelah kanan
untuk fiksasi. Jari manis dan kelingking membuka dan menutup spekulum. Speculum
dimasukkan tertutup ke dalam vestibulum nasi setelah masuk baru dibuka. Tangan kanan bebas
: dapat membantu memegang alat-alat pinset dan kait dsb, menahan kepala dari
belakang/tengkuk atau mengatur sikap kepala. Melebarkan nares anterior dengan meregangkan
ala nasi. Melihat jelas dengan menyisihkan rambut hidung.
Hal-hal yang harus diperhatikan pada rinoskopi anterior :
Mukosa. Dalam keadaaan normal berwarna merah muda, pada radang berwarna merah,
pada alergi pucat atau kebiruan (livid)
Septum. Normalnya terletak ditengah dan lurus, perhatikan apakah terdapat deviasi, krista,
spina, perforasi, hematoma, abses, dll.
Konka. Perhatikan apakah konka normal (eutrofi), hipertrofi, hipotrofi atau atrofi
Sekret. Bila ditemukan sekret perhatikan jumlah, sfat dan lokalisasinya
Massa.
6. Pemeriksaan Sinus Maksillaris dan sinus Frontalis
a. Memalpasi sinus frontalis dengan menekan tulang sinus frontalis di daerah alis ke arah atas
tanpa menekan bola mata dengan menggunakan ibu jari.
b. Memalpasi sinus Maksilaris dengan menekan tulang sinus Maksilaris di daerah pipi dengan
menggunakan ibua jari.
c. Pemeriksaan transilluminasi:
1. Membuat ruangan menjadi gelap gulita.
2. Meletakkan sumber cahaya di bawah alis dekat hidung (cantus medialis), dan
menutupi cahayanya dengan tangan yang lain.
3. Memeriksa adanya sinar merah redup pada dahi.
4. Meletakkan sumber cahaya pada bawah mata dengan arah ke bawah
5. Meminta penderita untuk membuka mulut
6. Memeriksa adanya sinar merah redup pada palatum durum.

E. DAFTAR PUSTAKA

1. Buku Ajar Ilmu Penyakit THT. Ed.3.1998. Balai Penerbit FKUI. Jakarta.
2. DeGowin RL, Donald D Brown.2000.Diagnostic Examination. McGraw-Hill.USA.
3. Lumbantobing SM.2000.Neurologi Klinik: Pemeriksaan Fisik dan Mental. Balai Penerbit
FKUI. Jakarta

43
Penilaian Keterampilan Pemeriksaan Hidung-Tenggorok
Nama
Nim
Nilai
No Aspek Yang Dinilai
0 1 2
PERSIAPAN
1 Memperkenalkan diri dan menyapa pasien
2 Menyiapkan peralatan yang diperlukan : lampu kepala, spatula,kaca laring, spekulum hidung,
transiluminator.
3 Menjelaskan prosedur pemeriksaan dan meminta persetujuan kepada pasien
4 Melakukan cuci tangan 6 steps WHO
5 Mengatur posisi pemeriksa dan penderita (kaki kanan pemeriksa bersilangan kaki kanan
penderita atau sebaliknya)
6 Memasang lampu kepala dengan benar
7 Mengarahkan sumber cahaya ke daerah pemeriksaan
PEMERIKSAAN HIDUNG DAN SINUS
8 Melakukan inspeksi hidung bagian luar. Dilihat apakah ada kelainan kongenital, deformitas,
deviasi, massa, radang
9 Melakukan palpasi hidung bagian luar (menggunakan dua jari telunjuk, raba dari atas ke
bawah). Dinilai apakah nyeri tekan, krepitasi os nasale.
10 Melakukan rinoskopi anterior (memasukan spekulum hidung dengan lembut, saat masuk
posisi tertutup & saat mengeluarkan posisi terbuka)
11 Melakukan palpasi sinus frontalis dengan menekan tulang sinus frontalis di daerah alis ke arah
atas tanpa menekan bola mata dengan menggunakan ibu jari.
12 Melakukan palpasi sinus maksilaris dengan menekan tulang sinus maksilaris di daerah pipi
dengan menggunakan ibu jari.
13 Mematikan lampu ruangan, menutup gorden
14 Melakukan transiluminasi sinus frontalis. Meletakkan sumber cahaya di bawah alis dekat
hidung (cantus medialis), dan menutupi cahayanya dengan tangan yang lain.
15 Memeriksa adanya sinar merah redup pada dahi
16 Melakukan transiluminasi sinus maxillaris. Meletakkan sumber cahaya pada bawah mata
dengan arah ke bawah. Meminta penderita untuk membuka mulut.
17 Memeriksa adanya sinar merah redup pada palatum durum
PEMERIKSAAN CAVUM ORIS DAN OROFARING
18 Melakukan inspeksi daerah bibir
19 Melakukan inspeksi mukosa bukal dan gigi geligi dengan bantuan spatula lidah & kaca
larings
20 Melakukan pemeriksaan orofaring (meminta penderita membuka mulut tanpa menjulurkan
lidah)
21 Menekan bagian lidah yang cembung dengan spatula lidah di linea mediana.
22 Menilai kondisi orofaring : tonsil, palatum molle, dinding belakang faring. Perhatikan warna,
bengkak, tumor, gerakan.
23 Membereskan peralatan, masukan dalam cairan klorin, lalu mencuci tangan
24 Mencatat hasil pemeriksaan dan memberikan informasi kepada pasien
JUMLAH
0 = tidak dilakukan
1 = dilakukan tetapi kurang sempurna
2 = dilakukan dengan sempurna Purwokerto, .
Penguji
Nilai = ( Jumlah/48) x 100%
......................................

44
VIII. PEMERIKSAAN KEPELA DAN LEHER

I. Pemeriksaan Fisik Kepala Dan Leher


PEMERIKSAAN KEPALA DAN LEHER
Bates B, ed. A pocket guide to physical examination and history taking. 2 ed. Philadelphia: J.B.
Lippincot 1995.
Nama Mahasiswa :
NIM :
KETERAMPILAN 0 1 2
A. PERSIAPAN
1. Mengucapkan salam dan memperkenalkan diri
2. Menginformasikan tujuan dan prosedur ringkas pemeriksaan fisik
3. Memberi kesempatan bertanya dan mempersiapkan diri
4. Menjaga privasi dan memastikan kenyamanan pasien
5. Mencuci tangan
B. PELAKSANAAN
6. Inspeksi :Bentuk kepala, kulit, mata dan organ aksesorinya, hidung,
mulut, telinga
7. Palpasi: kulit kepala, rambut
MATA
8. Periksa refleks cahaya langsung dan konsensual (1 mata saja)
9. Periksa gerakan otot ekstrinsik bola mata
10. Periksa ada/tidaknya eksoftalmus. Bola mata diukur dari kantus
lateralis dengan menggunakan penggaris N < 16 mm
TELINGA
11. Inspeksi dan palpasi aurikula, tragus & antitragus
12. Inspeksi canalis auditivus melalui otoskop (disebutkan saja)
HIDUNG DAN SINUS PARANASALES
13. Inspeksi rongga hidung dengan spekulum hidung (disebutkan saja)
14. Palpasi sinus maksilaris & frontalis terhadap nyeri tekan
MULUT DAN FARING
15. Inspeksi seluruh penyusun rongga mulut dan orofaring (menggunakan
spatula lidah &senter)
16. Uji kesimetrisan palatum mole dengan mengucapkan AAAAAAAAA
LEHER
17. Inspeksi leher: kulit, asimetri, posisi trakea, kelenjar tiroid
18. Palpasi kelenjar limfe: preaurikuler,occipital,posterior
auricular,tonsillar,submandibular,submental,superficial
cervical,posterior cervical & supraclavicular.Nilai adanya

45
benjolan,bentuk,ukuran,jumlah,mobile/imobile,konsistensi,nyeri,tanda
2 peradangan.
19. Palpasi posisi trakea dengan menggunakan satu jari & bandingkan
dengan sisi satunya, normal jarak kanan & kiri sama. Perhatikan apakah
trakhea mengalami deviasi/tidak.
20. Palpasi kelenjar tiroid dari belakang saat istirahat dan saat menelan air,
diraba sampai kelateral dinilai simetris /asimetris,tepi & konsistensi.
EKSTREMITAS
21. Inspeksi (eritema palmar, hiperhidrosis)
22. Pemeriksaan tremor halus, jika tidak yakin adanya tremor halus dapat
menggunakan kertas.
C DOKUMENTASI
23. DOKUMENTASI HASIL PEMERIKSAAN DAN MENGINFORMASIKAN
HASIL PEMERIKSAAN KEPADA PASIEN
KETERANGAN:
Nilai 2 : Dilakukan dengan:
- Teknik lege artis DAN
- Berurutan (kepala dan wajah diselesaikan dahulu, baru periksa leher) DAN
- Penggunaan alat bantu yang tepat DAN
- Menyebutkan secara ringkas apa yang dinilai/diinterpretasi, atau organ/bagian
organ apa yang diamati

Nilai 1 : Dilakukan dengan:


- Teknik yang tidak lege artis ATAU
- Tidak berurutan (loncat-loncat, misal: kepala leher wajah leher) ATAU
- Penggunaan alat bantu tidak tepat ATAU
- Tidak menyebutkan secara ringkas apa yang dinilai/diinterpretasi, atau organ/bagian
organ apa yang diamati
Nilai 0 : Tidak dilakukan
Purwokerto, .
Penguji
Nilai = ( Jumlah/46) x 100%

46
IX. PEMERIKSAAN KULIT
Dr. ISMIRALDA OKE PUTRANTI, SpKK

PENGKAJIAN SISTEM INTEGUMEN


I. DEFINISI

Buku panduan ketrampilan klinis pengkajian sistem integument merupakan panduan


secara terstruktur dan sistematis bagi mahasiswa FK Unsoed mengenai ketrampilan
klinis dalam sistem integument.

II. CAPAIAN PEMBELAJARAN UMUM


Setelah mempelajari panduan ini, diharapkan mahasiswa mampu mengaplikasikan
ketrampilan klinis dalam sistem integument sehingga dapat menegakkan diagnosis
kelainan sistem integument dengan benar secara terstruktur dan sistematis.

III. CAPAIAN PEMBELAJARAN KHUSUS


Adapun capaian pembelajaran khusus meliputi :
1. Mahasiswa mampu melakukan anamnesis pada kelainan kulit dengan lengkap
2. Mahasiswa mampu melakukan pemeriksaan fisik status dermatologis dengan
lengkap
3. Mahasiswa mampu melakukan pemeriksaan fisik khusus/pelengkap pada
kelainan-kelainan kulit tertentu dengan lengkap.
4. Mahasiswa mampu mengusulkan pemeriksaan penunjang dalam sistem
integument yang dibutuhkan untuk membantu menegakkan diagnosis pada
kelainan kulit dengan lengkap.
5. Mahasiswa mampu melakukan pemeriksaan penunjang dasar dalam sistem
integument dengan benar.

IV. MATERI
A. ANAMNESIS (HISTORY TAKING)
Anamnesis merupakan upaya penggalian informasi terkait dengan keluhan yang
dialami oleh pasien yang dapat dilakukan secara langsung pada pasien
(autoanamnesis) atau dengan orang lain yang mengerti riwayat kesehatan pasien
(alloanamnesis). Pada sistem integument, sebelum melakukan anamnesis, kita
juga perlu melihat sekilas lokasi dan konfigurasi lesi, untuk membantu
mempersempit diagnosis banding yang akan kita gali informasinya.

Pada sistem integument (berdasarkan SKDI 2012), daftar masalah / keluhan yang
sering disampaikan oleh pasien di antaranya :
47
Kulit gatal
Kulit nyeri
Kulit mati rasa
Kulit berubah warna (menjadi putih, merah, hitam atau kuning)
Kulit kering
Kulit berminyak
Kulit menebal
Kulit menipis
Kulit bersisik
Kulit lecet, luka, tukak
Kulit bernanah
Kulit melepuh
Ruam kulit
Benjolan kulit
Luka gores, tusuk, sayat
Luka bakar
Kuku nyeri
Kuku berubah warna atau bentuk
Ketombe
Rambut rontok
Kebotakan

Anamnesis yang baik dan lengkap berdasarkan Sacred Seven and Fundamental
Four.
Fundamental Four meliputi riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu,
riwayat penyakit keluarga dan riwayat sosial ekonomi.

Riwayat Penyakit Sekarang (RPS)


Merupakan keluhan utama yang dijabarkan dalam sacred seven yang meliputi
onset penyakit, lokasi lesi, kronologi perjalanan penyakit, kualitas, kuantitas
penyakit, faktor-faktor yang memperberat/memperingan penyakit dan gejala
penyerta keluhan utama.

Dalam anamnesis RPS sebaiknya juga ditanyakan hal-hal yang terkait diagnosis
banding, untuk membantu mempermudah menyingkirkan diagnosis-diagnosis
banding yang kurang sesuai.

Riwayat Penyakit Dahulu (RPD)


Merupakan jabaran episode penyakit, apakah penyakit ini merupakan yang
pertama kali atau ulangan/kambuhan. Bila merupakan episode ulang frekeuensi

48
kekambuhan juga perlu ditanyakan, demikian pula pengobatan yang selama ini
didapatkan oleh pasien.

Selain jabaran episode penyakit, pada RPD juga perlu kita gali informasi penyakit-
penyakit sistemik lainnya yang dapat menjadi faktor predisposisi terjadinya
kelainan kulit yang dialami. Penyakit-penyakit sistemik seperti kelainan endokrin,
vascular, ginjal, hepar, alergi-imunologi, kelainan jaringan ikat sering kali
bermanifestasi ke kulit. Perlu dicatat pula obat-obatan yang dikonsumsi karena
sering kali obat-obatan dalam sistem integument memiliki pengaruh metabolism
obat-obatan yang lain bila digunakan secara bersama-sama.

Riwayat Penyakit Keluarga (RPK)


Merupakan jabaran kaitan penyakit yang diderita oleh pasien dengan anggota
keluarga yang lain. Banyak kelainan kulit yang bersifat genetik dan menular,
sehingga harus selalu ditanyakan ada tidaknya keterkaitan kelainan kulit dengan
anggota keluarga. Fungsinya terkait dengan edukasi yang akan kita berikan kepada
pasien dan keluarganya, tentang jenis penyakit baik menurun/menular dan
bagaimana cara penanganan dan pencegahan penularannya.

Riwayat Sosial Ekonomi (RSE)


Merupakan jabaran kondisi sosial dan ekonomi individu terkait dengan penyakit
yang diderita. Kondisi sosial ekonomi dapat mempengaruhi/menjadi faktor
predisposisi terjadinya suatu penyakit, juga terkait dalam pemerian obat dan
edukasi.
Adapun yang termasuk dalam RSE terutama dalam sistem integument meliputi :
pendidikan, pekerjaan, hygiene dan sanitasi pribadi maupun lingkungan,
kebiasaan, gaya hidup dll.

B. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik pada sistem integument umumnya meliputi inspeksi dan
palpasi, sedangkan organ yang diperiksan meliputi kulit, rambut dan kuku.

a. Pemeriksaan Kulit
Pemeriksaan kulit dijabarkan dalam status dermotologis yang meliputi : lokasi,
morfologi kelainan kulit (UKK/efloresensi), konfigurasi dan distribusi.

49
INSPEKSI

Lokasi lesi (predileksi)


Lokasi lesi berfungsi membantu pemeriksa dalam mempersempit diagnosis
banding, di mana penyakit kulit biasanya mempunyai lokasi-lokasi yang khas.

Morfologi (Ujud Kelainan Kulit / Efloresensi)


Merupakan gambaran lesi kulit akibat berubahan warna maupun struktur
kulit.

UKK dibagi menjadi 2, yaitu UKK primer dan sekunder.

UKK Primer
Merupakan gambaran kelainan yang muncul pada kulit yang sebeumnya
normal
Macam-macam UKK primer :
1. Makula : bercak pada kulit berbatas tegas berupa perubahan warna
semata, tanpa penonjolan atau cekungan.

Macam-macam macula :
Eritema : warna kemerahan akibat vasodilatasi pembuluh
darah
Purpura : warna kemerahan akibat ekstravasasi sel-sel darah ke
jaringan
Hiperpigmentasi : warna kecoklatan/ kehitaman akibat
timbunan melanin
Hipopigmentasi : warna kulit menjadi putih / lebih terang
dibandingkan dengan kulit sekitar akibat rusaknya melanin /
melanosit yang mati.
Vivid : warna kebiruan akibat timbunan hemosiderin

50
Cara membedakan eritema dan purpura
dengan cara melakukan Tes Diaskopi,
dengaen meletakkan object glass di atas
lesi kemudian ditekan. Bila kemerahan
menghilang maka merupakan eritema,
bila menetap merupakan purpura.

2. Papul : penonjolan padat di atas permukaan kulit, sikumskrip,


diameter kecil dari 1cm, disebabkan adanya deposit metabolik dermis
atau hiperplasia lokalisata epidermis maupun dermis.

3. Plak : papul datar, peninggian kulit yang porsi luas permukaan lebih
besar daripada tingginya, ukurannya lebih dari 1 cm.

51
4. Urtika : penonjolan yang disebabkan edema setempat yang timbul
mendadak dan hilang perlahan-lahan.

5. Nodus : tonjolan berupa massa padat yang sirkumskrip, terletak di


kutan atau subkutan, dapat menonjol.
Nodulus : nodus yang kecil dari 1 cm.

6. Kista : ruangan berdinding dan berisi cairan, sel, maupun sisa sel.

52
7. Vesikel : gelembung berisi cairan
serum, memiliki atap dan dasar,
diameter kurang dari 1 cm.
8. Bula : vesikel yang berukuran lebih
dari 1cm

9. Pustul : vesikel/bula yang berisi nanah, bila nanah mengendap dibagian


bawah vesikel disebut hipopion.

10. Kanalikuli : terowongan dalam epidermis. Biasa terjadi pada creeping


eruption dan scabies.

53
UKK Sekunder
1. Skuama : sisik berupa lapisan stratum korneum yang terlepas dari kulit.

2. Krusta : kerak, keropeng, yang menunjukan cairan tubuh yang


mongering

3. Erosi : lecet kulit yang disebabkan kehilangan jaringan yang tidak


melampaui stratum basal/sebeaetas stratum spinosum, ditandai
dengan keluarnya serum. Biasanya disebabkan oleh vesikel/bula yang
pecah.

4. Ekskoriasi : lecet kulit yang disebabkan kehilangan jaringan melewati


stratum basal (sampai ke stratum papilare), ditandai dengan keluarnya
darah selain serum.

54
5. Ulkus : tukak, borok disebabkan hilangnya jaringan lebih dalam dari
ekskoriasi, memiliki tepi, dinding, dasar, dan isi.

6. Fisura : retakan kulit yang sempit dan dalam.

55
7. Likenifikasi : penebalan kulit disertai relief kulit yang makin jelas.

8. Skar : formasi jaringan ikat fibrosa sebagai hasil proses penyembuhan


luka.

Konfigurasi Lesi
Konfigurasi lesi merupakan susunan bentuk lesi, terdiri dari :

1. Anular : lesi tersusun


membentuk seperti cincin/rantai

56
2. Numular (discoid) : lesi bundar
seperti koin

3. Lesi target : lesi tersusun seperti


sasaran tembak dart board

4. Verukosus : berdungkul-dungkul
seperti bunga kol

5. Herpetiformis : bergerombol

57
6. Linear : lesi tersusun seperti
garis lurus

7. Korimbiformis : susunan lesi


induk dikelilingi oleh lesi satelit
hand and chicken pattern

8. Gutata : lesi tersusun kecil-kecil


seperti tetesan lilin

58
9. Milier : lesi kecil-kecil berukuran
1-2mm sebesar kepala jarum
pentul

10. Lentikuler : lesi berukuran


sebesar biji jagung

Distribusi Lesi
Merupakan deskripsi sebaran lesi, terdiri dari :

1. Universal : meliputi area seluruh


tubuh

Contoh : Alopesia universalis

2. Generalisata : tersebar hampir


seluruh tubuh (lesi >80% BSA)

59
Contoh : Nekrolisis epidermal toksik dengan luas
epidermolisis > 80% BSA

3. Soliter : lesi tunggal

Contoh : Karsinoma Sel Basal

4. Dermatomal : lesi tersebar


mengikuti pola persarafan kulit
(dermatom) tertentu

Contoh: Herpes Zoster

5. Diskret : lesi satu dengan yang


lain saling berjauhan (tersebar)

Contoh : Moluskum kontagiosum

60
6. Unilateral : lesi tersebar pada
satu sisi tubuh

Contoh : nevus unius lateris

7. Bilateral : lesi tersebar pada sisi


kanan dan kiri, simetris

Contoh : Dermatitis atopik

8. Folikuler : lesi tersebar di seputar


folikel rambut

Ontoh : folikulitis

PALPASI

Dalam melakukan pemeriksaan kulit, palpasi harus selalu dilakukan bersama-sama.


Adapun tujuan palpasi :
Untuk merasakan tekstur dan konsistensi lesi (halus/kasar, batas tegas/tdk, fluktuasi,
kedalaman lesi, mobilitas)

61
Untuk merasakan adanya perubahan suhu, nyeri tekan
Untuk meyakinkan pasien jika kita tidak takut dengan penyakit kulitnya.
b. Pemeriksaan Rambut
Pemeriksaan rambut juga meliputi inspeksi dan palpasi.

Inspeksi Rambut
Pada inspeksi rambut dilihat :
1. Warna rambut
2. Distribusi rambut : rambut tebal merata/rambut menipis/alopesia
3. Tekstur rambut : kering/kasar/kusam, diameter rambut tebal/tipis
4. Lain-lain : kutu, dll

Palpasi Pemeriksaan Rambut


1. Pull test : melakukan tarikan ringan pada sekelompok kecil rambut, terutama di
sekitar lesi alopesia. Rambut rontok bila dengan tarikan ringan tercabut hingga
akar. Rambut patah bila rambut tertarik tidak sampai akar.
2. Palpasi area alopesi untuk menentukan ada tidaknya sinus pada alopesia
3. Pemeriksaan kelenjar limfe regional.

c. Pemeriksaan Kuku
Pemeriksaan kuku meliputi :

INSPEKSI
1. Bentuk kuku : normal / anonikia /
2. Warna kuku
3. Kelengkungan kuku
4. Keterlibatan daerah seputar kuku
PALPASI
1. Permukaan kuku : rata / pitting nail / koilonikia
2. Adhesi kuku : normal tidak mudah dicabut / onikodistrofi /onikolisis
3. Ketebalan kuku

PEMERIKSAAN FISIK TAMBAHAN

Pada beberapa penyakit, dibutuhkan pemeriksaan fisik tambahan untuk memperkuat


diagnosis, seperti psoriasis, scabies, kusta dan penyakit kulit berlepuh autoimun.

1. PSORIASIS

62
Selain dengan gambaran UKK-nya yang berupa papul plak eritematosa berbatas tegas
dengan skuama tebal berlapis, psoriasis juga mempunyai gambaran klinis khas
lainnya, yaitu :
a. Fenomena Koebner. Fenomena ini merupakan gambaran lesi serupa dengan lesi
di tempat lain pada daerah bekas trauma.
Fenomena Koebner merupakan pemeriksaan fisik, namun dalam kenyataannya
kita tidak dapat melakukan provokasi trauma, sehingga fenomena ini biasanya
didapatkan melalui anamnesis atau pada saat mendeskripsikan UKK, bila ada
gambaran lesi psoriasis yang linear, biasanya merupakan fenomena Koebner.

Fenomena Koebner bukan merupakan tanda patognomonik psoriasis karena


dapat terjadi pada moluskum kontagiosum, veruka vulgaris dan liken planus.

b. Tanda Auspitz. Tanda ini kita dapatkan dengan cara mengelupas skuama selapis
demi selapis pada lesi yang cukup tebal, sehingga akan tampak bitnik-bintik
perdarahan yang semakin banyak. Hal ini menunjukkan terjadinya papilomatosis
pada dermis penderita psoriasis. Tanda Auspitz merupakan tanda patognomonik
psoriasis.

63
c. Fenomena Tetesan Lilin (Candle Sign)
Pada lesi dengan skuama yang tebal, kita melakukan goresan dengan
menggunakan benda dengan ujung tajam, akan kita dapatkan skuama keperakan
dan kadang ada skuama yang berminyak (candle grease sign)

2. SKABIES
Salah satu tanda cardinal scabies adalah adanya kanalikuli, hanya saja kanalikuli pada
scabies sulit ditemukan karena kanalikuli yang terbentuk kebanyakan mengarah ke
dalam (sumur), jarang serpiginosa seperti pada creeping eruption. Untuk itu
diperlukan pemeriksaan fisik tambahan untuk mencari kanalikuli yaitu dengan Burrow
Ink Test dengan cara mengoleskan lesi yang kita curigai terdapat kanalikuli dengan
menggunakan tinta cina/metilen blue dan didiamkan selama 20 30 menit, kemudian
dibersihkan dengan kapas alkohol. Hasil positif bila terdapat retensi tinta yang tidak
dapat dihapus.

3. MORBUS HANSEN (LEPRA)


Pada MH, selain kita mendsekripsikan UKK-nya, kita juga harus mencari tandan
cardinal yang lain seperti anastesi, anhidrosis, alopesia dan pembesaran saraf tepi.
Pemeriksaan fisik tambahan yang harus dilakukan pada pasien MH yaitu :
a. Tes Sensibilitas
Tes sensibilitas yang dilakukan pada pasien MH ada 3, yaitu sensibilitas raba, nyeri
dan suhu. Pemeriksaan sensibilitas harus dilakukan dengan kedua mata pasien
tertutup, pemeriksaan dilakukan 3 kali pada setiap lokasi. Penderita dinyatakan
memiliki sensasi jika dapat merasakan ketiga stimuli.

Lokasi pemeriksaan meliputi daerah wajah, lengan dan kaki


Daerah wajah meliputi daerah inervasi N. trigeminus
Lengan meliputi daerah inervasi N. medianus dan N. ulnaris
Kaki meliputi daerah inervasi N. tibialis posterior

64
Tes sensibilitas yang dilakukan :

Raba Halus : dengan menggunakan ujung kapas yang dipilin, kita mengoleskan
kapas pada lesi akromia dan dibandingkan degan kulit sekitarnya.
Nyeri : dengan menggunakan tusuk gigi kayu yang mempunyai ujung tajam
dan tumpul (terstandar), kita tusukkan pada lesi akromia dan dibandingkan
dengan kulit sekitarnya.
Suhu : dengan menggunakan tabung reaksi berisi air panas (40 oC) dan air
dingin (20oC) disentuhkan pada lesi akromia dan dibandingan dengan kulit
sekitarnya.
Pemeriksaan tidak terbatas pada lesi kulit, tapi juga harus dilakukan pada
kedua telapak tangan dan kaki.

b. Tes Tinta Gunawan


Tes tinta ini bertujuan untuk melihat ada tidaknya anhidrosis pada lesi yang kita
curigai MH. Goreskan pensil tinta melalui lesi akromia dan kulit yang normal,
kemudian disinari dengan lampu pijar + 15 30 menit. Pada kulit yang normal bila
terbentuk keringat maka tinta akan luntur, sedangkan pada lesi yang anhidrosis
tinta akan menetap.

c. Pemeriksaan Pembesaran Saraf Tepi


Pembesaran saraf yang selalu diperiksa pada pasien kusta di antaranya :
N. Auricularis magnus
Nervus ini paling mudah dilihat bila mengalami pembesaran karena posisinya
melintas m. strenocleidomastoideus. Lakukan pemeriksaan juga pada sisi
kontralateralnya.
1. Pasien di minta menoleh maksimal ke kiri sehingga M.
Sternocleidomastoideus berkontraksi dan N. Auricularis Magnus dekstra
akan terdorong ke superfisial. Bila terjadi pembesaran, n. auricularis
magnus akan tampak menonjol.
2. Dilakukan perabaan dengan 3 jari pada 1/3 atas M.
Sternocleidomastoideus, dicari bentukan seperti kabel yang menyilang M.
Sternocleidomastoideus,
3. Terdapat struktur lain yaitu : V. Jugularis yang teraba lebih lunak dan ada
pulsasi,sedangkan saraf teraba seperti kabel
4. Lakukan pemeriksaan yang sama pada N. Auricularis magnus sinistra.

Kesimpulan :
o Terdapat penebalan /pembesaran n.auricularis magnus D/S
o Apakah nyeri atau tidak pada saraf

65
N. Ulnaris
Pasien diminta menggulung lengan baju hingga di atas siku.
1. Lengan pasien dalam posisi fleksi diletakkan di atas tangan pemeriksa, agar
otot rileks sehingga saraf dapat dibedakan dengan tendon / seperti
berjabat tangan.
2. Dengan jari telunjuk dan jari tengah tangan kiri pemeriksa mencari sambal
meraba saraf ulnaris dalam sulkus n. ulnaris (lekukan di antara tonjolan
olecranon dan epicondilus medialis.
3. Membedakan saraf dengan tendon dengan cara meraba kea rah
proksimal. Tendon jika kita raba proksimalnya otot, sedangkan saraf akan
teraba seperti kabel.
4. Dengan tekanan ringan diraba n. ulnaris dan telusuri ke atas sambal
melihat ekspresi penderita apakh tampak kesakitan/tidak.
5. Prosedur yang sama dilakukan pada sisi kontralateral.

Kesimpulan :

Apakah ada pembesaran n. ulnaris D/S


Apakah ada nyeri / tidak pada saraf
Neuritis/tidak

N. Peroneus / Poplitea lateralis


1. Pasien diminta duduk di meja pemeriksaan dengan posisi kaki
menggantung (sebaiknya celana digulung ke atas hingga diatas lutut)
2. Pemeriksa duduk di depan penderita dengan tangan kanan memeriksa kaki
kiri penderita dan tangan kiri memeriksan kaki kanan penderita secara
bersama-sama.
3. Pemeriksa meletakkan jari telunjuk dan jari tengah pada fossa poplitea.
Tentukan caput fibulae (tonjolan lateral fossa poplitea), setelah
menemukan tulang tersebut jari pemeriksa meraba saraf peroneus 1 cm
ke arah medial.
4. Dengan tekanan ringan saraf tersebut diraba, dan lihat ekspresi penderita.
Kesimpulan :
o Apakah ada penebalan/pembesaran n. peroneus D/S
o Apakah ada nyeri atau tidak pada saraf

66
CARA PEMERIKSAAN KULIT YANG BAIK
1. Informed consent
2. Menjaga privacy pasien dengan menutup pintu, jendela dan tirai
3. Menenangkan pasien dan memposisikan area yang akan diperiksa. Namun idealnya
pemeriksaan kulit dilakukan dengan pasien membuka seluruh pakaiannya.
4. Menyalakan lampu pemeriksaan
5. Mencuci tangan
6. Mengenakan sarung tangan non-steril.
7. Melakukan pemeriksaan fisik inspeksi dan palpasi dengan menggunakan kaca
pembesar.
8. Mendeskripsikan status dermatologi dengan lengkap dan benar meliputi :
i. Lokasi/predileksi lesi
ii. Morfologi kelainan kulit / UKK UKK Primer dan sekunder, konfigurasi
iii. Distribusi lesi.
9. Pemeriksaan fisik tambahan untuk penyakit-penyakit tertentu harus dilakukan.
10. Setelah selesai, melepas sarung tangan, mencuci tangan dan mematikan lampu
pemeriksaan dan mempersilahkan pasien mengenakan pakaian dan kembali ke meja
anamnesis.

V. REFERENSI
1. Goldsmith IA et. al. 2015. Fitzpatricks dermatology in general medicine , 8th ed.
McGraw Hill. New York.
2. Owen, BM, Stratford CJ. 1995. Leprosy Review. Assessment of the methods
available for testing sensation in leprosy patients in a rural setting.
3. Trozack DJ, et.al. 2006. Dermatology skill for primary care. Humana Press. Ney
Jersey.

67
X. PEMERIKSAAN MOTORIK

PEMERIKSAAN SISTEM MOTORIK

LEARNING OUTCOME

Mahasiswa mampu mempersiapkan pasien dalam melakukan pemeriksaan


motorik
Mahasiswa dapat melakukan pemeriksaan massa otot , tonus otot dan kekuatan
otot secara baik dan benar

TINJAUAN PUSTAKA

Sistem motorik adalah sistem yang bertanggung jawab terhadap kerja kelompok-kelompok otot,
yaitu inisiasi gerakan volunter dan terampil. Serabut-serabut motorik bersama sama input yang
berasal dari sistem-sistem yang terlibat dalam kontrol gerakan yang meliputi sistem
ekstrapiramidal, vestibular, serebellar, dan proprioceptive afferent semuanya bergabung
didalam badan-badan sel neuron pada cornu anterior medulla spinalis. Dari sel cornu anterior
impuls dibawa ke otot.
Evaluasi sistem motorik dibagi menjadi :
- massa otot
- tonus otot
- kekuatan otot

Massa otot
- Pemeriksaan diawali dengan inspeksi baik proksimal dan distal tiap daerah yang diperiksa
saat posisi pasien duduk maupun berbaring
- Bandingkan kesimetrisan kontur massa otot dengan sisi lainnya
- Amati apakah ada penurunan massa otot ( hipotrofi ), hipertrofi atau atrofi ( otot yang
mengecil ), hal ini tampak dari berkurangnya massa dan penampakan otot yang kendur

Tonus otot
Tonus otot adalah kontraksi otot yang selalu dipertahankan keberadaanya oleh otot itu sendiri
atau dapat di definisikan sebagai sedikit ketegangan residual pada otot yang rileks secara
volunter.
Pemeriksaan tonus otot :

68
- Mintalah pasien untuk berbaring telentang pada meja pemeriksaan dan rileks
- Pada pemeriksaan anggota gerak atas : tangan pemeriksa memegang siku pasien untuk
menyangga kemudian gerakkan secara pasif (fleksi-ekstensi ) pada sendi siku berulangkali
secara perlahan kemudian secara cepat.
- Pada pemeriksaan anggota gerak bawah : tangan pemeriksa memegang tungkai bawah
pasien untuk menyangga kemudian gerakkan secara pasif (fleksi-ekstensi ) pada sendi
lutut berulangkali secara perlahan kemudian secara cepat
- Pemeriksaan clonus pergelangan kaki : tahan betis pasien dan fleksikan 90 pada lutut
dan pergelangan kaki. Secara cepat dorsofleksikan pergelangan kaki
- Tonus yang meningkat (hipertonus) dirasakan dengan tingkat kesulitan / ada hambatan
dalam gerakan fleksi-ekstensi pada sendi yang diperiksa
- Tonus yang menurun ( hipotonus ) tidak terasa ada hambatan dalam gerakan fleksi-
ekstensi pada sendi yang diperiksa, atau mudah dikenali dengan tanda ekstremitas terasa
terkulai
- Bandingkan satu sisi dengan sisi lainnya

Kekuatan otot
Prosedur pemeriksaan :
1. Jelaskan tujuan pemeriksaan kepada pasien
2. Prinsip pada pemeriksaan kekuatan otot : pemeriksa dan pasien harus bekerjasama jika
ingin mendapatkan hasil pemeriksaan yang tepat
3. Lingkungan selama pelaksanaan tes harus tenang dan suhu ruangan harus dibuat
senyaman mungkin (tidak terlalu panas/terlalu dingin)
4. Periksalah apakah terdapat keterbatasan lingkup gerak sendi/ kontraktur, spastisitas atau
nyeri yang dapat mengganggu hasil pemeriksaan
5. Pemeriksaan dilakukan secara berurutan mulai posisi duduk,supine,side lying, kemudian
prone
6. Posisikan pasien dengan hati-hati dan upayakan melakukan tes secara berurutan sehingga
perubahan posisi selama pemeriksaan dapat seminimal mungkin
7. Lakukan pemeriksaan mulai dari posisi melawan gravitasi, jika pasien tidak mampu, ubah
keposisi anti-gravitasi, jika pasien mampu melakukan, lanjutkan dengan memberikan
tahanan, tahanan diberikan pada pertengahan gerakan
8. Pada saat pemeriksaan, fiksasi dilakukan di bagian proksimal dari otot yang akan dinilai

Catatlah untuk tiap kelompok otot:


1. Penampakan otot (wasted, highly developed, normal)
2. Rasakan adanya tonus otot (flaccid, clonic, normal)
3. Periksa kekuatan kelompok otot

0 (zero) Tidak ada kontraksi otot sama sekali baik pada inspeksi maupun palpasi
1( trace) Otot tidak mampu bergerak melalui lingkup gerak sendi penuh dalam bidang
horizontal, hanya terlihat gerakan otot minimal / teraba kontraksi oleh pemeriksa
2 (poor) Kemampuan otot bergerak melalui lingkup gerak sendi penuh tetapi tidak dapat
melawan gravitasi, atau hanya dapat bergerak dalam bidang horizontal
69
3 (fair) Kemampuan otot bergerak bergerak melalui lingkup gerak sendi penuh melawan
gravitasi namun tidak dapat melawan tahanan yang ringan sekalipun
4 (good) Kemampuan otot bergerak melalui lingkup gerak sendi penuh melawan gravitasi
serta dapat melawan tahanan yang ringan sampai sedang
5 Kemampuan otot bergerak melalui lingkup gerak sendi penuh melawan gravitasi
(normal) serta dapat melawan tahanan maksimal

Beberapa klinisi membagi lagi dalam sub dengan: menambah +/- menjadi 3+, atau 5-.

PEMERIKSAAN MOTORIK
KEKUATAN OTOT EKSTREMITAS ATAS

EKSTREMITAS OTOT PERSARAFAN PEMERIKSAAN GAMBAR


ATAS
Deltoid anterior Axilaris, C5,C6 - Bahu fleksi 90
Pektoralis C5-T1 - Pemeriksa
mayor memberikan
tahanan pada
lengan kearah
Fleksi Bahu Biceps brachii Musculocutan ekstensi, dengan
eus, C5,C6 lokasi tahanan
pada distal
Coracobrachialis Musculocutan humerus
eus C5-7

Deltoid Axilaris, C5,C6- Bahu ekstensi 45


posterior dengan siku
ekstensi
-Pemeriksa
Latissimus dorsi Thoracodorsali memberikan
s C6-8 tahanan pada
Ekstensi Bahu lengan kearah
fleksi, dengan
Teres Mayor Subscapularis lokasi tahanan
bawah, C5,C6 pada distal
humerus

Deltoid Axilaris, C5,C6

70
-Bahu diposisikan
90 dari posisi
Abduksi Bahu abduksi
-Pemeriksa
Supraspinatus Suprascapulari memberikan
s, C5,C6 tahanan kearah
adduksi, dengan
lokasi tahanan
pada distal
humerus
-Pasien pada posisi
Pektoralis Pectoralis supine, dengan
Mayor medial/lateral, bahu diposisikan
C5, T1 120 dari posisi
Adduksi Bahu abduksi dan siku
Latissimus dorsi Thoracodorsali fleksi
s, C6-8 -Pemeriksa
memberikan
Teres Mayor Subscapularis tahanan pada
bawah, C5,C6 lengan kearah
abduksi

Subscapularis -Pasien pada posisi


Subscapularis atas/bawah,C5 prone , dengan
,C6 bahu abduksi 90
dengan rotasi
internal penuh dan
Pectoralis siku fleksi 90
Rotasi Internal Pectoralis medial/lateral -Pemeriksa
Mayor C5-T1 memberikan
tahanan pada
lengan kearah
Latissimus dorsi Thoracodorsali rotasi eksternal,
s, C6-8 dengan lokasi
tahanan pada
distal lengan
Deltoid Anterior Axillaris, C5,C6 bawah

Teres Mayor Subscapularis


bawah, C5,C6

71
-Pasien pada posisi
prone dan bahu
Infraspinatus Suprascapulari abduksi 90
s dengan rotasi
eksternal penuh
Rotasi Eksternal dan siku fleksi 90
-Pemeriksa
Teres minor, Axillaris ,C5,C6 memberikan
deltoid tahanan pada
posterior lengan kearah
rotasi internal,
dengan lokasi
tahanan pada
distal lengan
bawah
-Siku diposisikan
90 fleksi
Biceps brachii -Pasien melakukan
fleksi siku dan
pemeriksa
Musculocutan memberi tahanan
eus, C5,C6 kearah ekstensi
pada daerah distal
Brachialis
-Otot biceps adalah
Fleksi siku otot primer fleksi
siku dengan posisi
lengan supinasi
penuh
Brachioradialis Radialis, C5,C6 -Otot brachialis
adalah otot primer
fleksi siku dengan
posisi lengan
pronasi
-Otot
brachioradialis
adalah otot primer
fleksi siku dengan
posisi lengan ibu
jari ke atas
-Siku pada posisi
fleksi untuk
mencegah
stabilisasi dan

72
menemukan
Ekstensi siku Triceps Radialis, C6,C7 kelemahan dari
otot
-Pemeriksa
memberi tahanan
pada arah fleksi
lengan pasien
ketika pasien
melakukan
ekstensi siku
-Lengan pada
posisi pronasi
Pronator Anterior -Pemeriksa
quadratus Interoseus memberikan
cabang tahanan supinasi
medianus pada distal lengan
Pronasi siku -Pronator teres
dapat diperiksa
ketika posisi siku
Pronator teres Medianus , 90
C6,C7

-Siku ekstensi
dengan posisi
Supinasi siku Supinator Radialis , C5,C6 lengan supinasi
penuh posisi ini
menghambat
asistensi dari
biceps
Biceps brachii Musculocutan - Pemeriksa
eus, C5,C6 memberikan
tahanan dengan
melakukan pronasi
pada lengan
daerah distal

73
-Pergelangan
tangan diposisikan
fleksi penuh dan
jari-jari ekstensi
-Pemeriksa
memberi tahanan
dengan melakukan
ekstensi
Fleksor carpi Medianus pergelangan
radialis ,C6,C8 tangan pada
daerah midpalmar
-Fleksor carpi
radialis dapat
diperiksa dengan
Fleksi pergelangan posisi pergelangan
tangan tangan deviasi
radial dan fleksi
Fleksor carpi Ulnaris, C6,C8 penuh. Pemeriksa
ulnaris memberi tahanan
dengan melakukan
ekstensi
pergelangan
tangan dan
melakukan deviasi
ulnar
- Fleksor carpi
ulnaris dapat
diperiksa dengan
posisi pergelangan
tangan deviasi
ulnar dan fleksi
penuh. Pemeriksa
memberi tahanan
dengan melakukan
ekstensi
pergelanagn
tangan dan deviasi
radial

-Pergelangan tangan
ekstensi penuh pada
posisi netral

74
Ekstensor carpi Radialis , -Pemeriksa
radialis longus C6,C7 memberikan
tahanan dengan
melakukan fleksi
Ekstensi pergelangan tangan
pergelangan pasien pada daerah
tangan dorsum tangan
Ekstensor carpi Radialis , -Untuk memeriksa
radialis brevis C6,C7 ekstensor carpi
radialis longus
pergelangan tangan
pasien diposisikan
deviasi radial dan
ekstensi penuh
-Pemeriksa
Ekstensor carpi Radialis melakukan fleksi dan
ulnaris ,C7,C8 deviasi ulnar
pergelangan tangan
-Untuk memeriksa
ekstensor carpi
ulnaris pergelangan
tangan pada posisi
deviasi ulnar dan
ekstensi penuh.
Pemeriksa
melakukan fleksi dan
deviasi radial
pergelangan tangan
pasien sebagai
tahanan
Periksalah tangan
Fleksor digitorum pasien, cari atrofi
profundus otot intrinsik,
thenar, hipothenar.
Fleksor digitorum Medianus, C8 Periksalah
superfisial genggaman pasien
Fleksi jari-jari dengan meminta
Fleksor pollicis penderita
longus menggenggam jari
pemeriksa

75
sekuatnya dan tidak
Medianus, melepas genggaman
Instrinsik Ulnaris saat pemeriksa
(hipotenar.inteross C8,T1 mencoba menarik
ei,tenar,lumbricalis jarinya. Normal
) pemeriksa tidak
dapat menarik jari
dari genggaman
pasien. Bandingkan
dengan sisi kontra
lateral

- Periksalah
Opponen policis Medianus, kekuatan oposisi
C8,T1 ibujari dengan
meminta pasien
Fleksor policis Medianus, menyentuhkan
Oposisi Ibu jari brevis Ulnaris, ujung ibujari dengan
C8,T1 jari jelunjuknya
sendiri dan melawan
tahanan
Abduktor policis Medianus, pemeriksa.bandingk
brevis C8,T1 an dengan sisi
kontra lateral.

Periksalah otot
intrinsik tangan
sekali lagi, dengan
meminta pasien
Abduksi jari Abduktor digiti Ulnaris, abduksi pada semua
minimi T1 jari dan melawan
tahanan pemeriksa.
Normal pasien dapat
menahan tekanan
pemeriksa.

76
PEMERIKSAAN MOTORIK
KEKUATAN OTOT EKSTREMITAS BAWAH

EKSTREMITAS OTOT PERSARAFAN PEMERIKSAAN GAMBAR


BAWAH
Iliacus Femoral, L2-4 -Posisi pasien dapat
Psoas Pleksus lumbal, duduk /supine
L1-4 -Supine : pasien
Tensor fascia lata Superior gluteal, memfleksikan
L4-5 S1 panggul, pemeriksa
Pectineus Femoral/Obturato berusaha melakukan
Fleksi panggul r L2-3-4 ekstensi panggul,
Abduktor magnus tahanan diberikan
dan brevis, bagian pada anterior paha
anterior abductor -Duduk : panggul
magnus pada posisi fleksi saat
pemeriksa berusaha
melakukan ekstensi
panggul
-Pasien pada posisi
prone, dilakukan
ekstensi panggul
dengan lutut dalam
Ekstensi Gluteus maksimus L5,S1-2 keadaan fleksi 90
Panggul -Pemeriksa berusaha
melakukan ekstensi
panggul, tahanan
diberikan pada
posterior paha
-Abduksi panggul
dapat diperiksa
dalam posisi
berbaring
miring/duduk
-Pasien posisi
berbaring miring
Abduksi Gluteus medius L4-5,S1 dengan abduksi
panggul panggul, Pemeriksa
berusaha melakukan
adduksi panggul,
tahanan pada distal
lateral paha
-Posisi duduk
:panggul keadaan
77
abduksi, pemeriksa
melakukan adduksi
panggul,tahanan
pada distal lateral
paha

-Pasien berbaring
miring, kaki pasien
Adduktor brevis Obturator, L2-4 dalam posisi abduksi,
pasien diminta
melakukan adduksi
kaki sisi bawah
-Pemeriksa berusaha
melakukan abduksi
Adduktor longus, kaki sisi bawah
Adduksi adductor magnus Obturator, L3-4 dengan memberikan
panggul bagian anterior tahanan pada medial
paha bagian distal
-Pemeriksaan dapat
juga dilakukan
dengan posisi pasien
duduk, dengan
Pectineus Femoral panggul adduksi,
/obturator, L2-3 pemeriksa berusaha
melakukan abduksi
panggul, tahanan
diberikan pada
medial paha bagian
distal.

Gluteus superior, -Pasien duduk


Tensor fascialata L4-5,S1 dengan lutut fleksi
90,dan panggul
Femoralis rotasi internal
Rotasi internal Pectineus obturatorius, L2-3 -Pemeriksa
panggul menggunakan satu
tangan untuk
Gluteus minimus, Gluteus superior, membuat kaki dalam
bagian anterior L-5,S1 posisi rotasi internal
dengan memberikan
tahanan lateral dari
atas lutut, sambil
stabilisasi lutut
78
dengan tangan
lainnya.
-Pasien duduk
Piriformis S1-2 dengan lutut fleksi
90, dan panggul
rotasi eksternal
Gluteus maximum Gluteus inferior, -Pemeriksa
L5,S1-2 menggunakan satu
Rotasi tangan untuk
eksternal melakukan rotasi
panggul Gemellus internal kaki dengan
superior/obturator L5,S1-2 memberikan tahanan
internus medial dari bawah
lutut, sambil
stabilisasi lutut
Gemellus inferior L4-5, S1 dengan tangan
/quadratusfemoris lainnya.
-Lutut pasien fleksi
Semitendinosus 90 dengan posisi
L5,S1 tengkurap
Fleksi lutut Semimembranosus -Pemeriksa
melakukan ekstensi
kaki pada permukaan
Biceps femoris L5,S1-2 posterior tibial

-Lutut fleksi 30
dengan posisi pasien
duduk / berbaring.
Usahakan
menghindari ekstensi
Ekstensi lutut Quadriceps femoris Femoralis, L2-4 lutut penuh karena
pasien dapat
melakukan stabilisasi
lutut, sehingga
kelemahan ringan
diketahui.
-Pemeriksa berusaha
melakukan fleksi kaki,
dengan memberikan
tekanan pada
permukaan anterior
tibia.

79
-Pergelangan kaki
ditempatkan dalam
posisi dorso fleksi
-Pemeriksa berusaha
melakukan plantar
Tibialis anterior fleksi pergelangan
Ekstensor digitorum kaki,dengan
Dorsofleksi longus Peroneus memberikan tahanan
pergelangan Ekstensor halluces profundus L4-5, S1 dari dorsum kaki
kaki longus -Untuk memeriksa
tibialis anterior, posisi
pergelangan kaki
inversi dan
dorsofleksi penuh.
Pemeriksa berusaha
melakukan plantar
fleksi dan eversi kaki
-Untuk memeriksa
ekstensor digitorum
longus, pergelangan
kaki pada posisi
eversi dan dorsofleksi
penuh. Pemeriksa
berusaha melakukan
plantarfleksi dan
inversi pergelangan
kaki
-Posisikan
pergelangan kaki
pada plantar fleksi
-Pemeriksa
melakukan dorsifleksi
kaki, dengan
memberikan tekanan
Plantarfleksi Gastrocnemius Tibialis, S1-2 pada permukaan
pergelangan Soleus plantar kaki
kaki - Untuk menguji
gastrocnemius, lutut
dalam posisi ekstensi
-Untuk menguji
soleus, lutut dalam
posisi fleksi
-Tes fungsional lain
seperti berjalan jinjit

80
dapat
memperlihatkan
kelemahan yang tidak
tampak saat
pemeriksaan
Mintalah pasien
ekstensi ibu jari kaki
melawan tahanan
Ekstensi ibu Ekstensor hallucis L5 pemeriksa.
jari kaki longus

PELAPORAN HASIL PEMERIKSAAN:

Ekstremitas Dekstra Sinistra


Superior:
Inspeksi: (wasted, highly (wasted, highly
developed, developed,
normal) normal)
Palpasi (flaccid, clonic, (flaccid, clonic,
tonus: spastik normal) spastik normal)
Kekuatan : /./ //
Cantumkan otot spesifik yang mengalami kelainan:

Ekstremitas Dekstra Sinistra


Inferior:
Inspeksi: (wasted, highly (wasted, highly
developed, developed,
normal) normal)
Palpasi (flaccid, clonic, (flaccid, clonic,
tonus: spastik normal) spastik normal)
Kekuatan : /./ //
Cantumkan otot spesifik yang mengalami kelainan:

REFERENSI: Daniels and Worthingham's muscle testing: techniques of manual examination., 6th
edition, 1995.

81
CHECKLIST PEMERIKSAAN SISTEM MOTORIK
Nama :
NIM :
NO KETERANGAN SCORE
0 1 2
1 Memberi salam dan menyapa dengan sopan
2 Inform consent pemeriksaan
Pemeriksaan Massa otot
3 Meminta pasien untuk berbaring di meja pemeriksaan
4 Melakukan inspeksi pada semua otot
5 Memeriksa perubahan massa otot ( normal,hipertrofi,hipotrofi,atrofi ),
amati kesimetrisannya. ( diukur menggunakan meteran )
Pemeriksaan tonus otot
6 Meminta pasien untuk rileks
7 Pemeriksaan anggota gerak atas : tangan pemeriksa memegang siku
pasien untuk menyangga kemudian gerakkan secara pasif (fleksi-ekstensi
) pada sendi siku berulangkali secara perlahan kemudian secara cepat
8 Pemeriksaan anggota gerak bawah : tangan pemeriksa memegang
tungkai bawah pasien untuk menyangga kemudian gerakkan secara pasif
(fleksi-ekstensi ) pada sendi lutut berulangkali secara perlahan kemudian
secara cepat
9 Pemeriksaan clonus pergelangan kaki : tahan betis pasien dan fleksikan
90 pada lutut dan pergelangan kaki. Secara cepat dorsofleksikan
pergelangan kaki
10 Pemeriksaan dilakukan pada anggota gerak kanan dan kiri
Pemeriksaan kekuatan otot ekstremitas superior
11 Periksalah fleksi dan ekstensi bahu
12 Periksalah abduksi dan adduksi bahu
13 Periksalah rotasi internal dan rotasi eksternal bahu
14 Periksalah fleksi dan ekstensi siku
15 Periksalah pronasi dan supinasi siku
16 Periksalah fleksi dan ekstensi pergelangan tangan

17 Periksalah fleksi jari-jari tangan

18 Periksalah oposisi ibu jari


19 Periksalah abduksi jari-jari
Pemeriksaan kekuatan otot ekstremitas bawah

82
20 Periksalah fleksi dan ekstensi panggul

21 Periksalah abduksi dan adduksi panggul

22 Periksalah rotasi internal dan eksternal panggul

23 Periksalah fleksi dan ekstensi lutut

24 Periksalah dorsofleksi pergelangan kaki

25 Periksalah plantar fleksi pergelangan kaki

26 Periksalah ekstensi ibu jari kaki

27 Mempersilahkan pasien duduk kembali

Total

KET:
0 : bila tidak dikerjakan
1 : bila dikerjakan, tetapi tidak sempurna
2 : bila dikerjakan dengan sempurna
Nilai: total score x 100
54
Purwokerto, 2015
Evaluator

.
..........................................

83
XI. PEMBALUTAN, PEMBIDAIN DAN TRANSPORTASI

PEMBALUTAN DAN PEMBIDAIAN

Tujuan Pembelajaran

1. Mahasiswa dapat melakukan pembalutan luka.


2. Mahasiswa dapat melakukan fiksasi/ imobilisasi pada cidera skeletal.

TINJAUAN PUSTAKA

Membalut merupakan salah satu keterampilan yang harus dikuasai dengan baik oleh dokter dan
pemberi pelayanan kesehatan lainnya. Istilah pembalut merujuk pada aplikasi secara luas
maupun secara sempit pembalutan untuk tujuan terapeutik. Apapun alasannya, perlu diingat
bahwa jika tidak diterapkan dengan benar, membalut dapat lebih cepat dan mudah
menyebabkan injury. Tekanan pembalutan harus tidak melebihi tekanan hidrostatik
intravaskuler, jika membalut bertujuan untuk mengurangi pembentukan oedema tanpa
meningkatkan tahanan vaskuler yang dapat merusak aliran darah.

Tujuan:
Menahan bagian tubuh supaya tidak bergeser dari tempatnya
Menahan pembengkakan yang dapat terjadi pada luka
Menyokong bagian tubuh yang cedera dan mencegah agar bagian itu tidak bergeser
Menutup bagian tubuh agar tidak terkontaminasi
Melindungi atau mempertahankan dressing lain pada tempatnya

Macam:
Mitella adalah pembalut berbentuk segitiga
Dasi adalah mitella yang berlipat-lipat sehingga berbentuk seperti dasi
Pita adalah pembalut gulung
Plester adalah pembalut berperekat
Pembalut yang spesifik
Kassa steril

84
Mitella:
Bahan pembalut terbuat dari kain yang berbentuk segitiga sama kaki dengan berbagai
ukuran. Pnjang kaki antara 50-100cm
Pembalut ini dipergunakan pada bagian kaki yang tebentuk bulat atau untuk
menggantung bagian anggota badan yang cedera
Pembalut ini biasa dipakai pada cedera di kepala, bahu, dada, siku, telapak tangan,
pinggul, telapak kaki, dan untuk menggantung lengan.

Dasi:
Pembalut ini adalah mitella yang dilipat-lipat dari salah satu sisi segitiga agar beberapa
lapis dan berbentukseperti pita dengan kedua ujung-ujungnya lancip dan lebamya
antara 5-10cm.
Pembalut ini biasa dipergunakan untuk membalut mata, dahi (atau bagian kepala yang
lain), rahang, ketiak, lengan, siku, paha, lutut, betis dan kaki terkilir.

Pita ( Gulung ):
Pembalut ini dapat dibuat dari kain katun, kain kassa, flanel atau bahan elastis.
Yang paling sering adalah dari kassa, hal ini karena kassa mudah menyerap air, darah dan
tidak mudah bergeser ( Kendor).
Macam-macam pembalut dan penggunaannya :
Lebar 2,5 cm - Biasa untuk jari-jari
Lebar 5cm - Biasa untuk leher dan pergelangan tangan
Lebar 7,5 cm - Biasa untuk kepala, lengan atas, lengan bawah, betis dan kaki
Lebar 10 cm - Biasa untuk paha dan sendi pinggul
Lebar >10-15cm - Biasa untuk dada, perut, dan punggung

Plester:
Pembalut in untuk merekatkan penutup luka, untuk fiksasi pada sendi yang terkilir,
untuk merekatkan pada kelainan patah tulang.
Khusus untuk penutup luka, biasa dilengkapi dengan obat anti septik

Pembalut yang spesifik


1. Snelverband adalah pembalut pita yang sudah ditambah dengan kassa penutup luka dan
steril, baru dibuka pada saat akan dipergunakan, sering dipakai pada luka-luka lebar yang
terdapat pada badan.
2. Sufratulle adalah kassa steril yang telah direndam dengan obat pembunuh kuman. Biasa
dipergunakan pada luka-luka kecil

Kasa Steril
Adalah kassa yang dipotong dengan berbagai ukuran untuk menutup luka kecil yang
sudah diberi obat-obatan ( antibiotik, antiplagestik).

85
Setelah ditutup kassa itu kemudian baru dibalut.

Prosedur pembalutan
1. Perhatikan tempat atau letak yang akan dibalut dengan menjawab pertanyaan
a. Bagian dari tubuh yang mana ?
b. Apakah ada luka terbuka atau tidak ?
c. Bagaimana luas luka tersebut ?
d. Apakah perlu membatasi gerak bagian tubuh tertentu atau tidak ?
2. Pilih jenis pembalut yang akan dipergunakan ! dapat salah satu atau kombinanasi
3. Sebelum dibalut jika luka terbuka periu diberi desinfektan atau dibalut den< pembalut yang
mengandung desinfektan atau dislokasi periu direposisi
4. Tentukan posisi balutan dengan mempertimbangkan :
Dapat membatasi pergeseran atau gerak bagian tubuh yang memang perlu difiksasi
Sesedikit mungkin membatasi gerak bagian tubuh yang lain
Usahakan posisi balutan yang paling nyaman untuk kegiatan pokok penderita
Tidak mengganggu peredaran darah, misalnya pada balutan beriapis, lapis yang paling
bawah letaknya disebelah distal
Tidak mudah kendor atau lepas

1. Cara membalut dengan mitella


a. Salah satu sisi mitella dilipat 3 - 4 cm sebanyak 1 - 3 kali
b. Pertengahan sisi yang telah terlipat diletakkan diluar bagian yang akan dibalut, lalu ditarik
secukupnya dan kedua ujung sisi itu diikatkan
c. Salah satu ujung yang bebas lainnya ditarik dan dapat diikatkan pada ikatan b, atau diikatkan
pada tempat lain maupun dapat dibiarkan bebas, hal ini tergantung pada tempat dan
kepentingannya

2. Cara pembalutan dengan dasi


a. Pembalut mitella dilipat-lipat dari salah satu sisi sehingga berbentuk pita dengan masing-
masing ujung lancip
b. Bebatkan pada tempat yangakan dibalut sampai kedua ujungnya dapat diikatkan
c. Diusahakan agar balutan tidak mudah kendor dengan cara sebelum diikat arahnya saling
menarik
d. Kedua ujungnya diikatkan secukupnya

3 Cara membalut dengan pita


a. Berdasar besar bagian tubuh yang akan dibalut maka dipilih pembalutan pita ukuran lebar
yang sesuai
b. Balutan pita biasanya beberapa lapis, dimulai dari salaah satu ujung yang diletakkan dari
proksimal ke distal menutup sepanjang bagian tubuh , yang akan dibalut kemudian dari
distal ke proksimal dibebatkan dengan. arah bebatan saling menyilang dan tumpang tindih
antara bebatan yang satu dengan bebatan berikutnya
c. Kemudian ujung yang dalam tadi (b) diikat dengan ujung yang lain secukupnya

86
4. Cara membalut dengan plester
a. Jika ada luka terbuka
luka diberi obat antiseptik
tutup luka dengan kassa
baru lekatkan pembalut plester
b. Jika untuk fiksasi (misalnya pada patah tulang atau terkilir)
- balutan plester dibuat "strapping" dengan membebat berlapis-lapis dari distal ke
proksimal, dan untuk membatasi gerakkan tertentu perlu masing-masing ujungnya
difiksasi dengan plester
5. Penggunaan pembalut yang steril
Biasanya dijual dalam bahan yang steril dan baru dibuka pada saat akan digunakan

Pelaksanaan latihan
Cara membalut dengan mitella (lihat gambar)

87
88
Alat dan bahan

1. Elastik perban
2. Kain mitella
3. Plester
4. Pembalut yang spesifik
5. Kassa steril

89
IMMOBILISASI DAN TRANSPORTASI

Tujuan :
Memberi kesempatan kepada peserta untuk bisa mempraktekkan dan mendemonstrasikan
tehnik-tehnik reposisi. immobilisasi dan transportasi pada penderita yang mengalami trauma.

Setelah menyelesaikan ini peserta akan mampu :


1. Mengenal dan mengerti tujuan immobilisasi
2. Mengerti prinsip-prinsip pemasangan bidai
3. Mengerjakan cara meluruskan deformitas pada fraktur tulang panjang.
4.Mengerti cara-cara transportasi, yang meliputi tindakan sebelum dan selama serta masalah
yang timbul sewaktu dilakukan transportasi.

TINJAUAN TEORI

Semua ekstremitas yang mengalami trauma harus diimobilisasi dengan bidai. Bidai yang
kaku untuk menjaga dan melindungi ekstremitas yang cedera. Pada patah tulang terbuka atau
luka lain, luka harus ditutup dulu dengan kassa, status vaskuler dan neurologis ekstremitas
tersebut harus diperiksa sebelum dan sesudah imobilisasi. Tujuan immobilisasi :
1. Mengurangi nyeri
2. Mencegah gerakan fragmen tulang, sendi yang cedera dan jaringan lunak yang cedera (ujung
fragmen tulang yang tajam dapat mencederai syaraf, pembuluh darah dan otot).
3. Mencegah fraktur tertutup menjadi terbuka
4. Memudahkan transportasi
5. Mencegah gangguan sirkulasi pada bagian distal yang cedera
6. Mencegah perdarahan akibat rusaknya pembuluh darah oleh fragmen tulang
7. Mencegah kelumpuhan pada cedera tulang belakang.

PRINSIP PEMASANGAN BIDAI


1. Lepas pakaian yang menutupi anggota gerak yang dicurigai cedera, periksa adanya luka
terbuka atau tanda-tanda patah dan distokasi
2. Periksa dan catat ada tidaknya gangguan vaskuler dan neurologis pada bagian distal yang
mengalami cedera sebelum dan sesudah imobilisasi.

90
3. Tutup luka terbuka dengan kasasteril
4. Imobilisasi pada bagian proximal dan distal daerah trauma (dicurigai parah atau dislokasi)
5. Jangan memindahkan penderita sebelum dilakukan imobilisasi kecuali ada ditempat bahaya
6. Beri bantalan yang lembut pada pemakaian bidai yang kaku
7. Lakukah tarikan secara periahan sampai lurus sumbu tulang sehingga dapat dipasang bidai
yang benar. Tarikan /traksi segera dilepas bila saat diperiksa tampak cyanotik dan nadi lemah.
8. Pada kecurigaaan trauma tulang belakaog letakkan pada posisi satu garis.

MACAM-MACAM BIDAI/SPLINT
1. Rigid splint
2.. Pneumatic splint & gips
3. Traction splint

Bila tidak ada bidai bisa dicoba


1. Lengan dapat diimobilisasi dengan dada
2. Tungkai yang cedera diimobilisasi dengan tungkai yang sebelah
3. Bahan-bahan lain bisa, dipakai seperti guling, majalah yang digulung, dll

CARA MELURUSKAN DEFORMITAS


1. Lengan atas
Pegang siku dan tarik ke bawah, setelah lurus bidai dipasang dan lengan dipertahankan
dengan sling dan ke dinding dada
2. Lengan bawah :
Tarik pergelangan tangan ke bawah dengan siku ditahan sebagai kontra traksi. Bidai
dipasang dilengan bawah dan dielevasi.
3. Tungkai atas/paha
Luruskan tulang paha dengan melakukan tarikan didaerah pergelangan kaki jika tulang
tungkai bawah tidak patah.
4. Tulang tibia/tulang kering
Lakukan tarikan didaerah pergelangan kaki dan kontra traksi diatas lutut, dikerjakan bila
tulang paha utuh, setelah lurus bidai dipasang.

PEMBIDAIAN

Bidai atau spalk adalah alat dari kayu, anyaman kawat, atau bahan lain yang kuat tetapi ringan
yang digunakan untuk menahan atau menjaga agar bagian tulang yang patah tidak bergerak
(immobilisasi) memberikan istirahat, dan mengurangi rasa sakit.

Sedangkan prinsip pembidaian adalah :


1. Lakukan pembidaian di tempat dimana anggota badan mengalami cidera
2. Lakukan juga pembidaian pada persangkaan patah tulang, jadi tidak perlu harus dipastikan
dulu ada tidaknya patah tulang
3. Melewati minimal dua sendi yang berbatasan

91
Syarat-syarat pembidaian
1. Siapkan alat-alat selengkapnya
2. Bidai harus meliputi dua sendi dari tulang yang patah. Sebelum dipasang diukur lebih dulu
pada anggota badan korban yang tidak sakit
3. Ikatan jangan terlalu keras dan terlalu kendor
4. Bidai dibalut dengan pembalut sebelum digunakan
5. Ikatan harus cukup jumlahnya, dimulai dari sebelah atas dan bawah tempat yang patah
6. Kalau memungkinkan, anggota gerak tersebut ditinggikan setelah dibidai
7. Sepatu, gelang, jam tangan, dan alat pengikat perlu dilepas

PRINSIP MELAKUKAN IMOBILISASI TULANG BELAKANG DAN LOGROLL


(penderita dengan curiga cedera tulang belakang)
1. Diperlukan 4 orang, orang ke 1 mempertahankan imobilisasi segaris kepala dan leher, orang
ke 2 untuk badan (termasuk pelvis dan panggul), orang ke 3 pelvis dan tungkai, orang ke 4
mengatur prosedur ini dan memasang/mencabut spine-board.
2. Dilakukan kesegarisan kepala dan leher secara manual, kemudian dipasang kolar servikal
semirigid.
3. Lengan penderita diluruskan dan diletakkan disamping badan.
4. Tungkai bawah diluruskan dan kedua pergelangan kaki diikat satu sama lain dengan plester
5. Pertahankan kesegarisan kepala dan leher penderita sewaktu orang ke 2 memegang penderita
daerah bahu dan pergelangan tangan. Orang ke 3 memasukkan tangan dan memegang panggul
penderita dengan 1 tangan dan dengan tangan yang lain memegang plester yang mengikat ke
dua pergelangan kaki
6. Dengan komando orang pertama (yang mempertahankan kesegarisan kepala dan leher)
dilakukan logroll sebagai satu unit kearah kedua penolong yang berada disisi penderita, hanya
diperlukan pemutaran minimal untuk memasukkan spineboard dibawah penderita.
7. Setelah spine board dibawah penderita dan dilakukan logroll ke arah spineboard.
8. Pasang bantalan disisi kiri - kanan kepala dan leher penderita . Kemudian pengikat dipasang
(kepala, dada, pelvis, paha dan diatas pergelangan kaki)

92
TRANSPORTASI/PENGANGKUTAN
Pengangkutan korban merupakan upaya penting dalam proses pemberian pertolongan.
Cara-cara pengangkutan korban yang mengalami cedera secara benar.perlu diketahui dan
dikuasai:
1. Pengangkutan di tempat kejadian (tempat yang berbahaya)
1. Sambil jongkok lutut penolong disamping kiri korban. Lengan dan tangan kanan penolong
dimasukkan dibawah leher korban, kemudian tangan kanan penolong di sebelah ketiak
kanan korban sehingga sampai ke depan dadanya.
2. Tangan kiri penolong menyilangkan lengan kanan korban didadanya, kemudian tangan
kanan penolong memegang tangan kanan korban.
3. Kemudian lengan dan tangan kiri penolong dimasukkan dibawah ketiak kiri korban dan
memegang lengan kanan korban.
4. Kedua tangan penofong saling bertaut melingkari lengan bawah kanan korban.
5. Kemudian kaki kiri penofong diletakkan setinggi pinggang korban.
6. Sambil membongkokkan tubuh kedepan (prinsip mengungkit) badan korban dapat
terangkat.
7. Korban didekatkan ke dada penolong, kemudian penolong berdiri dan menarik korban
sejauh mungkin dalam keadaan setengah baring.
8. Di tempat yang aman korban dibaringkan lagi secara hati-hati untuk dilakukan resusitasi.
Penderita harus dilakukan resusitasi dalam usaha membuat penderita sestabil mungkin
sebelum dilakukan trasnportasi ke tempat yang mempunyai fasilitas /untuk melakukan
tindakan definitif.

Selama dalam perjalanan / transportasi yang harus diperhatikan


1. Monitor tanda-tanda vital
2. Bantuan kardio repirasi bila diperiukan
3. Pemberian obat sesuai prosedur
4. Menjaga komunikasi dengan dokter selama transportasi
5. Melakukan dokumentasi selama transportasi

93
CHECKLIST PEMBALUTAN DAN PEMBIDAIAN

Nama :
NIM :
Aspek yang dinilai Nilai
0 1 2
1. Mempersiapkan alat dan bahan yang diperlukan
2. Berikan salam, menyapa dengan sopan
3. Memeriksa bagian tubuh yang akan dibalut/cedera : inspeksi, palpasi,
gerakan
4. Menjelaskan tujuan dan prosedur
5. Mempersiapkan posisi dan menenangkan pasien
6. Rawat luka/hentikan perdarahan dengan deb
7. Memilih jenis pembalutan yang tepat
8. Cara pembalutan dilakukan dengan benar (posisi dan arah balutan)

9. Evaluasi hasil yang dicapai (hasil pembalutan : mudah lepas/tidak,


mengganggu peredaran darah/tdk , mengganggu gerakan lain)
10. Memilih dan mempersiapkan bidai yang sudah dibalut dengan pembalut

11. Melakukan pembidaian melewati dua sendi


12. Hasil pembidaian : ikatan harus cukup jumlahnya, dimulai dari sebelah atas
dan bawah tempat yang patah, tidak kendor dan tidak keras
13. Evaluasi hasil yang dicapai (subjektif maupun objektif)
14. Edukasi pasien
Jumlah

Keterangan :
0 : Tidak dilakukan sama sekali
1 : Dilakukan tetapi tidak sempurna
2 : Dilakukan dengan sempurna

Nilai = jumlah x 100 %


28

Purwokerto, 2015
Evaluator

94
XII. PERAWATAN LUKA DAN HECTING

LEARNING OUTCOME

Mahasiswa mampu melakukan ketrampilan jahit luka:


menentukan jenis luka
memberikan penjelasan dan meminta persetujuan tindakan medik
melakukan cuci tangan secara foerbringer
melakukan tindakan aseptik anti septik
melakukan anestesi lokal
melakukan debridemen luka
melakukan jahit luka/ suture interuptus
melakukan jahit luka/ suture jelujur
melakukan jahit luka/ suture jelujur terkunci
melakukan jahit luka/ suture matras horisontal
melakukan jahit luka/ suture matras vertikal
melakukan dressing

TINJAUAN PUSTAKA

Luka
Luka adalah hilang atau rusaknya sebagian jaringan tubuh (diskontinuitas jaringan).
Keadaan ini dapat disebabkan oleh trauma benda tajam atau tumpul, perubahan suhu, zat kimia,
ledakan, sengatan listrik atau gigitan hewan. Proses yang kemudian terjadi pada jaringan yang
rusak ini ialah penyembuhan luka yang dapat dibagi dalam tiga fase, yaitu fase inflamasi,
poliferasi dan penyudahan yang merupakan perupaan kembali (remodelling) jaringan.

Klasifikasi penyembuhan luka:


Penyembuhan luka kulit tanpa pertolongan dari luar, berjalan secara alami. Luka akan terisi
jaringan granulasi dan kemudian ditutup jaringan epitel. Penyembuhan ini disebut penyembuhan
sekunder (sanatio per secundam) cara ini biasanya makan waktu cukup lama dan meninggalkan
parut yang kurang baik, terutama kalau lukanya menganga lebar.
Jenis penyembuhan yang lain adalah penyembuhan primer ( sanatio per primam) yang
terjadi bila luka segera diusahakan bertaut, biasanya dengan bantuan jahitan. Parut yang terjadi
biasanya lebih halus dan kecil. Namun penjahitan luka tidak dapat langsung dilakukan pada luka
yang terkontaminasi berat dan/ atau tidak berbatas tegas. Luka yang compang-camping seperti
luka tembak sering meninggalkan jaringan yhang tidak dapat hidup yang pada pemeriksaan

95
pertama sukar dikenali. Keadaan ini diperkirakan akan menyebabkan infeksi bila luka langsung
dijahit. Luka yang demikian sebaikmya dibersihkan dan dieksisi (debridemen) dahulu dan
kemudiam dibiarkan selama 4-7 hari. Baru selanjutnya dijahit dan akan sembuh secara primer.
Cara ini umumnya disebut penyembuhan primer tertunda. Terjadinya infeksi pada luka
pascaeksisi umumnya terjadi karena eksisi luka tidak cukup luas dan teliti. Jika setelah
debridemen luka langsung dijahit, dapat diharapkan terjadi penyembuhan primer.
Pada manusia, penyembuhan luka dengan cara reorganisasi dan regenerasi hanya terjadi
pada epidermis, hati, dan tulang yang dapat menyembuh alami tanpa meninggalkan bekas. Organ
lain, termasuk kulit mengalami penyembuhan secara epimorfis, artinya jaringan yang rusak
diganti oleh jaringan ikat yang tidak sama dengan jaringan semula.

Fase penyembuhan luka


Fase Proses Gejala dan tanda
I Inflamasi Reaksi radang
Dolor, rubor, kalor,
tumor, gangguan
II Proliferasi Regenerasi/ fungsi
fibroplasia Jaringan granulasi/
kalus tulang
III Penyudahan Pematangan menutup:
dan perupaan epitel/endotel/
kembali mesotel
Jaringan parut/
fibrosis

Gangguan penyembuhan luka


Penyembuhan luka dapat terganggu oleh penyebab dari dalam tubuh (endogen) atau oleh
penyebab dari luar tubuh (eksogen). Penyebab endogen terpenting adalah gangguan koagulasi
yang disebut koagulopati dan gangguan sistem imun. Semua gangguan pembekuan darah akan
menghambat penyembuhan luka sebab hemostasis merupakan titik tolak dan dasar fase
inflamasi. Gangguan sistem imun akan menghambat dan mengubah reaksi tubuh terhadap luka,
kematian jaringan, kontaminasi. Bila sistem daya tahan tubuh, baik humoral maupun selular
tenganggu, pembersihan kontaminan dan jaringan mati serta penanahan infeksi tidak berjalan
baik.
Gangguan sistem imun dapat terjadi terjadi pada infeksi virus, terutama HIV, keganasan
tahap lanjut, penyakit menahun berat seperti tuberkulosis, hipoksia setempat seperti ditemukan
pada arteriosklerosis, diabetes melitus, morbus Raynoud, morbus Burger, kelainan pendarahan
(hemangioma, fistel arteriovena), atau fibrosis. Sistem imun juga dipengaruhi oleh gizi kurang
akibat kelaparan, malabsorbsi, juga oleh kekurangan asam amino esensial, mineral maupun
vitamin, serta oleh gangguan dalam metabolisme makanan, misalnya pada penyakit hati. Selain
itu fungsi sistem imun ditekan oleh keadaan umum yang kurang baik, seperti pada usia lanjut dan
penyakit tertentu, misalnya penyakit Cushing dan penyakit Addison.
Penyebab eksogen meliputi penyinaran sinar ionisasi yang akan mengganggu mitosis dan
merusak sel dengan akibat dini maupun lanjut. Pemberian sitostatik, obat penekan reaksi imun,
misalnya setelah transplantasi organ, kortikosteroid juga akan mempengaruhi penyembuhan
96
luka. Pengaruh setempat seperti infeksi, hematom, benda asing, serta jaringan mati sangat
menghambat penyembuhan luka.

Diagnosis
Pertama-tama dilakukan pemeriksaan secara teliti untuk memastikan apakah ada
perdarahan yang harus dihentikan. Kemudian, tentukan jenis trauma, tajam atau tumpul, luasnya
kematian jaringan, banyaknya kontaminasi dan berat ringannya luka.

Tindakan
Pertama dilakukan anestesia setempat atau umum, tergantung berat dan letak luka, serta
keadaan penderita. Luka dan sekitarnya dibersihkan dengan antiseptik, kalau perlu dicuci dengan
air sebelumnya. Kemudian daerah sekitar lapangan kerja ditutup dengan kain steril dan secara
steril dilakukan kembali pembesihan luka dari kontaminan secara mekanis, misalnya
pembuangan jaringan mati dengan gunting atau pisau dan dibersihkan dengan bilasan, guyuran
atau semprotan cairan NACl. Akhirnya lakukan penjahitan denga rapi. Bila diperkirakan akan
terbentuk atau dikeluarkan cairan yang berlebihan perlu dibuat penyaliran. Luka ditutup dengan
bahan yang dapat mencegah lengketnya kasa, misalnya mengandung vaselin, ditambah dengan
kasa penyerap, dan dilanjut dengan pembalut elastis.

Penyulit
1. Penyulit dini
Hematom harus dicegah dengan mengerjakan hemostasis secara teliti. Hematom yang
mengganggu atau terlalu besar sebaiknya dibuka dan dikeluarkan. Seroma adalah
penumpukan cairan luka dilapangan bedah. Jika seroma mengganggu atau terlalu besar dapat
dilakukan pungsi. Jika seroma kambuh sebaiknya dibuka dan dipasang penyalir.
Infeksi luka terjadi jika luka yang terkontaminasi dijahit tanpa pembilasan dan eksisi yang
memadai. Pada keadaan demikian luka harus dibuka kembali, dibiarkan terbuka dan penderita
diberi antibiotik sesuai dengan hasil biakan dari cairan luka atau nanah.
2. Penyulit lanjut
Keloid dan jaringan parut hipertropik timbul karena reaksi serat kolagen yang berlebihan
dalam proses penyembuhan luka. Serat kolagen disini teranyam teratur. Keloid yang tumbuh
berlebihan melampaui batas luka, sebelumnya menimbulkan gatal dan cenderung kambuh
bila dilakukan intervensi bedah.

Persetujuan tindakan medik


Penghormatan terhadap hak asasi manusia dalam bidang kedokteran atau patient rights,
sebagai salah satu kewajiban etik yang harus dipatuhi oleh setiap warga profesi kedokteran.
Selanjutnya persetujuan tindakan medik berkembang menjadi kewajiban administrasi dan
hukum. Persetujuan tindakan medik adalah adanya persetujuan dari pasien terhadap tindakan
medik yang akan dilakukan terhadap dirinya. Persetujuan diberikan setelah pasien memperoleh
penjelasan yang lengkap dan obyektif tentang diagnosis penyakit, upaya penyembuhan, tujuan
dan pilihan tindakan yang akan dilakukan. Dalam tindakan medis penjahitan luka penderita
memperoleh penjelasan kondisi luka, kemungkinan penyembuhan secara primer dan sekunder,
cacat yang mungkin timbul, keuntungan dan kerugian jahit luka, anestesi lokal.

97
Anestesia
1. Anestesia infiltrasi
Anestesia infiltrasi dilakukan dengan menyuntikkan anestetik lokal langsung ke jaringan tanpa
mempertimbangkan persarafannya. Anestetik berdifusi dn khasiatnya dicapai melalui
penghambatan ujung saraf perasa di jaringan subkutan. Jika penyuntikan anestetik
menimbulkan nyeri, berarti tehnik penyuntikan tidak memenuhi syarat. Infiltrasi dimulai
dengan penyuntikan kecil intrakutan yang memang menimbulkan sedikit nyeri. Tempat
penyuntikan intrakutan digunakan sebagai pintu masuk selanjutnya untuk anestetik.
Penyuntikannya harus dilakukan secara teliti, sedikit demi sedikit supaya tidak menyebabkan
nyeri.
2. Anestesi lapangan
Merupakan penyuntikan anestetik subkutan sedemikian rupa sehingga terjadi anestesia di
distal penyuntikan.

Peringatan yang berhubungan dengan anestetik lokal


Tanyakan dalam anamnesis apakah penderita pernah menerima suntikan anestetik lokal
Jangan tinggalkan penderita setelah dilakukan anestetik lokal
Sewaktu penyuntikan anestetik lokal , sebaiknya penderita dibaringkan
Perhatikan tindak asepsis
Ingat kontraindikasi penggunaan vasokonstriktor
Pakai vasokonstriktor bila ada kemungkinan penyerapan cepat
Pakai vasokonstriktor bila diperlukan anestesia untuk waktu lama
Pakai persentase obat anestesia serendah mungkin
Berikan dosis yang memadai
Berikan pada tempat yang tepat
Cegah iskemia kompresi
Hindari penyuntikan intravaskuler

98
Sediaan lidokain
Mula lamakerja
kerja
Anestetik % Dosis
maksimal
(ml)
Lidokain 2% 10 5
menit
Lidokain+adrenalin 2% 25 5 70 menit
menit

Penjahitan luka
Ada tiga hal yang menentukan pemilihan jenis benang jahit, yaitu jenis bahannya,
kemampuan tubuh untuk menyerapnya dan susunan filamennya. Benang yang dapat diserap
melalui reaksi enzimatik pada cairan tubuh kini banyak dipakai Penyerapan benang oleh jaringan
dapat berlangsung antara tiga hari sampai tiga bulan bergantung pada jenis benang dan kondisi
jaringan yang dijahit.
Menurut bahan asalnya, benang dibagi dalam benang yang terbuat dari usus domba
(catgut) dan dibedakan dalam catgut murni yang tanpa campuran dan catgut kromik yang
bahannya bercampur larutan asam kromat. Catgut murni cepat diserap, kira-kira dalam waktu
satu minggu, sedangkan catgut cromik diserap lebih lama, kira-kira 2-3 minggu.
Disamping itu, ada benang yang terbuat dari bahan sintetik, baik dari asam poliglikolik
maupun dari poliglaktin dan memiliki daya tegang yang besar. Benang ini dapat dipakai pada
semua jaringan termasuk kulit. Benang yang dapat diserap menimbulkan reaksi jaringan
setempat yang dapat menyebabkan fistel benang atau infiltrat jaringan yang mungkin ditandai
indurasi. Benang yang tidak dapat diserap oleh tubuh umumnya tidak menimbulkan reaksi
jaringan karena bukan merupakan bahan biologik. Benang ini dapat berasal dari sutra yang sangat
kuat dan liat, dari kapas yang kurang kuat dan mudah terurai, dan dari poliester yang merupakan
bahan sintetik yang kuat dan biasanya dilapisi teflon.selain itu terdapat pula benang nilon yang
berdaya tegang besar, yang dibuat dari polipropilen, dan baja yang terbuat dari baja tahan karat.
Karena tidak dapat diserap maka benang akan tetap berada di jaringan tubuh. Benang jenis
ini biasanya dipakai pada jaringan yang sukar sembuh. Bila terjadi infeksi akan terbentuk fistel
yang baru dapat sembuh setelah benang yang bersifat benda asing, dikeluarkan.
Benang alami terbuat dari bahan sutra atau kapas. Kedua bahan alami ini dapat bereaksi
dengan jaringan tubuh meskipun minimal karena mengandung juga bahan kimia alami. Daya
tegangnya cukup dan dapat diperkuat bila dibasahi terlebih dahulu dengan larutan garam
sebelum digunakan.
Benang sintetik terbuat dari poliester, nilon, atau polipropilen yang umumnya dilapisi oleh
bahan pelapis teflon atau dakron. Dengan lapisan ini permukaannya lebih mulus sehingga tidak
mudah bergulung atau terurai. Benang ini mempunyai daya tegang yang besar dan dipakai untuk
jaringan yang memerlukan kekuatan penyatuan yang besar.
Menurut bentuk untaian seratnya, benang dapat berupa monofilamen bila hanya terdiri
atas satu serat saja dan polifilamen bila terdiri atas banyak serat yang diuntai menjadi satu.
99
Ukuran benang merupakan salah satu faktor yang menentukan kekuatan jahitan. Oleh karena
itu, pemilihan ukuran benang untuk menjahit luka bedah bergantung pada jaringan apa yang
dijahit dan dengan mempertimbangkan faktor kosmetik. Sedangkan kekuatan jaringan ini
ditentukan oleh jumlah jahitan yang dibuat, jarak jahitan, dan jenis benangnya. Pada daerah
wajah digunakan ukuran yang kecil (5,0 atau 6,0)

Ukuran dan jenis benang untuk berbagai jaringan


Lokasi penjahitan Jenis benang Ukuran
Fasia Semua 2.0-1
Otot Semua 3.0-0
Kulit Tak terserap 2.0-6.0
Lemak Terserap 2.0-3.0
Hepar Kromik catgut 2.0-0
Ginjal Semua catgut 4.0
Pankreas Sutera, kapas 3.0
Usus halus Catgut, sutera, kapas 2.0-3-0
Usus besar Kromik catgut 4.0-0
Tendo Tak terserap 5.0-30
Kapsul sendi Tak terserap 3.0-20
Peritoneum Kromik catgut 3.0-20
Bedah mikro Tak terserap 7.0-11-0

100
Tabel SUTURE SELECTION
SUTURE * CHARACTERISTICS AND FREQUENT USES
Vicryl, Dexon Absorbable; 60-90 days. Ligate or suture tissues where an absorbable
suture is desirable.
PDS or Maxon Absorbable; 6 months. Ligate or suture tissues especially where an
absorbable suture and extended wound support is desirable
Prolene Nonabsorbable, Inert.
Nylon Nonabsorbable. Inert. General closure.
Silk Nonabsorbable. (Caution: Tissue reactive and may wick microorganisms
into the wound). Excellent handling. Preferred for cardiovascular
procedures.
Chromic Gut Absorbable. Versatile material.
Stainless Steel Nonabsorbable. Requires instrument for skin removal.
Wound Clips,
Staples

The use of common brand names as examples does not indicate a product endorsement.
Suture gauge selection: Use the smallest gauge suture material that will perform adequatel

Jarum jahit bedah


Jarum jahit bedah, yang lurus maupun yang lengkung, berbeda-beda bentuknya. Perbedaan
bentuk ini pada penampang batang jarum yang bulat atau bersegi tajam, dan bermata atau tidak
bermata. Panjang jarum pun beragam dari 2-60 mm.
Masing-masing berbeda kegunaannya, berbeda cara mempersiapkan dan memasang
benangnya. kelengkungan jarum berbeda untuk kedalaman jaringan yang berbeda, sedangkan
penampang batang jarum dipilih berdasarkan lunak kerasnya jaringan. Jarum yang sangat

101
lengkung untuk luka yang dalam dan penampang yang bulat untuk jaringan lunak dan yang
bersegi untuk kulit. Jarum yang bermata akan membuat lubang tusukan lebih besar, sedangkan
jarum yang tidak bermata yang disebut atraumatik akan membuat lubang yang lebih halus.

Jenis jahitan
Jenis jahitan yang umum dipakai adalah:
o Jahitan tunggal/ terputus/ interuptus
o Jahitan jelujur/ kontinyu
o Jahitan jelujur/ kontinyu terkunci
o Jahitan matras vertikal
o Jahitan matras horisontal.

Perawatan luka bedah:


Biasanya luka bedah yang selesai dijahit ditutup dengan alasan untuk melindungi dari
infeksi, di samping agar cairan luka yang keluar terserap, luka tidak kekeringan, dan luka tidak
tergaruk oleh penderita. Selain itu, perdarahan dihentikan dengan memberi sedikit tekanan pada
luka. Jenis penutup luka dapat berupa kasa yang diolesi vaselin atau salep antibiotik, atau kasa
kering.
Sebenarnya luka operasi yang kering yang ditutup primer lebih baik dibiarkan terbuka,
tetapi umumnya secara psikologis kurang berkenan bagi penderita maupun keluarganya.
Penutup luka yang sudah basah oleh darah atau cairan luka harus diganti. Penggantiannya
harus dilakukan dengan tehnik aseptik. pada kesempatan mengganti balutan ini, sekaligus dicari
kemungkinan asal perdarahan atau kebocoran cairan luka tersebut. Kemudian sumber kebocoran
harus ditangani, misalnya dengan tindakan hemostasis. Bila tidak dipasang penyalir pada luka
bedah, penutup luka dapat dibiarkan sampai 48 jam pasca bedah agar tujuan penutupan luka
dapat dicapai.
Luka bedah perlu diawasi pada masa pascabedah. Luka tidak perlu dilihat setiap hari
dengan membuka penutup luka, kecuali jika ada gejala atau tanda gangguan penyembuhan luka
atau radang. Bila luka sudah kuat dan sembuh primer, jahitan atau benangnya dapat diangkat.
Saat pengambilan benang tergantung pada kondisi luka waktu diperiksa. Umumnya luka didaerah
wajah memerlukan waktu 3-4 hari, di daerah lain 7-10 hari. Salah satu faktor penting dalam
menentukan saat pencabutan jahitan adalah tegangan pada tepi luka bedah. Tepi luka yang
searah dengan garis lipatan kulit tidak akan tegang, sementara luka yang arahnya tegak lurus
terhadap garis kulit atau yang dijahit setelah banyak bagian kulit diambil, akan menyebabkan
ketegangan tepi luka yang besar. Dalam hal ini pengambilan jahitan harus ditunda lebih lama
sampai dicapai kekuatan jaringan yang cukup sehingga bekas jahitan tidak mudah terbuka lagi.

Saat pengangkatan jahitan


Daerah jahitan Saat pengangkatan
(hari ke-)
Wajah (termasuk 4
kelopak mata dan 5
lidah) 6-7
Skrotum 7

102
Kulit kepala
Tangan dan jari 7-9
Dinding perut 9-11
Sayatan 11-12
lintang
Sayatan
vertikal
Pinggang dan bahu

ALAT DAN BAHAN:


Bahan:
NaCl fisiologis
Povidon Iodine 10%
Perhidrol 3%
Lidocain 2%
Klorin 0,5%
Kasa steril
Plester
Spuit 3cc
Benang side no 3.0
Benang catgut no. 3.0

Alat:
Minor set steril, terdiri:
Jenis alat Jumlah
wadah dari logam 1 Buah
needle holder/ pemegang jarum 1 Buah
jarum dengan ujung segi tiga 1 Buah
jarum dengan ujung bulat 1 Buah
Pinset anatomi 1 Buah
Pinset chirrurgis 1 buah
Gunting Benang 1 buah
Gunting jaringan 1 buah
Klem arteria berujung lurus/ 3 buah
bengkok 1 buah
Kain steril

103
PROSEDUR TINDAKAN/ PELAKSANAAN

1. Menentukan jenis luka


menilai bentuk luka : teratur/tidak
menilai tepi luka : teratur/tidak, jembatan jaringan
menilai luas luka : panjang dan lebar dalam cm
menilai kedalaman luka : dalam cm
2. Memberikan penjelasan dan meminta persetujuan tindakan medik:
a. menjelaskan kondisi luka
b. menjelaskan prosedure tindakan
c. menjelaskan tujuan tindakan,keuntungan dan kerugian
d. meminta persetujuan tindakan
3. Menyiapkan peralatan yang diperlukan dalam keadaan steril
4. Menentukan jenis benang dan jarum yang diperlukan
5. Memilih antiseptik, desinfektan yang diperlukan
6. Melakukan cuci tangan secara foerbringer
7. Memakai sarung tangan steril
8. Melakukan tindakan aseptik anti septik
dimulai dari tengah ke tepi secara sentrifugal
menggunakan kasa dan povidon iodine
3. Melakukan anestesi lokal (secara infiltrasi atau lapangan)
cara: menusukkan jarum sub kutan menyusuri tepi luka sampai seluruh luka teranestesi dengan
baik. Lakukan aspirasi untuk memastikan bahwa ujung jarum tidak masuk pembuluh darah
(terlihat cairan darah dalam spuit). infiltrasikan lidokain bersamaan waktu menarik mundur
jarum 2-4 cc (tergantung luas luka)
10. Melakukan debridemen luka
cara : Setelah luka teranestesi dengan baik, desinfeksi luka menggunakan perhidrol 3%, agar
kotoran yang menempel terangkat. Untuk mengangkat tanah/ pasir yang melekat dapat
menggunakan kasa atau sikat halus. Lanjutkan dengan irigasi menggunakan NaCl fisiologis
sampai semua kotoran terangkat.
11. Pasang kain steril.
12. Lakukan eksplorasi luka untuk mencari perdarahan aktif, jaringan-jaringan mati/ rusak.
Perdarahan dari vena cukup dihentikan dengan penekanan menggunakan kasa steril beberapa
detik. Perdarahan arterial dihentikan dengan jahitan ligasi. Jaringan mati/ rusak dibuang
menggunakan gunting jaringan. Lakukan aproksimasi tepi luka. Buang tepi luka yang mati, tidak
teratur. Passing the needle through the vessel before securing the tie around the vessel.

Place a second free tie below the suture ligature.

104
13. Desinfeksi menggunakan povidon Iodine
14. Menjahit luka
a. Gunakan needle holder untuk memegang jarum. Jepit jarum pada ujung pemegang jarum
pada pertengahan atau sepertiga ekor jarum. Jika penjepitan kurang dari setengah jarum,
akan sulit dalam menjahit. Pegang needle holder dengan jari-jari sedemikian sehingga
pergelangan tangan dapat melakukan gerakan rotasi dengan bebas.
b. masukkan ujung jarum pada kulit dengan jarak dari tepi luka sekitar 1cm, membentuk
sudut 90
c. dorong jarum mengikuti kelengkungan jarum.
d. Jahit luka lapis-demi lapis dari yang terdalam. Aproksimasi tepi luka harus baik.
e. Penjahitan luka bagian dalam menggunakan benang yang dapat di serap atau
monofilament.
f. Jarak tiap jahitan sekitar 1cm. Jahitan yang terlalu jarang luka kurang menutup dengan
baik. Bila terlalu rapat meningkatkan trauma jaringan dan reaksi inflamasi.

melakukan jahit luka/ suture interuptus

105
melakukan jahit luka/ suture jelujur

melakukan jahit luka/ suture jelujur terkunci

melakukan jahit luka/ suture matras vertikal

melakukan jahit luka/ suture matras horisontal

15. Melakukan dressing


Setelah penjahitan selesai, lakukan eksplorasi. Jahitan yang terlalu ketat/ kendor diganti.
Desinfeksi luka dengan povidone iodine. Tutup dengan kasa steril beberapa lapis untuk
menyerap discharge yang mungkin terbentuk. Dan diplester
16. Melakukan dekontaminasi:
Untuk menghindari penularan penyakit yang menular lewat serum/ cairan tubuh. Alat-alat
direndam dalam larutan klorin 0,5% selama 10 menit.
17. Memberikan edukasi perawatan luka
Berikan edukasi tentang makanan, cara merawat luka, mengganti kasa. Waktu kontrol.
18. Menentukan prognosis penyembuhan

106
Menjelaskan lama penyembuhan, waktu pengangkatan jahitan, hasil jahitan, penyulit-
penyulit yang mempengaruhi penyembuhan luka.

DAFTAR PUSTAKA

1. Ahmadsyah Ibrahim. Ed: Luka, dalam: Syamsuhidajat R, Wim de Jong, ed. Buku Ajar Ilmu
Bedah. Ed 2. Jakarta: EGC. 2004: 66-88
2. Saefudin abdul Bari, Adriaansz george, Wiknjosastro Gulardi Hanifa, Waspodo Djoko, ed. Buku
Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Ed. 1. Jakarta: JNPKKR-POGI.
2000: 45-54
3. Wijdjoseno-Gardjito. Ed: Anestesia, dalam: Syamsuhidajat R, Wim de Jong, ed. Buku Ajar Ilmu
Bedah. Ed 2. Jakarta: EGC. 2004: 239-264
4. Wijdjoseno-Gardjito. Ed: Pembedahan, dalam: Syamsuhidajat R, Wim de Jong, ed. Buku Ajar
Ilmu Bedah. Ed 2. Jakarta: EGC. 2004: 265-288
5. Karnadihardja Warko. Ed: Penyulit pascabedah, dalam: Syamsuhidajat R, Wim de Jong, ed.
Buku Ajar Ilmu Bedah. Ed 2. Jakarta: EGC. 2004: 293-303
6. Surgical Care at the District Hospital.htm
7. ResidentNet-Wound Closure-clinical update.htm

107
CHECKLIST HECTING
Nama :
NIM
Nilai
No. Aspek yang dinilai
0 1 2
1 Memberi salam dan memperkenalkan diri
Memeriksa luka (lokasi, luas, jenis: robek/ sayat/ lecet, fraktur, tanda
2 infeksi)
3 Persetujuan tindakan medik
4 Persiapan pasien ( menenangkan pasien, posisi)
5 Mempersiapkan anestesi
6 Mencuci tangan ( pemakain sikat hanya nice to know )
7 Memakai sarung tangan steril
8 Melakukan aseptik antiseptic ( gerakan sentrifugal )
9 Melakukan anestesi lokal ( infiltrasi)
10 Melakukan debridemen (irigasi Nacl, perhidrol, irigasi NaCl, Povidon)
11 Memasang doek steril
12 Jahit kulit terputus ( jahitan kuat, jarak cukup )
13 Bersihkan luka dengan kasa povidon
14 Menutup luka dengan kasa povidon & kasa steril
15 Dekontaminasi
16 Cuci tangan pasca tindakan
TOTAL SCORE

Keterangan:
0 = tidak dilakukan/disebut sama sekali
1 =dilakukan tapi kurang sempurna
2 =disebut/ dilakukan dengan sempurna

Nilai = Total skor (.) x 100 %


32
Purwokerto, 2015
Evaluator

108
XIII. INJEKSI

SKILL LAB INJEKSI

Pemberian obat parenteral merupakan pemberian obat yang dilakukan dengan menyuntikkan
obat tersebut ke jaringan tubuh. Pemberian obat melalui parenteral dapat dilakukan dengan
cara:
Subcutaneous (SC) yaitu menyuntikkan obat ke dalam jaringan yang berada dibawah
lapisan dermis.
Intradermal (ID) yaitu menyuntikkan obat ke dalam lapisan dermis, dibawah epidermis
Intramuscular (IM) yaitu muenyontikkan obat ke dalam lapisan otot tubuh
Intravenous (IV) yaitu menyuntikkan obat ke dalam vena
Selain keempat cara diatas, dokter juga sering menggunakan cara intrathecal.atau intraspinal,
intracardial, intrapleural, intraarterial dan intraarticular untuk pemberian obat perenteral ini.

Pemberian obat harus sesuai dengan prinsip 5 benar:


Benar Klien : Periksa nama klien, nomer RM, ruang, nama dokter yang meresepkan pada
catatan pemberian obat, catatan pemberian obat, kartu obat dan gelang identitas pasien
Benar Obat: Memastikan bahwa obat generik sesuai dengan nama dagang obat, klien tidak
alergi pada kandungan obat yang didapat. memeriksa label obat dengan catatan pemberian
obat
Benar Dosis : Memastikan dosis yang diberikan sesuai dengan rentang pemberian dosis untuk
cara pemberian tersebut, berat badan dan umur klien; periksa dosis pada label obat untuk
membandingkan dengan dosis yang tercatat pada catatan pemberian obat; lakukan
penghitungan dosis secara akurat.
Benar Waktu : periksa waktu pemberian obat sesuai dengan waktu yang tertera pada catatan
pemberian obat (misalnya obat yang diberikan 2 kali sehari, maka pada catatan pemberian
obat akan tertera waktu pemberian jam 6 pagi, dan 6 sore)
Benar Cara : memeriksa label obat untuk memastikan bahwa obat tersebut dapat diberikan
sesuai cara yang diinstruksikan, dan periksa cara pemberian pada catatan pemberian obat.
Beberapa hal yang harus diperhatikan saat menyiapkan obat:
Saat menyiapkan beberapa obat seperti heparin, insulin, digoxin lakukan pemeriksaan
ulang.
Jangan membuka bungkus obat jika dosis obat belum pasti. Buka sebelum diberikan pada
klien.
Ketika menyiapkan obat topikal, nasal, opthalmic dan obat-obat dan kardus obat, ambil
obat dari kotaknya dan periksa label untuk memastikan isinya sesuai.
Saat mengambil pil dan botol, tuangkan pil tersebut pada tutupnya kemudian letakkan
pada tempat obat.
Tuangkan obat cair tidak pada bagian labelnya. Baca jumlah obat yang dituang pada dasar
meniscus.

109
Pisahkan obat-obat yang memerlukan data pengkajian awal, seperti tanda vital.
Periksa tanggal kadaluarsa obat saat menyiapkannya.

Untuk mencegah masuknya mikroorganisme ke dalam tubuh, obat disiapkan dan


diberikan dengan menggunakan prinsip steril. Larutan obat, jarum dan spuit yang telah
terkontaminasi, akan menyebabkan terjadinya infeksi. Obat-obat yang diberikan melalui
parenteral ini diabsorbsi lebih cepat dibandingkan obat yang diberikan melalui sistem
gastrointestinal, karena obat tidak perlu melewati barier jaringan epitel pada organ
gastrointestinal sebelum akhirnya masuk ke dalam sirkulasi darah. Obat intra muscular
diabsorbsi lebih cepat daripada oabt subcutaneous atau ontradermal, karena otot memiliki
jaringan pembuluh darah yang lebih banyak daripada kulit atau jaringan subkutan. Obat
intradermal merupakan obat yang diabsorbsi paling lambat karena obat harus melalui beberapa
jaringan epitel sebelum akhirnya masuk kedalam pembuluh darah. Karena itu cara intradermal
digunakan untuk menyuntikkan zat asing untuk mengetahui reaksi organ dan jaringan terhadap
adanya alergi, yang biasa disebut skin test. Absorbsi melalui subcutaneos relatif lambat tetapi
efektif untuk absobsi sejumlah obat yang tidak diabsorbsi melalui sistem gastointestinal.

Keuntungan pemberian obat melalui parenteral adalah obat dapat diabsorbsi dengan
cepat melalui pembuluh darah. Cara parenteral ini dapat dilakukan jika obat tidak dapat
diabsorbsi melalui sistem gastrointestinal atau malah akan dihancurkan olehnya. Obat juga
diberikan pada klien yang tidak sadar atau tidak kooperatif yang tidak dapat atau tidak mau
menelan obat oral.
Disamping keuntungan diatas, terdapat beberapa kerugian pada pemberian obat melalui
parenteral ini. Klien, terutama anak-anak akan merasa cemas jika akan disuntuk. Penyuntikan
akan menyebabkan timbulnya rasa nyeri dan tidak nyaman pada klien. Iritasi atau reaksi lokal
dapat terjadi akibat efek obat pada jaringan. Pemberian obat melalui parenteral juga dapat
menyebabkan terjadinya infeksi, kerena itu diperlukan penggunaaan tehnik steril untuk
menyiapkan dan memberikan obat ini. Pemberian obat perenteral ini kontraindikasi untuk klien
yang mengalami masalah perdarahan atau sedang mendapatkan terapi antikoagulan.
Obat yang disuntikkan ke dalam tubuh dapat berupa larutan cair atau suspensi. Larutan
cair disiapkan dalam tiga bentuk : ampul, vial dan unit disposible. Untuk memberikan obat
melalui parenteral ini diperlukan spuit yang ukurannya bervariasi dari 0,5 ml nirigga 50 ml. Spuit
yang lebih dari 5 ml jarang digunakan untuk menyuntik SC atau IM. Spuit yang lebih besar
biasanya digunakan untuk menyuntikkan obat melalui IV. Spuit insulin berukuran 0,5 - 1 ml dan
dikalibrasi dalam unit. Spuit tuberkulin berukuran 1 ml dan dikalibrasi dalam mililiter. Spuit
tuberkulin ini digunakan untuk memberikan obat dibawah ml.
Obat dalam ampul dan vial dipersiapkan dengan menggunakan teknik aseptik dan
diberikan melalui parenteral. Sebelumnya perlu diperhatikan dan dikaji kondisi larutan
(kejernihan cairan, adanya/tidaknya endapan, warna cairan sesuai dengan label) serta tanggal
kadaluarsa obat pada label vial. Beberapa hal yang perlu diperhatikan saat menyiapkan obat
dan vial:
Jika obat perlu dicampurkan, ikuti petunjuk pada vial
Pertahankan kesterilan spuit, jarum dan obat saat menyiapkannya.

110
Perlu pencahayaan yang baik saat menyiapkan obat ini.
Buang bekas ampul pada tempat khusus setelah dibungkus dengan kertas tissue

PROSEDUR:
1. Cuci tangan
2. Siapkan alat-alat
3. Periksa label obat dengan catatan pemberian obat atau kartu obaf sesuai prinsip 5 benar
4. Lakukan perhitungan dosis sesuai yang diperlukan
5. Pegang ampul dan turunkan cairan di atas leher ampul dengan menjentikkan leher ampul
atau putarkan dengan cara merotasjikan pergelangan tangan
6. Usapkan kapas alkohol di sekeliling leher ampul dengan tangan dominan, tempatkan jari
tangan non dominan di sekeiiling bagian bawah ampul dengan ibu jari melawan sudut
7. Patahkan tutup ampul dengan menjauhi diri dan orang yang ada di dekat anda
8. Tempatkan tutup ampul pada kertas atau buang di tempat khusus
9. Buka tutup jarum
10. Tekan plunger hingga habis, jangan aspirasi udara ke dalam spuit

Hal-hal yang harus diperhatikan :


- Alergen yang digunakan untuk test dapat menyebabkan reaksi sensitivitas atau alergi.
- Yakinkan tersedianya obat antidot (epinephrine hydrochloride, bronchodilator dan
antihistamin) di unit sebelum dimulai
- Reaksi alergi atau sensitivitas ini dapat FATAL

Pengkajian sebelum injeksi dilakukan, difokuskan pada:


Program pemberian obat dari dokter
Tempat penusukan terakhir, alergi dan respon Klien pada penyuntikan sebelumnya, yang
tercatat pada catatan keperawatan klien
Tanda-tanda pada tempat tusukan (memar, kemerahan, kerusakan kulit, nodul atau edema)
Faktor yang menentukan ukuran jarum yang sesuai (umur dan ukuran tubuh klien, tempat
injeksi, viskositas dan efek sisa dan obat)

111
Hal-hal yang perlu diperhatikan :
Jika obat mual atau nyeri diberikan dalam bentuk yang berbeda (oral, parenteral atau
rektal), biarkan Klien memilih sebelum menyiapkan obat.
Jika klien confuse, diperlukan bantuan untuk menstabilkan tempat tusukan dan mencegah
kerusakan jaringan dari jarum

ALAT DAN BAHAN YANG DIBUTUHKAN:


a. Spuit dengan ukuran sesuai dengan obat yang akan disuntikkan
b. Jarum 23 G
c. Vial berisi obat
d. Ampul obat
e. Kapas alkohol bulat
f. Wadah kapas alkohol
g. Alkohol 70%
h. Wadah berisi povidon iodin
i. Plester
j. Gunting
k. Wadah berisi kassa lipat
l. Hipafix
m. Tournikuet
n. Bengkok
o. Alas kain
p. Sarung tangan
q. Alat tulis

Tempat injeksi IM

112
113
PENILAIAN KETRAMPILAN INJEKSI INTRADERMAL/INTRACUTAN
NAMA :
NIM :

No Aspek yang dinilai Nilai


0 1 2
Tahap Pra Interaksi
1 Melakukan verifikasi data sebelumnya bila ada
(mencocokkan identitas pasien dengan obat yang akan
diberikan,dosis, cara pemberian dll)
2 Mencuci tangan
3 Menempatkan alat di dekat pasien dengan benar:sarung
tangan 1 pasang, spuit, bak spuit 1 (steril), kapas alkohol 70
%, Pengalas, obat sesuai program terapi, bengkok, kassa
dan plester, buku injeksi / daftar obat
Tahap Orientasi
4 Memberikan salam sebagai pendekatan terapeutik,
memperkenalkan diri
5 Menjelaskan tujuan dan prosedur tindakan pada keluarga /
klien
6 Menanyakan kesiapan klien sebelum kegiatan dilakukan
Tahap Kerja
7 Mengatur posisi pasien sesuai tempat suntikan
8 Membebaskan daerah yang akan diinjeksi
9 Memasang pengalas
10 Memakai sarung tangan
11 Menyiapkan obat yang akan diinjeksikan masukkan dalam
spuit dan letakkan pada bak spuit
12 Membersihkan kulit dengan kapas alkohol (melingkar dari
arah dalam ke arah luar) biarkan kering

114
13 Menggunakan ibu jari & telunjuk untuk meregangkan kulit
14 Menusukkan spuit yang telah berisi obat dengan sudut 15-
20 derajat,lubang jarum menghadap ke atas, jarum masuk
kurang lebih 0,5 cm
15 Lakukan aspirasi*
16 Memasukkan obat ke dalam kulit perlahan, pastikan ada
penonjolan
17 Mencabut jarum dari tempat tusukan, jika ada darah usap
dengan lembut menggunakan kapas alkohol baru
18 Memberi tanda lingkaran pada sekitar tusukan (tindakan
skin test)
19 Membuang spuit ke dalam bengkok
Tahap Terminasi
20 Melakukan evaluasi tindakan (hematoma, reaksi sistemik
misalnya sulit bernafas, pingsan, berkurangnya tekanan
darah, mual, muntah, sianosis)
21 Berpamitan dengan klien (memberi tahu bahwa tindakan
telah selesai dilakukan)
22 Membereskan alat-alat
23 Mencuci tangan
24 Dokumentasi
TOTAL SKOR=skor/48x100
KET: * = CRITICAL POINT jika tidak dilakukan tidak lulus
Keterangan:
0 = tidak dilakukan/disebut sama sekali
1 =dilakukan tapi kurang sempurna
2 =disebut/ dilakukan dengan sempurna

Nilai = Total skor (.) x 100 %


48
Purwokerto, 2015
Evaluator

115
PENILAIAN KETRAMPILAN INJEKSI SUBCUTAN

NAMA :
NIM :
Tahap Pra Interaksi 0 1 2
1 Melakukan verifikasi data sebelumnya bila ada (mencocokkan
identitas pasien dengan obat yang akan diberikan,dosis, cara
pemberian dll)
2 Mencuci tangan
3 Menempatkan alat di dekat pasien dengan benar:sarung
tangan 1 pasang, spuit, bak spuit 1 (steril), kapas alkohol 70
%, Pengalas, obat sesuai program terapi, bengkok, kassa dan
plester, buku injeksi / daftar obat
Tahap Orientasi
4 Memberikan salam sebagai pendekatan terapeutik,
memperkenalkan diri
5 Menjelaskan tujuan dan prosedur tindakan pada keluarga /
klien
6 Menanyakan kesiapan klien sebelum kegiatan dilakukan
Tahap Kerja
7 Mengatur posisi pasien sesuai tempat suntikan
8 Membebaskan daerah yang akan diinjeksi
9 Memasang pengalas
10 Memakai sarung tangan
11 Menyiapkan obat yang akan diinjeksikan, masukkan ke dalam
spuit dan letakkan pada bak spuit
12 Membersihkan kulit dengan kapas alkohol (melingkar dari
arah dalam ke luar) biarkan kering
13 Menggunakan ibu jari & telunjuk untuk mengangkat kulit
(seperti mencubit) bila perlu
14 Menusukkan spuit yang telah berisi obat dengan lubang
jarum menghadap ke atas, dengan sudut 30 derajat

116
15 Melakukan aspirasi dan pastikan tidak ada darah yang masuk
ke dalam spuit*
16 Memasukkan obat ke dalam sub cutan secara perlahan
17 Mencabut jarum sambil menekan dengan kapas alkohol
18 Membuang spuit ke dalam bengkok
Tahap Terminasi
19 Melakukan evaluasi tindakan (hematoma, reaksi sistemik
misalnya sulit bernafas, pingsan, berkurangnya tekanan
darah, mual, muntah, sianosis)
20 Berpamitan dengan klien (memberi tahu bahwa tindakan
telah selesai dilakukan)
21 Membereskan alat-alat
22 Mencuci tangan
23 Dokumentasi
TOTAL SKOR = skor/46x100
KET: * = CRITICAL POINT jika tidak dilakukan tidak lulus
Keterangan:
0 = tidak dilakukan/disebut sama sekali
1 =dilakukan tapi kurang sempurna
2 =disebut/ dilakukan dengan sempurna

Nilai = Total skor (.) x 100 %


26
Purwokerto, 2015
Evaluator

117
PENILAIAN KETRAMPILAN INJEKSI INTRAMUSKULAR
NAMA :
NIM :

Tahap Pra Interaksi 0 1 2


1 Melakukan verifikasi data sebelumnya bila ada (mencocokkan
identitas pasien dengan obat yang akan diberikan,dosis, cara
pemberian dll)
2 Mencuci tangan
3 Menempatkan alat di dekat pasien dengan benar:sarung
tangan 1 pasang, spuit, bak spuit 1 (steril), kapas alkohol 70 %,
Pengalas, obat sesuai program terapi, bengkok, kassa dan
plester, buku injeksi / daftar obat
Tahap Orientasi
4 Memberikan salam sebagai pendekatan terapeutik,
memperkenalkan diri
5 Menjelaskan tujuan dan prosedur tindakan pada keluarga /
klien
6 Menanyakan kesiapan klien sebelum kegiatan dilakukan
Tahap Kerja
7 Mengatur posisi pasien sesuai tempat suntikan
8 Membebaskan daerah yang akan diinjeksi (deltoid; femur
(pars lateralis); gluteus (ditarik garis dari SIAS
os.coxygeus;1/3 lateral atas)
9 Memasang pengalas
10 Memakai sarung tangan
11 Menyiapkan obat yang akan diinjeksikan (masukkan dalam
spuit)

118
12 Membersihkan kulit dengan kapas alkohol (melingkar dari
arah dalam ke arah luar) biarkan kering
13 Menggunakan ibu jari & telunjuk untuk meregangkan kulit
14 Menusukkan spuit yang telah berisi obat dengan lubang jarum
menghadap ke atas, dengan sudut 90 derajat, jarum masuk
sampai 2/3
15 Melakukan apirasi dan pastikan darah tidak masuk spuit*
16 Memasukkan obat secara perlahan
17 Mencabut jarum dari tempat tusukan
18 Menekan daerah tusukan dengan kapas desinfektan
19 Membuang spuit ke dalam bengkok
Tahap Terminasi
20 Melakukan evaluasi tindakan (hematoma, reaksi sistemik
misalnya sulit bernafas, pingsan, berkurangnya tekanan
darah, mual, muntah, sianosis)
21 Berpamitan dengan klien (memberi tahu bahwa tindakan
telah selesai dilakukan)
22 Membereskan alat-alat
23 Mencuci tangan
24 Dokumentasi
TOTAL SKOR=skor/48x100
KET: * = CRITICAL POINT jika tidak dilakukan tidak lulus
Keterangan:
0 = tidak dilakukan/disebut sama sekali
1 =dilakukan tapi kurang sempurna
2 =disebut/ dilakukan dengan sempurna

Nilai = Total skor (.) x 100 %


48
Purwokerto, 2015
Evaluator

119
PENILAIAN KETRAMPILAN INJEKSI INTRAVENA
NAMA :
NIM :

Tahap Pra Interaksi 0 1 2


1 Melakukan verifikasi data sebelumnya bila ada (mencocokkan
identitas pasien dengan obat yang akan diberikan,dosis, cara
pemberian dll)
2 Mencuci tangan
3 Menempatkan alat di dekat pasien dengan benar:sarung
tangan 1 pasang, spuit, bak spuit 1 (steril), kapas alkohol 70 %,
Pengalas, obat sesuai program terapi, bengkok, kassa dan
plester, buku injeksi / daftar obat
Tahap Orientasi
4 Memberikan salam sebagai pendekatan terapeutik,
memperkenalkan diri
5 Menjelaskan tujuan dan prosedur tindakan pada keluarga /
klien
6 Menanyakan kesiapan klien sebelum kegiatan dilakukan
Tahap Kerja
7 Mengatur posisi pasien dan pilih vena dari arah distal
8 Membebaskan daerah yang akan diinjeksi
9 Memasang pengalas
10 Menyiapkan obat yang akan diinjeksikan masukkan dalam
spuit dan letakkan pada bak spuit
11 Meletakkan torniquet 5 cm proksimal yang akan ditusuk
12 Ikatkan torniquet, pertahankan vena pada posisi stabil
13 Memakai hand schoen
14 Membersihkan kulit dengan kapas alkohol (melingkar dari
arah dalam ke arah luar) biarkan kering

120
15 Memegang spuit yang sudah berisi obat dengan sudut 30
derajat
16 Menusuk vena dengan kemiringan 30 derajat dan lubang
jarum menghadap ke atas
17 Melakukan aspirasi dan pastikan darah masuk spuit*
18 Membuka torniquet*
19 Memasukkan obat secara perlahan
20 Mencabut spuit sambil menekan daerah tusukan dengan
kapas alkohol 70 %
21 Menutup daerah tusukan dengan plester luka
22 Membuang spuit ke dalam bengkok
Tahap Terminasi
23 Melakukan evaluasi tindakan (hematoma, reaksi sistemik
misalnya sulit bernafas), pingsan, berkurangnya tekanan
darah, mual, muntah, sianosis)
24 Berpamitan dengan klien (memberi tahu bahwa tindakan
telah selesai dilakukan)
25 Membereskan alat-alat
26 Mencuci tangan
27 Dokumentasi
TOTAL SKOR = skor/54x100
KET: * = CRITICAL POINT jika tidak dilakukan tidak lulus
Keterangan:
0 = tidak dilakukan/disebut sama sekali
1 =dilakukan tapi kurang sempurna
2 =disebut/ dilakukan dengan sempurna

Nilai = Total skor (.) x 100 %


54
Purwokerto, 2015
Evaluator

121
TATA TERTIB PRAKTIKUM SKILL LAB

1. Mahasiswa mengkonfirmasi/ mengingatkan trainer skill lab minimal 1 hari sebelum


jadwal skill lab

2. Mahasiswa wajib menggunakan jas skill lab pada saat skill lab

3. Mahasiswa wajib dating tepat waktu sesuai jadwal / sesuai perjanjian dengan trainer skill
lab

4. Mahasiswa wajib mengikuti 12 skill lab jadwal setiap hari selasa jam 13.00 / sesuai dengan
perjanjian trainer, jika berhalangan hadir mahasiswa boleh mengikuti skill lab dengan
kelompok lain dengan terlebih dahulu ijin trainer skill lab

5. Jika ada salah satu skill lab yang tidak diikuti sampai pada waktunya ujian skill lab di akhir
semester maka mahasiswa tidak boleh mengikuti ujian OSCE

6. Batas kelulusan ujian osce diambil dari rata rata dari stase yang di ujikan, batas minimal
kelulusan lebih dari/ sama dengan 66 dan tidak ada ujian remidi OSCE

7. Jika ada trainer skill lab yang berhalangan hadir bias menghubungi admin skill lab Heri
( 085726537118 )

122

You might also like