You are on page 1of 6

TINJAUAN PUSTAKA

Bullying Menyebabkan Gangguan Mental

Penyaji

dr. Fransiskus Tommy Herlimus NIM 1514058201

Pembimbing

dr. I Gusti Ngurah Putra Astawa, Sp.KJ


dr. H. Made Sugiharta Yasa, SpKJ (K)

BAGIAN/SMF ILMU KEDOKTERAN JIWA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH DENPASAR
JANUARI 2017
TINJAUAN PUSTAKA

Bullying Menyebabkan Gangguan Mental

Bullying didefinisikan sebagai agresi berulang kali, oleh satu atau lebih

siswa (pelaku) untuk menyakiti siswa lainnya (korban) secara fisik, verbal atau

psikologis dimana korban tidak mampu untuk membela dirinya sendiri. Menggoda

seseorang dalam konteks pertemanan atau pertengkaran diantara dua siswa yang

mempunyai kemampuan yang sama, tidak didefinisikan sebagai bullying. (Esther

M. B. Horrevorts, 2013)

Teori evolusi mengatakan bahwa, bullying mungkin adalah strategi untuk

mendapatkan posisi berkuasa dan dominan dalam suatu kelompok. Pelaku adalah

anak yang kuat, sehat, kompeten dalam mengenali emosi dan efektif dalam

memanipulasi yang lain. Pelaku dapat muncul dari keluarga yang terganggu dan

biasa menyimpang dalam berperilaku, namun mereka biasanya anak yang kuat dan

sehat yang tidak menunjukkan masalah mental maupun fisik. Korban mempunyai

resiko yang lebih dalam terkena masalah mental, termasuk depresi, cemas,

pengalaman psikotik, peningkatan resiko pencederaan diri sendiri dan percobaan

bunuh diri atau bunuh diri sempurna. Mereka juga sering menyendiri dan ditolak di

sekolah. (Suzet Tanya Lereya, 2015)

The Big Five Factor Model teori yang menonjol dalam dimensi

kepribadian berguna untuk mengetahui hubungan antara kepribadian dan perilaku

agresif. Yang termasuk didalamnya Neuroticism (atau emosi tidak stabil),

Extraversion (atau energi), kehati-hatian, keramahan, dan keterbukaan dalam

pengalaman baru. Dalam suatu penelitian anak-anak sekolah dasar yang

mempunyai kecenderungan untuk menjadi pelaku berhubungan dengan faktor


kepribadian yang bernama Psychoticism, yang termasuk penyendiri, perilaku

impulsif, permusuhan kepada orang lain, dan kurangnya kerjasama dan sensitivitas

dalam situasi sosial. Anak-anak yang mempunyai kecenderungan menjadi korban

mempunyai nilai Extraversion lebih kecil dan tinggi pada Neuroticism. Pelaku

mempunyai nilai yang lebih tinggi pada Machiavellianism yang penulis

menjabarkan sebagai kecenderungan untuk melihat orang lain sebagai target untuk

dimanipulasi dalam hubungan interpersonal, yang dikarakterisasi dengan keinginan

kuat untuk kesuksesan sosial. Empati yang kurang dan perilaku bermusuhan dari

pelaku dapat mencerminkan karakter kepribadian yang mendasari dari seorang

individu yang mempunyai nilai lebih rendah pada keramahan dan kehati-hatian.

(Effrosyni Mitsopoulou, 2014)

Keterlibatan dalam bullying berhubungan dengan masalah kesehatan jiwa

seperti depresi, cemas, gejala psikosomatik berlebihan, penggunaan alkohol

berlebihan yang sering, penggunaan zat lainnya, bulimia dan anorexia. Gangguan

tersebut sama seringnya pada pelaku dan korban, dan terutama lebih sering pada

pelaku sekaligus korban (bully-victim). (Riittakerttu Kaltiala-Heino, 2000)

Anak-anak yang puas akan jenis kelaminnya lebih sedikit menjadi korban.

Mereka yang tidak puas akan jenis kelaminnya (gender-dysphoric) lebih beresiko

menjadi pelaku sekaligus korban dan lebih signifikan pada laki-laki dibandingkan

perempuan. Dapat disimpulkan bahwa pola pelaku sekaligus korban dapat

merupakan suatu respons dari ketidakpuasan akan jenis kelamin sendiri, dan juga

suatu cara untuk menghadapi tekanan sosial untuk gender conformity. (Ral

Navarro, 2015)

Saat seorang anak terlibat dalam bully, polanya biasa menetap berbulan-

bulan atau bertahun-tahun bahkan ketika seorang anak pindah sekolah. Dalam
konteks ini, perpindahan sekolah berulang kali, terutama untuk mereka yang

mempunyai pengalaman dieksklusi, bisa membuat atau membangkitkan lagi

perasaan akan 'kekalahan sosial'. Kekalahan sosial, terutama bila kronis, dapat

mengakibatkan dampak fisiologis seperti perubahan mesolimbik dan psikologis

seperti perubahan external locus of control (kepercayaan bahwa kejadian dalam

hidup, baik maupun buruk, dikarenakan oleh faktor yang tidak bisa dikontrol

seperti lingkungan, orang lain, atau makhluk yang lebih tinggi), keduanya dapat

menyebabkan resiko terjadinya psikosis lebih tinggi. (Catherine Winsper, 2016)

Terdapat beberapa penelitian yang berfokus pada relasi antara trauma

masa kanak-kanak (seperti bullying dan emosi/ fisik/ psikologis/ pelecehan seksual

atau penelantaran) dan pengalaman psikotik subklinis, yang menemukan bahwa

terpapar pengalaman traumatis berhubungan dengan peningkatan resiko untuk

psikosis dan simptom psikotik. Kekalahan sosial didefinisikan sebagai suatu

pengalaman negatif dari dieksklusi dari kelompok mayoritas. Kekalahan sosial,

telah ditunjukkan sebagai penyebab dari skizofrenia. (Esther M. B. Horrevorts,

2013)

Pelaku bully sering impulsif dan agresif terhadap lingkungan mereka.

Mereka sering menunjukkan masalah perilaku lainnya, seperti ditunjukkan dalam

prevalensi yang lebih tinggi dalam gangguan perilaku. Lebih memungkinkan

mereka lebih sensitif terkena fenomena psikotik, seperti pengalaman subklinis

psikotik, dibandingkan anak yang tidak terlibat, sebagai pola perilaku antisosial

pada anak dan remaja awal telah ada sebelum onset dari skizofrenia. Korban biasa

tidak aman, menarik diri dan mempunyai gambaran negatif akan dirinya.

Pengalaman psikotik seperti halusinasi dan delusi berhubungan dengan rendahnya

kepercayaan diri dan ketakutan dengan kepercayaan interpersonal negatif, yang


berhubungan dengan pengalaman interpersonal negatif sebelumnya (bullying

termasuk dalam salah satu pengalaman interpersonal negatif). Waham kejaran

(paranoid delusions) dideskripsikan sebagai metode ekstrim untuk menjaga

kepercayaan diri seseorang dengan tingkat kepercayaan diri yang rendah. (Esther

M. B. Horrevorts, 2013)

Anak-anak dengan masalah gangguan perkembangan

(neurodevelopmental) lebih beresiko menjadi korban dibandingkan yang

berkembang secara normal, terutama mereka yang terkena Autism Spectrum

Disorder (ASD), Attention Deficit/ Hiperactivity Disorder (ADHD) dan masalah

koordinasi motorik. Anak-anak yang sudah dilaporkan memiliki gangguan pada

umur 9-12 tahun lebih sering menjadi korban pada masa remaja tengah (umur 15

tahun) terutama pada perempuan dibandingkan laki-laki. (Peggy Trn, 2014)

Pelaku sekaligus korban adalah yang paling terganggu. Mereka agresif,

seperti pelaku, namun mempunyai masalah internal dan pandangan negatif akan

diri sendiri, seperti korban. Kepribadian mereka paling terganggu, karena mereka

mempunyai pengartian yang bertolak-belakang akan diri mereka sendiri. Mereka

merasa berkuasa namun disaat yang bersamaan terdapat berbagai karakter negatif.

(Esther M. B. Horrevorts, 2013)

Penting untuk para korban di kelas-kelas yang bully kurang sering terjadi

untuk mengontak sesama korban. Hal ini dapat memberikan mereka sokongan.

Yang berujung, dengan mengetahui mereka bukan satu-satunya dapat menurunkan

pikiran akan menyalahkan diri sendiri, gambaran negatif akan diri sendiri, dan

tingkat kepercayaan diri yang rendah, yang dapat menurunkan waham kejar

mereka. (Esther M. B. Horrevorts, 2013)


Daftar Pustaka

Catherine Winsper, D. W. (2016). School mobility during childhood predicts psychotic.


Journal of Child Psychology and Psychiatry 57:8 , 957966.

Effrosyni Mitsopoulou, T. G. (2014). Personality Traits, Empathy and Bullying Behavior:


A Meta-Analytic Approach. Aggression and Violent Behavior .

Esther M. B. Horrevorts, K. M. (2013). The relation between bullying and subclinical


psychotic experiences and the influence of the bully climate of school classes. Eur Child
Adolesc Psychiatry .

Peggy Trn, E. P. (2014). Childhood neurodevelopmental problems and adolescent bully


victimization: population-based, prospective twin study in Sweden. Eur Child Adolesc
Psychiatry .

Ral Navarro, E. L. (2015). Gender Identity, Gender-Typed Personality Traits and School
Bullying: Victims, Bullies and Bully-Victims. Child Ind Res .

Riittakerttu Kaltiala-Heino, M. R. (2000). Bullying at schoolan indicator of adolescents


at risk for mental disorders. Journal of Adolescence , 661674.

Suzet Tanya Lereya, W. E. (2015). Bully/victims: a longitudinal, population-based cohort


study of their mental health. Eur Child Adolesc Psychiatry .

You might also like