You are on page 1of 25

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Kelenjar Tiroid


2.1.1. Embriologi
Kelenjar tiroid adalah kelenjar endokrin yang pertama kali tampak pada fetus,
kelenjar ini berkembang sejak minggu ke-3 sampai minggu ke-4 dan berasal dari
penebalan entoderm dasar faring, yang kemudian akan berkembang memanjang ke
kaudal dan disebut divertikulum tiroid. Akibat bertambah panjangnya embrio dan
pertumbuhan lidah maka divertikulum ini akan mengalami desensus sehingga berada
di bagian depan leher dan bakal faring. Divertikulum ini dihubungkan dengan lidah
oleh suatu saluran yang sempit yaitu duktus tiroglosus yang muaranya pada lidah
yaitu foramen cecum (Cady & Rossy, 1998).
Divertikulum ini berkembang cepat membentuk 2 lobus yang tumbuh ke
lateral sehingga terbentuk kelenjar tiroid terdiri dari 2 lobus lateralis dengan bagian
tengahnya disebut ismus. Pada minggu ke-7 perkembangan embrional kelenjar tiroid
ini mencapai posisinya yang terakhir pada ventral dari trakea yaitu setinggi vertebra
servikalis V, VI, VII dan vertebra torakalis I, dan secara bersamaan duktus tiroglosus
akan hilang. Perkembangan selanjutnya tiroid bergabung dengan jaringan
ultimobranchial body yang berasal dari branchial pouch V, dan membentuk C-cell
atau sel parafolikuler dari kelenjar tiroid (Cady & Rossy, 1998) .
Sekitar 75 % pada kelenjar tiroid ditemukan lobus piramidalis yang menonjol
dari ismus ke kranial, ini merupakan sisa dari duktus tiroglosus bagian kaudal. Pada
akhir minggu ke 7 10 kelenjar tiroid sudah mulai berfungsi, folikel pertama akan
terisi koloid. Sejak saat itu fetus mulai mensekresikan Thyrotropin Stimulating
Hormone (TSH), dan sel parafolikuler pada fetus sementara belum aktif (Cady &
Rossy, 1998).

Universitas Sumatera Utara


2.1.2. Anatomi dan Fisiologi
Tiroid berarti organ berbentuk perisai segi empat.Kelenjar tiroid merupakan
organ yang bentuknya seperti kupu-kupu dan terletak pada leher bagian bawah di
sebelah anterior trakea.Kelenjar ini merupakan kelenjar endokrin yang paling banyak
vaskularisasinya, dibungkus oleh kapsula yang berasal dari lamina pretracheal fascia
profunda.Kapsula ini melekatkan tiroid ke laring dan trakea (Cady & Rossy, 1998).
Klenjar ini terdiri atas dua buah lobus lateral yang dihubungkan oleh suatu
jembatan jaringan ismus tiroid yang tipis dibawah kartilago krikoidea di leher, dan
kadang-kadang terdapat lobus piramidalis yang muncul dari ismus di depan laring
(Cady & Rossy, 1998).
Kelenjar tiroid terletal di leher depan setentang vertebra servikalis 5 sampai
trokalis 1, terdiri dari lobus kiri dan kanan yang dihubungkan ileh ismus. Setiap lobus
berbentuk seperti buah pear, dengan basis di bawah cincin trakea 5 atau 6. Kelenjar
tiroid mempunyai panjang lebih kurang 5 cm, lebar 3 cm, dan dalam keadaan normal
kelenjar tiroid pada orang dewasa beratnya antara 10 sampai 20 gram. Aliran darah
kedalam tiroid per gram jaringan kelenjar sangat tinggi (lebih kurang 5ml/menit/gram
tiroid, kira-kira 50x lebih banyak dibanding aliran darah dibagian tubuh lainnya)
(Cady & Rossy, 1998).
Pada sebelah anterior kelenjar tiroid menempel otot pretrakealis
(musculus.sternothyroideus dan musculus sternohyoideus) kanan dan kiri yang
bertemu pada midline.Otot-otot ini disarafi oleh cabang akhir nervus kranialis
hipoglossus desendens dan yang kaudal oleh ansa hipoglossus. Pada bagian
superfisial dan sedikit lateral ditutupi oleh fasia kolli profunda dan superfisial yang
membungkus musculus sternokleidomastoideus dan vena jugularis eksterna. Sisi
lateral berbatasan dengan arteri karotis komunis, vena jugularis interna, trunkus
simpatikus, dan arteri tiroidea inferior (Cady & Rossy, 1998).
Bagian posterior dari sisi medialnya terdapat kelenjar paratiroid, nervus rekuren
laringeus dan esofagus.Esofagus terletak dibelakang trakea dan laring sedangkan

Universitas Sumatera Utara


nervus rekuren laringeus terletak pada sulkus trakeoesofagikus (Cady & Rossy,
1998).

Sumber: Netter F.H, 2006


Gambar 2.1. Anatomi Kelenjar Tiroid

Hormon tiroid disintesis oleh glandula tiroidea. Sekresi hormon dipengaruhi


oleh TRH dan TSH dari hipotalamus dan hipofisis anterior. Hormon stimulator

Universitas Sumatera Utara


tiroid (thyroid stimulating hormone, TSH) memegang peranan terpenting untuk
mengatur sekresi dari kelenjar tiroid. Proses yang dikenal sebagai negative feedback
sangat penting dalam proses pengeluaran hormon tiroid ke sirkulasi. Dengan
demikian, sekresi tiroid dapat mengadakan penyesuaian terhadap perubahan di dalam
maupun di luar tubuh (Watson, 2002).
Mekanisme feedback terhadap hipotalamus dan hipofisis dilakukan oleh T3
dan T4.Sel-sel follikular kelenjar tiroid mensintesis tiroksin dan tiroglobulin.Tiroksin
berikatan dengan tiroglobulin. Tiroksin yang terkandung dalam tiroglobulin
disekresikan ke dalam koloid secara eksositosis. Iodine dari darah masuk ke dalam sel
folikel dengan bantuan iodine pump. Iodine yang sudah sampai ke koloid akan
berikatan dengan tiroksin yang terkandung dalam globulin (Agamemnon, 2001).
Bila 1 iodine + 1 tyrosine = Monoiodotyrosine (MIT)
Bila 2 iodine + tyrosine = Diiodotyrosine (DIT)
MIT + DIT = T3
DIT + DIT = T4
T3 dan T4 kemudian dilepaskan ke dalam darah sedangkan iodine yang terikat
pada MIT dan DIT dipergunakan kembali. TSH berperan untuk mempertahankan
integritas kelenjar tiroid dan meningkatkan sekresi hormon tiroid dari kelenjar tiroid.
Dalam keadaan fisiologis, faktor yang diketahui dapat meningkatkan sekresi TRH dan
TSH dalam darah adalah rasangan udara dingin pada bayi baru lahir untuk
meningkatkan produksi panas dan suhu tubuh (Agamemnon, 2001).

Sedangkan pada orang dewasa mekanisme meningkatkan suhu tubuh tidak


melalui TRH atau TSH melainkan melalui jalur simpatis. Respon terhadap kenaikkan
kadar hormon tiroid di dalam darah dapat dideteksi setelah beberapa jam. Durasi
kerjanya bisa sangat lama oleh karena responsnya akan tetap berlangsung sampai
konsentrasi hormon tiroid di dalam darah normal dan juga karena hormon tiroid tidak
didegradasi (Agamemnon, 2001).

Universitas Sumatera Utara


Universitas Sumatera Utara
Sumber: Agamemnon, 2001
Gambar 2.2. Fisiologi Kelenjar Tiroid

Universitas Sumatera Utara


2.2. Histologi
Unit struktural dari tiroid adalah folikel, yang tersusun rapat, berupa ruangan
bentuk bulat yang dilapisi oleh selapis sel epitel bentuk gepeng, kubus sampai
kolumnar.Konfigurasi dan besarnya sel-sel folikel tiroid ini dipengaruhi oleh aktivitas
fungsional kelenjar tiroid itu sendiri. Bila kelenjar dalam keadaan inaktif, sel-sel
folikel menjadi gepeng dan akan menjadi kubus atau kolumnar bila kelenjar dalam
keadaan aktif. Pada keadaan hipertiroidisme, sel-sel folikel menjadi kolumnar dan
sitoplasmanya terdiri dari vakuol-vakuol yang mengandung koloid (Koss, 2006).
Folikel-folikel tersebut mengandung koloid, suatu bahan homogen
eosinofilik.Variasi kepadatan dan warna daripada koloid ini juga memberikan
gambaran fungsional yang signifikan; koloid eosinofilik yang tipis berhubungan
dengan aktivitas fungsional, sedangkan koloid eosinofilik yang tebal dan banyak
dijumpai folikel dalam keadaan inaktif berhubungan dengan beberapa kasus
keganasan. Pada keadaan yang belum jelas diketahui penyebabnya, sel-sel folikel ini
akan berubah menjadi sel-sel yang besar dengan sitoplasma banyak dan eosinofilik,
kadang-kadang dengan inti hiperkromatik, yang dikenal sebagai oncocytes (bulky
cells) atau Hrthle cells (Koss, 2006).

Sumber: Anthony, 2009


Gambar 2.3.: Histologi Kelenjar Tiroid

Universitas Sumatera Utara


2.3. HIPERTIROIDISME

2.3.1. Pengertian
Hipertiroidisme (Tiroktosikosis) merupakan keadaan kelebihan hormon tiroid
yang berhubungan dengan suatu kompleks fisiologis dan biokimiawi yang dijadi bila
suatu jaringan memberikan hormon tiroid berlebihan.
Hipertiroid adalah keadaan abnormal kelenjar tiroid akibat meningkatnya
produksi hormon tiroid sehingga kadarnya meningkat dalam darah yang ditandai
dengan penurunan berat badan, gelisah, tremor, berkeringat dan kelemahan otot
(Batubara, 2010).
Hipertiroid kongenital terjadi karena transfer TRSAbs (TSH reseptor-
stimulating antibodies) dari ibu ke bayi melalui plasenta. Awitan klinis, berat, dan
perjalanan penyakitnya dipengaruhi oleh potensi TRSAb, lama dan derajat beratnya
hipertiroid intrauterin, serta obat antitiroid yang dikonsumsi oleh ibu (Batubara,
2010).

2.3.2. Epidemiologi
Sampai saat ini belum didapatkan angka yang pasti insiden dan prevalensi
hipertiroid pada anak di Indonesia.Beberapa pustaka di luar negeri menyebutkan
insidennya pada masa anak secara keseluruhan diperkirakan 1/100.000 anak per tahun
(Birrel, 2004). Mulai 0,1/100.000 anak per tahun untuk anak 0-4 tahun, meningkat
sampai dengan 3/100.000 anak pertahun pada usia remaja (Levard, 1994). Secara
keseluruhan insiden hipertiroid pada anak jumlahnya kecil sekali atau diperkirakan
hanya 5-6% dari keseluruhan jumlah penderita penyakit Graves segala umur (Dallas,
1996).
Prevalensinya pada remaja wanita lebih besar 6-8 kali dibanding dengan
remaja pria. Kebanyakan dari anak yang menderita penyakit Graves mempunyai
riwayat keluarga penyakit Addison, lupus sistemik, ITP, Myasthenia gravis,
Rheumatoid arthritis, dan vitiligo. Penyakit Graves juga lebih sering terjadi pada

Universitas Sumatera Utara


pasien dengan trisomi 21. Sedangkan penyakit Graves pada neonatus hanya terjadi
pada bayi yang dilahirkan oleh ibu-ibu berpenyakit Graves dengan prevalensi 1: 70
kelahiran (Fisher, 2002).

2.3.3. Etiologi
Lebih dari 95% kasus hipertiroid disebabkan oleh penyakit Graves, suatu
penyakit tiroid autoimun yang antibodinya merangsang sel-sel untuk menghasilkan
hormon yang berlebihan (William, 2002). Penyebab hipertiroid lainnya yang jarang
selain penyakit Graves adalah:

Tabel 2.1. Penyebab Tirotoksikosis pada Anak

Hipertiroidisme:
Penyakit Graves
Nodul tiroid toksik (Plummer disease)
Adenoma toksik
TSH-induced hyperthyroidism:
Tumor hipofisis diproduksi oleh TSH
Resistensi hormon tiroid hipofisis
Tirotoksikosis tanpa hipertiroidisme:
Tiroiditis limfositik kronik (tiroiditis Hashimoto)
Tiroiditis subakut (bakteri)
Hormon tiroid berlebihan (thyrotoxicosis factitia)
McCune-Albright syndrome
__________________________________________________________________
Sumber: Juliane, 2013

Universitas Sumatera Utara


2.3.4. Patofisiologi
2.3.4.1. Graves pada neonatus
Terdapat perbedaan yang mendasar patofisiologi penyakit Graves yang
terjadi pada bayi dengan anak dan dewasa. Penyakit Graves pada bayi atau neonates
selalu transien atau bersifat sementara, sedangkan pada anak dan dewasa biasanya
bersifat menahun (Brown, 2005).
Neonatal graves hanya terjadi pada bayi yang dilahirkan dari ibu yang
menderita penyakit graves dengan aktivitas antibodi stimulasi reseptor TSH (TSH
receptor-stimulating antibodies, yang merupakan suatu TRAb-stimulasi) yang kuat.
Hal ini dikarenakan TRAb-stimulasi dari ibu sampai bayi melalui plasenta. TRAb-
stimulasi bisa terdapat dalam sirkulasi ibu hamil yang tidak dalam keadaan
hipertiroid, oleh karena itu adanya riwayat penyakit Graves pada ibu harus menjadi
pertimbangan risiko terjadinya penyakit graves pada bayinya (Fisher, 2002).
Ibu dengan penyakit Graves dapat memiliki campuran antibodi dan
inhibisi/blocking terhadap reseptor TSH (TRAb-stimulasi dan TSH receptor-blocking
antibodies atau disebut TRAb-inhibisi) sekaligus. Jenis antibodi yang sampai kepada
bayi melalui plasenta akan mempengaruhi kelenjar tiroid bayi, bayi yang dilahirkan
dapat hipertiroid, eutiroid atau hipotiroid, tergantung antibodi yang lebih dominan.
Potensi kondisi hipertiroid di dalam kandungan, serta obat-obatan anti-tiroid dari ibu
merupakan faktor-faktor yang dapat berpengaruh pada status tiroid bayi (Fisher,
2002).

2.3.4.2. Graves pada anak dan remaja


Penyakit graves merupakan penyakit autoimun dengan adanya defek pada
toleransi imun dengan penyebab yang belum jelas. Adanya autoantibodi yang bekerja
pada reseptor TSH di kelenjar tiroid (TSH receptor-stimulating antiobodies atau
disebut TRAb-stimulasi) menyebabkan peningkatan sintesis dan sekresi hormon
tiroid secara otonom di luar jaras hipotalamus-hipofisis-tiroid. Antibodi tersebut
merupakan lgG subklas lgG1, dengan target utama auto-antigen dari reseptor TSH,

Universitas Sumatera Utara


yang mirip dengan auto-antigen di jaringan subkutan dan otot-otot ekstraokuler
(Weetman, 2000).
Di samping itu penderita penyakit Graves juga memproduksi
immunoglobulin yang mempunyai aktivitas menghambat reseptor TSH secara
langsung. Antibodi ini juga mempunyai target yang lain di kalenjar tiroid yakni tiroid
peroksidase sebagi anti-TPO, dan juga tiroglobulin sebagai anti-Tg (Brown, 2005).
Perbedaan aktivitas biologis kedua jenis auto-antibodi stimulasi dan inhibisi
hanya dapat dilihat pada pemeriksaan in vitro dengan kultur menggunakan antibodi
penderita pada sel-sel yang mengekspresikan reseptor TSH. Antibodi stimulasi akan
meningkatkan produksi cAMP pada kultur, sedangkan antibodi inhibisi akan
menghambat peningkatan cAMP (Fisher, 2002).

2.3.5. Diagnosis
2.3.5.1. Manifestasi Klinis
Tabel 2.2. Gejala klinis penyakit graves pada neonatus.
Gejala klinis Graves neonatus
Rewel Takikardia
Malas minum Hepatomegali
Berat badan tidak naik Ikterus
Diare Kraniosinostosis

Sulit tidur Gagal jantung


Struma Trombositopenia
Proptosis Kematian

Sumber: Rossi, 2005

Tidak semua bayi yang lahir segera menunjukkan gejala klinis sebagai
hipertiroid.Apabila terdapat TRAb-inhibisi di dalam sirkulasi bayi, bayi dapat
mengalami hipotiroid yang bersifat transient atau eutiroid.Demikian juga bila ibu

Universitas Sumatera Utara


mengkonsumsi obat-obatan anti-tiroid (Brown, 2005). Gejala klinis penyakit Graves
pada neonatus adalah seperti pada tabel 2.2.
Yang paling sering dikeluhkan terutama oleh anak prepubertas adalah
penurunan berat badan yang nyata dan diare.Sedangkan tanda klinis klasik hipertiroid
seperti pada dewasa yang meliputi palpitasi, iritabilitas, tremor halus, dan intoleransi
terhadap panas lebih menonjol terjadi pada anak remaja (Lazar, 2000).
Pembesaran kelenjar tiroid (goiter), walau hampir selalu ada, tetapi bukanlah
hal yang utama menjadi keluhan, bahkan sering menjadi hal yang di luar perhatian
keluarga penderita, bahkan oleh tenaga kesehatan sekalipun, dikarenakan pembesaran
sering kali ringan. Kalenjar tiroid yang membesar teraba lembut dan berbatas tidak
tegas (diffuse), tidak rata, dan fleshy, sering juga terdengar bruit pada auskultasi
(Bhadada, 2006).
Beberapa penderita juga sering mengeluhkan adanya poliuria dan mengompol
di malam hari, sebagai akibat peningkatan laju filtrasi glomerulus.Pada anak-anak
remaja sering terjadi gangguan pubertas.Pada remaja wanita yang telah menarche,
seringkali terjadi amenore sekunder.Gangguan tidur yang menyertai seringkali
menyebabkan anak cepat lelah (Brown, 2005). Secara keseluruhan gejala dan tanda
klinis penyakit Graves dapat dilihat pada tabel 2.3.

Universitas Sumatera Utara


Tabel 2.3. Gejala klinis penyakit graves pada anak.
TANDA Jumlah (%)
Struma* 98-99
Takikardia 82-95
Bruit pada tiroid 20-84
Bising jantung 10-84
Peningkatan sensitivitas 80-82
Peningkatan denyut nadi 77-80
Berkeringat banyak 41-78,6
Tremor 51-78,2
Palpitasi 34-76,8
Intoleransi terhadap panas 27-76,8
Peningkatan nafsu makan 47-73,2
Hipertensi 71
Oftalmopati 58,9-71
Peningkatan tinggi badan 71-71
Penurunan berat badan 50-54
Diare 13-48,2
Hiperaktif 44
Gangguan menstruasi 33,3
Gangguan tidur 22-30,4
Lekas capai 5,4-16
Sakit kepala 15

*hanya 62,5 % termasuk sedang sampai besar


Sumber: Bhadada, 2006

Universitas Sumatera Utara


Tabel 2.4. Derajat Tanda Okular Berdasarkan Peningkatan Keparahan
Kelas Tanda
0 Tidak ada gejala atau tanda
1 Hanya tanda, yang mencakup retraksi
kelopak mata atas, dengan atau tanpa lid
lag, atau proptosis sampai 22mm. Tidak
ada gejala.

2 Keterlibatan jaringan lunak


3 Proptosis >22 mm
4 Keterlibatan jaringan lunak
5 Keterlibatan kornea
6 Kehilangan penglihatan akibat
keterlibatan saraf optikus

Sumber: Warner, 1977

Tingkat 2 mewakili terkenanya jaringan lunak dengan edema periorbital;


kongesti atau kemerahan konjungtiva dan pembengkakan konjungtiva
(kemosis).Tingkat 3 mewakili proptosisi sebagaimana diukur dengan
eksoftalmometer Hertel.Instrumen ini terdiri dari 2 prisma dengan skala dipasang
pada suatu batang.Prisma-prisma ini diletakkan pada tepi orbital lateral dan jarak dari
tepi orbital ke kornea anterior diukur dengan skala (Surks, 1990).
Tingkat 4 mewakili keterlibatan otot yang paling sering terkena adalah rektus
inferior, yang merusak lirikan ke atas.Otot yang kedua paling sering terkena adalah
rektus medialis dengan gangguan lirikan ke lateral.Tingkat 5 mewakili keterlibatan
kornea (keratitis), dan tingkat 6 hilangnya penglihatan akibat terkenanya nervus
optikus (Surks, 1990).
Seperti disebutkan di atas, oftalmopatia disebabkan infiltrasi otot-otot
ekstraokular oleh limfosit dan cairan edema pada suatu reaksi inflamasi akut.Orbita
berbentuk konus ditutupi oleh tulang; dan pembengkakan otot-otot ekstraokular

Universitas Sumatera Utara


karena ruang tertutup ini menyebabkan protopsis bola mata dan gangguan pergerakan
otot, mengakibatkan diplopia (Surks, 1990).
2.3.5.2. Pemeriksaan fisik
Inspeksi
Inspeksi dilakukan kepada penderita dengan posisi duduk dan kepala sedikit
diekstensi.Pemeriksa berada didepan penderita dan memperhatikan perubahan warna
kulit, ulkus, fistel, sekret, dan tentukan lokasi. Seterusnya, pemeriksa akan
menentukan lokasi, jumlah dan bentuk pada benjolan. Bila benjolan berada di tengah
leher, penderita disuruh meneguk air dan perhatikan benjolan bergerak keatas (Castro,
2004).

Palpasi
Pemeriksaan dengan metode palpasi dimana pasien diminta untuk duduk,
kepala dalam posisi sedikit ekstensi. Pemeriksa berdiri di belakang pasien dan meraba
tiroid dengan menggunakan kedua tangan, bagian volar distal digiti 2,3 dan 4 pada
tengkuk penderita. Bila terdapat benjolan dibagian tengah leher, dibawah kartilago
tiroidea perhatikan lokasi, jumlah, konsistensi, permukaan, batas, pergerakan, nyeri
dan ukuran (mm) (Castro, 2004).
Nodul yang teraba biasanya mempunyai ukuran lebih dari 1.5 cm, namun hal
ini juga bergantung pada letak dan bentuk dari leher pasien.Dengan pemeriksaan fisik
dapat juga untuk melihat pergerakan nodul saat menelan.memperkirakan adanya
pembesaran limfonodi di sekitar leher yaitu di daerah supraklavikular dan
jugulocarotid, yang sering terjadi pada karsinoma papiliferum, juga dapat diketahui
melalui pemeriksaan daerah leher. Selain lokasi dan ukuran, palpasi juga dapat
memperkirakan konsistensi dari nodul.Adanya konsistensi nodul yang padat dan
ireguler atau menempel pada jaringan sekitar (Nadia, 2003).

Universitas Sumatera Utara


2.3.5.3. Pemeriksaan Laboratorium pada Neonatus
Diagnosis hipertiroidisme pada neonatal Graves ditunjukkan dengan adanya
peningkatan kadar T4, FT4, T3, dan FT3 yang disertai supresi kadar TSH. Adanya titer
TRAb yang tinggi pada ibu atau bayi merupakan konfirmasi penyebabnya (Brown,
2005).
Mengingat pentingnya diagnosis dan terapi yang segera, beberapa keadaan
seperti pada tabel 3 patut dipertimbangkan sebagai neonatal Graves untuk dilakukan
pemeriksaan uji fungsi tiroid yang diperlukan (Brown, 2005).

Tabel 2.5. Beberapa kondisi yang harus dipertimbangkan sebagai neonatal


Graves

1. Takikardia yang tidak jelas sebabnya, adanya goiter atau store.


2. Peteki yang tidak jelas sebabnya, hiperbilirubinemia, atau hepatomegaly.
3. Riwayat atau adanya TRAb yang tinggi selama kehamilan ibu.
4. Riwayat atau adanya kebutuhan obat anti tiroid yang meningkat selama
kehamilan ibu.
5. Riwayat terapi ablasi tiroid dari ibu.
6. Riwayat penyakit Graves pada keluarga.

Sumber: Brown, 2005

2.3.5.4. Pemeriksaan Laboratorium pada Anak


Pemeriksaan T3 merupakan hal yang penting, sekitar 5% anak dengan
penyakit Graves mempunyai kadar T3 yang meningkat nyata, namun dengan kadar T4
yang normal atau sedikit di atas normal. Keadaan ini dikenal sebagai T3 toxicosis
(Fisher, 2005).TSH biasanya sangat rendah atau tidak terdeteksi. Peningkatan T4 atau
T3 tanpa disertai kadar TSH yang rendah tidak menyokong keadaan hipertiroid. Hal
ini kemungkinan dapat diakibatkan karena kelebihan thyroxine-binding globulin atau
karena gangguan binding protein. Pada keadaan terakhir, kadar TBG di dalam serum

Universitas Sumatera Utara


harus diperiksa juga. Kadar TSH yang rendah juga dapat menyingkirkan
kemungkinan hipertiroid karena induksi TSH dan hipofisis yang resisten terhadap
hormon tiroid (Brown, 2005).
Antibodi terhadap tiroid (anti-TG dan anti-TPO) kadang juga positif pada
anak dengan penyakit Graves, yang sulit dibedakan dengan fase tirotoksik pada
tiroiditis Hashimoto.Pada keadaan demikian, untuk membedakannya perlu
pemeriksaan TRAb-stimulasi (Dallas, 1996).Namun demikian, pada keadaan yang
sudah jelas terdapat tanda klinis penyakit Graves, semasa hipertiroid, goiter,
proptosis, maka pemeriksaan TRAb-stimulasi tidak diperlukan lagi mengingat
mahalnya pemeriksaan ini (Brown, 2005).

Tabel 2.6. Nilai rujukan untuk kadar T4 total, T3, T4 bebas, TSH
HORMON USIA NILAI NORMAL
T4 (g/dL) Bayi prematur (26-30 minggu, hari ke 3-4) 2,6-14,0
Bayi aterm
Usia 1-3 hari 8,2-19,9
1 minggu 6,0-15,9
1-12 bulan 6,1-14,9
Prepubertas
1-3 tahun 6,8-13,5
3-10 tahun 5,5-12,8
Anak pubertas (11-18 tahun) 4,9-13,0

FT4 (g/dL) Bayi prematur (26-30 minggu, hari ke 3-4) 0,4-2,8


Bayi aterm
Usia 1-3 hari 2,0-4,0
1-12 bulan 0,9-2,6
Prepubertas 0,8-2,2
Anak pubertas 0,8-2,3

Universitas Sumatera Utara


T3 (ng/dL) Bayi premature (26-30 minggu, hari ke 3-4) 24-132
Bayi aterm
Usia 1-3 hari 89-405
1 minggu 91-300
1-12 bulan 85-250
Prepubertas 119-218
Anak pubertas (11-18 tahun) 80-185

TSH Bayi prematur (26-30 minggu, hari ke 3-4 0,8-6,9


(U/mL) Bayi aterm
4 hari 1,3-16
1-12 bulan 0,9-7,7
Usia Prepubertas 0,6-5,5
Usia pubertas 0,5-4,8

Sumber: Mac Gillivray, 2004

2.3.5.5. Fine Needle Aspiration Biopsy (FNAB)


Pada prinsipnya FNAB bertujuan untuk memperoleh sampel sel-sel nodul
tiroid yang teraspirasi melalui penusukan jarum ke jaringan nodul tiroid.Untuk itu
dibutuhkan jarum steril 23-25G serta semprit.Pertama kelenjar tiroid harus dipalpasi
secara hati-hati dan nodul diidentifikasi dengan baik dan benar.Kemudian, pasien
ditempatkan pada posisi supinasi dengan leher hiperekstensi, untuk mempermudah
tempatkan bantal pada bawah bahu.Pasien tidak diperbolehkan menelan, bertanya,
dan bergerak selama prosedur.Perlu diinformasikan juga kepada pasien bahwa
prosedur ini memerlukan anestesi lokal (Kini, 1987).
Setelah mengidentifikasi nodul yang akan diaspirasi, kulit tersebut
dibersihkan dengan alkohol. Semprit 10cc dipasangkan ke syringe holder dan
dipegang dengan tangan kanan. Jari pertama dan kedua tangan kiri menekan dan
memfiksasi nodul, sehingga dapat mempertahankan arah tusukan jarum oleh tangan

Universitas Sumatera Utara


lainnya yang dominan.Tangan kanan memegang jarum dan semprit tusukkan dengan
tenang.Waktu jarum sudah berada dalam nodul, dibuat tarikan 2-3cc pada semprit
agar tercipta tekanan negatif.Jarum ditusukkan 10-15 kali tanpa mengubah arah,
selama 5-10 detik. Pada saat jarum akan dicabut dari nodul, tekanan negatif
dihilangkan kembali (Kini, 1987).
Setelah jarum dicabut dari nodul, jarum dilepas dari sempritnya dan sel-sel
yang teraspirasi akan masih berada di dalam lubang jarum. Kemudian isi lubang
ditumpahkan keatas gelas objek.Buat 6 sediaan hapus, 3 sediaan hapus difiksasi basah
dan dipulas dengan Papanicoulau.Sediaan lainnya dikeringkan di udara untuk dipulas
dengan May Gruenwald Giemsa/DiffQuick.Kemudian setelah dilakukan FNAB
daerah tusukan harus ditekan kira-kira 5 menit, apabila tidak ada hal-hal yang
dikhawatirkan, daerah leher dibersihkan dan diberi small bandage (Orell, 1986).
FNAB sangat aman, tidak ada komplikasi yang serius selain tumor seeding,
kerusakan saraf, trauma jaringan, dan cedera vaskular.Mungkin komplikasi yang
paling sering terjadi adalah hematoma, ini disebabkan karena pasien melakukan
gerakan menelan atau berbicara saaat tusukan.Komplikasi lainnya yang perlu
diperhatikan adalah vasovagal dan jarum menusuk trakea (Orell, 1986).

Tabel 2.7. Klasifikasi dari FNA Cytology


Kategori FNAC Sitologi

THY 1 Bahan tidak cukup (insufficient material)


THY 2 Jinak (tiroid nodul)
(benign (nodular goiter))
THY 3 Curiga suatu tumor/neoplasma (folikular)
(suspicious of neoplasma (follicular))
THY 4 Curiga keganasan
(papilari/medulari/limfoma)
(suspicious of malignancy
(papillary/medullary/lymphoma))
THY 5 Positif ganas (definite malignancy)
Sumber: Tom, 2006

Universitas Sumatera Utara


2.3.6. Penatalaksanaan
2.3.6.1. Terapi pada Neonatus
Pada awal pengobatan perlu diingat bahwa neonatal Graves merupakan self
limiting disease sehingga bersifat sementara, dan pengobatan dilakukan dengan
prinsip titrasi untuk menjadikan bayi dalam keadaan eutiroid. Terapi yang diberikan
adalah propylthiouracil (PTU) dengan dosis 5-10 mg/kgBB/hari atau methimazole
(MMI) dengan dosis 0,5-1 mg/kgBB/hari dalam dosis terbagi 3. Jika gejalanya sangat
hebat bias ditambahkan larutan Lugol dengan dosis 1 tetes setiap 8 jam untuk
menghambat pelepasan hormon tiroid. Respon terap harus dilakukan dengan ketat
selama 24-36 jam pertama (Fisher, 2002).
Bila respons terapi kurang baik, dosis anti-tiroid bisa dinaikkan sampai 50%
dan perlu ditambahkan propranolol untuk mengurangi gejala stimulasi simpatik yang
berlebihan, dengan dosis 2 mg/kgBB/hari. Prednison dengan dosis 2 mg/kgBB/hari
juga ditambahkan untuk mengurangi sekresi hormon tiroid dan mengurangi konversi
T4 menjaid T3 di perifer.Penderita juga ditangani bersama dengan bagian kardiologi
anak. ASI pada ibu yang mengkonsumsi antitiroid dapat tetap diberikan bila tidak
melebihi 400mg/hari untuk PTU, dan 40mg/hari untuk MMI (Fisher, 2002).

2.3.6.2. Terapi pada Anak


Terdapat tiga pilihan metode terapi pada anak dengan penyakit Graves, yakni
obat-obat antitiroid, abalasi dengan radioaktif yodium dan pembedahan.Tidak ada
satupun yang memuaskan secara keseluruhan (Krassas, 2004). Pemilihan metode
terapi harus disesuaikan dengan keadaan individu dan pertimbangan keluarga tentang
keuntungan dan kerugiannya. Dengan pertimbangan kemungkinan terjadinya remisi
yang signifikan pada anak, maka penggunaan obat-obat anti tiroid merupakan pilihan
pertama (Brown, 2005).

Universitas Sumatera Utara


Obat anti tiroid
Prophylthyouracil (PTU) dan methimazole (MMI) atau carbimazole (diubah
menjadi MMI) merupakan obat-obatan yang paling banyak dipakai. Obat obat ini
menghambat sintesis hormon tiroid dengan cara menghalangi coupling iodotirosin
melalui penghambatan kerja enzim tiroperoksidase (Cooper, 2005). Khusus PTU,
obat ini juga menghambat konversi T4 menjadi T 3 di perifer, hal ini merupakan
keuntungan tersendiri pada keadaan yang memerlukan penurunan segera kadar
hormon tiroid aktif seperti yang terjadi pada keadaan krisis tiroid (Styne, 2004).
PTU dan MMI diabsorpsi secara cepat di saluran cerna, kadar puncak di
dalam serum terjadi 1-2 jam setelah obat diminum. Kadar obat di dalam serum akan
menurun habis dalam 12-24 jam untuk PTU, dan lebih lama lagi untuk MMI. Hal ini
mempengaruhi lama kerja masingmasing obat.Dengan demikian MMI dapat
diberikan 1 kali sehari, sedangkan PTU diberikan 2-3 kali sehari.Methimazol (MMI)
di dalam serum dalam bentuk bebas, sedangkan PTU 80-90% terikat pada albumin
(Cooper, 2005).
Pada awal terapi PTU dapat diberikan dengan dosis 5-10mg/kgBB/hari
dalam dosis terbagi 3, dan MMI dapat diberikan 5-10% dari dosis PTU dalam dosis
terbagi 2 atau sekali sehari. Pada kasus-kasus yang berat, beta blocker (Propanolol
0,5-2,0 mg/kgBB/hari dalam dosis terbagi 3) dapat diberikan untuk mengendalikan
aktivitas kardiovaskuler yang berlebihan sampai dicapai keadaan eutiroid (Fisher,
1996). Follow-up uji fungsi tiroid harus dilakukan 4-6 minggu sampai kadar T 4 (dan
T3 total) dalam batas normal. Kadar TSH serum biasanya akan kembali normal dalam
waktu beberapa bulan agak lama, sehingga pengukuran TSH akan lebih berarti
sebagai indikator terapi bila dilakukan setelah dalam keadaan eutiroid, bukan pada
awal terapi (Styne, 2004).
Setelah kadar T4 dan T3 kembali normal, dosis obat antitiroid dapat
diturunkan secara bertahap 30-50% dari total harian. Alternatif yang lain adalah
dengan tidak merubah dosis antitiroid, melainkan menunggu kadar TSH meningkat
sambil menambahkan dosis kecil L-thyroxine atau yang disebut regimen block-

Universitas Sumatera Utara


replacement, namun demikian menurut penelitian yang telah dilakukan, kombinasi
terapi ini (anti-tiroid dan L-T4) tidak memperbaiki angka remisinya. Keadaan eutiroid
biasanya tercapai dalam waktu 6-12 minggu.Selama masa rumatan PTU dapat
diberikan 2 kali sehari, dan MMI cukup 1 kali sehari.Biasanya penderita dapat
difollow-up setiap 4-6 bulan (Brown, 2005).
Lama terapi sangat individual, sampai saat ini tidak ada pedoman mengenai
lama terapi yang optimal, rata-rata dapat mencapai 2-3 tahun (Bhadada, 2006) Sekitar
50% dari anak-anak yang diterapi akan terjadi remisi dalam 4 tahun pertama terapi,
dengan peningkatan angka remisi sebesar 25% setiap 2 tahunnya sampai tahun ke-6
terapi. Dikatakan remisi, bila 1 tahun setelah pengobatan dihentikan penderita masih
dalam keadaan eutiroid (Lazar, 2000).
Kecilnya dosis anti-tiroid yang diperlukan serta goiter yang mengecil merupakan
indikator yang baik untuk menurunkan dosis anti-tiroid secara bertahap hingga
dihentikan. Rendahnya derajat hipertiroksinemia [T4 <20 g/dL (257.4mmol/L); rasio
T3:T4< 20], indeks masa tubuh yang rendah, dan usia anak yang lebih tua mempunyai
kecenderungan terjadi remisi yang permanen. Sedangkan kadar TRAb yang tinggi
mempunyai risiko yang tinggi untuk terjadinya relaps (Brown, 2005).
Efek samping anti-tiroid dilaporkan sebesar 5-20%, berupa rash eritema, atralgia,
3
urtikaria, granulositopenia bersifat transient (<1500/mm ). Jarang terjadi dan lebih
berat: hepatitis, lupus like syndrome, trombositopenia, dan agranulositosis,
3
(<250/mm ). Kebanyakan reaksi yang terjadi ringan, dan bukan merupakan
kontraindikasi untuk diteruskan. Pada kasus yang berat, perlu dipertimbangkan terapi
dengan cara yang lain (terapi ablasi menggunakan radioaktif atau pembedahan)
(Rahman, 2003).

2.3.6.3. Ablasi Dengan Radioaktif Yodium


131
Yodium (I ) merupakan terapi pilihan pada pasien Graves yang relaps
dengan pengobatan antitiroid jangka lama, pasien dengan penyakit tirokardiak berat,
pasien dengan multinodular toksik, dan pasien yang hipersensitif terhadap obat

Universitas Sumatera Utara


131
antitiroid. Terapi I harus dihindari atau ditunda pada pasien Graves dengan
oftalmopati aktif terutama pasien adalah seorang perokok (Batubara, 2010).
131
Dosis yang dipakai untuk terapi I berkisar antara 185-555 MBq (5-15 mCi)
131
tergantung dari ukuran struma dengan besarnya ambilan I sebelumnya.Pada struma
nodular toksik dibutuhkan dosis yang lebih besar untuk mencapai keadaan
131
eutiroid.Penggunaan obat antitiroid sebelum terapi I sebetulnya tidak diperlukan
kecuali pada kasus dengan hipertiroid berat.Metimazol hanya diberikan sebelum
131
pemberian I pada pasien hipertiroid yang berat atau struma yang sangat besar
untuk mencegah eksaserbasi hipertiroid karena tiroiditis sementara (transien) akibat
radiasi (Batubara, 2010).
Obat-obat antitiroid ini diberikan untuk mencapai eutiroid dan kemudian
131
dihentikan 3-5 hari sebelum pemberian I .Pengobatan dengan radioaktif ini
membutuhkan waktu 2-4 bulan.Setelah terapi biasanya pasien menjadi hipotiroid
sehinggga membutuhkan terapi substitusi dengan L-tiroksin (L-T 4).Kondisi pasien
harus dipantau dan dilakukan pemeriksaan darah sekali sebulan untuk mengetahui
efektivitas pengobatan dan untuk memulai terapi hormon tiroid jika
131
dibutuhkan.Terapi dengan I mempunyai efektivitas 90-95%, namun terkadang
dibutuhkan dosis kedua (Batubara, 2010).

2.3.6.4. Pembedahan Tiroidektomi


Tiroidektomi jarang direkomendasikan pada penyakit Graves.Indikasi spesifik
meliputi pasien dengan struma yang sangat besar dan resisten dengan radioaktif, ibu
hamil dengan struma nodular yang alergi terhadap obat antitiroid, pasien alergi obat
131
antitiroid dan tidak ingin diterapi dengan I .Prosedur pembedahan harus dilakukan
oleh ahli bedah yang berpengalaman dan hanya dilakukan setelah pemberian obat-
obatan.Pasien harus mencapai keadaan eutiroid sebelum dioperasi untuk mencegah
timbulnya krisis tiroid setelah operasi.PTU atau metimazol diberikan 7-10 hari
sebelum operasi dan ditambahkan yodium inorganik untuk mengurangi vaskularisasi
kelenjar tiroid.Jika pasien alergi dengan PTU atau metimazol dapat diberikan B-

Universitas Sumatera Utara


bloker dengan yodium inorganik. Pada pasien struma nodular toksik, yodium
inorganik tidak dapat diberikan karena dapat menimbulkan eksaserbasi hipertiroid
(Batubara, 2010).
Komplikasi operasi yang dapat terjadi adalah hipoparatiroid dan kerusakan
nervus laringeus rekuren. Komplikasi tersebut jarang terjadi namun sering dijumpai
hipotiroid permenen, oleh sebab itu pasien harus dievaluasi dalam satu bulan setelah
operasi, kemudian dalam interval beberapa bulan, dan selanjutnya setiap tahun
dengan memantau kadar T4 bebas dan tirotropin dalam serum (Batubara, 2010).

2.3.7. Krisis tiroid


Krisis tiroid merupakan komplikasi yang berat, namun jarang terjadi pada
anak-anak hipertiroid. Biasanya didahului faktor pencetus yakni: pembedahan, infeksi
dan KAD (ketoasidosis diabetik). Hal ini juga terjadi pada saat pembedahan
tiroidektomi maupun terapi ablasi menggunakan radioaktif (Krassas, 2004).
Gejala klinisnya berupa hipertermi akut, berkeringat banyak, takikardia, dan
penurunan kesadaran sampai dengan koma (Krassas, 2004). Terapi harus segera
dilakukan, sebagai berikut:
1. Propanolol 2-3 mg/kgBB/hari dalam dosis terbagi setiap 6 jam untuk
mengendalikan gejala adrenergiknya. Propranolol dapat diberikan
intravena dengan dosis 0,01-0,1 mg/kgBB dengan dosis maksimal 5 mg
dalam 10-15 menit, mulai dengan dosis yang kecil.
2. Dexamethasone diberikan dengan dosis 1-2 mg setiap 6 jam dapat
mengurangi konversi T4 menjadi T3.
3. NaI dengan dosis 1-2 g/hari dapat menurunkan pelepasan hormon tiroid.
4. Larutan Lugol 5 tetes setiap 8 jam dapat diberikan peroral apabila
penderita mulai sadar.
5. Kompres dingin dengan cooling blanket untuk mengendalikan
hiperterminya.

Universitas Sumatera Utara


6. PTU sendiri tidak memberikan efek terapi sampai beberapa hari, tetapi
dapat diberikan untuk jangka lamanya dengan dosis 6-10 mg/kgBB/hari
dalam dosis terbagi 6 jam (dosis maksimal 200-300 mg)
7. Kesimbangan cairan harus selalu terjaga.
8. Jika terdapat tanda-tanda gagal jantung, dapat dipertimbangkan digitalis.

Universitas Sumatera Utara

You might also like