You are on page 1of 43

BAB I

PENDAHULUAN

Hipertensi merupakan penyakit umum yang hanya didefinisikan sebagai peningkatan

terus-menerus tekanan darah arteri (BP). Meskipun peningkatan BP itu dianggap "penting"

untuk perfusi memadai penting dari organ selama awal 1900-an dan menengah, sekarang

diidentifikasi sebagai salah satu faktor risiko yang paling signifikan untuk kardiovaskular

(CV) penyakit. Meningkatkan kesadaran dan diagnosis hipertensi, dan meningkatkan kontrol

BP dengan pengobatan yang tepat, dianggap kritis inisiatif kesehatan masyarakat untuk

mengurangi CV morbiditas dan mortalitas (Dipiro, 2008).

Ketujuh Laporan Komite Nasional Bersama pada deteksi, Evaluasi, dan Penanganan

Tekanan Darah Tinggi (JNC7) adalah pedoman yang paling menonjol berbasis bukti klinis

pada Amerika Serikat untuk pengelolaan hipertensi, ditambah laporan dari American Heart

Association (AHA) Scientific di tahun 2007 Pernyataan terkait pada pengobatan

hypertension. Ulasan komponen yang relevan dari panduan ini dan bukti tambahan dari uji

klinis, dengan fokus pada farmakoterapi dari hipertensi. Data dari National Health and

Nutrition Examination Survey 1999-2000 menunjukkan bahwa penduduk Amerika dengan

hipertensi, 68,9% menyadari bahwa mereka memiliki hipertensi, hanya 58.4% yang

memberikan beberapa bentuk pengobatan antihipertensi, dan hanya 34% dari semua pasien

telah dikendalikan BP. Oleh karena itu, ada banyak kesempatan bagi dokter untuk

meningkatkan perawatan pasien dengan hipertensi.


Gambaran epidemiologi menunjukkan Sekitar 31% dari populasi (72 juta orang

Amerika) memiliki BP tinggi (140 / 90 mm Hg). Persentase laki-laki dengan tinggi BP

adalah lebih tinggi dari wanita sebelum usia 45 tahun, tetapi antara usia 45 dan 54 tahun

persentasenya sedikit lebih tinggi dengan wanita. Setelah usia 55 tahun, persentase yang jauh

lebih tinggi dari wanita memiliki BP lebih tinggi daripada tingkat prevalensi pada pria.

Tertinggi di non Kulit hitam Hispanik (33,5%) diikuti oleh orang kulit putih non-Hispanik

(28,9%) dan Meksiko Amerika (20,7%). Nilai-nilai BP meningkat dengan usia, dan

hipertensi (peningkatan BP secara terus menerus) adalah sangat umum pada orang tua.

Risiko seumur hidup mengembangkan hipertensi di antara mereka 55 tahun dan lebih tua

yang normotensive adalah 90%. Kebanyakan pasien memiliki prehipertensi sebelum mereka

didiagnosis dengan hipertensi, dan sebagian besar diagnosis terjadi antara dekade ketiga dan

kelima dari kehidupan. Dalam populasi usia 60 tahun, prevalensi hipertensi pada tahun

2000 adalah diperkirakan 65,4%, yang secara signifikan lebih tinggi dari 57.9% prevalensi

diperkirakan pada tahun 1.988 (Dipiro 7th, 2008).

Hipertensi adalah salah satu penyakit mematikan di dunia karena penyakit ini bisa

memicu penyakit kelas berat sepert gagal jantung dan stroke. Sebanyak satu miliar orang di

dunia atau satu dari 4 orang dewasa penderita penyakit. Diperkirakan jumlah penderita

hipertensi akan meningkat menjadi 1,6 miliar menjelang tahun 2025. Dari berbagai penelitian

epidemiologis yang dilakukan di Indonesia menunjukkan 1,8-28,6% penduduk yang berusia

di atas 20 tahun adalah penderita hipertensi. Meski jumlah penderita ini sangat banyak,

namun penyakit ini sering tidak disadari oleh penderitanya.

2
Tekanan darah dalam kehidupan seseorang bervariasi secara alami. Bayi dan anak-anak

secara normal memiliki tekanan darah yang jauh lebih rendah daripada dewasa. Tekanan

darah juga dipengaruhi akttifitas fisik, di mana akan lebih tinggi pada saat melakukan

aktivitas dan lebih rendah ketika beristirahat. Tekanan darah dalam 1 hari juga berbeda;

paling tinggi pada waktu pagi hari dan paling rendah pada saat tidur malam hari (Dorothy,

2011).

3
BAB II

URAIAN HIPERTENSI

Definisi Hipertensi

Hipertensi didefinisikan sebagai tekanan darah diastolik yang tetap dan lebih besar dari

90 mmHGdisertai dengan kenaikan tekanan darah sistolik (140 mmHg). Hipertensi

disebabkan oleh peningkatan tonus otot polos vaskular perifer, yang menyebabkn

peningkatan resistensi arteriola dan menurunnya kapasitas sistem pembuluh vena. Meskipun

pada banyak orang tanpa gejala, hipertensi kronik-sistolik ataupun diastolik dapat

menyebabkan gagal jantung kongestif, infark miokard, kerusakan ginjal dan cedera

serebrovaskular. Insidens morbiditas dan mortalitas sangat menurun jika hipertensi

terdiagnosa lebih awal dan diobati dengan baik (Mycek, 2001).

Etiologi Hipertensi

Berdasarkan penyebabnya hipertensi dibagi menjadi dua golongan, yaitu:

1. Hipertensi essensial atau hipertensi primer yang tidak diketahui penyebabnya, disebut juga

hipertensi idiopatik. Terdapat sekitar 95% kasus. Banyak faktor yang mempengaruhinya

seperti genetik, lingkungan hiperaktivitas susunan saraf simpatis, sistem renin angiotensin,

defek dalam ekskresi Na, Pemingkatan Na dan Ca intraseluler, dan faktor-faktor yang

meningkatkan resiko, seperti obesitas, alkohol, merokok, serta polisitemia.

2. Hipertensi sekunder atau hipertensi renal. Terdapat sekitar 5% kasus. Penyebab spesifiknya

diketahui, seperti penggunaan estrogen, penyakit ginjal, hipertensi vaskular renal,

hiperaldosteronisme primer, dan sindrom Gushing, feokromositoma, koarktosiaorta,

hipertensi yang berhubungan dengan kehamilan, dan lain-lain (Mansjoer, et al. 2009).

4
Patofisiologi

Tekanan darah arteri

Tekanan darah arteri adalah tekanan yang diukur pada dinding arteri dalam millimeter

merkuri (mmHg). Dua tekanan darah arteri yang biasanya diukur, tekanan darah sistolik

(TDS) dan tekanan darah diastolik (TDD). TDS diperoleh selama kontraksi jantung dan TDD

diperoleh setelah kontraksi sewaktu bilik jantung diisi.

Banyak faktor yang mengontrol tekanan darah berkontribusi secara potensial dalam

terbentuknya hipertensi; faktor-faktor tersebut adalah :

1. Meningkatnya aktifitas sistem saraf simpatik (tonus simpatis dan/atau variasi diurnal),

mungkin berhubungan dengan meningkatnya respons terhadap stress psikososial dll

2. Produksi berlebihan hormon yang menahan natrium dan vasokonstriktor

3. Asupan natrium (garam) berlebihan

4. Tidak cukupnya asupan kalium dan kalsium

5. Meningkatnya sekresi renin sehingga mengakibatkan meningkatnya produksi angiotensin II

dan aldosteron

6. Defisiensi vasodilator seperti prostasiklin, nitrik oxida (NO), dan peptide natriuretik

7. Perubahan dalam ekspresi sistem kallikrein-kinin yang mempengaruhi tonus vaskular dan

penanganan garam oleh ginjal

8. Abnormalitas tahanan pembuluh darah, termasuk gangguan pada pembuluh darah kecil di

ginjal

9. Diabetes mellitus

10. Resistensi insulin

11. Obesitas

5
12. Meningkatnya aktivitas vascular growth factors

13. Perubahan reseptor adrenergik yang mempengaruhi denyut jantung, karakteristik inotropik

dari jantung, dan tonus vaskular

14. Berubahnya transpor ion dalam sel (Ditjen Binfar, 2006)

Gambar 1. Mekanisme Patofisiologi penyakit hipertansi

Regulasi Tekanan Darah

Tekanan darah arteri diatur dalam batas-batas tertentu untuk perfusi jaringan yang

cukup tanpa menyebabkan kerusaakan pada sistem vaskular, terutama intima arterial.

Tekanan darah arterial langsung seimbang dengan hasil curah jantung dan resistensi vaskular

perifer. Pada orang normal dan hipertensi, curah jantung dan resistensi perifer diatur oleh

suatu mekanisme pengatur yang saling tumpang tindih: barorefleks disalurkan melalui sistem

saraf simpatik, dan sistem renin-angiotensin-aldosteron. Obat-obat antihipertensi pada

umumnya menurunkan tekanan darah dengan mengurangi curah jantung dan/atau

menurunkan resistensi perifer.

6
1. Sistem baroreseptor dan sistem saraf simpatis

Barorefleks mencakup sistem simpatis yang diperlukan untuk pengaturan tekanan darah

yang cepat dari waktu ke waktu. Turunnya tekanan darah menyebabkan neuron-neuron yang

sensitif terhadap tekanan (baroreseptor pada arkus aorta dan sinus karotid) akan

mengirimkan impuls yang lebih lemah kepada pusat-pusat kardiovaskular dalam sambungan

sumsum. Ini akan menimbulkan peningkatan respons refleks pusat simpatik dan penurunan

pusat parasimpatik terhadap jantung dan pembuluh, yang mengakibatkan vasokontriksi dan

meningkatnya isi sekuncup jantung. Prubahan ini akan menurunkan kenaikan tekanan darah

kompensasi.

2. Sistem renin-angiotensin-aldosteron

Ginjal mengatur tekanan darah jangka panjang dengan mengubah volume darah.

Baroreseptor pada ginjal menyebabkan penurunan tekanan darah (dan stimulasi reseptor -

adrenergik simpatik) dengan cara mengeluarkan enzim renin. Peptidase ini akan mengubah

angiotensinogen menjadi angiotensin I yang selanjutnya dikonversi menjadi angiotensin II

oleh enzim pengkonversi angiotensin (ACE). Angiotensin II adalah vasokontriktor yang

sangat poten dalam sirkulasi, menyebabkan peningkatan tekanan darah. Lebih lanjut,

angiotensin II ini memacu sekresi aldosteron, sehingga reabsorbsi natrium ginjal dan volume

darah meningkat, yang seterusnya juga akan meningkatkan tekanan darah (Mycek, 2001).

Manifestasi Klinik

Peninggian tekanan darah kadang-kadang merupakan satu-satunya gejala, Bila

demikian gejala baru muncul setelah terjadi komplikasi pada ginjal, mata, otak, atau jantung.

Gejala lain yang sering ditemukan adalah sakit kepala, epistaksis, marah, telinga

berdengung, rasa berat ditengkuk, sukar tidur, mata berkunang-kunang, dan pusing.

7
Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium rutin yang dilakukan sebelum memulai terapi bertujuan

menentukan adanya kerusakan organ dan faktor risiko lain atau mencari penyebab hipertensi.

Biasanya diperiksa urinalisa, darah perifer lengkap, kimia darah (kalium, natrium, kreatinin,

gula darah puasa, kolesterol total, kolesterol HDL, dan EKG. Sebagai tambahan dapat

dilakukan pemeriksaan lain, seperti klirens kreatinin, protein urin 24 jam, asam urat,

kolesterol LDL, TSH dan Ekokardiografi (Mansjoer, 2009).

Diagnosis

1. Hipertensi tidak dapat ditegakkan dalam satu kali pengukuran tekanan darah, tetapi dapat

ditegakkan setelah 2 kali atau lebih pengukuran pada kunjungan yang berbeda, kecuali terjadi

peningkatan tekanan darah yang tinggi atau gejala-gejala klinis pendukung pada pemeriksaan

yang pertama kali.

2. Klasifikasi Hipertensi menurut WHO

Klasifikasi Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg)


Normotensi < 140 < 90 < 90
Hipretensi ringan 140 180 90 105
Hipertensi perbatasan 140 160 90 95
Hipertensi sedang-berat > 180 > 105
Hipertensi sistolik terisolasi > 140 < 90
Hipertensi sistolik perbatasan 140 160 < 90
(Priyanto, 2009)

8
BAB III

PENATALAKSANAAN

Tujuan Terapi

1. Menurunkan morbiditas dan mortalitas

2. Menurunkan tekanan darah hingga mencapai :

a. < 140/90 mmHg pada hipertensi non komplikasi

b. < 130/85 mmHg pada pasien DM, dan gagal ginjal

c. < 125/75 mmHg pada gangguan ginjal berat

d. < 140 mmHg pada hipertensi sistolik

3. Menghindari hipotensi dan ESO yang lain serta mencegah kerusakan organ (stroke,

retinofati, gagal jantung, gagal ginjal, dan infark jantung).

Terapi Hipertensi

1. Non Famakologi

a. Mengidentifikasi dan mengurangi faktor resiko seperti :

Merokok

Dislipidemia

Diabetes mellitus (DM)

> 60 th pada laki-laki dan wanita post menopause

Riwayat keluarga menderita hipertensi

Obesitas (Body mass index atau BMI > 30 kg/m2) dn penyakit jantung

Aktivitas fisik yang kurang

9
b. Modifikasi gaya hidup

Menurunkan berat badan bila berlebihan (BMI > 27 kg/m2)

Membatasi komsumsi alkohol

Meningkat aktivitas fisik aerobik (30-45 menit/hari)

Mengurangi asupan garam (2,4 gNa atau 6 g NaCl/hari)

Mempertahankan asupan kalium yang adequate

Berhenti merokok dan mengurangi asupan lemak/kolesterol dalam makanan

c. Terapi Farmakologi

a. Pemilihan obat harus berdasarkan pada efektivitasnya dalam mengurangi morniditas dan

mortalitas, keamanan, biaya, penyakit yang menyertainya, dan faktor resiko yang lain

b. Pilihan awal tergantung pada tingginya tekanan darah (TD) dan adanya kondisi khusus

tertentu yang akan mempengaruhi pemilihan obat (compelling). Kebanyakan hipertensi

tingkat I harus diawali dengan pemberian diuretik tiazid. Hpertensi tingkat II menggunakan

kombinasi yang salah satunya adalah diuretik thiazid, jika tidak ada kontraindikasi.

c. Kondisi khusus yang akan mempengaruhi pemilihan obat antihipertensi antara lain:

- Diuretik, bloker, ACE inhibitor, angiotensin II receptor blocker (ARBs), dan calcium

channer blockers (CCBs) adalah pilihan pertama berdasarkan efektivitas dan keamanan

terhadap organ tertentu, serta berdasarkan morbiditas dan mortalitas.

- 1 bloker, central 2-agonis, penghambat adrenergik, dan vasodilator adalah obat alternatif

setelah obat pertama.

10
- Hanya sekita 40% tujuan pengobatan dicapai dengan pemberian obat tunggal pemberian

obat kedua dipilih yang efeknya adiktif dengan obat pertama. Jika diuretik bukan pilihan

pertama, obat tersebut harus merupakan obat ke 2, jika tidak kontraindikasi.

Kondisi khusus yang Perlu Perhatian Dalam Memilih Obat

Pemilihan obat harsu mempertimbangkan kondisi khusus itu supaya tujuan umum

pengobatan yang mengurangi morbiditas, mortalitas, dan perlindungan organ dapat tercapai.

1. Gagal jantung

a. Diuretik merupakan pilihan utama karena dapat mengurangi udem dengan efek diuresisnya.

Diuretik kuat mungkin diperlukan, terutama pasien dengan tekanan sistolik yang besar.

b. ACE inhibitor juga merupakan obat pilihan pertama berdasarkan pada bukti-bukti uji klinis

yang terbukti paling baik dalam menurunkan morbiditas dan mortalitas. Pada pasien gagal

jantung yang mempunyai kadar renin dan angiotensin II tinggi, terapi harus dimulai dengan

dosis kecil untuk menghindari hipotensi ortostik.

c. ARB dapat sebagai alternatif ACE inhibiitor pada pasien yang tidak dapat menerima ACE

inhibitor.

2. Pasien yang telah mengalami Infark jantung (Postmyocardial Infarction)

a. bloker mengunragi stimulasi kerja jantung dan akan menurunkan resiko terjadinya infark

berikutnya dan meninggal mendadak karena infark.

b. ACE inhibitor meningkatkan fungsi jantung dan dapat mengurangi kejadian infark.

3. Pasien dengan resiko tinggi (High Coronary Disease Risk)

a. bloker merupakan terapi lini pertama pada angina kronik stabil (chronic stable angina) dan

tidak stabil (unstable angina), dan myocardial infarction.

11
b. CCBs (kecuali dihidropiridin verapamil dan diltiazem) menurunkan tekanan darah dan

mengurangi kebutuhan oksigen jantung. Dihidropiridin CCBs mungkin menyebabkan

stimulasi jantung dan harus dicadangkan sebagai pilihan ke 2 atau ke 3.

4. Diabetes Millitus

a. Sasaran TD pada penderita DM adalah kurang dari 130/80 mmHg

b. Semua pasien DM dan hipertensi harus diterpi dengan menggunakan baik ACE inhibitor atau

ARB. Kedua golongan obat tersebut bersifat nephroprotection dan menurunkan resiko pada

cardiovaskuler.

c. Diuretik thiazid direkomendasikan jika obat ke dua diperlukan.

d. CCBs juga bermanfaat sebagai obat tambahan jika diperlukan untuk mengontrol TD pada

kasus DM

5. Chronic Kidney Disease

a. ACE inhibitor dan ARB menurunkan TD dan juga menurunkan tekanan intragomeruler, yang

selanjutnya akan mengurangi menurunnya fungsi ginjal. Beberapa data menunjukkan bahwa

kombinasi ACE inhibitor dan ARB mungkin lebig efektif dibandingkan masing-masing obat.

b. Karena pasien biasanya memerlukan kombinasi obat, diuretik, dan CCB sering diperlukan

(Priyanto, 2009).

Pertimbangan lain dalam Pemilihan obat Antihipertensi

1. Efek yang berpotensi menguntungkan

- Diuretik tipe thiazide berguna untuk memperlambat demineralisasi pada osteoporosis.

- -blocker dapat berguna untuk pengobatan atrial takhiaritmia/fibrilasi,

migraine, tirotoksikosis (jangka pendek), atau tremor esensial.

12
- Kalsium antagonis dapat berguna juga untuk pengobatan sindroma Raynaud dan aritmia tertentu

- -blocker dapat berguna untuk gangguan prostat .

2. Efek yang berpotensi tidak menguntungkan

- Diuretik tipe thiazide harus digunakan dengan hati-hati pada pasien dengan diagnosa pirai atau

yang mempunyai sejarah medis hiponatremia yang bermakna.

- Hindari penggunaan penyekat pada pasien asma, reactive airway disease, atau second or third

degree heart block

- ACEI dan ARB tidak boleh diberikan kepada perempuan punya rencana hamil dan kontraindikasi

pada perempuan hamil. ACEI tidak boleh diberikan pada pasien dengan riwayat angioedema.

- Antagonis aldosteron dan diuretic penahan kalium dapat menyebabkan hiperkalemia, sehingga

jangan diberikan kepada pasien dengan kalium serum >5.0 mEq/L (tanpa minum obat apa-apa)

Pembahasan masing-masing kelas obat

1. Diuretik

Diuretik, terutama golongan tiazid, adalah obat lini pertama untuk kebanyakan pasien

dengan hipertensi. Bila terapi kombinasi diperlukan untuk mengontrol tekanan darah, diuretik

salah satu obat yang direkomendasikan. Empat subkelas diuretik digunakan untuk mengobati

hipertensi: tiazid, loop, agen penahan kalium, dan antagonis aldosteron. Diuretik penahan kalium

adalah obat antihipertensi yang lemah bila digunakan sendiri tetapi memberikan efek aditif bila

dikombinasi dengan golongan tiazid atau loop. Selanjutnya diuretik ini dapat menggantikan

kalium dan magnesium yang hilang akibat pemakaian diuretik lain. Antagonis aldosteron

(spironolakton) dapat dianggap lebih poten dengan mula kerja yang lambat (s/d 6 minggu untuk

spironolakton). Tetapi, JNC 7 melihatnya sebagai kelas yang independen karena bukti

mendukung indikasi khusus.

13
Pada pasien dengan fungsi ginjal cukup ( GFR> 30 ml/menit), tiazid paling efektif untuk

menurunkan tekanan darah. Bila fungsi ginjal berkurang, diuretik yang lebih kuat diperlukan

untuk mengatasi peningkatan retensi sodium dan air. Furosemid 2x/hari dapat digunakan. Jadwal

minum diuretik harus pagi hari untuk yang 1x/hari, pagi dan sore untuk yang 2x/hari untuk

meminimalkan diuresis pada malam hari. Dengan penggunaan secara kronis, diuretik tiazide,

diuretik penahan kalium, dan antagonis aldosteron jarang menyebabkan diuresis yang nyata.

Perbedaan farmakokinetik yang penting dalam golongan tiazid adalah waktu paruh dan lama efek

diuretiknya. Hubungan perbedaan ini secara klinis tidak diketahui karena waktu paruh dari

kebanyakan obat antihipertensi tidak berhubungan dengan lama kerja hipotensinya. Lagi pula,

diuretik dapat menurunkan tekanan darah terutama dengan mekanisme extrarenal. Diuretik

sangat efektif menurunkan tekanan darah bila dikombinasi dengan kebanyakan obat

antihipertensif lain. Kebanyakan obat antihipertensi menimbulkan retensi natrium dan air;

masalah ini diatasi dengan pemberian diuretik bersamaan. Efek samping diuretik tiazid termasuk

hipokalemia, hipomagnesia, hiperkalsemia, hiperurisemia, hiperglisemia, hiperlipidemia, dan

disfungsi seksual. Diuretik loop dapat menyebabkan efek samping yang sama, walau efek pada

lemak serum dan glukosa tidak begitu bermakna, dan kadang-kadang dapat terjadi hipokalsemia.

Studi jangka pendek menunjukkan kalau indapamide tidak mempengaruhi lemak atau glukosa

atau disfungsi seksual. Semua efek samping diatas berhubungan dengan dosis. Kebanyakan efek

samping ini teridentifikasi dengan pemberian tiazid dosis tinggi (misalnya HCT 100mg/hari).

Guideline sekarang menyarankan dosis HCT atau klortalidone 12.5 25 mg/hari, dimana efek

samping metabolik akan sangat berkurang. Diuretik penahan kalium dapat menyebabkan

hiperkalemia, terutama pada pasien dengan penyakit ginjal kronis atau diabetes dan pada pasien

yang menerima ACEI, ARB, NSAID, atau supplemen kalium. Hiperkalemia sangat bermasalah

14
terutama dengan eplerenone, antagonis aldosteron yang terbaru. Karena sangat selektif antagonis

aldosteron, kemampuannya menyebabkan hiperkalemia melebihi diuretik penahan kalium

lainnya, bahkan spironolakton. Eplerenone dikontraindikasikan untuk pasien dengan gangguan

fungsi ginjal atau diabetes tipe 2 dengan proteinuria. Kalau spironolakton menyebabkan

gynecomastia pada 10% pasien, dengan eplerenon gynecomastia jarang terjadi.

2. Penghambat enzim konversi angiotensin (ACEI),

ACEI dianggap sebagai terapi lini kedua setelah diuretik pada kebanyakan pasien

dengan hipertensi. Studi ALLHAT menunjukkan kejadian gagal jantung dan stroke lebih

sedikit dengan klortalidon dibanding dengan lisinopril. Perbedaan untuk stroke konsisten

dengan hasil trial lainnya, the Captopril Prevention Project (CAPP). Pada studi dengan

lansia, ACEI sama efektifnya dengan diuretik dan penyekat beta, dan pada studi yang lain

ACEI malah lebih efektif. Lagi pula, ACEI mempunyai peranan lain pada pasien dengan

hipertensi plus kondisi lainnya. Kebanyakan klinisi setuju bila ACEI bukan merupakan terapi

lini pertama pada kebanyakan pasien hipertensi, tetapi sangat mendekati diuretik. ACEI

menghambat perubahan angiotensin I menjadi angiotensin II, dimana angiotensin II adalah

vasokonstriktor poten yang juga merangsang sekresi aldosteron (lihat gambar 2).

15
Gambar 2. Sistem renin-angiotensin dan system kallikrein-kinin

ACEI juga memblok degradasi bradikinin dan merangsang sintesa zat-zat yang

menyebabkan vasodilatasi, termasuk prostaglandin E2 dan prostasiklin. NPeningkatan

bradikinin meningkatkan efek penurunan tekanan darah dari ACEI, tetapi juga bertanggung

jawab terhadap efek samping batuk kering yang sering dijumpai pada penggunaan ACEI.

ACEI secara efektif mencegah dan meregresi hipertrofi ventrikel kiri dengan mengurangi

perangsangan langsung oleh angiotensin II pada sel miokardial. JNC 7 mencantumkan 6

indikasi khusus dari ACEI, menunjukkan banyak kegunaan yang berdasarkan bukti

(evidence-based) dari kelas obat ini (lihat gambar 3).

Gambar 3. Kombinasi yang memungkinkan dari kelas yang berbeda untuk obat-obat
antihipertensi

16
Beberapa studi menunjukkan kalau ACEI mungkin lebih efektif dalam menurunkan

resiko kardiovaskular dari pada obat antihipertensi lainnya. Pada DM tipe 2, dua studi

menunjukkan kalau ACEI superior daripada CCB. Tetapi pada UKPDS, captopril ekivalen

dengan atenolol dalam mencegah kejadian kardiovaskular pada pasien dengan DM tipe 2.

ACEI menurunkan morbiditas dan mortalitas pada pasien dengan gagal jantung42 dan

memperlambat progres penyakit ginjal kronis. Golongan ACEI harus digunakan sebagai

pengobatan lini pertama dalam terapi pada pasien-pasien ini, kecuali terdapat kontraindikasi

absolut. Selain terapi dengan penyekat beta, bukti menunjukkan kalau ACEI lebih jauh

menurunkan resiko kardiovaskular pada angina stabil kronis (EUROPA) dan pada pasien-

pasien pasca infark miokard (HOPE). Akhirnya, data dari PROGRESS menunjukkan

berkurangnya resiko stroke yang kedua kali dengan kombiasi ACEI dan diuretik tiazid.

Kebanyakan ACEI dapat diberikan 1 kali/hari kecuali kaptopril, waktu paruhnya pendek ,

biasanya dua sampai tiga kali/hari. Kaptopril, enalapril, dan lisinopril diekskresi lewat urin,

jadi penyesuaian dosis diperlukan pada pasien dengan penyakit ginjal kronis yang parah.

Penyerapan kaptopril berkurang 30 40 % bila diberikan bersama makanan.

ACEI dapat di toleransi dengan baik oleh kebanyakan pasien tetapi tetap mempunyai

efek samping. ACEI mengurangi aldosteron dan dapat menaikkan kosentrasi kalium serum.

Biasanya kenaikkannya sedikit, tetapi hiperkalemia dapat terjadi. Terlihat terutama pada

pasien dengan penyakit ginjal kronis, atau diabetes melitus dan pada pasien yang juga

mendapat ARB, NSAID, supplemen kalium, atau diuretik penahan kalium. Monitoring serum

kalium dan kreatinin dalam waktu 4 minggu dari awal pemberian atau setelah menaikkan

dosis ACEI sering dapat mengidentifikasi kelainan ini sebelum dapat terjadkomplikasi yang

serius. Angiedema adalah komplikasi yang serius dari terapi dengan ACEI. Sering ditemui

17
pada African-Amerian dan perokok. Gejala berupa bengkak pada bibir dan lidah dan

kemungkinan susah bernafas. Hentikan pemberian ACEI untuk semua pasien dengan

angioedema, tetapi edema laring dan gejala pulmonal kadanag-kadang terjadi dan

memerlukan terapi dengan epinefrin, kortikosteroid, antihistamin, dan/atau intubasi

emergensi untuk membantu respirasi. Batuk kering yang persisten terlihat pada 20% pasien;

dapat dijelaskan secara farmakologi karena ACEI menghambat penguraian dari bradikinin.

Batuk yang disebabkan tidak menimbulkan penyakit tetapi sangat menganggu ke pasien. Bila

ACEI diindikasikan untuk indikasi khusus gagal jantung, diabetes, atau penyakit ginjal

kronis; pada pasien-pasien dengan batuk kering, ACEI diganti dengan ARB. ACEI

merupakan kontraindikasi absolut untuk perempuan hamil dan pasien dengan riwayat

angioedema. ACEI harus dimulai dengan dosis rendah terutama pada pasien dengan deplesi

natrium dan volume, eksaserbasi gagal jantung, lansia, dan yang juga mendapat vasodilator

dan diuretik karena hipotensi akut dapat terjadi. Penting untuk memulai dengan dosis

normal untuk pasien-pasien diatas dan dosis dinaikkan pelan-pelan.

3. Penyekat reseptor angiotensin II (ARB)

Angitensinogen II dihasilkan dengan melibatkan dua jalur enzim: RAAS (Renin

Angiotensin Aldosterone System) yang melibatkan ACE, dan jalan alternatif yang

menggunakan enzim lain seperti chymase ACEI hanya menghambat efek angiotensinogen

yang dihasilkan melalui RAAS, dimana ARB menghambat angiotensinogen II dari semua

jalan. Oleh karena perbedaam ini, ACEI hanya menghambat sebagian dari efek

angiotensinogen II. ARB menghambat secara langsung reseptor angiotensinogen II tipe 1

(AT1) yang memediasi efek angiotensinogen II yang sudah diketahui pada manusia:

18
vasokonstriksi, pelepasan aldosteron, aktivasi simpatetik, pelepasan hormon antidiuretik dan

konstriksi arteriol efferen dari glomerulus. ARB tidak memblok reseptor angiotensinogen

tipe 2 (AT2). Jadi efek yang menguntungkan dari stimulasi AT2 (seperti vasodilatasi,

perbaikan jaringan, dan penghambatan pertumbuhan sel) tetap utuh dengan penggunaan

ARB. Studi menunjukkan kalau ARB mengurangi berlanjutnya kerusakan organ target

jangka panjang pada pasien-pasien dengan hipertensi dan indikasi khusus lainnya.

Tujuh ARB telah di pasarkan untuk mengobati hipertensi; semua obat ini efektif

menurunkan tekanan darah. ARB mempunyai kurva dosis-respon yang datar, berarti

menaikkan dosis diatas dosis rendah atau sedang tidak akan menurunkan tekanan darah yang

drastis. Penambahan diuretik dosis rendah akan meningkatkan efikasi antihipertensi dari

ARB. Seperti ACEI, kebanyakan ARB mempunyai waktu paruh cukup panjang untuk

pemberian 1 x/hari. Tetapi kandesartan, eprosartan, dan losartan mempunyai waktu paruh

paling pendek dan diperlukan dosis pemberian 2x/hari agar efektif menurunkan tekanan

darah. ARB mempunyai efek samping paling rendah dibandingkan dengan obat

antihipertensi lainnya. Karena tidak mempengaruhi bradikinin, ARB tidak menyebabkan

batuk kering seperti ACEI. Sama halnya dengan ACEI, ARB dapat menyebabkan insufisiensi

ginjal, hiperkalemi, dan hipotensi ortostatik. Hal-halyang harus diperhatikan lainnya sama

dengan pada penggunaan ACEI. Kejadian batuk sangat jarang, demikian juga angiedema;

tetapi cross-reactivity telah dilaporkan. ARB tidak boleh digunakan pada perempuan hamil.

4. Penyekat Beta

Penyekat beta telah digunakan pada banyak studi besar untuk hipertensi. Sebelumnya

penyekat beta disarankan sebagi obat lini pertama bersama diuretik. Tetapi, pada kebanyakan

trial ini, diuretik adalah obat utamanya, dan penyekat beta ditambahkan untuk menurunkan

19
tekanan darah. Beberapa studi telah menunjukkan berkurangnya resiko kardiovaskular

apabila penyekat beta digunakan pasca infark miokard, pada sindroma koroner akut, atau

pada angina stabil kronis. Walaupun pernah dikontraindikasikan pada penyakit gagal jantung,

banyak studi telah menunjukkan kalau karvedilol dan metoprolol suksinat menurunkan

mortalitas pada pasien dengan gagal jantung sistolik yang sedang diobati dengan diuretik dan

ACEI. Atenolol digunakan pada DM tipe 2 pada studi UKPDS dan menunjukkan efek yang

sebanding, walaupun tidak lebih baik dalam menurunkan resiko kardiovaskular dibandingkan

dengan captopril.

Ada perbedaan farmakodinamik dan farmakokinetik diantara penyekat beta yang ada,

tetapi menurunkan tekanan darah hampir sama. Ada tiga karakteristik farmakodinamik dari

penyekat beta yang membedakan golongan ini yaitu efek:

Kardioselektif (cardioselektivity)

ISA (intrinsic sympathomimetic activity)

Mestabilkan membrane (membran-stabilizing)

Penyekat beta yang mempunyai afinitas yang lebih besar terhadap reseptor beta-1 dari

pada reseptor beta-2 adalah kardioselektif. Adrenoreseptor beta-1 dan beta-2 terdistribusi di

seluruh tubuh, tetapi terkosentrasi pada organ-organ dan jaringan tertentu. Beta-1 reseptor

lebih banyak pada jantung dan ginjal, dan beta-2 reseptor lebih banyak ditemukan pada

paruparu, liver, pankreas, dan otot halus arteri. Perangsangan reseptor beta-1 menaikkan

denyut jantung, kontraktilitas, dan pelepasan rennin. Perangsangan reseptor beta-2

menghasilkan bronchodilatatasi dan vasodilatasi. Penyekat beta yang kardioselektif kecil

20
kemungkinannya untuk mencetuskan spasme bronkus dan vasokonstriksi. Juga, sekresi

insulin dan glikogenolisis secara adrenergik dimediasi oleh reseptor beta-2. Penghambatan

reseptor beta-2 dapat menurunkan proses ini dan menyebabkan hiperglikemi atau

menimbulkan perbaikan hipoglikemi.

Atenolol, betaxolol, bisoprolol, dan metoprolol adalah penyekat beta yang

kardioselektif; jadi lebih aman daripada penyekat beta yang nonselektif pada pasien asma,

PPOK, penyakit arteri perifer, dan diabetes yang karena alasan khusus harus diberi penyekat

beta. Tetapi, kardioselektifitas adalah fenomena yang tergantung dosis. Pada dosis yang lebih

tinggi, penyekat beta yang kardioselektif kehilangan selektifitas relatifnya untuk reseptor

beta-1 dan akan memblok reseptor beta-2 seefektif memblok reseptor beta-1. Pada dosis

berapa kardioselektifitas hilang tergantung dari pasien ke pasien. Pada umumnya, penyekat

beta yang kardioselektif lebih disukai bila digunakan untuk mengobati. hipertensi. Beberapa

penyekat beta mempunyai aktivitas simpatomimetik intrinsic (ISA). Acebutolol, carteolol,

penbutolol, dan pindolol adalah penyekat beta ISA yang bekerja secara agonis beta reseptor

parsial. Tetapi penyekat beta ISA ini tidak menurunkan kejadian kardiovaskular dibanding

dengan penyekat beta yang lain. Malahan, obat-obat ini dapat meningkatkan resiko pasca

infark miokard atau pada pasien dengan resiko penyakit koroner yang tinggi. Jadi, ISA jarang

diperlukan.

Akhirnya, semua penyekat beta mempengaruhi aksi menstabilkan membrane

(membrane-stabilising action) pada sel jantung bila dosis cukup besar digunakan. Aktifitas

ini diperlukan bila karakteristik antiaritmik dari penyekat beta diperlukan. Perbadaan

farmakokinetik diantara penyekat beta berhubungan dengan first pass metabolisme, waktu

paruh, derajat kelarutan dalam lemak (lipophilicity), dan rute eliminasi. Propranolol dan

21
metoprolol mengalami first-pass metabolism, jadi dosis yang diperlukan untuk memblok

reseptor beta akan bervariasi dari pasien ke pasien. Atenolol dan nadolol mempunyai waktu

paruh panjang dan di ekskresi lewat ginjal. Walaupun waktu paruh dari penyekat beta lainnya

jauh lebih singkat,pemberian 1x/hari efektif karena waktu paruh dalam serum tidak

berhubungan dengan lama keja hipotensinya. Penyekat beta bervariasi dalam sifat

lipofiliknya atau penetrasinya ke susunan saraf pusat. Semua penyekat beta melewati sawar

darah-otak, tetapi agen lipofilik berpenetrasi lebih jauh dibanding yang hidrofilik.

Propranolol yang paling lipofilik dan atenolol yang sedikit lipofiliknya. Jadi kosentrasi

propranolol di otak lebih tinggi dibanding atenolol bila dosis yang ekivalen diberikan. Hal ini

mengakibatnya efek samping sistim saraf pusat (seperti pusing dan mengantuk) dengan agen

lipofilik seperti propranolol. Tetapi, sifat lipofilik ini memberikan efek yang lebih untuk

kondisi nonkardiovaskular seperti migraine, mencegah sakit kepala, tremor essensial, dan

tirotoksikosis. Pemberian penyekat beta tiba-tiba dapat menyebabkan angina tidak stabil,

infark miokard, dan bahkan kematian pada pasien-pasien dengan resiko tinggi penyakit

koroner. Pemberhentian tiba-tiba juga dapat menyebabkan rebound hypertension(naiknya

tekanan darah melebihi tekanan darah sebelum pengobatan). Untuk mencegah ini, penyekat

beta harus diturunkan dosis dan diberhentikan secara perlahan-lahan selama 1 -2 minggu.

Seperti diuretic, penyekat beta menaikkan serum kolesterol dan glukosa, tetapi efek ini

transien dan secara klinis bermakna sedikit. Penyekat beta dapat menaikkan serum

trigliserida dan menurunkan kolesterol HDL sedikit. Penyekat beta dengan karakteristik

memblok penyekat alfa (karvedilol dan labatalol) tidak mempengaruhi kadar lemak.

5. Antagonis kalsium (CCB)

22
CCB bukanlah agen lini pertama tetapi merupakan obat antihipertensi yang efektif,

terutama pada ras kulit hitam. CCB mempunyai indikasi khusus untuk yang beresiko tinggi

penyakit koroner dan diabetes, tetapi sebagai obat tambahan atau pengganti. Data

menunjukkan kalau dihidropiridine tidak memberikan perlindungan terhadap kejadian

jantung (cardiac events) dibandingkan dengan terapi konvensional (diuretik dan penyekat

beta) atau ACEI pada pasien tanpa komplikasi. Pada pasien dengan hipertensi dan diabetes,

ACEI terlihat lebih kardioprotektif dibanding dihidropiridin. Studi dengan CCB

nondihidropiridin diltiazem dan verapamil terbatas, tetapi studi NORDIL menemukan

diltiazemm ekivalen dengan diuretik dan penyekat beta dalam menurunkan kejadian

kardiovaskular. CCB dihidropiridin sangat efektif pada lansia dengan hipertensi sistolik

terisolas (isolated systolic hypertension). JNC 7 tidak mencantumkan hipertensi sistolik

terisolasi berbeda dengan tipe hipertensi lainnya, dan diuretik tetap terapi lini pertama.

Bagaimanapun, CCB dihidropiridin long-acting dapat digunakan sebagai terapi tambahan

bila diuretik tiazid tidak dapat mengontrol tekanan darah, terutama pada pasien lansia dengan

tekanan darah sistolik meningkat.

CCB bekerja dengan menghambat influx kalsium sepanjang membran sel. Ada dua tipe

voltage gated calcium channel: high voltage channel (tipe L) dan low voltage channel (tipe

T). CCB yang ada hanya menghambat channel tipe L, yang menyebabkan vasodilatasi

koroner dan perifer. Ada dua subkelas CCB, dihidropiridin dan nondihidropiridine.

Keduanya sangat berbeda satu sama lain. Efektifitas antihipertensinya hampir sama, tetapi

ada perbedaan pada efek farmakodinami yang lain. Nondihidropiridin (verapamil dan

diltiazem) menurunkan denyut jantung dan memperlambat konduksi nodal atriventrikular.

23
Verapamil menghasilkan efek negatif inotropik dan kronotropik yang bertanggung

jawab terhadap kecenderungannya untuk memperparah atau menyebabkan gagal jantung

pada pasien resiko tinggi. Diltiazem juga mempunyai efek ini tetapi tidak sebesar verapamil.

Nifedipin yang bekerja cepat (immediate-release) telah dikaitkan dengan meningkatnya

insiden efek samping kardiovaskular dan tidak disetujui untuk pengobatan hipertensi. Efek

samping yang lain dari dihidropiridin adalah pusing, flushing, sakit kepala, gingival

hyperplasia, edema perifer, mood changes, dan gangguan gastrointestinal. Efek samping

pusing, flushing, sakit kepala, dan edema perifer lebih jarang terjadi pada nondihidropiridin

verapamil dan diltiazem karena vasodilatasinya tidak sekuat dihidropiridin. Diltiazem dan

verapamil dapat menyebabkan anorexia, nausea, edema perifer, dan hipotensi. Verapamil

menyebabkan konstipasi pada 7% pasien. Efek samping ini terjadi juga dengan diltiazem

tetapi lebih sedikit. Verapamil dan juga diltiazem (lebih sedikit) dapat menyebabkan interaksi

obat karena kemampuannya menghambat sistem isoenzim sitokrom P450 3A4 isoenzim.

Akibatnya dapat meningkatkan serum konsentrasi obat-obat lain yang di metabolisme oleh

sistem isoenzim ini seperti siklosporin, digoksin, lovastatin, simvastatin, takrolimus, dan

teofilin. Verapamil dan diltiazem harus diberikan secara hati-hati dengan penyekat beta untuk

mengobati hipertensi karena meningkatkan resiko heart block dengan kombinasi ini. Bila

CCB perlu dikombinasi dengan penyekat beta, dihidropirine harus dipilih karena tidak akan

meningkatkan resiko heart block.

6. Penyekat alfa1

Prazosin, terazosin, dan doxazosin adalah penyekat reseptor 1 selektif. Bekerja pada

pembuluh darah perifer dan menghambat pengambilan katekolamin pada sel otot halus,

24
menyebabkan vasodilasi dan menurunkan tekanan darah. Pada studi ALLHAT doxazosin

adalah salah satu obat yang digunakan, tetapi di stop lebih awal karena secondary end point

stroke, gagal jantung, dan kejadian kardiovaskular terlihat dengan pemberian doxazosin

dibanding chlorthalidone. Tidak ada perbedaan pada primary end point penyakit jantung

koroner fatal dan infark miokard nonfatal. Data ini menunjukkan kalau diuretik tiazid

superior dari doxazosin (dan barangkali 1-blocker lainnya) dalam mencegah kejadian

kardiovaskular pada pasien dengan hipertensi. Jadi penyekat alfa adalah obat alternatif

kombinasi dengan obat antihipertensi primer lainnya. Penyekat alfa1 memberikan

keuntungan pada laki-laki dengan BPH (benign prostatichyperplasia). Obat ini memblok

reseptor postsinaptik alfa1 adrenergik ditempat kapsul prostat, menyebabkan relaksasi dan

berkurang hambatan keluarnya aliran urin. Efek samping yang tidak disukai dari penyekat

alfa adalah fenomena dosis pertama yang ditandai dengan pusing sementara atau pingsan,

palpitasi, dan bahkan sinkop 1 -3 jam setelah dosis pertama. Efek samping dapat juga terjadi

pada kenaikan dosis. Episode ini diikuti dengan hipotensi ortostatik dan dapat

diatasi/dikurangi dengan meminum dosis pertama dan kenaikan dosis berikutnya saat mau

tidur. Hipotensi ortostatik dan pusing dapat berlanjut terus dengan pemberian terus menerus.

Penggunaannya harus hati-hati pada pasien lansia. Penyekat alfa melewati hambatan otak-

darah dan dapat menyebabkan efek samping CNS seperti kehilangan tenaga, letih, dan

depresi.

7. Agonis 2 sentral

Klonidin dan metildopa menurunkan tekanan darah terutama dengan merangsang

reseptor 2 adrenergic di otak. Perangsangan ini menurunkan aliran simpatetik dari pusat

25
vasomotor di otak dan meningkatkan tonus vagal. Penurunan aktivitas simpatetik, bersamaan

dengan meningkatnya aktivitas parasimpatetik, dapat menurunkan denyut jantung, cardiac

output, total peripheral resistance, aktifitas plasma rennin, dan reflex baroreseptor. Klonidin

sering digunakan untuk hipertensi yang resistan, dan metildopa adalah obat lini pertama

untuk hipertensi pada kehamilan. Penggunaan agonis 2 sentral secara kronis menyebabkan

retensi natrium dan air, paling menonjol dengan penggunaan metildopa. Penggunaan klonidin

dosis kecil dapat digunakan untuk mengobati hipertensi tanpa penambahan diuretik. Tetapi,

metildopa harus diberikan bersama diuretik untuk mencegah tumpulnya efek antihipertensi

yang terjadi dengan penggunaan jangka panjang, kecuali pada kehamilan. Seperti dengan

penggunaan obat antihipertensi yang bekerja sentral lainnya depresi dapat terjadi. Kejadian

hipotensi ortostatik dan pusing lebih tinggi dari pada dengan obat antihipertensi lainnya, jadi

harus digunakan dengan hati-hati pada lansia. Klonidin mempunyai kejadian efek samping

antikolinergik yang cukup banyak seperti sedasi, mulut kering, konstipasi, retensi urin, dan

kabur penglihatan. Penghentian agonis 2 sentral secara tiba-tiba dapat menyebabkan

rebound hypertension. Efek ini diduga disebabkan oleh meningkatnya pelepasan norepinefrin

sewaktu klonidin diberhentikan tiba-tiba. Metildopa dapat menyebabkan hepatitis atau

anemia hemolitik, walaupun jarang terjadi. Kenaikan sementara serum transaminase liver

kadang-kadang terlihat dengan terapi metildopa tetapi secara klinis irrelevant kecuali bila

nilainya diatas tiga kali batas normal. Metildopa harus diberhentikan segera apabila kenaikan

serum transaminase atau alkalin fosfatase liver menetap karena ini menunjukkan onset dari

hepatitis fulminan, bisa mengancam nyawa.

26
8. Reserpin

Reserpin menurunkan tekanan darah dengan mengosongkan norepinefrin dari ujung

saraf simpatetik dan memblok perjalanan norepinefrin ke granul penyimpanannya. Reserpin

juga mengosongkan katekolamin dari otak dan miokardium, mengakibatkan sedasi, depresi,

dan berkurangnya curah jantung. Reserpin mulai kerja dan waktu paruhnya lambat sehingga

dosis pemberian satu kali per hari. Tetapi, diperlukan 2 sampai 6 minggu sebalum efek

antihipertensi maksimal terlihat. Reserpin dapat menyebabkan retensi natrium dan air yang

cukup bermakna. Harus di kombinasikan dengan diuretic (tiazid lebih disukai).

Penghambatan aktifitas simpatetik yang kuat oleh reserpin mengakibatkan meningkatnya

aktifitas parasimpatetik. Terlihat dari efek samping hidung tersumbat, meningkat sekresi

asam lambung, diare, dan bradikardia dapat terjadi. Depresi yang terjadi berupa kesedihan,

hilang nafsu makan atau percaya diri, hilang tenaga, disfungsi ereksi. Dengan dosis 0.05 dan

0.25 depresi minimal. Reserpin digunakan sebagai terapi lini ke tiga pengobatan hipertensi.

9. Vasodilator arteri langsung (direct arterial vasodilators)

Efek antihipertensi dari hidralazin dan minoksidil disebabkan oleh relaksasi langsung

otot polos arteriolar tetapi tidak menyebabkan vasodilasi ke pembuluh darah vena. Kedua

obat juga menyebabkan penurunan tekanan perfusi yang kuat yang mengaktifkan refleks

baroreseptor. Pengaktifan dari baroreseptor menyebabkan meningkatnya aliran simpatetik,

sehingga meningkatkan denyut jantung, curah jantung, dan pelepasan rennin. Akibatnya

terbentuk takifilaksis, efek hipotensi akan hilang dengan pemakaian seterusnya. Efek ini

dapat diatasi dengan penggunaan penyekat beta bersamaan (Depkes, 2006).

Pengobatan dengan obat tradisional

27
1. Labu siam (Sechium edule)

Nama Daerah : labu jipang, manisah (Jawa Timur), waluh siam (Jawa Barat, di dunia

internasional biasa disebut Chayate dijadikan cadangan pangan bagi penduduk meksiko.

Kandungan : Labu siam buahnya mengandung vitamin A, B, C, niasin, dan sedikit

albuminoid. Karena bersifat dingin jika dimakan terasa sejuk dan dingin di perut. Daging

buahnya terdiri dari 90 persen air, 7,5% karbohidrat, 1 persen protein, 0,6 persen serat, 0,2

persen abu, dan 0,1 persen lemak. Juga mengandung sekitar 20 mg kalsium, 25 mg fosfor,

100 mg kalium, 0,3 mg zat besi, 2 mg natrium, serta beberapa zat kimia yang berkhasiat.

Bukti klinis : kandungan alkaloid dalam labu siam bisa membuka pembulu darah yang

tersumbat. Oleh karena itulah labu siam bisa menurunkan tekanan darah tinggi atau

hipertensi. Seperti diketahui, melalui air seni yang banyak terbuang akibat sifat diuretik dari

labu siam, kandungan garam di dalam darah pun ikut berkurang. Berkurangnya kadar garam

yang bersifat menyerap atau menahan air ini akan meringankan kerja jantung dalam

memompa darah sehingga tekanan darah akan menurun.

Cara penggunaannya mudah yaitu dengan cara meminum air perasan labu sehari dua kali,

setiap pagi dan sore (Dorothy, 2011)

2. Murbei

Nama lain :Besaran (Indonesia). murbai, besaran (Jawa).; Kerta, kitau (Sumatera).; Sangye

(China), may mon, dau tam (Vietnam), morus leaf,; morus bark,morus fruit, mulberry leaf,

mulberry bark,; mulberry twigs, white mulberry, mulberry (Inggris).

Cara Pemakaian : Daun murbei segar sebanyak 15 g dicuci bersih kemudian direbus dengan

2 gelas air selama 15 menit. Setelah dingin disaring lalu dibagi untuk 2 kali minum, pagi dan

28
sore. Buah murbei segar sebanyak 30 g direbus dengan 2 gelas air selama 15 menit mendidih,

dinginkan, diperas dan disaring. Hasil saringan diminum sehari dua kali sama banyak.

Sifat kimiawi dan efek farmakologis : Daun bersifat pahit, manis, dingin, masuk meridian

paru dan hati. Buah bersifat manis, dingin, masuk meridian jantung, hati, dan ginjal. Kulit

akar bersifat manis, sejuk, masuk meridian paru. Ranting bersifat pahit, netral, masuk

meridian hati.

Kandungan kimia : Daun murbei mengandung ecdysterone, inokosterone, lupeol, beta-

sitosterol, rutin, moracetin, isoquersetin, scopoletin, scopolin, alfa-, beta-hexenal, cis-beta-

hexenol, cis-lamda-hexenol, benzaidehide, eugenol, linalool, benzyl alkohol, butylamine,

aceto'ne, trigonelline, choline, adenin, asam amino, copper, zinc, vitamin (A, B1, C. dan

karoten), asam klorogenik, asam fumarat, asam folat, asam formyltetrahydrofolik, dan

mioinositol. Juga mengandung phytoestrogens. Bagian ranting murbei mengandung tanin dan

vitamin A. B uahnya mengandung cyanidin, isoquercetin, sakarida, asam linoleat, asam

stearat, asam oleat, dan vitamin (karoten, B1, B2 dan C). Kulit batang mengandung (1)

triterpenoids: alfa-,beta-amyrin, sitosterol, sitosterol-alfaglucoside. (2) Flavonoids: morusin,

cyclomorusin, kuwanone A,B,C, oxydihydromorusin. (3) Coumarins: umbelliferone, dan

scopoletin. Kulit akar mengandung derivat flavone mulberrin, mulberrochromene,

cyclomulberrin, cyclomulberrochromene, morussin, dan mulberrofuran A. Juga mengandung

betulinic acid, scopoletin, alfa-amyrin, beta-amyrin, undecaprenol, dan dodecaprenol. Biji:

urease.

Efek Farmakologis dan Hasil Penelitian : Eedysterone berkhasiat hipoglikemik.

3. Bawang putih (Allium sativum L.)

29
Senyawa aktif : Bawang putih mengandung minyak atsiri, alii, kalium, saltivine, diallysulfide

yang dapat berfungsi menurunkan tekanan darah.

Bukti ilmiah : Kandungan allicin dan aliin berkaitan dengan daya anti kolesterol.

Kemampuan ini membuat bawang putih berkhasiat mencegah penyakit jantung koroner dan

tekanan darah tinggi. Allicin juga bertugas menyerap lemak.

Cara pemakaian : 3 siung bawang putih dikupas dan dibersihkan, 3 tangkai seledri dicuci

bersih. Kedua bahan dimasukkan ke dalam 3 gelas air. Direbus hingga mendidih hingga

tersisa 1 gelas. Diangkat, disaring lalu didinginkan. Ramuan diminum setiap hari.

4. Kumis kucing (Orthosiphon stamineus)

Senyawa aktif : saponin, polifenol, flavonol, myoinosital, orthosipon glikosida, minyak atsiri,

dan garam kalium. Orthosipon glikosida adalah senyawa khusus yang memiliki daya diuretik

dan sedikit antiinflamasi.

Bukti ilmiah : diduga kemungkinan mekanisme penurunan tekanan darah terjadi karena

kumis kucing berefek diuresis. Zat-zat yang bersifat diuresis dapat menambah kecepatan

pembentukan urin maupun meningkatkan jumlah pengeluaran zat-zat terlarut dalam air.

Fungsi utama diuresis adalah untuk memobilisasi cairan udem, yang berarti mengubah

keseimbangan cairan sedemikian rupa sehingga cairan ekstrasel dan tekanan darah kembali

normal.

Cara pemakaian : daun kumis kucing segar sebanyak genggam direbus dalam 1 gelas air.

Dididihkan hingga tersisa gelas. Diangkat, didinginkan lalu disaring. Diminum 2 kali

sehari dan tiap kali minum gelas.

Aktivitas farmakologi. Studi in vitro dan hewan percobaan

Efek diuretik

30
Beberapa studi pada tikus telah melaporkan aktivitas diuretik dari ekstrak O. stamineus dan

O. aristatus dan dari flavonoids (sinensetin dan tetrametoksiflavon) yang diisolasi dari O.

aristatus. Pemberian ekstrak hidroalkoholik O. stamineus secara intraperitoneal pada tikus

menyebabkan diuresis signifikan setelah 224 jam dibandingkan dengan kontrol. Efeknya

serupa dengan yang diamati pada pemberian hidroklortiazid secara intraperitoneal

(10 mg/kg). Pemberian secara oral dari ekstrak cair O. aristatus meningkatkan ekskresi ion

yang besarnya serupa dengan furosemid, meskipun tidak ada catatan aktivitas diuretik.

Sinensetin 3',4',5,7-tetramethoxyflavone

5,6,7,4'-Tetramethoxyflavone

Pemberian peroral dari metilripariokromen A (100 mg/kg) telah menunjukkan peningkatan

volume urin pada tikus yang berpuasa setelah tiga jam setelah pemberian peroral,

peningkatan volume urinnya serupa dengan hasil pengamatan dengan pemberian

hidroklortiazid peroral. (25 mg/kg). Ekskresi ion natrium, kalium, dan klorida meningkat

dengan metilripariokromen A (100 mg/kg). Mekanisme aksi diuretik dari metilripariokromen

31
A belum diuraikan, meskipun demikian tampaknya mekanisme kerjanya berbeda dengan

hidroklortiazid.

Efek antihipertensif

Metilripariokromen A telah dilaporkan memiliki beberapa aktivitas farmakologi yang

berkaitan dengan aktivitas antihipertensi. Pada tikus yang hipertensi spontan, pemberian

subkutan dari metilripariokromen A (100 mg/kg) menghasilkan penurunan tekanan darah

sistolik secara kontinu dan penurunan kecepatan jantung. Metilripariokromen A juga

menekan kontraksi induksi-agonis aorta toraks pada tikus dan menurunkan kekuatan

kontraktil pada isolasi atria babi-guinea tanpa menyebabkan efek yang signifikan terhadap

curah jantung. Mekanisme aksi untuk efek antihipetensi dari metilripariokromen dianggap

tidak jelas.

Perpindahan tipe pimaran dari diterpen (neoortosiphol A dan B), tipe isopimarin-diterpen

(ortosipols A dan B, ortosiphon A dan B), benzokrom (metilripariokrom, aseto venilokrom,

ortokrom A) dan flavon (tetrametilkutelarein, sinensein) diisolasi dari O. aristatus

dilaporkan dapat menghambat efek menekan pada respo kontraktil di aorta toraks.

5. Mentimun (Cucumis sativus L.)

Salah satu kandungan ketimun adalah isoflavon yang dapat menurunkan tekanan darah.

Cara Pemakaian : 2 buah ketimun segar dicuci bersih lalu diparut. Hasil parutannya peras

dan disaring, lalu diminum sekaligus. Lakukan 2-3 kali sehari.

6. Seledri (Apium graveolens L.)

32
Senyawa aktif : flavonoid (apigenin, isoquercitrin), kaumarin, minyak atsiri (limonene,

selenine, santalol).

Bukti ilmiah : seledri terbukti berhasil menurunkan tekanan darah tinggi karena aktivitas

sebagai kalsium antagonis yang berpengaruh pada tekanan darah. Ini artinya senyawa aktif

seledri bekerja pada reseptor pembuh darah yang hasil akhirnya memberi efek relaksasi. Pada

pasien hipertensi saat tekanan darah naik maka pembuluh darah akan

mengencang/menegang. Padahal normalnya hanya berdenyut saja karena memberi efek

relaksasi, konsumsi seledri bisa mengurangi ketegangan pembuluh darah.

Cara pemakaian : disiapkan 20 batang seledri kemudian dicuci bersih, dimasukkan kedalam

panci bersama 2 gelas air kemudian direbus hingga tersisa nya. Diangkat, didinginkan, lalu

diminum 2 kali sehari bersama ampasnya.

7. Belimbing wuluh (Averrhoa bilimb)

Nama daerah : Limeng, selimeng, thlimeng (Aceh), selemeng (Gayo),; Asom, belimbing,

balimbingan (Batak), malimbi (Nias),; balimbieng (Minangkabau), belimbing asam

(Melayu),; Balimbing (Lampung). calincing, balingbing (Sunda), Balimbing wuluh (Jawa),

bhalingbhing bulu (Madura).; Blingbing buloh (Bali), limbi (Bima), balimbeng (Flores),; Libi

(Sawu), belerang (Sangi).

Senyawa aktif : buah bilimbing wuluh mengandung asam askorbat, niasin, riboflavin,

karoten, tiamin, kalsium, besi, serat dan protein.

Bukti ilmiah : beberapa studi penelitian menunjukkan pengaruh buah belimbing wuluh

sebagai obat hipertensi. Tanaman obat yang dipakai untuk mengobati hipertensi paling tidak

harus memiliki beberapa sifat berikut : diuretik, antiadrenergik, dan vasodilator. Buah

33
belimbing wuluh paling tidak memenuhi syarat sebagai diuretik. Kandungan kalium sitrat di

dalam buahnya merangsang pengeluaran cairan dalam tubuh. Jika proses pengeluaran kemih

lancar, otomatis tekanan darah turun.

Cara penggunaan : buah belimbing wuluh sebanyak 3 buah dicuci bersih, dipotong-potong

lalu direbus dalam 3 gelas air hingga tersisa 1 gelas. Diangkat, didinginkan lalu disaring

diminum setiap pagi setelah makan.

Sifat kimiawi dan efek farmakologis : Rasa asam, sejuk. Menghilangkan sakit (analgetik),

memperbanyak pengeluaran empedu, anti radang, peluruh kencing, astringent (Agromedia,

2008).

Pengobatan dengan Obat Herbal dan Fitofarmaka

1. Tensigard

Komposisi:

Ekstrak Apii Herba / Apii herba extr 92 mg, Ekstrak Orthosiphon Folium / orthosiphon

folium extr 28 mg.

Indikasi: Menurunkan dan menstabilkan tekanan darah serta melancarkan air seni.

Kemasan: Kapsul 3 x 10 biji.

Dosis: Pengobatan : 2-3 kali sehari 1 kapsul.

Pemeliharaan : sekali sehari 1 kapsul.

Penyajian: Dikonsumsi bersamaan dengan makanan atau tidak

Pabrik: Phapros.

34
2. Kapsul Bawang Putih Tunggal

Komposisi : Serbuk Bawang Putih Tunggal Murni

Aturan Pakai : Penyembuhan: 3 x 3

Perawatan : 3 x 1

Manfaat dan Kegunaan : Menurunkan Hipertensi, Kolesterol, Jantung, Stroke, Migrain,

Kembung, Sembelit, Disentri, Sariawan, Meningkatkan Daya Tahan Tubuh, Tukak

Lambung, dan lain-lain.

Pabrik : PT. Super Prima

3. Garlic

Komposisi : Tiap Kapsul mengandung 500 mg serbuk kering bawang putih

Aturan Pakai : Pengobatan : 2 kapsul per hari sesudah makan

Pencegahan : 1 kapsul per hari sesudah makan

Khasiat :

Membantu mengurangi resiko penyakit jantung

Menormalkan sirkulasi dan kolesterol darah

Menurunkan hipertensi

Meningkatkan daya tahan tubuh

Mengurangi gejala rematik

Detoksifikasi racun

Mengatasi asma dan alergi

Pabrik : PT.Liza Herbal Internasional, Bogor Indonesia

35
4. Cellery

Komposisi : Tiap kapsul mengandung 300 mg serbuk kering daun seledri

Aturan Pakai : Pengobatan 2 kapsul per hari sesudah makan

Pencegahan 1 kapsul per hari sesudah makan

Khasiat :

Membantu mencegah & mengatasi gejala hipertensi & stroke

Membantu mengatasi reumatik

Menurunkan kadar asam urat

Pabrik : PT. Liza Herbal Internasional, Bogor - Indonesia

5. Gold-G Sea Cucumber Jelly

Nomor Registrasi: TI114645721

Bentuk Sediaan: Cairan Obat/Suplemen Dalam

Komposisi: Sea cucumber extract

Khasiat:

Mampu melembutkan dan melebarkan pembuluh darah, menjaga elastisitas pembuluh

darah serta mengurangi kekentalan darah. Kandungan Glucosaminoglycans yang

terkandung dalam gold-g juga mencegah penggumpalan darah sehingga mengurangi

tekanan darah.

Kemasan: Botol @ 320 ml

Pendaftar & Importir: PT. GNE Indonesia Jakarta Barat, DKI Jakarta

Produsen: Biogene R & D SDN BHD Malaysia

36
BAB IV

PENCEGAHAN

Kebiasan-kebiasan yang harus dihindari

- Stress

- Merokok

- Batasi minuman beralkohol

- Hindari makanan mengandung garam

- Hindari beraktivitas berendam di air garam

Makanan yang dianjurkan untuk penderita hipertensi

- Ikan

- Jus seledri

37
- Minyak zaitun

- Buah dan sayuran aneka warna

- Ketimun

- Cuka apel

Olahraga untuk mencegah hipertensi

Lakukan olah raga selama 30 menit hingga 45 menit sehari sebanyak kali seminggu. Berikut

beberapa olahraga yang dapat dilakukan :

- Latihan aerobik adalah tipe yang bergerak kelompok otot besar dan menyebabkan Anda

bernafas lebih dalam dan hati Anda untuk bekerja lebih keras untuk memompa darah. Ini

juga disebut latihan cardiovaskular. Hal ini meningkatkan kesehatan jantung dan paru-paru.

Contohnya: berjalan , joging, berlari, menari aerobik, bersepeda, mendayung dan renang

- Latihan beban berat pelatihan, atau latihan kekuatan, membangun kekuatan dan otot. Senam

seperti push-up adalah latihan beban juga. Angkat beban adalah latihan beban. Jika anda

memiliki tekanan darah tinggi atau masalah kesehatan lainnya, konsultasikan dengn dokter

keluarga sebelum memulai latihan beban (Dorothy, 2011).

Contoh kasus.

Seorang ibu usia 27 tahun,memiliki 2 orang anak dan sudah tidak lagi

menyusui,mempunyai riwayat keluarga yang terkena hipertensi,tempat tinggal

berada dikampung sehingga untuk pergi atau berobat kedokter itu lumayan

sangat jauh,sudah diperiksa kepuskesmas tetapi tetap saja hipertensinya

kambuh,sudah mencoba mengurangi garam dapur,tapi kadang juga masih

sering kambuh,setiap kali periksa tetap selalu dibericaptopril.

38
Terapi yang aman untuk ibu tersebut bisa dilakukan dengan cara:

Yang harus diketahui dahulu bahwa penyakit hipertensi itu tidak bisa disembuhkan tetapi

hanya bisa dikendalikan,

1. Dari kebiasaan hidup,makan garam dikurangi,dan olaraga diperbanyak.

2. Tiap hari kalu bisa ditensi, ibu bisa belajar dengan orang-orang puskesmas atau

tenaga kesehatan lainnya agar bisa dipantau .

3. Di kendalikan denga obat-obatan, ada banyak jenis obat-obatan yang bisa

digunakan, tetapi tubuh selalu melakukan penyesuaian dan nanti obat-obatannya

selalu bertambah bisa dengan HCT tiap pagi 1 tablet + captopril 12,5 mg 3x1

pada permulaan,atau furesemide tiap pagi dengan captopril 25 mg 3x1,sampai

ganti-ganti obat-obatanya.

Tetapi bagaimanapun juga obat itu hanya untuk mengendalikan tensinya, jadi

harus tetap minum obat walaupun sudah merubah kebiasaan hidup, karena

hipertensi itu bisa naik tanpa kita tahu.

39
BAB V

PENUTUP

KESIMPULAN

Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah (TD), tekanan sistole lebih dari 140

mmHg dan tekanan diastole lebih dari 90 mmHg yang sifatnya permanen. Atau seseorang

dikatakan hipertensi jika mengkomsumsi obat antihipertensi.

Diagnosis hiprtensi ditegakkan bila dari pengukuran berulang-ulang (minimal 3 kali)

pada situasi atau waktu berlainan diperoleh nilai rata-rata tekanan darah sistole (TDS) > 140

mmHg dan tekanan darah diastole (TDD) >90 mmHg. TDS merupakan hasil pembacaan saat

jantung berkontraksi, sedangkan TDD hasil pembacaan saat relaksasi atau diantara dua

40
kontraksi. Besarnya tekanan darah bervariasi antar individu dan meningkat seiring dengan

bertambahnya usia.

TD dipengaruhi oleh dua faktor utama yaitu curah jantung dan resistensi perifer.

Curah jantung merupakan hasil kali antara frekuensi denyut jantung dengan isi sekuncup

jantung. Besarnya isi sekuncup jantung ditentukan oleh kekuatan kontraksi otot jantung dan

aliran vena. Curah jantung rata-rata 4-8 liter per menit. Isi sekuncup jantung, jumlah yang

dipompa dari ventrikel kiri dalam setiap jantung berdenyut, kira-kira 70 ml.

Curah jantung (4-8 L/menit) = Denyut jantung x vol. sekuncup (70 ml/denyut)

Resistensi perifer merupakan akibat resistensi pembuluh darah (arteri dan arteriola) dan

viskositas darah. Resistensi pembulu darah ditentukan oleh tonus otot polos arteri dan

arteriola, dan elastisitas dinding pembulu darah.

Hipertensi tidak dapat diswamedikasi dengan obat-obat modern karena obat-obat

antihipertensi merupakan golongan obat keras dan tidak termasuk dalam daftar Obat Wajib

Apotik (OWA). Obat tradisional mungkin dapat menjadi alternatif untuk mengobati

hipertensi tingkat 1 (ringan) dimana belum terdapat komplikasi. Selain itu terapi non

farmakologi juga dapat dilakukan untuk mengurangi bahaya penyakit hipertensi, caranya

dengan memodifikasi pola hidup meliputi :

- Menurunkan berat badan bila gemuk

- Latihan fisik (aerobik) secara teratur

- Diet rendah garam (< 6 gram NaCl/hari)

- Membatasi minum alkohol

- Berhenti merokok

- Mengurangi makanan berlemak (Priyanto, 2010)

41
DAFTAR PUSTAKA

Agromedia, 2008. Buku Pintar Tanaman Obat: 431 Jenis Tanaman Penggempur Penyakit. PT
Agromedia Pustaka. Jakart.

Anonim,2013.http://www.obatherbalberbagaipenyakit.info/wpcontent/uploads/2013/10/rsz_ga
mat-gold-g-1024x768-compressed1.jpg (Online), diakses 21 Oktober 2014.

Depkes RI, 2006. Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Hipertensi. Direktorat Bina Farmasi
dan Klinik Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan DEPKES.

Dipiro, Joseph T., et al. 2008. Pharmacotheraphy A Pathophysiologic Approach 7th Edition.
The McGraw-Hill Companies. USA.

Dorothy M, Russel. 2011. Bebas dari 6 Penyakit Paling Mematikan. Penyunting: Tim
MedPress, Media Pressindo, Yogyakarta.

Mansjoer A., et al. 2009. Kapita Selekta Kedokteran Edisi 3. Media Aesculapis. Jakarta.

Mycek, Mary J. 2001. Famakologi Ulasan Bergambar. Alih bahasa, Azwar Agoes; Editor,
Huriaan Hartanto. Widya Medika, Jakarta.

42
Priyanto, 2010. Farmakologi Dasar. Leskonnfi. Jakarta.

43

You might also like