Professional Documents
Culture Documents
A. Definisi
Van Hiele menurut Gatot (dalam Khoiri 2014: 263) dalam belajar geometri
perkembangan berfikir siswa terjadi melalui lima level, yaitu, level 0 (visulisasi),
level 1 (analisis), level 2 (abstraksi), level 3 (deduktif) dan level 4 (Rigor). Level-
level berfikir van Hiele akan dilalui siswa secara berurutan, dimana siswa harus
melewati suatu level dengan matang sebelum menuju level berikutnya dengan lima
tahap pembelajaran yaitu, tahap 1 (informasi), tahap 2 (orientasi terarah), tahap 3
(uraian), tahap 4 (orientasi bebas) dan tahap 5 (integrasi).
Menurut National Council of Teachers of Mathematics (NTCM) dalam
Siregih Sehatta (dalam Muhassanah dkk 2014: 55) menyatakan bahwa secara umum
kemampuan geometri yang harus dimiliki siswa adalah: 1) Mampu menganalisis
karakter dan sifat dari bentuk geometri baik 2D dan 3D; dan mampu membangun
argumen-argumen matematika mengenai hubungan geometri dengan yang lainnya; 2)
Mampu menentukan kedudukan suatu titik dengan lebih spesifik dan gambaran
hubungan spasial dengan sistem yang lain; 3) Aplikasi transformasi dan
menggunakannya secara simetris untuk menganalisis situasi matematika; 4)
Menggunakan visualisasi, penalaran spasial, dan model geometri untuk memecahkan
permasalahan.
B. Level-level berfikir van Hiele
Adapun level-level berfikir Van Hiele (dalam Khoiri 2014: 263) yaitu:
1. Level 0 (Visualisasi)
Level ini sering disebut pengenalan (recognition).Pada level ini, siswa sudah
mengenal konsep-konsep dasar geometri semata-mata didasarkan pada karakteristik
visual atau penampakan bentuk yaitu bangun-bangun yang sederhana seperti persegi,
persegi panjang, belah ketupat, jajar genjang, trapesium dan laying-layang Fuys dkk
(dalam Khoiri 2014: 263), Clements & Battista (dalam Khoiri 2014: 263) .Siswa
1
mengenal suatu bangun geometri sebagai keseluruhan berdasarkan pertimbangan
visual dan belum menyadari adanya sifat-sifat dari bangun geometri itu. Misalnya,
seorang siswa sudah mengenal persegi dengan baik, bila ia sudah bisa menunjukkan
atau memilih persegi dari tumpukan benda-benda geometri lainnya.
2. Level 1 (Analisis)
Pada level ini, siswa sudah memahami sifatsifat konsep atau bangun geometri
berdasarkan analisis informal tentang bagian dan atribut komponennya. Misalnya,
siswa sudah mengetahui dan mengenal sisisisi berhadapan sebuah persegi panjang
adalah sama panjang, panjang kedua diagonalnya sama panjang dan memotong satu
sama lain sama panjang. Tetapi ia belum dapat memahami hubungan antara bangun-
bangun geometri dan memahami definisi Clements &Battista, (dalam Khoiri 2014:
263), misalnya persegi adalah juga persegi panjang, dan persegi panjang adalah juga
jajargenjang.
3. Level 2 (Abstraksi)
Level ini sering disebut juga pengurutan (ordering) atau deduksi informal
(informal deduction). Pada level ini, siswa mengurutkan secara logis sifat-sifat
konsep, membentuk definisi abstrak dan dapat membedakan himpunan sifat-sifat
yang merupakan syarat perlu dan cukup dalam menentukan suatu konsep. Jadi, pada
level ini siswa sudah memahami pengurutan bangun-bangun geometri, misalnya
persegi adalah juga persegi panjang, persegi panjang adalah juga jajar genjang,
persegi adalah juga belah ketupat, belah ketupat adalah juga jajargenjang.
4. Level 3 (Deduksi)
Pada level ini, berpikir deduktif siswa sudah mulai berkembang, tetapi belum
berkembang dengan baik.Geometri adalah ilmu deduktif.Karena itu pengambilan
kesimpulan, pembuktian teorema, dan lain-lain harus dilakukan secara deduktif.
Misalnya, mengambil kesimpulan bahwa besar sudut yang berhadapan pada
jajargenjang sama; hal ini belum tuntas bila hanya dengan cara induktif, misalnya
dengan memotong-motong sudut-sudut benda segiempat dan menunjukkan bahwa
2
jumlah sudut yang berdekatan 1800. Tetapi harus membuktikannya secara deduktif,
misalnya dengan menggunakan prinsip kesejajaran. Pada level ini, siswa sudah dapat
memahami pentingnya unsur-unsur yang tidak didefinisikan (undefined terms),
aksioma, definisi dan teorema. Walaupun ia belum bisa mengerti mengapa sesuatu itu
dijadikan aksioma atau teorema.
5. Level 4 (Rigor)
Pada level ini, siswa sudah dapat memahami pentingnya ketepatan dari apa-apa yang
mendasar.Misalnya, ketepatan dari aksioma-aksioma yang menyebabkan terjadi
geometri Euclides. Siswa memahami apa itu geometri Euclides dan apa itu geometri
non-Euclides. Level ini merupakan level berpikir yang kedalamannya serupa dengan
yang dimiliki oleh seorang ahli matematika Clements & Battista (dalam Khoiri 2014:
264).
3
Tahap 4 (Orientasi bebas)
Siswa belajar dengan mengerjakan tugas yang lebih kompleks, untuk
menemukan jalan mereka sendiri dalam jaringan relasi-relasi tersebut (misalnya sifat-
sifat salah satu bidang datar, mengidentifikasi sifat tersebut untuk bidang datar
lainnya, misalnya layang-layang).
Tahap 5 (Integrasi)
Siswa meringkas semua yang dia pelajari tentang suatu materi, kemudian
merefleksikanya dalam perilaku mereka dan memperoleh gambaran singkat dari
jaringan relasi-relasi yang terbentuk (misalnya sifat-sifat bidang datar di buat
ringkasannya).
4
d. Mendeksripsikan bangun-bangun geometri dan mengkonstruk secara verbal
menggunakan bahasa baku atau tidak baku, misalnya kubus seperti pintu atau
kotak..
e. Mengerjakan masalah yang dapat dipecahkan dengan menyusun, mengukur, dan
menghitung.
2. Aktivitas Tahap 1 (Analisis)
Pada tahap 1 ini siswa diharapkan dapat mengungkapkan sifat-sifat bangun
geometri. Aktivitas untuk tahap ini antara lain sebagai berikut.
a. Mengukur, mewarna, melipat, memotong, memodelkan, dan menyusun dalam
urutan tertentu untuk mengidentifikasi sifat-sifat dan hubungan geometri
lainnya.
b. Mendeskripsikan kelas suatu bangun sesuai sifat-sifatnya.
c. Membandingkan bangun-bangun berdasarkan karakteristik sifat-sifatnya.
d. Mengidentifikasi dan menggambar bangun yang diberikan secara verbal atau
diberikan sifat-sifatnya secara tertulis.
3. Aktivitas Tahap 2 (Deduksi Informal)
Pada tahap 2 ini siswa diharapkan mampu mempelajari keterkaitan antara
sifat-sifat dan bangun geometri yang dibentuk. Aktivitas siswa untuk tahap ini
antara lain sebagai berikut.
a. Mempelajari hubungan yang telah dibuat pada tahap 1, membuat inklusi, dan
membuat implikasi
b. Mengidentifikasi sifat-sifat minimal yang menggambar suatu bangun.
c. Membuat dan menggunakan definisi
d. Mengikuti argumen-argumen informal
e. Menyelesaikan masalah yang menekankan pada pentingnya sifat-sifat gambar
dan saling keterkaitannya.
Van de Walle (dalam Abdussakir 2011: 8) membuat deksripsi aktivitas yang lebih
sederhana dibandingkan deskripsi yang dibuat oleh Crowley (dalam Abdussakir
5
2011: 7) Menurut Van de Walle aktivitas pembelajaran untuk masing-masing tiga
tahap pertama adalah sebagai berikut.
6
c. Menggunakan model atau gambar sebagai sarana untuk berpikir dan mulai
mencari generalisasi atau contoh kontra.
Contoh Pembelajaran Materi Segitiga sesuai Teori van Hiele
Berikut ini adalah contoh sederhana mengenai pembelajaran materi segitiga di
sekolah dasar sesuai tahap berpikir van Hiele (dalam Abdussakir 2011: 8). Contoh ini
hanya meliputi tiga tahap pertama, karena siswa sekolah dasar hanya akan sampai
pada tahap 2 (deduksi informal).
1. Tahap 0 (Visualisasi)
Pada tahap 0 ini guru menyediakan berbagai model bangun (atau dapat juga
gambar) segitiga dan bukan segitiga. Berbagai gambar segitiga dan bukan segitiga ini
dibuat sangat bervariasi dan ditempatkan secara acak. Gambar-gambar dibuat kontras
sehingga tampak betul perbedaan dan kesamaan masing-masing. Berdasarkan
gambar-gambar yang disediakan siswa mulai memilih berdasar kesamaan dan
perbedaannya. Siswa dapat diminta mengelompokkan gambar berdasarkan kesamaan
bentuknya atau langsung diminta menyebutkan mana yang termasuk segitiga dan
yang bukan segitiga.
2. Tahap 1 (Analisis)
Pada tahap 1 ini, siswa tetap menggunakan model-model (atau gambar) pada
tahap 0. Berdasarkan pengelompokan yang dibuat, siswa mulai mengeksplorasi
berbagai sifat yang dimiliki tiap kelompok gambar. Siswa mulai lebih menfokuskan
pada sifat-sifat daripada sekedar identifikasi. Siswa mulai mencari sifat-sifat mengapa
suatu kelompok gambar tertentu termasuk kelompok segitiga dan kelompok lain
bukan segitiga.
3. Tahap 2 (Deduksi Informal)
Pada tahap 2 ini siswa melanjutkan pengklasifikasian gambar atau model
dengan fokus pada pendefinisian sifat. Siswa membuat daftar sifat yang ditemukan
untuk masing-masing kelompok gambar. Selanjutnya siswa mendiskusikan sifat yang
perlu dan cukup untuk kondisi suatu bangun atau konsep. Siswa mulai mengarah
pada sifat yang perlu dan cukup agar suatu bangun dapat disebut segitiga atau bukan.
7
Penerapan pembelajaran matematika berdasarkan teori van Hiele (dalam Khoiri
2014: 265) adalah:
(a) Dengan menggunakan benda konkret pada level 0 yaitu gambar-gambar bangun
datar, siswa diminta untuk mengklasifikasikan gambar-gambar berdasararkan
dalam kelompok segiempat dan segitiga,
(b) Dengan menggunkan model bangun datar segiempat dari kertas manila. Dalam
level 1 siswa diminta untuk mengukur panjang sisi, besar sudut, panjang diagonal,
memutar bangun datar, melipat bangun datar dan menyebutkan sifat-sifatnya
berdasarkan tindakan yang telah dilakukan,
(c) Pada level 2 siswa harus mampu mengurutkan secara logis sifat-sifat konsep
segiempat. Untuk membantu siswa dapat mencapai level 2, maka guru
memberikan instruksi agar siswa membuat media sederhana (sedotan) yang sudah
disiapkan, dan
(d) Pada level 3 siswa diberikan model bangun datar segiempat sebanyak 6 buah
yaitu: jajargenjang, persegi panjang, persegi, belah ketupat, layang-layang, dan
trapesium. Siswa diminta untuk mengukur panjang sisi, besar sudut, dan panjang
diagonal serta membuktikan sifat-sifat bangun datar segiempat berdasarkan
bentuknya.
8
c. Membuat tingkat pemahaman siswa lebih baik
2. Kelemhan teori Van Hiele
a. Siswa harus memiliki tingkat pemikiran yang tinggi agar
memahami hal tersebut
b. Siswa akan mengalami kesulitan pada suatu tahap, jika
siswa tersebut belum memahami tahapan sebelumnya
c. Teori Van Hiele ini hanya mempelajari tentang
pembelajaran matematika geometri.
Dari uraian di atas bahwa belajar dengan teori Van Hiele dapat kesimpulan:
1. Setiap tahap belajar teori Van Hiele, menunjukkan karakteristik proses berpikir
siswa dalam belajar geometri dan pemahamnnya dalam konteks geometri.
3. Tahap-tahap berpikir teori Van Hiele akan dilalui siswa secara berurutan, dengan
demikian siswa harus melewati sesuatu tahap dengan matang sebelum menuju
tahap berikutnya.
4. Kecepatan tahap berpindah dari satu tahap ke tahap berikutnya lebih banyak
bergantung pada isi dan metode pembelajaran daripada umur dan kematangan.
5. Pada setiap tahap, apa yang intrinsik (kurang jelas) pada tahap sebelumnya menjadi
ekstrinsik (jelas) pada tahap sekarang.
9
Teori Belajar Dienes
A. Definisi
Zoltan P. Dienes (dalam Somakim 2012: 7) adalah seorang matematikawan
yang memusatkan perhatiannya pada cara-cara pengajaran terhadap siswa-siswa.
Dasar teorinya bertumpu pada Piaget, dan pengembangannya diorientasikan pada
siswa-siswa, sedemikian rupa sehingga sistem yang dikembangkannya itu
menarik bagi siswa yang mempelajarinya. Dienes dalam Ruseffendi (dalam
Somakim 2012: 7) berpendapat bahwa pada dasarnya matematika dapat
dianggap sebagai studi tentang struktur, memisah-misahkan hubungan-hubungan
di antara struktur-struktur dan mengkategorikan hubungan-hubungan di antara
struktur-struktur.
Menurut Dienes (dalam Suherman 2003: 49) pada dasarnya matematika
dapat dianggap sebagai studi tentang struktur, memisah-misahan hubungan-
hubungan diantara struktur dan mengkategorikan hubungan-hubungan diantara
struktu-struktur. Menurut Dienes dalam Ruseffendi (dalam Somakim 2012: 8)
konsep-konsep matematika akan berhasil jika dipelajari dalam tahap-tahap
tertentu. Dienes membagi tahap-tahap belajar menjadi tahap, yaitu
Dalam setiap tahap belajar, tahap yan paling awal dari pengembangan
konsep bermula dari permainan bebas. Permainan bebas merupakan tahap belajar
konsep yang aktifitasnya tidak berstruktur dan tidak diarahkan. Anak didik diberi
kebebasan untuk mengatur benda. Selama permainan pengetahuan anak muncul.
Dalam tahap ini anak mulai membentuk struktur mental dan struktur sikap dalam
mempersiapkan diri untuk memahami konsep yang sedang dipelajari. Misalnya
dengan diberi permainan block logic, anak didik mulai mempelajari konsep-
10
konsep abstrak tentang warna, tebal tipisnya benda yang merupakan ciri/sifat dari
benda yang dimanipulasi.
11
abstrak yang terdapat dalam konsep yang sedang dipelajari. Contoh kegiatan anak
untuk menemukan banyaknya diagonal poligon (misal segi dua puluh tiga) dengan
pendekatan induktif seperti berikut ini (gambar 2).
5. Permainan dengan Simbolisasi (Symbolization)
Simbolisasi termasuk tahap belajar konsep yang membutuhkan kemampuan
merumuskan representasi dari setiap konsep-konsep dengan menggunakan simbol
matematika atau melalui perumusan verbal. Sebagai contoh, dari kegiatan
mencari banyaknya diagonal dengan pendekatan induktif tersebut, kegiatan
berikutnya menentukan rumus banyaknya diagonal suatu poligon yang
digeneralisasikan dari pola yang didapat anak.
6. Permainan dengan Formalisasi (Formalization)
Formalisasi merupakan tahap belajar konsep yang terakhir. Dalam tahap
ini siswa-siswa dituntut untuk mengurutkan sifat-sifat konsep dan kemudian
merumuskan sifat-sifat baru konsep tersebut, sebagai contoh siswa yang telah
mengenal dasar-dasar dalam struktur matematika seperti aksioma, harus mampu
merumuskan teorema dalam arti membuktikan teorema tersebut. Contohnya, anak
didik telah mengenal dasar-dasar dalam struktur matematika seperti aksioma,
harus mampu merumuskan suatu teorema berdasarkan aksioma, dalam arti
membuktikan teorema tersebut.
Teori belajar Dienes yang biasa disebut Teori belajar bermain (dalam Lakkiran
2015: 2), terkontrol dengan memperhatikan taraf perkembangan kognitif siswa dan
merupakan satu cara untuk memberikan kesempatan kepada siswa untuk ikut
berpartisipasi dalam proses penemuan serta formalisasi melalui percobaan
matematika. Hal tersebut dapat memberikan semangat kepada siswa untuk
termotivasi dalam proses belajar mengajar, khususnya pemahaman konsep materi
segi empat, agar proses pembelajaran dapat lebih maksimal dengan harapan agar
kualitas pembelajaran nantinya dapat meningkat.
12
B. Penerapan Teori Belajar Dienes pada Pembelajaran
Matematika
Menurut Dienes, permainan matematika sangat penting sebab operasi
matematika dalam permainan tersebut menunjukkan aturan secara konkret dan lebih
membimbing dan menajamkan pengertian matematika pada siswa didik. Dapat
dikatakan bahwa objek-objek konkret dalam bentuk permainan mempunyai peranan
sangat penting dalam pembelajaran matematika jika dimanipulasi dengan baik.
Melalui permainan siswa tidak hanya merasa senang dan tertarik namun secara tidak
langsung siswa belajar, salah satunya matematika Somakim (dalam Istiqomah 2014:
3) Salah satu cara meningkatkan keefektifitasan belajar siswa terhadap matematika
adalah dengan menggunakan model permainan dalam pembelajaran matematika.
Model permainan mampu membuat pembelajaran lebih menarik dan menyenangkan
bagi siswa, selain itu materi juga tersampaikan. Siswa tertarik terhadap pembelajaran
sehingga hasil belajar matematika dapat sesuai harapan. Model permainan cocok
diterapkan pada siswa Sekolah Dasar kelas rendah karena siswa cenderung masih
senang bermain.
Adapun penerapan teori Dienes (dalam Somakim 2012: 25) dalam
pmbelajaran matematika, yaitu:
1. Bermain untuk Belajar Bilangan
Topik bilangan cacah dipelajari anak SD di semua kelas. Bilangan cacah
merupakan pengertian abstrak, jadi masih membutuhkan bantuan benda-benda
konkret untuk dapat berpikir secara abstrak. Agar anak dapat mengerti tentang
bilangan cacah, maka untuk mempelajari konsep bilangan cacah maupun operasi dan
relasinya membutuhkan bantuan manipulatif benda-benda konkret. Benda konkret
dapat dikemas sebagai alat peraga atau alat permainan. Agar anak dapat belajar
dengan senang, asyik, dan merasa bebas dalam memanipulatif benda-benda konkret
tersebut, maka kepada anak dinyatakan bahwa dengan menggunakan alat atau
permainan, mereka diajak bermain untuk belajar bilangan cacah. Karena umur
13
maupun kemampuan mereka yang bertingkat, maka alat atau permainan yang dipakai
maupun tingkat kesulitannya bertingkat pula.
Pada bagian ini akan dibahas kegiatan yang menyenangkan atau permainan
yang digunakan bagi anak untuk belajar konsep bilangan cacah, konsep operasi
bilangan cacah, FPB dan KPK, yaitu permainan memasang satu-satu.
Kegiatan permainan memasang satu-satu digunakan untuk membantu
memahami anak terhadap konsep kekekalan bilangan, dan untuk membantu
pemahaman anak terhadap relasi = (sama dengan), < (kurang dari/lebih sedikit), dan
> (lebih dari/lebih banyak). Kegiatan ini diberikan di kelas satu SD. Kegiatan
permainan ini banyak ragamnya, yang dapat dipakai untuk memahami bilangan
maupun bangun bangun geometri. Pada pembahasan ini hanya diambil beberapa
contoh yang telah dimodifikasi sesuai dengan situasi dan kondisi anak di Indonesia.
14
6. Mintalah anak memasukan kartu merah tersebut ke kantong puluhan dan masukan
sisa 6 kartu putih ke kantongan satuan.
7. Mintalah anak menghitung total kartu merah, yaitu 1 + 2 + 1 = 4. Terangkanlah
bahwa nilai empat kartu merah tersebut adalah 40.
8. Mintalah anak untuk menjumlahkan hasilnya, yaitu 40 + 6 = 46.
15
c. Anak akan lebih semangat, karena pada umumnya seorang siswa lebih
senang untuk bermain. Disini, mereka mendapatkan dua hal sekaligus
yaitu pelajaran dan permaianan.
d. Anak akan terlatih disiplin, karena dalam melaksanakan permainan ada
aturan yang harus diikuti.
2. Kelemahan teori Dienes
Ada beberapa hal yang menjadi kelemahan dari teori Dienes setelah kami
mempelajarinya:
1. Membutuhkan biaya yang lebih untuk perlengkapan dalam permainan
tersebut.
2. Membutuhkan tempat yang strategis untuk melaksanakan sebuah
permainan tersebut.
3. Biasanya akan terjadi peristiwa perebutan antara siswa.
16
DAFTAR PUSTAKA
17