You are on page 1of 60

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Setiap orang tua yang memiliki selalu menginginkan anaknya selalu tumbuh
sehat serta berkembang menjadi anak yang cerdas dimasa depan, dapat menjadi
generasi penerus bangsa yang handal sehingga anak merupakan hal yang penting
artinya bagi sebuah keluarga. Oleh karena itu tidak satupun orang tua yang
menginginkan anaknya jatuh sakit, lebih-lebih bila anaknya mengalami kejang
dan epilepsy.
Kejang demam adalah gangguan neurologis akut yang sangat sering terjadi
pada anak. Terjadinya kejang ini diakibatkan oleh kenaikan suhu tubuh (suhu
rektal di atas 38oC) yang disebabkan oleh proses ekstrakranium. Penyebab demam
terbanyak adalah infeksi saluran pernapasan bagian atas disusul infeksi saluran
pencernaan.(Ngastiyah, 1997; 229).
Insiden terjadinya kejang demam terutama pada golongan anak umur 6
bulan sampai 4 tahun.Hampir 3 % dari anak yang berumur di bawah 5 tahun
pernah menderita kejang demam.Kejang demam lebih sering didapatkan pada
laki-laki daripada perempuan.Hal tersebut disebabkan karena pada wanita
didapatkan maturasi serebral yang lebih cepat dibandingkan laki-laki. (ME.
Sumijati, 2000;72-73)
Bangkitan kejang berulang atau kejang yang lama akan mengakibatkan
kerusakan sel-sel otak kurang menyenangkan di kemudian hari, terutama adanya
cacat baik secara fisik, mental atau sosial yang mengganggu pertumbuhan dan
perkembangan anak. (Iskandar Wahidiyah, 1985 : 858) .
Kejang adalah kedaruratan medis yang memerlukan pertolongan
segera.Diagnosa secara dini serta pengelolaan yang tepat sangat diperlukan untuk
menghindari cacat yang lebih parah, yang diakibatkan bangkitan kejang yang
sering. Untuk itu tenaga perawat/paramedis dituntut untuk berperan aktif dalam
mengatasi keadaan tersebut serta mampu memberikan asuhan keperawatan kepada
keluarga dan penderita, yang meliputi aspek promotif, preventif, kuratif dan
rehabilitatif secara terpadu dan berkesinambungan serta memandang klien sebagai

1
satu kesatuan yang utuh secara bio-psiko-sosial-spiritual. Prioritas asuhan
keperawatan pada kejang demam adalah : Mencegah/mengendalikan aktivitas
kejang, melindungi pasien dari trauma, mempertahankan jalan napas,
meningkatkan harga diri yang positif, memberikan informasi kepada keluarga
tentang proses penyakit, prognosis dan kebutuhan penanganannya. (I Made
Kariasa, 1999; 262).
Epilepsy adalah kompleks gejala dari beberapa kelainan fungsi otak yang
ditandai dengan terjadinya kejang secara berulang.Dapat berkaitan dengan
kehilangan kesadaran, gerakan yang berlebihan, atau kehilangan tonus atau
gerakan otot, dan gangguan prilaku suasana hati, sensasi dan persepsi (Brunner
dan suddarth, 2000).
Epilepsi atau penyakit ayan dikenal sebagai satu penyakit tertua di dunia
(2000 tahun SM).Penyakit ini cukup sering dijumpai dan bersifat menahun.
Penderita akan menderita selama bertahun-tahun. Sekitar 0,5 1 % dari penduduk
adalah penderita epilepsy (Lumbantobing, 1998).
Epilepsi merupakan salah satu penyakit neurologis yang utama.Pada
dasarnya epilepsi merupakan suatu penyakit Susunan Saraf Pusat (SSP) yang
timbul akibat adanya ketidak seimbangan polarisasi listrik di otak.Ketidak
seimbangan polarisasi listrik tersebut terjadi akibat adanya fokus-fokus iritatif
pada neuron sehingga menimbulkan letupan muatan listrik spontan yang
berlebihan dari sebagian atau seluruh daerah yang ada di dalam otak.Epilepsi
sering dihubungkan dengan disabilitas fisik, disabilitas mental, dan konsekuensi
psikososial yang berat bagi penyandangnya (pendidikan yang rendah,
pengangguran yang tinggi, stigma sosial, rasa rendah diri, kecenderungan tidak
menikah bagi penyandangnya).
Sebagian besar kasus epilepsi dimulai pada masa anak-anak. Pada tahun
2000, diperkirakan penyandang epilepsi di seluruh dunia berjumlah 50 juta orang,
37 juta orang di antaranya adalah epilepsi primer, dan 80% tinggal di negara
berkembang. Laporan WHO (2001) memperkirakan bahwa rata-rata terdapat 8,2
orang penyandang epilepsi aktif di antara 1000 orang penduduk, dengan angka
insidensi 50 per 100.000 penduduk. Angka prevalensi dan insidensi diperkirakan
lebih tinggi di negara-negara berkembang.

2
Epilepsi dihubungkan dengan angka cedera yang tinggi, angka kematian
yang tinggi, stigma sosial yang buruk, ketakutan, kecemasan, gangguan kognitif,
dan gangguan psikiatrik. Pada penyandang usia anak-anak dan remaja,
permasalahan yang terkait dengan epilepsi menjadi lebih kompleks.
Penyandang epilepsi pada masa anak dan remaja dihadapkan pada masalah
keterbatasan interaksi sosial dan kesulitan dalam mengikuti pendidikan
formal.Mereka memiliki risiko lebih besar terhadap terjadinya kecelakaan dan
kematian yang berhubungan dengan epilepsi.Permasalahan yang muncul adalah
bagaimana dampak epilepsi terhadap berbagai aspek kehidupan
penyandangnya.Masalah yang muncul adalah bagaimana hal tersebut bisa muncul,
bagaimana manifestasinya dan bagaimana penanganan yang dapat dilakukan
untuk kasus ini masih memerlukan kajian yang lebih mendalam.
Penanganan terhadap kedua penyakit ini bukan saja menyangkut
penanganan medikamentosa dan perawatan belaka, namun yang lebih penting
adalah bagaimana meminimalisasikan dampak yang muncul akibat penyakit ini
bagi penderita dan keluarga maupun merubah stigma masyarakat tentang
penderita kejang dan epilepsi. Pemahaman epilepsi secara menyeluruh sangat
diperlukan oleh seorang perawat sehingga nantinya dapat ditegakkan asuhan
keperawatan yang tepat bagi klien dengan kejang dan epilepsi.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep dasar kejang dan epilepsi pada anak?
2. Bagaimana asuhan keperawatan gawat darurat kejang dan epilepsi pada anak?

C. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
a. Untuk mengetahui konsep dasar kejang dan epilepsi pada anak
b. Untuk mengetahui asuhan keperawatan gawat darurat kejang dan
epilepsy pada anak
2. Tujuan Khusus
a. Memahami konsep dasar kejang dan epilepsi

3
b. Memahami seperti apa asuhan keperawatan gawat darurat sistem
persarafan pada pasien anak dengan kejang dan epilepsi
c. Mampu membuat pengkajian pada pasien anak dengan kejang dan
epilepsi
d. Mampu membuat diagnosa pada pasien anak dengan kejang dan epilepsi
e. Mampu membuat perencanaan pada pasien anak dengan kejang dan
epilepsi
f. Mampu melaksanakan implementasi pada pasien anak dengan kejang dan
epilepsi
g. Mampu menilai evaluasi pada pasien anak dengan kejang dan epilepsi

D. Manfaat
1. Untuk mahasiswa: diharapkan makalah ini bisa bermamfaat sebagai bahan
pembanding dalam pembuatan tugas serupa
2. Untuk tenaga kesehatan: makalah ini bisa dijadikan bahan acuan untuk
melakukan tindakan asuhan keperawatan pada kasus yang serupa
3. Untuk instansi: agar tercapainya tingkat kepuasan kerja yang optimal
4. Untuk masyarakat: sebagai bahan informasiuntuk menambah pengetahuan
kesehatan.

4
BAB II
PEMBAHASAN

I. Konsep Dasar Teori Kejang Demam


A. Defenisi
Kejang demam adalah serangan kejang yang terjadi karena kenaikan suhu
tubuh (suhu rektal di atas 38C). Kondisi yang menyebabkan kejang demam
antara lain : infeksi yang mengenai jaringan ekstrakranial seperti tonsilitis, otitis
media akut, bronkitis (Riyadi, Sujono & Sukarmin, 2009).
Kejang demam merupakan kelainan neurologis akut yang paling sering
dijumpai pada anak. Bangkitan kejang ini terjadi karena adanya kenaikan suhu
tubuh (suhu rektal diatas 38C) yang disebabkan oleh proses ekstrakranium.
Penyebab demam terbanyak adalah infeksi saluran pernapasan bagian atas disusul
infeksi saluran pencernaan. Insiden terjadinya kejang demam terutama pada
golongan anak umur 6 bulan sampai 4 tahun. Hampir3% dari anak yang berumur
di bawah 5 tahun pernah menderita kejang demam. Kejang demam lebih sering
didapatkan pada laki-laki dari pada perempuaan. Hal tersebut disebabkan karena
pada wanita didapatkan maturasi serebral yang lebih cepat dibandingkan laki-laki
(Judha & Rahil, 2011).
Pada saat mengalami kejang, anak akan terlihat aneh untuk beberapa saat,
kemudian kaku, dan memutar matanya. Anak tidak responsif untuk beberapa
waktu, nafas akan terganggu, dan kulit akan tampak lebih gelap dari biasanya.
Setelah kejang, anak akan segera normal kembali. Serangan kejang pada penderita
kejang demam dapat terjadi satu, dua, tiga kali atau lebih selama satu episode
demam. Jadi, satu episode kejang demam dapat terdiri dari satu, dua, tiga atau
lebih serangan kejang.
Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa kejang demam
adalah bangkitan kejang yang terjadi karena peningkatan suhu tubuh yang sering
dijumpai pada anak usia di bawah umur 5 tahun.Dari pengertian diatas maka
penulis menyimpulkan bahwa yang di maksud kejang demam adalah perubahan
potensial listrik cerebral yang berlebihan akibat kenaikan suhu dimana suhu rectal

5
diatas 38C sehingga mengakibatkan renjatan kejang yang biasanya terjadi pada
anak dengan usia 3 bulan sampai 5 tahun.

B. Klasifikasi
Kejang demam dibagi menjadi 2 golongan. Terdapat perbedaan kecil dalam
penggolongan tersebut, menyangkut jenis kejang, tingginya demam, usia
penderita, lamanya kejang berlangsung, gambaran rekaman otak, dan lainnya
(Lumbantobing, 2004).

1. Kejang demam sederhana (simple febrile seizure) Adapun ciri-ciri kejang


demam sederhana antara lain :
a. Berlangsung singkat (< 15 menit)
b. Menunjukkan tanda-tanda kejang tonik dan atau klonik.
c. Kejang hanya terjadi sekali / tidak berulang dalam 24 jam.
2. Kejang demam kompleks (complex febrile seizure) Adapun ciri-ciri kejang
demam kompleks antara lain :
a. Berlangsung lama (> 15 menit).
b. Menunjukkan tanda-tanda kejang fokal yaitu kejang yang hanya
melibatkan salah satu bagian tubuh.
c. Kejang berulang/multipel atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam.
d. Kejang tonik yaitu serangan berupa kejang/kaku seluruh tubuh. Kejang
klonik yaitu gerakan menyentak tiba-tiba pada sebagian anggota tubuh.

C. Etiologi
Etiologi dari kejang demam masih tidak diketahui. Namun pada sebagian
besar anak dipicu oleh tingginya suhu tubuh bukan kecepatan peningkatan suhu
tubuh. Biasanya suhu demam diatas 38,8oC dan terjadi disaat suhu tubuh naik dan
bukan pada saat setelah terjadinya kenaikan suhu tubuh (Dona Wong L, 2008).
Bangkitan kejang pada bayi dan anak disebabkan oleh kenaikan suhu badan
yang tinggi dan cepat, yang disebabkan oleh infeksi diluar susunan syaraf pusat
misalnya tonsilitis, ostitis media akut, bronkitis(Judha & Rahil, 2011).Kondisi
yang dapat menyebabkan kejang demam antara lain infeksi yang mengenai

6
jaringan ekstrakranial sperti tonsilitis, otitis media akut, bronkitis (Riyadi, Sujono
& Sukarmin, 2009).
Demam merupakan faktor pencetus terjadinya kejang demam pada anak.
Demam sering disebabkan oleh berbagai penyakit infeksi seperti infeksi saluran
pernafasan akut, otitis media akut, gastroenteritis, bronkitis, infeksi saluran kemih,
dan lain-lain. Setiap anak memiliki ambang kejang yang berbeda. Kejang tidak
selalu timbul pada suhu yang paling tinggi. Pada anak dengan ambang kejang
yang rendah, serangan kejang telah terjadi pada suhu 38C bahkan kurang,
sedangkan padaanak dengan ambang kejang tinggi, serangan kejang baru terjadi
pada suhu 40C bahkan lebih.
Beberapa faktor yang berperan menyebabkan kejang demam antara lain
adalah demam, demam setelah imunisasi DPT dan morbili, efek toksin dari
mikroorganisme, respon alergik atau keadaan imun yang abnormal akibat infeksi,
perubahan keseimbangan cairan dan elektrolit (Dewanto et al, 2009).
Faktor risiko berulangnya kejang demam adalah (IDAI, 2009)
1. Riwayat kejang demam dalam keluarga
2. Usia kurang dari 18 bulan
3. Temperatur tubuh saat kejang. Makin rendah temperatur saat kejang makin
sering berulang
4. Lamanya demam.
5. Adapun faktor risiko terjadinya epilepsi di kemudian hari adalah (IDAI, 2009)
6. Adanya gangguan perkembangan neurologis
7. kejang demam kompleks
8. riwayat epilepsi dalam keluarga
9. lamanya demam

D. Patofisiologi
Sumber energi otak adalah glukosa yang melalui proses oksidasi di pecah
menjadi CO2 dan air. Sel dikelilingi oleh membran yang terdiri dari permukaan
dalam yaitu lipoid dan permukaan luar yaitu ionik. Dalam keadaan normal
membran sel neuron dapat dilalui dengan mudah oleh ion K+ dan sangat sulit
dilalui oleh ion Na+ dan elektrolit lainya kecuali ion Cl-. Akibatnya konsentrasi

7
ion kalium dalam sel neuron tinggi dan konsentrasi natrium rendah, sedang di luar
sel neuron terdapat keadaan sebaliknya. Karena perbedaan jenis dan konsentrasi
ion di dalam dan di luar sel, maka terdapat perbedaan potensial membran yang
disebut potensial membran dari neuron. Untuk menjaga keseimbangan potensial
membran di perlukan energi dan bantuan enzim NA-K ATP-ase yang terdapat
pada permukaan sel.
Keseimbangan potensial membran ini dapat diubah oleh perubahan
konsentrasi ion di ruang ekstraseluler. Rangsangan yang datang mendadak
misalnya mekanisme, kimiawi, atau aliran listrik dari sekitarnya.
Perubahanpatofisiologi dari membran sendiri karena penyakit atau keturunan.Pada
keadaan demam kenaikan suhu 1C akan mengakibatkan kenaikan metabolisme
basal 10 sampai 15% dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20%. Pada anak 3
tahun sirkulasi otak mencapai 65% dari seluruh tubuh dibandingkan dengan orang
dewasa yang hanya 15%.Oleh karena itu kenaikan suhu tubuh dapat mengubah
keseimbangan dari membran sel neuron dan dalam waktu yang singkat terjadi
difusi dari ion kalium maupun ion natrium akibat terjadinya lepas muatan listrik.
Lepas muatan listrik ini demikian besarnya sehingga dapat meluas keseluruh
sel maupun ke membran sel sekitarnya dengan bantuan neurotransmitter dan
terjadi kejang. Kejang demam yang berlangsung lama biasanya disertai apnea,
meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot skelet yang
akhirnya terjadi hiposemia, hiperkapnia, asidosis laktat disebabkan oleh
metabolisme anerobik, hipotensi, artenal disertai denyut jantung yang tidak teratur
dan suhu tubuh meningkat yang disebabkan makin meningkatnya aktivitas otot
dan mengakibatkan metabolisme otak meningkat (Judha & Rahil, 2011).
Infeksi yang terjadi pada jaringan di luar kranial seperti tonsilitis, otitis
media akut, bronkitis penyebab terbanyak adalah bakteri yang bersifat toksik.
Toksik yang dihasilkan oleh mikroorganisme dapat menyebar keseluruh tubuh
melalui hematogen maupun limfogen.
Penyebaran toksik ke seluruh tubuh akan direspon oleh hipotalamus dengan
menaikkan pengaturan suhu di hipotalamus sebagai tanda tubuhmengalami
bahaya secara sistemik. Naiknya pengaturan suhu di hipotalamus akan

8
merangsang kenaikan suhu di bagian tubuh yang lain seperti otot, kulit sehingga
terjadi peningkatan kontraksi otot.
Naiknya suhu di hipotalamus, otot, kulit jaringan tubuh yang lain akan
disertai pengeluaran mediator kimia seperti epinefrin dan prostaglandin.
Pengeluaran mediator kimia ini dapat merangsang peningkatan potensial aksi
pada neuron . Peningkatan potensial inilah yang merangsang perpindahan ion
natrium, ion kalium dengan cepat dari luar sel menuju ke dalam sel. Peristiwa
inilah yang diduga dapat menaikkan fase depolarisasi neuron dengan cepat
sehingga timbul kejang.
Serangan cepat itulah yang dapat menjadikan anak mengalami penurunan
kesadaran, otot ekstremitas maupun bronkus juga dapat mengalami spasma
sehingga anak beresiko terhadap injuri dan kelangsungan jalan nafas oleh
penutupan lidah dan spasma bronkus (Price, 2005).

E. Tanda Dan Gejala


Menurut, Riyadi, Sujono & Sukarmin (2009), manifestasi klinik yang
muncul pada penderita kejang demam :
1. Suhu tubuh anak (suhu rektal) lebih dari 38C.
2. Timbulnya kejang yang bersifat tonik-klonik, tonik, klonik, fokal atau kinetik.
Beberapa detik setelah kejang berhenti anak tidak memberikan reaksi apapun
tetapi beberapa saat kemudian anak akan tersadar kembali tanpa ada kelainan
persarafan.
3. Saat kejang anak tidak berespon terhadap rangsangan seperti panggilan, cahaya
(penurunan kesadaran)
Selain itu pedoman mendiagnosis kejang demam menurut Livingstone juga
dapat kita jadikan pedoman untuk menetukan manifestasi klinik kejang demam.
Ada 7 kriteria antara lain:
1. Umur anak saat kejang antara 6 bulan sampai 4 tahun.
2. Kejang hanya berlangsung tidak lebih dari 15 menit.
3. Kejang bersifat umum (tidak pada satu bagian tubuh seperti pada otot rahang
saja).
4. Kejang timbul 16 jam pertama setelah timbulnya demam.

9
5. Pemeriksaan sistem persarafan sebelum dan setelah kejang tidak ada kelainan.
6. Pemeriksaan elektro Enchephalography dalam kurun waktu 1 minggu atau
lebih setelah suhu normal tidak dijumpai kelainan
7. Frekuensi kejang dalam waktu 1 tahun tidak lebih dari 4 kali.
Serangan kejang biasanya terjadi 24 jam pertama sewaktu demam, berlangsung
singkat dengan sifat kejang dapat berbentuk tonik-klonik, tonik, klonik, fokal
atau kinetik. Umumnya kejang berhenti sendiri. Begitu kejang berhenti anak
tidak memberi reaksi apapun sejenak tapi setelah beberapa detik atau menit
anak akan sadar tanpa ada kelainan saraf.(Judha & Rahil, 2011)

F. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaannya meliputi:
1. Darah
a. Glukosa darah:hipoglikemia merupakan predisposisi kejang
(N<200mq/dl)
b. BUN:peningkatan BUN mempunyai potensi kejang dan merupakan
indikasi nepro toksik akibat dari pemberian obat.
c. Elektrolit:Kalium, natrium.Ketidakseimbngan elektrolit merupakan
predisposisi kejang
d. Kalium (N 3,80-5,00 meq/dl)
e. Natrium (N 135-144 meq/dl)
2. Cairan cerebo spinal:mendeteksi tekanan abnormal dari CCS tanda
infeksi,pendarahan penyebab kejang
3. X Ray:untuk mengidentifikasi adanya proses desak ruang dan adanya lesi
4. Tansiluminasi: suatu cara yang dikerjakan pada bayi dengan UUB masih
terbaik (di bawah 2 tahun) di kamar gelap dengan lampu khusus untuk
transiluminasi kepala
5. EEG: teknik untuk menekan aktivitas listrik otak melalui tengkorak yang utuh
untuk mengetahui fokus aktivitas kejang,hasil biasanya normal.
6. CT Scan: untuk mengidentifikasi lesi cerebral infark hematoma,cerebral
oedema,trauma,abses,tumor dengan atau tanpa kontras.

10
G. Penatalaksanaan Medis
1. Pengobatan Saat Terjadi Kejang Demam
Dalam penanganan kejang demam, orang tua harus mengupayakan diri
setenang mungkin dalam mengobservasi anak. Beberapa hal yang harus
diperhatikan adalah sebagai berikut :
a. Anak harus dibaringkan di tempat yang datar dengan posisi menyamping,
bukan terlentang, untuk menghindari bahaya tersedak.
b. Jangan meletakkan benda apapun dalam mulut si anak seperti sendok,
karena justru benda tersebut dapat menyumbat jalan napas.
c. Jangan memegangi anak untuk melawan kejang
d. Sebagian besar kejang berlangsung singkat dan tidak memerlukan
penanganan khusus.
e. Jika kejang terus berlanjut selama 10 menit, anak harus segera dibawa ke
fasilitas kesehatan terdekat.
f. Setelah kejang berakhir, anak perlu dibawa menemui dokter untuk
meneliti sumber demam, terutama jika ada kekakuan leher, muntah-
muntah yang berat, atau anak terus tampak lemas.
Menurut, Riyadi, Sujono & Sukarmin (2009), menyatakan
bahwapenatalaksanaan yang dilakukan saat pasien dirumah sakit antara lain:
a. Saat timbul kejang maka penderita diberikan diazepam intravena secara
perlahan dengan panduan dosis untuk berat badan yang kurang dari 10 kg
dosisnya 0,5-0,75 mg/kg BB, diatas 20 kg 0,5 mg/kg BB. Dosis rata-rata
yang diberikan adalah 0,3 mg/kg BB/ kali pemberian dengan maksimal
dosis pemberian 5 mg pada anak kurang dari 5 tahun dan maksimal 10
mg pada anak yang berumur lebih dari 5 tahun. Pemberian tidak boleh
melebihi 50 mg persuntikan. Setelah pemberian pertama diberikan masih
timbul kejang 15 menit kemudian dapat diberikan injeksi diazepam
secara intravena dengan dosis yang sama. Apabila masih kejang maka
ditunggu 15 menit lagi kemudian diberikan injeksi diazepam ketiga
dengan dosis yang sama secara intramuskuler.

11
b. Pembebasan jalan napas dengan cara kepala dalam posisi hiperekstensi
miring, pakaian dilonggarkan, dan pengisapan lendir. Bila tidak membaik
dapat dilakukan intubasi endotrakeal atau trakeostomi.
c. Pemberian oksigen, untuk membantu kecukupan perfusi jaringan.
d. Pemberian cairan intravena untuk mencukupi kebutuhan dan
memudahkan dalam pemberian terapi intravena. Dalam pemberian cairan
intravena pemantauan intake dan output cairan selama 24 jamperlu
dilakukan, karena pada penderita yang beresiko terjadinya peningkatan
tekanan intrakranial kelebihan cairan dapat memperberat penurunan
kesadaran pasien. Selain itu pada pasien dengan peningkatan intraklanial
juga pemberian cairan yang mengandung natrium perlu dihindari.
e. Pemberian kompres hangat untuk membantu suhu tubuh dengan metode
konduksi yaitu perpindahan panas dari derajat tinggi (suhu tubuh) ke
benda yang mempunyai derajat yang lebih rendah (kain kompres).
Kompres diletakkan pada jaringan penghantar panas yang banyak seperti
kelenjar limfe di ketiak, leher, lipatan paha, serta area pembuluh darah
yang besar seperti di leher. Tindakan ini dapat dikombinasikan dengan
pemberian antipiretik seperti prometazon 4-6 mg/kg BB/hari (terbagi
dalam 3 kali pemberian).
f. Apabila terjadi peningkatan tekanan intrakranial maka perlu diberikan
obat-obatan untuk mengurang edema otak seperti dektametason 0,5-1
ampul setiap 6 jam sampai keadaan membaik.Posisi kepala hiperekstensi
tetapi lebih tinggi dari anggota tubuh yang lain dengan craa menaikan
tempat tidur bagian kepala lebih tinggi kurang kebih 15 (posisi tubuh
pada garis lurus)
g. Untuk pengobatan rumatan setelah pasien terbebas dari kejang pasca
pemberian diazepam, maka perlu diberikan obat fenobarbital dengan
dosis awal 30 mg pada neonatus, 50 mg pada anak usia 1 bulan-1tahun,
75 mg pada anak usia 1 tahun keatas dengan tehnik pemberian
intramuskuler. Setelah itu diberikan obat rumatan fenobarbital dengan
dosis pertama 8-10 mg/kg BB /hari (terbagi dalam 2 kali pemberian) hari
berikutnya 4-5 mg/kg BB/hari yang terbagi dalam 2 kali pemberian.

12
h. Pengobatan penyebab.
Karena yang menjadi penyebab timbulnya kejang adalah kenaikan suhu
tubuh akibat infeksi seperti di telinga, saluran pernapasan, tonsil maka
pemeriksaan seperti angka leukosit, foto rongent, pemeriksaan penunjang
lain untuk mengetahui jenis mikroorganisme yang menjadi penyebab
infeksi sangat perlu dilakukan. Pemeriksaan ini bertujuan untuk memilih
jenis antibiotik yang cocok diberikan pada pasien anak dengan kejang
demam.

2. Setelah Kejang Demam Berhenti


Bila kejang berhenti dan tidak berlanjut, pengobatan cukup dilanjutkan
dengan pengobatan intermitten yang diberikan pada anak demam untuk mencegah
terjadinya kejang demam. Obat yang diberikan berupa :
a. Antipiretik
Paracetamol atau asetaminofen 10-15 mg/kgBB diberikan 4 kali atau tiap
6 jam. Berikan dosis rendah dan pertimbangkan efek samping berupa
hiperhidrosis. Ibuprofen 10 mg/kgBB diberikan 3 kali (8 jam).
b. Antikonvulsan
Berikan diazepam oral dosis 0,3-0,5 mg/kgBB setiap 8 jam pada saat
demam untuk menurunkan resiko berulangnya kejang atau diazepam
rectal dosis 0,5 mg/kgBB sebanyak 3 kali per hari.

3. Pencegahan Kejang Demam


a. Pencegahan Primordial
Yaitu upaya pencegahan munculnya faktor predisposisi terhadap
kasus kejang demam pada seorang anak dimana belum tampak adanya
faktor yang menjadi risiko kejang demam. Upaya primordial dapat berupa:
1) Penyuluhan kepada ibu yang memiliki bayi atau anak tentang upaya
untuk meningkatkan status gizi anak, dengan cara memenuhi
kebutuhan nutrisinya. Jika status gizi anak baik maka akan
meningkatkan daya tahan tubuhnya sehingga dapat terhindar dari
berbagai penyakit infeksi yang memicu terjadinya demam.

13
2) Menjaga sanitasi dan kebersihan lingkungan. Jika lingkungan bersih
dan sehat akan sulit bagi agent penyakit untuk berkembang biak
sehingga anak dapat terhindar dari berbagai penyakit infeksi.
b. Pencegahan Primer
Pencegahan Primer yaitu upaya awal pencegahan sebelum seseorang
anak mengalami kejang demam. Pencegahan ini ditujukan kepada kelompok
yang mempunyai faktor risiko. Dengan adanya pencegahan ini diharapkan
keluarga/orang terdekat dengan anak dapat mencegah terjadinya serangan
kejang demam.
Upaya pencegahan ini dilakukan ketika anak mengalami demam.
Demam merupakan faktor pencetus terjadinya kejang demam. Jika anak
mengalami demam segera kompres anak dengan air hangat dan berikan
antipiretik untuk menurunkan demamnya meskipun tidak ditemukan bukti
bahwa pemberian antipiretik dapat mengurangi risiko terjadinya kejang
demam.
c. Pencegahan Sekunder
Yaitu upaya pencegahan yang dilakukan ketika anak sudah mengalami
kejang demam. Adapun tata laksana dalam penanganan kejang demam pada
anak meliputi:
1) Pengobatan Fase Akut
Anak yang sedang mengalami kejang, prioritas utama adalah
menjaga agar jalan nafas tetap terbuka. Pakaian dilonggarkan, posisi anak
dimiringkan untuk mencegah aspirasi. Sebagian besar kasus kejang
berhenti sendiri, tetapi dapat juga berlangsung terus atau berulang.
Pengisapan lendir dan pemberian oksigen harus dilakukan teratur, bila
perlu dilakukan intubasi. Keadaan dan kebutuhan cairan, kalori dan
elektrolit harus diperhatikan. Suhu tubuh dapat diturunkan dengan
kompres air hangat dan pemberian antipiretik. Pemberantasan kejang
dilakukan dengan cara memberikan obat antikejang kepada penderita.
Obat yang diberikan adalah diazepam. Dapat diberikan melalui intravena
maupun rektal.

14
2) Mencari dan mengobati penyebab
Pada anak, demam sering disebabkan oleh infeksi saluran
pernafasan akut, otitis media, bronkitis, infeksi saluran kemih, dan lain-
lain. Untuk mengobati penyakit infeksi tersebut diberikan antibiotik yang
adekuat. Kejang dengan suhubadan yang tinggi juga dapat terjadi karena
faktor lain, seperti meningitis atau ensefalitis. Oleh sebab itu
pemeriksaan cairan serebrospinal (lumbal pungsi) diindikasikan pada
anak penderita kejang demam berusia kurang dari 2 tahun. Pemeriksaan
laboratorium lain dilakukan atas indikasi untuk mencari penyebab,
seperti pemeriksaan darah rutin, kadar gula darah dan elektrolit.
Pemeriksaan EEG dilakukan pada kejang demam kompleks atau anak
yang mempunyai risiko untuk mengalami epilepsi.
3) Pengobatan profilaksis terhadap kejang demam berulang
Pencegahan kejang demam berulang perlu dilakukan karena
menakutkan keluarga dan bila berlangsung terus dapat menyebabkan
kerusakan otak yang menetap. Terdapat 2 cara profilaksis, yaitu:
a) Profilaksis intermitten pada waktu demam
Pengobatan profilaksis intermittent dengan antikonvulsan segera
diberikan pada saat penderita demam (suhu rektal lebih dari 38C).
Pilihan obat harus dapat cepat masuk dan bekerja ke otak. Obat yang
dapat diberikan berupa diazepam, klonazepam atau kloralhidrat
supositoria.
b) Profilaksis terus menerus dengan antikonvulsan tiap hari
Indikasi pemberian profilaksis terus menerus adalah:
(1)Sebelum kejang demam yang pertama sudah ada kelainan atau
gangguan perkembangan neurologis.
(2)Terdapat riwayat kejang tanpa demam yang bersifat genetik
pada orang tua atau saudara kandung.
(3)Kejang demam lebih lama dari 15 menit, fokal atau diikuti
kelainan neurologis sementara atau menetap. Kejang demam
terjadi pada bayi berumur kurang dari 12 bulan atau terjadi
kejang multipel dalam satu episode demam. Antikonvulsan

15
profilaksis terus menerus diberikan selama 1-2 tahun setelah
kejang terakhir, kemudian dihentikan secara bertahap selama 1-
2 bulan. Pemberian profilaksis terus menerus hanya berguna
untuk mencegah berulangnya kejang demam berat, tetapi tidak
dapat mencegah timbulnya epilepsi di kemudian hari. Obat yang
dapat diberikan berupa fenobarbital dan asam valproat.
d. Pencegahan Tersier
Tujuan utama dari pencegahan tersier adalah mencegah terjadinya
kecacatan, kematian, serta usaha rehabilitasi. Penderita kejang demam
mempunyai risiko untuk mengalami kematian meskipun kemungkinannya
sangat kecil. Selain itu, jika penderita kejang demam kompleks tidak segera
mendapat penanganan yang tepat dan cepat akan berakibat pada kerusakan
sel saraf (neuron). Oleh karena itu, anak yang menderita kejang demam
perlu mendapat penanganan yang adekuat dari petugas kesehatan guna
mencegah timbulnya kecacatan bahkan kematian.

H. Komplikasi
Gangguan-gangguan yang dapat terjadi akibat dari kejang demam anak
antara lain:
1. Kejang Demam Berulang.
Kejang demam berulang adalah kejang demam yang timbul pada lebih dari
satu episode demam. Beberapa hal yang merupakan faktor risiko berulangnya
kejang demam yaitu :
a. Usia anak < 15 bulan pada saat kejang demam pertama
b. Riwayat kejang demam dalam keluarga
c. Kejang demam terjadi segera setelah mulai demam
d. Riwayat demam yang sering
e. Kejang demam pertama merupakan kejang demam kompleks.

Berdasarkan penelitian kohort prospektif yang dilakukan Bahtera, T., dkk


(2009) di RSUP dr. Kariadi Semarang, dimana subjek penelitian adalah penderita
kejang demam pertama yang berusia 2 bulan - 6 tahun, kemudian selama 18 bulan

16
diamati. Subjek penelitian berjumlah 148 orang. Lima puluh enam (37,84%) anak
mengalami bangkitan kejang demam berulang.30

2. Kerusakan Neuron Otak.


Kejang yang berlangsung lama (>15 menit) biasanya disertai dengan apnea,
meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot yang akhirnya
menyebabkan hipoksemia, hiperkapnia, asidosis laktat karena metabolisme
anaerobik, hipotensi arterial, denyut jantung yang tak teratur, serta suhu tubuh
yang makin meningkat sejalan dengan meningkatnya aktivitas otot sehingga
meningkatkan metabolisme otak. Proses di atas merupakan faktor penyebab
terjadinya kerusakan neuron otak selama berlangsung kejang lama. Faktor
terpenting adalah gangguan peredaran darah yang mengakibatkan hipoksia
sehingga meningkatkan permeabilitas kapiler dan timbul edema otak yang
mengakibatkan kerusakan neuron otak.

3. Retardasi Mental, terjadi akibat kerusakan otak yang parah dan tidak
mendapatkan pengobatan yang adekuat.
4. Epilepsi, terjadi karena kerusakan pada daerah medial lobus temporalis setelah
mendapat serangan kejang yang berlangsung lama. Ada 3 faktor risiko yang
menyebabkan kejang demam menjadi epilepsi dikemudian hari, yaitu :
a. Riwayat epilepsi pada orangtua atau saudara kandung.
b. Kelainan neurologis atau perkembangan yang jelas sebelum kejang
demam pertama.
c. Kejang demam pertama merupakan kejang demam kompleks.
Menurut American National Collaborative Perinatal Project, 1,6% dari
semua anak yang menderita kejang demam akan berkembang menjadi epilepsi,
10% dari semua anak yang menderita kejang demam yang mempunyai dua atau
tiga faktor risiko di atas akan berkembang menjadi epilepsi.

5. Hemiparesis, yaitu kelumpuhan atau kelemahan otot-otot lengan, tungkai serta


wajah pada salah satu sisi tubuh. Biasanya terjadi pada penderita yang mengalami

17
kejang lama (kejang demam kompleks). Mula-mula kelumpuhan bersifat flaksid,
setelah 2 minggu timbul spasitas.

II. Konsep Dasar Teori Epilepsi


A. Defenisi
Epilepsi merupakan salah satu kelainan neurologis yang paling umum
terjadi dan mengenai sekitar 50 juta orang di dunia. Epilepsi berupa suatu kondisi
yang berbeda-beda ditandai dengan kejang yang tiba-tiba dan berulang. Tidak ada
perbedaan usia, jenis kelamin, atau ras, meskipun kejadian kejang epilepsi yang
pertama mempunyai dua pembagian, dengan puncaknya pada saat masa kanak-
kanak dan setelah usia 60 tahun (WHO, 2012).
Kata epilepsi berasal dari kata Yunani dan Latin untuk kejang dan
mengambil alih (WHO, 2005). Epilepsi berasal dari kata Yunani, epilambanmein,
yang berarti serangan. Masyarakat percaya bahwa epilepsi disebabkan oleh roh
jahat dan juga dipercaya bahwa epilepsi merupakan penyakit yang bersifat suci.
Hal ini yang melatarbelakangi adanya mitos dan rasa takut terhadap epilepsi.
Mitos tersebut mewarnai sikap masyarakat dan menyulitkan upaya penanganan
penderita epilepsi dalam kehidupan normal.
Kejang berasal dari bahasa Latin, sacire, yang berarti untuk mengambil alih.
Kejang adalah suatu kejadian tiba-tiba yang disebabkan oleh lepasnya
agregat dari sel-sel saraf di sistem saraf pusat yang abnormal dan berlebihan
(Lowenstein, 2010).
Epilepsi merupakan manifestasi gangguan fungsi otak dengan berbagai
etiologi, dengan gejala tunggal yang khas, yakni kejang berulang akibat lepasnya
muatan listrik neuron otak secara berlebihan dan paroksimal. Epilepsi ditetapkan
sebagai kejang epileptik berulang (dua atau lebih), yang tidak dipicu oleh
penyebab yang akut (Markand, 2009).
Bangkitan epilepsi adalah manifestasi klinis dari bangkitan serupa yang
berlebihan dan abnormal, berlangsung secara mendadak dan sementara, dengan
atau tanpa perubahan kesadaran, disebabkan oleh hiperaktifitas listrik sekelompok
sel saraf di otak yang bukan disebabkan oleh suatu penyakit otak akut. Lepasnya
muatan listrik yang berlebihan ini dapat terjadi di berbagai bagian pada otak dan

18
menimbulkan gejala seperti berkurangnya perhatian dan kehilangan ingatan
jangka pendek, halusinasi sensoris, atau kejangnya seluruh tubuh (Miller, 2009).
Sindrom epilepsi adalah sekumpulan gejala dan tanda klinis epilepsi yang
terjadi bersama-sama meliputi berbagai etiologi, umur, onset, jenis serangan,
faktor pencetus dan kronisitas (Engel Jr, 2006).

B. Klasifikasi
Epilepsi dapat diklasifikasikan menurut klasifikasi bangkitan epilepsi dan
klasifikasi sindroma epilepsi. Klasifikasi sindroma epilepsi berdasarkan faktor-
faktor tipe bangkitan (umum atau terlokalisasi), etiologi (simtomatik atau
idiopatik), usia dan situasi yang berhubungan dengan bangkitan. Sedangkan
klasifikasi epilepsi menurut bangkitan epilepsi berdasarkan gambaran klinis dan
elektroensefalogram.
1. Klasifikasi epilepsi berdasarkan bangkitan:
a. Bangkitan parsial
1) Bangkitan parsial sederhana (tanpa gangguan kesadaran)
a) Dengan gejala motorik
b) Dengan gejala sensorik
c) Dengan gejala otonomik
d) Dengan gejala psikik
2) Bangkitan parsial kompleks (dengan gangguan kesadaran)
a) Awalnya parsial sederhana, kemudian diikuti gangguan kesadaran
Bangkitan parsial sederhana, diikuti gangguan kesadaran
Dengan automatisme
b) Dengan gangguan kesadaran sejak awal bangkitan
Dengan gangguan kesadaran saja
Dengan automatisme

b. Bangkitan Umum (Konvulsi atau Non-Konvulsi)


1) Bangkitan lena
Lena ( absence ), sering di sebut petitmal. Serangan terjadi secara
tiba-tiba, tanpa di dahului aura. Kesadaran hilangselama beberapa detik,

19
di tandai dengan terhentinya percakapan untuk sesaat, pandangan
kosong, atau mata berkedip dengan cepat. Hampir selalu pada anak-anak,
mungkin menghilang waktu remaja atau diganti dengan serangan tonik-
klonik.
a) Bangkitan mioklonik
Mioklonik, serangan-serangan ini terdiri atas kontraksi otot yang
singkat dan tiba-tiba, bisa simetris dan asimetris, sinkronis taua
asinkronis. Biasanay tidak ada kehilangan kesadaran selama serangan.
b) Bangkitan tonik
Tonik, seranagan ini terdiri atas tonus otot dengan tiba-tiba
meningkat dari otot ekstremitas, sehingga terbentuk sejumlah sikap
yang khas. Biasanya kesadaran hilang hanya beberapa menit terjadi
pada anak 1-7 tahun.
c) Bangkitan atonik
Atonik, serangan atonik terdiri atas kehilangan tonus tubuh.
Keadaan ini bisa di menifestasikan oleh kepala yang terangguk-
angguk, lutut lemas, atau kehilangan total dari tonus otot dan Px bisa
jatuh serta mendapatkan luka-luka.
d) Bangkitan klonik
Klonik, serangan di mulai dengan kehilangan kesadaran yang di
sebebkan aoleh hipotonia yang tiba-tiba atau spasme tonik yng
singkat. Keadaan ini di ikuti sentakan bilateralyang lamanya 1 menit
samapai beberapa menit yang sering asimetris dan bisa predominasi
pada satu anggota tubh. Seranagan ini bisa berfariasi lamanya,
seringnya dan bagian dari sentakan ini satu saat ke satu saat lain.
e) Bangkitan tonik-klonik
Tonik-Klonik, biasa di sebut grandmal. Merupakan jenis seranag
klasik epilepsi seranagn ini di tandai oleh suatu sensasi penglihatan
taua pendengaran selama beberapa saat yang di ikuti oleh kehilangan
kesadaran secara cepat.

20
2. Klasifikasi epilepsi berdasarkan sindroma
a. Symptomatic
1) Subklasifikasi dalam kelompok ini ditentukan berdasarkan lokasi
anatomi yang diperkirakan berdasarkan riwayat klinis, tipe kejang
predominan, EEG interiktal dan iktal, gambaran neuroimejing.
2) Kejang parsial sederhana, kompleks atau kejang umum sekunder
berasal dari lobus frontal, parietal, temporal, oksipital, fokus multipel
atau fokus tidak diketahui.
3) Localization related tetapi tidak pasti simtomatik atau idiopatik
(Octaviana, 2008).

C. Etiologi
Penyebab epilepsi pada berbagai kelompok usia:
1. Neonatal
Kelainan kongenital, kelainan saat persalinan, anoksia, kelainan metabolik
(hipokalsemia, hipoglisemia, defisiensi vitamin B6, defisiensi biotinidase,
fenilketonuria).
2. Bayi (1-6 bulan)
Kelainan kongenital, kelainan saat persalinan, anoksia, kelainan
metabolik, spasme infantil, Sindroma West.
3. Anak (6 bulan 3 tahun)
pasme infantil, kejang demam, kelainan saat persalinan dan anoksia, infeksi,
trauma, kelainan metabolik, disgenesis kortikal, keracunan obat- obatan.
4. Anak (3-10 tahun)
Anoksia perinatal, trauma saat persalinan atau setelahnya, infeksi,
thrombosis arteri atau vena serebral, kelainan metabolik, Sindroma Lennox
Gastaut, Rolandic epilepsi.
5. Remaja (10-18 tahun)
Epilepsi idiopatik, termasuk yang diturunkan secara genetik, epilepsi
mioklonik juvenile, trauma, obat-obatan.

21
6. Dewasa muda (18-25 tahun)
Epilepsi idiopatik, trauma, neoplasma, keracunan alkohol atau obat sedasi
lainnya.
7. Dewasa (35-60 tahun)
Trauma, neoplasma, keracunan alkohol atau obat lainnya
8. Usia lanjut (>60 tahun)
Penyakit vascular (biasanya pasca infark), tumor, abses, penyakit,
degeneratif, trauma. Meningitis atau ensefalitis dan komplikasinya mungkin
adalah penyebab kejang di semua kelompok usia. Hal ini dikarenakan adanya
gangguan metabolik yang berat. Pada negara tropis dan subtropis, infeksi
parasit pada sistem saraf pusat adalah penyebab umum kejang.

Gangguan stabilitas neuron-neuron otak yang dapat terjadi saat epilepsi,


dapat terjadi saat:
Tabel 5. Faktor Risiko Epilepsi
Prenatal Natal Postnatal
a. Umur ibu saat a. Asfiksia a. Kejang demam
hamil terlalu b. Bayi dengan b. Trauma kepala
muda (<20 berat badan lahir c. Infeksi SSP
tahun) atau rendah (<2500 d. Gangguan
terlalu tua (>35 gram) metabolik
tahun) c. Kelahiran
b. Kehamilan prematur atau
dengan eklamsia postmatur
dan hipertensi d. Partus lama
c. Kehamilan e. Persalinan
primipara atau dengan alat
multipara
d. Pemakaian
bahan toksik

22
D. Patofisiologi
Telah diketahui bahwa neuron memiliki potensial membran, hal ini terjadi
karena adanya perbedaan muatan ion-ion yang terdapat di dalam dan di luar
neuron. Perbedaan jumlah muatan ion-ion ini menimbulkan polarisasi pada
membran dengan bagian intraneuron yang lebih negatif. Neuron bersinaps dengan
neuron lain melalui akson dan dendrit. Suatu masukan melalui sinapsis yang
bersifat eksitasi akan menyebabkan terjadinya depolarisasi membran yang
berlangsung singkat, kemudian inhibisi akan menyebabkan hiperpolarisasi
membran. Bila eksitasi cukup besar dan inhibisi kecil, akson mulai terangsang,
suatu potensial aksi akan dikirim sepanjang akson, untuk merangsang atau
menghambat neuron lain.
Patofisiologi utama terjadinya epilepsi meliputi mekanisme yang terlibat
dalam munculnya kejang (iktogenesis), dan juga mekanisme yang terlibat dalam
perubahan otak yang normal menjadi otak yang mudah-kejang (epileptogenesis).
1. Mekanisme iktogenesis
Hipereksitasi adalah faktor utama terjadinya iktogenesis. Eksitasi yang
berlebihan dapat berasal dari neuron itu sendiri, lingkungan neuron, atau jaringan
neuron.
a. Sifat eksitasi dari neuron sendiri dapat timbul akibat adanya perubahan
fungsional dan struktural pada membran postsinaptik; perubahan pada
tipe, jumlah, dan distribusi kanal ion gerbang-voltase dan gerbang- ligan;
atau perubahan biokimiawi pada reseptor yang meningkatkan

permeabilitas terhadap Ca2+, mendukung perkembangan depolarisasi


berkepanjangan yang mengawali kejang.
b. Sifat eksitasi yang timbul dari lingkungan neuron dapat berasal dari
perubahan fisiologis dan struktural. Perubahan fisiologis meliputi
perubahan konsentrasi ion, perubahan metabolik, dan kadar
neurotransmitter. Perubahan struktural dapat terjadi pada neuron dan

sel glia. Konsentrasi Ca2+ ekstraseluler menurun sebanyak 85% selama

kejang, yang mendahului perubahan pada konsentasi K2+.

23
Bagaimanapun, kadar Ca2+ lebih cepat kembali normal daripada kadar

K2+
c. Perubahan pada jaringan neuron dapat memudahkan sifat eksitasi di
sepanjang sel granul akson pada girus dentata; kehilangan neuron
inhibisi; atau kehilangan neuron eksitasi yang diperlukan untuk
aktivasi neuron inhibisi.
2. Mekanisme epileptogenesis
a. Mekanisme nonsinaptik
Perubahan konsentrasi ion terlihat selama hipereksitasi, peningkatan

kadar K2+ ekstrasel atau penurunan kadar Ca2+ ekstrasel. Kegagalan

pompa Na+-K+ akibat hipoksia atau iskemia diketahui menyebabkan

epileptogenesis, dan keikutsertaan angkutan Cl--K+, yang mengatur kadar

Cl- intrasel dan aliran Cl- inhibisi yang diaktivasi oleh GABA, dapat
menimbulkan peningkatan eksitasi. Sifat eksitasi dari ujung sinaps
bergantung pada lamanya depolarisasi dan jumlah neurotransmitter yang
dilepaskan. Keselarasan rentetan ujung runcing abnormal pada cabang
akson di sel penggantian talamokortikal memainkan peran penting pada
epileptogenesis.
b. Mekanisme sinaptik
Patofisiologi sinaptik utama dari epilepsi melibatkan penurunan
inhibisi GABAergik dan peningkatan eksitasi glutamatergik.
1) GABA
Kadar GABA yang menunjukkan penurunan pada CSS (cairan
serebrospinal) pasien dengan jenis epilepsi tertentu, dan pada potongan
jaringan epileptik dari pasien dengan epilepsi yang resisten terhadap
obat, memperkirakan bahwa pasien ini mengalami penurunan inhibisi.
2) Glutamat
Rekaman hipokampus dari otak manusia yang sadar menunjukkan
peningkatan kadar glutamat ekstrasel yang terus-menerus selama dan
mendahului kejang. Kadar GABA tetap rendah pada hipokampus yang
epileptogenetik, tapi selama kejang, konsentrasi GABA meningkat,

24
meskipun pada kebanyakan hipokampus yang non-epileptogenetik. Hal
ini mengarah pada peningkatan toksik di glutamat ekstrasel akibat
penurunan inhibisi di daerah yang epileptogenetik (Eisai, 2012).

E. Tanda Dan Gejala


Gejala dan tanda dari epilepsi dibagi berdasarkan klasifikasi dari epilepsi,
yaitu:
1. Kejang parsial
Lesi yang terdapat pada kejang parsial berasal dari sebagian kecil dari otak
atau satu hemisfer serebrum. Kejang terjadi pada satu sisi atau satu bagian tubuh
dan kesadaran penderita umumnya masih baik.
a. Kejang parsial sederhana
Gejala yang timbul berupa kejang motorik fokal, fenomena
halusinatorik, psikoilusi, atau emosional kompleks. Pada kejang parsial
sederhana, kesadaran penderita masih baik.
b. Kejang parsial kompleks
Gejala bervariasi dan hampir sama dengan kejang parsial
sederhana, tetapi yang paling khas terjadi adalah penurunan kesadaran dan
otomatisme.
2. Kejang umum
Lesi yang terdapat pada kejang umum berasal dari sebagian besar dari otak
atau kedua hemisfer serebrum. Kejang terjadi pada seluruh bagian tubuh dan
kesadaran penderita umumnya menurun.
a. Kejang Absans
Hilangnya kesadaran sessat (beberapa detik) dan mendadak disertai
amnesia. Serangan tersebut tanpa disertai peringatan seperti aura atau
halusinasi, sehingga sering tidak terdeteksi.
b. Kejang Atonik
Hilangnya tonus mendadak dan biasanya total pada otot anggota
badan, leher, dan badan. Durasi kejang bisa sangat singkat atau lebih lama.
c. Kejang Mioklonik

25
Ditandai dengan kontraksi otot bilateral simetris yang cepat dan
singkat. Kejang yang terjadi dapat tunggal atau berulang.
d. Kejang Tonik-Klonik
Sering disebut dengan kejang grand mal. Kesadaran hilang dengan
cepat dan total disertai kontraksi menetap dan masif di seluruh otot. Mata
mengalami deviasi ke atas. Fase tonik berlangsung 10 - 20 detik dan diikuti
oleh fase klonik yang berlangsung sekitar 30 detik. Selama fase tonik,
tampak jelas fenomena otonom yang terjadi seperti dilatasi pupil,
pengeluaran air liur, dan peningkatan denyut jantung.
e. Kejang Klonik
Gejala yang terjadi hampir sama dengan kejang mioklonik, tetapi
kejang yang terjadi berlangsung lebih lama, biasanya sampai 2 menit.
f. Kejang Tonik
Ditandai dengan kaku dan tegang pada otot. Penderita sering
mengalami jatuh akibat hilangnya keseimbangan.

Tabel 2.1. Manifestasi klinis bangkitan epilepsi


Tipe kejang Ciri khas
Kejang parsial
Parsial sederhana Adanya gejala motorik, somatosensorik, sensorik,

Parsial kompleks Adanya gejala motorik, somatosensorik, sensorik,


otonom, atau kejiwaan. Kesadaran normal.

otonom, atau kejiwaan.


sKejang umum
Tonik-klonik Adanya penurunan
Kekakuan kesadaran.
tonik yang diikuti oleh sentakan ekstremitas
yang sinkron. Dapat disertai inkontinensia. Diikuti
dengan kebingungan pasca kejang.

26
Absans Hilangnya kesadaran (biasanya <10 detik) dengan
terhentinya aktivitas yang sedang berlangsung.
Dapat disertai gerakan otomatis, seperti mengedip.Pola
EEG menunjukkan gambaran paku-ombak (spike- and-
wave).

Mioklonik Adanya satu atau banyak sentakan otot. Kesadaran


normal. Biasanya bilateral dan simetris.
Atonik Hilangnya tonus otot yang singkat.
Tonik Kontraksi otot yang berkepanjangan.
Klonik Pergantian sentakan dan relaksasi ekstremitas secara
berulang-ulang.
Sumber: (Miller, 2009)

F. Pemeriksaan Diagnostik
Epilepsi dapat ditegakkan setelah pasien mengalami dua atau lebih kejang
yang tidak dipicu (Rudzinski dan Shih, 2011). Diagnosis pasti dapat ditegakkan
hanya jika kejang terjadi selama perekaman EEG atau jika muatan listrik dapat
dihubungkan dengan tanda dan gejala pasien. Oleh karena itu, diagnosis kejang
tetap yang paling utama (Miller, 2009).
Diagnosis epilepsi merupakan masalah tersendiri karena membuat
diagnosis epilepsi secara rutin memerlukan pengetahuan klinis dan keterampilan
yang khusus. Pada kebanyakan pasien epilepsi, diagnosis dapat dibuat dengan
mengetahui secara lengkap riwayat penyakit, pemeriksaan fisik dan neurologi,
pemeriksaan elektroensefalografi, dan pencitraan otak (Sunaryo, 2006).
1. Anamnesis
Anamnesis harus dilakukan secara cermat, rinci, dan menyeluruh karena
pemeriksa hampir tidak pernah menyaksikan serangan yang dialami penderita.
Anamnesis dapat berupa autoanamnesis maupun aloanamnesis, meliputi:
a. Pola atau bentuk serangan
b. Lama serangan
c. Gejala sebelum, selama, dan sesudah serangan
d. Frekuensi serangan

27
e. Faktor pencetus
f. Ada tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang
g. Usia saat serangan pertama
h. Riwayat kehamilan, persalinan, dan perkembangan
i. Riwayat penyakit, penyebab, dan terapi sebelumnya
j. Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga
2. Pemeriksaan fisik dan neurologi
Melihat adanya tanda-tanda infeksi, seperti demam, infeksi telinga, tanda
meningeal, atau bukti adanya trauma kepala. Pemeriksaan fisikk harus menepis
sebab-sebab terjadinya serangan dengan menggunakan umur dan riwayat penyakit
sebagai pegangan. Pada anak-anak, pemeriksa harus memperhatikan adanya
keterlambatan perkembangan, organomegali, perbedaan ukuran antara anggota
tubuh yang dapat menunjukkan awal gangguan pertumubuhan otak unilateral.
Pemeriksaan neurologis lengkap dan rinci adalah penting, khususnya untuk
mencari tanda-tanda fokal atau lateral.
3. Pemeriksaan penunjang
a. Elektroensefalografi (EEG)
Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua pasien epilepsi dan
merupakan pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan untuk
menegakkan diagnosis epilepsi dan tipe kejang lainnya yang tepat dan
bahkan sindrom epilepsi (Markand, 2009). EEG juga dapat membantu
pemilihan obat anti epilepsi dan prediksi prognosis pasien (Smith, 2005).
Adanya kelainan fokal pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya lesi
struktural di otak, sedangkan adanya kelainan umum pada EEG
menunjukkan kemungkinan adanya kelainan genetik atau metabolik.
Pemeriksaan EEG rutin sebaiknya dilakukan perekaman pada waktu sadar
dalam keadaan istirahat dan pada waktu tidur (Sunaryo, 2006). Gambaran
EEG pasien epilepsi menunjukkan gambaran epileptiform, misalnya
gelombang tajam (spike), paku-ombak, paku majemuk, dan gelombang
lambat yang timbul secara paroksismal.

28
b. Pemeriksaan radiologis
Pemeriksaan yang dikenal dengan istilah pencitraan otak
(neuroimaging) bertujuan untuk melihat struktur otak dengan melengkapi
data EEG. Pada pencitraan struktural, MRI merupakan pilihan utama, lebih
unggul dibandingkan CT scan, karena MRI dapat mendeteksi dan
menggambarkan lesi epileptogenik. Pencitraan fungsional seperti Single
Photon Emission Computerised Tomography (SPECT), Positron Emission
Tomography (PET), dan MRI fungsional digunakan lebih lanjut untuk
menentukan lokasi lesi epileptogenik sebelum pembedahan jika pencitraan
struktural meragukan. MRI fungsional juga dapat membantu menentukan
lokasi area fungsional spesifik sebelum pembedahan (Consensus
Guidelines on the Management of Epilepsy, 2010).

G. Penatalaksanaan Medis
Tujuan utama pengobatan epilepsi adalah membuat orang dengan epilepsi
(ODE) terbebas dari serangan epilepsinya, terutama terbebas dari serangan kejang
sedini mungkin. Setiap kali terjadi serangan kejang yang berlangsung sampai
beberapa menit maka akan menimbulkan kerusakan sampai kematian sejumlah
sel-sel otak. Apabila hal ini terus-menerus terjadi, maka dapat mengakibatkan
menurunnya kemampuan intelegensi penderita. Pengobatan epilepsi dinilai
berhasil dan ODE dikatakan sembuh apabila serangan epilepsi dapat dicegah atau
penyakit ini menjadi terkontrol dengan obat-obatan.
Penatalaksanaan untuk semua jenis epilepsi dapat dibagi menjadi 4 bagian:
penggunaan obat antiepilepsi (OAE), pembedahan fokus epilepsi, penghilangan
faktor penyebab dan faktor pencetus, serta pengaturan aktivitas fisik dan mental.
Tapi secara umum, penatalaksanaan epilepsi dibagi menjadi dua, yaitu:
a. Terapi medikamentosa
Terapi medikamentosa adalah terapi lini pertama yang dipilih dalam
menangani penderita epilepsi yang baru terdiagnosa. Ketika memulai
pengobatan, pendekatan yang mulai dengan rendah, lanjutkan dengan
lambat (start low, go slow) akan mengurangi risiko intoleransi obat (Smith

29
dan Chadwick, 2001). Penatalaksanaan epilepsi sering membutuhkan
pengobatan jangka panjang.
Monoterapi lebih dipilih ketika mengobati pasien epilepsi,
memberikan keberhasilan yang sama dan tolerabilitas yang unggul
dibandingkan politerapi. Pemilihan OAE yang dapat diberikan dapat dilihat
pada tabel 2.2.

Tabel 2.2. Daftar OAE yang umum digunakan dan indikasinya


Tipe kejang Lini pertama Lini kedua
Kejang parsial
Parsial sederhana, Carbamazepine Acetazolamide
Parsial kompleks, Lamotrigine Clonazepam
Umum sekunder Levetiracetam Gabapentin
Oxcarbazepine Phenobarbitone
Topiramate Phenytoin
Valproate
Kejang umum
Tonik-klonik, Carbamazepine Acetazolamide
Klonik Lamotrigine Levetiracetam
Topiramate Phenobarbitone
Valproate Phenytoin
Absans Ethosuximide Acetazolamide
Lamotrigine Clonazepam
Valproate
Absans atipikal, Valproate Acetazolamide
Atonik, Clonazepam
Tonik Lamotrigine
Phenytoin
Topiramate
Mioklonik Valproate Acetazolamide
Clonazepam
Lamotrigine

30
Levetiracetam

Phenobarbitone
Piracetam
Sumber: (Consensus Guidelines on the Management of Epilepsy, 2010)

b. Terapi bedah epilepsi


Tujuan terapi bedah epilepsi adalah mengendalikan kejang dan
meningkatkan kualitas hidup pasien epilepsi yang refrakter. Pasien epilepsi
dikatakan refrakter apabila kejang menetap meskipun telah diterapi
selama 2 tahun dengan sedikitnya 2 OAE yang paling sesuai untuk jenis
kejangnya atau jika terapi medikamentosa menghasilkan efek samping yang
tidak dapat diterima. Terapi bedah epilepsi dilakukan dengan membuang
atau memisahkan seluruh daerah epileptogenik tanpa mengakibatkan risiko
kerusakan jaringan otak normal didekatnya (Consensus Guidelines on the
Management of Epilepsy, 2010).

31
III. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan
A. Pengkajian
1. Survey Primer
Primary survey menyediakan evaluasi yang sistematis, pendeteksian dan
manajemen segera terhadap komplikasi akibat trauma parah yang mengancam
kehidupan. Tujuan dari Primary survey adalah untuk mengidentifikasi dan
memperbaiki dengan segera masalah yang mengancam kehidupan. Prioritas yang
dilakukan pada primary survey antara lain (Fulde, 2009) :
a. Airway maintenance dengan cervical spine protection
b. Breathing dan oxygenation
c. Circulation dan kontrol perdarahan eksternal
d. Disability-pemeriksaan neurologis singkat
e. Exposure dengan kontrol lingkungan
Sangat penting untuk ditekankan pada waktu melakukan primary survey
bahwa setiap langkah harus dilakukan dalam urutan yang benar dan langkah
berikutnya hanya dilakukan jika langkah sebelumnya telah sepenuhnya dinilai dan
berhasil. Setiap anggota tim dapat melaksanakan tugas sesuai urutan sebagai
sebuah tim dan anggota yang telah dialokasikan peran tertentu seperti airway,
circulation, dll, sehingga akan sepenuhnya menyadari mengenai pembagian waktu
dalam keterlibatan mereka (American College of Surgeons, 1997). Primary survey
perlu terus dilakukan berulang-ulang pada seluruh tahapan awal manajemen.
Kunci untuk perawatan trauma yang baik adalah penilaian yang terarah, kemudian
diikuti oleh pemberian intervensi yang tepat dan sesuai serta pengkajian ulang
melalui pendekatan AIR (assessment, intervention, reassessment).
Primary survey dilakukan melalui beberapa tahapan, antara lain (Gilbert.,
DSouza., & Pletz, 2009)
a. A : Airway ( jalan nafas ) karena pada kasus kejang demam Inpuls-
inpuls radang dihantarkan ke hipotalamus yang merupakan pusat
pengatur suhu tubuh Hipotalamus menginterpretasikan impuls menjadi
demam Demam yang terlalu tinggi merangsang kerja syaraf jaringan
otak secara berlebihan , sehingga jaringan otak tidak dapat lagi
mengkoordinasi persyarafan-persyarafan pada anggota gerak tubuh.

32
wajah yang membiru, lengan dan kakinya tesentak-sentak tak terkendali
selama beberapa waktu. Gejala ini hanya berlangsung beberapa detik,
tetapi akibat yang ditimbulkannya dapat membahayakan keselamatan
anak balita. Akibat langsung yang timbul apabila terjadi kejang demam
adalah gerakan mulut dan lidah tidak terkontrol. Lidah dapat seketika
tergigit, dan atau berbalik arah lalu menyumbat saluran pernapasan.
Diagnosa:
- Ketidakefektifan bersihan jalan nafas bd spasme jalan nafas
- Risiko aspirasi bd penurunan reflek menelan
Tindakan yang dilakukan :
- Semua pakaian ketat dibuka
- Posisi kepala sebaiknya miring untuk mencegah aspirasi isi
lambung
- Usahakan agar jalan nafas bebas untuk menjamin kebutuhan
oksigen
- Pengisapan lendir harus dilakukan secara teratur dan diberikan
oksigen.
Evaluasi :
- Inefektifan jalan nafas tidak terjadi
- Jalan nafas bersih dari sumbatan
- RR dalam batas normal
- Suara nafas vesikuler

b. B : Breathing (pola nafas) karena pada kejang yang berlangsung lama


misalnya lebih 15 menit biasanya disertai apnea, Na meningkat,
kebutuhan O2 dan energi meningkat untuk kontraksi otot skeletal yang
akhirnya terjadi hipoxia dan menimbulkan terjadinya asidosis.
Diagnosa:
- Gangguan pertukaran gas
- Gangguan ventilasi spontan
Tindakan yang dilakukan :
- Mengatasi kejang secepat mungkin

33
- Diberikan antikonvulsan secara intravena jika klien masih dalam
keadaan kejang, ditunggu selama 15 menit, bila masih terdapat kejang
diulangi suntikan kedua dengan dosis yang sama juga secara
intravena. Setelah 15 menit suntikan ke 2 masih kejang diberikan
suntikan ke 3 dengan dosis yang sama tetapi melalui intramuskuler,
diharapkan kejang akan berhenti. Bila belum juga berhenti dapat
diberikan fenobarbital atau paraldehid 4 % secara intravena.
- Usahakan agar jalan nafas bebas untuk menjamin kebutuhan oksigen
Evaluasi :
- RR dalam batas normal
- Tidak terjadi asfiksia
- Tidak terjadi hipoxia

c. C : Circulation karena gangguan peredaran darah mengakibatkan
hipoksia sehingga meningkatkan permeabilitas kapiler dan timbul edema
otak yang mngakibatkan kerusakan sel neuron otak. Kerusakan pada
daerah medial lobus temporalis setelah mendapat serangan kejang yang
berlangsung lama dapat menjadi matang dikemudian hari sehingga
terjadi serangan epilepsi spontan, karena itu kejang demam yang
berlangsung lama dapat menyebabkan kelainan anatomis diotak hingga
terjadi epilepsi.
Tindakan yang dilakukan :
- Mengatasi kejang secepat mungkin
- Diberikan antikonvulsan secara intravena jika klien masih dalam
keadaan kejang, ditunggu selama 15 menit, bila masih terdapat kejang
diulangi suntikan kedua dengan dosis yang sama juga secara
intravena. Setelah 15 menit suntikan ke 2 masih kejang diberikan
suntikan ke 3 dengan dosis yang sama tetapi melalui intramuskuler,
diharapkan kejang akan berhenti. Bila belum juga berhenti dapat
diberikan fenobarbital atau paraldehid 4 % secara intravena.
Pengobatan penunjang saat serangan kejang adalah :
- Semua pakaian ketat dibuka

34
- Posisi kepala sebaiknya miring untuk mencegah aspirasi isi lambung
- Usahakan agar jalan napas bebasuntuk menjamin kebutuhan oksigen
- Pengisapan lendir harus dilakukan secara teratur dan diberikan
oksigen
Evaluasi :
- Tidak terjadi gangguan peredaran darah
- Tidak terjadi hipoxia
- Tidak terjadi kejang
- RR dalam batas normal

d. Disability
Klien bisa sadar atau tidak tergantung pada jenis serangan atau
karakteristik dari epilepsi yang diderita. Biasanya pasien merasa bingung,
dan tidak teringat kejadian saat kejang
- Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak
e. Exposure
Pakaian klien di buka untuk melakukan pemeriksaan thoraks, apakah
ada cedera tambahan akibat kejang, dan periksa suhu tubuh pasien untuk
mengetahui suhu tubuh yangmana kejang mungkin disebabkan atau
didahului oleh terjadinya demam.
Diagnosa:
- Risiko ketidakefektifan termoregulasi
Tindakan:
- Temukan adanya tanda-tanda kemungkinan terjadinya fraktur akibat
kejang yang dialami
- Berikan suhu ruangan yang sesuai untuk pasien dengan gangguan
termoregulasi.

35
2. Survey sekunder
a. Identitas klien meliputi: nama, umur, jenis kelamin, agama, suku
bangsa,alamat, tanggal masuk rumah sakit, nomor register, tanggal
pengkajian dan diagnosa medis.
b. Keluhan utama:
Klien masuk dengan kejang, dan disertai penurunan kesadaran
c. Riwayat penyakit:
Klien yang berhubungan dengan faktor resiko bio-psiko-
spiritual. Kapan klien mulai serangan, pada usia berapa. Frekuansi serangan,
ada faktor presipitasi seperti suhu tinggi, kurang tidur, dan emosi yang labil.
Apakah pernah menderita sakit berat yang disertai hilangnya kesadaran,
kejang, cedera otak operasi otak. Apakah klien terbiasa menggunakan obat-
obat penenang atau obat terlarang, atau mengkonsumsi alcohol. Klien
mengalami gangguan interaksi dengan orang lain / keluarga karena malu
,merasa rendah diri, ketidak berdayaan, tidak mempunyai harapan dan selalu
waspada/berhati-hati dalam hubungan dengan orang lain.
1) Riwayat kesehatan
2) Riwayat keluarga dengan kejang
3) Riwayat kejang demam
4) Tumor intrakranial
5) Trauma kepala terbuka, stroke
d. Riwayat kejang :
1) Bagaimana frekuensi kejang.
2) Gambaran kejang seperti apa
3) Apakah sebelum kejang ada tanda-tanda awal.
4) Apakah ada kehilangan kesadaran atau pingsan
5) Apakah ada kehilangan kesadaran sesaat atau lena.
6) Apakah pasien menangis, hilang kesadaran, jatuh ke lantai.
e. Pemeriksaan fisik
1) Kepala dan leher : Sakit kepala, leher terasa kaku
2) Thoraks : Pada klien dengan sesak, biasanya menggunakan otot bantu
napas

36
3) Ekstermitas : Keletihan, kelemahan umum, keterbatasan dalam
beraktivitas, perubahan tonus otot, gerakan involunter/kontraksi otot
4) Eliminasi : Peningkatan tekanan kandung kemih dan tonus sfingter.
Pada post iktal terjadi inkontinensia (urine/fekal) akibat otot relaksasi
5) Sistem pencernaan : Sensitivitas terhadap makanan, mual/muntah
yang berhubungan dengan aktivitas kejang, kerusakan jaringan lunak.
Selain pengkajian tersebut, focus pengkajian pada sekondari survey
adalah sebagai berikut.
Menurut Doenges (1993 : 259) dasar data pengkajian pasien adalah:
1) Aktifitas / Istirahat
Gejala : Keletihan, kelemahan umum
Keterbatasan dalam beraktifitas / bekerja yang ditimbulkan oleh diri
sendiri / orang terdekat / pemberi asuhan kesehatan atau orang lain.
Tanda : Perubahan tonus / kekuatan otot
Gerakan involunter / kontraksi otot ataupun sekelompok otot
2) Sirkulasi
Gejala : Iktal : Hipertensi, peningkatan nadi sianosis
Posiktal : Tanda vital normal atau depresi dengan penurunan nadi dan
pernafasan.
3) Eliminasi
Gejala : Inkontinensia episodik.
Tanda : Iktal : Peningkatan tekanan kandung kemih dan tonus sfingter.
Posiktal : Otot relaksasi yang menyebabkan inkontenensia ( baik urine
/ fekal ).
4) Makanan dan cairan
Gejala : Sensitivitas terhadap makanan, mual / muntah yang
berhubungan dengan aktifitas kejang.
5) Neurosensori
Gejala : Riwayat sakit kepala, aktifitas kejang berulang, pingsan,
pusing. Riwayat trauma kepala, anoksia dan infeksi cerebral.
6) Nyeri / kenyaman
Gejala : Sakit kepala, nyeri otot / punggung pada periode posiktal.

37
Tanda : Sikap / tingkah laku yang berhati hati.
Perubahan pada tonus otot.
Tingkah laku distraksi / gelisah.
7) Pernafasan
Gejala : Fase iktal : gigi mengatup, sianosis, pernafasan menurun /
cepat, peningkatan sekresi mukus.
Fase posiktal : apnea.

B. Diagnosa
1. Risiko aspirasi
2. Ketidakefektifan termoregulasi
3. Risiko Ketidakefektifan perfusi jaringan otak
4. Gangguan ventilasi spontan
5. Gangguan pertukaran gas
6. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas

38
C. Intervensi
NO. DIAGNOSA NOC NIC
1. Risiko Aspirasi NOC Label : NIC Label
Definisi: risiko, masuknya Aspiration Control Aspiration precaution
sekresi gastrointestinal, klien dapat bernafas monitor tingkat
sekresi orofaring, dengan mudah kesadaran, reflek batuk
kotoran/debu atau cairan frekuensi nafas dan kemampuan
kedalam saluran normal menelan
trakeobronkial jalan nafas paten lakukan suction jika
Faktor risiko: tidak ada suara nafas diperlukan
penurunan motilitas abnormal monitor status oksigen,
gastrointestinal pelihara kepatenan
pengosongan lambung jalan nafas
yang lambat
penurunan tingkat
kesadaran
rahang kaku
2 Ketidakefektifan NOC Label : NIC Label :
Termoregulasi 1. Thermoregulation 1. Temperature
(outcome keseluruhan) Regulation
Definisi: fluktuasi suhu di Tidak merasa Pasang alat monitor
antara hipotermia dan merinding saat suhu inti secara
hipertermia dingin kontinu, sesuai
Tidak berkeringat kebutuhan
Batasan karakteristik: saat panas Monitor suhu paling
Dasar kuku sianotik Tidak menggigil saat tidak setiap 2 jam,
Fluktuasi suhu tubuh di dingin sesuai kebutuhan
atas dan di bawah Mampu melaporkan Monitor dan laporkan
kisaran normal kenyamanan suhu tanda dan gejala
Hipertensi Tidak terjadi hipotermia dan
Kejang peningkatan suhu hipertermia
Kulit dingin kulit Monitor suhu dan

39
Kulit hangat Ptidak terjadi warna kulit
Kulit kemerahan penurunan suhu kulit Monitor tekanan darah,
Menggigil ringan Tidak terdapat tanda- nadi dan respirasi,
Pengisian ulang kapiler tanda hipertermia sesuai kebutuhan.
yang lambat Tidak terdapat tanda- Tingkatkan intake
Peningkatan frekuensi tanda hipotermia cairan dan nutrisi
pernapasan Tidak terdapat sakit adekuat.
Peningkatan suhu tubuh kepala Berikan medikasi yang
di atas kisaran normal Tidak terdapat sakit tepat untuk mencegah
Penurunan suhu tubuh di otot atau mengontrol
bawah kisaran normal Tidak terdapat sifat menggigil.
Piloereksi lekas marah Diskusikan pentingnya
Pucat sedang termoregulasi dan
Tidak mengantuk
Takikardia kemungkinan efek
Tidak menimbulkan
perubahan warna negatif dari demam

kulit yang berlebihan, sesuai

Tidak terdapat otot kebutuhan.

berkedut
Tidak timbul 2. Vital Signs

dehidrasi Monitoring
Monitor tekanan darah,

2. Vital Signs nadi, suhu, dan status

Suhu tubuh dalam pernapasan yang tepat

rentang: 36 C-37,5 C Monitor suara paru-

Irama jantung sinus paru

ritem Monitor Oksimetri

Denyut nadi 60- nadi

100x/menit Monitor akan adanya

Frekuensi kuku clubbing

pernapasan 15- Monitor warna

20x/menit kulit,suhu, dan


kelembaban

40
Irama pernapasan Identifikasi
teratur kemungkinan
Tekanan darah penyebab perubahan
sistolik 100-120 tanda-tanda vital
mmHg Monitor sianosis
Tekanan darah sentral dan perifer
diastolic 60-90
mmHg 3. Hyperthermia
Tekanan nadi kuat Treatment
Pastikan kepatenan
3. Risk Control: jalan nafas
Hyperthermia Berikan oksigen sesuai
Mampu mencari kebutuhan
informasi terkait Hentikan aktifitas fisik
hipertermia Longgarkan atau
Mampu lepaskan pakaian
mengidentifikasi pasien
factor risiko Berikan cairan IV,
hipertermia gunakan cairan yang
Mampu mengenali sudah didinginkan
faktor risiko individu sesuai kebutuhan
terkait hipertermia Lakukan pemeriksaan
Mampu mengenali laboratorium, serum
kondisi tubuh yang elektrolit, urinalisis,
dapat mempercepat enzim jantung, enzim
produksi panas hati dan hitung darah
Mampu memonitor lengkap, monitor
lingkungan terkait hasilnya
factor yang Monitor hipoglikemi
meningkatkan suhu Monitor urine output
tubuh Monitor hasil EKG

41
Mampu mengetahui Monitor AGD
hubungan usia Instruksikan pasien
dengan suhu tubuh mengenai tanda dan
Mampu gejala awal dari
memodifikasi kondisi sakit yang
lingkungan sekitar berhubungan dengan
untuk mengontrol panas dan kapan
suhu tubuh mencari bantuan
Mampu memonitor petugas kesehatan
perubahan status
tubuh 4. Environmental
Mampu Management
memodifikasi intake Singkirkan benda-
cairan sesuai benda yang berbahaya
kebutuhan dari pasien
Mampu Sediakan tempat tidur
memodifikasi dan lingkungan yang
aktivitas fisik untuk bersih dan nyaman
mengontrol suhu Sesuaikan suhu
tubuh lingkungan dengan
Mampu memakai kebutuhan pasien, jika
pakaian yang sesuai suhu tubuh berubah
untuk melindungi Hindari dari paparan
kulit dan aliran udara yang
Mampu tidak perlu terlalu
mempertahankan panas dan terlalu
keutuhan kulit dingin
Mampu Edukasi pasien dan
berpartisipasi dalam pengunjung mengenai
menskrining masalah perubahan/tindakan
kesehatan yang pencegahan,sehingga
meningkatkan risiko mereka tidak akan

42
Mampu melakukan sengaja mengganggu
tindakan mandiri lingkungan yang
untuk mengontrol direncanakan
suhu tubuh
Mampu mengenali
obat-obatan yang
berefek pada suhu
tubuh
Mampu mencegah
aktivitas berlebih
untuk mengurangi
risiko
Mampu mencegah
konsumsi alkohol

4. Comfort Status:
Environment
Peralatan yang
dibutuhkan berada
dalam jangkauan
Lingkungan yang
kondusif untuk tidur
Adanya kepuasan
dengan lingkungan
fisik
Terciptanya
ketertiban
lingkungan
Terjaganya
kebersihan
lingkungan

43
Tidak ada yang
berserakan di lantai
Perangkat
keselamatan
digunakan dengan
tepat
Pencahayaan
ruangan cukup
Privasi terjaga
Ketersediaan ruang
untuk pengunjung
Tempat tidur yang
nyaman
Dapat melakukan
kontrol terhadap
suara ribut

3. Risiko Ketidakefektifan Setelah dilakukan asuhan Cerebral perfusion


Perfusi Jaringan Otak keperawatan selama promotion
Faktor Risiko: ...x... jam tidak terjadi Konsultasi dengan
Agens farmaseutikal
peningkatan tekanan intra dokter untuk
Aterosklerosis aortic
kranial dengan kriteria menentukan parameter
Baru terjadi infark
hasil : hemodinamik, dan
miokardium
NOC : mempertahankan
Diseksi arteri
Tissue Perfusion: hemodinamik dalam
Embolisme
Cerebral rentang yg diharapkan
Endocarditis infektif
Tekanan darah Monitor MAP
Fibrilasi atrium
(sistolik dan Berikan agents yang
Hiperkoleterolimia
diastolik) dalam memperbesar volume
Hipertensi
batas normal intravaskuler misalnya
Kardiomiopati dilatasi
MAP dalam batas (koloid, produk darah,
Katup prostetik mekanis
normal atau kristaloid)

44
Koagulasi intravascular Sakit kepala Konsultasi dengan
diseminata berkurang/hilang dokter untuk
Koagulapati (mis. Tidak gelisah mengoptimalkan posisi
Anemia sel sabit) Tidak mengalami kepala (15-30 derajat)
Masa prothrombin muntah dan monitor respon
abnormal Tidak mengalami pasien terhadap
Masa trombaplastin penurunan kesadaran pengaturan posisi
parsial abnormal kepala
Miksoma atrium Berikan calcium
Neoplasma otak channel blocker,
Penyalahgunaan zat vasopressin, anti nyeri,
Segmen ventrikel kiri anti coagulant, anti
akinetic platelet, anti trombolitik
Sindrom sick sinus Monitor nilai PaCO2,
Stenosis carotid SaO2 dan Hb dan
Stenosis mitral cardiac out put untuk
Terapi trombolitik menentukan status
Tumor otak (mis. pengiriman oksigen ke
Gangguan jaringan
serebrovaskular,
penyakit neurologis,
trauma, tumor)

4 Gangguan ventilasi spontan Setelah dilakukan Bantuan Ventilasi


Pertahankan kepatenan
Batasan Karakteristik : tindakan keperawatan ..x..
jalan nafas
Dispnea jam diharapkan mampu
Posisikan pasien untuk
Gelisah mempertahankan
mengurangi dispnea
Ketakutan pernafasan yang adekuat
Posisikan untuk
Peningkatan frekuensi dengan kriteria :
memfasilitasi
jantung NOC :
pencocokan
Peningkatan laju Respiratory status :
ventilasi/perfusi (good
metabolisme Ventilation

45
Peningkatan PCO2 Respirasi dalam lung down) dengan
Peningkatan batas normal tepat
penggunaan otot (dewasa: 16- Monitor efek-efek
aksesorius 20x/menit) perubahan posisi pada
Penurunan kerja sama Irama pernafasan oksigenasi : ABG,
Penurunan PO2 teratur SaO2, tidak akhir
Penurunan SaO2 Kedalaman CO2, QSP/QT,
Faktor yang berhubungan : pernafasan normal Tingkat A-aDO2
Gangguan metabolisme Suara perkusi dada Anjurkan pernafasan
Keletihan otot normal (sonor) lambat yang dalam,
pernafasan Tidak ada retraksi berbalik dan batuk
otot dada Auskultasi suara nafas,
Suara nafas catat area-area
vesikuler penurunan atau tidak
Tidak terdapat adanya venrilasi dan
orthopnea suara tambahan
Taktil fremitus Mulai dan pertahankan
normal antara dada oksigen tambahan
kiri dan dada kanan Kelola pemberian obat
Tidak ada dispnea nyeri yang tepat untuk
Ekspansi dada mencegah
simetris hipoventilasi
Tidak terdapat Monitor pernafasan
akumulasi sputum dan status oksigenasi
Tidak terdapat Beri obat (misalnya
penggunaan otot bronkodilator dan
bantu napas inhaler) yang
Respon Ventilasi meningkatkan patensi
Mekanik : Dewasa jalan nafas dan
Respirasi dalam pertukaran gas
batas normal Ajarkan teknik
(dewasa: 16- pernafasan dengan

46
20x/menit) mengerucutkan bibir
Irama pernafasan dengan tepat
teratur Manajemen Jalan Nafas
Kedalaman Buka jalan nafas
pernafasan normal menggunakan teknik
PaO2 dalam batas chin lift atau jaw thrust
normal (80 mmHg- Posisikan pasien untuk
100 mmHg) memaksimalkan
PaCO2 dalam batas ventilasi
normal (35 mmHg- Identifikasi kebutuhan
45 mmHg) aktual/potensial pasien
SaO2 dalam bats untuk memasukkan
normal (95%- alat membuka jalan
100%) nafas
Tidak kesulitan Lakukan fisioterapi
bernafas dada
menggunakan Buang sekret dengan
ventilator memotivasi pasien
Pasien tenang untuk melakukan
batuk atau menyedot
lendir
Anjurkan pasien untuk
batuk efektif
Auskultasi suara nafas,
catat area yang
ventilasinya menurun
atau tidak ada dan
adanya suara
tambahan
Kelola pemberian
bronkodilator
Kelola pemberian

47
nebulizer
Posisikan untuk
meringankan sesak
nafas
Monitor status
pernafasan dan
oksigenasi
Manajemen Ventilasi
Mekanik : Non Invasif
Monitor kondisi yang
memerlukan dukungan
ventilasi noninvasive
Monitor kontraindikasi
dukungan ventilasi
non-invasive
Informasikan kepada
klien dan keluarga
mengenai rasionalisasi
dan, sensasi yang
diharapkan
sehubungan dengan
penggunaan ventilasi
non-invasive
Tempatkan klien pada
posisi semi fowler
Observasi klien secara
berkelanjutan pada
jam pertama
penggunaan ventilator
untuk mengkaji
toleransi klien
Pastikan alarm

48
ventilator dalam
keadaan hidup
Monitor penurunan
volume ekspirasi dan
peningkatan tekanan
inspirasi
Monitor aktivitas-
aktivitas yang dapat
meningkatkan
konsumsi oksigen
yang bisa merubah
pengaturan ventilator
dan menyebabkan
desaturasi oksigen
Monitor gejala-gejala
yang menunjukkan
peningkatan
pernafasan (misalnya,
peningkatan denyut
nadi dan pernafasan,
peningkatan tekanan
darah, diaphoresis,
perubahan status
mental)
Monitor efektifitas
ventilasi mekanik
terhadap status
fisiologis dan
psikologis klien
Inisiasi teknik
relaksasi yang sesuai
Berikan perawatan

49
untuk mengurangi
distress klien
(misalnya,
memberikan posisi,
merawat efek samping
seperti rhinitis,
kerongkongan kering
atau berikan sedative
atau anastesi; periksa
peralatan secara
berkala, bersihkan dan
ganti peralatan non-
invasive
Kosongkan air yang
sudah keruh dari
tabung air
Pastikan pergantian
sirkuit ventilator setiap
24 jam
Monitor kerusakan
mukosa ke mulut,
nasal, trakea, atau
jaringan laring
Monitor sekresi paru-
paru terkait dengan
jumlah, warna dan
konsistensi, serta
dokumentasikan
semua hasil temuan
Lakukan fisioterapi
dada yang sesuai
Tingkatkan pengkajian

50
rutin untuk kriteria
penyapihan (misalnya,
perbaikan kondisi
sebelum ventilasi,
kemampuan untuk
mempertahankan
pernafasan yang
adekuat)
Berikan perawatan
mulut secara rutin
dengan kapas yang
lunak dan basah,
antiseptic dan
melakukan suksion
secara perlahan
Dokumentasikan
semua respon klien
terhadap ventilator dan
perubahan ventilator
(misalnya, observasi
pergerakan
dada/auskultasi,
perubahan x-ray,
perubahan ABGs)
Pastikan peralatan
kegawatdaruratan
berada disisi tempat
tidur sepanjang waktu
(misalnya, manual
resusitasi yang
tersambung ke
oksigen, masker,

51
peralatn suksion)
termasuk persiapan
untuk kehilangan daya
mati/mati listrik
5 Gangguan pertukaran gas Setelah dilakukan NIC
Batasan Karakteristik : tindakan keperawatan Acid Base Management
Diaforesis ..x.. jam diharapkan hasil Pertahankan kepatenan
Dispnea AGD pasien dalam batas jalan nafas
Gangguan pengelihatan normal dengan kriteria Posisikan pasien untuk
Gas darah arteri hasil : mendapatkan ventilasi
abnormal NOC: yang adekuat(mis.,
Gelisah Respiratory status: Gas buka jalan nafas dan
Hiperkapnia Exchange tinggikan kepala dari
Hipoksemia PaO2 dalam batas tempat tidur)
Hipoksia normal (80-100 Monitor
Iritabilitas mmHg) hemodinamika status
Konfusi PaCO2 dalam batas (CVP & MAP)
Nafas cuping hidung normal (35-45 Monitor kadar pH,
Penurunan karbon mmHg) PaO2, PaCO2, dan
dioksida pH normal (7,35- HCO3 darah melalui
pH arteri abnormal 7,45) hasil AGD
Pola pernafasan SaO2 normal (95- Catat adanya
abnormal (mis., 100%) asidosis/alkalosis yang
kecepatan, irama, Tidak ada sianosis terjadi akibat
kedalaman) Tidak ada kompensasi
Sakit kepala saat penurunan metabolisme, respirasi
bangun kesadaran atau keduanya atau
Sianosis tidak adanya
Somnolen kompensasi
Takikardia Monitor tanda-tanda
Warna kulit abnormal gagal napas
(mis., pucat, kehitaman Monitor status

52
) neurologis
Faktor yang berhubungan : Monitor status
Ketidakseimbangan pernapasan dan status
ventilasi-perfusi oksigenasi klien
Perubahan membran Atur intake cairan
alveolar-kapiler Auskultasi bunyi
napas dan adanya
suara napas tambahan
(ronchi, wheezing,
krekels, dll)
Kolaborasi pemberian
nebulizer, jika
diperlukan
Kolaborasi pemberian
oksigen, jika
diperlukan.
6 Ketidakefektifan bersihan Setelah dilakukan Airway Management
Buka jalan nafas
jalan nafas tindakan keperawatan ..x..
menggunakan head tilt
Batasan Karakteristik : jam diharapkan mampu
chin lift atau jaw thrust
Batuk yang tidak efektif mempertahankan
bila perlu
Dispnea kebersihan jalan nafas
Posisikan pasien untuk
Gelisah dengan kriteria :
memaksimalkan
Kesulitan verbalisasi NOC :
ventilasi
Mata terbuka lebar Respiratory status :
Identifikasi pasien
Ortopnea Airway Patency
perlunya pemasangan
Penurunan bunyi nafas Respirasi dalam
alat jalan nafas buatan
Perubahan frekuensi batas normal
(NPA, OPA, ETT,
nafas Irama pernafasan
Ventilator)
Perubahan pola nafas teratur
Lakukan fisioterpi
Sianosis Kedalaman
dada jika perlu
Sputum dalam jumlah pernafasan normal
Bersihkan secret
yang berlebihan Tidak ada

53
Suara nafas tambahan akumulasi sputum dengan suction bila
Tidak ada batuk Batuk diperlukan
Faktor yang berkurang/hilang Auskultasi suara nafas,
berhubungan : catat adanya suara
Lingkungan : tambahan
Perokok Kolaborasi pemberian
Perokok pasif oksigen
Terpajan asap Kolaborasi pemberian
Obstruksi jalan nafas : obat bronkodilator
Adanya jalan nafas Monitor RR dan status
buatan oksigenasi (frekuensi,
Benda asing dalam irama, kedalaman dan
jalan nafas usaha dalam bernapas)
Eksudat dalam alveoli Anjurkan pasien untuk
Hiperplasia pada batuk efektif
dinding bronkus Berikan nebulizer jika
Mukus berlebih diperlukan
Penyakit paru obstruksi Asthma Management
kronis Tentukan batas dasar
Sekresi yang tertahan respirasi sebagai
Spasme jalan nafas pembanding
Fisiologis : Bandingkan status
Asma sebelum dan selama
Disfungsi dirawat di rumah sakit
neuromuskular untuk mengetahui
Infeksi perubahan status
Jalan nafas alergik pernapasan
Monitor tanda dan
gejala asma
Monitor frekuensi,
irama, kedalaman dan
usaha dalam bernapas

54
D. Implementasi Keperawatan
Implementasi keperawatan merupakan aplikasi secara langsung dari
intervensi keperawatan yang ditujukan pada pasien.

E. Evaluasi
Merupakan fase akhir dari proses keperawatan adalah evaluasi terhadap
asuhan keperawatan yang diberikan (Gaffar, 1997). Evaluasi asuhan keperawatan
adalah tahap akhir proses keperawatan yang bertujuan untuk menilai hasil akhir
dari keseluruhan tindakan keperawatan yang dilakukan.
Hasil akhir yang diinginkan dari perawatan pasien Kejang Demam
meliputi pola pernafasan kembali efektif, suhu tubuh kembali normal, anak
menunjukkan rasa nymannya secara verbal maupun non verbal, kebutuhan cairan
terpenuhi seimbang, tidak terjadi injury selama dan sesudah kejang dan
pengatahuan orang tua bertambah.
Evaluasi ini bersifat formatif, yaitu evaluasi yang dilakukan secara terus
menerus untuk menilai hasil tindakan yang dilakukan disebut juga evaluasi tujuan
jangka pendek. Dapat pula bersifat sumatif yaitu evaluasi yang dilakukan
sekaligus pada akhir dari semua tindakan yang pencapaian tujuan jangka panjang.
Komponen tahapan evaluasi :
1. Pencapaian kriteria hasil
Pencapaian dengan target tunggal merupakan meteran untuk pengukuran.
Bila kriteria hasil telah dicapai, kata Sudah Teratasi dan datanya ditulis di
rencana asuhan keperawatan. Jika kriteria hasil belum tercapai, perawat mengkaji
kembali klien dan merevisi rencana asuhan keperawatan.
2. Keefektifan tahap tahap proses keperawatan
Faktor faktor yang mempengaruhi pencapaian kriteria hasil dapat terjadi
di seluruh proses keperawatan.
a. Kesenjangan informasi yang terjadi dalam pengkajian tahap satu.
b. Diagnosa keperawatan yang salah diidentifikasi pada tahap dua
c. Instruksi perawatan tidak selaras dengan kriteria hasil pada tahap tiga

55
d. Kegagalan mengimplementasikan rencana asuhan keperawatan tahap
empat.
e. Kegagalan mengevaluasi kemajuan klien pada tahap ke lima.

56
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kejang demam adalah perubahan potensial listrik cerebral yang berlebihan
akibat kenaikan suhu dimana suhu rectal diatas 38C sehingga mengakibatkan
renjatan kejang yang biasanya terjadi pada anak dengan usia 3 bulan sampai 5
tahun.Kejang demam dibagi menjadi 2 golongan. Terdapat perbedaan kecil dalam
penggolongan tersebut, menyangkut jenis kejang, tingginya demam, usia
penderita, lamanya kejang berlangsung, gambaran rekaman otak, dan lainnya .
Kejang demam sederhana (simple febrile seizure) dan kejang demam kompleks
(complex febrile seizure).
Beberapa faktor yang berperan menyebabkan kejang demam antara lain
adalah demam, demam setelah imunisasi DPT dan morbili, efek toksin dari
mikroorganisme, respon alergik atau keadaan imun yang abnormal akibat infeksi,
perubahan keseimbangan cairan dan elektrolit.
Epilepsi merupakan salah satu kelainan neurologis yang paling umum
terjadidan mengenai sekitar 50 juta orang di dunia. Bangkitan epilepsi adalah
manifestasi klinis dari bangkitan serupa yang berlebihan dan abnormal,
berlangsung secara mendadak dan sementara, dengan atau tanpa perubahan
kesadaran, disebabkan oleh hiperaktifitas listrik sekelompok selsarafdi otak yang
bukan disebabkan oleh suatu penyakit otak akut. Klasifikasi sindroma epilepsi
berdasarkan faktor-faktor tipe bangkitan (umum atau terlokalisasi), etiologi
(simtomatik atau idiopatik), usia dan situasi yang berhubungan dengan bangkitan.
Penyebab epilepsy setiap kelompok usia berbeda-beda.
Pemberian asuhan keperawatan gawat darurat sistem persyarafan terutama
kejang demam dan epilepsy yang terjadi pada pasien anak selalu mengunakan
metode survey primer sebelum dilanjutkan ke secondary survey karena
penanganan kedua penyakit ini jika terjadi bangkitan maka penanganannya harus
diprioritaskan paling utama karena sangat mengancam jiwa pasien.

57
B. Saran
Setelah penulisan makalah ini, kami mengharapkan masyarakat pada
umumnya dan mahasiswa keperawatan pada khususnya mengetahui pengertian,
tindakan penanganan awal, serta mengetahui asuhan keperawatan pada klien anak
dengan kejang demam dan epilepsi. Oleh karena penyandang epilepsi sering
dihadapkan pada berbagai masalah psikososial yang menghambat kehidupan
normal, maka seyogyanya kita memaklumi pasien dengan gangguan epilepsi
dengan cara menghargai dan menjaga privasi klien tersebut. Hal itu dilaksanakan
agar pasien tetap dapat bersosialisasi dengan masyarakat dan tidak akan
menimbulkan masalah pasien yang menarik diri.

58
DAFTAR PUSTAKA

Arif Mansjoer, dkk (2000), Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 2, Media


Aesculapius, Jakarta
Dewanto, George, et al. 2009. Panduan Praktis Diagnosis & Tata Laksana
Penyakit Saraf. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC
Doenges, Marillyn E, dkk (2000), Penerapan Proses Keperawatan dan Diagnosa
Keperawatan, EGC, Jakarta
Doenges, Marillyn E, et all (2000), Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi 3, EGC,
Jakarta
Eisai, 2012. Pathophysiology of Epilepsy, 2. Eisai Inc. Available from
http://www.focusonepilepsy.com/pdfs/pathophys.pdf [Accessed 3 Oktober
2017].
Engel Jr., Jerome, 2006. ILAE Classification of Epilepsy Syndromes. Epilepsy
Research, 70S: S5-S10.
Hawari, Irawaty, 2012. Epilepsi di Indonesia. Available from: http://www.ina-
epsy.org/ [Accessed 3 Oktober 2017].
IDAI. 2009. Pedoman Pelayanan Medis, hal: 253, Jakarta, IDAI.
Judha M & Rahil H.N. 2011 Sistem Persarafan Dalam Asuhan Keperawatan.
Yogyakarta: Gosyen Publishing
Krisanty P,. Dkk (2008), Asuhan Keperawatan Gawat darurat, Trans info Media,
Jakarta
Lowenstein, Daniel H., 2010. Seizures and Epilepsy. In: Hauser, Stephen L. (Ed.).
Harrisons: Neurology and Clinical Medicine. 2nd Edition. USA: The
McGraw-Hill Companies, 222-245.
Lumbantobing, SM. 2004. Neurogeriatri. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. p. 111-
122
Markand, Omkar N., 2009. Epilepsy in Adults. In: Biller, Jose (Ed.). Practical
Neurology. 3rd Edition. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 511-
542.

59
Miller, Laura C., 2009. Epilepsy. In: Savitz, Sean I. and Ronthal, Michael (Ed.).
Neurology Review for Psychiatrists. Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins, 106-125.
Miller, Laura C., 2009. Epilepsy. In: Savitz, Sean I. and Ronthal, Michael (Ed.).
Neurology Review for Psychiatrists. Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins, 106-125.
Ngastiyah (1997), Perawatan Anak Sakit, EGC, Jakarta
Price and Wilson. 2005. Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6. Vol.2.
Jakarta : EGC.
Riyadi, Sujono & Sukarmin. 2009. Asuhan Keperawatan Pada Anak, Edisi 1,
Yogyakarta : Graha Ilmu
Rudzinski, Leslie A. and Shih, Jerry J., 2011. The Classification of Seizures and
Epilepsy Syndromes. Novel Aspects on Epilepsy: 69-88.
Sunaryo, Utoyo, 2007. Diagnosis Epilepsi. Jurnal Ilmiah Kedokteran Wijaya
Kusuma, 1.
Sylvia A. Price, dkk (1995), Konsep Klinis Proses-proses Penyakit, Edisi 4, EGC,
Jakarta
WHO, 2005. Atlas: Epilepsy Care in the World. Geneva. WHO.
WHO, 2012. Neurological disorders: A Public Health Approach. WHO.

60

You might also like