You are on page 1of 34

Makalah

Askep Anosmia

Oleh kelompok 1

Indo Iya Mappaita

Wika Safitri

NI Kadek Widya Lestari

Nur Asyia

Andi Adnan Maulana

Ineal verazkia

Novlin malompa

Program Studi Keperawatan

Stikes Widya Nusantara Palu

Tahun 2017/2018
KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang atas rahmat-
Nya maka kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul Askep
Anosmia . Penulisan makalah ini merupakan salah satu tugas yang diberikan
dalam rangka kuliah Sistem persepsi sensori STIKes Widya Nusantara Palu.
Dalam Penulisan makalah ini kami merasa masih banyak kekurangan baik pada
teknis penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan kami yang dimiliki.
Maka dari itu, kritik dan saran dari semua pihak sangat diharapkan kami demi
penyempurnaan pembuatan makalah ini. Dalam penulisan makalah ini kami
menyampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada pihak-pihak yang
membantu dalam menyelesaikan makalah ini, khususnya kepada

1. Ibu ISMAWATI S.Kep,Ns,M.Kep yang sudah memberikan tugas dan


petunjuk kepada penulis sehingga kami dapat meyelesaikan tugas ini.
2. Rekan-rekan semua di kelas Tingkat III b
3. Semua pihak yang tidak disebutkan satu persatu, yang telah memberikan
bantuan dalam penulisan makalah ini. Akhirnya kami berharap Allah
SWT memberikan imbalan yang setimpal pada mereka yang telah
memberikan bantuan, dan semoga keberadaban makalah ini dapat
bermanfaat bagi semua pihak baik penulis maupun yang membaca, Amiin
Yaa Robbal Alamiin.
DAFTAR ISI

Kata Pengantar

Daftar Isi

BAB 1 PENDAHULUAN

A. Latar belakang
B. Tujuan
BAB II LAPORAN PENDAHULUAN

A. Defenisi
B. Etiologi
C. Patofisiologi
D. Gejala
E. Komlpikasi
F. Patofisiologi
G. Penatalaksanaan medis
H. Jurnal

BAB III ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian
B. Diagnosa keperawatan
C. Rencana keperawatan

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan
B. Saran

Daftar Pustaka
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Manusia memiliki lima indera yang sangat penting dalam
mempersepsikan benda yang ada disekitarnya. Salah satu dari kelima
indera tersebut adalah indera penghidu (penciuman). Fungsi penghidu
pada manusia mempunyai peranan penting dalam menjalani kehidupan.
Manusia dapat mencium aroma lezat makanan, wangi parfum dan bunga
serta benda lain yang mempunyai aroma tertentu. Di sisi lain dengan
fungsi penghidu yang normal, manusia mampu mendeteksi kebocoran gas
(Liquid Petroleum Gas) atau benda lain yang mengandung zat berbahaya.
Jadi gangguan dalam fungsi penghidu atau hilangnya sensasi penghidu
(anosmia)dapat mempengaruhi kualitas hidup dan kondisi psikologis
penderita.

Insiden gangguan penghidu di Amerika Serikat diperkirakan sebesar 1,4%


dari jumlah penduduk. Sementara menurut beauchamp (2014), sebesar 1-
2% dari seluruh penduduk di Amerika mengalami kehilangan fungsi
penghidu. Meskipun lebih dari enam juta penduduk amerika mengalami
anosmia tetapi sampai sekarang ilmuwan dan dokter masih mempunyai
pemahaman yang terbatas mengenai mekanisme biologis yang mendasari
hilangnya sensasi penghidu.

Di Austria, Switzerland, dan Jerman sekitar 80.000 penduduk pertahun


berobat ke bagian THT dengan keluhan gangguan penghidu. Penyebab
tersering gangguan penghidu adalah rinosinusitis kronik, rinitis alergi,
infeksi saluran nafas atas dan trauma kepala (Huriyati E. dan Tuti Nelvia,
2014).Di Indonesia Siahaan dkk tahun 1995 melaporkan 32,3% penderita
yang berobat di RSCM dengan gangguan penghidu sebagai keluhan utama.
Gangguan penghidu dapat muncul pada sekitar 21% sampai 25% penderita
Rinosinusitis kronis (Chang H., et al ,2009).

Di Indonesia Rinosinusitis kronik mempunyai prevalensi yang cukup


tinggi, diperkirakan sebanyak 13,4-25 juta kunjungan ke dokter per tahun
dihubungkan dengan rinosinusitis atau akibatnya. Insiden kasus baru
rinosinusitis pada penderita dewasa yang berkunjung di Divisi Rinologi
Departemen THT RSCipto Mangunkusumo, selama JanuariAgustus 2005
adalah 435 pasien. Di Makassar, terutama di rumah sakit pendidikan
selama tahun 20032007, terdapat 41,5% penderita rinosinusitis dari
seluruh kasus rawat inap di Bagian THT (Jeanny Bubun., et. al., 2009).

B. Rumusan Masalah

Bagaimana asuhan keperawatan pada klien dengan kehilangan sensasi


penghidu (anosmia)?

C. Tujuan

Tujuan umum

Mahasiswa mengetahui konsep teori dan asuhan keperawatan pada klien


dengan kehilangan sensasi penghidu (anosmia)?

Tujuan khusus

1. Mengetahui definisi dari anosmia


2. Mengetahui penyebab (etiologi)anosmia
3. Mengetahui klasifikasi anosmia
4. Mengetahui patofisiologi dan WOC (web of Caution) anosmia
5. Mengetahui pemeriksaan penunjang dari anosmia
6. Mengetahui penatalaksanaan dari anosmia
7. Mengetahui proses asuhan keperawatan pada anosmia
BAB II

LAPORAN PENDAHULUAN

A. Anatomi dan fisiologi sistem penghidu

Bagian dari hidung (nasal) yang berperan dan terlibat dalam sensai
penghidu adalah neuroepitel olfaktorius, bulbus olfaktorius dan
korteks olfaktorius. (Huriyati, 2013)

1. Neuroepitel olfaktorius

Neuroepitel olfaktorius terdapat di atap rongga hidung, yaitu di konka


superior, septum bagian superior, konka media bagian superior atau di
dasar lempeng kribriformis. Neuroepitel olfaktorius merupakan epitel
kolumnar berlapis semu yang berwarna kecoklatan, warna ini
disebabkan pigmen granul coklat pada sitoplasma kompleks golgi.

Sel di neuroepitel olfaktorius ini terdiri dari sel pendukung yang


merupakan reseptor olfaktorius. Terdapat 10-20 juta sel reseptor
olfaktorius. Pada ujung dari masing-masing dendrit terdapat olfactory
rod dan diujungnya terdapat silia. Silia ini menonjol pada permukaan
mukus. Sel lain yang terdapat di neuroepitel olfaktorius ini adalah sel
penunjang atau sel sustentakuler. (Ganong, 2001)

Sel ini berfungsi sebagai pembatas antara sel reseptor, mengatur


komposisi ion lokal mukus dan melindungi epitel olfaktorius dari
kerusakan akibat benda asing. Mukus dihasilkan oleh kelenjar
Bowmans yang terdapat pada bagian basal sel olfaktoris.

Melalui proses inhalasi udara, odoran sampai di area olfaktorius,


kemudian bersatu dengan mukus yang terdapat di neuroepitel
olfaktorius dan berikatan dengan reseptor protein G yang terdapat
pada silia. Ikatan protein G dengan reseptor olfaktorius (G protein
coupled receptors) akan mengaktifkan enzim adenylyl cyclase yang
merubah adenosine triphosphate (ATP) menjadi cyclic adenosine
monophosphate (cAMP) yang merupakan second messenger. Hal ini
akan menyebabkan aktivasi sel dengan terbukanya pintu ion yang
menyebabkan masuknya natrium (Na+) dan kalsium (Ca2+) ke dalam
sel sehingga terjadi depolarisasi dan penjalaran impuls ke bulbus
olfaktorius.

2. Bulbus olfaktorius

Bulbus olfaktorius berada di dasar fossa anterior dari lobus frontal.


Bundel akson saraf penghidu (fila) berjalan dari rongga hidung dari
lempeng kribriformis diteruskan ke bulbus olfaktorius. Dalam masing-
masing fila terdapat 50 sampai 200 akson reseptor penghidu pada usia
muda, dan jumlah akan berkurang dengan bertambahnya usia. Akson
dari sel reseptor yang masuk akan bersinap dengan dendrit dari neuron
kedua dalam gromerulus.

3. Korteks olfaktorius

Terdapat 3 komponen korteks olfaktorius, yaitu pada korteks frontal


merupakan pusat persepsi terhadap penghidu. Pada area hipotalamus
dan amygdala merupakan pusat emosional terhadap odoran, dan area
enthorinal merupakan pusat memori dari odoran.

Saraf yang berperan dalam sistem penghidu adalah nervus olfaktorius


(N I). Filamen saraf mengandung jutaan akson dari jutaan sel-sel
reseptor. Satu jenis odoran mempunyai satu reseptor tertentu, dengan
adanya nervus olfaktorius kita bisa mencium odoran seperti strawberi,
apel dan bermacam odoran lain.
Saraf lain yang terdapat di hidung adalah saraf somatosensori
trigeminus (N V). Letak saraf ini tersebar diseluruh mukosa hidung
dan kerjanya dipengaruhi rangsangan kimia maupun nonkimia. Kerja
saraf trigeminus tidak sebagai indera penghidu tapi menyebabkan
seseorang dapat merasakan stimuli iritasi, rasa terbakar, rasa dingin,
rasa geli dan dapat mendeteksi bau yang tajam dari amoniak atau
beberapa jenis asam. Ada anggapan bahwa nervus olfaktorius dan
nervus trigeminus berinteraksi secara fisiologis.

Saraf lain yang terdapat dihidung yaitu sistem saraf terminal (N O)


dan organ vomeronasal (VMO). Sistem saraf terminal merupakan
pleksus saraf ganglion yang banyak terdapat di mukosa sebelum
melintas ke lempeng kribriformis. Fungsi saraf terminal pada manusia
belum diketahui pasti. Organ rudimeter vomeronasal disebut juga
organ Jacobsons. Pada manusia saraf ini tidak berfungsi dan tidak
ada hubungan antara organ ini dengan otak. Pada pengujian
elektrofisiologik, tidak ditemukan adanya gelombang pada organ ini.
(Ganong, 2001)

B. Definisi
Anosmia adalah kelainan pada indra penciuman,atau dalam kata lain
ketidakmampuan seseorang mencium bau. Anosmia bisa berupa penyakit
yang bberlangsung sementara maupun permanen.istilah yang
berhubungan,hiposmia,merujuk pada berkurangnya kemmpuan
mencium,sedangkan hiperosmia berarti meningkatnya kemampuan
penciuman.
C. Etiologi

Penyebab gangguan penghidu dapat diklasifikasikan menjadi 3


(tiga), yaitu gangguan konduktif, gangguan sensoris dan gangguan neural.
Gangguan konduktif disebabkan gangguan transpor odoran atau
pengurangan odoran yang sampai ke neuroepitel olfaktorius, dan
gangguan ikatan odoran dengan protein G (golf). Gangguan sensoris
disebabkan kerusakan langsung pada neuroepitelium olfaktorius, misalnya
pada infeksi saluran nafas atas, atau polusi udara toksik, sedangkan
gangguan neural atau saraf disebabkan kerusakan pada bulbus olfaktorius
dan jalur sentral olfaktorius, misalnya pada penyakit neurodegeneratif,
atau tumor intrakranial.

Penyakit yang sering menyebabkan gangguan penghidu adalah


penyakit rinosinusitis kronik, rinitis alergi, infeksi saluran nafas atas dan
trauma kepala. (Raviv, 2011) :

Penyakit rinosinusitis kronik dan rinitis alergi.

Gangguan penghidu pada rinosinusitis kronik atau rinitis alergi


berupa gangguan penghidu konduktif dan sensoris. Gangguan penghidu
konduktif terjadi karena proses inflamasi dari saluran nafas yang
menyebabkan berkurangnya aliran udara dan odoran yang sampai ke
neuroepitel olfaktorius. Proses inflamasi pada neuroepitel olfaktorius
menghasilkan mediator inflamasi yang merangsang hipersekresi dari
kelenjar Bowmans, yang akan mengubah konsentrasi ion pada mukus
olfaktorius, sehingga mengganggu hantaran odoran. Gangguan penghidu
sensoris disebabkan pelepasan mediator inflamasi oleh limfosit, makrofag,
dan eosinofil, yang bersifat toksik terhadap reseptor neuroepitel
olfaktorius sehingga menyebabkan kerusakan neuroepitel olfaktorius.
Infeksi saluran nafas atas.

Penyakit infeksi saluran nafas atas yang sering menyebabkan gangguan


penghidu adalah common cold. Kemungkinan mekanismenya adalah
kerusakan langsung pada epitel olfaktorius atau jalur sentral karena virus
itu sendiri yang dapat merusak sel reseptor olfaktorius. Prevalensi
gangguan penghidu yang disebabkan oleh infeksi saluran nafas atas 11-
40% dari kasus gangguan penghidu. (Raviv, 2011)

Trauma kepala

Trauma kepala dapat menyebabkan kehilangan sebagian atau


seluruh fungsi penghidu. Hal ini disebabkan kerusakan pada epitel
olfaktorius dan gangguan aliran udara dihidung. Adanya trauma
menyebabkan hematom pada mukosa hidung, atau luka pada epitel
olfaktorius. Kerusakan dapat terjadi pada serat saraf olfaktorius, bulbus
olfaktorius dan kerusakan otak di regio frontal, orbitofrontal, dan
temporal. Prevalensi gangguan penghidu yang disebabkan trauma kepala
terjadi 15-30% dari kasus gangguan penghidu.

Hasil penelitian Chang (2009), pada pasien rinosinusitis kronik


didapatkan 21%-25% anosmia. Guilermany (2009), mendapatkan pasien
dengan rinitis alergi persisten sedang berat yang mengalami hiposmia
sebesar 84,8%, dan rinitis alergi persisten ringan yang mengalami
hiposmia sebesar 20%.

Penyakit lain yang menyebabkan gangguan penghidu adalah penyakit


endokrin (hipotiroid, diabetes melitus, gagal ginjal, penyakit liver),
Kallmann syndrome, penyakit degeneratif (alzheimer, parkinson, multipel
sklerosis), pasca laringektomi, paparan terhadap zat kimia toksik,
peminum alkohol, skizofrenia, tumor intranasal atau intrakranial.Faktor
lain yang juga berpengaruh terhadap fungsi penghidu adalah usia.
Kemampuan menghidu akan menurun sejalan dengan bertambahnya usia.
Ada banyak teori yang menerangkan penyebab gangguan penghidu pada
orang tua, diantaranya terjadi perubahan anatomi pengurangan area
olfaktorius, pengurangan jumlah sel mitral pada bulbus olfaktorius,
penurunan aktivasi dari korteks olfaktorius. Gangguan penghidu pada usia
lebih dari 80 tahun sebesar 65%. Penelitian lain mendapatkan gangguan
penghidu pada usia lebih dari 50 tahun sebesar 24%. Doty et. al., (2006),
menyatakan terdapatnya penurunan penghidu yang signifikan pada usia
lebih dari 65 tahun.

Ganguan penghidu lebih sering ditemukan pada jenis kelamin perempuan


dibandingkan laki-laki. Pada penelitian Rouby et. al., (2011), ditemukan
gangguan penghidu hiposmia ditemukan pada 61% wanita dan 39% laki-
laki. Gangguan penghidu juga ditemukan pada perokok, dimana ditemukan
kerusakan neuroepitel olfaktorius. Pada analisis imunohistokimia
ditemukan adanya apoptosis proteolisis pada neuroepitel olfaktorius.

Obat-obatan juga berpengaruh terhadap terjadinya gangguan penghidu


seperti obat golongan makrolide, anti jamur, protein kinase inhibitor, ACE
inhibitor, dan proton pump inhibitor. Ada beberapa mekanisme yang
menyebabkan gangguan penghidu seperti gangguan potensial aksi dari sel
membran, gangguan pada neurotransmitter dan perubahan pada permukaan
mukus. Polusi udara yang berpengaruh terhadap gangguan penghidu
misalnya pada udara yang mengandung aseton, gas nitrogen, silikon
dioksida dan nikel dioksida. (Wrobel, 2005)

D. Manifestasi klinik
Kemampuan penghidu normal didefinisikan sebagai normosmia.
Gangguan penghidu dapat berupa:

1. Anosmia yaitu hilangnya kemampuan menghidu.


2. Agnosia yaitu tidak bisa menghidu satu macam odoran.
3. Parsial anosmia yaitu ketidak mampuan menghidu beberapa odoran
tertentu.
4. Hiposmia yaitu penurunan kemampuan menghidu baik berupa sensitifitas
ataupun kualitas penghidu.
5. Disosmia yaitu persepsi bau yang salah, termasuk parosmia dan
phantosmia. Parosmia yaitu perubahan kualitas sensasi penciuman,
sedangkan phantosmia yaitu sensasi bau tanpa adanya stimulus odoran/
halusinasi odoran.
6. Presbiosmia yaitu gangguan penghidu karena umur tua.

(Wrobel, 2005)

E. Patofisiologi Anosmia

Anosmia terjadi karena kerusakan pada organ proses penghidu, kerusakan


dapat terjadi pada neuroepitel olfaktorius, bulbus olfaktorius, dan korteks
olfaktorius pada otak. Kerusakan pada neuroepitel olfaktorius olfaktorius
mengakibatkan impuls tidak dapat ditangkap dengan adekuat ataupun tidak
dapat ditangkap sama sekali, sehingga tidak ada impuls yang akan
diinterpretasikan. Kerusakan pada bulbus olfaktorius mengakibatkan
impuls tidak dapat dihantarkan/ di teruskan ke korteks serebri. Adanya
kerusakan pada korteks olfaktorius pada korteks serebri yang diakibatkan
oleh trauma kepala mengakibatkan impuls yang dihantarkan oleh bulbus
olfaktori tidak dapat diinterpretasikan, sehingga individu tidak bisa
mempersepsikan/ menginterpretasikan stimulus aroma.

Adanya mekanisme yang menyebabkan gangguan penghidu seperti


gangguan potensial aksi dari sel membran, gangguan pada
neurotransmitter dan perubahan pada permukaan mukus. Mekanisme ini
mempengaruhi proses penghantaran impuls dari neuroepitel olfaktorius
menuju ke korteks serebri, sehingga stimulus bau tidak dapat
diinterpretasikan. (Huriyati, 2013)
F. Pemeriksaan penunjang fungsi penghidu
1. Anamnesis

Anamnesis sangat diperlukan untuk membantu menegakkan diagnosis


gangguan penghidu. Pada anamnesis ditanyakan riwayat trauma kepala,
penyakit sinonasal, dan infeksi saluran nafas atas, riwayat penyakit
sistemik, riwayat penyakit neurodegeneratif, kebiasaan merokok, dan
semua faktor yang bisa menyebabkan gangguan penghidu.. (Huriyati,
2013)

2. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik THT meliputi pemeriksaan hidung dengan rinoskopi


anterior, posterior dan nasoendoskopi untuk menilai ada atau tidaknya
sumbatan di hidung, seperti inflamasi, polip, hipertrofi konka, septum
deviasi, penebalan mukosa, dan massa tumor akan mempengaruhi proses
transport odoran ke area olfaktorius.. (Huriyati, 2013)

3. Pemeriksaan pencitraan.

Pemeriksaan ini bertujuan untuk menyingkirkan kelainan intrakranial dan


evaluasi kondisi anatomis dari hidung, misalnya pada kasus tumor otak
atau kelainan dihidung. Pemeriksaan foto polos kepala tidak banyak
memberikan data tentang kelainan ini. Pemeriksaan tomografi komputer
merupakan pemeriksaan yang paling berguna untuk memperlihatkan
adanya massa, penebalan mukosa atau adanya sumbatan pada celah
olfaktorius.Pemeriksaan Magnetic Resonance Imaging (MRI) merupakan
pemeriksaan yang lebih sensitif untuk kelainan pada jaringan lunak.
Pemeriksaan ini dilakukan bila ada kecurigaan adanya tumor. . (Huriyati,
2013)
4. Pemeriksaan kemosensoris penghidu.

Pemeriksaan kemosensoris penghidu yaitu pemeriksaan dengan


menggunakan odoran tertentu untuk merangsang sistem penghidu. Ada
beberapa jenis pemeriksaan ini, diantaranya tes UPSIT (University of
Pennsylvania Smell Identification), Tes The Connectitut Chemosensory
Clinical Research Center (CCCRC), Tes Sniffin sticks, Tes Odor Stick
Identification Test for Japanese (OSIT-J). .

a) Tes UPSIT (University of Pennsylvania Smell Identification).

Test ini berkembang di Amerika, pada tes ini terdapat 4 buku yang
masing-masing berisi 10 odoran.2 Pemeriksaan dilakukan dengan
menghidu buku uji, dimana didalamnya terkandung 10-50 odoran.
Hasilnya pemeriksaan akan dibagi menjadi 6 kategori yaitu normosmia,
mikrosmia ringan, mikrosmia sedang, mikrosmia berat, anosmia, dan
malingering.

b) Tes The Connectitut Chemosensory Clinical Research Center


(CCCRC).

Test ini dapat mendeteksi ambang penghidu, identifikasi odoran, dan


untuk evaluasi nervus trigeminal. Ambang penghidu menggunakan larutan
butanol 4% dan diencerkan dengan aqua steril dengan perbandingan 1:3,
sehingga didapat 8 pengenceran. Tes dimulai dari pengenceran terkecil,
dan untuk menghindari bias pasien disuruh menentukan mana yang berisi
odoran tanpa perlu mengidentifikasikannya. Ambang penghidu didapat
bila jawaban betul 5 kali berturut-turut tanpa kesalahan. Pemeriksaan
dikerjakan bergantian pada hidung kiri dan kanan, dengan menutup hidung
kiri bila memeriksa hidung kanan atau sebaliknya. Kemudian dilakukan tes
identifikasi penghidu, dengan menggunakan odoran kopi, coklat, vanila,
bedak talk, sabun, oregano, dan napthalene. Nilai ambang dan identifikasi
dikalkulasikan dan dinilai sesuai skor CCCRC.
c) Tes Sniffin Sticks.

Tes Sniffin Sticks adalah tes untuk menilai kemosensoris dari penghidu
dengan alat yang berupa pena. Tes ini dipelopori working group olfaction
and gustation di Jerman dan pertama kali diperkenalkan oleh Hummel
et.al., (2007), dan kawan-kawan. Tes ini sudah digunakan pada lebih dari
100 penelitian yang telah dipublikasikan, juga dipakai di banyak praktek
pribadi dokter di Eropa.

Panjang pena sekitar 14 cm dengan diameter 1,3 cm yang berisi 4 ml


odoran dalam bentuk tampon dengan pelarutnya propylene glycol. Alat
pemeriksaan terdiri dari tutup mata dan sarung tangan yang bebas dari
odoran dan pena untuk tes identifikasi

Keseluruhan pena berjumlah 16 triplet (48 pena) untuk ambang penghidu,


16 triplet (48 pena) untuk diskriminasi penghidu, dan 16 pena untuk
identifikasi penghidu, sehingga total berjumlah 112 pena

Pengujian dilakukan dengan membuka tutup pena selama 3 detik dan pena
diletakkan 2 cm di depan hidung, tergantung yang diuji apakah lubang
hidung kiri atau lobang hidung kanan

Pemeriksaan dilakukan dengan menutup mata subyek untuk menghindari


identifikasi visual dari odoran. Dari Tes ini dapat diketahui tiga komponen,
yaitu ambang penghidu, diskriminasi penghidu dan identifikasi
penghidu.30 Untuk ambang penghidu (T) digunakan n-butanol sebagai
odoran, yang terdiri dari 16 serial pengenceran dengan perbandingan 1:2
dalam pelarut aqua deionisasi. Tes ini menggunakan triple forced choice
paradigma yaitu metode bertingkat tunggal dengan 3 pilihan jawaban.
Pengujian dilakukan dengan pengenceran n-butanol dengan konsentrasi
terkecil. Skor untuk ambang penghidu adalah 0 sampai 16.
Untuk diskriminasi penghidu (D), dilakukan dengan menggunakan 3 pena
secara acak dimana 2 pena berisi odoran yang sama dan pena ke-3 berisi
odoran yang berbeda. Pasien disuruh menentukan mana odoran yang
berbeda dari 3 pena tersebut. Skor untuk diskriminasi penghidu adalah 0
sampai 16.

Untuk identifikasi penghidu (I), tes dilakukan dengan menggunakan 16


odoran yang berbeda, yaitu jeruk, anis (adas manis), shoe leather (kulit
sepatu), peppermint, pisang, lemon, liquorice (akar manis), cloves
(cengkeh), cinnamon (kayu manis), turpentine (minyak tusam), bawang
putih, kopi, apel, nanas, mawar dan ikan. Untuk satu odoran yang betul
diberi skor 1, jadi nilai skor untuk tes identifikasi penghidu adalah 0-16.
Interval antara pengujian minimal 20 detik untuk proses desensitisasi dari
nervus olfaktorius. Untuk menganalisa fungsi penghidu seseorang
digunakan skor TDI yaitu hasil dari ketiga jenis tes Sniffin Sticks,
dengan antara skor 1sampai 48, bila skor 15 dikategorikan anosmia, 16-
29 dikategorikan hiposmia, dan 30 dikategorikan normosmia.

Tes ini menggambarkan tingkat dari gangguan penghidu, tapi tidak


menerangkan letak anatomi dari kelainan yang terjadi.Odoran yang
terdapat dalam tes Sniffin Sticks adalah odoran yang familiar untuk
negara eropa, tapi kurang familiar dengan negara lain.

Hal ini dapat diatasi dengan memberikan istilah lain yang familiar untuk
odoran tersebut. Menurut Shu et. al.,(2007), tes Sniffin Sticks dapat
digunakan pada penduduk Asia.

d) Tes Odor Stick Identification Test for Japanese (OSIT-J).

OSIT-J terdiri dari 13 bau yang berbeda tapi familiar dengan populasi
Jepang yaitu condessed milk, gas memasak, kari, hinoki, tinta, jeruk
Jepang, menthol, parfum, putrid smell, roasted garlic, bunga ros, kedelai
fermentasi dan kayu. Odoran berbentuk krim dalam wadah lipstik.
Pemeriksaan dilakukan dengan mengoleskan odoran pada kertas parafin
dengan diameter 2 cm, untuk tiap odoran diberi 4 pilihan jawaban. Hasil
akhir ditentukan dengan skor OSIT-J.

e) Pemeriksaan elektrofisiologis fungsi penghidu. Pemeriksaan ini


terdiri dari Olfactory Event- Related Potentials (ERPs), dan Elektro-
Olfaktogram (EOG).

1) Olfactory Event - Related Potentials (ERPs). ERPs adalah salah satu


pemeriksaan fungsi penghidu dengan memberikan rangsangan odoran
intranasal, dan dideteksi perubahan pada elektroencephalography (EEG).
Rangsangan odoran untuk memperoleh kemosensori ERPs harus dengan
konsentrasi dan durasi rangsangan yang tepat. Waktu rangsangan yang
diberikan antara 1-20 mili detik. Jenis zat yang digunakan adalah vanilin,
phenylethyl alkohol, dan H2S.

2) Elektro-Olfaktogram (EOG).

Pemeriksaan ini dilakukan dengan menempatkan elektroda pada


permukaan epitel penghidu dengan tuntunan endoskopi. Kadang
pemeriksaan ini kurang nyaman bagi pasien karena biasanya menyebabkan
bersin pada waktu menempatkan elektroda di regio olfaktorius dihidung.

f) Biopsi neuroepitel olfaktorius.

Biopsi neuroepitel olfaktorius berguna untuk menilai kerusakan sistem


penghidu. Jaringan diambil dari septum nasi superior dan dianalisis secara
histologis. Pemeriksaan ini jarang dilakukan karena invasif.
G. Penatalaksanaan Anosmia

Drugs

Topical corticosteroids.

Digunakan pada pasien anosmia karena adanya edem dari rinosinusitis


atau digabungkan dengan kortikosteroids sistemik.

Antibiotics, decongestants, antihistamines.


Digunakan pada pasien anosmia karena adanya infeksi bakteri. Gabungan
antara antibiotik, dekongestan dan antihistamin sangant berguna.
Menghindari penyebab alergi jika anosmia terjadi karena rinitis alergika.

Surgery

Jika pendekatan konservatif tidak sesuai yang diharapkan, biasanya


dilakukan endoskopik nasal dan pembedahan sinus.
Penatalaksanaan parosmia
Jika faktor penyebab tidak diketahui, pemberian antikonfulsif
(clonazepam, Gabapentin) akan sangat membantu perbaikan pasien

1. Beri support dan yakinkan pasien

Bahwa anosmia yang diikuti dengan infeksi virus pada saluran nafas
bagian atas, belum ada terapi yang efektif. Tetapi bagaimanapun jika saraf
olfaktori masih belum mengalami kerusakan berat akan menunjukkan
perbaikan seiring waktu dalam beberapa bulan/ tahun mendatang.
Meskipun tidak semua pasien dapat ditolong, pasien patut diberi apresiasi,
perhatian dan tetap diobservasi dengan sungguh-sungguh

(Huriyati, 2013)

H. Jurnal atau tren dan isue anosmia


Gangguan Fungsi Penghidu Dan Pemeriksaannya Effy Huriyati,
Bestari Jaka Budiman, Tuti Nelvia
Bagian Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher Fakultas
Kedokteran Universitas Andalas Padang/RSUP Dr. M. Djamil Padang
Abstrak : Latar belakang: Fungsi penghidu pada manusia memegang
peranan penting. Gangguan penghidu dapat mempengaruhi keselamatan
dan kualitas hidup seseorang. Tujuan: Untuk mengetahui jenis gangguan
penghidu, penyebab gangguan penghidu, dan pemeriksaannya. Tinjauan
Pustaka: Gangguan penghidu dapat berupa anosmia yaitu hilangnya
kemampuan penghidu, atau hiposmia yaitu berkurangnya kemampuan
penghidu. Gangguan penghidu disebabkan gangguan transpor odoran,
gangguan sensoris dan gangguan pada saraf penghidu. Penyakit tersering
penyebab gangguan penghidu yaitu trauma kepala, penyakit sinonasal, dan
infeksi saluran nafas atas. Ada beberapa modalitas pemeriksaan
kemosensoris fungsi penghidu diantaranya Tes Sniffin sticks. Dengan
tes Sniffin Sticks dapat diketahui ambang penghidu, diskriminasi
penghidu, dan identifikasi penghidu. Kesimpulan: Gangguan penghidu
memerlukan perhatian khusus. Diantara modalitas pemeriksaan
kemosensoris penghidu, tes Sniffin sticks mempunyai beberapa
kelebihan.
.
Abstract Background: Olfactory function in humans plays an important
role. Olfactory disorders can affect the safety and quality of life.
Objective: To determine the type of olfactory disorder, the causes of
olfactory disorders, and the examination. Literature Review: Olfactory
disorder can be not smell anything or anosmia, and reduced of smell or
hyposmia. Olfactory disorders caused by odorants transport disruption,
sensory disturbances and olfactory nerve disorder. Disease that often
causes disturbances of olfactory function is head trauma, sinonasal disease
and upper respiratory tract infections. There are several modalities to
examine chemosensoris smelling function, one of them is Sniffin Sticks
test. This test can examine threshold, discrimination, and identification of
smelling. Conclusions: Impaired smelling require special attention.
Between some modalities to examine chemosensors smelling function,
Sniffin Sticks test has several advantages
Keywords: Olfactory disorders, anosmia, hyposmia, Sniffin Sticks test.
I. Pendahuluan Pada manusia fungsi penghidu memiliki peranan penting.
Gangguan penghidu dapat menyebabkan seseorang tidak dapat mendeteksi
kebocoran gas, tidak dapat membedakan makanan basi, mempengaruhi
selera makan, mempengaruhi psikis, dan kualitas hidup seseorang.1,2,3
Insiden gangguan penghidu di Amerika Serikat diperkirakan sebesar
1,4% dari penduduk.2 Di Austria, Switzerland, dan Jerman sekitar
80.000 penduduk pertahun berobat ke bagian THT dengan keluhan
gangguan penghidu.
Penyebab tersering gangguan penghidu adalah trauma kepala, penyakit
sinonasal dan infeksi saluran nafas atas.5,6 Ada beberapa modalitas
pemeriksaan kemosensoris fungsi penghidu, tapi jarang digunakan secara
rutin di berbagai rumah sakit. Hal ini disebabkan harganya cukup
mahal dan odoran yang terdapat dalam pemeriksaan kemosensoris
penghidu ini tidak familiar antara suatu negara dengan negara lain.1,2 Alat
pemeriksaan kemosensoris fungsi penghidu yang berkembang dan banyak
dipakai di negara Eropa seperti Jerman, Austria dan Switzerland adalah tes
Sniffin Sticks. Tes ini dapat menilai ambang penghidu, diskriminasi
penghidu dan identifikasi penghidu . 2,7
II. Gangguan penghidu Kemampuan penghidu normal didefinisikan
sebagai normosmia.2 Gangguan penghidu dapat berupa:14-17
A. Anosmia yaitu hilangnya kemampuan menghidu.
B. Agnosia yaitu tidak bisa menghidu satu macam odoran.
C. Parsial anosmia yaitu ketidak mampuan menghidu beberapa odoran
tertentu.
D. Hiposmia yaitu penurunan kemampuan menghidu baik berupa
sensitifitas ataupun kualitas penghidu.
E. Disosmia yaitu persepsi bau yang salah, termasuk parosmia dan
phantosmia. Parosmia yaitu perubahan kualitas sensasi penciuman,
sedangkan phantosmia yaitu sensasi bau tanpa adanya stimulus odoran/
halusinasi odoran.
F. Presbiosmia yaitu gangguan penghidu karena umur tua.
IV. Penyebab gangguan penghidu. Penyebab gangguan penghidu dapat
diklasifikasikan menjadi 3, yaitu gangguan transpor odoran, gangguan
sensoris, dan gangguan saraf. Gangguan transpor disebabkan pengurangan
odoran yang sampai ke epitelium olfaktorius, misalnya pada inflamasi
kronik dihidung. Gangguan sensoris disebabkan kerusakan langsung pada
neuroepitelium olfaktorius, misalnya pada infeksi saluran nafas atas, atau
polusi udara toksik. Sedangkan gangguan saraf disebabkan kerusakan pada
bulbus olfaktorius dan jalur sentral olfaktorius, misalnya pada penyakit
neurodegeneratif, atau tumor intrakranial.
Penyakit yang sering menyebabkan gangguan penghidu adalah trauma
kepala, infeksi saluran nafas atas, dan penyakit sinonasal.
A. Trauma kepala Trauma kepala dapat menyebabkan kehilangan
sebagian atau seluruh fungsi penghidu. Hal ini disebabakan kerusakan
pada epitel olfaktorius dan gangguan aliran udara dihidung. Adanya
trauma menyebabkan hematom pada mukosa hidung, atau luka pada epitel
olfaktorius. Kerusakan dapat terjadi pada serat saraf olfaktorius, bulbus
olfaktorius dan kerusakan otak di regio frontal, orbitofrontal, dan
temporal. Prevalensi gangguan penghidu yang disebabkan trauma kepala
terjadi 15-30% dari kasus gangguan penghidu.11,14,18
B. Infeksi saluran nafas atas Infeksi saluran nafas atas yang sering
menyebabkan gangguan penghidu yaitu common cold. Kemungkinan
mekanismenya adalah kerusakan langsung pada epitel olfaktorius atau
jalur sentral karena virus itu sendiri yang dapat merusak sel reseptor
olfaktorius.
C. Penyakit sinonasal Gangguan penghidu pada penyakit sinonasal seperti
rinosinusitis kronik atau rinitis alergi disebabkan inflamasi dari saluran
nafas yang menyebabkan berkurangnya aliran udara dan odoran yang
sampai ke mukosa olfaktorius. Gangguan penghidu pada rinosinusitis
kronik dan rinitis alergi dapat berupa gangguan konduktif atau saraf.
Perubahan pada aliran udara di celah olfaktorius yang disebabkan
rinosinusitis kronik yaitu edem atau adanya polip yang menyebabkan
gangguan konduksi. Inflamasi pada epitel olfaktorius menghasilkan
mediator inflamasi yang akan merangsang hipersekresi dari kelenjar
bowmans. Hal ini akan mengubah konsentrasi ion pada mukus olfaktorius
yang akan mengganggu pada tingkat konduksi atau transduksi. Mediator
inflamasi yang dilepaskan oleh limfosit, makrofag, dan eosinofil yaitu
sitokin yang bersifat toksik terhadap reseptor neuron olfaktorius. Disini
yang terlibat adalah proses di saraf. Proses inflamasi kronik bisa
menyebabkan kerusakan permanen pada reseptor olfaktorius. Hasil
penelitian Chang20 pada pasien rinosinusitis kronik didapatkan 21%-25%
anosmia. Guilermany21 mendapatkan pasien dengan rinitis alergi
persisten sedang berat yang mengalami hiposmia sebesar 84,8%, dan
rinitis alergi persisten ringan yang mengalami hiposmia sebesar 20%.
Penyakit lain yang menyebabkan gangguan penghidu adalah penyakit
endokrin (hipotiroid, diabetes melitus, gagal ginjal, penyakit liver),
Kallmann syndrome, penyakit degeneratif (alzheimer, parkinson, multipel
sklerosis), pasca laringektomi, paparan terhadap zat kimia toksik,
peminum alkohol, skizofrenia, tumor intranasal atau intrakranial. Faktor
lain yang juga berpengaruh terhadap fungsi penghidu adalah usia.
Kemampuan menghidu akan menurun sejalan dengan bertambahnya usia.
Ada banyak teori yang menerangkan penyebab gangguan penghidu pada
orang tua, diantaranya terjadi perubahan anatomi pengurangan area
olfaktorius, pengurangan jumlah sel mitral pada bulbus olfaktorius,
penurunan aktivasi dari korteks olfaktorius.2,10 Gangguan penghidu pada
usia lebih dari 80 tahun sebesar 65%.23 Penelitian lain mendapatkan
gangguan penghidu pada usia lebih dari 50 tahun sebesar 24%.22 Doty2
menyatakan terdapatnya penurunan penghidu yang signifikan pada usia
lebih dari 65 tahun.
Ganguan penghidu lebih sering ditemukan pada jenis kelamin perempuan
dibandingkan laki-laki.4 Pada penelitian Rouby16 ditemukan gangguan
penghidu hiposmia ditemukan pada 61% wanita dan 39% laki-laki.
Gangguan penghidu juga ditemukan pada perokok. Disini temukan
kerusakan dari neuroepitel olfaktorius. Pada analisis imunohistokimia
ditemukan adanya apoptosis proteolisis pada neuroepitel olfaktorius.4,24
Obat-obatan dan polusi udara juga berpengaruh terhadap fungsi penghidu
seperti obat kanker, antihistamin, anti mikroba, anti tiroid dan lain lain.
Polusi udara yang berpengaruh yaitu aseton, gas nitrogen, silikon dioksida,
dan lain-lain.2
(University of Pennsylvania Smell Identification), Tes The Connectitut
Chemosensory Clinical Research
Bagian Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher Fakultas
Kedokteran Universitas Andalas Padang
VI. Kesimpulan
1. Fungsi penghidu pada manusia memegang peranan penting.
2. Area penghidu terdapat di atap rongga hidung, stimuli akan diteruskan
ke bulbus olfaktorius, dan traktus olfaktorius di otak.
Bagian Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher Fakultas
Kedokteran Universitas Andalas Padang
3. Penyebab gangguan penghidu adalah gangguan transport, gangguan
sensoris, dan gangguan pada saraf olfaktorius.
4. Penyakit gangguan penghidu adalah trauma kepala, penyakit sinonasal,
dan infeksi saluran nafas atas.
5. Pemeriksaan kemosensoris untuk gangguan penghidu ada beberapa
macam, diantaranya tes UPSIT (University of Pennsylvania Smell
Identification), tes The Connectitut Chemosensory Clinical Research
Center (CCCRC), tes Sniffin Sticks, dan Odor Stick Identification Test
for Japanese (OSIT-J).
6. Kelebihan tes Sniffin Stick dibandingkan pemeriksaan kemosensoris
penghidu lainnya adalah tes ini sederhana, dapat menentukan 3 subtest
yaitu ambang penghidu (T), Diskriminasi penghidu (D), dan Identifikasi
penghidu (I). Test ini sudah dipakai pada lebih dari 100 penelitian yang
sudah dipublikasikan. Sudah dipakai di praktek pribadi dokter THT di
negara Eropa, dan dari beberapa penelitian test ini dapat digunakan di
negara lain di luar Eropa termasuk di Asia.
DAFTAR PUSTAKA
1. Einbenstein A, Fiorini AB, Lena C, Rosati N, Oktaviano I, Fuseti M.
olfactoryscreening test: exerience in 102 Italian subjects. Acta
Otorhinolaringol 2005; 25: 18-22
2. Doty RL, Bromley SM, Panganiban WD. Olfactory function and
disfunction. In: Bailey BJ, Johnson JT, Newlands SD, editors. Head and
Neck Surgery Otolaryngology. 4th ed. Philadelphia: Lippincott William &
Wilkins; 2006. p. 290-305
3. Gaines GA. Anosmia and hyposmia. Allergy Asthma Proc 2010; 31:
185-9
4. Hummel T, Lotsch J. Prognostic factor of olfactory dysfunction. Arch
Otolaryngol Head neck surg 2010; 134(4): 347-51
5. Hummel T, Nordin S. Smell loss, sosi white paper: Quality of live in
olfactory disfunction. Available from http: //www. senseofsmell. org/
smell- loss- whitepaper-full. Php#olfactoryfunction
6. Fortin A, Levebvre MB, Ptitto M. Traumatic brain injury and olfactory
deficits: The tale of two test. Brain Injury 2010; 24(1): 2-33
7. Mueller CA, Grasinger E, Naka A, Temmel AFP, Hummel T, Kobal G.
A self administered odor identification test procedure using the "sniffin
sticks. Chem Senses 2006; 31: 595-98
8. Doty RL, Mishra A. Olfaction and its alteration by nasal obstruction,
rhinitis, rhinosinusitis. The laryngoscope 2001; 14: 409-23
9. Ganong WF. Smell and taste. In Review of medical physiology. 20th ed.
San Fransisco: Medical Publishing Division; 2001. 340-7
10. Ballenger JJ. Hidung dan sinus paranasal. Dalam: Ballenger JJ, alih
bahasa FKUI. Penyakit Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Jilid
1. Jakarta: Bina Rupa Aksara; 2002. Hal 1-27
11. Raviv JR, Kern RC. Chronic Rhinosinusitis and olfactory dysfunction.
In: Hummel T, Lussen AW, editors. Taste and smell. Vol 63. Switzerland:
Karger; 2006. p.108-24
12. Despopulous A, Silbernagl. Central nervous system and senses in color
atlas of physiology. 5th ed. New York: Thieme; 2003. p. 340-41
13. Rawson NE, Yee KK. Transduction and coding. In: Hummel T, Lussen
AW, editors. Taste and smell. Switzerland: Karger; 2006. p. 23-43
14. Wrobel BB, Leopold DA. Olfactoryand sensory attributes of the nose.
Otolaryngol Clin N Am 2005; 38: 1163-70
15. Soetjipto D, Wardhani S. Sumbatan hidung. Dalam: Soepardi EA,
Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD, editor. Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Edisi ke 6. Jakarta: Balai
Penerbit Fakultas Kedokteran Indonesia; 2007. Hal 118-37
16. Rouby C, Danguin TT, Vigouroux M, Ciuperca G, Jiang T, Alexanian
J, et all. The lyon clinical olfactory test: Validation and measurement of
hyposmia and anosmia in healthy and diseased population. International
Journal of otolaryngology 2011; 23: 1-9
17. Simmen D, Briner HR. Olfaction in rhinology-methods of assesing the
sense smell. Rhinology 2006; 48: 98-101
18. Costanzo RM, Miwa T. Post traumatik olfactory loss. In: Hummel T,
Lussen AW, editors. Taste and smell. Switzerland: Karger; 2006. p. 99-107
19. Lussen AW, Wolsfenberger M Olfactory disorder following upper
respiratory tract infection. In: Hummel T, Lussen AW, editors. Taste and
smell. Switzerland: Karger; 2006. p. 125-32 20. Chang H, Lee HJ, Mo JH,
Lee CH, Kim JW. Clinical implication of the olfactory cleft in patient with
chronic rhinosinusitis and olfactory loss 2009; 135(10): 988-92
BAB III

ASKEP

ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN KEHILANGAN SENSASI


PENGHIDU (SINUSITIS)

Pengkajian Data :

a. Anamnesa

b. Data demografi :

Nama :

Umur :

Jenis kelamin :

Status :

Agama :

Suku bangsa :

Pendidikan :

Pekerjaan :

Alamat :

Dx medis :
c. Keluhan utama :

Kehilangan sensasi pembauan

1. Riwayat penyakit sekarang :

Klien merasakan buntu pada hidung dan nyeri kronis pada hidung, kehilangan
sensasi pembauan.

2. Riwayat penyakit dahulu:

Klien memiliki riwayat penyakit sinusitis, rhinitis alergi, serta riwayat


penyakit THT. Klien pernah menderita penyakit akut dan perdarahan hidung
atau trauma. Selain itu, klien pernah menderita sakit gigi geraham.

3. Riwayat penyakit keluarga: -


4. Riwayat psikososial

Intrapersonal : klien merasa cemas akibat nyeri kehilangan sensasi pembauan.

Interpersonal : gangguan citra diri yang berhubungan dengan suara sengau


akibat massa dalam hidung.

Pemeriksaan fisik dengan pendekatan (Review of System):

1) B1 (breath) :

Frekuensi pernafasan dapat meningkat atau menurun, terjadi perubahan pola


napas akibat adanya massa yang membuntu jalan napas, adanya suara napas
tambahan seperti ronchi akibat penumpukan secret, serta terlihat adanya otot
bantu napas saat inspirasi
2) B2 (blood) : -

3) B3 (brain):

Kerusakan korteks serebri (korteks olfaktori), gangguan penghidu atau


penciuman : kehilangan sensasi penghiduan.

4) B4 (bladder) : -

5) B5 (bowel):

Nafsu makan menurun, berat badan turun, klien terlihat lemas

6) B6 (bone): -

Diagnosa Keperawatan :

1. Ketidakefektifan bsihan jalan nafas b.d sekresi berlebihan sekunder


akibat proses inflamasi (hal.284 nic-noc 2015)
2. Hipertermia b.d proses inflamasi ,pemajanan kuman (hal.269 nic-noc)
3. Nyeri akut b.d iritasi jalan nafas atas sekunder akibat infeksi (hal.299
nic-noc)
4. Ansietas b.d proses penyakit (kesulitan bernafas ,perubahan dalam
status kesehatan(eksudat purulen ).(hal.235 nic-noc)
5. Defisiensi pengetahuan b.d kurang informsai tentang penyakit yang
diderita dan pengobatannya (hal.238 nic-noc)
Intervensi Dan Implementasi
Diagnosa 1
NOC
1. Mendemonstrasikan batuk efektif dan suara nafas yang bersih,tidak
ada sianosis dan dyspnu (mampu mengeluarkan sputum,mampu
bernafas deengan mudah)
2. Nunjukkan jalan nafas yang paten (klien tidak meras tercekik, irma
nafas,frekuensi pernafasan dalam rentang normal,tidak ada suara
nafas abnormal)
3. Mampu mengidentifikasi dan mencegah faktor yang dapat
menghambat jalan nafas

NIC

1. Memastikan kebutuhan oral / tracheal suctioning


2. Mengaskultasi suara nafas sebelum dan sesudah suchtiooning
3. Menginformasikan pada klien dan keluarga tentang suctioning
4. Memonitor status oksigen pasien
5. Memposisikan oasien untuk memaksimalkan ventilsi

Diagnosa 2

NOC

1. Suhu tubuh dalam rentang normal


2. Nadi dan RR dalam rentang normal
3. Tidak adda perubahan warna kulit dan tidak ada pusing

NIC

1. Memonitor suhu sesering mungkin


2. Memonitor warna dan suhu kulit
3. Memonitor tekanan darah,nadi,dan RR
4. Memonitor WBC,Hb dan Hct
5. Memonitor intake dan output
6. Memberikan pengobatan untuk mengatasi penyebab demam
7. Mengkolaborasi pemberian caitran intravena
Diagnosa 3

NOC

1. Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri,mampu


menggunakan tehnik nonfarmakologi unuk meurangi nyeri)
2. Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan mnggunakan
manejemen nyeri
3. Mampu mengenali nyeri (skala,intensitas,frekuensi dan tanda
nyeri)
4. Mengatakan rasa nyaman setelah nyeri berkuraang

NIC

1. Melakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk


lokasi,durasi,frekuensi,kualitas dan faktor predisposisi
2. Mengobservas reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan
3. Mengkaji kultur yang mempengaruhi respon nyeri
4. Mengurangi faktor presipitasi nyeri
5. Ajarkan tentang teknik farmakologi dan nonfarmakologi
6. Mengkolaborasi dengan dokter jika ada keluhan dan tindkan nyeri
tidak berhsil

Diagnosa 4

NOC

1. Klien mampu mengidentifiksi dan mengungkapkan gejala cemas


2. Mengidentifikasi,mengngkapkan dan menunjukkan tehnik untuk
mengontrol cemas
3. Vital sign dalam batas normal
4. Postur tubuh,ekspresi wajah,bahasa tubuh dan tingkat aktivitas
menunjukkan berkurangnya kecemasan
NIC

1. Menggunakan penekatan yang menenangkan


2. Menyatakan dengan jelas harapan terhadap pelaku paien
3. Menjelaskan semua prosedur dan apa yang dirasakan selama
prosedur
4. Menemani pasien untuk memberikan keamanan dan mengurang
takut
5. Mengidentfikasi tingkat kecemasan

Diagnosa 5

NOC

1. Pasien dan keluarga menyatakan pemahaman tentang


penyakit,kondisi,prognosis dan program pengobatan
2. Pasien dan keluarga mampu melaksanakan prosedur yang
dijelaskan secara benar
3. Pasien dan keluarga mampu menjelaskan kembali apa yang di
jelaskan perawat / tim kesehatan lainnya

NIC

1. Memberikan penilaian tentang tingkat pengetahuan pasien tentang


proses penyakit yang spesifik
2. Menjelaskan patofisilogi dari penyakit dan bagaimana hal ini
berubungan ngan anatomi dan fisiologi,dengan cara yan tepat
3. Menggambarkan tanda dan gejala yang bisa muncul pada
penyakit,dengan cara tepat
4. Menggambarkan proses penyakit,dengan cara tepat
5. Mengidentifikasi kemungkinan penyebab,dengan cara tepat
6. Menyediakan informasi pada pasien tentang kondisinya
Evaluasi

Setelah dilakukan intervensi, maka dilakukan evaluasi terhadap


keluhan pasien:

1. Besihan jalan nafas akan teratasi


2. Hipertermia tidak terjadi
3. Nyeri akut akan berkurang
4. Ansietas
5. Defisiensi pengetahuan akan meningkat
BAB IV

PENUTUP

Kesimpulan

1. Fungsi penghidu pada manusia memegang peranan penting. Area


penghidu terdapat di atap rongga hidung, stimuli akan diteruskan ke
bulbus olfaktorius, dan traktus olfaktorius di otak. Bagian Telinga
Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran
Universitas Andalas Padang
2. Penyebab gangguan penghidu adalah gangguan transport, gangguan
sensoris, dan gangguan pada saraf olfaktorius. Penyakit gangguan
penghidu adalah trauma kepala, penyakit sinonasal, dan infeksi saluran
nafas atas.
3. Pemeriksaan kemosensoris untuk gangguan penghidu ada beberapa
macam, diantaranya tes UPSIT (University of Pennsylvania Smell
Identification), tes The Connectitut Chemosensory Clinical Research
Center (CCCRC), tes Sniffin Sticks, dan Odor Stick Identification
Test for Japanese (OSIT-J).

Saran

1. Diharapkan selalu menjaga kebsehatan tubuh untuk menghindari


penyakit anosmia
2. Memberikan asuhan keperawatan kepada klien yang mengalami
penyakit anosmia secara profesional.
3. Memberikan pendidikan kesehatan kepada masyarakat tentang
penyebab dari anosmia
DAFTAR PUSTAKA

Ganong WF. Smell and taste. In Review of medical physiology. 20th ed. San
Fransisco: Medical Publishing Division; 2001. p. 340-7

Huriyati E dan Nelvia T. 2013. Gangguan Fungsi Penghidu dan Pemeriksaanya.


Jurnal Universitas Andalas Vol.3

Raviv JR, Kern RC. Chronic Rhinosinusitis and olfactory dysfunction. In:
Hummel T, Lussen AW, editors. Taste and smell. Vol 63. Switzerland: Karger;
2006. p. 108-24.

Wrobel BB, Leopold DA. Olfactoryand sensory attributes of the nose.


Otolaryngol Clin N Am 2005; 38: 1163-70.

You might also like