You are on page 1of 25

MELAKSANAKAN KOLABORASI DALAM PELAKSANAAN SKRINING

KESEHATAN

A. Latar Belakang
Proses menua (aging) adalah proses alami yang disertai adanya penurunan kondisi
fisik, psikologis maupun sosial yang saling berinteraksi satu sama lain. Keadaan itu
cenderung berpotensi menimbulkan masalah kesehatan secara umum maupun kesehatan
jiwa secara khusus pada lansia. Masalah kesehatan jiwa lansia termasuk juga dalam
masalah kesehatan yang dibahas pada pasien-pasien Geriatri dan Psikogeriatri yang
merupakan bagian dari Gerontologi, yaitu ilmu yang mempelajari segala aspek dan
masalah lansia, meliputi aspek fisiologis, psikologis, sosial, kultural, ekonomi dan lain-
lain. Menurut Setiawan (1973), timbulnya perhatian pada orang-orang usia lanjut
dikarenakan adanya sifat-sifat atau faktor-faktor khusus yang mempengaruhi kehidupan
pada usia lanjut.
Lansia merupakan salah satu fase kehidupan yang dialami oleh individu yang berumur
panjang. Lansia tidak hanya meliputi aspek biologis, tetapi juga psikologis dan sosial.
Menurut Laksamana (1983:77), perubahan yang terjadi pada lansia dapat disebut sebagai
perubahan `senesens` dan perubahan senilitas. Perubahan `senesens adalah perubahan-
perubahan normal dan fisiologik akibat usia lanjut. Perubalian senilitas adalah
perubahan-perubahan patologik permanent dan disertai dengan makin memburuknya
kondisi badan pada usia lanjut. Sementara itu, perubahan yang dihadapi lansia pada
amumnya adalah pada bidang klinik, kesehatan jiwa dan problema bidang sosio ekonomi.
Oleh karma itu lansia adalah kelompok dengan resiko tinggi terhadap problema fisik dan
mental.
Proses menua pada manusia merupakan fenomena yang tidak dapat dihindarkan.
Seinakin baik pelayanan kesehatan sebuah bangsa makin tinggi pula harapan hidup
masyarakatnya dan padan gilirannya makin tinggi pula jumlah penduduknya yang berusia
lanjut. Demikian pula di Indonesia.
Dalam pendekatan pelayanan kesehatan pada kelompok lansia sangat perlu ditekankan
pendekatan yang dapat mencakup sehat fisik, psikologis, spiritual dan sosial. Hal tersebut

1
karena pendekatan dari satu aspek saja tidak akan menunjang pelayanan kesehatan pada
lansia yang membutuhkan suatu pelayanan yang komprehensif.
Usia lansia bukan hanya dihadapkan pada permasalahan kesehatan jasmaniah saja, tapi
juga permasalahan gangguan mental dalam menghadapi usia senja. Lansia sebagai tahap
akhir dari siklus kehidupan manusia, sering diwarnai dengan kondisi hidup yang tidak
sesuai dengan harapan. Banyak faktor yang menyebabkan seorang mengalami gangguan
mental seperti depresi.
Ada beberapa faktor yang sangat berpengaruh terhadap kesehatan jiwa lansia. Faktor-
faktor tersebut hendaklah disikapi secara bijak sehingga para lansia dapat menikmati hari
tua mereka dengan bahagia. Adapun beberapa faktor yang dihadapi para lansia yang
sangat mempengaruhi kesehatan jiwa mereka adalah sebagai berikut:
1. Penurunan kondisi fisik
2. Penurunan fungsi dan potensi seksual
3. Perubahan aspek psikososial
4. Perubahan yang berkaitan dengan pekcrjaan
5. Perubahan dalam peran sosial di masyarakat
Skrining (screening) adalah deteksi dini dari suatu penyakit atau usaha untuk
mengidentifikasi penyakit atau kelainan secara klinis belum jelas dengan menggunakan
test, pemeriksaan atau prosedur tertentu yang dapat digunakan secara cepat untuk
membedakan orang-orang yang kelihatannya sehat tetapi sesunguhnya menderita suatu
kelainan. Penelitian epidemiologi ditujukan untuk faktor-faktor epidemiologis yang
berkaitan dengan distribusi penyakit /masalah kesehatan di masyarakat yang hasilnya
dipergunakan untuk membuat perencanaan intervensi atau upaya pencegahan yang sesuai
Salah satu jenis penelitian yang sering digunakan adalah screening. Mahasiswa perlu
mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan penelitian skrining tersebut sebelum nantinya
terjun ke masyarakat untuk mengadakan penelitian. Oleh sebab itu, dalam makalah ini
akan dibahas lebih jauh mengenai penelitian screening.

B. Rumusan Masalah
1. Apa skrening kesehatan pada lansia?
2. Bagaimana pencegahan primer, sekunder dan tersier?
3. Apa macam-macam skrening kesehatan?

2
4. Bagaimana penggolongan skrening kesehatan?
5. Apa skrening pada keadaan khusus lansia?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian skrening kesehatan.
2. Untuk mengetahui pencegahan primer, sekunder, dan tersier.
3. Untuk menjelaskan macam-macam skrening kesehatan.
4. Untuk mengetahui penggolongan skrening kesehatan.
5. Untuk mengetahui skrening pada keadaan khusus lansia .

3
2.1. Pengertian Kolaborasi
Kolaborasi merupakan istilah umum yang sering digunakan untuk
menggambarkan suatu hubungan kerja sama yang dilakukan pihak tertentu. Sekian
banyak pengertian dikemukakan dengan sudut pandang beragam namun didasari
prinsip yang sama yaitu mengenai kebersamaan, kerja sama, berbagi tugas,
kesetaraan, tanggung jawab dan tanggung gugat. Namun demikian kolaborasi sulit
didefinisikan untuk menggambarkan apa yang sebenarnya yang menjadi esensi dari
kegiatan ini. Seperti yang dikemukakan National Joint Practice Commision (1977)
yang dikutip Siegler dan Whitney (2000) bahwa tidak ada definisi yang mampu
menjelaskan sekian ragam variasi dan kompleknya kolaborasi dalam kontek
perawatan kesehatan.
Berdasarkan kamus Heritage Amerika (2000), kolaborasi adalah bekerja
bersama khususnya dalam usaha penggambungkan pemikiran. Hal ini sesuai dengan
apa yang dikemukanan oleh Gray (1989) menggambarkan bahwa kolaborasi sebagai
suatu proses berfikir dimana pihak yang terklibat memandang aspek-aspek
perbedaan dari suatu masalah serta menemukan solusi dari perbedaan tersebut dan
keterbatasan padangan mereka terhadap apa yang dapat dilakukan.
American Medical Assosiation (AMA), 1994, setelah melalui diskusi dan
negosiasi yang panjang dalam kesepakatan hubungan professional dokter dan
perawat, mendefinisikan istilah kolaborasi sebagai berikut ; Kolaborasi adalah
proses dimana dokter dan perawat merencanakan dan praktek bersama sebagai
kolega, bekerja saling ketergantungan dalam batasan-batasan lingkup praktek
mereka dengan berbagi nilai-nilai dan saling mengakui dan menghargai terhadap
setiap orang yang berkontribusi untuk merawat individu, keluarga dan masyarakat.
Kolaborasi (ANA, 1992), hubungan kerja diantara tenaga kesehatan dalam
memeberikan pelayanan kepada pasien/klien adalah dalam melakukan diskusi
tentang diagnosa, melakukan kerjasama dalam asuhan kesehatan, saling
berkonsultasi atau komunikasi serta masing-masing bertanggung jawab pada
pekerjaannya.
Apapun bentuk dan tempatnya, kolaborasi meliputi suatu pertukaran
pandangan atau ide yang memberikan perspektif kepada seluruh kolaborator.

4
Efektifitas hubungan kolaborasi profesional membutuhkan mutual respek baik setuju
atau ketidaksetujuan yang dicapai dalam interaksi tersebut. Partnership kolaborasi
merupakan usaha yang baik sebab mereka menghasilkan outcome yang lebih baik
bagi pasien dalam mecapai upaya penyembuhan dan memperbaiki kualitas hidup.
Kolaborasi merupakan proses komplek yang membutuhkan sharing
pengetahuan yang direncanakan yang disengaja, dan menjadi tanggung jawab
bersama untuk merawat pasien. Kadangkala itu terjadi dalam hubungan yang lama
antara tenaga profesional kesehatan. (Lindeke dan Sieckert, 2005). Bekerja bersama
dalam kesetaraan adalah esensi dasar dari kolaborasi yang kita gunakan untuk
menggambarkan hubungan perawat dan dokter. Tentunya ada konsekweksi di balik
issue kesetaraan yang dimaksud. Kesetaraan kemungkinan dapat terwujud jika
individu yang terlibat merasa dihargai serta terlibat secara fisik dan intelektual saat
memberikan bantuan kepada pasien.
Kolaborasi adalah suatu proses dimana praktisi keperawatan atau perawat
klinik bekerja dengan dokter untuk memberikan pelayanan kesehatan dalam lingkup
praktek profesional keperawatan, dengan pengawasan dan supervisi sebagai pemberi
petunjuk pengembangan kerjasama atau mekanisme yang ditentukan oleh peraturan
suatu negara dimana pelayanan diberikan. Perawat dan dokter merencanakan dan
mempraktekan bersama sebagai kolega, bekerja saling ketergantungan dalam batas-
batas lingkup praktek dengan berbagi nilai-nilai dan pengetahuan serta respek
terhadap orang lain yang berkontribusi terhadap perawatan individu, keluarga dan
masyarakat.

2.2. Kolaborasi di Rumah Sakit


Kolaborasi merupakan hubungan kerja sama antara anggota tim dalam
memberikan asuhan kesehatan. Pada kolaborasi terdapat sikap saling menghargai
antar tenaga kesehatan dan saling memberikan informasi tentang kondisi klien demi
mencapai tujuan (Hoffart & Wood, 1996; Wlls, Jonson & Sayler, 1998).

5
Hubungan kolaborasi di Rumah Sakit :

Dokter Perawat Ahli Gizi

Fokus
Klien/
Pasien

laboratorium dll

administrasi IPSRS
radiologi

Tim Kerja di Rumah Sakit :

a. Tim satu disiplin ilmu:

- Tim Perawat
- Tim dokter
- Tim administrasi
- dll

b. Tim multi disiplin :

- Tim operasi
- Tim nosokomial infeksi
- dll

2.3. Anggota Tim interdisiplin


Tim pelayanan kesehatan interdisiplin merupakan sekolompok profesional
yang mempunyai aturan yang jelas, tujuan umum dan berbeda keahlian. Tim akan
berfungsi baik jika terjadi adanya konstribusi dari anggota tim dalam memberikan
pelayanan kesehatan terbaik. Anggota tim kesehatan meliputi : pasien, perawat,
dokter, fisioterapi, pekerja sosial, ahli gizi, manager, dan apoteker. Oleh karena itu

6
tim kolaborasi hendaknya memiliki komunikasi yang efektif, bertanggung jawab dan
saling menghargai antar sesama anggota tim.
Pasien secara integral adalah anggota tim yang penting. Partisipasi pasien
dalam pengambilan keputusan akan menambah kemungkinan suatu rencana menjadi
efektif. Tercapainya tujuan kesehatan pasien yang optimal hanya dapat dicapai jika
pasien sebagai pusat anggota tim.
Perawat sebagai anggota membawa persfektif yang unik dalam interdisiplin
tim. Perawat memfasilitasi dan membantu pasien untuk mendapatkan pelayanan
kesehatan dari praktek profesi kesehatan lain. Perawat berperan sebagai penghubung
penting antara pasien dan pemberi pelayanan kesehatan.
Dokter memiliki peran utama dalam mendiagnosis, mengobati dan mencegah
penyakit. Pada situasi ini dokter menggunakan modalitas pengobatan seperti
pemberian obat dan pembedahan. Mereka sering berkonsultasi dengan anggota tim
lainnya sebagaimana membuat referal pemberian pengobatan.
Kolaborasi menyatakan bahwa anggota tim kesehatan harus bekerja dengan
kompak dalam mencapai tujuan. Elemen penting untuk mencapai kolaborasi yang
efektif meliputi kerjasama, asertifitas, tanggung jawab, komunikasi, otonomi dan
koordinasi seperti skema di bawah ini.

7
Communi
cations Responsi
bility
Autonom
y

cooperation

Common Efective
purpose collaborat
ion

Assertiveness
Coordinati
on
Mutuality

Elemen kunci efektifitas kolaborasi

Kerjasama adalah menghargai pendapat orang lain dan bersedia untuk


memeriksa beberapa alternatif pendapat dan perubahan kepercayaan. Asertifitas
penting ketika individu dalam tim mendukung pendapat mereka dengan keyakinan.
Tindakan asertif menjamin bahwa pendapatnya benar-benar didengar dan konsensus
untuk dicapai. Tanggung jawab, mendukung suatu keputusan yang diperoleh dari
hasil konsensus dan harus terlibat dalam pelaksanaannya. Komunikasi artinya bahwa
setiap anggota bertanggung jawab untuk membagi informasi penting mengenai
perawatan pasien dan issu yang relevan untuk membuat keputusan klinis. Otonomi
mencakup kemandirian anggota tim dalam batas kompetensinya. Kordinasi adalah
efisiensi organisasi yang dibutuhkan dalam perawatan pasien, mengurangi duplikasi
dan menjamin orang yang berkualifikasi dalam menyelesaikan permasalahan.
Kolaborasi didasarkan pada konsep tujuan umum, konstribusi praktisi
profesional, kolegalitas, komunikasi dan praktek yang difokuskan kepada pasien.

8
Kolegalitas menekankan pada saling menghargai, dan pendekatan profesional untuk
masalah-masalah dalam team dari pada menyalahkan seseorang atau atau
menghindari tangung jawab. Hensen menyarankan konsep dengan arti yang sama :
mutualitas dimana dia mengartikan sebagai suatu hubungan yang memfasilitasi suatu
proses dinamis antara orang-orang ditandai oleh keinginan maju untuk mencapai
tujuan dan kepuasan setiap anggota. Kepercayaan adalah konsep umum untuk semua
elemen kolaborasi. Tanpa rasa pecaya, kerjasama tidak akan ada, asertif menjadi
ancaman, menghindar dari tanggung jawab, terganggunya komunikasi . Otonomi
akan ditekan dan koordinasi tidak akan terjadi.
Dasar-dasar kompetensi koaborasi :
a. Komunikasi
b. Respek dan kepercayaan
c. Memberikan dan menerima feed back
d. Pengambilan keputusan
e. Manajemen konflik
Komunikasi sangat dibutuhkan daam berkolaborasi karena kolaborasi
membutuhkan pemecahan masalah yang lebih kompleks, dibutuhkan komunikasi
efektif yang dapat dimengerti oleh semua anggota tim. Pada dasar kompetensi yang
lain, kualitas respek dapat dilihat lebih kearah honor dan harga diri, sedangkan
kepercayaan dapat dilihat pada mutu proses dan hasil. Respek dan kepercayaan dapat
disampaikan secara verbal maupu non verbal serta dapat dilihat dan dirasakan dalam
penerapannya sehari-hari.Feed back dipengaruhi oleh persepsi seseorang, pola
hubungan, harga diri, kepercayaan diri, kepercayaan, emosi, lingkunganserta waktu,
feed back juga dapat bersifat negatif maupun positif. Dalam melakukan kolaborasi
juga akan melakukan manajemen konflik, konflik peran umumnya akan muncul
dalam proses. Untuk menurunkan konflik maka masing-masing anggota harus
memahami peran dan fungsinya, melakukan klarifikasi persepsi dan harapan,
mengidentifikasi kompetensi, mengidentifikasi tumpang tindih peran serta melakukan
negosiasi peran dan tanggung jawabnya.
Elemen kunci kolaborasi dalam kerja sama team multidisipliner dapat
digunakan untuk mencapai tujuan kolaborasi team :

9
a. Memberikan pelayanan kesehatan yang berkualitas dengan menggabungkan
keahlian unik profesional.
b. Produktivitas maksimal serta efektifitas dan efesiensi sumber daya
c. Peningkatnya profesionalisme dan kepuasan kerja, dan loyalitas
d. Meningkatnya kohesifitas antar profesional
e. Kejelasan peran dalam berinteraksi antar profesional,
f. Menumbuhkan komunikasi, kolegalitas, dan menghargai dan memahami orang
lain.
Terwujudnya suatu kolaborasi tergantung pada beberapa kreiteria yaitu (1)
adanya rasa saling percaya dan menghormati, (2) saling memahami dan menerima
keilmuan masing-masing, (3) memiliki citra diri positif, (4) memiliki kematangan
profesional yang setara (yang timbul dari pendidikan dan pengalaman), (5) mengakui
sebagai mitra kerja bukan bawahan, dan (6) keinginan untuk bernegosiasi (Hanson &
Spross, 1996).
Inti dari suatu hubungan kolaborasi adalah adanya perasaan saling tergantung
(interdependensi) untuk kerja sama dan bekerja sama. Bekerja bersama dalam suatu
kegiatan dapat memfasilitasi kolaborasi yang baik. Kerjasama mencerminkan proses
koordinasi pekerjaan agar tujuan auat target yang telah ditentukan dapat dicapai.
Selain itu, menggunakan catatan klien terintegrasi dapat merupakan suatu alat untuk
berkomunikasi anatar profesi secara formal tentang asuhan klien.
Kolaborasi dapat berjalan dengan baik jika :
a. Semua profesi mempunyai visi dan misi yang sama
b. Masing-masing profesi mengetahui batas-batas dari pekerjaannya
c. Anggota profesi dapat bertukar informasi dengan baik
d. Masing-masing profesi mengakui keahlian dari profesi lain yang tergabung dalam
tim.
Model Praktek Kolaborasi :
a. Interaksi Perawat-Dokter, dalam persetujuan pratek
b. Kolaborasi Perawat Dokter, dalam memberikan pelayanan
c. Tim Interdisiplin atau komite

10
Pemahaman mengenai prinsip kolaborasi dapat menjadi kurang berdasar
jika hanya dipandang dari hasilnya saja. Pembahasan bagaimana proses kolaborasi
itu terjadi justru menjadi point penting yang harus disikapi. Bagaimana masing-
masing profesi memandang arti kolaborasi harus dipahami oleh kedua belah pihak
sehingga dapat diperoleh persepsi yang sama.
Kolaborasi dan model interdisiplin merupakan fondasi dalam memberikan
asuhan keperawatan yang bermutu tinggi dan hemat biaya. Melalui pemanfaatan
keahlian berbagai anggota tim untuk berkolaborasi, hasil akhir asuhan kesehatan
dapat dioptimalkan Hickey, Ouimette dan Venegoni, 1996)
Seorang dokter saat menghadapi pasien pada umumnya berfikir, apa
diagnosa pasien ini dan perawatan apa yang dibutuhkannya pola pemikiran seperti
ini sudah terbentuk sejak awal proses pendidikannya. Sulit dijelaskan secara tepat
bagaimana pembentukan pola berfikir seperti itu apalagi kurikulum kedokteran terus
berkembang. Mereka juga diperkenalkan dengan lingkungan klinis dibina dalam
masalah etika, pencatatan riwayat medis, pemeriksaan fisik serta hubungan dokter
dan pasien. mahasiswa kedokteran pra-klinis sering terlibat langsung dalam aspek
psikososial perawatan pasien melalui kegiatan tertentu seperti gabungan bimbingan
pasien. Selama periode tersebut hampir tidak ada kontak formal dengan para
perawat, pekerja sosial atau profesional kesehatan lain. Sebagai praktisi memang
mereka berbagi lingkungan kerja dengan para perawat tetapi mereka tidak dididik
untuk menanggapinya sebagai rekanan/sejawat/kolega. (Siegler dan Whitney, 2000)
Dilain pihak seorang perawat akan berfikir; apa masalah pasien ini?
Bagaimana pasien menanganinya?, bantuan apa yang dibutuhkannya? Dan apa yang
dapat diberikan kepada pasien?. Perawat dididik untuk mampu menilai status
kesehatan pasien, merencanakan intervensi, melaksanakan rencana, mengevaluasi
hasil dan menilai kembali sesuai kebutuhan. Para pendidik menyebutnya sebagai
proses keperawatan. Inilah yang dijadikan dasar argumentasi bahwa profesi
keperawatan didasari oleh disiplin ilmu yang membantu individu sakit atau sehat
dalam menjalankan kegiatan yang mendukung kesehatan atau pemulihan sehingga
pasien bisa mandiri.

11
Sejak awal perawat dididik mengenal perannya dan berinteraksi dengan
pasien. Praktek keperawatan menggabungkan teori dan penelitian perawatan dalam
praktek rumah sakat dan praktek pelayanan kesehatan masyarakat. Para pelajar
bekerja diunit perawatan pasien bersama staf perawatan untuk belajar merawat,
menjalankan prosedur dan menginternalisasi peran.
Kolaborasi merupakan proses komplek yang membutuhkan sharing
pengetahuan yang direncanakan yang disengaja, dan menjadi tanggung jawab
bersama untuk merawat pasien. Kadangkala itu terjadi dalam hubungan yang lama
antara tenaga profesional kesehatan. (Lindeke dan Sieckert, 2005).
Kolaborasi adalah suatu proses dimana praktisi keperawatan atau perawat
klinik bekerja dengan dokter untuk memberikan pelayanan kesehatan dalam lingkup
praktek profesional keperawatan, dengan pengawasan dan supervisi sebagai pemberi
petunjuk pengembangan kerjasama atau mekanisme yang ditentukan oleh peraturan
suatu negara dimana pelayanan diberikan. Perawat dan dokter merencanakan dan
mempraktekan bersama sebagai kolega, bekerja saling ketergantungan dalam batas-
batas lingkup praktek dengan berbagi nilai-nilai dan pengetahuan serta respek
terhadap orang lain yang berkontribusi terhadap perawatan individu, keluarga dan
masyarakat.
Berkaitan dengan issue kolaborasi dan soal menjalin kerja sama kemitraan
dengan dokter, perawat perlu mengantisipasi konsekuensi perubahan dari vokasional
menjadi profesional. Status yuridis seiring perubahan perawat dari perpanjangan
tangan dokter menjadi mitra dokter sangat kompleks. Tanggung jawab hukum juga
akan terpisah untuk masing-masing kesalahan atau kelalaian. Yaitu, malpraktik medis,
dan malpraktik keperawatan. Perlu ada kejelasan dari pemerintah maupun para pihak
terkait mengenai tanggung jawab hukum dari perawat, dokter maupun rumah sakit.
Organisasi profesi perawat juga harus berbenah dan memperluas struktur organisasi
agar dapat mengantisipasi perubahan. (www. kompas.com.)
Pertemuan profesional dokter-perawat dalam situasi nyata lebih banyak terjadi
dalam lingkungan rumah sakit. Pihak manajemen rumah sakit dapat menjadi
fasilitator demi terjalinnyanya hubungan kolaborasi seperti dengan menerapkan
sistem atau kebijakan yang mengatur interaksi diantara berbagai profesi kesehatan.

12
Pencatatan terpadu data kesehatan pasien, ronde bersama, dan pengembangan tingkat
pendidikan perawat dapat juga dijadikan strategi untuk mencapai tujuan tersebut.
Ronde bersama yang dimaksud adalah kegiatan visite bersama antara dokter-
perawat dan mahasiswa perawat maupun mahasiswa kedokteran, dengan tujuan
mengevaluasi pelayanan kesehatan yang telah dilakukan kepada pasien. Dokter dan
perawat saling bertukar informasi untuk mengatasi permasalahan pasien secara
efektif. Kegiatan ini juga merupakan sebagai satu upaya untuk menanamkan sejak
dini pentingnya kolaborasi bagi kemajuan proses penyembuhan pasien. Kegiatan
ronde bersama dapat ditindaklanjuti dengan pertemuan berkala untuk membahas
kasus-kasus tertentu sehingga terjadi trasnfer pengetahuan diantara anggota tim.
Komunikasi dibutuhkan untuk mewujudkan kolaborasi yang efektif, hal
tersebut perlu ditunjang oleh sarana komunikasi yang dapat menyatukan data
kesehatan pasien secara komfrenhensif sehingga menjadi sumber informasi bagi
semua anggota team dalam pengambilan keputusan. Oleh karena itu perlu
dikembangkan catatan status kesehatan pasien yang memungkinkan komunikasi
dokter dan perawat terjadi secara efektif.
Pendidikan perawat perlu terus ditingkatkan untuk meminimalkan
kesenjangan profesional dengan dokter melalui pendidikan berkelanjutan.
Peningkatan pengetahuan dan keterampilan dapat dilakukan melalui pendidikan
formal sampai kejenjang spesialis atau minimal melalui pelatihan-pelatihan yang
dapat meningkatkan keahlian perawat.

2.4. Perawat sebagai Kolaborator


Sebagai seorang kolaborator, perawat melakukan kolaborasi dengan klien,
pper group serta tenaga kesehatan lain. Kolaborasi yang dilakukan dalam praktek di
lapangan sangat penting untuk memperbaiki. Agar perawat dapat berperan secara
optimal dalam hubungan kolaborasi tersebut, perawat perlu menyadari
akuntabilitasnya dalam pemberian asuhan keperawatan dan meningkatkan
otonominya dalam praktik keperawatan. Faktor pendidikan merupakan unsur utama
yang mempengaruhi kemampuan seorang profesional untuk mengerti hakikat
kolaborasi yang berkaitan dengan perannya masing-masing, kontribusi spesifik setisp

13
profesi, dan pentingnya kerja sama. Setiap anggota tim harus menyadari sistem
pemberian asuhan kesehatan yang berpusat pada kebutuhan kesehatan klien, bukan
pada kelompok pemberi asuhan kesehatan. Kesadaran ini sangat dipengaruhi oleh
pemahaman setiap anggota terhadap nilai-nilai profesional.
Menurut Baggs dan Schmitt, 1988, ada atribut kritis dalam melakukan
kolaborasi, yaitu melakukan sharing perencanaan, pengambilan keputusan,
pemecahan masalah, membuat tujuan dan tanggung jawab, melakukan kerja sama dan
koordinasi dengan komunikasi terbuka.

2.6. Tindakan Kolaboratif Interdisiplin Ilmu


2.6.1. Upaya Pelayanan Kesehatan Lansia

Upaya mengatasi kesehatan pada lansia adalah sebagai berikut :

a. Upaya pembinaan kesehatan


b. Upaya pelayanan kesehatan :

1. Upaya promotif
2. Upaya preventif
3. Diagnosa dini dan pengobatan
4. Pencegahan kecacatan
5. Upaya rehabilitatif

c. Upaya perawatan
d. Upaya pelembagaan Lansia

2.6.2. Prinsip pelayanan kesehatan pada Lansia


2.6.2.1. Prinsip holistik

Seorang penderita lanjut usia harus dipandang sebagai manusia


seutuhnya (lingkungan psikologik dan sosial ekonomi). Hal ini ditunjukkan
dengan asesmen geriatri sebagai aspek diagnostik, yang meliputi seluruh
organ dan sistem, juga aspek kejiwaan dan lingkungan sosial ekonomi.

14
Sifat holistik mengandung artian baik secara vertikal ataupun
horizontal. Secara vertikal dalam arti pemberian pelayanan di masyarakat
sampai ke pelayanan rujukan tertinggi, yaitu rumah sakit yang mempunyai
pelayanan subspesialis geriatri. Holistik secara horizontal berarti bahwa
pelayanan kesehatan harus merupakan bagian dari pelayanan kesejahteraan
lansia secara menyeluruh. Oleh karena itu, pelayanan kesehatan harus
bekerja secara lintas sektoral dengan dinas/ lembaga terkait di bidang
kesejahteraan, misalnya agama, pendidikan, dan kebudayaan, serta dinas
sosial.

Pelayanan holistik juga berarti bahwa pelayanan harus mencakup


aspek pencegahan (preventif), promotif, penyembuhan (kuratif), dan
pemulihan (rehabilitatif). Begitu pentingnya aspek pemulihan, sehingga
WHO menganjurkan agar diagnosis penyakit pada Lansia harus meliputi 4
tingkatan penyakit :

a. Disease (penyakit), yaitu diagnosis penyakit pada penderita, misalnya


penyakit jantung iskemik.
b. Impairment (kerusakan/ gangguan), yaitu adanya gangguan atau
kerusakan dari organ akibat penyakit, missal pada MCI akut ataupun
kronis.
c. Disability (ketidakmampuan), yaitu akibat obyektif pada kemampuan
fungsional dari organ atau dari individu tersebut. Pada kasus di atas
misalnya terjadi decompensasi jantung.
d. Handicap (hambatan), yaitu akibat sosial dari penyakit. Pada kasus
tersebut di atas adalah ketidakmampuan penderita untuk melakukan
aktivitas sosial, baik di rumah maupun di lingkungan sosialnya.

15
2.6.3. Prinsip tatakerja dan tatalaksana secara TIM

Tim geriatrik merupakan bentuk kerjasama multidisipliner yang bekerja


secara inter-disipliner dalam mencapai tujuan pelayanan geriatrik yang
dilaksanakan.

Yang dimaksud dengan multidisiplin si sini adalah berbagai disiplin ilmu


kesehatan yang secara bersama-sama melakukan penanganan pada penderita lanjut
usia. Komponen utama tim geriatrik terdiri dari dokter, pekerja sosio medik, dan
perawat. Tergantung dari kompleksitas dan jenis layanan yang diberikan. Anggota
tim dapat ditambah dengan tenaga rehabilitasi medik (dokter, fisioterapist, terapi
okupasi, terapi bicara, dll.), psikolog, dan atau psikiater, farmasis, ahli gizi,dan
tenaga lain yang bekerja dalam layanan tersebut.

Istilah interdisiplin diartikan sebagai suatu tatakerja dimana masing-masing


anggotanya saling tergantung (interdependent) satu sama lain. Jika tim multidisiplin
yang bekerja secara multidisiplin, dimana tujuan seolah-olah dibagi secara kaku
berdasarkan disiplin masing-masing anggota. Pada tim interdisiplin, tujuan
merupakan tujuan bersama. Masing-masing anggota mengerjakan tugas sesuai
disiplinnya sendiri-sendiri, tetapi tidak secara kaku. Disiplin lain dapat memberi
saran demi tercapainya tujuan bersama. Secara periodik dilakukan pertemuan
anggota tim untuk mengadakan evaluasi kerja yang telah dicapai, dan kalau perlu
mengadakan perubahan demi tujuan bersama yang hendak dicapai.

Pada tim multidisiplin, kerjasama terutama bersifat pada pembuatan dan


penyerasian konsep. Sedangkan pada tim interdisiplin, kerjasama meliputi
pembuatan dan penyerasian konsep serta penyerasian tindakan.

Tim geriatri disamping mengadakan asesmen atas masalah yang ada, juga
mengadakan asesmen atas sumber daya manusia dan sosial ekonomi yang bisa
digunakan untuk membantu pelaksanaan masalah penderita tersebut.

16
2.7. Skrining Kesehatan Pada Lansia
2.7.1. Pengantar Skrining pada Lansia
Mengingat kondisi usia lanjut seperti diuraikan terdahulu, mudah dipahami
bahwa dari segi promotif dan preventif menduduki tempat penting dalam
memberikan tindakan atau program intervensi bagi kelompok ini.
Oleh Direktorat keluarga Binkesmas Departemen Kesehatan RI sejak
tahun 1990-an telah dikembangkan Program Pembinaan Usila (Usia Lanjut) pada
sejumlah puskesmas percontohan di Indonesia.
Dalam program pembinaan tersebut tercakup antara lain kegiatan skrining
kesehatan bagi kelompok usia lanjut di puskesmas yang secara praktis berbentuk
pengisian KMS (Kartu Menuju Sehat) yang dirancang khusus bagi keperluan
pembinaan kesehatan usia lanjut.
Khusus mengenai bentuk dan tata cara pengisian KMS akan dijelaskan
tersendiri pada bagian lampiran (Annex 1). Berikut ini akan diuraikan definisi,
tujuan, dan ciri-ciri skrining kesehatan bagi usia lanjut.
Skrining (penapisan) adalah mengidentifikasi ada tidaknya penyakit atau
kelainan yang sebelumnya tidak diketahui dengan menggunakan berbagai tes
pemeriksaan fisik dan prosedur lainnya, agar dapat memilah dari sekelompok
individu, mana yang tergolong mengalami kalainan. Skrining tidak dapat diartikan
secara diagnostic, tetapi bilamana hasilnya positif selanjutnya dapat di follw-up
dengan pemeriksaan diagnostic, kalau perlu dengan tindakan pengobatan. Sasaran
skrining kesehatan memang ditujukan bagi setiap lansia, namun sasaran utamanya
adalah mereka yang berada dalam kategori resiko tinggi (Broklehurst & Allen
dalam Darmojo, R. B Geriatri, 1999).
Golongan yang termasuk kategori resiko tinggi adalah:
1. Laki-laki, duda
2. Lansia jompo (diatas 80 tahun)
3. Tinggal sendiri
4. Baru keluar dari perawatan rumah sakit
5. Baru saja mengalami duka cita yang mendalam.

17
Kegiatan skrining perlu mempertimbangkan hal-hal berikut:
1. Diarahkan untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas
2. Harus cukup efektif dengan pengertian harus cukup akurat, baik dalam hal
sensitivitas maupun spesifitas
3. Bersifat cost-effective.
Pilihan jenis skrining yang dilakukan adalah berbeda-beda untuk masing-
masing individu, yang penting bahwa tindakan skrining sebenarnya hanya perlu
dilakukan bila terdapat kemungkinan untuk tindakan selanjutnya.

2.7.2. Pencegahan Primer, Sekunder, dan Tersier


Secara umum, aspek pencegahan dapat dibagi atas pencegahan primer dan
pencegahan sekunder.
Contoh pencegahan primer adalah hal-hal seperti:
1. Berhenti merokok
2. Mengubah gaya hidup
3. Memerhatikan diet
4. Melakukan exercise
5. Vaksinasi terhadap influenza/pneumococcus/tetanus.
Selanjutnya, pencegahan sekunder adalah untuk mencegah kecacatan
melalui deteksi dini, yaitu terhadap penyakit-penyakit yang masih berada pada
stadium subklinis. Pencegahan sekunder ini dilakukan melalui kegiatan skrining
atau penemuan kasus (case finding). Di Negara maju, skrining pada umumnya
ditujukan pada penyakit kardiovaskular, keganasan dan cerebrovascular accident
(CVA).

2.7.3. Macam-macam Skrining Kesehatan


2.7.3.1. Penyakit hipertensi
Tindakan skrining sangat bermanfaat, baik terhadap hipertensi sistolik
maupun diastolic. Pencegahannya akan dapat mengurangi risiko timbulnya
stroke, penyakit jantung atau bahkan kematian. Dari hasil studi, ditemukan

18
bahwa bila 40 orang diobati selama 5 tahun akan dapat mencegah 1 (satu)
kejadian stroke.
2.7.3.2. Keganasan
Skrining terhadap keganasan terutama ditujukan terhadap penyakit kanker
payudara, yaitu dengan cara BSE. Juga penyakit kanker serviks dengan
cara pap smear. Selanjutnya skrining juga dilakukan terhadap kanker kolon
dan rectum. Adapun caranya adalah dengan pengujian laboratorium
terhadap darah samar di dalam feses, selain dengan cara endoskopi untuk
kelainan dalam sigmoid dan kolon terutama pada penderita yang
menunjukkan adanya keluhan.
2.7.3.3. Wanita menopause
Tindakan skrining ditujukan untuk memastikan apakah diperlukan terapi
hormone pengganti estrogen. Terapi ini dapat mengurangi risiko kanker
payudara. Juga fraktur akibat osteoporosis. Namun, perlu diwaspadai
kemungkinan timbulnya kanker endometrium, dimana untuk
pencegahannya dapat dianjurkan agar diberikan secara bersamaan dengan
hormone progesterone.
Tindakan skrining juga biasanya ditujukan bagi kelainan pada system
indera, yaitu terutama pada pengkihatan dan pendengaran seperti berikut
ini.
2.7.3.4. Skrining Ketajaman Visus
Skrining katajaman visus dengan tindakan sederhana, yaitu koreksi dengan
ukuran kacamata yang sesuai. Bagi kasus katarak dengan tindakan
ekstraksi lensa tidak saja akan memperbaiki penglihatan, tetapi juga akan
meningkatkan status fungsional dan psikologis. Skrining dengan alat
funduskopi dapat mendeteksi penyakit glaucoma, degenerasi macula, dan
retinopati diabetes. Adapun factor resiko untuk degenerasi macula adalah
adanya riwayat keluarga dan factor merokok.
2.7.3.5. Skrining Pendengaran
Dengan tes bisik membisikkan enam kata-kata dari jarak tertentu ke
telinga pasien serta dari luar lapang pandang. Selanjutnya minta pasien

19
untuk mengulanginya. Cara ini cukup sensitive, dan menurut hasil
penelitian dikatakan mencapai 80% dari hasil yang diperoleh melalui
pemeriksaan dengan alat audioskop. Mengenai pemeriksaan dengan
audioskop, yaitu dihasilkan nada murni pada frekuensi 500, 1.000, 2.000,
dan 4.000 Hz, yaitu pada ambang 25-40 dB.

Bentuk pencegahan ketiga adalah pencegahan tersier. Di sini meliputi


pencegahan terhadap morbiditas dan mortalitas yang timbul akibat penyakit yang
telah ada. Jenis pencegahan ini termasuk tindakan khusus dan tergolong dalam
disiplin ilmu geriatric. Sebagai contoh adalah tindakan rehabilitasi terhadap
penderita lansia, misalnya dengan fraktur panggul agar dapat mengurangi
kecacatan serta kemampuan mereka untuk merawat diri sendiri. Contoh lainya
adalah rehabilitasi pada pasien stroke.
Adapun pencegahan tersier ini lebih dimaksudkan selaku tindakan untuk
peningkatan kesehatan dan bukan semata-mata ditujukan bagi penyakit tertentu.

2.7.4. Penggolongan Skrining Kesehatan


Terdapat 2(dua) golongan skrining, yaitu (1) survey epidemiologi, dan (2)
case finding(pencarian/penemuan kasus). Hal pertama yang dilakukan misalnya
pada penelitian ilmiah ataupun untuk maksud perencanaan program-program
intervensi kesehatan, selanjutnya tidak akan dibahas disini. Sedangkan yang
kedua dapat dilakukan bagi usia lanjut yang secara kebetulan dating berobat atau
sengaja dating untuk keperluan pemeriksaan kesehatan rutin. Tindakan skrining
bertujuan agar sebisa mungkin dan selama mungkin tetap mempertahankan usia
lanjut dalam keadaan yang optimal serta mencegah institusionalisasi (alias tetap
mempertahankannya tinggal dirumah). Dari segi pertimbangan praktis, dapat
dibedakan bahwa untuk periode usia 65-74 tahun, skrining brtujuan untuk dapat
memperpanjang aktivitas fisik, mental social, serta untuk mengurangi
kemungkinan cacat maupun kondisi penyakit yang berlangsung menahun.
Sedangkan untuk periode lebih dari 75 tahun, skrining bertujuan untuk
memperpanjang kemandirian (ADL) secara optimal, mencegah institusionalisasi

20
dan mengurangi ketidaknyamanan maupun stress, terutama bagi kasus-kasus
terminal, serta untuk member dukungan emosional bagi keluarga. Ciri-ciri
skrining kesehatan usia lanjut berdasarkan pengalaman sebaiknya
diselenggarakan selaku kegiatan kelompok, bersifat office-base (yaitu dilakukan
di institusi misalnya di puskesmas) dan mengingat tingkatannya yang sederhana,
cukup bila ditangani oleh kader terlatih (tidak mesti oleh petugas kesehatan
profesional). Penilaian secara lengkap bagi lansia memang pada dasarnya
haruslah bersifat analisis multidisiplin (dengan pendekatan kolaboratif), namun
mengingat keberadaan lansia pada umumnya yang jarang memiliki akses kepada
pengkajian yang menyeluruh seperti itu, maka perlu dipopulerkan skrining secara
sederhana yang dapat dilakukan oleh perawat maupun petugas lainnya ditingkat
lapangan.
Jenis-jenis skrining secara sederhana tersebut dapat digolongkan dalam:
1. Pengkajian faktor lingkungan (dapat dilakukan oleh petugas sosiomedis).
2. Skrining fisik (dapat dilakukan oleh dokter maupun perawat)
3. Skrining kejiwaan (dapat dilakukan oleh dokter/perawat)
4. Skrining ADL (dapat dilakukan oleh dokter/perawat)
Skrining seperti ini pada dasarnya selain bertujuan untuk dapat
menegakkan diagnosis, baik dari segi fisik maupun kejiwaan juga agar
dimungkinkan untuk melakukan tindak lanjut atas temuan yang didapat. Selain
itu, juga memungkinkan untuk dilakukannya tindakan rujukan secara tepat
(kolaborasi).
Untuk pengkajian secara komprehensif ditinjau dari sudut pandang medis
dan keperawatan, pembaca dapat merujuk pada Annex 4,5, dan 6. Namun, disini
akan disajikan pengkajian sederhana yang mencangkup 10 poin seperti yang
dianjurkan oleh Lachs et al. (dalam Geriatri: Darmojo, R.B. dan Martono, 1999)
sebagai berikut.
1. Melakukan test baca koran sebagai modifikasi test snellen berturut-turut pada
mata kiri dan kanan.
2. Melakukan test bisik untuk menilai kemampuan pendengaran berturut-turut
pada telinga kiri dan kanan

21
3. Test fungsi ekstermitas atas dan bawah antara lain dengan cara berjabat
tangan serta meminta lansia untuk bangkit dari duduknya dan berjalan.
4. Test tentang fungsi ADL dan ADL instrumen
5. Mengecek ada tidaknya kontinensia (ngompol atau buang air besar tidak
terasa)
6. Mengecek status gizi melalui pengukran berat dan tinggi badan (IMT)
7. Mengecek kemungkinan depresi dengan menanyakan apakah lansia sering
merasa sedih ,tertekan,was-was, dan khawatir.
8. Mengecek dukungan sosial dengan menanyakan ada tidaknya penanggung
biaya bila lansia memerlukan pengobatan atau keadaan darurat lainnya.
9. Mengecek status kognitif dengan meminta lansia menyebutkan nama 3 objek
tertentu dan mengulanginya sesudah 5 menit.
10. Mengecek kondisi lingkungan dimana lansia berada dengan menanyakan ada
tidaknya bahaya yang dapat mengancam (anak tangga, , tinggi, penerangan
kamar mandi, WC)

2.7.5. Skrining pada Keadaan Khusus Lansia


Di negara maju, skrining pada umumnya ditujukan pada penyakit
kardiovaskuler, keganasan dan cerebravaskular accident (CVA) seperti yang
dijelaskan berikut :
2.7.5.1. Penyakit Hipertensi
Tindakan skrining sangat bermanfaat, baik terhadap hipertensi sistolik
maupun diastolik. Pencegahan akan dapat mengurangi resiko timbulnya
stroke, penyakit jantung, bahkan kematian. Dari hasil studi, ditemukan
bahwa bila 40 orang diobati dalam waktu 5 tahun akan dapat mencegah
satu kejadian stroke, pada hipertensi dilakukan pengkajian secara lengkap
(anamnesa dan pemeriksaan fisik) , skrining atau tes saringan. Hal yang
perlu dilakukan disini adalah pengukuran tekanan darah. Sebagai patokan
diambil batas normal tekanan darah bagi lansia adalah (1) tekanan sistolik
120-160mmHg, dan (2) tekanan diastolic sekitar 90mmHg. Pengukuran
tekanan darah pada lansia sebaiknya dilakukan dalam keadaan berbaring,

22
duduk, dan berdiri dengan selang beberapa waktu, yaitu untuk mengetahui
kemungkinan adanya hipertensi ortostatik.
2.7.5.2. Penyakit Jantung
Selain pengkajian secara lengkap (anamnesis dan pemeriksaan fisik),
skrining yang perlu dilakukan pada lansia dengan dugaan kelainan jantung
antara lain pemeriksaan EKG, treadmill, dan foto thoraks.
2.7.5.3. Penyakit Ginjal
Selain pengkajian secara lengkap (anamnesis dan pemeriksaan fisik),
skrining yang perlu dilakukan pada lansia dengan dugaan kelainan ginjal
adalah pemeriksaan laboratorium tes fungsi ginjal dan foto IVP.
2.7.5.4. Diabetes Melitus
Selain pengkajian secara lengkap (anamnesis dan pemeriksaan fisik),
skrining yang perlu dilakukan pada lansia dengan dugaan diabetes antara
lain pemeriksaan reduksi urine, pemeriksaan kadar gula darah, dan
funduskopi.
2.7.5.5. Gangguan Mental
Selain pengkajian secara lengkap (anamnesis dan pemeriksaan fisik),
skrining yang perlu dilakukan pada lansia dengan dugaan gangguan mental
antara lain pemeriksaan status mental dan tes fungsi kognitif. Biasanya
telah dapat dibedakan apakah terdapat kelainan mental seperti depresi,
delirium, atau demensia.

23
SIMPULAN
Untuk mencapai pelayanan yang efektif maka perawat, dokter dan tim kesehatan harus
berkolaborasi satu dengan yang lainnya. Tidak ada kelompok yang dapat menyatakan
lebih berkuasa diatas yang lainnya. Masing-masing profesi memiliki kompetensi
profesional yang berbeda sehingga ketika digabungkan dapat menjadi kekuatan untuk
mencapai tujuan yang diharapkan. Banyaknya faktor yang berpengaruh seperti
kerjasama, sikap saling menerima, berbagi tanggung jawab, komunikasi efektif sangat
menentukan bagaimana suatu tim berfungsi. Kolaborasi yang efektif antara anggota tim
kesehatan memfasilitasi terselenggaranya pelayanan pasien yang berkualitas. Skrining
atau penyaringan kasus adalah cara untuk mengidentifikasi penyakit yang belum tampak
melalui suatu tes atau pemeriksaan atau prosedur lain yang dapat dengan cepat
memisahkan antara orang yang mungkin menderita penyakit dengan orang yang mungkin
tidak menderita.

Sehingga skrining ini dilakukan yaitu karena hal berikut ini: sebagai langkah
pencegahan khususnya Early diagnosis dan promotif treatment. Banyaknya penyakit
yang tanpa gejala klinis. Penderita mencari pengobatan setelah studi lanjut. Penderita
tanpa gejala mempunyai potensi untuk menularkan penyakit.

24
DAFTAR REFERENSI
Berger, J. Karen and Williams. 1999. Fundamental Of Nursing; Collaborating for
Optimal Health, Second Editions. Apleton and Lange. Prenticehall. USA
Dochterman , Joanne McCloskey PhD, RN, FAAN. 2001 Current Issue in Nursing. 6th
Editian . Mosby Inc.USA
Sitorus, Ratna, DR, S.Kp, M.App.Sc. 2006. Model Praktik Keperawatan Profesional di
Rumah Sakit : Penataan Struktur dan Proses (Sistem) Pemberian Asuhan
Keperawatan di Ruang Rawat. EGC. Jakarta
Siegler, Eugenia L, MD and Whitney Fay W, PhD, RN., FAAN , alih bahasa Indraty
Secillia, 2000. Kolaborasi Perawat-Dokter ; Perawatan Orang Dewasa dan Lansia,
EGC. Jakarta
www. Nursingworld. 1998.: Collaborations and Independent Practice: Ongoing Issues for
Nursing.
www. Kompas.com/kompas-cetak/ 2001. Diskusi Era Baru: Perawat Ingin Jadi Mitra
Dokter.
www.pikiran-rakyat.com/cetak. 2002 : Hak dan Kewajiban Rumah Sakit. www.
nursingworld. Sieckert. 2005 Nursing - Physician workplace Collaboration.
www.nursingworld. Canon. 2005. New Horizons for Collaborative Partnership.
www. Nursingworld. Gardner. 2005. Ten Lessons in Collaboration.
DAFTAR PUSTAKA

Anderson, Elizabeth T.2006.Keperawata Komunitas Teori dan Praktik.Jakarta: EGC

Gunadarma, elearning. 2013. Epidemiologi K ebidanan Skrining. Available:


http://elearning.gunadarma.ac.id/docmodul/epidemiologi_kebidanan/bab6-skrinning.pdf.
Diakses pada 19Maret 2015

Hidayat, Aepnurul. 2014. Skrining Keseha tan. Available:


https://aepnurulhidayat.wordpress.com/2014/03/19/skrining-kesehatan/. Diakses pada 19
Maret 2015

Ikhwan. 2014. Konsep Dasar Skrining. Available:


http://ikhwan554.blogspot.com/2010/03/konsep-dasar-screening.html. Diakses pada 19
Maret 2015.

Mubarak,Wahit Iqbal. 2009. Pengantar Keperawatan Komunitas 2. Jakarta: Salemba


Medika

25

You might also like