You are on page 1of 39

LAPORAN PENDAHULUAN

DENGAN KASUS CHRONIC KIDNEY DISEASE (CKD) DENGAN


ANEMIA

DI RUANG HEMODIALISA RSU Dr. SAIFUL ANWAR MALANG

OLEH

AYU ARI KRISTANTI

146410074

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN

INSAN CENDEKIA MEDIKA

JOMBANG

2014/201
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan pendahuluan dan asuhan keperawatan dengan masalah Chronic Kidney


Disease (CKD) dengan Anemia di Ruang Hemodialisa RS.Dr. Saiful Anwar
Malang. Di susun sebagai syarat pemenuhan Praktika Keperawatan Medikal
Bedah Program Pendidikan Profesi Ners STIKES Insan Cendikia Medika
Jombang. Laporan Pendahuluan ini telah disahkan dan di teliti pada:
Hari :

Tanggal :

Mahasiswa

Mengetahui

Pembimbing Akademik Pembimbing Ruangan

Kepala Ruangan
LAPORAN PENDAHULUAN

CHRONIC KIDNEY DISEASE (CKD)

1. Konsep Dasar
1.1 Pengertian
Gagal ginjal kronik atau penyakit renal tahap akhir (ESRD)
merupakan gangguan fungsi renal yang progresif dan irreversible dimana
kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan
keseimbangan cairan dan elektrolit, menyebabkan uremia (retensi urea dan
sampah nitrogen lain dalam darah) (Brunner & Suddarth, 2001).
Gagal Ginjal Kronik (GGK) adalah penurunan fungsi ginjal yang
bersifat persisten dan irreversible. Sedangkan gangguan fungsi ginjal
yaitu penurunan laju filtrai glomerulus yang daspat digolongkan dalam
kategori ringan, sedang dan berat (Mansjoer, 2007).
CRF (Chronic Renal Failure) merupakan gangguan fungsi ginjal yang
progresif dan irreversible, yang menyebabkan kemampuan tubuh gagal
untuk mempetahankan metabolisme dan keseimbangan cairan maupun
elektrolit, sehingga timbul gejala uremia yaitu retensi urea dan sampah
nitrogen lain dalam darah (Smeltzer, 2001).
1.2 Klasifikasi CKD
Gagal ginjal kronik / Cronoic Renal Failure (CRF) dibagi 3 stadium :
a. Stadium I : Penurunan cadangan ginjal
1. Kreatinin serum dan kadar BUN normal
2. Asimptomatik
3. Tes beban kerja pada ginjal: pemekatan kemih, tes GFR
b. Stadium II : Insufisiensi ginja
1. Kadar BUN meningkat (tergantung pada kadar protein dalam diet)
2. Kadar kreatinin serum meningkat
3. Nokturia dan poliuri (karena kegagalan pemekatan)
Ada 3 derajat insufisiensi ginjal:
1. Ringan
40% - 80% fungsi ginjal dalam keadaan normal
2. Sedang
15% - 40% fungsi ginjal normal
3. Kondisi berat
2% - 20% fungsi ginjal normal
c. Stadium III: gagal ginjal stadium akhir atau uremia
1. kadar ureum dan kreatinin sangat meningkat
2. ginjal sudah tidak dapat menjaga homeostasis cairan dan elektrolit
3. air kemih/ urin isoosmotis dengan plasma, dengan BJ 1,010
GFR / LFG dapat dihitung dengan formula Cockcroft-Gault:
1. Stadium 1 : kelainan pada ginjal yang ditandai dengan albuminaria
persisten dan LFG yang masih normal (>90ml/menit/1,73m2)
2. Stadium 2 : kelainan pada ginjal yang ditandai dengan albuminaria
persisten dan LFG antara 60-89ml/menit/1,73m2
3. Stadium 1 : kelainan pada ginjal LFG antara 30-
59ml/menit/1,73m2
4. Stadium 1 : kelainan pada ginjal LFG antara 15-29ml/menit/1,73m2
5. Stadium 1 : kelainan pada ginjal LFG < 15ml/menit/1,73m2 pada
gagal ginjal terminal
Nilai normal :
Laki-laki : 97 - 137 mL/menit/1,73 m3 atau 0,93 - 1,32 mL/detik/m2
Wanita : 88-128 mL/menit/1,73 m3 atau 0,85 - 1,23 mL/detik/m2

1.3 Etiologi
Gagal ginjal kronik terjadi setelah berbagai macam penyakit yang
merusak nefron ginjal. Sebagian besar merupakan penyakit parenkim
ginjal difus dan bilateral.
1. Infeksi, misalnya Pielonefritis kronik.
2. Penyakit peradangan, misalnya Glomerulonefritis.
3. Penyakit vaskuler hipertensif, misalnya Nefrosklerosis benigna,
nefrosklerosis maligna, stenosis arteri renalis.
4. Gangguan jaringan penyambung, seperti lupus eritematosus
sistemik (SLE), poli arteritis nodosa, sklerosis sistemik progresif.
5. Gangguan kongenital dan herediter, misalnya Penyakit ginjal
polikistik, asidosis tubuler ginjal.
6. Penyakit metabolik, seperti DM, gout, hiperparatiroidisme,
amiloidosis.
7. Nefropati toksik, misalnya Penyalahgunaan analgetik, nefropati
timbale.
8. Nefropati obstruktif

1.4 Manifestasi Klinis Sindrom Uremik


Sistem Tubuh Manifestasi
Biokimia Asidosis Metabolik (HCO3 serum 18-20 mEq/L)
Azotemia (penurunan GFR, peningkatan BUN,
kreatinin)
Hiperkalemia
Retensi atau pembuangan Natrium
Hipermagnesia
Hiperurisemia
Perkemihan& Kelamin Poliuria, menuju oliguri lalu anuria
Nokturia, pembalikan irama diurnal
Berat jenis kemih tetap sebesar 1,010
Protein silinder
Hilangnya libido, amenore, impotensi dan sterilitas
Kardiovaskular Hipertensi
Retinopati dan enselopati hipertensif
Beban sirkulasi berlebihan
Edema
Gagal jantung kongestif
Perikarditis (friction rub)
Disritmia
Pernafasan Pernafasan Kusmaul, dispnea
Edema paru
Pneumonitis
Hematologik Anemia menyebabkan kelelahan
Hemolisis
Kecenderungan perdarahan
Menurunnya resistensi terhadap infeksi (ISK,
pneumonia,septikemia)
Kulit Pucat, pigmentasi
Perubahan rambut dan kuku (kuku mudah patah, tipis,
bergerigi, ada garis merah biru yang berkaitan
dengan kehilangan protein)
Pruritus
kristal uremik
kulit kering
memar
Saluran cerna Anoreksia, mual muntah menyebabkan penurunan BB
Nafas berbau amoniak
Rasa kecap logam, mulut kering
Stomatitis, parotitid
Gastritis, enteritis
Perdarahan saluran cerna
Diare
Metabolisme Protein-intoleransi, sintesisi abnormal
intermedier Karbohidrat-hiperglikemia, kebutuhan insulin
menurun
Lemak-peninggian kadar trigliserida
Neuromuskular Mudah lelah
Otot mengecil dan lemah
Susunan saraf pusat :
Penurunan ketajaman mental
Konsentrasi buruk
Apati
Letargi/gelisah, insomnia
Kekacauan mental
Koma
Otot berkedut, asteriksis, kejang
Neuropati perifer :
Konduksi saraf lambat, sindrom restless leg
Perubahan sensorik pada ekstremitas parestesi
Perubahan motorik foot drop yang berlanjut menjadi
paraplegi
Gangguan kalsium dan
Hiperfosfatemia, hipokalsemia
rangka Hiperparatiroidisme sekunder
Osteodistropi ginjal
Fraktur patologik (demineralisasi tulang)
Deposit garam kalsium pada jaringan lunak (sekitar
sendi, pembuluh darah, jantung, paru-paru)
Konjungtivitis (uremik mata merah)
1.5 Patofisiologi
Pada waktu terjadi kegagalan ginjal sebagian nefron (termasuk
glomerulus dan tubulus) diduga utuh sedangkan yang lain rusak (hipotesa
nefron utuh). Nefron-nefron yang utuh hipertrofi dan memproduksi
volume filtrasi yang meningkat disertai reabsorpsi walaupun dalam
keadaan penurunan GFR / daya saring. Metode adaptif ini memungkinkan
ginjal untuk berfungsi sampai dari nefronnefron rusak. Beban bahan
yang harus dilarut menjadi lebih besar daripada yang bisa direabsorpsi
berakibat diuresis osmotik disertai poliuri dan haus. Selanjutnya karena
jumlah nefron yang rusak bertambah banyak oliguri timbul disertai retensi
produk sisa. Titik dimana timbulnya gejala-gejala pada pasien menjadi
lebih jelas dan muncul gejala-gejala khas kegagalan ginjal bila kira-kira
fungsi ginjal telah hilang 80% - 90%. Pada tingkat ini fungsi renal yang
demikian nilai kreatinin clearance turun sampai 15 ml/menit atau lebih
rendah itu.
Fungsi renal menurun, produk akhir metabolisme protein (yang
normalnya diekskresikan ke dalam urin) tertimbun dalam darah. Terjadi
uremia dan mempengaruhi setiap sistem tubuh. Semakin banyak timbunan
produk sampah, akan semakin berat.
1. Gangguan Klirens Ginjal
Banyak masalah muncul pada gagal ginjal sebagai akibat dari
penurunan jumlah glomeruli yang berfungsi, yang menyebabkan
penurunan klirens substansi darah yang sebenarnya dibersihkan oleh
ginjal. Penurunan laju filtrasi glomerulus (GFR) dapat dideteksi
dengan mendapatkan urin 24-jam untuk pemeriksaan klirens kreatinin.
Menurut filtrasi glomerulus (akibat tidak berfungsinya glomeruli)
klirens kreatinin akan menurunkan dan kadar kreatinin akan
meningkat. Selain itu, kadar nitrogen urea darah (BUN) biasanya
meningkat. Kreatinin serum merupakan indicator yang paling sensitif
dari fungsi karena substansi ini diproduksi secara konstan oleh tubuh.
BUN tidak hanya dipengaruhi oleh penyakit renal, tetapi juga oleh
masukan protein dalam diet, katabolisme (jaringan dan luka RBC), dan
medikasi seperti steroid.
2. Retensi Cairan dan Ureum
Ginjal juga tidakmampu untuk mengkonsentrasi atau
mengencerkan urin secara normal pada penyakit ginjal tahap akhir,
respon ginjal yang sesuai terhadap perubahan masukan cairan dan
elektrolit sehari-hari, tidak terjadi. Pasien sering menahan natrium dan
cairan, meningkatkan resiko terjadinya edema, gagal jantung kongestif,
dan hipertensi. Hipertensi juga dapat terjadi akibat aktivasi aksis
rennin angiotensin dan kerja sama keduanya meningkatkan sekresi
aldosteron. Pasien lain mempunyai kecenderungan untuk kwehilangan
garam, mencetuskan resiko hipotensi dan hipovolemia. Episode
muntah dan diare menyebabkan penipisan air dan natrium, yang
semakin memperburuk status uremik.
3. Asidosis
Dengan semakin berkembangnya penyakit renal, terjadi asidosis
metabolic seiring dengan ketidakmampuan ginjal mengekskresikan
muatan asam (H+) yang berlebihan. Penurunan sekresi asam terutama
akibat ketidakmampuan tubulus gjnjal untuk menyekresi ammonia
(NH3) dan mengabsopsi natrium bikarbonat (HCO3) . penurunan
ekskresi fosfat dan asam organic lain juga terjadi
4. Anemia
Sebagai akibat dari produksi eritropoetin yang tidak adekuat,
memendeknya usia sel darah merah, defisiensi nutrisi dan
kecenderungan untuk mengalami perdarahan akibat status uremik
pasien, terutama dari saluran gastrointestinal. Pada gagal ginjal,
produksi eritropoetin menurun dan anemia berat terjadi, disertai
keletihan, angina dan sesak napas.
5. Ketidakseimbangan Kalsium dan Fosfat
Abnormalitas yang utama pada gagal ginjal kronis adalah
gangguan metabolisme kalsium dan fosfat. Kadar serum kalsium dan
fosfat tubuh memiliki hubungan saling timbal balik, jika salah satunya
meningkat, maka yang satu menurun. Dengan menurunnya filtrasi
melalui glomerulus ginjal, terdapat peningkatan kadar serum fosfat dan
sebaliknya penurunan kadar serum kalsium. Penurunan kadar kalsium
serum menyebabkan sekresi parathormon dari kelenjar paratiroid.
Namun, pada gagal ginjal tubuh tak berespon secara normal terhadap
peningkatan sekresi parathormon dan mengakibatkan perubahan pada
tulang dan pebyakit tulang. Selain itu juga metabolit aktif vitamin D
(1,25-dehidrokolekalsiferol) yang secara normal dibuat di ginjal
menurun.
6. Penyakit Tulang Uremik
Disebut Osteodistrofi renal, terjadi dari perubahan kompleks
kalsium, fosfat dan keseimbangan parathormon.
1.6 WOC
1.7 Komplikasi
1. Hiperkalemia akibat penurunana ekskresi, asidosis metabolic,
katabolisme dan masukan diet berlebih.
2. Perikarditis, efusi pericardial, dan tamponade jantung akibat retensi
produk sampah uremik dan dialysis yang tidak adekuat
3. Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi system
rennin-angiotensin-aldosteron
4. Anemia akibat penurunan eritropoetin, penurunan rentang usia sel
darah merah, perdarahan gastrointestinal akibat iritasi toksin dna
kehilangan drah selama hemodialisa
5. Penyakit tulang serta kalsifikasi metastatik akibat retensi fosfat, kadar
kalsium serum yang rendah dan metabolisme vitamin D abnormal.
6. Asidosis metabolic
7. Osteodistropi ginjal
8. Sepsis
9. Neuropati perifer
10. Hiperuremia
11. Hipernatremia
1.8 Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium
a. Pemeriksaan penurunan fungsi ginjal
Ureum kreatinin
Asam urat serum.
b. Identifikasi etiologi gagal ginjal
Analisis urin rutin
Mikrobiologi urin
Kimia darah
Elektrolit
Imunodiagnosis
c. Identifikasi perjalanan penyakit
Progresifitas penurunan fungsi ginjal
Ureum kreatinin, Clearens Creatinin Test (CCT)
GFR / LFG dapat dihitung dengan formula Cockcroft-Gault
Hemopoesis : Hb, trobosit, fibrinogen, factor pembekuan
Elektrolit : Na+, K+, HCO3-, Ca2+, PO42-, Mg+
Endokrin : PTH dan T3,T4
Pemeriksaan lain: berdasarkan indikasi terutama faktor
pemburuk ginjal, misalnya: infark miokard.
2. Diagnostik
a. Etiologi CKD dan terminal
Foto polos abdomen.
USG.
Nefrotogram.
Pielografi retrograde.
Pielografi antegrade.
Mictuating Cysto Urography (MCU).
b. Diagnosis pemburuk fungsi ginjal
RetRogram
USG.
1.9 Penatalaksanaan Medis
1. Terapi Konservatif
Perubahan fungsi ginjal bersifat individu untuk setiap klien Cronic
renal Desease (CKD) dan lama terapi konservatif bervariasi dari bulan
sampai tahun.
Tujuan terapi konservatif :
a. Mencegah memburuknya fungsi ginjal secara profresi.
b. Meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksi asotemia.
c. Mempertahankan dan memperbaiki metabolisme secara optimal.
d. Memelihara keseimbangan cairan dan elektrolit
Prinsip terapi konservatif :
a. Mencegah memburuknya fungsi ginjal.
1. Hati-hati dalam pemberian obat yang bersifat nefrotoksik
2. Hindari keadaan yang menyebabkan diplesi volume cairan
ekstraseluler dan hipotensi.
3. Hindari gangguan keseimbangan elektrolit.
4. Hindari pembatasan ketat konsumsi protein hewani.
5. Hindari proses kehamilan dan pemberian obat kontrasepsi.
6. Hindari instrumentasi dan sistoskopi tanpa indikasi medis yang
kuat.
7. Hindari pemeriksaan radiologis dengan kontras yang kuat tanpa
indikasi medis yang kuat.
b. Pendekatan terhadap penurunan fungsi ginjal progresif lambat
1. Kendalikan hipertensi sistemik dan intraglomerular.
2. Kendalikan terapi ISK.
3. Diet protein yang proporsional.
4. Kendalikan hiperfosfatemia.
5. Terapi hiperurekemia bila asam urat serum > 10mg%.
6. Terapi hIperfosfatemia.
7. Terapi keadaan asidosis metabolik.
8. Kendalikan keadaan hiperglikemia.
c. Terapi alternatif gejala asotemia
1. Pembatasan konsumsi protein hewani.
2. Terapi keluhan gatal-gatal.
3. Terapi keluhan gastrointestinal.
4. Terapi keluhan neuromuskuler.
5. Terapi keluhan tulang dan sendi.
6. Terapi anemia.
7. Terapi setiap infeksi.
2. Terapi simtomatik
a. Asidosis metabolik
1. Jika terjadi harus segera dikoreksi, sebab dapat meningkatkan
serum K+ (hiperkalemia ) :
a. Suplemen alkali dengan pemberian kalsium karbonat 5
mg/hari.
b. Terapi alkali dengan sodium bikarbonat IV, bila PH < atau
sama dengan 7,35 atau serum bikarbonat < atau sama
dengan 20 mEq/L.
b. Anemia
1. Anemia Normokrom normositer
Berhubungan dengan retensi toksin polyamine dan defisiensi
hormon eritropoetin (ESF: Eritroportic Stimulating Faktor).
Anemia ini diterapi dengan pemberian Recombinant Human
Erythropoetin ( r-HuEPO ) dengan pemberian 30-530 U per kg
BB.
2. Anemia hemolisis
Berhubungan dengan toksin asotemia. Terapi yang dibutuhkan
adalah membuang toksin asotemia dengan hemodialisis atau
peritoneal dialisis.
3. Anemia Defisiensi Besi
Defisiensi Fe pada CKD berhubungan dengan perdarahan
saluran cerna dan kehilangan besi pada dialiser ( terapi
pengganti hemodialisis ). Klien yang mengalami anemia,
tranfusi darah merupakan salah satu pilihan terapi alternatif
,murah dan efektif, namun harus diberikan secara hati-hati.
Indikasi tranfusi PRC pada klien gagal ginjal :
a) HCT < atau sama dengan 20 %
b) Hb < atau sama dengan 7 mg5
c) Klien dengan keluhan : angina pektoris, gejala umum
anemia dan high output heart failure.
Komplikasi tranfusi darah :
a). Hemosiderosis
b). Supresi sumsum tulang
c). Bahaya overhidrasi, asidosis dan hiperkalemia
d). Bahaya infeksi hepatitis virus dan CMV
e). Pada Human Leukosite antigen (HLA) berubah, penting
untuk rencana transplantasi ginjal.
c. Kelainan Kulit
1. Pruritus (uremic itching)
Keluhan gatal ditemukan pada 25% kasus CKD dan terminal,
insiden meningkat pada klien yang mengalami HD.
Keluhan :
a) Bersifat subyektif
b) Bersifat obyektif : kulit kering, prurigo nodularis,
keratotic papula dan lichen symply
Beberapa pilihan terapi :
a) Mengendalikan hiperfosfatemia dan hiperparatiroidisme
b) Terapi lokal : topikal emmolient ( tripel lanolin )
c) Fototerapi dengan sinar UV-B 2x perminggu selama 2-6 mg,
terapi ini bisa diulang apabila diperlukan
d) Pemberian obat
Diphenhidramine 25-50 P.O
Hidroxyzine 10 mg P.O
2. Easy Bruishin
Kecenderungan perdarahan pada kulit dan selaput serosa
berhubungan denga retensi toksin asotemia dan gangguan fungsi
trombosit. Terapi yang diperlukan adalah tindakan dialisis.
d. Kelainan Neuromuskulas
Terapi pilihannya :
a) HD reguler.
b) Obat-obatan : Diasepam, sedatif.
c) Operasi sub total paratiroidektomi.
e. Hipertensi
Bentuk hipertensi pada klien dengan GG berupa : volum dependen
hipertensi, tipe vasokonstriksi atau kombinasi keduanya. Program
terapinya meliputi :
a) Restriksi garam dapur.
b) Diuresis dan Ultrafiltrasi.
c) Obat-obat antihipertensi.
3. Terapi pengganti
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium
5, yaitu pada LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat
berupa hemodialisis, dialisis peritoneal, dan transplantasi ginjal
(Suwitra, 2006).
1. Dialisis yang meliputi :
a) Hemodialisa
Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk
mencegah gejala toksik azotemia, dan malnutrisi. Tetapi terapi
dialisis tidak boleh terlalu cepat pada pasien GGK yang belum
tahap akhir akan memperburuk faal ginjal (LFG). Secara khusus,
indikasi HD adalah
1. Pasien yang memerlukan hemodialisa adalah pasien GGK dan
GGA untuk sementara sampai fungsi ginjalnya pulih.
2. Pasien-pasien tersebut dinyatakan memerlukan hemodialisa
apabila terdapat indikasi:
Hiperkalemia > 17 mg/lt
Asidosis metabolik dengan pH darah < 7.2
Kegagalan terapi konservatif
Kadar ureum > 200 mg % dan keadaan gawat pasien uremia,
asidosis metabolik berat, hiperkalemia, perikarditis, efusi,
edema paru ringan atau berat atau kreatinin tinggi dalam
darah dengan nilai kreatinin > 100 mg %
Kelebihan cairan
Mual dan muntah hebat
BUN > 100 mg/ dl (BUN = 2,14 x nilai ureum )
Preparat (gagal ginjal dengan kasus bedah )
Sindrom kelebihan air
Intoksidasi obat jenis barbiturat
Indikasi tindakan terapi dialisis, yaitu indikasi absolut dan
indikasi elektif. Beberapa yang termasuk dalam indikasi
absolut, yaitu perikarditis, ensefalopati/ neuropati azotemik,
bendungan paru dan kelebihan cairan yang tidak responsif
dengan diuretik, hipertensi berat, muntah persisten,
dan Blood Uremic Nitrogen (BUN) > 120 mg% atau >
40 mmol per liter dan kreatinin > 10 mg% atau > 90 mmol
perliter. Indikasi elektif, yaitu LFG antara 5 dan 8
mL/menit/1,73m, mual, anoreksia, muntah, dan astenia berat
(Sukandar, 2006.
b) Transplantasi ginjal atau cangkok ginjal.
Transplantasi ginjal merupakan terapi pengganti ginjal
(anatomi dan faal). Pertimbangan program transplantasi ginjal,
yaitu:
1. Cangkok ginjal (kidney transplant) dapat mengambil alih
seluruh (100%) faal ginjal, sedangkan hemodialisis hanya
mengambil alih 70-80% faal ginjal alamiah
2. Kualitas hidup normal kembali
3. Masa hidup (survival rate) lebih lama
4. Komplikasi (biasanya dapat diantisipasi) terutama
berhubungan dengan obat imunosupresif untuk mencegah
reaksi penolakan
5. Biaya lebih murah dan dapat dibatasi
2. Konsep dasar Anemia
2.1 Pengertian
Anemia adalah suatu kondisi dimana terjadi penurunan kadar
hemoglobin (Hb) atau sel darah merah (eritrosit) sehingga
menyebabkan penurunan kapasitas sel darah merah dalam membawa
oksigen (Badan POM, 2011)
Anemia didefinisikan sebagai penurunan volume eritrosit atau
kadar Hb sampai di bawah rentang nilai yang berlaku untuk orang
sehat. Anemia adalah gejala dari kondisi yang mendasari, seperti
kehilangan komponen darah, elemen tidak adekuat atau kurang nutrisi
yang dibutuhkan untuk pembentukan sel darah, yang mengakibatkan
penurunan kapasitas pengangkut oksigen darah dan ada banyak tipe
anemia dengan beragam penyebabnya.(Marilyn E, Doenges, Jakarta,
2002)
Anemia adalah keadaan dimana jumlah sel darah merah atau
konsentrasi hemoglobin turun dibawah normal.(Wong, 2003)

2.2 Klasifikasi anemia

Klasifikasi berdasarkan pendekatan fisiologis:

1. Anemia hipoproliferatif, yaitu anemia defisiensi jumlah sel darah


merah disebabkan oleh defek produksi sel darah merah, meliputi:
a. Anemia aplastik
Penyebab:
agen neoplastik/sitoplastik
terapi radiasi
antibiotic tertentu
obat antu konvulsan, tyroid, senyawa emas, fenilbutason
benzene
infeksi virus (khususnya hepatitis)
Gejala-gejala:
Gejala anemia secara umum (pucat, lemah, dll)
Defisiensi trombosit: ekimosis, petekia, epitaksis, perdarahan
saluran cerna, perdarahan saluran kemih, perdarahan susunan
saraf pusat.
Morfologis: anemia normositik normokromik

b. Anemia pada penyakit ginjal

Gejala-gejala:

Nitrogen urea darah (BUN) lebih dari 10 mg/dl


Hematokrit turun 20-30%
Sel darah merah tampak normal pada apusan darah tepi
Penyebabnya adalah menurunnya ketahanan hidup sel darah
merah maupun defisiensi eritopoitin
c. Anemia pada penyakit kronis

Berbagai penyakit inflamasi kronis yang berhubungan dengan


anemia jenis normositik normokromik (sel darah merah dengan
ukuran dan warna yang normal). Kelainan ini meliputi artristis
rematoid, abses paru, osteomilitis, tuberkolosis dan berbagai
keganasan

d. Anemia defisiensi besi

Penyebab:

Asupan besi tidak adekuat, kebutuhan meningkat selama hamil,


menstruasi
Gangguan absorbsi (post gastrektomi)
Kehilangan darah yang menetap (neoplasma, polip, gastritis,
varises oesophagus, hemoroid, dll.)
Gejala-gejalanya:

Atropi papilla lidah


Lidah pucat, merah, meradang
Stomatitis angularis, sakit di sudut mulut
Morfologi: anemia mikrositik hipokromik

e. Anemia megaloblastik

Penyebab:

Defisiensi defisiensi vitamin B12 dan defisiensi asam folat


Malnutrisi, malabsorbsi, penurunan intrinsik faktor
Infeksi parasit, penyakit usus dan keganasan, agen
kemoterapeutik, infeksi cacing pita, makan ikan segar yang
terinfeksi, pecandu alkohol.

2. Anemia hemolitika, yaitu anemia defisiensi jumlah sel darah merah


disebabkan oleh destruksi sel darah merah:

Pengaruh obat-obatan tertentu


Penyakit Hookin, limfosarkoma, mieloma multiple, leukemia limfositik
kronik
Defisiensi glukosa 6 fosfat dihidrigenase
Proses autoimun
Reaksi transfusi
Malaria
Pembagian derajat anemia menurut WHO dan NCI (National Cancer Institute)

DERAJAT WHO NCI

Derajat 0 (nilai normal) > 11.0 g/dL Perempuan 12.0 - 16.0 g/dL

Laki-laki 14.0 - 18.0 g/dL

Derajat 1 (ringan) 9.5 - 10.9 g/dL 10.0 g/dL - nilai normal

Derajat 2 (sedang) 8.0 - 9.4 g/dL 8.0 - 10.0 g/dL

Derajat 3 (berat) 6.5 - 7.9 g/dL 6.5 - 7.9 g/dL

Derajat 4 (mengancam jiwa) < 6.5 g/dL < 6.5 g/dL

2.3 Etiologi
1. Hemolisis (eritrosit mudah pecah)
2. Perdarahan
3. Penekanan sumsum tulang (misalnya oleh kanker)
4. Defisiensi nutrient (nutrisional anemia), meliputi defisiensi besi, folic
acid, piridoksin, vitamin C dan copper

Menurut Badan POM (2011), Penyebab anemia yaitu:

1. Kurang mengkonsumsi makanan yang mengandung zat besi, vitamin


B12, asam folat, vitamin C, dan unsur-unsur yang diperlukan untuk
pembentukan sel darah merah.

2. Darah menstruasi yang berlebihan. Wanita yang sedang menstruasi


rawan terkena anemia karena kekurangan zat besi bila darah
menstruasinya banyak dan dia tidak memiliki cukup persediaan zat
besi.

3. Kehamilan. Wanita yang hamil rawan terkena anemia karena janin


menyerap zat besi dan vitamin untuk pertumbuhannya.
4. Penyakit tertentu. Penyakit yang menyebabkan perdarahan terus-
menerus di saluran pencernaan seperti gastritis dan radang usus buntu
dapat menyebabkan anemia.

5. Obat-obatan tertentu. Beberapa jenis obat dapat menyebabkan


perdarahan lambung (aspirin, anti infl amasi, dll). Obat lainnya dapat
menyebabkan masalah dalam penyerapan zat besi dan vitamin
(antasid, pil KB, antiarthritis, dll).

6. Operasi pengambilan sebagian atau seluruh lambung (gastrektomi).


Ini dapat menyebabkan anemia karena tubuh kurang menyerap zat
besi dan vitamin B12.

7. Penyakit radang kronis seperti lupus, arthritis rematik, penyakit ginjal,


masalah pada kelenjar tiroid, beberapa jenis kanker dan penyakit
lainnya dapat menyebabkan anemia karena mempengaruhi proses
pembentukan sel darah merah.

8. Pada anak-anak, anemia dapat terjadi karena infeksi cacing tambang,


malaria, atau disentri yang menyebabkan kekurangan darah yang
parah.

2.4 Tanda gejala


1. Lemah, letih, lesu dan lelah
2. Sering mengeluh pusing dan mata berkunang-kunang
3. Gejala lanjut berupa kelopak mata, bibir, lidah, kulit dan telapak
tangan menjadi pucat.Pucat oleh karena kekurangan volume darah
dan Hb, vasokontriksi
4. Takikardi dan bising jantung (peningkatan kecepatan aliran darah)
Angina (sakit dada)
5. Dispnea, nafas pendek, cepat capek saat aktifitas (pengiriman O2
berkurang)
6. Sakit kepala, kelemahan, tinitus (telinga berdengung)
menggambarkan berkurangnya oksigenasi pada SSP
7. Anemia berat gangguan GI dan CHF (anoreksia, nausea, konstipasi
atau diare.
2.5 Komplikasi
1. Komplikasi umum akibat anemia adalah:gagal jantung
2. Kejang
3. Perkembangan otot buruk ( jangka panjang )
4. Daya konsentrasi menurun
5. Kemampuan mengolah informasi yang didengar menurun
2.6 Pemeriksaan penunjang

1. Kadar Hb, hematokrit, indek sel darah merah, penelitian sel darah
putih, kadar Fe, pengukuran kapasitas ikatan besi, kadar folat, vitamin
B12, hitung trombosit, waktu perdarahan, waktu protrombin, dan
waktu tromboplastin parsial.

2. Aspirasi dan biopsy sumsum tulang. Unsaturated iron-binding


capacity serum

3. Pemeriksaan diagnostic untuk menentukan adanya penyakit akut dan


kronis serta sumber kehilangan darah kronis.

2.7 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan anemia ditujukan untuk mencari penyebab dan mengganti
darah yang hilang:
1. Anemia aplastik:
Transplantasi sumsum tulang
Pemberian terapi imunosupresif dengan globolin
antitimosit(ATG)
2. Anemia pada penyakit ginjal
Pada paien dialisis harus ditangani denganpemberian besi
dan asam folat
Ketersediaan eritropoetin rekombinan
Anemia pada penyakit kronis
Kebanyakan pasien tidak menunjukkan gejala dan tidak
memerlukan penanganan untuk aneminya, dengan
keberhasilan penanganan kelainan yang mendasarinya, besi
sumsum tulang dipergunakan untuk membuat darah,
sehingga Hb meningkat.
3. Anemia pada defisiensi besi
Dicari penyebab defisiensi besi
Menggunakan preparat besi oral: sulfat feros, glukonat
ferosus dan fumarat ferosus.
4. Anemia megaloblastik
Defisiensi vitamin B12 ditangani dengan pemberian
vitamin B12, bila difisiensi disebabkan oleh defekabsorbsi
atau tidak tersedianya faktor intrinsik dapat diberikan
vitamin B12 dengan injeksi IM.
Untuk mencegah kekambuhan anemia terapi vitamin B12
harus diteruskan selama hidup pasien yang menderita
anemia pernisiosa atau malabsorbsi yang tidak dapat
dikoreksi.
Anemia defisiensi asam folat penanganannya dengan diet
dan penambahan asam folat 1 mg/hari, secara IM pada
pasien dengan gangguan absorbsi.
3. Konsep dasar Hemodialisa

3.1 Pengertian
Hemodialisis adalah pengalihan darah pasien dari tubuhnya melalui
dialiser yang terjadi secara difusi dan ultrafiltrasi, kemudian darah kembali
lagi ke dalam tubuh pasien. Hemodialisis memerlukan akses ke sirkulasi
darah pasien, suatu mekanisme untuk membawa darah pasien ked an dari
dialiser (tempat terjadinya pertukaran cairan, elektrolit, dan zat sisa tubuh),
serta dialiser. (Mary Baradero, 2008)
3.2 Prinsip
Dialisis bekerja pada prinsip-prinsip difusi zat terlarut dan
ultrafiltrasi cairan melintasi membrane semipermiabel. Difusi menjelaskan
properti dari zat di dalam air. Zat dalam air cenderung bergerak dari
daerah konsentrasi tinggi ke daerah konsentrasi rendah. Darah mengalir
dari salah sat sisi membrane semipermiabel, dan dialisat, atau cairan
dialisis khusus, mengalir di sisi brlawanan. Sebuah membrane
semipermiabel adalah lapisan tipis bahan yang mengandung lubang
berbagai ukuran atau pori-pori. Hal ini meniru proses penyaringan yang
terjadi pada ginjal, ketika darahmemasuki ginjal dan zat lebih besar
dipisahkan dari yang kecil dalam gomerulus. (Kamus Mosby, 2006)
Dua jenis utama dialisis hemodialisis dan dialisis peritoneal,
menghilangkan limbah dan kelebihan air dari darah dengan cara yang
berbeda. Hemodialisis menghiangkan limbah dan air dengan sirkulasi
darah di luar tubuh melalui filter eksternal disebut dialyzer, yang berisi
membrane semipermiabel. Darah mengalir dalam satu arah dan dialisat
mengalir di seberang. Aliran kontra saat ini darah dan dialisat
memaksimalkan gradient konsentrasi zat terlarut (misalnya kalium, fosfor
dan urea) yang tidak diinginkan yang tingi dalam darah, tetapi rendah atau
tidak dalam larutan dialisis dan penggantian konstan dialisat memastikan
bahwa konsentrasi zat terlarut yang tidak diinginkan tetap rendah dalam
sisi membrane. Larutan dialisis memiliki kadar mineral seperti kalium dan
kalsium yang mirip dengan konsentrasi alami mereka dalam darah yang
sehat. Untuk yang lain, terlarut bikarbonat, tingkat dialisis solusi adalah
ditetapkan pada tingkat sedikit lebih tinggi daripada di darah normal,
untuk mendorong difusi bikarbonat di dalam darah, untuk bertindak
sebagai buffer PH untuk menetralkan asidosis metabolik yang hadir pada
pasien ini. (Pendse, 2008)

Pada dialisis peritoneal limbah dan air dikeluarkan dari darah


dalam tubuh dengan menggunakan membran peritoneal dan perioneum
sebagai membrane semipermiabel alami. Limbah dan memindahkan
kelebihan air dari darah, melintasi membran peritoneal dan ke dalam
larutan dialisis khusus, yang disebut dialisat, di rongga perut yang
memiliki komposisi mirip dengan cairan darah. Hemodialisis berlangsung
2-4 jam, ssedang dialisis peritoneal berlangsung selama 36 jam (Mary
Baradero, 2008)

3.3 Efek Samping Dan Komplikasi


Hemodialisis sering melibatkan pemindahan cairan (melalui
ultrafiltrasi), karena sebagian besar pasien dengan gagal ginjal buang air
sedikit atau tidak ada. Efek samping yang disebabkan oleh menghilangnya
terlalu banyak cairan atau menghapus cairan terlalu cepat, termasuk
tekanan darah rendah, kelelahan, sakit dada, kram kaki, mual, dan sakit
kepala.
Sejak hemodialisis membutuhkan akses ke sistem peredaran darah,
pasien yang menjalani hemodialisis dapat mengekspor sistem peredaran
darah mereka untuk mikroba yang dapat menyebabkan sepsis, infeksi yang
mempengaruhi katup jantung (endokarditis) atau infeksi yang
mempengaruhi tulang (osteomyelitis).
Heparin adalah anti koagulan yang paling umum digunakan dalam
hemodialisis, karena umumnya diltoleransi dengan baik dan dapat secara
cepat dikembalikan dengan protamine sulfat. Alergi heparin jarang
menjadi masalah dan dapat menyebabkan jumlah trombosit rendah.
Komplikasi jangka panjang dari hemodialialisis termasuk amilodosis,
neuropati, dan berbagai bentuk penyakit jantung. Meningkatnya frekuensi
dan lamanya perawatan telah terbukti untuk meningkatkan overload cairan
dan pembesaran hati yang sering terlihat pada pesien tersebut. (Weinrich,
2006)
3.4 Akses Vaskular Hemodialisis
Untuk melakukan hemodialisis intermitten jangka panjang, maka
perlu ada jalan masuk ke sistem vascular penderita yang dapat diandalkan.
Darah harus keluar masuk tubuh penderita dengan kecepatan 200 sampai
400 ml/menit. Akses vascular merupakan aspek yang paling peka pada
hemodialisis karena banyak komplikasi dan kegagalannya. Oleh karena
itu, banyak metode yang dikembangkan untuk mencapai jalan masuk
vascular dalam beberapa tahun belakangan ini. Denominator yang paling
sering dipakai pada kebanyakan teknik akses vascular adalah jalan masuk
ke sirkulasi arteri dan kembalinya ke sirkulasi vena.
Table 3.5

Teknik Utama Vaskular Untuk Hemodialisa

Eksternal (sementara)

Pirau Arteriovenosa (AV) atau sistem kanula


Kateter Vena Femoralis (Lumen Shaldon dan Ganda)
Kateter Vena Subklavia
Internal (permanen)

Fistula AV
Tandur AV

Sumber : Price 2005

3.5 Akses Vaskular Eksternal (sementara)


Pirau arteriovenosa (AV) eksternal atau sistem kanula diciptakan
dengan menempatkan ujung kanula dan teflon dalam arteri (biasanya arteria
radialis atau tibialis posterior) dan sebuah vena yang berdekatan. Ujung-
ujung kanula kemudian dihubung-hubungkan dengan selang karet silicon
dan suatu sambungan teflon yang melengkapi pirau. Pada waktu dilakukan
dialisis, maka slang pirau eksternal dipisahkan dan dibuat hubungan dengan
alat dialisis. Darah kemudian dialirkan dari ujung arteri, melalui alat dialisis
dan kembali ke vena. (Price, 2005)
Kateter vena femoralis dan subklavia sering dipakai pada kasus gagal
ginjal akut bila diperlukan akses vaskular sementara, atau bila teknik akses
vaskular lain tidak dapat berfungsi sementara waktu pada penderita dialisis
kronik. (Price, 2005)
Terdapat dua tipe kateter dialisis femoralis. Kateter shaldon adalah
kateter berlumen tunggal yang mmerlukan akses kedua. Jika digunakan dua
kateter shaldon, maka dapat dipasang secara bilateral. Tipe kateter yang
lebih baru memiliki lumen ganda, satu lumen untuk mengeluarkan darah
menuju alat dialisis dan satu lagi untuk mengembalikan darah ke tubuh
penderita. Komplikasi yang terjadi pada kateter vena femorallis adalah
laserasi arteria femoralis, perdarahan, trombosis, emboli, hematoma, dan
infeksi. (Price, 2005)
Kateter vena subklavia semakin banyak dipakai karena pemasangannya
mudah dan komplikasinya lebih sedikit dibandingkan kateter vena
femoralis. Kateter vena subklavia dapat digunakan sampai 4 minggu, tetapi
kateter vena femoralis biasanya dibuang setelah pemakaiann 1-2 hari
setelah pemasangan. Komplikasi yabngg disebabkan oleh katerisasi vena
subklavia serupa dengan yang terdapat pada toraks, robeknya arteria
subklavia, perdarahan, thrombosis, embolus, hematoma, dan infeksi. (Price,
2005)
3.6 Akses Vaskular Internal (permanen)
Fistula AV diperkenalkan oleh Cimino dan Brescia (1962) sebagai
respon terhadap banyaknya komplikasi yang ditimbulkan pirau Av. Fistula
AV dibuat melalui anatomosis arteri secara langsung ke vena.(biasanya
arteria radialis dan vena sefalika pergelangan tangan) pada lengan yang
tidak dominan. Hubungan dengan sistem dialisis dibuat dengan
menempatkan satu jarum distal (garis arteri) dan sebuah jarum lain
diproksimal (garis vena) pada ven ayangg sudah diarterialisasi tersebut.
Umur rata-rata fistula AV adalah 4 tahun dan komplikasinya lebih sedikit
dibandingkan denga pirau AV. Masalah yang paling utama adalah rasa nyeri
pada pungsi vena, terbentuknya aneurisma, thrombosis, kesulitan hemotasis
pascadialisis, dan iskemia pada tangan (steal syndrome). (Price, 2005)
Pada beberapa kasus, pembuatan fistula pada pembuluh darah pasien
sendiri tidak dimungkinkan akibat adanya penyakit, kerusakan akibat
prosedur sebelumnya, atau ukuran kecil. Pada keadaan demikian, maka
suatu tandur AV dapat dianastomosiskan antara sebuah arteri dan vena,
dimana tandur ini bekerja sebagai saluran bagi aliran darah dan tempat
penusukan selama dialisis. Tandur akan membuat tonjolan dibawah kulit
dan nampaknya seperti vena yang menonjol. Tandur AV adalah sebuah
tabung prustetik yang dibuat dari bahan biologis atau bahan sintetik.
Komplikasi tandur AV akan sama dengan fistula AV yaitu thrombosis,
infeksi, aneurisma, dan iskemia tangan yang disebabkan oleh pirau darah
melalui prostesis dan jauh dari sirkulasi distal (steal syndrome). (Price,
2005)
3.7 Jenis
Ada tiga jenis hemodialisis :
a. Hemodialisis konvensional.
Hemodialisis biasanya dilakukan 3 kali seminggu, selama sekitar 3-4
jam untuk setiap perlakuan dimana darah pasien diambil, keluar melalui
tabung dengan kecepatan 200-400 ml/menit. Tabung terhubung ke jarum
dimasukkan ke dalam fistula dialisis atau cangkok. Darah kemudiann
dipompa kembali ke dalam aliran darah pasien melalui tabung lain.
Skema prosedur tekanan darah pasien dimonitor, dan jika itu menjadi
rendah atau pasien mengembangkan tanda-tanda lain dari volume darah
seperti mual, petugas dialisis dapat mengelola cairan ekstra melalui
mesin. Selama perawatan seluruh volume darah pasien (sekitar 5000cc)
bersirkulasi melalui mesin setiap 15 menit.
b. Hemodialisis harian.
Hemodialisis harian biasanya digunakan oleh pasien yang melakukan
pencucian darah sendiri di rumah. Hal ini lebih lembut ttetapi
meembutuhkan akses lenih sering. Hemodialisis harian biasanya
dilakukan selama 2 jam, enam hari seminggu.
c. Hemodialisis nokturnal.
Prosedur dialisis ini mirip dengan hemodialisis konvnsional,
kecuali dilakukan enam malan dalam seminggu dan 6-10 jam per sesi
saat tidur. (TOH, 2008)
3.8 Keuntungan Dan Kerugian
a. Keuntungan :
- Tingkat kematian rendah.
- Lebih mengantrol tekanan darah dank ram perut.
- Kurang pembatasan diet.
- Toleransi yang lebih baik, dan sedikit komplikasi.
b. Kekurangan :
- Membutuhkan pasokan yang lebih seperti kualitas air yang tinggi
dan listrik.
- Membutuhkan teknologi yang handal seperti mesin dialisis.
- Prosedur rumit dan membutuhkan pengasuh memiliki pengetahuan
yang lebih.
- Membutuhkan waktu untuk menyiapkan dan membesihkan mesin
dialisis dan beban mesin. (Daugirdas, 2007)
3.9 Indikasi
Keputusan untuk memulai dialisis atau hemofiltration pada pasien
dengan gagal ginjal tergantung beberapa factor. Ini dapat dibagi menjadi
indikasi akut atau kronis.
Indikasi untuk dialisis pada pada pasien dengan cidera ginjal akut
adalah:
a. Asidosis metabolik, dalam situasi dimana koreksi dengan natrium
bikarbonat tidak praktis atau dapat mengakibatkan overload cairan.
b. Kelainan elektrolit seperti hiperkalemia.
c. Overload cairan tidak diharapkan untuk merespon pengobatan dengan
diuretic.
d. Komplikasi uremia, seperti perikarditis, ensefalopati atau perdarahan
gastrointestinal.
e. Keracunan, yaitu keracunan akut dengan zat dialyzable.
Indikasi untuk pasien dengan gagal ginjal kronis:
a. Gejala gagal ginjal.
b. Rendah LFG sering dianjrrkan untuk dimulai pada LFG kurang dari
10-15 mls/min/1,73 m2. Pada penderita diabetes dialisis dimulai
sebelumnya.
c. Kesulitan dalam medis mengendalikan overload cairan kalium serum
dan atau fosfor saat LFG rendah. (Irwin, 2008)
3.10 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium :
a. Urinalisis
b. Pemeriksaan darah lengkap
c. Biopsi ginjal untuk menunjukkan obstruksi kapiler glomerular dan
memastikan diagnosis.
3.11 Penatalaksanaan
a. Medik :
- Pengobatan ditujukan pada gejala klinik dan gangguan elektrolit.
- Pengobatan aktivitas sehari-hari sesuai batas kemampuan pasien.
- Pengawasan hipertenasi antihipertensi.
- Pemberian antibiotik untuk infeksi.
- Dialisis berulang untuk memperpanjang harapan hidup pasien.
b. Keperawatan :
- Disesuaikan dengan keadaan pasien.
- Pasien dianjurkan secara teratur untuk senantiasa kontrol pada
ahlinya.
- Program diet ketat tetapi cukup asupan gizinya.
- Penjelasan kepada pasien tentang pambatasan aktivitas sesuai
kemampuannya.
- Anjuran kontrol ke dokter harus ditaati untuk mencegah berlanjut ke
sindrom nefrotik atau GGK.
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

CHRONIC KIDNEY DISEASE (CKD) DENGAN ANEMIA

1. Pengkajian

Pengkajian Pre hemodialisa

Adapun pengkajian klien Pre Hemodialisa menurut Hidayat (2010) yaitu:

a) Riwayat penyakit, tahap penyakit


b) Usia
c) Keseimbangan cairan, elektrolit
d) Nilai laboratorium: Hb, ureum, creatinin, PH
e) Keluhan subyektif: sesak nafas, pusing, palpitasi
f) Respon terhadap dialysis sebelumnya.
g) Status emosional
h) Pemeriksaan fisik: BB, suara nafas, edema, TTV, JVP
i) Sirkuit pembuluh darah.

Pengkajian Post HD

a) Tekanan darah: hipotensi


b) Keluhan: pusing, palpitasi
c) Komplikasi HD: kejang, mual, muntah, dsb

2. Diagnosa Keperawatan yang muncul pada klien yang menjalani hemodialisa

Pre Hemodialisa:

a. Cemas b.d krisis situasional


b. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d intake makanan in adekuat
(mual, muntah, anoreksia)
c. Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit b.d penurunan fungsi ginjal
d. Nyeri akut b.d proses penyakit
e. Pola nafas tidakefektif b.d gangguan pertukaran gas
f. Intoleransi aktifitas b.d ketidakseimbangan suplai O2
g. Defisit perawatan diri b.d kelemahan
h. Perfusi jaringan tidakefektif b.d penurunan konsentrasi hb dalam darah
i. Keletihan b.d anemia

Intra Hemodialisa:

a. Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasiv.


b. Nyeri b.d tindakan hemodialisa
c. Resiko syok hipovolemik

Post Hemodialisa:

a) Resiko cedera berhubungan dengan akses vaskuler dan komplikasi


sekunder terhadap penusukan.
b) Kurang pengetahuan berhubungan dengan perawatan dirumah.

3. INTERVENSI

Pre Hemodialisis

1. Cemas b.d krisis situasional

Tujuan: pasien akan menunjukan tingkat ansietas berkurang

NOC :

Klien mampu mengidentifikasi dan mengungkapkan gejala cemas


Mengidentifikasi, mengungkapkan dan menunjukkan tehnik untuk
mengontol cemas
Vital sign dalam batas normal
Postur tubuh, ekspresi wajah, bahasa tubuh dan tingkat aktivitas
menunjukkan berkurangnya kecemasan
NIC :
Gunakan pendekatan yang menenangkan
Nyatakan dengan jelas harapan terhadap pelaku pasien
Jelaskan semua prosedur dan apa yang dirasakan selama prosedur
Temani pasien untuk memberikan keamanan dan mengurangi takut
Berikan informasi faktual mengenai diagnosis, tindakan prognosis
Libatkan keluarga untuk mendampingi klien
Instruksikan pada pasien untuk menggunakan tehnik relaksasi
Dengarkan dengan penuh perhatian
Identifikasi tingkat kecemasan
Bantu pasien mengenal situasi yang menimbulkan kecemasan
Dorong pasien untuk mengungkapkan perasaan, ketakutan, persepsi
Kelola pemberian obat anti cemas:........

2. Nutrisi kurang dari kebutuhan b.d kesulitan mengunyah atau menelan


NOC:
1. mempertahankan berat badan ... kg atau bertambah ... kg pada ....
(sebutkan tanggalnya)
2. mengungkapkan tekad untuk memenuhi diet
3. menoleransi diet yang dianjurkan
4. mempartahankan massa tubuh dan berat badan dalam batas nomal
5. memiliki nilai laboratorium (misalnya transferin, albumin, dan
elektrolit) dalam batas normal
6. melaporkan tingkat energi yang adekuat
7. melaporkan tingkat energi yang adekuat
NIC:
1. ketahui makanan kesukaan pasien
2. tentukan kemampuan pasien untuk memenuhi kebutuhan nutrisi
3. pantau kandungan nutrisi dan kalori pada catatan asupan
4. timpang pasien pada interval yang tepat
5. berikan informasi yang tepat tentang kebutuhan nutrisi dan bagaimana
memenuhinya
6. tentukan dengan melakukan kolaborasi bersama ahli gizi jika
diperlukan, jumlah kalori dan jenis zat gizi yang dibutuhkan untuk
memenuhi kebutuhan nutrisi
7. berikan pasien minuman dan kudapan yang bergizi, tinggi protein,
tinggi kalori yang dikonsumsi bila memungkinkan
8. ajarkan pasien tenang cara membuat catatan harian makanan jika
diperlukan

Intra Hemodialisis

1. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan kelemahan proses


pengaturan

Tujuan : pasien menunjukkan pengeluaran urin tepat seimbang dengan


pemasukan.

NOC:

Terbebas dari edema, efusi, anaskara


Bunyi nafas bersih, tidak ada dyspneu/ortopneu
Terbebas dari distensi vena jugularis,
Memelihara tekanan vena sentral, tekanan kapiler paru, output jantung
dan vital sign DBN
Terbebas dari kelelahan, kecemasan atau bingung
NIC :
Pertahankan catatan intake dan output yang akurat
Pasang urin kateter jika diperlukan
Monitor hasil lab yang sesuai dengan retensi cairan (BUN , Hmt ,
osmolalitas urin )
Monitor vital sign
Monitor indikasi retensi / kelebihan cairan (cracles, CVP , edema,
distensi vena leher, asites)
Kaji lokasi dan luas edema
Monitor masukan makanan / cairan
Monitor status nutrisi
Berikan diuretik sesuai interuksi
Kolaborasi pemberian obat
Monitor berat badan
Monitor elektrolit
Monitor tanda dan gejala dari odema

2. Resiko infeksi b.d prosedur invasiv.

NOC :
Klien bebas dari tanda dan gejala infeksi
Menunjukkan kemampuan untuk mencegah timbulnya infeksi
Jumlah leukosit dalam batas normal
Menunjukkan perilaku hidup sehat
Status imun, gastrointestinal, genitourinaria dalam batas normal
NIC :
Pertahankan teknik aseptif
Batasi pengunjung bila perlu
Cuci tangan setiap sebelum dan sesudah tindakan keperawatan
Gunakan baju, sarung tangan sebagai alat pelindung
Ganti letak IV perifer dan dressing sesuai dengan petunjuk umum
Gunakan kateter intermiten untuk menurunkan infeksi kandung
kencing
Tingkatkan intake nutrisi
Berikan terapi antibiotik
Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan lokal
Pertahankan teknik isolasi k/p
Inspeksi kulit dan membran mukosa terhadap kemerahan, panas,
drainase
Monitor adanya luka
Dorong masukan cairan
Ajarkan pasien dan keluarga tanda dan gejala infeksi
Kaji suhu badan pada pasien neutropenia setiap 4 jam\

Post Hemodialisa:

1. Kurang pengetahuan berhubungan dengan perawatan dirumah.

NOC:
Pasien dan keluarga menyatakan pemahaman tentang penyakit,
kondisi, prognosis dan program pengobatan
Pasien dan keluarga mampu melaksanakan prosedur yang dijelaskan
secara benar
Pasien dan keluarga mampu menjelaskan kembali apa yang dijelaskan
perawat/tim kesehatan lainnya
NIC :
Kaji tingkat pengetahuan pasien dan keluarga
Jelaskan patofisiologi dari penyakit dan bagaimana hal ini
berhubungan dengan anatomi dan fisiologi, dengan cara yang tepat.
Gambarkan tanda dan gejala yang biasa muncul pada penyakit,
dengan cara yang tepat
Gambarkan proses penyakit, dengan cara yang tepat
Identifikasi kemungkinan penyebab, dengan cara yang tepat
Sediakan informasi pada pasien tentang kondisi, dengan cara yang
tepat
Sediakan bagi keluarga informasi tentang kemajuan pasien dengan
cara yang tepat
Diskusikan pilihan terapi atau penanganan
Dukung pasien untuk mengeksplorasi atau mendapatkan second
opinion dengan cara yang tepat atau diindikasikan
Eksplorasi kemungkinan sumber atau dukungan, dengan cara yang
tepat
DAFTAR PUSTAKA

Carpenito Lynda Juall (2007), Diagnosa Keperawatan: Aplikasi Pada Praktek


Klinik, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.

Guyton and Hall (1997), Buku Ajar: Fisiologi Kedokteran, Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarta.

Marilynn E, Doengoes, 2000, Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi 3, Jakarta :


EGC

Nugroho.W. (2000). Keperawatan Gerontik. Gramedia. Jakarta

Tuti Pahria, dkk, (2004). Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Ganguan
Sistem Persyarafan, Jakarta, EGC.

Sudoyono dkk.2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : EGC


Wilkinson.judith M. 2011, Buku Saku Diagnosis kep Nanda NIC NOC. HOC ed.9.
jakarta : EGC
Bruner & suddarth.2010. Buku Ajaran keperawatan Medikal Bedah edisi 8,
Jakarta:EGC
Kusyati, Eni. 2006. Ketrampilan dan Prosedur Laboratorium Keperawatan
Dasar. Jakarta: EGC.

You might also like