You are on page 1of 40

1

Kasus 4
Seorang perempuan berusia 18 tahun diantar datang ke unit gawat darurat dengan keluhan
kesemutan di kedua telapak kaki disertai dengan kelemahan. Pasien 1 minggu lalu mengeluh
sakit demam, batuk dan pilek.
STEP 1
Kasus (keluhan)
Keluhan utama : Kesemutan di kedua telapak kaki disertai dengan kelemahan

STEP 2
Resume Literatur Review

LAIN-LAIN
AUTOIMUN
Stroke
Sindrom Guillain
Neuropati Barre
Penuruan kesadaran
Miopati disertai demam
tinggi dan jantung
berdebar-debar

STEP 3

A. Autoimun
1. Sindrom Guillain Barre
Definisi
Sindrom Guillain Barre merupakan suatu kelompok heterogen dari proses
yang diperantarai oleh imunitas, suatu kelainan yang jarang terjadi, dimana sistem
imunitas tubuh menyerang sarafnya sendiri. Kelainan ini ditandai oleh adanya
disfungsi motorik, sensorik, dan otonom. Dari bentuk klasiknya, Sindrom Guillain
Barre merupakan suatu polineuopati demielinasi dengan karakteristik kelemahan
otot asendens yang simetris dan progresif, paralisis, dan hiporefleksi, dengan atau
tanpa gejala sensorik ataupun otonom. Namun, terdapat varian Sindrom Guillain
Barre yang melibatkan saraf kranial ataupun murni motorik. Pada kasus berat,
kelemahan otot dapat menyebabkan kegagalan nafas sehingga mengancam jiwa.(1)
2

Etiologi
Penyebab pasti penyakit ini belum diketahui, namun umumnya dicetuskan
oleh infeksi saluran pernafasan atau pencernaan. Semua kelompok usia dapat
terkena penyakit ini, namun paling sering terjadi pada dewasa muda dan usia
lanjut. Pada tipe yang paling berat, Sindrom Guillain Barre menjadi suatu kondisi
kedaruratan medis yang membutuhkan perawatan segera. Sekitar 30% penderita
membutuhkan penggunaan alat bantu nafas sementara.(1)
Patagonesis dan Patofosiologi
Tidak ada yang mengetahui dengan pasti bagaimana Sindrom Guillain Barre
terjadi dan dapat menyerang sejumlah orang.Yang diketahui ilmuwan sampai saat
ini adalah bahwa sistem imun menyerang tubuhnya sendiri, dan menyebabkan
suatu penyakit yang disebut sebagai penyakit autoimun.Umumnya sel-sel imunitas
ini menyerang benda asing dan organisme pengganggu, namun pada Sindrom
Guillain Barre, sistem imun mulai menghancurkan selubung mielin yang
mengelilingi akson saraf perifer, atau bahkan akson itu sendiri. Terdapat sejumlah
teori mengenai bagaimana sistem imun ini tiba-tiba menyerang saraf, namun teori
yang dikenal adalah suatu teori yang menyebutkan bahwa organisme (misalnya
infeksi virus ataupun bakteri) telah mengubah keadaan alamiah sel-sel sistem saraf,
sehingga sistem imun mengenalinya sebagai sel-sel asing. Organisme tersebut
kemudian menyebabkan sel-sel imun, seperti halnya limfosit dan makrofag, untuk
menyerang mielin. Limfosit T yang tersensitisasi bersama dengan limfosit B akan
memproduksi antibodi melawan komponen-komponen selubung mielin dan
menyebabkan destruksi dari mielin.(1)
Akson adalah suatu perpanjangan sel-sel saraf, berbentuk panjang dan tipis
yang berfungsi sebagai pembawa sinyal saraf. Beberapa akson dikelilingi oleh
suatu selubung yang dikenal sebagai mielin, yang mirip dengan kabel listrik yang
terbungkus plastik.Selubung mielin bersifat insulator dan melindungi sel-sel saraf.
Selubung ini akan meningkatkan baik kecepatan maupun jarak sinyal saraf yang
ditransmisikan. Sebagai contoh, sinyal dari otak ke otot dapat ditransmisikan pada
kecepatan lebih dari 50 km/jam.(1)
3

Mielin tidak membungkus akson secara utuh, namun terdapat suatu jarak
diantaranya, yang dikenal sebagai Nodus Ranvier; dimana daerah ini merupakan
daerah yang rentan diserang. Transmisi sinyal saraf juga akan diperlambat pada
daerah ini, sehingga semakin banyak terdapat nodus ini, transmisi sinyal akan
semakin lambat.(1)
Pada Sindrom Guillain Barre, terbentuk antibodi atau immunoglobulin (Ig)
sebagai reaksi terhadap adanya antigen atau partikel asing dalam tubuh, seperti
bakteri ataupun virus. Antibodi yang bersirkulasi dalam darah ini akan mencapai
mielin serta merusaknya, dengan bantuan sel-sel leukosit, sehingga terjadi
inflamasi pada saraf. Sel-sel inflamasi ini akan mengeluarkan sekret kimiawi yang
akan mempengaruhi sel Schwan, yang seharusnya membentuk materi lemak
penghasil mielin. Dengan merusaknya, produksi mielin akan berkurang, sementara
pada waktu bersamaan, mielin yang ada telah dirusak oleh antibodi tubuh. Seiring
dengan serangan yang berlanjut, jaringan saraf perifer akan hancur secara bertahap.
Saraf motorik, sensorik, dan otonom akan diserang, transmisi sinyal melambat,
terblok, atau terganggu, sehingga mempengaruhi tubuh penderita. Hal ini akan
menyebabkan kelemahan otot, kesemutan, kebas, serta kesulitan melakukan
aktivitas sehari-hari, termasuk berjalan.Untungnya, fase ini bersifat sementara,
sehingga apabila sistem imun telah kembali normal, serangan itu akan berhenti dan
pasien akan kembali pulih.(1)
Seluruh saraf pada tubuh manusia, dengan pengecualian pada otak dan
medulla spinalis, merupakan bagian dari sistem saraf perifer, yakni terdiri dari
saraf kranialis dan saraf spinal.Saraf-saraf perifer mentransmisikan sinyal dari otak
dan medulla spinalis, menuju dan dari otot, organ, serta kulit.Tergantung
fungsinya, saraf dapat diklasifikasikan sebagai saraf perifer motorik, sensorik, dan
otonom (involunter).(1)
Pada Sindrom Guillain Barre, terjadi malfungsi pada sistem imunitas sehingga
muncul kerusakan sementara pada saraf perifer, dan timbullah gangguan sensorik,
kelemahan yang bersifat progresif, ataupun paralisis akut. Karena itulah Sindrom
Guillain Barre dikenal sebagai neuropati perifer.(1)
4

Sindrom Guillain Barre dapat dibedakan berbagai jenis tergantung dari


kerusakan yang terjadi. Bila selubung mielin yang menyelubungi akson rusak atau
hancur, transmisi sinyal saraf yang melaluinya akan terganggu atau melambat,
sehingga timbul sensasi abnormal ataupun kelemahan. Ini adalah tipe demielinasi;
dan prosesnya sendiri dinamai demielinasi primer.(1)
Manifestasi Klinis
Pasien dengan Sindrom Guillain Barre umumnya hanya akan mengalami satu
kali serangan yang berlangsung selama beberapa minggu, kemudian berhenti
spontan untuk kemudian pulih kembali. Perjalanan penyakit Sindrom Guillain
Barre dapat dibagi menjadi 3 fase :(1)
1. Fase progresif
Umumnya berlangsung 2-3 minggu, sejak timbulnya gejala awal
sampai gejala menetap, dikenal sebagai titik nadir. Pada fase ini akan
timbul nyeri, kelemahan progresif dan gangguan sensorik; derajat
keparahan gejala bervariasi tergantung seberapa berat serangan pada
penderita. Kasus Sindrom Guillain Barre yang ringan mencapai nadir
klinis pada waktu yang sama dengan Sindrom Guillain Barre yang lebih
berat. Terapi secepatnya akan mempersingkat transisi menuju fase
penyembuhan, dan mengurangi resiko kerusakan fisik yang permanen.
Terapi berfokus pada pengurangan nyeri serta gejala.
2. Fase plateau.
Fase infeksi akan diikuti oleh fase plateau yang stabil, dimana tidak
didapati baik perburukan ataupun perbaikan gejala. Serangan telah
berhenti, namun derajat kelemahan tetap ada sampai dimulai fase
penyembuhan. Terapi ditujukan terutama dalam memperbaiki fungsi
yang hilang atau mempertahankan fungsi yang masih ada. Perlu
dilakukan monitoring tekanan darah, irama jantung, pernafasan, nutrisi,
keseimbangan cairan, serta status generalis. Imunoterapi dapat dimulai di
fase ini. Penderita umumnya sangat lemah dan membutuhkan istirahat,
perawatan khusus, serta fisioterapi.
5

Pada pasien biasanya didapati nyeri hebat akibat saraf yang meradang
serta kekakuan otot dan sendi; namun nyeri ini akan hilang begitu proses
penyembuhan dimulai. Lama fase ini tidak dapat diprediksikan; beberapa
pasien langsung mencapai fase penyembuhan setelah fase infeksi,
sementara pasien lain mungkin bertahan di fase plateau selama beberapa
bulan, sebelum dimulainya fase penyembuhan.
3. Fase penyembuhan
Akhirnya, fase penyembuhan yang ditunggu terjadi, dengan perbaikan
dan penyembuhan spontan. Sistem imun berhenti memproduksi antibodi
yang menghancurkan mielin, dan gejala berangsur-angsur menghilang,
penyembuhan saraf mulai terjadi. Terapi pada fase ini ditujukan terutama
pada terapi fisik, untuk membentuk otot pasien dan mendapatkan
kekuatan dan pergerakan otot yang normal, serta mengajarkan penderita
untuk menggunakan otot-ototnya secara optimal. Kadang masih didapati
nyeri, yang berasal dari sel-sel saraf yang beregenerasi. Lama fase ini
juga bervariasi, dan dapat muncul relaps. Kebanyakan penderita mampu
bekerja kembali dalam 3-6 bulan, namun pasien lainnya tetap
menunjukkan gejala ringan samapi waktu yang lama setelah
penyembuhan. Derajat penyembuhan tergantung dari derajat kerusakan
saraf yang terjadi pada fase infeksi.
Pemeriksaan Penunjang
a) Protein CSS. Meningkat setekah gejala 1 minggu atau terjadi
peningkatan pada LP serial 1 Jumlah sel CSS < 10 MN/mm3 1 Varian.
b) Tidak ada peningkatan protein CSS setelah 1 minggu gejala
c) Jumlah sel CSS: 11-50 MN/mm3.
Penatalaksanaan
a) Kortikosteroid
Kebanyakan penelitian mengatakan bahwa penggunaan preparat
steroid tidak mempunyai nilai/tidak bermanfaat untuk terapi SGB.(5)
b) Plasmaparesis
Plasmaparesis atau plasma exchange bertujuan untuk mengeluarkan
faktor autoantibodi yang beredar. Pemakain plasmaparesis pada SGB
memperlihatkan hasil yang baik, berupa perbaikan klinis yang lebih
cepat, penggunaan alat bantu nafas yang lebih sedikit, dan lama
perawatan yang lebih pendek. Pengobatan dilakukan dengan mengganti
6

200-250 ml plasma/kg BB dalam 7-14 hari.Plasmaparesis lebih


bermanfaat bila diberikan saat awal onset gejala (minggu pertama).(5)
c) Pengobatan imunosupresan
- Imunoglobulin IV
Pengobatan dengan gamma globulin intervena lebih menguntungkan
dibandingkan plasmaparesis karena efek r/kg BB/hari selama 3 hari
dilanjutkan dengan dosis msamping/komplikasi lebih ringan. Dosis
maintenance 0.4 gaintenance 0.4 gr/kg BB/hari tiap 15 hari sampai
sembuh.
- Obat sitotoksik
Pemberian obat sitoksik yang dianjurkan adalah 6 merkaptopurin (6-
MP), azathioprine, cyclophosphamid Efek samping dari obat-obat ini
adalah: alopecia, muntah, mual dan sakit kepala.(5)
2. Miopati
Definisi
Miopati adalah kumpulan kelainan pada otot yang biasanya tanpa melibatkan
sistem saraf dan tidak berhubungan sama sekali dengan gangguan pada jembatan
neuromuskuler.(2)
Etiologi
1) Miopati Primer
Distrofi muskular merupakan kelompok heterogen kelainan bawaan yang sering
dimulai pada usia kanak-kanak dan secara klinis ditandai oleh kelemahan serta
pelisutan otot yang progresif. Mutasi kode-kode genetik untuk berbagai komponen
dari kompleks distrofin-glikoprotein menyebabkan distrofi otot, suatu sindroma yang
ditandai oleh kelemahan otot progresif. Sebagian basar dari bentuk penyakit ini
menimbulkan kecacatan berat dan berakhir fatal.(2)
Distrofi Muskular Terkait-Kromosom X :
a. Duchenne Muscular Dystrophy
Merupakan penyakit dengan kelainan X-linked resesif, biasanya juga disebut
pseudohypertrophic muscular distrophy, distrofi jenis ini paling sering
ditemukan dengan insiden kejadian 30 dari 100.000 kelahiran laki-laki. Anak
laki-laki yang terkena terlihat normal pada saat lahir tetapi kemudian menjadi
lemah saat usia 5 tahun dan kelemahannya ini akan membuatnya bergantung
pada kursi roda ketika usianya menjelang 10 hingga 12 tahun.(2)
7

Penyakit distrofi muskular duchenne terus berjalan progresif hingga terjadi


kematian pada usia 20-an. Kelemahan dimulai pada otot-otot lengkung panggul
yang kemudian meluas kelengkung bahu. Perubahan patologis juga ditemukan
pada jantung dan gangguan kognitif tampaknya merupakan komponen penyakit
tersebut. Duchenne distrofi disebabkan oleh mutasi gen yang mengkode
distrophin, protein a427-kD yang berlokasi pada permukaan sarkolema di
serabut otot, dimana protein ini bertanggung jawab atas tranduksi gaya
kontraktil dari sarkomer intrasel ke matriks ekstrasel. Mutasi yang umum
terjadi adalah delesi. Pada otot pasien hampir selalu tidak terdapat distrofin
yang bisa dideteksi lewat pemulasan atau pemeriksaan biokimiawi.(2)
b. Becker Muscular Distrophi
Distrofi muskular becker merupakan bentuk kelainan muscular atrophi X-
link resesif yang mengenai lokus genetik yang sama seperti distrofi muskular
duchenne namun lebih jarang terjadi dan jauh lebih ringan dengan onset yang
tejadi kemudian pada usia kanak-kanak dan remaja. Distrofi muskular becker
juga mempunyai progresivitas dengan kecepatan yang lebih lambat dan lebih
bervariasi. Otot pada pasien ini memiliki jumlah distrofin yang berkurang dan
biasanya mempunyai berat molekul yang abnormal dengan mencerminkan
mutasi yang memungkinkan sintesis beberapa protein. Kontraktur yang
mencolok dapat dikenali sejak masa kanak-kanak atau masa remaja, biasanya
tampak adanya kelemahan otot. Kardiomiopati merupakan ancaman kehidupan
yang bisa mengakibatkan kematian mendadak.(2)
Distrofi Muscular Autosom :
Kelompok distrofi muskular autosom serupa dengan distrofi muskular yang
terkait kromosom X dan kelainan ini dinamakan distrofi muskular lengkung
ekstremitas (LGMD : limb girdle muscular dystrophies). Distrofi muskular
lengkung ekstremitas mengenai otot proksimal batang tubuh dan ektremitas
dengan pewarisan yang bisa bersifat autosom-dominan (LGMD 1) atau resesif
(LGMD 2). Mutasi protein yang berinteraksi dengan protein distrofin ditemukan
pada sebagian LGMD.(2)
Distrofi Miotonik :
Distrofi miotonik merupakan kelainan autosomal-dominanyang
intensitasnya cenderung meningkat dan pada generasi berikutnya muncul diusia
yng lebih muda. Distrofi miotonik ditemukan dengan kelainan cara berjalan
yang terjadi sekunder karena kelemahan otot-otot dorsiflexor kaki, kelemahan
berlangsung progresif dengan diikuti atrofi otot-otot wajah dan akhirnya terjadi
8

ptosis. Miotonia yaitu kontraksi terus-menerus sebuah kelainan otot yang terjadi
diluar kehendak (involunter), merupakan gejala neuromuskular yang utama
pada penyakit ini. Distrofi motorik merupakan satu-satunya distrofi yang
menunjukkan perubahan patologis dalam gelendong otot dengan pembelahan,
nekrosis, dan regenerasi serabut. Pada berbagai bentuk klinis miotonia, waktu
relaksasi otot menjadi lebih panjang setelah melakukan kontraksi volunter.
Miotonia tersebut disebabkan oleh gen-gen abnormal pada kromosom 7, 17,
atau 19 yang menyebabkan kelainan saluran-saluran ion Na+ atau Cl-.(2)
Gangguan Turunan Lainnya :(2)
1) Miopati Kanal Ion
a) Paralisis periodik hipokalemik, hiperkalemik,dan normokalemik Episode kambuhan
paralisis hipotonik berkaitan dengan kadar kalium serum yang bervariasi. Paralisis
periodik hiperkalemik disebabkan oleh mutasi dalam kanal natrium otot (gen pada
kromosom 17).
b) Hiperpireksia Maligna
Kelainan ini merupakan sindrom autosom dominan dengan krisis hipermetabolik
yang terjadi secara dramatis (takikardi, takipnea, spasme otot dan kemudian
hiperpireksia) dan dipicu oleh anestesia.
2) Miopati Metabolik
Mutasi gen-gen yang mengkode enzim-enzim yang terlibat dalam metabolisme
karbohidrat, lemak dan protein menjadi CO2 dan H2O di otot serta proses pembentukan
ATP, akan menyebabkan miopati metabolik.
Manifestasinya sangat beragam, bergantung pada kelainan genetik tertentu. Tetapi
semuanya memperlihatkan gejala ketidaktahanan terhadap kerja dan kemungkinan
terjadinya kerusakan otot yang disebabkan oleh pengumpulan metabolit-metabolit yang
toksik.
3) Miopati kongenital
Kelompok penyakit otot ini ditandai oleh kelemahan otot proksimal atau menyeluruh
yang bersifat nonprogresif atau progresif lambat dengan onset pada usia dini dan
hipotonia (floppy babies) atau kontraktur sendi yang berat (artrogriposis).
4) Miopati Mitokondria
Miopati mitokondria secara khas ditemukan pada usia dewasa muda dengan
manifestasi kelemahan otot proksimal yang kadang-kadang disertai kelainan berat otot
mata. Kelemahan dapat disertai gejala neurologis lain, asidosis laktat dan kardiomiopati.
9

2) Miopati Sekunder (didapat)


Miopati inflamatorik
1. Polimiositis
Polimiositis dapat terjadi secara terpisah atau berhubungan dengan penyakit autoimun
jaringan ikat, misalnya sklerosis sistemik, alveolitis fibrosa, dan sindrom Sjogren.
2. Dermatomiositis
Dermatomiositis berhubungan dengan miopati inflamasi dengan karakteristik ruam
kulit keunguan pada wajah (heliotrop). Pada buku-buku jari, dinding dada anterior,
dan tempat lain terutama bagian ekstensor dapat timbul ruam kulit ungu kemerahan.
Pada sebagian kecil pasien dengan dermatomiositis, terutama laki-laki berusia lebih
dari 45 tahun, terdapat dasar keganasan misalnya karsinoma bronkus atau lambung.
Miopati akibat gangguan metabolik dan endokrin:
A. Penyakit tiroid :
a) Miksudema bersamaan dengan miopati
b) Hipertiroid
B. Disfungsi paratiroid :
a) Hipotiroid menyebabkan tetanus
b) Hipertiroid menyebabkan miopati proksimal
C. Disfungsi kelenjar pituitari ( misalnya menyebabkan penyakit addison) miopati terjadi
akibat disfungsi adrenal atau disfungsi tiroid
D. Kortikosteroid
a) Penyakit cushing
b) Steroid eksogen, khususnya dosis tinggi ( diatas 25 mg per hari)
E. Biokimia :
a) Hipokalemia dan hiperkalemia menyebabkan kelemahan otot dan miotoni
b) Dapat disebabkan oelh beragam paralisi periode akut (genetik)
c) Akibat gangguan gastrointestinal akut
d) Akibat penyakit endokrin
e) Penyakit ginjal
f) Puasa yang lama
F. Diabetes mellitus
10

G. Miopati akibat induksi obat :


a) Statin
b) Steroid
c) Kokain
d) Kolkisin
H. Infeksi :
a) Trikinosis
b) Toxoplasmosis
c) HIV
d) Virus coxsackie
e) Influenza
f) Penyakit Lyme
I. Polimialgia reumatik :
a) Miopati proksimal yang berhubungan dengan nyeri otot
Patofisiologi
Sebagian miopati kongenital atau miopati herediter adalah penyakit kronik dengan
progresifitas yang lambat. Miopati herediter disebabkan adanya mutasi kode-kode genetik
untuk berbagai komponen dari kompleks distrofin-glikoprotein menyebabkan distrofi otot,
suatu sindroma yang ditandai oleh kelemahan otot progresif. Sebagian basar dari bentuk
penyakit ini menimbulkan kecacatan berat dan berakhir fatal.
Mutasi gen-gen yang mengkode enzim-enzim yang terlibat dalam metabolisme
karbohidrat, lemak dan protein menjadi CO2 dan H2O di otot serta proses pembentukan
ATP, akan menyebabkan miopati metabolik. Miotonia disebabkan oleh gen-gen abnormal
pada kromosom 7,17, atau 19 yang menyebabkan kelainan saluran-saluran ion Na+ atau
Cl-.(2)
Tanda dan Gejala
Miopati mempunyai beberapa gambaran umum. Penyakit pada otot hampir selalu
bilateral dan seringkali bahkan simetris dalam penyebarannya.Meskipun gejalanya
tergantung dari jenis miopati, namun beberapa gejala umum dapat terlihat. Skeletal muscle
weakness adalah tanda tersering pada miopati. Dengan beberapa tanda seperti miotonia,
paramiotonia congenita. Ada dua kelainan distrofi muskular herediter, kelemahan dan
atrofi, dan tidak dapat relaksasi setelah kontraksi. Sebagian besar miopati, kelemahan
awalnya terjadi pada otot bahu, lengan atas, dan pelvis (proksimal muscle). Pada beberapa
kasus, otot distal dari tangan dan kaki juga ikut terlibat selama proses perjalanan
penyakit.(2)
11

Pemeriksaan penunjang
- Pemeriksaan lab :
a. Elktrolit, kalsium, magnesium
b. Serum mioglobin
c. Hitung darah lengkap
d. LED, autoantibodi ( pada penyakit yang didapat )
e. Kreatinin kinase (dilepaskan dari sel-sel otot yang rusak)
- EMG
- Biopsi otot
- Urinalisis : mioglobinuria diindikasikan bila urinalisis (+) dengan sedikit RBCs pada
evaluasi mikroskopik
- Tes fungsi tiroid
- AST
Komplikasi

1. Aritmia jantung
2. Hipertensi
3. Disfagia
4. Gangguan pernapasan
5. Endokrinopati
6. Katarak
7. Seizure dan displasia cerebral
8. Kematian

3. Stroke
Definisi
Stroke merupakan penyebab kecacatan nomor satu di dunia dan penyebab
kematian nomor dua di dunia. Duapertiga stroke terjadi di negara berkembang. Pada
masyarakat barat, 80% penderita mengalami stroke iskemik dan 20% mengalami
stroke hemoragik. Insiden stroke meningkat seiring pertambahan usia.(3)
Etiologi
Stroke pada anak-anak dan orang dewasa muda sering ditemukan jauh lebih sedikit
daripada hasil di usia tua, tetapi sebagian stroke pada kelompok usia yang lebih muda
bisa lebih buruk.
12

Kondisi turun temurun predisposisi untuk stroke termasuk penyakit sel sabit, sifat
sel sabit, penyakit hemoglobin SC (sickle cell), homosistinuria, hiperlipidemia dan
trombositosis. Namun belum ada perawatan yang memadai untuk hemoglobinopati,
tetapi homosistinuria dapat diobati dengan diet dan hiperlipidemia akan merespon
untuk diet atau mengurangi lemak obat jika perlu. Identifikasi dan pengobatan
hiperlipidemia pada usia dini dapat memperlambat proses aterosklerosis dan
mengurangi risiko stroke atau infark miokard pada usia dewasa.(3)
Secara patologi stroke dibedakan menjadi sebagai berikut:
1. Stroke Iskemik
Sekitar 80% sampai 85% stroke adalah stroke iskemik, yang terjadi akibat
obstruksi atau bekuan di satu atau lebih arteri besar pada sirkulasi serebrum.
Klasifikasi stroke iskemik berdasarkan waktunya terdiri atas:
a. Transient Ischaemic Attack (TIA): defisit neurologis membaik dalam waktu
kurang dari 30 menit,
b. Reversible Ischaemic Neurological Deficit (RIND): defisit neurologis
membaik kurang dari 1 minggu,
c. Stroke In Evolution (SIE)/Progressing Stroke,
d. Completed Stroke. Beberapa penyebab stroke iskemik meliputi : Trombosis
Aterosklerosis (tersering), Vaskulitis, arteritis temporalis, poliarteritis nodosa,
Robeknya arteri karotis, vertebralis (spontan atau traumatik); Gangguan darah:
polisitemia, hemoglobinopati (penyakit sel sabit).(3)

2. Stroke Hemoragik

Stroke hemoragik, yang merupakan sekitar 15% sampai 20% dari semua
stroke, dapat terjadi apabila lesi vaskular intraserebrum mengalami ruptur
sehingga terjadi perdarahan ke dalam ruang subarakhnoid atau langsung ke dalam
jaringan otak. Beberapa penyebab perdarahan intraserebrum: perdarahan
intraserebrum hipertensif; perdarahan subarakhnoid (PSA) pada ruptura
aneurisma sakular (Berry), ruptura malformasi arteriovena (MAV), trauma;
penyalahgunaan kokain, amfetamin; perdarahan akibat tumor otak; infark
hemoragik; penyakit perdarahan sistemik termasuk terapi antikoagulan.(3)
13

Faktor Risiko terjadinya Stroke

Tidak dapat dimodifikasi, meliputi: usia, jenis kelamin, herediter, ras/etnik.


Dapat dimodifikasi, meliputi: riwayat stroke, hipertensi, penyakit jantung,
diabetes mellitus, Transient Ischemic Attack (TIA), hiperkolesterol, obesitas,
merokok, alkoholik, hiperurisemia, peninggian hematokrit.(3)

Patofisiologi

Gangguan pasokan aliran darah otak dapat terjadi di mana saja di dalam
arteri-arteri yang membentuk Sirkulus Willisi (Gambar 1): arteria karotis interna
dan sistem vertebrobasilar atau semua cabang-cabangnya. Secara umum, apabila
aliran darah ke jaringan otak terputus selama 15 sampai 20 menit, akan terjadi
infark atau kematian jaringan. Perlu diingat bahwa oklusi di suatu arteri tidak
selalu menyebabkan infark di daerah otak yang diperdarahi oleh arteri tersebut.
Alasannya adalah bahwa mungkin terdapat sirkulasi kolateral yang memadai ke
daerah tersebut. Proses patologik yang mendasari mungkin salah satu dari
berbagai proses yang terjadi di dalam pembuluh darah yang memperdarahi otak.
Patologinya dapat berupa (1) keadaan penyakit pada pembuluh itu sendiri, seperti
pada aterosklerosis dan trombosis, robeknya dinding pembuluh, atau peradangan;
(2) berkurangnya perfusi akibat gangguan status aliran darah, misalnya syok atau
hiperviskositas darah; (3) gangguan aliran darah akibat bekuan atau embolus
infeksi yang berasal dari jantung atau pembuluh ekstrakranium; atau (4) ruptur
vaskular di dalam jaringan otak atau ruang subaraknoid.(3)

Suatu stroke mungkin didahului oleh Transient Ischemic Attack (TIA) yang
serupa dengan angina pada serangan jantung. TIA adalah serangan-serangan
defisit neurologik yang mendadak dan singkat akibat iskemia otak fokal yang
cenderung membaik dengan kecepatan dan tingkat penyembuhan bervariasi tetapi
biasanya dalam 24 jam. TIA mendahului stroke trombotik pada sekitar 50%
sampai 75% pasien.(3)
14

Secara patologi stroke dibedakan menjadi sebagai berikut:

1) Stroke Iskemik
Infark iskemik serebri, sangat erat hubungannya dengan aterosklerosis
(terbentuknya ateroma) dan arteriolosklerosis. Aterosklerosis dapat
menimbulkan bermacam-macam manifestasi klinik dengan cara :
- Menyempitkan lumen pembuluh darah dan mengakibatkan
insufisiensi aliran darah
- Oklusi mendadak pembuluh darah karena terjadinya thrombus atau
perdarahan aterom
- Merupakan terbentuknya thrombus yang kemudian terlepas sebagai
emboli
- Menyebabkan dinding pembuluh menjadi lemah dan terjadi
aneurisma yang kemudian dapat robek.

Embolus akan menyumbat aliran darah dan terjadilah anoksia


jaringan otak di bagian distal sumbatan. Di samping itu, embolus
juga bertindak sebagai iritan yang menyebabkan terjadinya
vasospasme lokal di segmen di mana embolus berada. Gejala
kliniknya bergantung pada pembuluh darah yang tersumbat. Ketika
arteri tersumbat secara akut oleh trombus atau embolus, maka area
sistem saraf pusat (SSP) yang diperdarahi akan mengalami infark
jika tidak ada perdarahan kolateral yang adekuat. Di sekitar zona
nekrotik sentral, terdapat penumbra iskemik yang tetap viabel
untuk suatu waktu, artinya fungsinya dapat pulih jika aliran darah
baik kembali. Iskemia SSP dapat disertai oleh pembengkakan karena
dua alasan: Edema sitotoksik yaitu akumulasi air pada sel-sel glia
dan neuron yang rusak; Edema vasogenik yaitu akumulasi cairan
ektraselular akibat perombakan sawar darah-otak.(3)
15

Edema otak dapat menyebabkan perburukan klinis yang berat


beberapa hari setelah stroke mayor, akibat peningkatan tekanan
intrakranial dan kompresi struktur-struktur di sekitarnya.(3)

2) Stroke Hemoragik
Stroke hemoragik, yang merupakan sekitar 15% sampai 20% dari
semua stroke, dapat terjadi apabila lesi vaskular intraserebrum
mengalami ruptur sehingga terjadi perdarahan ke dalam ruang
subarakhnoid atau langsung ke dalam jaringan otak. Sebagian dari lesi
vaskular yang dapat menyebabkan perdarahan subarakhnoid (PSA)
adalah aneurisma sakular dan malformasi arteriovena (MAV).
Mekanisme lain pada stroke hemoragik adalah pemakaian kokain atau
amfetamin, karena zat-zat ini dapat menyebabkan hipertensi berat dan
perdarahan intraserebrum atau subarakhnoid.(3)

Perdarahan intraserebrum ke dalam jaringan otak (parenkim) paling


sering terjadi akibat cedera vaskular yang dipicu oleh hipertensi dan
ruptur salah satu dari banyak arteri kecil yang menembus jauh ke
dalam jaringan otak. Biasanya perdarahan di bagian dalam jaringan
otak menyebabkan defisit neurologik fokal yang cepat dan memburuk
secara progresif dalam beberapa menit sampai kurang dari 2 jam.
Hemiparesis di sisi yang berlawanan dari letak perdarahan merupakan
tanda khas pertama pada keterlibatan kapsula interna.(3)

Penyebab pecahnya aneurisma berhubungan dengan ketergantungan


dinding aneurisma yang bergantung pada diameter dan perbedaan
tekanan di dalam dan di luar aneurisma. Setelah pecah, darah
merembes ke ruang subarakhnoid dan menyebar ke seluruh otak dan
medula spinalis bersama cairan serebrospinalis. Darah ini selain dapat
menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial, juga dapat melukai
jaringan otak secara langsung oleh karena tekanan yang tinggi saat
pertama kali pecah, serta mengiritasi selaput otak.(3)
16

Gambaran Klinis
Infark pada Sistem Saraf Pusat (3)
Tanda dan gejala infark arteri tergantung dari area vaskular yang terkena.
Infark total sirkulasi anterior (karotis):
- Hemiplegia (kerusakan pada bagian atas traktus kortikospinal),
- Hemianopia (kerusakan pada radiasio optikus)
- Defisit kortikal, misalnya disfasia (hemisfer dominan), hilangnya
fungsi visuospasial (hemisfer nondominan).
Infark parsial sirkulasi anterior:

- Hemiplegia dan hemianopia, hanya defisit kortikal saja.

Infark lakunar:

- Penyakit intrinsik (lipohialinosis) pada arteri kecil profunda


menyebabkan sindrom yang karakteristik.
Infark sirkulasi posterior (vertebrobasilar):
- Tanda-tanda lesi batang otak
- Hemianopia homonim.
Infark medulla spinalis
Serangan Iskemik Transien
Tanda khas TIA adalah hilangnya fungsi fokal SSP secara mendadak;
gejala seperti sinkop, bingung, dan pusing tidak cukup untuk menegakkan
diagnosis. TIA umumnya berlangsung selama beberapa menit saja, jarang
berjam-jam. Daerah arteri yang terkena akan menentukan gejala yang terjadi:
Karotis (paling sering) :(3)
a. Hemiparesis,
b. Hilangnya sensasi hemisensorik
c. Disfasia
d. Kebutaan monokular (amaurosis
fugax) yang disebabkan oleh iskemia
retina.
17

Vertebrobasilar:
a. Paresis atau hilangnya sensasi bilateral atau alternatif
b. Kebutaan mendadak bilateral (pada pasien usia lanjut)
c. Diplopia, ataksia, vertigo, disfagia-setidaknya dua dari tiga gejala ini terjadi
secara bersamaan.(3)
Perdarahan Subarakhnoid
Akibat iritasi meningen oleh darah, maka pasien menunjukkan gejala nyeri
kepala mendadak (dalam hitungan detik) yang sangat berat disertai fotofobia,
mual, muntah, dan tanda-tanda meningismus (kaku kuduk dan tanda Kernig).
Pada perdarahan yang lebih berat, dapat terjadi peningkatan tekanan
intrakranial dan gangguan kesadaran. Pada funduskopi dapat dilihat edema papil
dan perdarahan retina. Tanda neurologis fokal dapat terjadi sebagai akibat dari:
a. Efek lokalisasi palsu dari peningkatan tekanan intrakranial
b. Perdarahan intraserebral yang terjadi bersamaan, Spasme pembuluh darah, akibat
efek iritasi darah, bersamaan dengan iskemia.(3)
Perdarahan Intraserebral Spontan
Pasien datang dengan tanda-tanda neurologis fokal yang tergantung dari lokasi
perdarahan, kejang, dan gambaran peningkatan tekanan intrakranial. Diagnosis
biasanya jelas dari CT scan.(3)
18

Diagnosis
Untuk mendapatkan diagnosis dan penentuan jenis patologi stroke, segera ditegakkan
dengan :
Skor Stroke: Algoritma Gajah Mada(3)
Penurunan Nyeri kepala Babinski Jenis Stroke

kesadaran

+ + + Perdarahan

+ - - Perdarahan

- + - Perdarahan

- - + Iskemik

- - - Iskemik

Tabel 1. Algoritma Stroke Gajah Mada (Lamsudin, 1996)

Pemeriksaan Penunjang

Untuk membedakan jenis stroke iskemik dengan stroke perdarahan dilakukan


pemeriksaan radiologi CT-Scan kepala. Pada stroke hemoragik akan terlihat
adanya gambaran hiperdens, sedangkan pada stroke iskemik akan terlihat adanya
gambaran hipodens.(3)

Penatalaksanaan

Penatalaksanaan yang cepat, tepat, dan cermat memegang peranan besar


dalam menentukan hasil akhir pengobatan. Betapa pentingnya pengobatan stroke
sedini mungkin, karena jendela terapi dari stroke hanya 3-6 jam.(3)
19

Hal yang harus dilakukan adalah :

- Stabilitas pasien dengan tindakan ABC (Airway, breathing,


Circulation) Pertimbangkan intubasi bila kesadaran stupor atau
koma atau gagal napas
- Pasang jalur infus intravena dengan larutan salin normal 0,9 %
dengan kecepatan 20 ml/jam, jangan memakai cairan hipotonis
seperti dekstrosa 5 % dalam air dan salin 0, 45 %, karena dapat
memperhebat edema otak
- Berikan oksigen 2-4 liter/menit melalui kanul hidung
- Jangan memberikan makanan atau minuman lewat mulut
- Buat rekaman elektrokardiogram (EKG) dan lakukan foto
rontgen toraks
- Ambil sampel untuk pemeriksaan darah: pemeriksaan darah
perifer lengkap dan trombosit, kimia darah (glukosa, elektrolit,
ureum, dan kreatinin), masa protrombin, dan masa tromboplastin
parsial
- Jika ada indikasi, lakukan tes-tes berikut: kadar alkohol, fungsi
hati, gas darah arteri, dan skrining toksikologi
- Tegakkan diagnosis berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan
fisik
- CT Scan atau resonansi magnetik bila alat tersedia.(3)
Prognosis
Prognosis stroke dapat dilihat dari 6 aspek yakni: death, disease,
disability, discomfort, dissatisfaction, dan destitution. Keenam aspek
prognosis tersebut terjadi pada stroke fase awal atau pasca stroke. Untuk
mencegah agar aspek tersebut tidak menjadi lebih buruk maka semua
penderita stroke akut harus dimonitor dengan hati-hati terhadap keadaan
umum, fungsi otak, EKG, saturasi oksigen, tekanan darah dan suhu tubuh
secara terus-menerus selama 24 jam setelah serangan stroke.(3)
Asmedi & Lamsudin (1998) mengatakan prognosis fungsional
stroke pada infark lakuner cukup baik karena tingkat ketergantungan
dalam activity daily living (ADL) hanya 19 % pada bulan pertama dan
meningkat sedikit (20 %) sampai tahun pertama. Bermawi, et al., (2000)
mengatakan bahwa sekitar 30-60 % penderita stroke yang bertahan hidup
menjadi tergantung dalam beberapa aspek aktivitas hidup sehari-hari.
20

Dari berbagai penelitian, perbaikan fungsi neurologik dan fungsi


aktivitas hidup sehari-hari pasca stroke menurut waktu cukup bervariasi.
Suatu penelitian mendapatkan perbaikan fungsi paling cepat pada
minggu pertama dan menurun pada minggu ketiga sampai 6 bulan pasca
stroke.(3)
Prognosis stroke juga dipengaruhi oleh berbagai faktor dan keadaan
yang terjadi pada penderita stroke. Hasil akhir yang dipakai sebagai tolok
ukur diantaranya outcome fungsional, seperti kelemahan motorik,
disabilitas, quality of life, serta mortalitas. Menurut Hornig et al.,
prognosis jangka panjang setelah TIA dan stroke batang otak/serebelum
ringan secara signifikan dipengaruhi oleh usia, diabetes, hipertensi,
stroke sebelumnya, dan penyakit arteri karotis yang menyertai. Pasien
dengan TIA memiliki prognosis yang lebih baik dibandingkan pasien
dengan TIA memiliki prognosis yang lebih baik dibandingkan pasien
dengan stroke minor. Tingkat mortalitas kumulatif pasien dalam
penelitian ini sebesar 4,8 % dalam 1 tahun dan meningkat menjadi 18,6
% dalam 5 tahun.(3)
4. Neuropati
Definisi
Neuropati adalah gangguan saraf perifer yang meliputi kelemahan motorik,
gangguan sensorik, otonom dan melemahnya refleks tendon yang dapat bersifat
akut atau kronik. Beberapa saraf perifer yang terkena meliputi semua akar saraf
spinalis, sel ganglion radiks dorsalis, semua saraf perifer dengan semua cabang
terminalnya, susunan saraf autonom, dan saraf otak kecuali saraf optikus dan
olfaktorius.(4)
Etiologi
Adapun etiologi dari neuropati adalah sebagai berikut :(4)
- Metabolik : Diabetes, penyakit ginjal, porfiria
- Nutrisional : Defisiensi B1, B6, B12 dan asam folat. Defisiensi tiamin, asam nikotinat
dan asam pentotenat mempengaruhi metabolisme neuronal dengan menghalangi
oksidasi glukosa. Defisiensi ini dapat terjadi pada kasus malnutrisi, muntah-muntah,
kebutuhan meningkat seperti pada masa kehamilan, atau pada alkoholisme.
- Toksik (bahan metal dan obat-obatan) Arsenik, merkuri, kloramfenikol dan
metronidazol, karbamazepin, phenytoin. Timah dan logam berat akan menghambat
aktivasi enzim dalam proses aktifitas oksidasi glukosa sehingga mengakibatkan
neuropati yang sulit dibedakan dengan defisiensi vitamin B.
21

- Keganasan
- Trauma : neuropati jebakan
- Infeksi-inflamasi : Lepra, Difteri
- Autoimun : immune-mediated demyelinating disorders
Patomekanisme dan gambaran klinik

Mekanisme yang mendasari munculnya nyeri neuropati adalah: sensitisasi perifer,


ectopic discharge, sprouting, sensitisasi sentral, dan disinhibisi. Perubahan ekspresi
dan distribusi saluran ion natrium dan kalium terjadi setelah cedera saraf, dan
meningkatkan eksitabilitas membran, sehingga muncul aktivitas ektopik yang
bertanggung jawab terhadap munculnya nyeri neuropatik spontan.Kerusakan
jaringan dapat berupa rangkaian peristiwa yang terjadi di nosiseptor disebut nyeri
inflamasi akut atau nyeri nosiseptif, atau terjadi di jaringan saraf, baik serabut saraf
pusat maupun perifer disebut nyeri neuropatik.(6)

Trauma atau lesi di jaringan akan direspon oleh nosiseptor dengan mengeluarkan
berbagai mediator inflamasi, seperti bradikinin, prostaglandin, histamin, dan
sebagainya. Mediator inflamasi dapat mengaktivasi nosiseptor yang menyebabkan
munculnya nyeri spontan, atau membuat nosiseptor lebih sensitif (sensitasi) secara
langsung maupun tidak langsung. Sensitasi nosiseptor menyebabkan munculnya
hiperalgesia. Trauma atau lesi serabut saraf di perifer atau sentral dapat memacu
terjadinya remodelling atau hipereksibilitas membran sel. Di bagian proksimal lesi
yang masih berhubungan dengan badan sel dalam beberapa jam atau hari, tumbuh
tunas-tunas baru(sprouting).(6)

Baik nyeri neuropatik perifer maupun sentral berawal dari sensitisasi neuron
sebagai stimulus noksious melalui jaras nyeri sampai ke sentral. Bagian dari jaras ini
dimulai dari kornu dorsalis, traktus spinotalamikus (struktur somatik) dan kolum
dorsalis (untuk viseral), sampai talamus sensomotorik, limbik, korteks prefrontal dan
korteks insula. Karakteristik sensitisasi neuron bergantung pada: meningkatnya
aktivitas neuron; rendahnya ambang bata stimulus terhadap aktivitas neuron itu
sendiri misalnya terhadap stimulus yang non noksious, dan luasnya penyebaran areal
yang mengandung reseptor yang mengakibatkan peningkatan letupan-letupan dari
berbagai neuron.(6)
22

Secara umum neuropati perifer terjadi akibat 3 proses patologi yaitu degenerasi
wallerian, degenerasi aksonal dan demielinisasi segmental. Proses spesifik dari
beberapa penyakit yang menyebabkan neuropati masih belum diketahui.(6)

Pada degenerasi wallerian, terjadi degenerasi myelin sebagai akibat dari kelainan
pada akson. Degenerasi akson berlangsung dari distal sampai lesi fokal sehingga
merusak kontinuitas akson. Reaksi ini biasanya terjadi pada mononeuropati fokal
akibat trauma atau infark saraf perifer.Degenerasi aksonal, yang biasanya disebut
dying-back phenomenon, kebanyakan menunjukkan degenerasi aksonal pada daerah
distal. Polineuropati akibat degenerasi akson biasanya bersifat simetris dan selama
perjalanan penyakit akson berdegenerasi dari distal ke proksimal. Proses ini sering
didapatkan pada penderita polineuropati kausa metabolik. Pada degenerasi akson dan
Wallerian, perbaikannya lambat karena menunggu regenerasi akson, disamping
memulihkan hubungan dengan serabut otot, organ sensorik dan pembuluh darah.(6)

Pada demielinisasi segmental terjadi degenerasi fokal dari myelin. Reaksi ini
dapat dilihat pada mononeuropati fokal dan pada sensorimotor general atau
neuropati motorik predominan. Polineuropati demielinasi segmental yang didapat
biasanya akibat proses autoimun atau yang berasal dari proses inflamasi, dapat
pula terdapat pada polineuropati herediter. Pada kelainan ini perbaikan dapat
terjadi secara cepat karena yang diperlukan hanya remielinisasi.(6)

Pada polineuritis idiopatik akut dapat terjadi infiltrasi limfosit, sel plasma dan
sel mononuklear pada akar-akar saraf spinalis, sensorik dan ganglion simpatis dan
saraf perifer. Pada polineuropati difteri terjadi demielinisasi pada serat-serat saraf
di akar dan ganglion sensorik dengan reaksi inflamasi. Mekanisme yang
mendasari neuropati perifer tergantung dari kelainan yang mendasarinya. Diabetes
sebagai penyebab tersering, dapat mengakibatkan neuropati melalui peningkatan
stress oksidatif yang meningkatkan Advance Glycosylated End products (AGEs),
akumulasi polyol, menurunkan nitric oxide, mengganggu fungsi endotel,
mengganggu aktivitas Na/K ATP ase, dan homosisteinemia. Pada hiperglikemia,
glukosa berkombinasi dengan protein, menghasilkan protein glikosilasi, yang
dapat dirusak oleh radikal bebas dan lemak, menghasilkan AGE yang kemudian
merusak jaringan saraf yang sensitif. Selain itu, glikosilasi enzim antioksidan
dapat mempengaruhi sistem pertahanan menjadi kurang efisien. Nitric oxide
memainkan peranan penting dalam mengontrol aktivitas Na/K ATPase . Radikal
superoksida yang dihasilkan oleh kondisi hiperglikemia mengurangi stimulasi
23

NO pada aktivitas Na/K ATPase. Selain itu, penurunan kerja NO juga


mengakibatkan penurunan aliran darah ke saraf perifer.(6)

Gambaran Klinis

1. Metabolik

a. Neuropati diabetik :

Polineuropati : komplikasi diabetes melitus yang paling sering terjadi,


gangguan motorik tungkai lebih sering terkena daripada tangan, gangguan
sensorik kaos kaki dan sarung tangan berupa gangguan rasa nyeri & suhu,
vibrasi serta posisi.

Otonom neuropati : keringat berkurang, hipotensi ortostatik, nokturnal diare,


inkontinensi alvi, konstipasi, inkontinensi dan retensio urin, gastroparesis dan
impotensi.

Mononeuropati : terutama mengenai nervi kranialis (terutama nervi untuk


pergerakan bola mata) dan saraf tepi besar dengan gejala nyeri.

b. Polineuropati uremikum :

Terjadi pada pasien uremia kronis (gagal ginjal kronis)

Gejala & tanda : gangguan sensorimotor simetris pada tungkai dan tangan, rasa
gatal, geli dan rasa merayap pada tungkai dan paha memberat pada malam hari,
membaik bila kaki digerakkan (restless leg syndrome).(6)

Diagnosis klinis, diagnosis penunjang dan interpretasinya

Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik :


- gangguan sensorik meliputi parestesia, nyeri, terbakar, penurunan rasa raba,
vibrasi dan posisi. Hilangnya sensasi (getar, posisi/proprioseptif, suhu, dan
nyeri) pada bagian distal ekstremitas menunjukkan neuropati perifer.
- gangguan motorik berupa kelemahan otot-otot
- refleks tendon menurun
- fasikulasi
24

Ketika pasien mengeluh rasa kebas, keram, nyeri atau lemah utamanya
dibagian distal ekstremitas, langkah pertama adalah menentukan letak lesi
apakah lesinya di saraf perifer, radix atau plexus. Lesi CNS biasanya disertai
gejala lain seperti sulit berbicara, diplopia, ataxia, kelemahan nervus cranialis,
atau pada kasus mielopati didapatkan penurunan fungsi digestif dan kandung
kemih, refleks patologis positif dan tonus otot spastik. Jika lesinya pada saraf
perifer biasanya menunjukkan gejala asimetrik dan gangguan sensorik yang
mengikuti dermatom, bisa juga disertai nyeri leher atau low back pain. Lesi
pada pleksus juga menunjukkan gejala yang asimetrik dengan gangguan
sensorik pada beberapa nervus pada satu ekstremitas.(6)

Pemeriksaan Penunjang

a. Laboratorium : Tes darah dapat meliputidarah lengkap, profil metabolik,


laju endap darah, gula darah puasa, vitamin B12, dan kadar TSH.
b. Fungsi lumbal dan analisis CSF membantu dalam diagnosis Guillain-Barr
syndromedan chronic inflammatory demyelinating neuropathy.
Elektrodiagnostik, membantu dalam differensial diagnosisjenis neuropati
tipe aksonal, demielinisasi, atau campuran.
c. Gula darah puasa : didapatkan hiperglikemi
d. fungsi ginjal
e. kadar vitamin B1, B6, B12 darah : defisiensi vitamin B1, B6 dan B12
f. kadar logam berat : kadar arsenik dan merkuri tinggi
g. fungi hormon tiroid :didapatkan hipotiroidisme
h. Lumbal pungsi : protein CSF meningkat.
25

STEP 4
1. IDENTITAS PASIEN
Nama : Nn.A
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 18 Tahun
Alamat : Cirebon
2. ANAMNESIS
Keluhan Utama : Kesemutan di kedua kaki disertai dengan kelemahan.
RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG
Pasien datang ke IGD RS dengan keluhan mengalami kesemutan di kedua talapak
kaki sejak 12 jam yang lalu. Keluhan dirasakan secara tiba-tiba, saat pasien sedang
beraktivitas. Kesemutan lama kelamaan menjalar hingga ke kedua tungkai bawah disertai
dengan kesemutan dikedua telapak tangan. Keluhan disertai dengan kelemahan dikeua
tungkai bawah. Keluhan tidak disertai nyeri. Pasien sadar, tidak ada riwayat trauma atau
terjatuh sebelumnya. Mual, muntah disangkal, kejang disangkal, demam disangkal. BAB
dan BAK tidak ada keluhan.
RIWAYAT PENAKIT DAHULU
Pasien 1 minggu yang lalu mengeluh sakit demam, batuk dan pilek, sudah diobati
dengan obat flu biasa. Keluhan seperti ini baru pertama kali dialami oleh pasien. Riwayat
Hipertensi maupun diaetes melitus disangkal.
RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA
Riwayat hipertensi, alergi maupun diabetes melitus disangkal.
RIWAYAT KEBIASAAN/POLA HIDUP
Pasien adalah seorang pelajar SMA kelas XII. Pasien tinggal bersama kedua orang
tuanya. Pasien tidak merokok maupun minum alkohol dan tidak mengonsumsi obat
terlarang.
26

3. PEMERIKSAAN FISIK
STATUS GENERALIS
Keadaan umum : Pasien tampak sakit sedang
Kesadaran / GCS : Compos mentis / 15
Tanda-tanda vital : Tekanan darah 110/80 mmHg
Nadi 82x / menit
Pernapasan 30x / menit
Suhu 36,60C
BB : 45 kg
TB : 152 cm
Head to toe
Kepala : Normochepal
Wajah : Wajah simetris, tidak tampak nyeri, tidak tampak luka.
Mata : Struktur okular eksterna simetris, tidak ada lesi.
Conjungtiva anemis (-/-) Sklera ikhterik (-/-)
Pupil bulat, isokor, 3mm/3mm
Hidung : Nafas cuping hidung (-)
Cavitas nasal dalam batas normal
Mulut : Mukosa oral tampak basah, sianosis (-)
Uvula di tengah, lidah tidak terdapat deviasi
Telinga : Struktur telinga eksterna simetris, tidak ada jejas, sekret (-/-)
Leher : Tidak ada jejas
Tidak ada pembesaran kelenjar getah bening
Tidak ada pembesaran tiroid
Thoraks : Inspeksi : Pergerakan dada simetris, tidak ada lesi
Palpasi : Taktil fremitus normal
Perkusi : Sonor diseluruh lapang paru
(Paru) : Auskultasi : Suara nafas vesikuler, ronki -/-, wheezing -/-
(Jantung) : Auskultasi : Bunyi jantung I dan II normal, reguler
Tidak ada gallop dan murmur.
Abdomen : Inspeksi : Abdomen datar
Auskultasi : Bising usus normal
Perkusi : Timpani diseluruh regio abdomen
Palpasi : Tidak ada nyeri tekan, hati dan limpa tidak
teraba.
27

Ekstremitas : Akral hangat, perfusi refill <2 detik.


STATUS NEUROLOGIS
1) Kesadaran : Compos Mentis
GCS : 15 (E4M6V5)
2) TANDA RANGSANG MENINGEAL
Kaku kuduk : (-)
Brudzinski I : (-)
Brudzinski II : (-)
Lasegue : (-)
Kernig : (-)
3) SARAF KRANIAL
N. I (Olfactorius) : DBN
N. II (Opticus) : DBN
N. III (Oculomotorius) : DBN
N. IV (Trokhlearis) : DBN
N. V (Trigeminus) : DBN
N. VI (Abduscens) : DBN
N. VII (Facialis) : DBN
N. VIII (Akustikus) : DBN
N. IX (Glossofaringeus) : DBN
N. X (Vagus) : DBN
N. XI (Assesorius) : DBN
N. XII (Hipoglossus) : DBN
28

4) SISTEM MOTORIK
Kanan Kiri Keterangan
Ekstremitas atas
Kekuatan 4 4
Tonus Normal Normal
Trofi Eutrofi Eutrofi
Ger. Involunter (-) (-)
Ekstremitas
bawah 3 3
Kekuatan Normal Normal
Tonus Eutrofi Eutrofi
Trofi (-) (-)
Ger. Involunter
Badan
Trofi Eutrofi Eutrofi Tidak ada kelainan
Ger. involunter (-) (-)

5) SISTEM SENSORIK
Kanan Kiri Keterangan
Raba (-) (-)

Nyeri (-) (-)


Hipestesi
Suhu (-) (-)

Propioseptif (-) (-)


29

6) Refleks

Kanan Kiri keterangan


Fisiologi:
Bisep (+) (+) Refleksfisiologimehilang
Trisep (+) (+)
KPR (-) (-)
APR (-) (-)

Patologis:
Babinski (-) (-) Refllekspatologis negative
Chaddock (-) (-)
Gordon (-) (-)
Schuffner (-) (-)
Hoffmen (-) (-)
Tromner (-) (-)
Oppenheim (-) (-)
Reflex premitif: Reflex premitiftidakada
Palmumental
Snout

7) Fungsi koordinasi
DBN
8) Sistem otonom
Miksi : DBN
Defekasi : DBN
30

STEP 5
Diagnosis Definitif
a. Hipokalemia
b. Guiilalin Barre Syndrome
c. Multipel Sklerosis
d. Mielitis Akut
e. Myastenia Gravis
STEP 6
Penatalaksanaan awal secara umum :
a. IV line RL 500 cc/ tiap 8 jam
b. Mecobalamin 500 mg tiap 12 jam IV
c. Monitoring progresifitaskelemahananggotagerak
d. Monitoring tanda-tanda vital.
STEP 7
Pemeriksaan Penunjang
Darah rutin :
Hemoglobin 13,9 g/dL
Hematokrit 40%
Leukosit 6300/UI
Trombosit 271000/UI
Hitung Jenis
Basofil 0%
Eosinofil 0%
Batang 1,0%
Segmen 73%
imfosit 18%
Monosit 18%

Kimia Klinik

Natrium 138 mmol/I


Kalium 3,6 mmol/I
Klorida 100 mmol/I
Kalsium 8,2 mmol/L
GDS 129 mg/dL
31

STEP 8
Diagnosis kerja : Guillain Barre Syndrome
STEP 9
Penatalaksanaan
a. IV line RL 500 cc/ tiap 8 jam
b. Mecobalamin 500 mg tiap 12 jam IV
c. IV IG 18 mg per hari (0,3-0,4 mg/kgBB/hariselama 3-5 hari)
d. Monitoring progresifitas kelemahan anggota gerak
e. Monitoring tanda-tanda vital
f. Saran terapi: plasma paresis

Guilliain Barre Syndrome (GBS) Diagnostic Criteria

Necessary Criteria for the clinical Diagnostic of GBS

1. Subacutely developing flaccid paralysis


2. Bilateral weakness starts from the onset with a strong tendency for symmetry
3. Myotatic reflexes decrease and usually disappear entirely
4. Other causes for rapidly developing flaccid weakness are reled out
Characteristic Elements for GBS, but with Very Limited Diagnostic Value

1. Lumbar puncture with cytoalbuminologic dissociation


2. Electrophysiologic
Untuk Sindrom Guillain Bare dapat dikatakan tidak ada drug of choice. Terapi
diberikan untuk mengurangi beratnya penyakit dan mempercepat penyembuhan
melalui sistem imunitas (ilmu moterapi). Pada pasien dengan SGB ringan, diberikan
terapi suportif dengan pemantauan ketat dan persiapan bila pasien secara klinis
mengalami perburukan.
32

Kortikosteroid
Manfaat kortikosteroid untuk terapi SGB masih kontroversial. Kebanyakan
penelitian mengatakan bahwa penggunaan preparat steroid lidak mempunyai nilai
tidak bermanfaat untuk terapi SGB. Namun. apabila terjadi keadaan gawat akibat
terjadinya paralisis otot-otot pernafasan maka kortikosteroid dosis tinggi dapat
dilakukan.
Plasmaparesis

Plasmaparesis atau plasma exchange bertujuan untuk mengeluarkan faktor


autoantibodi yang beredar. Plasmaparesis diindikasikan pada kasus yang
nonambulatory, atau yang penyakitnya berlangsung secara agresif. Pemakaian
plasmaparesis pada SGB memperlihatkan hasil yang baik, berupa perbaikan klinis
yang lebih cepat, penggunaan alat bantu napas lebih sedikit, dan lama perawatan
yang lebih pendek. Pengobatan dilakukan dengan mengganti 200-250 ml plasma/kg
BB dala, 7-14 hari. Plasmaparesis merupakan terapi pertama kali terbukti efektif
pada kasus SGB berat. Perbaikan klinis pasien nampak nyata dalam kemampuan
beralan tanpa di bantu, waktu penggunaan ventilasi mekanik lebih singkat, dan
gejala sisa lebih ringan.

Imunoglobulin IV

The Dutch Study Group telah menemukan bahwa intravenous administration of


immune globulin (0,4g/kg per hari untuk 5 hari berturut-turut) sama efektifnya
dengan penggantian plasma dan lebih mudah serta mungkin lebih aman karena tidak
dibutuhkannya akses intravena yang besar. Hasil dari penelitian yang dilakukan
dengan membandingkan dua model penatalaksanaan dan dievaluasi secara berkala.
Pada percobaan akhir ada tren dimana hasil lebih baik ada pada pasien yang
menerima pertukaran plasma, dan hasilnya lebih bagus lagi pada grup yang
memberikan pergantian plasma diikuti dengan 5 hari pemberian immuno globulin.
Kebanyakan pasien mentoleransi penatalaksanaan IVIG dengan baik. Gagal ginjal,
proteinuria, dan meningitis asepsis, yang berbentuk sakit kepala hebat, dan
komplikasi langka. Satu-satunya reaksi serius yang ditemukan pada beberapa pasien
yang secara kongenital kekurangan IgA dan yang mendapatkan pooled gamma
globulin mengakibatkan anafilaksis dan inflamasi lokal vena thrombosis.

Obat sitotoksik

Pemberian obat sitoksik yang dianjurkan adalah:

a. 6 merkaptopurin(6-MP)
b. Azathioprine
c. Cyclophosphamid

Efek samping dari obat-obat ini adalah: alopecia, muntah, mual dan sakit kepala
33

Pengobatan suportif untuk Gullain Barre antara lain:

1. Monitor kapasitas vitas pernafasan dan kekuatan inspirasi negatif (negativeinspiratory


force; NIF). Jika kapasitas vita < 20 mL/kg atau NIF kurang dari - 30cm H20 bawa
pasien ke ICU dan lakukan intubasi. Jangan tunggu sampai saturasi oksigen drop.
2. Swallowing assessment
3. Monitoring fungsi jantung
4. Berikan obat antinyeri seperti gabapentin,pregabalin atau tramadol
5. Prolak DVT
6. Regimen untuk kostipasi
7. Fisioterapi untuk mencegah kontraktur dan mempercepat proses penyembuhan
STEP 10

Perjalanan Klinis

Beberapa varian dari Syndrome Guillain Barre dapat diklasifikasikan, yaitu:


1. Acute Inflammatory DemielinatingPolyradiculoneuropaty (AIDP)
Mediasi oleh anti body, dipicu oleh infeksi virus atau bakteri sebelumya. Gambaran
elektrofisiologi berupa demielinisasi, remielinisasi muncul setelah reaksi imun
berakhir, merupakantipe SBG yang sering dijumpai di Eropa dan Amerika.
2. Acute Motor Axonal Neuropathy (AMAN)
Merupakan bentuk murni dari neuropathy axonal, dimana acute motor axonal
neurophaty (AMAN), terjadi degenerasi dari akon motoric,tanpa adanya
demielinisasi. Gejala ditandai dengan adanya kelemahan otot dibagian distal,
terkadang dapat disertai paralisis otot pernafasan. Sensorik tidak mengalami gangguan
dari pemeriksaan laboratorium ditemukan peningkatan protein pada cairan LCS,
sementara dari pemeriksaan elektrofisiologi menunjukan absen/turunnya saraf
motoric dan saraf sensorik. Penyembuhan lebih cepat sering terjadi pada anak, dan
merupakan tipe SGB yang sering di Cina dan Jepang.
3. Acute Motor Sensory Axonal Neuropathy (AMSAN)
Degenerasi terjadi pada akson sensorik dan motorik, sehingga manifestasi klinisnya
berupa kelemahan motoric dan sensorik terkadang dengan paralisis otot pernafasan.
Kebanyakan pasien mnjadi tetraplegi dan kesulitan bernafas hanya dalam waktu yang
singkat.
4. Miller Fishers Syndrome
Merupakan kelainan yang jarang dijumpai, berupa trias ataxia, arefleksia dan
oftalmoplegia.Dapat terjadi gangguan proprioseptif, resolusi dalam waktu 1-3 bulan.
5. Acute Pandysautonomia
Varian yang paling jarangdari SBG, mempengaruhi system simpatis dan parasimpatis,
gangguan kardiovaskular (hipotensi, takikardi, hipertensi, disaritmia), gangguan
34

penglihatan berupa pandangan kabur, kekeringan pada mata dan anhidrosis,


penyembuhan terhadap dan tidak sempurna, sering dijumpai juga gangguan sensorik.
35

DAFTAR PUSTAKA

1. Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. VI. Jakarta Pusat: Interna Publishing; 2014.
2. Silbernagl S. Teks Dan Atlas Berwarna Patofisiologi. Jakarta: EGC; 2006.
3. Price SA. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. 6th ed. Jakarta: EGC;
2005.
4. Ariefputera Andy dan Anindhitia Tiara. Kapita Selekta Kedokteran. 4th ed. Jakarta:
Essentials Of Medicine; 2014.
5. Katzunf BG. Farmakologi Dasar Dan Klinik. 12th ed. Jakarta: EGC; 2013.
6. Purwadianto A. Kedaruratan Medik. Revisi. Tanggerang Selatan: Binarupa Aksara;
2013.
36
37
38
39
40

You might also like